Vol 6 No 1 April 2011_Akreditasi 2013.indd 58 ANALISIS FAKTOR PEMANFAATAN VCT PADA ORANG RISIKO TINGGI HIV/AIDS (Analysis Factor Related to VCT Utilization for the High Risk Person of HIV/AIDS) Purwaningsih*, Misutarno**, Siti Nur Imamah* * Fakultas Keperawatan Universitas Airlangga, Kampus C Mulyorejo Surabaya E-mail: purwaningsih_ners@unair.ac.id ** RSU Dr. Soetomo Surabaya ABSTRACT Introduction: Voluntary Counseling and Testing (VCT) is an entry point for the provision of nursing, support and medication of people living with HIV/AIDS. VCT is also a model for the dissemination of comprehensive information and support to change risk behavior and prevent HIV/AIDS infection. The purpose of this research was describe determinants of VCT utilization for the high risk person of HIV/AIDS at Puskesmas Dupak based on health belief model. Method: Design used in this study was descriptive survey design. The population was high risk people of HIV/AIDS who utilize VCT at Puskesmas Dupak Surabaya in 2010. The variables were component of health belief model for the high risk people of HIV/AIDS who utilize VCT. It consist of perceived susceptibility factor, perceived seriousness factor, perceived benefi t and barrier factor, self effi cacy, and cues to action factor. The samples were recruited with probability sampling consist of 23 respondents. Data were collected by using structured questionnairs with multiple choice questions and were then analyzed using descriptive analysis. Result: Results showed that perceived suscebtibilty was in strong criteria (61%), perceived seriousness was in strong criteria (78%), perceived benefi t was in strong criteria (66%), perceived barrier was in enough criteria (65%), self effi cacy was in strong criteria (82%), and cues to action factor was in strong criteria (52%). Discussion: Component health belief model to VCT utilization on high risk people of HIV/AIDS was in strong criteria. It is recommended to health worker at Puskesmas Dupak to give adequate information frequently to the high risk people of HIV/AIDS. Keywords: VCT utilization on high risk people, health belief model PENDAHULUAN Kasus Human Immunodefi ciency Virus (HIV) dan Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) di Indonesia sampai 30 Maret 2011 telah mencapai 24.482 kasus dan sudah tersebar di 32 provinsi (Direktorat Jendral PPM dan PL Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2011). Voluntary Counseling and Testing (VCT) merupakan salah satu strategi kesehatan masyarakat yang dilakukan untuk menangani penyebaran HIV/AIDS (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2006). VCT perlu dilakukan karena merupakan pintu masuk untuk menuju ke seluruh layanan HIV/AIDS, dapat memberikan keuntungan bagi klien dengan hasil tes positif maupun negatif dengan fokus pemberian dukungan terapi Anti Retroviral (ARV), dapat membantu mengurangi stigma di masyarakat, serta dapat memudahkan akses ke berbagai layanan kesehatan maupun layanan psikososial yang dibutuhkan klien (Murtiastutik, 2008), akan tetapi pemanfaatan layanan VCT oleh masyarakat, khususnya oleh populasi rawan masih rendah. Hasil wawancara peneliti kepada 3 orang risiko tinggi pada 10 Mei 2011, diketahui bahwa alasan mereka memanfaatkan VCT di Puskesmas Dupak antara lain 67% mengatakan bahwa mereka berisiko tertular HIV/AIDS, 100% mengatakan adanya anjuran dari petugas kesehatan, serta 67% ingin mengetahui status HIV/AIDS mereka. Health Belief Model (HBM) merupakan salah satu model yang digunakan untuk Analisis Faktor Pemanfaatan VCT (Purwaningsih) 59 menjelaskan perubahan perilaku kesehatan. Model ini menyebutkan bahwa perilaku kesehatan akan dipengaruhi oleh 6 faktor, meliputi persepsi kerentanan terhadap penyakit (perceived susceptibility), persepsi keseriusan terhadap ancaman kesehatan (perceived seriousness), persepsi manfaat dan hambatan terhadap perubahan perilaku kesehatan (perceived benefi t and barrier), self effi cacy, serta faktor pendorong (cues to action) (Mabachi, 2008). Komponen HBM terhadap pemanfaatan VCT pada orang risiko tinggi HIV/AIDS di Puskesmas Dupak masih belum diketahui dengan jelas. Data yang diperoleh dari laporan VCT di Puskesmas Dupak selama tahun 2011, secara kumulatif terdapat 232 orang yang melakukan VCT. Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) dalam Strategi dan Rencana Aksi Nasional (SRAN) Penanggulangan HIV/AIDS tahun 2010–2014 telah menetapkan 720 orang per tahun dalam setiap layanan VCT berdasarkan ketersediaan tenaga, jumlah jam kerja dan efektivitas layanan yang akan dilakukan sehingga dalam 1 tahun hanya 32,2% orang risiko tinggi yang dapat memenuhi target KPA dalam memanfaatkan VCT di Puskesmas Dupak. Hasil wawancara peneliti dengan salah satu dokter di Puskesmas Dupak tanggal 10 Mei 2011, diketahui bahwa wilayah kerja Puskesmas Dupak meliputi Kelurahan Dupak dan Kelurahan Morokrembangan dengan jumlah penduduk sekitar 79.000 jiwa termasuk di dalamnya sekitar 3.000 kepala keluarga urban, di wilayah tersebut diperkirakan terdapat 600 Pekerja Seks Komersial (PSK) yakni 250 PSK di Dupak dan 350 PSK di Tambak Asri, serta diketahui sekitar 10% dari PSK di wilayah tersebut telah HIV positif. Hasil wawancara lanjutan yang dilakukan oleh peneliti dengan salah satu dokter di Puskesmas Dupak pada 11 Mei 2011, diketahui bahwa sampai saat ini cakupan pemanfaatan VCT di Puskesmas Dupak masih terbatas pada kelompok PSK. Dokter di puskesmas tersebut juga menyatakan sekitar 95% orang risiko tinggi lainnya di luar PSK seperti pelanggan, pria risiko tinggi, serta pasangan orang risiko tinggi belum mau melakukan VCT dengan berbagai alasan seperti takut dengan hasil tes yang positif, merasa tidak berisiko terhadap HIV/AIDS, tidak tahu dengan VCT, serta perasaan takut distigma. Apabila hal ini tidak segera ditindaklanjuti, dikhawatirkan akan terjadi penyebaran HIV/AIDS yang semakin tinggi. Peningkatan prevalensi HIV/AIDS dikarenakan kurangnya kesadaran untuk memanfaatkan layanan VCT serta kurangnya pemahaman tentang HIV/AIDS dan VCT terutama bagi orang risiko tinggi. Banyak faktor yang dapat memengaruhi orang risiko tinggi untuk memanfaatkan VCT. Abebe (2006), melaporkan bahwa responden (51,1%) yang memiliki persepsi kerentanan yang tinggi menyatakan niatnya untuk melakukan VCT daripada mereka yang memiliki persepsi yang rendah (48,9%), responden (52,6%) dengan persepsi yang tinggi terhadap keparahan HIV/AIDS menyatakan niatnya untuk VCT, responden yang memiliki persepsi hambatan yang tinggi menyatakan kurang kesediaannya untuk melakukan VCT daripada mereka yang memiliki persepsi yang rendah, dan responden yang merasakan adanya manfaat dalam melakukan VCT akan menyatakan kesediaannya untuk VCT daripada mereka dengan persepsi yang rendah. Hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Afridi et al. (2008), menyebutkan bahwa faktor-faktor yang memengaruhi aksesibilitas dan akseptabilitas VCT pada kelompok risiko tinggi HIV antara lain 91% dari responden melaporkan bahwa mereka telah mendengar tentang HIV/AIDS (36% mendengar melalui media dan 33% dari teman), hampir 31% dari responden menyatakan bahwa mereka memiliki risiko tertular HIV, 46% responden mengetahui tempat di mana tes HIV (VCT) dilakukan dan 85% responden mengatakan bahwa tempat itu adalah rumah sakit. Apabila masalah ini tidak segera diatasi maka penyebaran HIV/ AIDS akan semakin meningkat. Bila hal ini dibiarkan tanpa tindakan yang nyata baik dari pihak eksekutif, legislatif, yudikatif maupun masyarakat maka angka kasus HIV/AIDS akan semakin bertambah dan memperberat beban negara di kemudian hari. Beberapa pendekatan teoritis yang digunakan dalam penelitian pencegahan HIV/ AIDS, antara lain: theory of reasoned action, Jurnal Ners Vol. 6 No. 1 April 2011: 58–67 60 theory of planned behavior, information motivation behavior model, AIDS risk reduction model, dan health belief model. Pada penelitian ini menggunakan pendekatan teori HBM. HBM merupakan teori yang digunakan sebagai upaya menjelaskan secara luas kegagalan partisipasi masyarakat dalam program pencegahan atau deteksi penyakit (Maulana, 2009). HBM juga dapat digunakan untuk mengidentifi kasi beberapa faktor prioritas penting yang berdampak terhadap pengambilan keputusan secara rasional dalam situasi yang tidak menentu serta teori ini berpusat pada perilaku kesehatan individu (Maulana, 2009). Pendekatan teori HBM diharapkan dapat menjelaskan faktor-faktor yang memengaruhi pemanfaatan VCT pada orang risiko tinggi HIV/ AIDS di Puskesmas Dupak sehingga dengan mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan pemanfaatan VCT, tenaga kesehatan dapat menentukan rencana dan strategi selanjutnya agar orang risiko tinggi yang memanfaatkan VCT meningkat. Permasalahan dalam penelitian ini adalah HBM terhadap pemanfaatan VCT pada orang risiko tinggi HIV/AIDS di Puskesmas Dupak masih belum dapat dijelaskan. BAHAN DAN METODE Penelitian ini menggunakan desain penelitian deskriptif survei. Populasi target dalam penelitian ini adalah orang risiko tinggi HIV/AIDS yang telah memanfaatkan VCT di Puskesmas Dupak selama tahun 2010 sebesar 232 orang. Sedangkan populasi terjangkau dalam penelitian ini adalah orang risiko tinggi HIV/AIDS yang berada di wilayah yang paling banyak melakukan VCT di Puskesmas Dupak selama tahun 2010, yaitu di Kelurahan Dupak sebesar 169 orang. Besar sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah orang risiko tinggi yang telah memanfaatkan VCT di Puskesmas Dupak selama tahun 2010 sebesar 23 orang. Peneliti menggunakan teknik probability