Vol 6 No 1 April 2011_Akreditasi 2013.indd 31 KEPEMIMPINAN EFEKTIF DAN MOTIVASI KERJA DALAM PENERAPAN KOMUNIKASI TERAPEUTIK PERAWAT (Effective Leadership and Work Motivation in the Aplication of Nurse Therapeutic Communication) Farida Stikes Hutama Abdi Husada, Jl. Dr. Wahidin Sudirohusodo No. 1 Tulungagung E-mail: dahliafa@yahoo.com ABSTRACT Introduction: The objective of this study was to identify effective leadership and the work motivation with the implementation of therapeutic communication, Method: Design used in this study was descriptive design of the correlation with the approach cross sectional study. The population of this study was all of the practising nurse in the in-patient (hospitalized) ward at the Dr. Iskak Tulungagung hospital. All datas were taken by using the method of total population of the 98 practising nurses. Result: The result of this study showed that the big proportion of the practising nurses whose ages are less than 30 years old, graduated from Diploma, status are single (unmarried), duration of work was less or same as 6 years, generally never followed a training of communication, whereas effective leadership was in the good category and the category of work motivation wasn’t better. Analysis using chi-square with alpha 0,05 showed that there was relations between the age, old the work, effective leadership and the work motivation and the implementation of therapeutic communication. The marital status and training had not relationship with the implementation of therapeutic communication. Discussion: It is suggested that hospital should encoverage nurse manager to promote therapeutic communication among nurses. Keywords: the effective leadership, work motivation, implementation of therapeutic communication PENDAHULUAN Persaingan jasa pelayanan kesehatan yang semakin ketat dalam era globalisasi ini, perlu upaya peningkatan mutu pelayanan kesehatan dan hal ini tidak dapat ditunda- t u n d a l a g i . P e l a y a n a n k e s e h a t a n y a n g bermutu yang dimaksud adalah pelayanan yang dapat memuaskan setiap pemakai jasa pelayanan kesehatan yang sesuai dengan tingkat kepuasan rata-rata penduduk serta yang penyelenggaraannya sesuai dengan standar dan kode etik profesi yang telah ditetapkan (Azwar, 1996). Mutu Rumah Sakit sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor yang paling dominan mempengaruhi adalah sumber daya manusia. Tenaga kesehatan termasuk fungsi fundamental yang memengaruhi mutu pelayanan kesehatan (Wijono, 2000). Sumber daya manusia yang cukup dengan kualitas yang tinggi, profesional, sesuai dengan fungsi dan tugas setiap personil merupakan salah satu indikator keberhasilan Rumah Sakit yang efektif dan efi sien. Ilyas (2004) menjelaskan bahwa sumber daya manusia merupakan kunci yang sangat penting untuk keberhasilan dan kemajuan organisasi. Sumber daya yang berhubungan langsung dengan manusia dalam pemberian pelayanan kesehatan di rumah sakit yang dimaksud di antaranya adalah tenaga perawat. Sumber daya manusia terbesar dalam pelayanan kesehatan di rumah sakit diduduki oleh tenaga perawat, di mana mereka siap membantu pasien setiap saat dan bekerja selama 24 jam setiap harinya, secara bergilir dan berkesinambungan untuk memberikan asuhan keperawatan yang komprehensif dan profesional (Departemen Kesehatan, 1994). Tenaga perawat memiliki posisi yang cukup menentukan dalam tinggi rendahnya mutu pelayanan kesehatan di rumah sakit, karena merekalah yang sehari-harinya mengadakan Jurnal Ners Vol. 6 No. 1 April 2011: 31–41 32 kontak langsung dan mempunyai waktu terbanyak dalam berinteraksi dengan klien. Peningkatkan kualitas perawat dalam memberikan asuhan keperawatan yang berkualitas kepada klien membutuhkan peran kepemimpinan dalam memengaruhi dan menggerakkan perawat. Seorang pemimpin y a n g e f e k t i f h a r u s d a p a t m e n c i p t a k a n lingkungan kerja yang konduksif bagi staf keperawatan dan mempunyai pengetahuan tentang kepemimpinan dalam keperawatan, kesadaran diri, komunikasi, mobilisasi energi, penentuan tujuan dan tindakan (Tappen, 1998). Kepala ruangan sebagai seorang pemimpin secara langsung dan tidak langsung dapat memengaruhi motivasi dan kinerja bawahan dalam mencapai tujuan keperawatan. Motivasi merupakan salah satu elemen yang ada pada diri seseorang untuk menghasilkan perilaku yang dapat meningkatkan kinerja dengan cara memenuhi kebutuhan. Hal ini sesuai dengan yang dijelaskan oleh As’ad (2003) tentang kebutuhan menimbulkan tingkah laku seseorang. Motivasi kerja perawat merupakan dorongan dari dalam diri perawat