Vol 6 No 1 April 2011_Akreditasi 2013.indd 68 PERUBAHAN KELUHAN SEKSUAL (FISIK DAN PSIKOLOGIS) PADA PEREMPUAN PASCATERAPI KANKER SERVIKS SETELAH INTERVENSI KEPERAWATAN (The Changes of Physical and Psychological Sexual Complains in Women with Post Treatment Cervical Cancer After Sexual Nursing Intervention) Afi yanti*, Andrijono*, Gayatri** * Departemen Keperawatan Maternitas dan Anak, Fakultas Keperawatan, Universitas Indonesia E-mail: lupinavalon@hotmail.com ** Departemen Obstetri dan Ginekologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia *** Departemen Keperawatan Dasar, Fakultas Keperawatan, Universitas Indonesia ABSTRACT Introduction: Despite increasing awareness related to sexual health for cervical cancer survivors, health care providers are passive in addressing their sexual issues. The objectives were to develop and investigate the effect of a sexual nursing intervention packet to mitigate sexual dysfunction among cervical cancer survivors. Method: A sample of 104 survivors were participated consecutively based on required inclusive criteria in this quasi-experimental study. The sexual nursing intervention packet focused on the physical, psychological, and care of relational aspects of sexual health elements. The packet consisted of 6 weekly 2-hour sessions. Results: The participants reported poor sexual satisfaction and sexual function. There were no statistically signifi cant differences in sexual interest, sexual arousal, orgasm, and vaginal lubrication improvement following the intervention, although all the variables in the intervention group were improved clinically. The sexual nursing intervention packet was effective in increasing sexual satisfaction and decreasing dispareunia among cervical cancer survivors. Discussion: This study suggests that the quality of life in cervical cancer survivors could be improved with the sexual nursing intervention packet provided as part of supportive group care. This program may be more effective if delivered earlier and for a longer period. Implications for Practice: The sexual nursing intervention packet offers an opportunity to facilitate small-group dynamics that lay the ground for further contacts leading to earlier recognition of sexual problems and active involvement for sexual health improvement for cervical cancer survivors and nurses. It could be utilized for survivor education or support groups to increase sexual satisfaction following cancer treatment. Keywords: sexual dyfunction, cervical cancer, sexual education-counselling PENDAHULUAN Keberhasilan memanfaatkan kemajuan ilmu dan teknologi biomedik dalam pelayanan kedokteran dan asuhan keperawatan penderita kanker dengan berbagai modalitas terapi (kemoterapi, radioterapi, pembedahan, dan terapi kombinasi) telah terbukti dapat memperpanjang masa bebas kanker dan survival/ketahanan hidup penderita dibanding 10 tahun yang lalu (Wenzel, et al., 2005; Burns, 2007). Akibatnya, fenomena cancer survivorship menjadi meningkat. Dibanding dengan kanker ginekologi lainnya (kanker endometrium, ovarium, dan vagina), kanker serviks merupakan pemicu utama munculnya fenomena cancer suvivorship. Gangguan seksualitas pada penderita kanker serviks akibat efek terapi kanker serviks dapat menyebabkan disfungsi seksual yang memengaruhi kualitas hidup perempuan. Banyak studi melaporkan bahwa para survival kanker serviks mengalami berbagai permasalahan seksualitas yang memberikan dampak buruk pada kualitas hidup Perubahan Keluhan Seksual Fisik dan Psikologis (Afi yanti) 69 mereka (Klee dan Machin, 2000; Wenzel, et al., 2005; Burns, 2007). Terapi kanker serviks terbukti dapat menimbulkan berbagai permasalahan jangka panjang terhadap