sampling. Metode pemilihan sampel yang digunakan peneliti adalah metode undian. Variabel dalam penelitian ini adalah variabel bebas (independent). Variabel bebas yang digunakan adalah komponen health belief model terhadap pemanfaatan VCT pada orang risiko tinggi yang meliputi: faktor kerentanan (perceived susceptibility) yang dirasakan, faktor keseriusan (perceived seriousness) yang dirasakan, faktor manfaat dan rintangan (perceived benefi t and barrier) yang dirasakan, faktor pendorong (cues to action), serta self effi cacy orang risiko tinggi yang memanfaatkan VCT di Puskesmas Dupak. Hal ini ditentukan oleh peneliti karena dalam penelitian ini hanya satu faktor tersebut yang akan dianalisis yang berkaitan dengan tujuan penelitian. HASIL Penelitian ini menunjukkan hasil bahwa dari segi tingkat kerentanan (perceived susceptibility) yang dirasakan sebagian besar responden dengan tingkat kerentanan kuat yakni sebesar 14 responden (61%). Identifi kasi k e s e r i u s a n y a n g d i r a s a k a n ( p e rc e i v e d seriousness). Mayoritas adalah responden dengan tingkat keseriusan kuat yakni sebesar 18 responden (78%). Distribusi responden berdasarkan tingkat manfaat yang dirasakan (perceived benefi t), sebagian besar adalah responden yang merasakan tingkat manfaat kuat yakni sebesar 15 responden (66%). Identifi kasi hambatan yang dirasakan (perceived barrier) mayoritas responden merasakan tingkat hambatan yang cukup yakni sebanyak 15 responden (65%). Segi tingkat self effi cacy distribusi responden adalah sebagian besar responden dengan tingkat self effi cacy kuat yakni sebesar 19 responden (82%). Distribusi responden berdasarkan adanya pemotivasi VCT adalah 20 responden (87%) menyatakan memiliki pemotivasi VCT. Distribusi responden berdasarkan sumber motivasi VCT yakni sebanyak 19 responden (95%) dari 20 responden menyatakan sumber motivasi VCT diperoleh dari petugas kesehatan. Distribusi responden berdasarkan pengalaman mendapat informasi VCT yakni sebanyak 13 responden (57%) dari total keseluruhan responden menyatakan pernah mendapat informasi tentang VCT sebelumnya. Distribusi responden berdasarkan sumber Analisis Faktor Pemanfaatan VCT (Purwaningsih) 61 informasi VCT, sebanyak 13 responden (100%) dari total keseluruhan responden yang pernah mendapat informasi tentang VCT sebelumnya menyatakan mendapat informasi VCT dari petugas kesehatan. Segi tingkat faktor pendorong sebagian besar responden merasakan memiliki faktor pendorong kuat yakni sebesar 12 responden (52%). PEMBAHASAN Hasil penelitian, diketahui bahwa orang risiko tinggi yang memanfaatkan VCT di Puskesmas Dupak merasakan kerentanan yang kuat terhadap HIV/AIDS yakni sebesar 61%. Orang risiko tinggi lainnya yakni sebesar 39% menyatakan merasakan kerentanan yang cukup. Notoatmodjo (2003), menyatakan agar seseorang bertindak untuk mengobati atau mencegah penyakitnya maka ia harus merasakan bahwa ia rentan (susceptible) terhadap penyakit tersebut. Bock (2009), juga melaporkan bahwa pemanfaatan VCT salah satunya dipengaruhi oleh persepsi terhadap risiko yakni individu yang memiliki persepsi bahwa dirinya berisiko terhadap HIV/AIDS akan mempertimbangkan untuk melakukan VCT. Terdapat kesesuaian antara teori dengan fakta di lapangan yakni pemanfaatan VCT di Puskesmas Dupak oleh orang risiko tinggi salah satunya dapat dipengaruhi oleh faktor kerentanan. Menurut hasil penelitian, diketahui bahwa mayoritas responden merasakan kerentanan yang kuat terhadap HIV/AIDS sehingga mereka memutuskan untuk memanfaatkan VCT di Puskesmas Dupak. Perilaku pencegahan terhadap HIV/ AIDS akan timbul jika seseorang merasa bahwa dirinya berisiko untuk terkena penyakit tersebut. Kerentanan merupakan kondisi yang subjektif sehingga penerimaan individu, khususnya orang risiko tinggi terhadap kerentanan untuk terinfeksi HIV/AIDS dapat bervariasi. Seseorang kemungkinan dapat dinyatakan memiliki kerentanan yang sangat kuat terhadap HIV/AIDS apabila ia memiliki keyakinan bahwa dirinya berisiko menderita HIV/AIDS, memiliki teman atau pasangan yang terinfeksi HIV/AIDS, atau memiliki riwayat perilaku yang berisiko untuk tertular HIV/AIDS. Seseorang sebaliknya kemungkinan dapat dinyatakan memiliki kerentanan yang sangat lemah terhadap HIV/AIDS apabila ia tidak memiliki keyakinan bahwa dirinya berisiko menderita HIV/AIDS, tidak memiliki teman atau pasangan yang terinfeksi, serta tidak memiliki riwayat perilaku yang berisiko. Orang risiko tinggi yang memiliki kerentanan yang sangat kuat untuk terkena HIV/AIDS kemungkinan akan terdorong untuk memanfaatkan VCT di Puskesmas Dupak. Mayoritas responden memiliki riwayat pekerjaan sebagai PSK. Sebagian besar responden yang memiliki riwayat pekerjaan sebagai PSK yakni 10 responden (56%) menyatakan bahwa mereka tahu perilakunya