NERS Vol 5 No 2 Oktober 2010_Akreditasi 2013.indd 201 EFEKTIVITAS KONSELING KELOMPOK DALAM PERBAIKAN TINDAKAN PENCEGAHAN DBD (Effectivitas of Group Conseling on Improving Patient Behavior for Prevention DPD) Mira Utami Ningsih*, Abu Bakar**, Makhfudli*** *Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Keperawatan Universitas Airlangga Email: miracle_zir@yahoo.com ** Fakultas Keperawatan Universitas Airlangga *** Fakultas Keperawatan Universitas Airlangga ABSTRACT Introduction: Dengue Hemorrhage Fever is a disease with prevalence that keep on higher and spread wider. Prevention and control of DHF are affected by environment and social-behavioral factors. So that, some efforts are needed to increase people awareness in prevention of DHF by giving health education. This study was aimed to fi nd out the difference effectiveness of elucidation and group counseling method to emendation of patriarch behavior in DHF prevention. Method: This study used pre-post test design. The population is patriarch in Monjok Pemamoran Village RT 01. Samples were 40 patriarchs taken by purposive sampling. Independent variables were elucidation and group counseling. Dependent variables were patriarch behavior including knowledge, attitude and practice. Data were collected using questionnaire and observation sheet then analyzed using Wilcoxon Signed Rank Test and Mann Whitney U-test. Result: The result revealed that there are signifi cant effect of elucidation and group counseling to emendation of patriarch behavior in DHF prevention. Except in patriarch’s practice, there were no difference effectiveness of elucidation and group counseling to emendation of patriarch’s knowledge and attitude. There was difference effectiveness of elucidation and group counseling method to emendation of patriarch’s practice in prevention of DHF. Discussion: From this study in can be concluded that, both elucidation and group counseling can affect patriarch’s behavior in prevention of DHF but group counseling method is more effective. That’s why, it is hoped that paramedic can apply that method to society in purpose to increase prevention and control of DHF and prevents the outbreak. Keywords: dengue hemorrhagic fever, elucidation, group counseling, behavior PENDAHULUAN Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan masalah kesehatan masyarakat di Indonesia karena angka kejadian yang terus meningkat dan penyebarannya semakin luas (Sungkar, 2007). Satu-satunya cara untuk mencegah penyakit ini adalah dengan memutus rantai transmisi penyakit yang disebut vektor control yang dipengaruhi oleh lingkungan dan faktor socio-behavioral (Fathi dkk, 2005). Menurut Kepala Bidang Pengendalian Penyakit dan Lingkungan Dinas Kesehatan NTB, penyebab utama mewabahnya penyakit DBD di Mataram terutama pada saat musim hujan yang ditambah tingkat kesadaran dan perilaku masyarakat untuk menjaga kebersihan lingkungan masih rendah, sehingga perlu terus-menerus dilakukan sosialisasi kepada masyarakat tentang penyakit DBD, bahayanya dan bagaimana cara mencegahnya (Awaludin, 2010). Peningkatan kesadaran masyarakat tentang pentingnya pemberantasan penyakit DBD dapat dilakukan dengan cara peningkatan pengetahuan, sikap dan tindakan masyarakat tentang pencegahan DBD melalui promosi kesehatan (Suharto dkk, 2003). Salah satu hal yang memengaruhi promosi kesehatan adalah metode yang digunakan. Jurnal Ners Vol. 5 No. 2 Oktober 2010: 201–209 202 Metode promosi kesehatan yang dapat dilakukan untuk meningkatkan perilaku pencegahan DBD di antaranya ialah penyuluhan dan konseling. Selama ini, metode yang sering digunakan untuk sosialisasi pencegahan DBD di daerah endemik adalah dengan penyuluhan. Menurut