untuk mau meningkatkan kinerjanya untuk memenuhi kebutuhannya. Kinerja perawat yang dimaksud adalah kegiatan perawat sesuai dengan tugas yang harus dicapai oleh perawat. Salah satunya adalah kegiatan dalam proses keperawatan, di mana dalam setiap langkah-langkah proses keperawatan, perawat diharapkan dapat menerapkan komunikasi terapeutik agar proses keperawatan dapat berjalan secara optimal. Penerapan komunikasi terapeutik antara perawat - klien merupakan kinerja perawat yang penting untuk dikaji dalam rangka peningkatan mutu pelayanan asuhan keperawatan. Kajian- kajian mengenai komunikasi terapeutik antara perawat – klien dapat memberikan kejelasan tentang faktor-faktor yang berpengaruh terhadap perilaku dan kinerja perawat khususnya dalam pelaksanaan komunikasi terapeutik. Gibson (1997) menjelaskan ada tiga variabel yang berpengaruh terhadap perilaku dan kinerja seseorang yaitu variabel individu, variabel psikologis, dan variabel organisasi. Variabel individu menyangkut kemampuan dan keterampilan, latar belakang, dan demografi s, sedangkan variabel psikologis termasuk persepsi, sikap, kepribadian, dan motivasi, dan variabel organisasi terdiri dari sumber daya, kepemimpinan, imbalan, struktur, dan desain pekerjaan. Dengan demikian karakteristik individu, kepemimpinan kepala ruangan dan motivasi kerja perawat turut berpengaruh terhadap kinerja perawat. Kinerja perawat yang dimaksud di antaranya adalah penerapan komunikasi dalam berhubungan perawat- klien. Rumah Sakit Dr. Iskak Tulungagung terus berusaha meningkatkan mutu pelayanan agar kepuasan pelanggan terpenuhi, karena peningkatan mutu pelayanan adalah tujuan utama Rumah Sakit. Visi Rumah Sakit yaitu terwujudnya pelayanan kesehatan yang bermutu sehingga menjadi idaman pelanggan, dengan motto kepuasan pelanggan dambaanku. Untuk mewujudkan visi tersebut, Rumah Sakit Dr. Iskak Tulungagung menanamkan budaya kerja “Panca Karya Citra Husada” yaitu lima budaya kerja yang di antaranya adalah citra pelayanan, kebersihan lingkungan Rumah Sakit, tertib pelaksanaan pelayanan, keramahan dan ikhlas bekerja. Keramahan yang diperlukan dalam budaya kerja yaitu penampilan yang baik, sopan, murah senyum dan tidak membeda-bedakan. Ikhlas dalam arti terampil, ringan tangan, tanpa pamrih dan penuh tanggung jawab. P e n c a p a i a n B O R R u m a h S a k i t adalah 66,4% (2006), dan 82,75% (2007), dengan kapasitas 178 tempat tidur (Profi l RS Dr. Iskak, 2007). Menurut Wijono (2000), bahwa BOR ideal adalah 60%-85%. Berdasarkan parameter tersebut, BOR Rumah Sakit Dr. Iskak Tulungagung termasuk ideal. Tenaga perawat yang ada di Rumah Sakit sebagian besar berpendidikan DIII keperawatan yaitu sebesar 70% dan sisanya SPK, jumlah tenaga kontrak ± 40%. Berdasarkan pengamatan peneliti, dari jumlah tersebut masih ada perawat yang belum menggunakan teknik komunikasi terapeutik, hubungan perawat-pasien hanya bersifat melaksanakan tanggung jawab sebagai perawat, bahkan kadang disertai sikap yang kurang bersahabat pada saat merawat pasien. Hasil wawancara peneliti tanggal 8 Pebruari 2008 dengan kepala bidang Kepemimpinan Efektif dan Motivasi Kerja (Farida) 33 keperawatan bahwa jabatan kepala ruangan diberikan pada mereka yang telah memasuki masa kerja tertentu, mempunyai kemampuan dalam kepemimpinan, dan berlatar belakang pendidikan Akper. Peran kepala ruangan sebagai penggerak perawat diharapkan dapat secara optimal mengarahkan bawahan dalam meningkatkan kinerjanya, serta supervisi dapat dilaksanakan secara teratur terhadap perawat pelaksana sehingga motivasi kerja perawat meningkat. Penghargaan juga diberikan kepada perawat yang berprestasi baik, kebijakan rumah sakit terhadap perawat Pegawai Negeri Sipil dan perawat kontrak dalam kegiatan dan berprestasi adalah sama dan perawat diberikan kebebasan untuk mengeluarkan pendapat dalam rangka peningkatan kinerja, dengan demikian kinerja perawat diharapkan akan menjadi baik, termasuk penerapan komunikasi terapeutik. Data awal melalui wawancara terhadap tiga orang perawat dari 7 ruang rawat inap, mereka mengatakan masih belum merasakan manfaat pengarahan dan bimbingan kepala ruangan terhadap penerapan komunikasi t e r a p e u t i k , s e h i n g g a p e r a w a t k u r a n g termotivasi untuk menerapkan komunikasi terapeutik. Kondisi ini dapat mengakibatkan perawat kurang termotivasi untuk menerapkan komunikasi terapeutik, sehingga sering muncul keluhan pasien tentang pelayanan perawat yang kurang ramah. Sampai dengan saat ini belum ada p e n e l i t i a n t e n t a n g f a k t o r- f a k t o r y a n g memengaruhi kinerja