sangat berisiko untuk terinfeksi HIV sedangkan mayoritas responden non-PSK yakni sebanyak 5 orang (62,5%) menyatakan bahwa mereka tidak tahu apakah perilakunya dapat berisiko untuk terinfeksi HIV/AIDS. Hal tersebut menunjukkan bahwa kelompok dari PSK lebih merasakan kerentanan terhadap HIV/ A I D S d i b a n d i n g k a n d e n g a n k e l o m p o k non-PSK atau masyarakat umum. Maulana (2009), menyatakan bahwa variabel struktural yang salah satu di antaranya merupakan pengalaman yang dimiliki individu, termasuk pengalaman pekerjaan (riwayat pekerjaan) dapat memengaruhi persepsi individu terhadap kesehatannya. Dengan demikian, kerentanan terhadap HIV/AIDS yang dirasakan orang risiko tinggi yang memanfaatkan VCT di Puskesmas Dupak dapat dipengaruhi oleh riwayat pekerjaan yang dimiliki. Individu yang memiliki riwayat pekerjaan yang jelas berisiko terinfeksi HIV/AIDS mungkin akan lebih mudah memotivasi dirinya untuk memanfaatkan VCT di Puskesmas Dupak karena ia menyadari bahaya yang akan dialami sedangkan individu yang beranggapan bahwa dirinya tidak berisiko, kemungkinan tidak akan melakukan VCT di Puskesmas Dupak. Hal ini secara tidak langsung dapat memperluas penularan HIV/AIDS karena individu yang menganggap bahwa dirinya tidak memiliki pekerjaan yang berisiko cenderung untuk tidak melakukan VCT. Adanya anggapan tersebut dapat menyebabkan individu tidak menyadari Jurnal Ners Vol. 6 No. 1 April 2011: 58–67 62 bahwa dirinya telah tertular atau dapat menulari HIV/AIDS. S t a t u s p e r n i k a h a n j u g a d a p a t memengaruhi persepsi seseorang terhadap kondisi rentan yang dialami. Bock (2009), menyatakan rendahnya pemanfaatan VCT di Malawi pada umumnya terjadi di kalangan individu yang telah menikah. Seseorang yang telah menikah dan telah hidup lama bersama pasangannya, akan berpikir dirinya tidak memiliki risiko terinfeksi HIV karena ia percaya terhadap pasangannya sehingga individu tersebut tidak akan memiliki inisiatif untuk melakukan VCT. Teori tersebut sesuai dengan fakta dari hasil penelitian yang menunjukkan bahwa sebagian besar responden dalam penelitian ini berstatus janda/duda. Dengan demikian, status pernikahan orang risiko tinggi dapat memengaruhi perilaku pemanfaatan VCT di Puskesmas Dupak. Orang risiko tinggi yang berstatus janda/duda kemungkinan akan lebih terdorong untuk memanfaatkan VCT di Puskesmas Dupak dibandingkan dengan orang risiko tinggi yang telah memiliki pasangan atau telah menikah. Hasil penelitian, diketahui bahwa orang risiko tinggi yang memanfaatkan VCT di Puskesmas Dupak merasakan keseriusan yang kuat terhadap HIV/AIDS yakni sebesar 78%. Orang risiko tinggi lainnya yakni sebesar 13% menyatakan merasakan keseriusan yang sangat kuat. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa 9% orang risiko tinggi merasakan keseriusan yang cukup, serta tidak ada orang risiko tinggi yang merasakan keseriusan yang lemah atau pun sangat lemah terhadap HIV/AIDS. Tindakan individu untuk mencari pengobatan dan pencegahan penyakit akan didorong oleh keseriusan penyakit terhadap individu atau masyarakat (Notoatmodjo, 2003). Hal tersebut memperlihatkan bahwa terdapat kesesuaian antara teori dan fakta di lapangan yakni tindakan pencegahan terhadap penyakit tertentu, salah satunya dipengaruhi oleh adanya persepsi terhadap keseriusan suatu penyakit sehingga dalam hal ini pemanfaatan VCT oleh orang risiko tinggi di Puskesmas Dupak salah satunya dipengaruhi oleh persepsi keseriusan orang risiko tinggi terhadap HIV/AIDS. Persepsi keseriusan yang dirasakan terhadap HIV/AIDS kemungkinan juga berbeda-beda pada setiap orang risiko tinggi. Hal itu karena tiap orang risiko tinggi memiliki pandangan yang subjektif terhadap keseriusan HIV/AIDS. Salah satu variabel yang mungkin dapat memengaruhi orang risiko tinggi dalam merasakan keseriusan HIV/AIDS sehingga mendorong dirinya untuk memanfaatkan VCT di Puskesmas Dupak adalah tingkat pendidikan orang risiko tinggi. Faktor pengubah seperti tingkat pendidikan dipercayai mempunyai pengaruh tidak langsung terhadap perilaku dengan cara memengaruhi persepsi individu seperti persepsi terhadap keseriusan. Individu dengan pendidikan tinggi, cenderung memiliki perhatian yang besar terhadap kesehatannya sehingga jika individu tersebut mengalami gangguan kesehatan maka ia akan segera mencari pelayanan kesehatan. Semakin tinggi tingkat pendidikan orang risiko tinggi maka semakin besar keseriusan yang dirasakan terhadap HIV/AIDS sehingga dengan persepsi keseriusan yang dimiliki akan mendorong orang risiko tinggi tersebut untuk memanfaatkan VCT di Puskesmas Dupak. Sebagian besar responden dalam penelitian ini telah berpendidikan walaupun masih tergolong mempunyai tingkat pendidikan yang rendah yaitu SD/MI/Sederajat. Pada penelitian ini, tingkat