penelitian Fathi dkk (2005) di daerah endemik DBD yaitu di Mataram, tidak ada peran penyuluhan penyakit DBD yang bermakna terhadap Kejadian Luar Biasa (KLB) penyakit DBD di Kota Mataram. Sedangkan dengan menggunakan metode konseling kelompok, Suharto dkk (2003) dalam penelitiannya tentang metode konseling kelompok dan curah pendapat di Kabupaten Magetan, menyatakan bahwa metode konseling kelompok dapat meningkatkan perilaku pencegahan DBD. Penyuluhan kesehatan merupakan kegiatan pendidikan kesehatan yang dilakukan dengan menyebarkan pesan, menanamkan keyakinan, sehingga masyarakat tidak saja sadar, tahu dan mengerti tetapi juga mau dan bisa melakukan suatu anjuran yang ada hubungannya dengan kesehatan (Surayani, 2005). Sedangkan mengenai konseling, menurut Redman dan Thomas (1985) dikutip oleh Friedman (1998), konseling sangat berhubungan erat dengan penyuluhan, tetapi berbeda. Mengajar dan konseling telah dilukiskan sebagai dua titik pada ujung kontinum yang berbeda, dengan perspektif ini, mengajar dipandang sebagai metode pilihan ketika bekerja dengan keluarga/ masyarakat yang membutuhkan informasi lebih spesifi k dan terstruktur. Konseling yang terletak pada satu ujung kontinum cocok jika bekerja dengan keluarga/masyarakat yang lebih banyak membutuhkan dukungan serta dorongan untuk menggunakan keterampilan- keterampilan memecahkan masalah (Friedman, 1998). Namun perbedaan efektivitas metode penyuluhan dan metode konseling kelompok dalam meningkatkan perilaku pencegahan DBD di daerah endemik belum dapat dijelaskan. Indonesia meskipun sudah lebih dari 35 tahun, DBD bukannya terkendali, tetapi semakin mewabah. Sejak Januari sampai Maret 2004, KLB DBD di Indonesia telah menyerang 39.938 orang dengan angka kematian 1,3 persen (Soeroso, 2008). Propinsi yang terus mengalami peningkatan angka kejadian DBD adalah DKI Jakarta, Jawa Barat, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, Bali, Nusa Tenggara Timur dan Nusa Tenggara Barat (Sungkar, 2007). Di Nusa Tenggara Barat Kasus DBD dari Januari sampai dengan Desember 2005 terdapat 1.040 kasus, dengan kematian mencapai 15 orang. Jumlah sebenarnya jauh lebih tinggi daripada jumlah yang tercatat ini (Taufi k dkk., 2007). Sedangkan pada tahun 2010, terjadi peningkatan kasus secara signifi kan. Sejak Januari 2010 sampai Februari 2010 telah tercatat 571 kasus DBD. Wilayah yang paling tinggi penderita DBD adalah Kota Mataram sebanyak 368 kasus, diikuti Lombok Barat 52 kasus, Lombok Timur 46 kasus, Sumbawa Barat 31 kasus. Selanjutnya Lombok Tengah 24 kasus, Kota Bima 13 kasus, Kabupaten Sumbawa 11 kasus, Dompu 11 kasus, Lombok Utara sembilan kasus dan Bima enam kasus. Dinas Kesehatan NTB telah menetapkan Kota Mataram sebagai daerah KLB penyakit DBD (Awaludin, 2010). Menurut data dari studi pendahuluan, didapatkan data peningkatan pasien DBD berobat ke Puskesmas Mataram yaitu dari 58 orang pada tahun 2009 menjadi 87 orang pada tahun 2010 dari Kelurahan Monjok. Jumlah ini mencapai hampir seperempat dari jumlah kejadian DBD keseluruhan di Kota Mataram pada tahun 2010. Dari jumlah tersebut, 48 orangnya berasal dari Lingkungan Monjok Pemamoran yang terdiri dari 5 RT. RT terbanyak penderita DBD adalah RT 01 yaitu sebanyak 12 penderita. Menurut Awaludin (2010), jika tidak diantisipasi dengan melakukan pencegahan, jumlah penderita DBD di NTB khususnya di Mataram dapat meningkat dari tahun sebelumnya didasari oleh kondisi iklim yang tidak menentu seperti hujan yang turun tidak teratur. Peningkatan jumlah pasien DBD dapat berdampak tidak hanya pada derajad kesehatan masyarakat yang dapat menyebabkan kematian, namun juga aspek sosial ekonomi. Keluarga yang salah satu anggotanya menderita