aspek seksualitas baik pada para cancer survivorship maupun pada pasangannya. Pasangan survival cancer mengalami berbagai dampak buruk akibat terapi kanker, mulai dari masalah umum sampai yang spesifi k. Secara umum, dampak buruk yang muncul antara lain adalah kelelahan, sementara secara khusus dapat mengalami berbagai ketidaknyamanan akibat munculnya gejala menopause dini, ketidakberfungsian reproduksi/infertilitas, serta disfungsi seksual akibat kerusakan ovarium dan saluran senggama (vagina), yaitu memendeknya ukuran vagina, menurunnya elastisitas vagina, dan berkurangnya lubrikasi vagina. Sementara secara psikologis, dampak buruk terapi kanker adalah timbulnya gangguan kepuasan seksual, gangguan intimasi dengan pasangan, kurang percaya diri, gangguan gambaran diri dan berkurangnya rasa feminimitas sebagai perempuan (Schultz dan Van De Wiel, 2003; Brotto, 2008; Wilmoth, 2006). Model intervensi keperawatan seksual merupakan upaya meningkatkan kualitas hidup perempuan pascaterapi kanker. Di luar negeri banyak dikembangkan model intervensi tersebut untuk mempromosikan kesehatan seksual para penderita kanker ginekologi. Sebagai contoh, Di Amerika Serikat, sejak tahun 1996, Booth dan McGuire telah mempelajari pengaruh pelayanan konseling oleh para perawat terhadap para pasien kanker. Filosofi tentang ‘keperawatan baru’ yang dilekatkan pada perawat spesialis telah menjelaskan peran perawat spesialis onkologi dan ginekologi dalam memenuhi berbagai kebutuhan psikoseksual para pasien. Selanjutnya, studi yang dilakukan oleh Maughan dan Clarke (2001) mempelajari intervensi konseling yang diberikan para perawat spesialis telah membuktikan bahwa intervensi konseling yang dilakukan para perawat spesialis tersebut terbukti memberikan pengaruh yang positif terhadap pengembalian fungsi seksual yang sehat di antara para penderita, walaupun secara statistik tidak bermakna. Pelayanan keperawatan di Indonesia belum memiliki standar pelayanan untuk mempromosikan kesehatan seksual para penderita kanker serviks. Berbagai intervensi terapetik melalui edukasi dan konseling untuk mempromosikan peningkatan kualitas hidup berhubungan dengan kesehatan seksual dan merupakan bagian dari tujuan pelayanan keperawatan belum optimal dilaksanakan oleh para perawat onkologi di Indonesia. Kurangnya pengetahuan, perilaku, dan sikap untuk memberikan edukasi dan konseling tentang kesehatan seksual dan perilaku budaya malu mendiskusikan masalah yang berkaitan dengan aspek seksual merupakan beberapa hambatan utama tidak terlaksananya pelayanan rehabilitas seksual yang seharusnya diberikan para perawat. BAHAN DAN METODE Penelitian ini mengujicobakan efektivitas paket intervensi keperawatan seksual pada perempuan pascakemoradiasi kanker serviks dan bertujuan membuktikan efektivitas paket intervensi keperawatan seksual dalam mengatasi keluhan disfungsi seksual pada perempuan pascakemoradiasi kanker serviks. Rancangan penelitian ini adalah quasy eksperiment dengan rancang bangun pre-post test only with control group design. Sampel pada penelitian adalah perempuan yang sedang melakukan kunjungan pertama kali setelah menyelesaikan terapi kanker di Rumah Sakit RSCM Unit Radioterapi RSCM dan Poliklinik Departemen Obstetrik dan Ginekologi, RSCM dalam periode Desember 2010 sampai April 2011. Kriteria inklusi responden adalah para responden yang masih aktif secara seksual, memiliki pasangan dan bersedia mengikuti penelitian dan dimintai kesediaannya untuk sukarela berpartisipasi. Sampel dikumpulkan dan dipilah (proses randomisasi) menjadi dua kelompok yaitu kelompok intervensi dan kelompok non intervensi pada saat para calon responden melakukan non intervensi pertama kali setelah selesai menjalani terapi sinar. F o r m a t i n f o r m a s i p e r s o n a l y a n g dikembangkan oleh peneliti untuk memperoleh data karakteristik demografi responden. Indeks Fungsi Seksual Perempuan/ (FSFI) dari Meston Jurnal Ners Vol. 6 No. 1 April 2011: 68–75 70 (2000) dan Kuesioner sexual satisfaction scale dari Meston (2005) digunakan untuk mengukur variabel-variabel dalam penelitian ini. Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan uji statistik wilcoxon signed test dan mann whitney u-test dengan derajat kemaknaan α < 0,05. HASIL Sebanyak 104 subjek yang memenuhi kriteria inklusi dilakukan proses randomisasi berdasarkan waktu pengambilan sampel, hasil randomisasi diperoleh sebanyak 53 subjek penelitian kemudian dimasukkan ke dalam kelompok intervensi dan 51 subjek lainnya dimasukkan ke dalam kelompok non intervensi. Hasil analisis menemukan rerata umur responden adalah di atas 40 tahun dalam arti berada dalam periode reproduksi lanjut. Umur rerata suami lebih tua sekitar 9 tahun dari umur rerata istri. Umur termuda istri adalah 32 tahun dan umur tertua adalah 55 tahun. Sementara umur suami, termuda di atas 36 tahun dan umur tertua adalah 61 tahun. Rerata jumlah anak responden adalah 3 orang. Lama menikah rerata lebih 20 tahun. Mayoritas istri memiliki tingkat pendidikan lebih rendah daripada suami baik pada kelompok intervensi maupun pada kelompok non intervensi. Penelitian ini menemukan 48% istri berpendidikan lulus sekolah dasar dan sementara itu hanya 26% untuk suami. Ditemukan pula sebanyak 54% istri berpendidikan lulus SMP dan SMA, sedangkan untuk suami presentase yang ditemukan adalah sebanyak 70%. Pekerjaan istri, sebanyak 80% sebagai ibu rumah tangga sedangkan pekerjaan suami, baik pada kelompok intervensi maupun pada kelompok non intervensi, 53% bekerja sebagai buruh dengan penghasilan yang tidak menentu. Penelitian ini juga memberi informasi bahwa baik pada pada kelompok intervensi maupun pada kelompok non intervensi, ditemukan sebesar 64% para istri memperoleh dukungan fi sik, psikologis, dan sosial dari para suami. Selanjutnya, tentang pengetahuan para istri terkait hubungan seksual pascaterapi kanker, ditemukan 90% para istri pada kelompok intervensi dan 88,7% pada kelompok non intervensi memiliki pengetahuan yang kurang tentang hubungan seksual pascaterapi kanker sebelum dilakukan intervensi. Hasil analisis statistik menunjukkan nilai rerata keluhan fi sik seksual yang dibedakan lubrikasi vagina dan disparenia dan nilai rerata keluhan psikologis seksual yang dibedakan atas minat dan gairah seksual, kepuasan hubungan seksual, kedekatan emosional, keterbukaan komunikasi, kepedulian hubungan dengan pasangan, dan kepercayaan diri mengalami perbaikan yang lebih besar pada kelompok intervensi jika dibandingkan dengan kelompok non intervensi. Perbedaan yang bermakna secara statistik untuk variabel keluhan fi sik seksual hanya ditemukan pada variabel dispareunia (p = 0,000 < p = 0,05), sedangkan untuk variabel lubrikasi vagina secara statistik tidak menunjukkan perbedaan bermakna (p = 0,078 – 0,752 > p = 0,05). Sebaliknya, untuk seluruh variabel keluhan psikologis seksual, semuanya menunjukkan perbedaan yang bermakna (p = 0,000 < p = 0,05). Hal ini mengindikasikan bahwa paket intervensi keperawatan seksual cukup efektif memperbaiki k e l u h a n p s i k o l o g i s s e k s u a l d i b a n d i n g memperbaiki keluhan fi sik seksual. PEMBAHASAN Salah satu fungsi area yang masih menjadi fokus utama dalam penyelidikan tentang kualitas hidup pasca-kanker servik adalah area fungsi seksual. Seksualitas merupakan bagian yang penting dari kualitas hidup keseharian penderita kanker servik, baik sebelum, selama, dan setelah