pendidikan tidak terlalu memengaruhi tingkat keseriusan yang dirasakan responden karena sebagian besar responden merasakan keseriusan yang kuat. Hal tersebut berarti bahwa selain pendidikan kemungkinan terdapat faktor lain yang dapat mempengaruhi persepsi responden terhadap keseriusannya. Faktor lingkungan mungkin dapat menjadi salah satu faktor pendorong yang membuat responden merasakan keseriusan yang kuat terhadap HIV/AIDS sehingga dapat memotivasi dirinya untuk memanfaatkan VCT di Puskesmas Dupak. Kondisi lingkungan merupakan salah satu faktor yang dapat memengaruhi perilaku manusia secara langsung. Lingkungan responden merupakan salah satu kawasan lokalisasi sehingga sangat rawan untuk terinfeksi HIV/AIDS. Lingkungan responden yang demikian menuntut responden harus lebih memiliki perhatian yang besar Analisis Faktor Pemanfaatan VCT (Purwaningsih) 63 terhadap keseriusan yang ditimbulkan oleh suatu penyakit tertentu, terutama keseriusan terhadap HIV/AIDS. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang (Notoatmodjo, 2003). Berdasarkan pengalaman dan penelitian, diperoleh bahwa perilaku yang didasari oleh pengetahuan lebih langgeng daripada perilaku yang tidak didasari pengetahuan (Maulana, 2009). Pengetahuan responden tentang transmisi HIV/AIDS dalam penelitian ini tergolong sedang sedangkan responden memiliki keseriusan yang kuat. Faktor pengetahuan mempengaruhi keseriusan yang dirasakan orang risiko tinggi terhadap HIV/AIDS. Orang risiko tinggi yang memiliki pengetahuan tinggi tentang HIV/AIDS akan merasakan keseriusan yang sangat kuat terhadap HIV/AIDS sehingga dengan keseriusan yang dirasakannya, orang risiko tinggi tersebut akan terdorong untuk melakukan VCT di Puskesmas Dupak. Menurut hasil penelitian, diketahui bahwa orang risiko tinggi yang memanfaatkan VCT di Puskesmas Dupak merasakan manfaat yang kuat terhadap VCT yakni sebesar 66%. Orang risiko tinggi lainnya yakni sebesar 30% menyatakan merasakan manfaat yang cukup. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa 4% orang risiko tinggi merasakan manfaat yang sangat kuat, serta tidak ada orang risiko tinggi yang merasakan manfaat yang lemah atau pun sangat lemah terhadap VCT di Puskesmas Dupak. Menurut Rosenstock (2005), suatu tindakan akan dipengaruhi oleh keyakinan tentang efektivitas relatif dari alternatif yang tersedia yang dikenal dapat mengurangi ancaman penyakit yang dirasakan individu. Perilaku kesehatan dalam hal ini pemanfaatan VCT di Puskesmas Dupak, mungkin tergantung pada bagaimana orang risiko tinggi berpikir tentang manfaat yang akan ia peroleh untuk mengatasi masalah kesehatannya, terutama masalah yang berkaitan dengan HIV/AIDS sehingga dapat disimpulkan bahwa individu mungkin lebih mengutamakan keyakinan terhadap efektivitas suatu tindakan dan bukan melihat secara objektif terhadap efektivitas suatu tindakan yang diambil. Keyakinan sering disebut sebagai faktor yang berkaitan dengan motivasi seseorang untuk melakukan suatu tindakan. Keyakinan orang risiko tinggi tentang adanya manfaat melakukan VCT di Puskesmas Dupak termasuk dalam kategori kuat. Orang risiko tinggi telah mempercayai bahwa kesehatan dirinya mungkin terancam dalam beberapa tahun mendatang jika tidak melakukan VCT. Mereka juga telah mempercayai keseriusan kondisi yang terjadi bila terinfeksi HIV/AIDS. Orang risiko tinggi yang memiliki keyakinan yang kuat tentang manfaat VCT akan terdorong untuk melakukan VCT di Puskesmas Dupak sedangkan orang risiko tinggi yang tidak percaya tentang manfaat VCT mungkin cenderung untuk tidak melakukan VCT di Puskesmas Dupak. Kesadaran akan perlunya melakukan VCT sudah dimiliki orang risiko tinggi yang memanfaatkan VCT di Puskesmas Dupak. Hasil penelitian juga menunjukkan terdapat beberapa responden yang masih belum memahami manfaat melakukan VCT di Puskesmas Dupak. Sepuluh responden (43%) menyatakan VCT tidak akan membantu karena mereka dapat menjaga dirinya sendiri dan mereka memiliki keyakinan bahwa tidak ada alasan untuk mengetahui status HIV karena pada akhirnya tidak ada obat yang bisa menyembuhkan HIV/AIDS. Delapan orang responden juga menyatakan VCT tidak akan mengubah perilaku seksual seseorang. Hal tersebut kemungkinan dapat terjadi karena kurangnya penyebarluasan informasi dan pemberian edukasi kepada orang risiko tinggi. Mobilitas orang risiko tinggi seperti WPS, cukup tinggi dengan berpindah-pindah lokalisasi sehingga dapat menyebabkan mereka kurang mendapatkan informasi yang benar tentang HIV/AIDS karena mereka mendapat informasi yang belum lengkap sehingga memungkinkan terbentuknya keyakinan yang salah. Teman atau sesama orang risiko tinggi, dapat memberikan pengaruh yang cukup besar bagi individu. Hal ini kemungkinan juga dapat memengaruhi terbentuknya keyakinan yang salah pada orang risiko tinggi karena individu yang mempunyai persepsi yang salah tentang VCT akan meniru perilaku yang kurang baik dari individu lainnya. Jurnal Ners Vol. 6 No. 1 April 2011: 58–67 64 Orang risiko tinggi yang memanfaatkan VCT di Puskesmas Dupak merasakan hambatan yang cukup dalam melakukan VCT yakni sebesar 65%. Orang risiko tinggi lainnya yakni sebesar 22% menyatakan merasakan hambatan yang kuat dalam melakukan VCT di Puskesmas Dupak. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa 13% orang risiko tinggi merasakan hambatan yang lemah, serta tidak ada orang risiko tinggi yang merasakan hambatan yang sangat kuat atau pun sangat lemah dalam memanfaatkan VCT di Puskesmas Dupak. Satu alasan utama individu tidak mengubah perilaku kesehatan mereka karena mereka berpikir melakukan hal tersebut akan menimbulkan kesulitan, baik kesulitan secara psikologis atau fi sik maupun sosial. Menurut Notoatmodjo (2003), individu akan melakukan suatu tindakan tertentu apabila merasa dirinya rentan untuk penyakit-penyakit yang dianggap serius. Tindakan ini tergantung pada manfaat yang dirasakan dan rintangan-rintangan yang ditemukan dalam mengambil tindakan tertentu. Pada umumnya, manfaat tindakan lebih menentukan daripada rintangan-rintangan yang mungkin ditemukan dalam mengambil suatu tindakan. Individu mungkin merasakan manfaat terhadap suatu perilaku tertentu tetapi pada saat yang sama mereka juga mungkin merasakan hambatan untuk melakukan perilaku tersebut. Faktor hambatan yang dirasakan dapat memengaruhi orang risiko tinggi untuk memanfaatkan VCT di Puskesmas Dupak akan tetapi faktor hambatan yang dirasakan kemungkinan tidak terlalu besar pengaruhnya terhadap pemanfaatan VCT di Puskesmas Dupak. Hal tersebut kemungkinan disebabkan oleh adanya persepsi orang risiko tinggi terhadap adanya manfaat melakukan VCT lebih besar dibandingkan dengan persepsi terhadap hambatan. Penelitian ini diketahui bahwa jarak dan biaya bukan merupakan hambatan yang besar bagi orang risiko tinggi dalam memanfaatkan VCT di Puskesmas Dupak. Hal ini karena hanya sebagian kecil responden yang menyatakan bahwa tempat melakukan VCT jauh, yakni 1 responden sedangkan yang menyatakan VCT memerlukan biaya yang mahal hanya 7 responden. Mayoritas responden (19 responden) juga menyatakan bahwa mereka percaya bahwa petugas kesehatan atau konselor akan menjaga kerahasiaan hasil tes mereka sehingga hal ini bukan menjadi penghambat orang risiko tinggi untuk memanfaatkan VCT di Puskesmas Dupak. Sebelas responden menyatakan ketakutannya untuk melakukan VCT karena takut dengan hasil tes yang positif. Bock (2009), melaporkan bahwa salah satu yang dapat memengaruhi pemanfaatan VCT adalah ketakutan mereka terhadap kemungkinan hasil tes yang positif. Pernyataan di atas menunjukkan ketakutan terhadap hasil tes yang positif kemungkinan merupakan salah satu faktor yang dapat menghambat pemanfaatan VCT di Puskesmas Dupak. Ketakutan tersebut kemungkinan merupakan ketakutan terhadap kematian, takut atas nasib mereka sendiri atau takut karena harus menghadapi masalah yang lebih rumit di kemudian hari karena mendapat hasil tes yang positif. Ketakutan tersebut kemungkinan juga dapat diperburuk dengan adanya stigma atau diskriminasi yang akan diterima dari masyarakat atau pun keluarga. Lima responden menyatakan bahwa ia tidak merasa berisiko terhadap HIV/AIDS sehingga tidak punya alasan untuk melakukan VCT. Adanya persepsi tidak memiliki risiko terhadap HIV/AIDS dapat menjadi salah satu penghambat dalam pemanfaatan VCT di Puskesmas Dupak. Hal tersebut sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh USAID di Guangxi, Cina (2009) yakni salah satu hambatan dalam pemanfaatan VCT adalah adanya persepsi tidak memiliki risiko tinggi terhadap HIV/AIDS. Anggapan tersebut kemungkinan dapat dipengaruhi oleh kurangnya pengetahuan tentang cara transmisi HIV/AIDS. Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa 9 responden menyatakan tidak setuju dan 1 orang responden menyatakan sangat tidak setuju jika berhubungan seks tanpa menggunakan kondom merupakan salah satu cara transmisi HIV/AIDS. Lima belas responden juga menyatakan tidak setuju jika berbagi jarum suntik dengan orang lain juga dapat menyebabkan terinfeksi HIV/AIDS. Hal tersebut menunjukkan bahwa pengetahuan secara tidak langsung dapat memengaruhi Analisis Faktor Pemanfaatan VCT (Purwaningsih) 65 persepsi seseorang. Orang risiko tinggi yang memiliki pengetahuan yang tinggi tentang cara transmisi HIV/AIDS akan menyadari bahwa suatu perilaku tertentu dapat menyebabkan ia kemungkinan berisiko untuk terkena HIV/ AIDS sehingga dirinya akan berinisiatif untuk memanfaatkan VCT di Puskesmas Dupak. Hambatan lain yang dirasakan oleh orang risiko tinggi yang memanfaatkan VCT di Puskesmas Dupak adalah 16 responden