penyakit DBD tentu saja dirugikan dalam hal ekonomi. Soegijanto (2008) dalam penelitiannya di Jawa Timur menyatakan bahwa untuk merawat pasien DBD, keluarga memerlukan tambahan biaya Rp. 184.000 sampai 1.040.000 dalam Efektivitas Konseling Kelompok dalam Perbaikan Tindakan (Mitra Utami Ningsih) 203 waktu tujuh hari padahal masa rawat pasien DBD bisa lebih dari 7 hari dan keluarga dengan penderita DBD rata-rata berpenghasilan hanya 200–400 ribu rupiah per bulan. Kerugian tersebut belum termasuk kerugian akibat tidak masuk kerja, tidak masuk sekolah, gangguan aktivitas sosial dan pengaruh sakitnya terhadap orang-orang yang berhubungan dengan penderita DBD. Kerugian-kerugian tersebut juga sangat mungkin terjadi di daerah endemik seperti Kota Mataram. M a s a l a h d i a t a s d i a t a s i d e n g a n diperlukannya penerapan metode sosialisasi y a n g p a l i n g t e p a t d a n e f e k t i f d a l a m meningkatkan kesadaran masyarakat dan mengubah perilaku masyarakat dalam upaya pencegahan kejadian DBD. Keluarga sebagai unit terkecil dari masyarakat dan ujung tombak pencegahan DBD perlu diberdayakan secara optimal (Suharto dkk., 2003). Menurut Effendi dan Makhfudli (2009), keluarga dipandang sebagai sumber daya kritis untuk menyampaikan pesan-pesan kesehatan, di mana dalam hal ini keluarga sebagai unit terkecil dalam masyarakat berperan dalam penyampaian pesan betapa pentingnya usaha pencegahan agar terhidar dari wabah. Setiap keluarga perlu dilibatkan dalam upaya pencegahan khususnya bagi kepala keluarga mengingat sebagian besar struktur keluarga di Indonesia adalah patriakal di mana dominasi pengambil keputusan ada pada suami (Setyowati dkk., 2008). Sehingga perlu ditentukan metode yang paling efektif dalam membantu keluarga untuk mengembangkan pengetahuan, kesehatan mental serta perubahan sikap dan perilaku. Berdasarkan uraian tersebut maka peneliti tertarik untuk meneliti perbedaan efektivitas metode penyuluhan ceramah tanya jawab dan metode konseling kelompok terhadap perbaikan perilaku kepala keluarga dalam pencegahan DBD di Kota Mataram. BAHAN DAN METODE Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah pre post test design. Populasi dalam penelitian ini yaitu kepala keluarga di Lingkungan Monjok Pemamoran, Kota Mataram sebanyak 51 orang. Sampel yang digunakan dalam penelitian ini yaitu kepala keluarga di Lingkungan Monjok Pemamoran, Kota Mataram yang memenuhi kriteria inklusi yaitu: berusia 25–50 tahun, pendidikan minimal SD dan bisa membaca dan menulis belum pernah mendapatkan penyuluhan maupun konseling kelompok tentang DBD dalam dua bulan terakhir; keluarga dengan lingkungan berisiko menjadi tempat penyebaran vektor nyamuk yaitu adanya kontainer buatan ataupun alami yang dapat menjadi habitat larva di dalam maupun di luar rumah; dan bersedia menjadi responden dan mengikuti kegiatan penelitian sampai selesai. Lokasi penelitian ini adalah di Lingkungan Monjok Pemamoran, Kota Mataram. Pelaksanaan penelitian dan pengambilan data dilakukan selama 3 minggu, pada tanggal 23 Desember 2010–14 Januari 2011. Variabel independen dalam penelitian ini yaitu penyuluhan dan konseling kelompok. Variabel dependen yaitu perilaku pencegahan DBD oleh kepala keluarga meliputi pengetahuan, sikap dan praktik pencegahan DBD. Instrumen yang digunakan dalam pengumpulan data pengetahuan dan sikap kepala keluarga adalah kuesioner yang dimodifikasi dari konsep pencegahan DBD menurut WHO (2009). Sedangkan untuk data praktik kepala keluarga dalam pencegahan DBD menggunakan lembar observasi. Pengumpulan data dilakukan mulai dari mengumpulkan daftar nama-nama kepala keluarga kemudian menentukan kelompok kepala keluarga yang diberi penyuluhan (kelompok 1) dan kepala keluarga yang diberi konseling kelompok (kelompok 2) masing- masing 20 orang. Proporsi kepala keluarga berdasarkan usia dan tingkat pendidikan dibagi sama antara kedua kelompok perlakuan tersebut. Selanjutnya dilakukan pre-test untuk mengumpulkan data pengetahuan dan sikap kepala keluarga dan mengobservasi perilaku kepala keluarga sebelum dilakukan penyuluhan maupun konseling kelompok. Pre-test ini dilakukan dengan mendatangi rumah masing-masing kepala keluarga, peneliti juga sekaligus memberitahukan jadwal dilakukan penyuluhan dan konseling kelompok. Sehari setelah dilakukan pre-test, peneliti melakukan penyuluhan kepada kelompok 1. Penyuluhan Jurnal Ners Vol. 5 No. 2 Oktober 2010: 201–209 204 dilakukan hanya satu kali kemudian dilakukan post-test untuk mengetahui pengetahuan dan sikap setelah diberikan penyuluhan dan seminggu kemudian peneliti kembali mendatangi rumah kepala keluarga untuk mendapatkan data tindakan pencegahan DBD menggunakan lembar observasi. Kelompok 2 diberikan konseling kelompok, di mana sepuluh orang kepala keluarga dikumpulkan menjadi satu kelompok konseling dan dilakukan berdasarkan tahapan konseling setiap 3 hari sekali. Setelah pertemuan terakhir dilakukan post-test untuk mengetahui pengetahuan dan sikap kepala keluarga dengan menggunakan kuesioner. Selanjutnya, seminggu setelah kegiatan konseling yang terakhir, peneliti mengunjungi rumah masing- masing kepala keluarga untuk menilai praktik/ tindakan kepala keluarga menggunakan lembar observasi. Penelitian ini menggunakan uji wilcoxon signed rank test dengan tingkat kemaknaan α ≤ 0,05 untuk menguji data pengetahuan, sikap dan tindakan kepala keluarga pada pre-test dan post test. Penelitian ini juga menggunakan uji Mann Whitney U-test dengan tingkat kemaknaan α £ ≤ 0,05 untuk menguji data pengetahuan, sikap dan tindakan kepala keluarga yang diberikan penyuluhan (kelompok 1) dan kepala keluarga yang diberikan konseling kelompok (kelompok 2). HASIL Data menunjukkan pada kelompok 1, dari 20 responden pada pre-test didapatkan sebagian kepala keluarga (55%) berpengetahuan baik, hanya sebagian kecil kepala keluarga (30%) memiliki sikap baik dan tidak ada (0%) kepala keluarga yang tindakannya masuk kategori baik, sebagian besar (60%) kepala keluarga tindakannya masuk kategori cukup. Sedangkan pada post-test didapatkan sebagian besar kepala keluarga berpengetahuan baik (95%), sebagian besar kepala keluarga memiliki sikap baik (80%) dan sebagian besar kepala keluarga (65%) tindakannya masuk kategori cukup. Data menunjukkan pada kelompok 2, dari 20 responden pada pre-test didapatkan sebagian kepala keluarga (55%) berpengetahuan baik, sebagian besar responden (75%) memiliki sikap cukup baik dan sebagian besar responden (70%) tindakannya masuk kategori baik. Sedangkan pada post-test didapatkan seluruh responden (100%) berpengetahuan baik, sebagian besar responden (85%) memiliki sikap baik, dan sebagian besar responden (65%) yang Tabel 1. Pengetahuan kepala keluarga sebelum dan sesudah diberikan penyuluhan dan konseling kelompok tentang upaya pencegahan DBD. No Kategori Penyuluhan Konseling Kelompok Sebelum Sesudah Sebelum Sesudah Jumlah % Jumlah % Jumlah % Jumlah % 1 Baik 11 55 19 95 11 55 20 100 2 Cukup 9 45 1 5 9 45 0 0 3 Kurang 0 0 0 0 0 0 0 0 Uji statistik Wilcoxon Sign Rank Test p = 0,002 Wilcoxon Sign Rank Test p = 0,001 Mann Whitney Pre-Test p = 1,000 Mann Whitney Post-Test p = 0,317 Efektivitas Konseling Kelompok dalam Perbaikan Tindakan (Mitra Utami Ningsih) 205 tindakannya masuk kategori cukup. Hasil analisis menggunakan wilcoxon signed rank test didapatkan p = 0,002 untuk pengetahuan, p = 0,002 untuk sikap dan p = 0,014 untuk