perawat bahkan belum ada juga hasil penelitian tentang penerapan komunikasi terapeutik di ruang rawat inap RS Dr. Iskak Tulungagung. Selain itu Rumah Sakit tersebut merupakan satu-satunya rumah sakit pemerintah di Tulungagung, dengan tipe B maka keberadaannya difungsikan sebagai rujukan dari Rumah Sakit yang berada di wilayah tersebut. Melihat pentingnya komunikasi terapeutik dan berdasarkan keluhan yang ada tersebut, maka perlu kiranya melakukan penelitian mengenai penerapan komunikasi terapeutik perawat sehingga dapat diketahui hubungan kepemimpinan efektif kepala ruangan dan motivasi kerja perawat terhadap penerapan komunikasi terapeutik dalam asuhan keperawatan di ruang rawat inap Rumah Sakit Dr. Iskak Tulungagung. BAHAN DAN METODE T u j u a n p e n e l i t i a n i n i u n t u k m e n g i d e n t i f i k a s i h u b u n g a n a n t a r a kepemimpinan efektif dan motivasi kerja dengan penerapan komunikasi terapeutik p e r a w a t p e l a k s a n a d i R u m a h S a k i t Dr. Iskak Tulungagung. Desain yang digunakan adalah deskriptif korelasi dengan pendekatan c ro s s - s e c t i o n a l . Va r i a b e l y a n g d i u k u r adalah karakteristik perawat meliputi umur, pendidikan, status perkawinan, lama kerja, pelatihan komunikasi, kepemimpinan efektif dilihat dari persepsi perawat pelaksana, dan motivasi kerja perawat pelaksana. Penelitian dilakukan di 7 ruang rawat inap Rumah Sakit Dr. Iskak Tulungagung pada total sampel berjumlah 98 perawat pelaksana. Data dikumpulkan dengan menggunakan kuesioner. Pengumpulan data dilakukan peneliti dan dibantu 7 perawat pembimbing klinik. Uji validitas instrumen kepemimpinan efektif didapatkan 1 pernyataan yang nilai r < 0,361 dengan Alpha Cronbach 0,95, motivasi kerja 1 pernyataan nilai r < 0,361 dengan Alpha Cronbach 0,9297, dan penerapan komunikasi terapeutik 3 pernyataan yang nilai r < 0,361 dengan Alpha Cronbach 0,9445. Analisa data yang digunakan dalam penelitian ini adalah univariat menggunakan distribusi frekuensi, bivariat menggunakan Chi Square dan multivariat menggunakan regresi logistik ganda model prediksi. HASIL Hasil pengumpulan data pada 98 perawat pelaksana yang ada di 7 ruang rawat inap Rumah Sakit Dr. Iskak Tulungagung didapatkan hasil bahwa perawat berumur < 30 tahun sebesar 52%, berlatar belakang pendidikan Akper sebanyak 73,5%, dan yang sudah kawin sebanyak 80,6%. Lama kerja perawat pelaksana yang ≤ 6 tahun sebesar 52,2%, dan yang tidak pernah mengikuti pelatihan komunikasi sebesar 95,9%. Penerapan komunikasi terapeutik Jurnal Ners Vol. 6 No. 1 April 2011: 31–41 34 perawat pelaksana dalam kategori baik mencapai 55,1%, kepemimpinan efektif kepala ruangan yang dipersepsikan perawat pelaksana dalam kategori baik yaitu 51%, dan motivasi kerja perawat pelaksana dalam kategori baik hanya mencapai 46,9%. Ada hubungan yang bermakna antara umur perawat dengan penerapan komunikasi terapeutik (p = 0,003). Dari nilai OR dapat disimpulkan bahwa perawat yang berumur < 30 tahun berpeluang 6,5 kali untuk menerapkan komunikasi terapeutik baik dibandingkan perawat yang berumur > 40 tahun, dan perawat yang berumur 30–40 tahun berpeluang 3,3 untuk menerapkan komunikasi terapeutik baik dibandingkan perawat yang berumur > 40 tahun. Tidak ada hubungan yang bermakna antara tingkat pendidikan dengan penerapan komunikasi terapeutik (p = 0,401). Tidak ada hubungan yang bermakna antara status perkawinan dengan penerapan komunikasi terapeutik (p = 0,119). Ada hubungan yang bermakna antara lama kerja dengan penerapan komunikasi terapeutik (p = 0,028). Tidak ada hubungan yang bermakna antara pelatihan dengan penerapan komunikasi terapeutik (p = 1,00). Ada hubungan yang bermakna antara kepemimpinan efektif kepala ruangan yang dipersepsikan perawat pelaksana dengan penerapan komunikasi terapeutik perawat pelaksana (p = 0,016). Nilai OR dapat disimpulkan bahwa perawat pelaksana yang Tabel 1. Hubungan karakteristik perawat dengan penerapan komunikasi terapeutik Karakteristik perawat Penerapan komunikasi terapeutik P Value OR/CI 95% Umur: > 40 tahun 30–40 tahun < 30 tahun 15 (75%) 13 (48,1%) 16 (31,4%) 5 (25%) 14 (51,9%) 35 (68,6%) 0,003* 1 3,231 (0,914–11,420) 6,562 (2,032–21,193) Pendidikan: SPK Akper 14 (53,8%) 30 (41,7%) 12 (46,2%) 42 (58,3%) 0,401 1 1,633 (0,663–4,026) Status perkawinan Belum kawin Kawin 5 (26,3%) 39 (49,4%) 14 (73,7%) 40 (50,6%) 0,119 1 0,366 (0,120–1,114) Lama kerja: > 6 tahun ≤ 6 tahun 27 (57,4%) 17 (33,3%) 20 (42,6%) 34 (66,7%) 0,028* 1 2,700 (1,189–6,134) Pelatihan: Tidak pernah Pernah 42 (44,7%) 2 (50%) 52 (55,3%) 2 (50%) 1,000 1 