menyatakan untuk mengetahui hasil tes maka mereka harus kembali lagi di lain waktu. Lama waktu tunggu akan memengaruhi motivasi WPS untuk mau datang ke klinik VCT untuk waktu yang selanjutnya (Widiyanto, 2008). Waktu yang lama untuk mengetahui hasil tes kemungkinan dapat menyebabkan orang risiko tinggi menjadi kurang termotivasi untuk melakukan VCT. Orang risiko tinggi yang pada awalnya memiliki motivasi yang besar untuk melakukan VCT di Puskesmas Dupak kemungkinan akan berubah pikiran jika mengetahui bahwa tindakan yang akan dilakukan dapat menyita waktu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa orang risiko tinggi yang memanfaatkan VCT di Puskesmas Dupak memiliki self effi cacy yang kuat untuk melakukan VCT yakni sebesar 82%. Orang risiko tinggi lainnya yakni sebesar 9% memiliki self effi cacy sangat kuat dan 9% lainnya memiliki self effi cacy cukup. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa tidak ada orang risiko tinggi yang memiliki self effi cacy lemah atau pun sangat lemah dalam memanfaatkan VCT di Puskesmas Dupak. Dengan demikian, diketahui bahwa orang risiko tinggi yang memanfaatkan VCT di Puskesmas Dupak, mayoritas memiliki tingkat self effi cacy yang kuat. Hal ini dapat ditunjukkan dengan beberapa pernyataan responden yakni 21 responden menyatakan akan berencana untuk melakukan VCT lagi suatu saat nanti, 18 responden menyatakan dirinya berencana untuk meminta pasangan seksnya melakukan VCT, serta 18 responden juga menyatakan bahwa melakukan VCT merupakan keputusan pribadinya. Self effi cacy adalah kepercayaan diri individu dan menjelaskan bagaimana pandangan individu terhadap kemampuannya untuk melakukan tindakan tertentu atau kepercayaan mereka sendiri dalam kemampuan mereka untuk mengambil tindakan. Seseorang yang memiliki self effi cacy yang kuat kemungkinan akan mampu untuk mengambil tindakan tertentu sedangkan seseorang dengan self efficacy yang rendah kemungkinan akan mengalami hambatan untuk mengambil tindakan tertentu. Self effi cacy orang risiko tinggi dapat mempengaruhi pemanfaatan VCT di Puskesmas Dupak. Orang risiko tinggi yang memiliki self effi cacy yang sangat kuat akan lebih mudah untuk memanfaatkan VCT di Puskesmas Dupak daripada orang risiko tinggi dengan self effi cacy yang sangat lemah. Self effi cacy orang risiko tinggi untuk memanfaatkan VCT di Puskesmas Dupak, salah satunya mungkin dapat dipengaruhi oleh berapa kali ia telah melakukan VCT. Pada penelitian ini, diketahui sebagian besar responden telah melakukan VCT lebih dari dua kali. Semakin banyak pengalaman orang risiko tinggi dalam melakukan VCT maka kemungkinan kepercayaan diri yang dimiliki untuk melakukan VCT lagi semakin besar. Hasil penelitian, diketahui orang risiko tinggi yang memanfaatkan VCT di Puskesmas Dupak sebesar 52% menyatakan merasakan adanya faktor pendorong yang kuat. Faktor pendorong yang cukup dirasakan oleh orang risiko tinggi sebesar 48%. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa tidak ada orang risiko tinggi yang merasakan adanya faktor pendorong yang sangat kuat, lemah, atau pun sangat lemah untuk memanfaatkan VCT di Puskesmas Dupak. Hasil tersebut menunjukkan orang risiko tinggi yang memanfaatkan VCT di Puskesmas Dupak mayoritas merasakan faktor pendorong yang kuat. Mayoritas responden menyatakan mendapat dukungan dari teman- teman dan keluarga untuk melakukan VCT. Sebagian besar responden (18 responden) juga menyatakan mereka melakukan VCT atas anjuran dari petugas kesehatan/dokter. Notoatmodjo (2003), menyatakan bahwa untuk mendapatkan tingkat penerimaan yang benar tentang kerentanan, kegawatan, dan keuntungan tindakan maka diperlukan isyarat- isyarat yang berupa faktor-faktor eksternal. Jurnal Ners Vol. 6 No. 1 April 2011: 58–67 66 Faktor-faktor tersebut misalnya pesan-pesan dari media massa, nasihat atau anjuran kawan- kawan atau anggota keluarga lain dari si sakit. Dorongan yang muncul secara terus-menerus dari orang-orang yang terkait kemungkinan akan mempunyai pengaruh yang besar terhadap pemanfaatan VCT di Puskesmas Dupak yang dilakukan oleh orang risiko tinggi. Beberapa di antaranya kemungkinan mempunyai pengaruh yang lebih besar dibanding dengan dorongan dari pihak lain, seperti dorongan dari teman, keluarga, dan dari petugas kesehatan. Faktor pendorong yang dirasakan orang risiko tinggi yang memanfaatkan VCT di Puskesmas Dupak belum mencapai maksimal, dalam hal ini mencapai kategori yang sangat kuat. Hal ini kemungkinan dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satunya adalah terdapat beberapa responden yang kurang mendapat dukungan dari teman dan keluarga. Sembilan responden menyatakan dirinya tidak mendapat dukungan dari teman-temannya untuk melakukan VCT dan 8 responden menyatakan tidak mendapatkan dukungan dari