tindakan pada kelompok 1. Hasil ini menunjukkan bahwa penyuluhan berpengaruh terhadap perbaikan pengetahuan, sikap dan tindakan kepala keluarga dalam pencegahan DBD. Hasil analisis wilcoxon signed rank test pada kelompok 2 didapatkan p = 0,001 untuk data pengetahuan, sikap dan tindakan. Hasil ini menunjukkan bahwa konseling kelompok berpengaruh terhadap perbaikan pengetahuan, sikap dan tindakan kepala keluarga dalam pencegahan DBD. Hasil analisis mann whitney u-test data hasil post-test kedua kelompok didapatkan p = 0,317 untuk pengetahuan, p = 0,681 untuk sikap dan p = 0,008 untuk tindakan pencegahan DBD. Hasil ini menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan efektivitas penyuluhan dan konseling kelompok dalam perbaikan pengetahuan dan sikap kepala keluarga tetapi ada perbedaan signifi kan efektivitas kedua metode tersebut terhadap perbaikan tindakan kepala keluarga, di mana konseling kelompok lebih efektif dalam meningkatkan tindakan kepala keluarga dalam melakukan pencegahan DBD. PEMBAHASAN Hasil penelitian didapatkan bahwa pengetahuan, sikap dan tindakan kepala keluarga dalam pencegahan DBD meningkat baik pada kelompok yang diberi penyuluhan maupun yang diberi konseling kelompok. Tidak ada perbedaan signifikan efektivitas kedua metode terhadap perbaikan pengetahuan dan sikap kepala keluarga namun ada perbedaan signifikan efektivitas metode penyuluhan dan konseling kelompok terhadap perbaikan tindakan pencegahan. Peningkatan pengetahuan pada kelompok yang diberi penyuluhan dalam penelitian ini sesuai dengan pendapat Azwar dalam Suryani (2005), yang menyatakan bahwa penyuluhan kesehatan adalah kegiatan yang dilakukan dengan menyebarkan pesan sehingga Tabel 2. Sikap kepala keluarga sebelum dan sesudah diberikan penyuluhan dan konseling kelompok tentang upaya pencegahan DBD No Kategori Penyuluhan Konseling Kelompok Sebelum Sesudah Sebelum Sesudah Jumlah % Jumlah % Jumlah % Jumlah % 1 Baik 6 30 16 80 5 25 17 85 2 Cukup 17 70 4 20 15 75 3 15 3 Kurang 0 0 0 0 0 0 0 0 Uji statistik Wilcoxon Sign Rank Test p = 0,002 Wilcoxon Sign Rank Test p = 0,001 Mann Whitney Pre-Test p = 0,727 Mann Whitney Post-Test p = 0,681 Tabel 3. Tindakan kepala keluarga sebelum dan sesudah diberikan penyuluhan dan konseling kelompok tentang upaya pencegahan DBD No Kategori Penyuluhan Konseling Kelompok Sebelum Sesudah Sebelum Sesudah Jumlah % Jumlah % Jumlah % Jumlah % 1 Baik 0 0 2 10 0 0 7 35 2 Cukup 12 60 13 65 14 70 13 65 3 Kurang 8 40 5 25 6 30 0 0 Uji statistik Wilcoxon Sign Rank Test p = 0,014 Wilcoxon Sign Rank Test p = 0,001 Mann Whitney Pre-Test p = 0,814 Mann Whitney Post-Test p = 0,008 Keterangan: p = signifi kansi, % = persentase Jurnal Ners Vol. 5 No. 2 Oktober 2010: 201–209 206 masyarakat tahu dan mengerti. Melalui penyuluhan, seseorang dapat menerangkan dan menjelaskan suatu ide, pengertian atau pesan lisan kepada sekelompok sasaran sehingga memperoleh informasi tentang kesehatan. Sedangkan peningkatan pengetahuan kepala keluarga yang mendapatkan konseling kelompok dalam penelitian ini sesuai dengan konsep konseling yang diungkapkan oleh Tamsuri (2007) bahwa konseling merupakan kegiatan yang bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan dengan memberi arahan pada klien atau keluarga termasuk membantu mereka menyelesaikan masalahnya. P e n i n g k a t a n p e n g e t a h u a n k e p a l a keluarga pada kedua kelompok perlakuan d a p a t d i s e b a b k a n k a r e n a p e r s e p s i d a n perhatian mereka terhadap informasi yang diberikan pada penyuluhan maupun konseling kelompok. Persepsi tersebut terbentuk dari hasil penginderaan di mana semua responden berada pada rentang usia 25–50 tahun, saat fungsi panca indera