0,808 (0,109–5,978) Kepemimpinan Efektif dan Motivasi Kerja (Farida) 35 Tabel 2. Hubungan kepemimpinan efektif kepala ruangan yang dipersepsikan perawat pelaksana dengan penerapan komunikasi terapeutik Kepemimpinan efektif Penerapan komunikasi terapeutik P Value OR/CI 95% Kurang Baik Kepemimpinan efektif Kurang Baik 28 (58,3%) 16 (32%) 20 (41,7%) 34 (68%) 0,016* 1 2,975 (1,302–6,796) Pengetahuan Kurang Baik 28 (51,9%) 16 (36,4) 26 (48,1) 28 (63,6%) 0,184 1 1,885 (0,835–4,252) Kesadaran diri Kurang Baik 29 (48,3%) 15 (39,5%) 31 (51,7%) 23 (60%) 0,515 1 1,434 (0,629–3,271) Komunikasi Kurang Baik 28 (54,9%) 16 (34%) 23 (45,1%) 31 (66%) 0,061 1 2,359 (1,041–5,342) Mobilisasi energi Kurang Baik 24 (54,5%) 20 (37%) 20 (45,5%) 34 (63%) 0,126 1 2,040 (0,907–4,589) Tujuan Kurang Baik 24 (61,5%) 20 (33,9%) 15 (38,5%) 39 (66,1%) 0,013* 1 3,120(1,346–7,232) Tindakan Kurang Baik 28 (50%) 16 (38,1%) 28 (50%) 26 (61,9%) 0,333 1 1,625(0,720–3,667) Tabel 3. Hubungan motivasi kerja dengan penerapan komunikasi terapeutik perawat pelaksana Motivasi kerja Penerapan komunikasi terapeutik P. Value OR/CI 95% Kurang Baik Motivasi kerja: Kurang Baik 33 (63,5%) 11 (23,9%) 19 (36,5%) 35 (76,1%) 0,000* 1 5,526 (2,288–13,347) Kebutuhan berprestasi: Kurang Baik 29 (53,7%) 15 (34,1%) 25 (46,3%) 29 (65,9%) 0,082 1 2,234 (0,986–5,099) Kebutuhan kekuasaan: Kurang Baik 33 (61,1%) 11 (25%) 21 (38,9%) 33 (75%) 0,001* 1 4,714 (1,966–11,305) Kebutuhan afi liasi Kurang Baik 34 (63%) 10 (22,7%) 20 (37%) 34 (77,3%) 0,000* 1 5,78 (2,36–14,155) mempersepsikan kepemimpinan efektif kepala ruangan baik akan mempunyai peluang sebesar 2,9 kali menerapkan komunikasi terapeutik baik dibanding dengan perawat pelaksana yang mempersepsikan kepemimpinan efektif kepala ruangan kurang baik. Apabila ditelusuri hubungan setiap komponen, hanya ada 1 komponen yaitu penetapan tujuan yang berhubungan dengan penerapan komunikasi terapeutik perawat pelaksana. Jurnal Ners Vol. 6 No. 1 April 2011: 31–41 36 Hasil analisis variabel motivasi kerja perawat pelaksana dan komponen yang terdiri dari kebutuhan akan berprestasi, kebutuhan akan kekuasaan, dan kebutuhan akan afi liasi dengan penerapan komunikasi terapeutik. Ada hubungan yang bermakna antara motivasi kerja perawat pelaksana dengan penerapan komunikasi terapeutik perawat pelaksana (p = 0,000). Dari nilai OR dapat disimpulkan bahwa perawat pelaksana yang mempunyai motivasi kerja baik, akan mempunyai peluang sebesar 5,5 kali menerapkan komunikasi terapeutik baik dibanding dengan perawat yang mempunyai motivasi kerja kurang. Apabila ditelusuri secara rinci hubungan dari masing- masing komponen motivasi kerja perawat pelaksana dapat dijelaskan bahwa hanya kebutuhan akan kekuasaan dan kebutuhan akan afi liasi yang berhubungan dengan penerapan komunikasi terapeutik perawat pelaksana. Analisis regresi logistik ganda sebanyak 5 variabel yaitu kepemimpinan efektif, motivasi kerja, umur, status perkawinan, dan lama kerja diuji secara bersama-sama untuk mendapatkan variabel yang paling berhubungan dengan penerapan komunikasi terapeutik. Hasil analisis regresi logistik ganda tahap akhir menunjukkan bahwa umur memiliki nilai OR lebih besar dibanding dengan motivasi kerja. Kesimpulannya variabel umur merupakan variabel yang paling dominan berhubungan dengan penerapan komunikasi terapeutik perawat pelaksana. PEMBAHASAN Hasil penelitian menggambarkan bahwa penerapan komunikasi terapeutik perawat pelaksana di ruang rawat inap Rumah Sakit Dr. Iskak Tulungagung secara keseluruhan masuk kategori baik karena diatas rata-rata yaitu sebesar 55,1%, sedangkan kategori kurang baik sebesar 44,9%. Penyebab dari belum optimalnya penerapan komunikasi terapeutik tersebut ada beberapa faktor yang mempengaruhi antara lain selama ini Rumah Sakit belum pernah melakukan pelatihan tentang komunikasi terapeutik terhadap perawat, sehingga perawat menerapkan komunikasi terapeutik berdasarkan ilmu yang diperoleh dari bangku sekolah. Notoatmodjo (2003) mengatakan bahwa untuk meningkatkan kemampuan seseorang perlu dilakukan pelatihan, dan ditambahkan Triton (2005) bahwa untuk meningkatkan kemampuan dan keterampilan diperlukan pelatihan. Pendapat ini telah dibuktikan dari hasil penelitian Bhakti (2003) bahwa pelatihan komunikasi menyimpulkan bahwa perawat yang telah mendapat pelatihan melaksanakan fase-fase komunikasi hubungan terapeutik lebih baik dari perawat yang belum pernah mengikuti pelatihan. Dengan demikian peneliti yakin bahwa apabila dilakukan pelatihan komunikasi akan meningkatkan kemampuan penerapan komunikasi terapeutik perawat