pascaterapi kanker (Gender, 1992; Hughes, 2009). Masalah-masalah seksual yang banyak dialami penderita kanker ketika didiagnosis dan setelah memperoleh terapi kanker antara lain disfungsi ereksi, menurunnya libido dan kekeringan pada daerah vagina (Hughes, 2009). Berbagai masalah yang berkaitan tentang seksualitas dapat memengaruhi gairah hidup, gambaran diri dan hubungan intimasi dengan pasangan, stabilitasi hubungan, dan berakhirnya kapasitas reproduksi diimplikasikan sebagai Perubahan Keluhan Seksual Fisik dan Psikologis (Afi yanti) 71 efek negatif yang langsung berpengaruh terhadap fungsi seksual setelah mengalami kanker dan terapinya. Penelitian ini memberikan informasi atau data tentang permasalahan seksualitas para responden, yaitu para perempuan yang mengalami kanker servik dan telah dilakukan kemoradiasi dalam satu tahun pertama pascaterapi kanker serviks. Secara umum, para responden pada penelitian ini, baik pada kelompok intervensi maupun pada kelompok non-intervensi, mengalami permasalahan Tabel 1. Gambaran perubahan rerata keluhan fi sik seksual dan keluhan psikologis seksual pada kelompok intervensi dan kelompok non-intervensi Variabel Intervensi % Kenaikan n Non Intervensi % Kenaikan n p Rerata SD P Rerata SD P Lubrikasi 56,60 25,49 Pre-test 3,61 1,28 0,009** 12,38 3,67 1,37 0,516** 5,17 Post-test 4,12 0,88 3,87 1,16 0,078* Disparenia 92,45 39,22 Pre-test 3,39 0,31 0,000** 26,62 3,42 0,28 0,075** 5,26 Post-test 4,62 0,70 3,61 0,17 0,000* Minat 24,53 23,53 Pre-test 3,79 1,19 0,844** 2,32 3,98 1,19 0,995** 1,49 Post-test 3,88 1,04 4,04 0,89 0,489* Gairah 30,18 31,37 Pre-test 3,99 1,19 0,797** 1,48 4,22 1,19 0,77** 1,17 Post-test 4,05 1,01 4,27 0,89 0,299* Orgasme 47,17 29,41 Pre-test 3,50 1,77 0,252** 10,49 3,61 1,81 0,494** 5,74 Post-test 3,91 0,98 3,83 1,46 0,752* Kepuasan hubungan 92,45 25,29 Pre-test 3,66 0,41 0,000** 20,09 3,77 0,38 0,057** 3,58 Pos-test 4,58 0,34 3,91 0,28 0,000* Kedekatan Emosi 98,11 43,14 Pre-test 3,26 0,42 0,000** 10,68 3,26 0,45 0,045** 3,55 Post-test 3,65 0,43 3,38 0,89 0,000* Komunikasi 98,11 54,90 Pre-test 3,65 0,43 0,000** 17,79 3,71 0,44 0,053** 3,89 Post-test 4,44 0,37 3,86 0,30 0,000* Kepedulian hubungan 39,22 Pre-test 3,11 0,76 0,78 0,205** 6,19 Post-test 4,16 1,35 0,54 0,000* Kepercayaan diri 29,41 Pre-test 3,65 0,62 0,63 0,552** 4,47 Post-test 4,94 1,08 0,35 0,000* Jurnal Ners Vol. 6 No. 1 April 2011: 68–75 72 seksual yaitu penurunan minat atau bahwa sudah tidak memiliki minat untuk melakukan kembali aktivitas seksual dengan para pasangan mereka. Studi-studi sebelumnya melaporkan hal yang sama bahwa pascaterapi kanker serviks, kebanyakan perempuan mengalami penurunan hasrat atau minat untuk kembali melakukan hubungan seksual (Jensen, et al. 2003; Ganz et al. 2003; Hunges, 2009). Mengalami nyeri saat berhubungan seksual (dispareunia) juga dialami oleh para responden dalam penelitian ini, baik pada kelompok intervensi maupun pada kelompok non intervensi. Kondisi ini menyebabkan terjadi penurunan frekuensi melakukan hubungan seksual. Permasalahan dispareunia yang berakibat menurunkan frekuensi hubungan seksual pada para perempuan pascaterapi kanker serviks juga dilaporkan pada studi- studi lainnya (Bergmark, et al., 2005; Flay dan Matthews, 1995, Wilmoth, 2006). Penelitian ini, secara statistik dilaporkan bahwa ada perbedaan bermakna antara kelompok intervensi dan kelompok non- intervensi berhubungan dengan perbaikan disparenia, kepuasan hubungan seksual, kedekatan emosional, kepedulian hubungan dengan pasangan, kemunikasi, dan kepercayaan diri, namun, tidak ada perbedaan yang bermakna atau signifikan antara kelompok intervensi dan kelompok non-intervensi berhubungan dengan perbaikan