masih cukup baik untuk menerima stimulus atau informasi dari luar. Hal ini juga didukung oleh tingkat pendidikan responden, yang walaupun presentasi terbanyak untuk masing-masing tingkat pendidikan adalah SD (32%) namun lebih dari separuh (52%) responden berpendidikan menengah ke atas dan berpendidikan tinggi. Tidak adanya perbedaan efektivitas penyuluhan dengan konseling kelompok terhadap pengetahuan kepala keluarga dapat dipahami karena kedua metode tersebut memang sama-sama merupakan metode pendidikan kesehatan yang dapat meningkatkan pengetahuan seseorang melalui proses belajar. Sebaran responden yang telah diseimbangkan antara kelompok penyuluhan dan kelompok konseling berdasarkan usia dan tingkat pendidikan melalui proses matching juga mengurangi kesenjangan antarkedua kelompok. Hal ini menyebabkan kondisi dan kemampuan responden untuk menyerap informasi dari kedua metode pendidikan kesehatan tersebut relatif sama, sehingga tidak ada perbedaan signifi kan peningkatan pengetahuan setelah diberikan penyuluhan maupun konseling kelompok. Tidak adanya perbedaan efektivitas metode konseling kelompok dan penyuluhan dalam perbaikan sikap kepala keluarga tidak sesuai dengan teori Friedman (1998) yang menyatakan bahwa konseling kelompok lebih banyak terjadi proses belajar afektif (emosional) sehingga lebih mampu memengaruhi sikap atau afektif. Menurut Notoatmodjo (2010), sikap merupakan reaksi atau respons yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau objek, sikap juga merupakan respons tertutup seseorang terhadap stimulus atau objek tertentu yang sudah melibatkan faktor pendapat dan emosi yang bersangkutan. Menurut Anwar (2009), sikap dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu faktor predisposisi, faktor pendukung, dan faktor pendorong. Faktor predisposisi antara lain adalah pengetahuan, kepercayaan, keyakinan, nilai-nilai dan sebagainya. Faktor predisposisi peningkatan sikap kepala keluarga adalah pengetahuan yang juga telah meningkat setelah diberikan penyuluhan maupun konseling kelompok. Kepala keluarga telah mengetahui dan memahami tentang DBD serta pentingnya pencegahan DBD. Perubahan sikap yang terjadi pada kedua kelompok responden juga dapat dipengaruhi oleh faktor pendorong yaitu pemberian pendidikan kesehatan melalui penyuluhan maupun konseling kelompok. Seperti yang telah diketahui bahwa perubahan sikap dapat dilakukan dengan strategi pendidikan. Dengan pemberian informasi-informasi kesehatan akan meningkatkan pengetahuan masyarakat dan menimbulkan kesadaran mereka yang selanjutnya menyebabkan orang bersikap sesuai dengan pengetahuan yang dimilikinya. Penyuluhan dan konseling kelompok yang diberikan tidak hanya bisa dijadikan sebagai media penyampaian informasi tetapi juga bisa membantu responden menyusun rencana dalam membuat keputusan yang tepat sehingga diharapkan berdampak positif bagi responden dalam menumbuhkan sikap yang baik tentang DBD dan pencegahannya. Dari uraian tersebut dapat dipahami mengapa penyuluhan dan konseling kelompok sama- sama dapat meningkatkan sikap responden dan tidak ada perbedaan efektivitas di antara kedua metode tersebut. Metode penyuluhan dan konseling kelompok terbukti sama efektif dalam Efektivitas Konseling Kelompok dalam Perbaikan Tindakan (Mitra Utami Ningsih) 207 meningkatkan pengetahuan dan sikap kepala keluarga dalam penelitian ini namun konseling kelompok lebih efektif dalam meningkatkan tindakan pencegahan DBD. Penyuluhan kesehatan, menurut Azwar dalam Suryani (2005) merupakan kegiatan yang dilakukan dengan manyebarkan pesan sehingga masyarakat tidak saja tahu dan mengerti, tetapi juga mau dan bisa melakukan suatu anjuran yang ada hubungannya dengan