pelaksana. Hal ini dapat menyebabkan belum bisa optimalnya penerapan komunikasi terapeutik. Berdasarkan hasil observasi penerapan komunikasi terapeutik terhadap 15 perawat pelaksana juga menunjukkan belum sesuai dengan standar. Sebagian besar perawat pada fase orientasi dan fase terminasi sudah menggunakan komunikasi dengan baik, tetapi sebagian besar pada fase kerja perawat tidak menjelaskan langkah-langkah pada saat melakukan tindakan keperawatan, mereka hanya menjelaskan maksud dilakukan Tabel 4. Analisis regresi logistik ganda tahap akhir terhadap karakteristik perawat, kepemimpinan efektif yang dipersepsikan perawat pelaksana, dan motivasi kerja perawat pelaksana Variabel B P wald OR CI 95% Umur (1) Umur (2) Motivasi kerja 0,993 1,596 1,533 0,146 0,012* 0,001* 2,700 4,934 4,634 0,707–10,313 1,427–17,059 1,856–11,573 -2 Log likehood = 111,833 G = 23,002 p = 0,000 Kepemimpinan Efektif dan Motivasi Kerja (Farida) 37 tindakan. Menurut hasil wawancara beberapa kepala ruang rawat inap bahwa perawat belum optimal dalam implementasi standar asuhan keperawatan (SAK) dan tidak menggunakan strategi penerapan komunikasi terapeutik (SP). Selain itu belum adanya penghargaan khusus dari Rumah Sakit bagi perawat yang menerapkan komunikasi terapeutik dengan baik sehingga menyebabkan kurang optimalnya penerapan komunikasi terapeutik. Untuk meningkatkan penerapan komunikasi terapeutik perlu pihak Rumah Sakit melakukan penilaian kinerja dan melakukan pelatihan komunikasi, serta usaha peningkatan motivasi kerja. Kepemimpinan efektif kepala ruangan yang dipersepsikan perawat pelaksana berhubungan dengan penerapan komunikasi terapeutik perawat pelaksana. Hubungan yang bermakna ini kemungkinan disebabkan karena di Rumah Sakit Dr. Iskak Tulungagung sudah menempatkan kepala ruangan berdasarkan kemampuan atau perawat senior dengan latar belakang pendidikan Akper, sehingga kemampuan manajerial sudah dimiliki mereka. Mereka mempunyai power dan mampu memengaruhi bawahan dalam bekerja. Hal ini sejalan dengan teori Tappen (1995) bahwa pemimpin yang efektif adalah seseorang yang berhasil memengaruhi orang lain untuk bekerja sama dalam keadaan produktif dan keadaan yang memuaskan, serta teori Gibson (1997) mengatakan bahwa salah satu faktor yang memengaruhi kinerja individu dalam organisasi adalah kepemimpinan. Ini artinya jika pemimpin efektif dalam memimpin maka akan memberi dampak positif terhadap kinerja perawat, dan sebaliknya apabila pemimpin tidak efektif akan memberikan dampak yang negatif terhadap kinerja perawat. Kualitas kepemimpinan kepala ruangan mempunyai hubungan dengan kualitas perawat dalam penerapan komunikasi terapeutik. Kepemimpinan yang efektif akan menciptakan suasana kerja yang nyaman bagi perawat pelaksana sehingga perawat pelaksana akan menyadari dan mau meningkatkan kemampuan penerapan komunikasi terapeutik dalam asuhan keperawatan. Bila dilihat dari masing-masing komponen kepemimpinan efektif, proporsi terbesar penerapan komunikasi terapeutik dalam kategori baik, sedangkan dari hasil uji bivariat hanya ada 1 komponen saja yang berhubungan dengan penerapan komunikasi terapeutik yaitu komponen penetapan tujuan di mana diperoleh nilai p = 0,013. Berdasarkan observasi masih ada kepala ruangan yang tidak fl eksibel serta tidak selalu menerima usulan bawahan tersebut. Hal ini perlu menjadi bahan pemikiran bagi pengelola Rumah Sakit terutama bidang keperawatan guna meningkatkan kemampuan kepala ruangan dalam kepemimpinan melalui pendidikan berkelanjutan secara formal atau melalui pelatihan-pelatihan yang terkait dengan kepemimpinan efektif sehingga kemampuan kepemimpinan kepala ruangan dapat ditingkatkan. Selain itu hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan kepala bidang keperawatan dalam menetapkan dan memilih kepala ruangan selanjutnya. Motivasi kerja perawat pelaksana berhubungan dengan penerapan komunikasi terapeutik perawat pelaksana. Hasil penelitian ini sejalan dengan teori McClelland bahwa timbulnya motivasi untuk berperilaku karena dipengaruhi oleh kebutuhan-kebutuhan yang ada dalam diri manusia. Hal ini mungkin dikarenakan sebagian besar perawat mempunyai masa kerja ≤ 6 tahun dan masih dalam rentang usia produktif yaitu umur ≤ 40 tahun, memiliki semangat cukup tinggi untuk berkompetensi dan bekerja lebih baik dari orang lain, sehingga mereka lebih inovatif dan kreatif dalam menerapkan komunikasi terapeutik (kebutuhan akan berprestasi). Masih banyaknya perawat dengan status kepegawaian kontrak (± 40%) mendorong mereka untuk bekerja lebih baik dan berjuang demi persahabatan