minat, gairah, lubrikasi, dan orgasme. Setelah dilakukan intervensi keperawatan seksual, terjadi perbaikan minat, gairah seksual, lubrikasi vagina, serta orgasme seksual pada kelompok intervensi sedikit lebih baik dibandingkan kelompok non-intervensi. Oleh karena itu, hipotesis peningkatan rerata minat, gairah seksual, lubrikasi vagina, serta orgasme tidak terbukti bermakna, namun, jika dilihat secara peningkatan nilai rerata minat, gairah seksual, lubrikasi vagina, dan orgasme pada kelompok intervensi sedikit lebih baik dibanding pada kelompok non intervensi. Hal ini karena perbaikan minat hubungan seksual, gairah seksual dan perbaikan lubrikasi vagina serta orgasme membutuhkan waktu yang lebih lama (lebih dari 6 minggu) karena aspek- aspek tersebut merupakan isu emosional yang perbaikannya membutuhkan waktu yang tidak sedikit berkaitan dengan perubahan perilaku individu terhadap kondisi seksualitasnya saat ini (Derzko C, Elliott S, dan Lam W, 2007). Permasalahan tersebut sama dialami oleh para survivor kanker payudara seperti yang dilaporkan oleh Jun, et al. (2011) yang memberikan program sexual reframing juga tidak menunjukkan perbedaan bermakna antara kelompok intervensi dan non intervensi dalam perbaikan pada minat hubungan seksual dan lubrikasi vagina pascaterapi kanker selama 6 minggu diberikan program tersebut. Hasil temuan penelitian ini dan hasil penelitian oleh Jun, et al (2011) berbeda dengan yang dilaporkan oleh Brotto et al. (2008) seorang yang memotori penggunaan intervensi psiko-pendidikan singkat untuk memperbaiki gangguan gairah seksual pada 22 perempuan dengan kanker serviks atau endometrium yang menjalani histerektomi. Hasil studinya menemukan terdapat efek positif pada hasrat seksual, rangsangan, orgasme dan kepuasan seksual dalam kelompok intervensi kecil ini. Berbeda dengan Brotto, et al. (2008), Schroder et al. (2005) memotori pemakaian seperangkat vakum klitoris pada 13 perempuan pascaradioterapi yang mengalami masalah gairah seksual atau disfungsi orgasme. Bila dibandingkan dengan penilaian awal, ke-13 perempuan yang menyelesaikan pembelajaran selama 3 bulan, seluruhnya melaporkan peningkatan hasrat seksual, gairah, lubrikasi vagina, orgasme, kepuasan seksual dan dispareunia yang berkurang. Adanya perbedaan hasil penelitian ini dengan dua studi sebelumnya, dapat disebabkan perbedaan karakteristik dan budaya para responden juga mempengaruhi keberhasilan intervensi yang dilakukan. Kelompok intervensi pada penelitian ini terjadi peningkatan kepuasan hubungan seksual dan perbaikan disparenia yang signifikan dibanding dengan kelompok non intervensi terjadi karena pada kelompok intervensi telah diberikan penjelasan dan pemahaman tentang pentingnya melakukan hubungan seksual untuk mempercepat pemulihan kesehatan seksual mereka. Selanjutnya, booklet yang dibagikan pada kelompok intervensi berisi tentang berbagai teknik mengurangi dispareunia. Pada saat dilakukan pemberian edukasi- Perubahan Keluhan Seksual Fisik dan Psikologis (Afi yanti) 73 konseling, para responden memperoleh bimbingan langsung dan kebanyakan mereka mempraktikkan teknik-teknik tersebut, di antaranya mereka melakukan variasi posisi dan mempraktikkan latihan Kegel untuk mengurangi diaparenia dan meningkatkan lubrikasi vagina mereka seperti yang terdapat pada booklet. Alhasil, dilihat dari nilai post- test, nampak terjadi penurunan dispareunia dan peningkatan kepuasan hubungan seksual pada kelompok intervensi. Latihan menstimulasi sendiri/self-stimulation termasuk latihan Kegel dan latihan berbagai posisi dalam melakukan hubungan seksual terbukti dapat membantu mengatasi dispareunia pada perempuan yang mengalami disfungsi seksual (Wilmoth dan Spinelli, 