kesehatan. Keunggulan dari strategi pembelajaran dengan penyuluhan menggunakan metode ceramah dan tanya jawab yaitu memungkinkan banyak orang yang dapat mendengarkan dan memperoleh pengetahuan. Sedangkan kelemahannya dalam keberhasilan pembelajaran kurang mengikutsertakan peserta untuk aktif, serta perubahan sikap dan perilaku peserta relatif sulit diukur karena yang diinformasikan kepada peserta pada umumnya lebih menyentuh pengetahuan (Sudjana, 2005). Namun demikian, penyuluhan tetap dapat meningkatkan tindakan responden sebagaimana yang telah ditunjukkan dari hasil uji statistik dalam penelitian ini. Breckler dan Wiggins dalam defi nisi mereka mengenai sikap mengatakan bahwa sikap yang diperoleh lewat pengalaman akan menimbulkan pengaruh langsung terhadap tindakan berikutnya. Kondisi apa, waktu apa dan situasi bagaimana saat individu tersebut harus mengekspresikan sikapnya merupakan bagian dari determinan-determinan yang sangat berpengaruh terhadap konsistensi antara sikap dengan pernyataannya dan antara pernyataan sikap dengan tindakannya (Anwar, 2009). Dalam konsep konseling, pemberian konseling bertujuan membantu klien mengenal diri sendiri, menerima diri secara realistis dapat memutuskan pilihan dan rencana yang lebih bijaksana sehingga dapat berkembang secara konstruktif di lingkungannya. Hal ini berarti bahwa individu tidak hanya memperoleh pengetahuan dan sikap dari konselor maupun kelompoknya namun juga dari pengalamannya sendiri yang akan menimbulkan pengaruh langsung terhadap konsistensi terhadap pernyataan sikap dengan tindakannya. Warner dan De Fleur yang dikutip Anwar (2009) menyatakan dalam postulat konsistensinya yang ketiga tentang sikap, hubungan sikap dan tindakan sangat ditentukan oleh faktor-faktor situasional tertentu. Norma- norma peranan, keanggotaan kelompok, kebudayaan dan sebagainya merupakan kondisi ketergantungan yang dapat mengubah hubungan sikap dan tindakan (Anwar, 2009). Berkaitan dengan faktor keanggotaan kelompok yang diungkapkan oleh Warner dan De Fleur, konseling kelompok memberikan kesempatan pada anggota konseling untuk belajar dengan dan dari orang lain untuk mampu memahami pola pikiran dan perilakunya sendiri serta orang lain. Sebuah kelompok merupakan kesempatan untuk mendapatkan dukungan dan memampukan anggotanya untuk mencoba dan berusaha meningkatkan sikap dan tindakannya dalam menghadapi masalah. Kelompok penyuluhan dalam peningkatan tindakan responden dapat dipengaruhi oleh pengetahuan dan sikap mereka yang telah meningkat. Sikap mereka yang baik adalah predisposisi bagi tindakan mereka dalam melakukan tindakan pencegahan DBD dengan baik. Terdapatnya responden yang tindakannya masih kurang dapat disebabkan karena berbagai faktor yang memengaruhi seseorang saat akan mengekspresikan sikapnya. Pada responden yang diberikan konseling kelompok, sikap dan tindakan mereka tidak hanya dipengaruhi oleh pengetahuan dari fasilitator atau konselor tetapi juga oleh dukungan dan alternatif pemecahan masalah yang mereka dapatkan dari anggota kelompok lainnya. Dukungan dari anggota kelompok dapat meningkatkan tindakan pencegahan DBD. Dari uraian tersebut dapat dipahami bagaimana konseling kelompok dapat memengaruhi tindakan responden dengan lebih efektif daripada metode penyuluhan walaupun kedua metode pembelajaran atau pendidikan kesehatan tersebut sama-sama mampu meningkatkan tindakan responden dalam pencegahan DBD di lingkungannya. P e n y u l u h a n d a p a t m e n i n g k a t k a n perilaku kepala keluarga dalam pencegahan DBD. Kepala keluarga yang telah diberikan penyuluhan memiliki perilaku yang baik dalam mencegah DBD. Hal ini terjadi karena terjadi peningkatan pengetahuan, sikap dan tindakan. Hal