keluarga. Gambar 5.16 memperlihatkan bahwa selama ini responden mendapat informasi VCT dari petugas kesehatan. Seluruh responden menyatakan belum pernah mendapat informasi VCT dari media massa seperti majalah, radio, televisi atau koran. Hambatan dalam pemanfaatan VCT, salah satu di antaranya disebabkan oleh kurangnya publikasi tentang VCT di masyarakat. Fakta di atas menunjukkan bahwa faktor pendorong lain terhadap responden yang melakukan VCT di Puskesmas Dupak dari selain petugas kesehatan masih lemah. Padahal indikator dalam penelitian ini yang dapat menjadi faktor pendorong responden dalam melakukan VCT di antaranya adalah informasi dari media massa (seperti radio, majalah, televisi), nasihat dari teman atau anggota keluarga, serta petugas kesehatan. Orang risiko tinggi yang memiliki faktor pendorong yang sangat kuat mungkin akan lebih mudah bagi dirinya untuk melakukan VCT di Puskesmas Dupak daripada orang risiko tinggi yang tidak memiliki faktor pendorong. Semakin banyak motivasi dan informasi yang didapatkan oleh orang risiko tinggi tentang VCT kemungkinan akan membuat orang risiko tinggi tersebut semakin terdorong untuk melakukan VCT di Puskesmas Dupak. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Kerentanan untuk terinfeksi HIV/AIDS pada orang risiko tinggi yang memanfaatkan VCT di Puskesmas Dupak dalam kategori kuat, Keseriusan yang dirasakan (perceived seriousness) orang risiko tinggi terhadap HIV/ AIDS sudah kuat, Persepsi terhadap manfaat VCT yang dirasakan (perceived benefi t) orang risiko tinggi sudah kuat, tetapi masih terdapat beberapa orang risiko tinggi yang memiliki keyakinan yang salah tentang manfaat VCT, Orang risiko tinggi yang memanfaatkan VCT di Puskesmas Dupak mengalami hambatan yang cukup, Self effi cacy orang risiko tinggi yang memanfaatkan VCT di Puskesmas Dupak sudah kuat, Faktor pendorong bagi orang risiko tinggi yang memanfaatkan VCT di Puskesmas Dupak sudah kuat. Saran Petugas kesehatan di Puskemas Dupak dalam upaya meningkatkan pemanfaatan VCT dapat dengan cara memberikan penyuluhan kepada masyarakat, khususnya orang risiko tinggi tentang HIV/AIDS dan VCT yang dapat dilakukan 1 bulan sekali di Puskesmas Dupak dengan sasaran pesertanya adalah pasien yang memeriksakan dirinya ke Puskesmas Dupak atau keluarga yang mengantar pasien saat itu atau dapat melalui pemberian media informasi seperti poster atau leafl et, Pengetahuan orang risiko tinggi tentang HIV/AIDS dan VCT masih rendah maka diharapkan orang risiko tinggi dapat secara aktif mencari informasi tentang HIV/AIDS dan VCT. Salah satunya dengan cara konsultasi langsung mengenai HIV/AIDS dan VCT dengan petugas kesehatan yang ada di Puskesmas Dupak, Perawat komunitas atau perawat bidang HIV/AIDS diharapkan dapat ikut serta dalam upaya meningkatkan pemanfaatan VCT pada orang risiko tinggi dengan cara membantu petugas kesehatan di Puskesmas Dupak dalam memberikan penyuluhan tentang HIV/AIDS dan VCT atau dengan melalui penyebaran informasi Analisis Faktor Pemanfaatan VCT (Purwaningsih) 67 melalui poster atau leafl et, dan Bagi peneliti selanjutnya diharapkan dapat meneliti lebih lanjut tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan pemanfaatan VCT pada orang risiko tinggi dengan menggunakan sampel yang lebih besar dan menggunakan instrument yang telah divalidasi sebelumnya agar dapat menganalisis lebih mendalam terhadap pemanfaatan VCT. KEPUSTAKAAN Abebe, 2006. Perception of High School S t u d e n t s t o w a rd s Vo l u n t a r y H I V Counseling and Testing, using Health Belief Model in Butajira, SNNPR. Thesis, Master of Public Health, Addis Ababa University. Hal. 28–30, 44–56. Bock, 2009. Factors Infl uencing the Uptake of HIV Voluntary Counseling and Testing in Namibia. Thesis. Vrije University Amsterdam. Netherlands, hlm. 12–29. Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2006. Pedoman Pelayanan Konseling dan Testing HIV/AIDS secara Sukarela (Voluntary Counselling and Testing). Jakarta, hlm. 6–7. Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2006. Situasi HIV/AIDS di Indonesia Tahun 1987–2006. Jakarta, hlm. 1, 3–4. Komisi Penanggulangan AIDS Nasional, 2003. Strategi Nasional Penanggulangan HIV/ AIDS 2003–2007. Jakarta, hlm. 10. Komisi Penanggulangan AIDS Nasional, 2009. Strategi dan Rencana Aksi Nasional Penanggulangan HIV dan AIDS 2010– 2014. Jakarta, hlm. 41. Maulana, 2009. Promosi Kesehatan. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC, hlm. 52–57. Murtiastutik, 2008. Buku Ajar Infeksi Menular Seksual. Surabaya: Airlangga University Press, hlm. 269–279. Notoatmodjo, Soekidjo, 2003. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta: PT Rineka Cipta, hlm. 204–205. Rosenstock, 2005. Why People Use Health Services. The Milbank Quartely, Vol. 83, No. 4, hlm. 6–9.