2000) dan intervensi edukasi- konseling terbukti sebagai strategi intervensi promosi terbaik meningkatkan kualitas hidup perempuan penderita kanker (Juraskova, et al., 2005). Penelitian ini juga melaporkan bahwa pada kelompok intervensi terjadi peningkatan rerata kepercayaan diri pascaterapi kanker serviks setelah diberikan edukasi – konseling dibandingkan dengan kelompok intervensi. Hal ini sesuai dengan hasil yang ditemukan oleh Robinson (1999) melaporkan dari studi mereka bahwa kelompok intervensi yang memperoleh konseling kesehatan seksual memiliki kepercayaan diri kembali pascaterapi kanker dan memiliki cara-cara lainnya untuk mengatasi masalah seksual yang dialaminya pascaterapi kanker. Selanjutnya, studi yang dilakukan oleh Maughan dan Clarke (2001) mempelajari intervensi konseling yang diberikan para perawat spesialis telah membuktikan bahwa intervensi konseling yang dilakukan para perawat spesialis tersebut terbukti memberikan pengaruh yang positif terhadap pengembalian fungsi seksual yang sehat di antara para penderita, walaupun secara statistik tidak bermakna. Penelitian ini memiliki keterbatasan antara lain studi ini hanya melibatkan para perempuan dari satu rumah sakit, sehingga generalisasi hasil studi ini belum representatif mengungkap permasalahan seksualitas yang dialami para perempuan pascaterapi kanker di Indonesia. Jumlah sampel yang kecil dan isu seksual yang masih taboo untuk dibicarakan secara terbuka menyebabkan penelitian ini masih sulit untuk mampu laksana secara skala besar. Selain itu, bahan pembelajaran untuk pemberian edukasi-konseling masih membutuhkan penyempurnaan sehingga diharapkan pada penelitian selanjutnya, bahan pembelajaran yang digunakan menjadi lebih sempurna. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Intervensi keperawatan seksual terbukti efektif memperbaiki fungsi seksual dan kepuasan seksual perempuan pascaterapi kanker serviks yang dievaluasi selama kurun waktu 6 minggu. Itervensi keperawatan berupa edukasi dan konseling dapat menurunkan dispareunia, meningkatkan kepercayaan diri, dan frekuensi hubungan seksual pascaterapi kanker serviks. Saran Perawat perlu memberikan edukasi konseling seksual untuk mengatasi keluhan- keluhan tersebut mengingat komplikasi yang dapat terjadi pascakemoradiasi kanker. Oleh karena itu, penerapan kebijakan lokal untuk pelayanan di rumah sakit-rumah sakit perawatan kanker, mengupayakan latihan-latihan yang diajarkan pada paket ini dalam upaya meningkatkan kualitas hidup para survivor dianjurkan dilakukan secara berkesinambungan oleh perawat kepada para kliennya. Selain itu, pengembangan program promosi kesehatan dengan pelatihan untuk para perawat agar memiliki pengetahuan dalam memberikan edukasi dan konseling seksualitas dan terlatih perlu dilakukan sehingga para perawat dapat melakukan pengkajian dan intervensi terhadap permasalahan seksual para kliennya. Paket Intervensi ini diusulkan dapat dilaksanakan oleh para perawat di rumah sakit dengan bekerja sama membentuk suatu team kolaborasi dengan tenaga kesehatan lainnya. Jurnal Ners Vol. 6 No. 1 April 2011: 68–75 74 KEPUSTAKAAN Bergmark, K., Avall-Lundqvist, E., Dickman P.W., Henningsohn, L., dan Steineck, G., 2005. Patient-rating of distressful symptoms after treatment for early cervical cancer. Acta Obstet Gynecol Scand, 81, 443–450. B o o t h , K . , B e a v e r, K . , K i t c h e n e r, H . , O’Neill, J., dan Farrell, C., 2005. Women’s experiences of information, psychological distress and worry after treatment for gynaecological cancer. Patient Education and Counselling, 56, 225–232. Brotto, L.A., Heiman, J.R., Goff, B, et al., 2008. A psychoeducational intervention for sexual dysfunction in women with gynecologic cancer. Arch Sex Behav. 