yang sama terjadi pada kelompok yang diberikan konseling kelompok. Terjadi Jurnal Ners Vol. 5 No. 2 Oktober 2010: 201–209 208 perubahan perilaku kepala keluarga dalam pencegahan DBD di mana kepala keluarga memiliki perilaku yang baik tentang pencegahan DBD. Perbedaan tingkat efektivitas metode penyuluhan dan konseling kelompok terhadap perilaku kepala keluarga dapat terjadi karena perbedaan metode di mana konseling kelompok memungkinkan kepala keluarga mendapat pengetahuan yang lebih spesifi k, mendapat dukungan untuk bersikap positif dari anggota konseling lainnya serta mendapat dukungan atau bantuan dalam melakukan tindakan pencegahan DBD. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Konseling kelompok lebih efektif dari pada penyuluhan dalam perbaikan tindakan kepala keluarga mencegah DBD di lingkunganya. Saran Penulis memberikan saran sebaiknya usaha promotive dan preventive terhadap kejadian DBD dilakukan dengan metode pembelajaran yang lebih efektif untuk meningkatkan tindakan pencegahan DBD seperti konseling kelompok yang dalam penelitian ini terbukti lebih efektif, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang faktor- faktor yang mempengeruhi efektivitas suatu metode pendidikan sehingga dapat diterapkan di lingkungan dengan karakteristik masyarakat tertentu yang sesuai. Berkaitan dengan kelemahan penelitian, maka untuk penelitian selanjutnya sebaiknya menggunakan teknik cluster sampling, dan peneliti diharapkan dapat lebih memahami tentang metode pendidikan kesehatan. KEPUSTAKAAN Anwar, S., 2009. Sikap Manusia, Teori dan Pengukurannya. Jakarta: Pustaka Pelajar. Awaludin, 2010. Penderita DBD di NTB Mencapai 571 Orang, (Online), (http:// www.AntaraMataram.com., Diakses tanggal 14 Oktober 2010, Jam 12.00 WIB). Effendi, F.M., 2009). Keperawatan Kesehatan Komunitas: Teori dan Praktik dalam K e p e r a w a t a n . J a k a r t a : S a l e m b a Medika,. Fathi, Keman, S., Wahyuni, C.U., 2005. Peran Faktor Lingkungan dan Perilaku terhadap Penularan Demam Berdarah Dengue di Kota Mataram. Jurnal Kesehatan Lingkungan. 2 (1), 1–10. Friedman, Marilyn M., 1998. Keperawatan Keluarga Teori dan Praktik. Edisi 3. Jakarta: EGC. Notoatmodjo, 2010. Teori Perilaku Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta. Setyowati, S., Murwani A., 2008. Asuhan Keperawatan Keluarga: Konsep dan Aplikasi Kasus. Yogyakarta: Mitra Cendika Press. Soegijanto, S., 2008. Demam Berdarah Dengue. Edisi 2. Surabaya: Airlangga University Press. Soeroso, S., 2008. Demam Dengue Adalah Penyakit Infeksi oleh Virus yang Sudah Lebih dari 100 Tahun Dikenal di Indonesia, (Online), (http://www.depkes. go.id., diakses tanggal 15 Oktober 2010, jam 12.30 WIB). Sudjana, S., 2005. Metode dan Teknik Pembelajaran Partisipasif. Bandung: Falah Production. Suharto, Agung, Sofi ati, Qomarudin, 2003. Promosi Kesehatan Metode Konseling kelompok dan Curah Pendapat dalam Meningkatkan Pengetahuan, Sikap dan Perilaku Pemberantasan DBD di Puskesmas Sidokerto Kabupaten Magetan. Sains Kesehatan, 16 (3), 465, 477. Sungkar, S., 2007, Pemberantasan Demam Berdarah Dengue: Sebuah Tantangan y a n g H a r u s D i j a w a b . M a j a l a h Kedokteran Indonesia, 57 (6), 167– 170. Suryani, S., 2005. Pendidikan Kesehatan Bagian dari Promosi Kesehatan. Edisi 1. Yogyakarta: Fitramaya. Efektivitas Konseling Kelompok dalam Perbaikan Tindakan (Mitra Utami Ningsih) 209 Taufik, 2007. Peranan Kadar Hematokrit, Jumlah Trombosit dan Serologi IgG – IgM AntiDHF. Jurnal Penyakit Dalam, 8 (2), 105–111. World Health Organization. 2009. Dengue: Guidelines for Diagnosis, Treatment, Prevention and Control, (Online),(http:// www.searo.who.int., diakses tanggal 29 Oktober 2010, Jam 16.00 WIB).