dalam situasi yang kooperatif agar dapat diterima dalam kelompok (kebutuhan akan afi liasi), serta berjuang agar mendapat wewenang untuk mandiri, dan dihargai orang lain (kebutuhan akan kekuasaan). Data tersebut di atas juga dapat dijadikan masukan bagi institusi pelayanan kesehatan terhadap mutu pelayanan kesehatan yang diupayakan saat ini. Artinya bahwa dengan sistem pegawai kontrak cenderung meningkatkan motivasi dan kinerja perawat pelaksana. Hal tersebut meningkatkan keyakinan penulis tentang hubungan yang bermakna antara prosentase Jurnal Ners Vol. 6 No. 1 April 2011: 31–41 38 pegawai kontrak dengan kinerja perawat pelaksana, khususnya yang berkaitan dengan penerapan komunikasi terapeutik. Keyakinan ini didasari adanya peraturan penerimaan dan perpanjangan perawat kontrak berdasarkan keputusan Direktur Rumah Sakit Dr. Iskak Tulungagung tentang penerimaan pegawai kontrak. Masa kerja kontrak adalah selama 1 tahun, kemudian apabila kinerjanya baik maka bisa diperpanjang setiap satu tahun sekali. Selain itu perawat yang diangkat menjadi pegawai negeri sipil diutamakan pegawai kontrak. Hal ini mendorong motivasi kerja perawat termasuk motivasi dalam penerapan komunikasi terapeutik. Kinerja yang lebih baik pada pegawai kontrak dengan pegawai negeri sipil, dapat dijadikan bahan pertimbangan Rumah Sakit untuk mempertahankan sistem kontrak yang ada bahkan bila memungkinkan, jumlah tenaga kontrak dapat ditingkatkan lagi. Masih rendahnya prosentase motivasi kerja yang baik (46,9%) dan kebutuhan berprestasi yang tidak signifikan, dapat memberikan dampak penerapan komunikasi terapeutik belum bisa optimal. Penerapan komunikasi terapeutik yang tidak optimal akan memberikan dampak terhadap mutu asuhan keperawatan, karena komunikasi terapeutik dapat digunakan sebagai salah satu indikator mutu pelayanan keperawatan. Hal ini dapat menjadikan bahan pikiran dari pimpinan Rumah Sakit terutama bidang keperawatan, untuk mencari penyebab serta solusi dalam rangka meningkatkan motivasi kerja perawat pelaksana. Umur perawat berhubungan dengan p e n e r a p a n k o m u n i k a s i t e r a p e u t i k , a d a k e c e n d e r u n g a n p e n e r a p a n k o m u n i k a s i terapeutik dengan baik pada umur muda, sedangkan perawat berumur tua cenderung menerapkan komunikasi terapeutik kurang baik. Hal ini kemungkinan disebabkan karena perawat yang berumur muda baru menyelesaikan sekolah sehingga masih segar dalam ingatan tentang penerapan komunikasi terapeutik yang baik, sedangkan pada umur tua semakin menurun karena tidak ada pendidikan berkelanjutan. Bila dilihat dari uji regresi logistik ganda ternyata variabel umur merupakan variabel yang paling dominan berhubungan dengan penerapan komunikasi terapeutik. Keadaan ini menunjukkan bahwa komunikasi terapeutik sangat dipengaruhi oleh umur perawat pelaksana. Jumlah perawat pelaksana di Rumah Sakit Dr. Iskak Tulungagung lebih banyak umur produktif yaitu sampai umur 40 tahun. Secara teori, semakin bertambah umur akan semakin terampil dan akan semakin matang emosinya karena banyak pengalaman yang diperoleh, tetapi bila dilihat dari potensi/ kemauan, umur muda lebih berpotensi karena mempunyai fi sik yang kuat. Umur muda lebih ideal sehingga ingin selalu menampilkan jati dirinya, selain itu lebih inovatif dan kreatif sehingga mempunyai kemampuan lebih baik dalam berkomunikasi terapeutik dibanding umur tua. Berdasarkan hal tersebut, peneliti sependapat dengan teori Sarwono(2000) yang mengatakan usia produktif maksimal umur 40 tahun lebih mampu berkinerja dalam ilmu pengetahuan dan kesenian, karena kreatifitasnya lebih tinggi dibanding umur diatas 40 tahun. Juga teori Robbin (2003) yang mengatakan bahwa semakin bertambah umur kemampuan dan motivasi kerja akan menurun, sebaliknya semakin muda umur seseorang maka akan semakin kreatif dan inovatif. Dalam berinteraksi dengan pasien, perawat membutuhkan pengetahuan, ketrampilan, dan kreatifi tas agar komunikasi terapeutik berjalan dengan baik. Pendidikan tidak berhubungan dengan penerapan komunikasi terapeutik. Menurut Green (1980) bahwa pendidikan merupakan faktor penentu terhadap perilaku kerja seseorang. Pendidikan sangat penting dalam menentukan kemampuan maupun ketrampilan, karena semakin tinggi pendidikan akan semakin kritis, logis dan sistematis cara berpikirnya (Notoatmodjo, 2003). Tidak ada hubungan dalam penelitian ini dimungkinkan karena uraian tugas dan tanggung jawab perawat pelaksana di ruang rawat inap Rumah Sakit Dr. Iskak Tulungagung antara perawat yang berpendidikan Akper dan SPK tidak ada perbedaan, termasuk