10, 91–96. Burns, M., Costello, J., Ryan-Woolley, B., dan Davidson, S., 2007. Assessing the impact of late treatment effects in cervical cancer: an exploratory study of women’s sexuality. European Journal of Cancer Care, 16, 364–372. Departemen Kesehatan, 2008. Profi l Kesehatan R e p ro d u k s i I n d o n e s i a . J a k a r t a : Departemen Kesehatan. Derzko, C., Elliott, S., dan Lam, W., 2007. Management of sexual dysfunction in postmenopausal breast cancer patients taking adjuvant aromatase inhibitor therapy. Curr Oncol. 14 (suppl 1): S20YS40. Ganz, P.A., Rowland, J.H., Desmond, K., Meyerowitz, B.E., dan Wyatt, G.E., 1998. Life after breast cancer: Understanding women’s health-related quality of life and sexual functioning. Journal of Clinical Oncology, 16, 501–514. Greenwald, H.P., dan McCorkle, R., 2007. Remedies life change among invasive cervical cancer survivor. Urology Nursing, 27(1), 47–53. Hunges, M.K., 2009. Sexuality and cancer: The fi nal Frontier for Nurses. Oncology Nursing Forum, 36(5), 241–246. Jensen, P.T., Groenvold, M., Klee, M.C., Thranov, I., Petersen, M.A., dan Machin, D., 2003. Early stage cervical carcinoma, radical hysterectomy and sexual function. Cancer, 100(1), 97–106. Jun, E.Y., et al., 2011. The effect of a sexual life reframing program on marital intimacy, body image, and sexual function among breast cancer survivors. Cancer Nursing, 34(2), 142–149. Juraskova, I., Butow, P., Robertson, R., Sharpe, L., McLeod, C., dan Hacker, N., 2003 Post-treatment sexual adjustment following cervical and endometrial cancer: a qualitative insight. Psycho- oncology, 12. 267–297. Kaplan, H.S., 1992. A neglected issue: The sexual side effects of current treatment for breast cancer. Journal of Sex and Marital Therapy, 18, 3–19. Klee, M., Thranov, I., dan Machin, D., 2000. Life after radiotherapy: the psychological and social effects experienced by women treated for advanced stages of cervical cancer. Gynaecol Oncol, 76, 5–13. Maughan, K., dan Clarke, C., 2001. The effect of a clinical nurse specialist in gynaecology oncology on quality of life and sexuality. Journal of Clinical Nursing, 10(2), 221–229. Maughan, K., Heyman, B., dan Matthews, M., 2002. In the shadow of risk: how men cope with a partner’s gynaecological cancer. International Journal of Nursing Studies, 39, 27–34. Monga, U., 2005. Sexuality in cancer patients. Archives of Physical Medicine and Rehabilitation, 9, 417–442. Robinson, J.W., Faris, P.D., Scott, B., 1999. Psychoeducational group increases vaginal dilation for younger women and reduces sexual fears for women of all ages with gynecological carcinoma treated with radiotherapy. Int J Radiat Oncol Biol Phys, 44, 497–506. Schroder, M.A., Mell, L.K., Hurteau, J.A., et al., 2005. Clitoral therapy device for treatment of sexual dysfunction in irradiated cervical cancer patients. Int J Radiat Oncol Biol Phys, 61, 1078– 1086. Turns, D., 2001. Psychosocial issues: pelvic exenterative surgery. Journal Surg Oncology, 76, 224–236. Wenzel, L., DeAlba, I., Habbal, R., et al., 2005. Quality of life in long-term cancer survivors. Gynecologic Oncol, 97, 310–317. Perubahan Keluhan Seksual Fisik dan Psikologis (Afi yanti) 75 Wilmoth, M.C., dan Spinelli, A., 2000. Sexual implications of gynaecologic cancer treatments. Journal of Obstetric, Gynaecologic and Neonatal Nursing, 29 (4), 413–423. Wilmoth, M.C., 2006. Life after cancer: What does sexuality have to do with it? Oncology Nursing Forum, 33(5), 905–910. World Health Organization (WHO), 2006. C o m p re h e n s i v e c e r v i c a l c a n c e r kelompok non non intervensi: A Guide to essential Practice. Geneva.