penerapan komunikasi terapeutik dalam asuhan keperawatan, sehingga tidak ada motivasi untuk lebih meningkatkan komunikasi terapeutik pada perawat yang mempunyai latar belakang pendidikan Akper. Selain itu faktor lain yang dimungkinkan memengaruhi hasil analisis Kepemimpinan Efektif dan Motivasi Kerja (Farida) 39 tersebut karena perawat di Rumah Sakit tersebut belum optimal dalam implementasi standar asuhan keperawatan (SAK) dan tidak menggunakan strategi penerapan komunikasi terapeutik (SP). Meskipun sebagian besar pendidikan Akper, tidak akan memberikan arti yang bermakna terhadap peningkatan penerapan komunikasi terapeutik jika pelaksanaan asuhan keperawatan tidak berdasarkan standar. Penghargaan juga dapat meningkatkan kinerja perawat, dengan tidak adanya penghargaan bagi perawat yang baik dalam menerapkan komunikasi terapeutik di Rumah Sakit tersebut dapat menyebabkan menurunnya motivasi, sehingga meskipun pendidikannya Akper tidak ada motivasi untuk lebih meningkatkan penerapan komunikasi terapeutik. Status perkawinan tidak berhubungan dengan penerapan komunikasi terapeutik. Menurut Robbins (2003) bahwa karyawan yang telah menikah sedikit absensi karena perkawinan memaksakan peningkatan tanggung jawab yang membuat suatu pekerjaan menjadi lebih berharga dan penting. Ditambahkan Siagian (1999) bahwa karyawan yang telah menikah memiliki motivasi kerja yang tinggi dibanding yang belum menikah. Menurut kedua teori tersebut seharusnya perawat yang sudah menikah cenderung lebih baik penerapan komunikasi terapeutiknya, karena perawat mempunyai harapan dan motivasi yang tinggi. Dalam penelitian ini tidak ditemukan hubungan status perkawinan dengan penerapan komunikasi terapeutik, hal ini mungkin disebabkan oleh karena perawat pelaksana yang telah kawin sebagian mempunyai masa kerja > 6 tahun. Pada masa kerja tersebut perawat cenderung menurun motivasi kerjanya seperti yang dikemukakan Martoyo (1998) bahwa semakin lama kerja makin mundur motivasi kerja, karena tidak ada tantangan dalam pekerjaannya. Hal lain yang menjadi penyebab tidak signifi kan hasil analisis ini mungkin dikarenakan budaya komunikasi yang kurang baik dalam keluarga yang sudah melekat pada diri perawat. Karena sudah menjadi kebiasaan di rumah, maka dibawa dalam bekerja, sehingga komunikasi dengan pasien menjadi tidak terapeutik. Beban kerja yang terlalu banyak dapat menjadi penyebab kurang optimalnya penerapan komunikasi terapeutik. Perawat yang telah menikah akan membagi tenaga dan pikirannya dalam pekerjaan dan tanggung jawab dalam keluarga, perhatian banyak di keluarga sehingga tidak mudah untuk berkomunikasi secara terapeutik. L a m a k e r j a b e r h u b u n g a n d e n g a n penerapan komunikasi terapeutik. Ada k e c e n d e r u n g a n p e n e r a p a n k o m u n i k a s i terapeutik yang baik pada lama kerja ≤ 6 tahun. Penelitian ini didukung teori Martoyo (1998) mengatakan bahwa semakin lama kerja makin mundur motivasi kerja, karena tidak ada tantangan dalam pekerjaannya. Tetapi teori Robbins (2003) mengatakan bahwa semakin lama masa kerja maka karyawan akan menghasilkan produktivitas yang tinggi. Lama kerja menentukan seseorang menjalankan fungsinya sehari-hari, makin lama masa kerja perawat maka makin terampil dan berpengalaman menghadapi masalah dalam melaksanakan tugas. Hal ini dapat dipahami peneliti bahwa secara tehnik semakin lama seseorang bekerja akan semakin meningkat keterampilan dan pengalamannya dan akan menghasilkan produktivitas tinggi. Tetapi penerapan komunikasi terapeutik bukan keterampilan secara teknikal yang dibutuhkan, melainkan perlu kemampuan hubungan interpersonal. Untuk mampu berhubungan secara baik dengan pasien diperlukan kemampuan hubungan interpersonal dan ini dapat dilakukan dengan kreativitas seseorang. Bila dikaitkan dengan lama kerja, maka lama kerja ≤ 6 tahun terbanyak adalah perawat pelaksana dengan status kepegawaian kontrak dan umur < 40 tahun, mereka mempunyai kreativitas tinggi, lebih inovatif, ingin menunjukkan kemampuannya sehingga komunikasi dapat lebih baik. Pelatihan tidak berhubungan dengan penerapan komunikasi terapeutik. Menurut N o t o a t m o d j o ( 2 0 0 3 ) b a h w a p e l a t i h a n merupakan bagian dari proses pendidikan untuk memperoleh pengetahuan dan keterampilan dan pendapat Triton (2005) bahwa pelatihan bertujuan memperbaiki penguasaan berbagai keterampilan dan tehnik pelaksanaan kerja. Program pelatihan sebaiknya diberikan baik pada pegawai baru maupun yang telah ada untuk Jurnal Ners Vol. 6 No. 1 April 2011: 31–41 40 menghadapi situasi-situasi yang berubah. Salah satu faktor penyebab tidak ada hubungan yang paling memengaruhi adalah jumlah perawat pelaksana yang telah mengikuti pelatihan hanya 4 orang dari keseluruhan 98 orang. Dengan jumlah yang sangat sedikit tersebut bila analisis secara statistik hasilnya akan bias dan tidak dapat memberikan arti yang bermakna. Faktor lain adalah mengenai metode pelatihan komunikasi yang cenderung lebih banyak mengulas tentang teori dan konsep komunikasi terapeutik dan tidak ditekankan pada praktik. Kualitas pelatihan juga memengaruhi perawat yang mengikuti pelatihan komunikasi, pelatihan yang kurang maksimal akan menghasilkan penerapan komunikasi kurang memadai. Selain faktor tersebut adalah mengenai waktu pelaksanaan pelatihan yang pernah diikuti oleh perawat pelaksana sudah lebih dari 2 tahun. Artinya hasil pelatihan yang terlalu lama dan tidak segera diimplementasikan akan memberikan dampak yang tidak optimal, apalagi tidak dilakukan supervisi. Evaluasi kegiatan pelatihan komunikasi terapeutik juga merupakan faktor yang mempengaruhi, karena kegiatan pelatihan yang tidak diikuti dengan evaluasi cenderung kurang memberikan hasil yang optimal. Budaya juga memengaruhi hasil pelatihan, artinya meskipun sudah ikut pelatihan komunikasi tetapi budaya komunikasi yang ada di Rumah Sakit tersebut kurang baik sehingga memberikan dampak kurang optimal mengimplementasikan hasil pelatihan. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Perawat pelaksana terbanyak umur < 30 tahun, pendidikan terbanyak Akper, pada umumnya belum kawin, dan lama kerja terbanyak ≤ 6 tahun, dan hampir seluruh perawat pelaksana tidak pernah mengikuti pelatihan, kepemimpinan efektif kepala ruangan yang dipersepsikan perawat pelaksana menunjukkan sebagian besar dalam kategori baik, motivasi kerja perawat pelaksana sebagian besar dalam kategori kurang baik, penerapan komunikasi terapeutik perawat pelaksana sudah relatif baik. Karakteristik perawat (umur, lama kerja), kepemimpinan efektif, motivasi kerja berhubungan dengan penerapan komunikasi terapeutik perawat pelaksana. Umur merupakan variabel paling dominan berhubungan dengan penerapan komunikasi terapeutik perawat pelaksana. Saran Disarankan kepada pihak Rumah Sakit terutama manajer keperawatan untuk menggunakan hasil penelitian ini sebagai bahan pertimbangan dalam menyusun program pelatihan komunikasi terutama perawat umur produktif, meningkatkan kemampuan kepala ruangan melalui pendidikan berkelanjutan dan pelatihan kepemimpinan, serta dalam memilih kepala ruangan selanjutnya. Perlu m e n i n g k a t k a n m o t i v a s i k e r j a d e n g a n memberikan reward kepada perawat berprestasi baik dan mempertahankan sistem kontrak, serta mengevaluasi penerapan komunikasi terapeutik secara berkesinambungan. KEPUSTAKAAN As’ad, M., 2003. Psikologi Industri. Yogyakarta: Liberty. Azwar, A., 1996. Pengantar Administrasi Kesehatan Masyarakat Edisi Ketiga. Jakarta: Binarupa Aksara. Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1994. Pedoman Uraian Tugas Tenaga Kesehatan di Rumah Sakit. Jakarta. Ilyas, Y., 2004. Perencanaan SDM Rumah Sakit: Teori, Metoda dan Formula. Jakarta: Pusat kajian ekonomi kesehatan, FKM UI. Gibson, L., et al., 1997. Organisasi, Perilaku, Struktur, Proses. Editor: Agus Dharma. Jakarta: Binarupa Aksara, Green, L., 1980. Health Education Planning. B o s t o n : M y f i e l d P u b l i s h i n g C o , Johnhopkins Univ. Boston. Manurung, S., 2003. Hubungan Karakteristik Individu Perawat dan Organisasi dengan Penerapan Komunikasi Ierapeutik di Ruang rawat inap perjan Rumah sakit persahabatan Jakarta, 2003. Tesis tidak dipublikasikan. Jakarta: Program Pascasarjana FIK UI. Martoyo, S., 1998. Manajemen Sumber Daya Manusia, Yogyakarta: BPFE Yogyakarta. Kepemimpinan Efektif dan Motivasi Kerja (Farida) 41 Notoatmodjo, S., 2003. Pendidikan dan Perilaku kesehatan. Jakarta: Penerbit Rineka Cipta. Robbins, S.P., 2003. Perilaku Organisasi. J a k a r t a : P T I n d e k s k e l o m p o k gramedia. Sarwono, S.W., 2000. Pengantar Umum Psikologi. Jakarta: PT. Bulan Bintang. Siagian, 1999. Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta Bumi: Aksara. Tappen, 1998. Essential of Nursing Leadership a n d M a n a g e m e n t . P h i l a d e l p h i a : FA. Davis Company. Triton, P.B., 2005. Paradigma Baru Manajemen Sumber Daya Manusia; Kunci Sukses Meningkatkan Kinerja, Produktivitas, M o t i v a s i d a n K e p u a s a n K e r j a . Yogyakarta: Tugu. Wijono, J., 2000. Manajemen Mutu Pelayanan K e s e h a t a n C e t a k a n 2 . S u r a b a y a : Airlangga University Press.