Vol 6 No 2 Oktober 2011_Akreditasi 2013.indd 113 MODEL ASUHAN KEPERAWATAN TERHADAP PENINGKATAN ADAPTASI KOGNISI DAN BIOLOGIS PADA PASIEN TERINVEKSI HIV (Nursing Care Approch Model (NCAM–PAKAR) on the Increasing of Cognitif and Biological Adaptation Responses Patient with HIV Infection) Nursalam Fakultas Keperawatan Universitas Airlangga, Kampus C Mulyorejo Surabaya Telp/Fax: (031) 5913257 E-mail: nursalam_psik@yahoo.com ABSTRACT Introduction: PAKAR model that focused on coping strategy and social support (nurse, family and patients) lead to positive coping mechanism through the learning process. The purpose of the study was to examine the effect of PAKAR toward adaptive response on PWH infection. PNI and nursing sciences from Roy paradigm were used in this study. Method: Quasy-experimental pre-post-test non randomized control group design is used in this study. Forty (40) PWH infections in Intermediate Department Care for Infection Disease (UPIPI) Dr. Soetomo hospital in Surabaya were selected and non-randomized assignment divided into 2 groups of 20, experiment and control group. In vitro- test were used to measure biological response change: cortical, CD4, IFNγ, and Anti-HIV. Psychological, social, and spiritual response were measured and observed by using questionnaires, in depth interview and Focus Group Discussion. A Multivariate analysis was used to evaluate the data of biological response and non-parametric test: Wilcoxon and Mann Whitney were used to measure cognitive response. Result: Result showed that there were signifi cantly differences on cognitive response between PAKAR and Standard, namely; spiritual response on be patient, social response on emotional stable, and acceptance response on anger and bargaining. In addition, biological response were signifi cantly differences between the groups with F = 0.497 and p = 0.000. The cortical and Anti-HIV variables were the pattern contribution between the groups, with 77.5%. The increase the number of CD4 was found to be the dominance factor that was correlated toward the positive of cognitive response caused by PAKAR. Discussion: PAKAR model that focused on coping strategy and utilizing social support lead to treat cognitive response PWH infection. The model is based on nursing science theory (Roy and Hall) combined with psychoneuroimmunology paradigm that is able to induce immune response modulation, especially the increase of the number of CD4. The increase of CD4 will induce IFN-γ to help macrophage in destroying HIV. Keywords: nursing care approach model (PAKAR), cognitive adaptive responses and biological responses PENDAHULUAN Pasien HIV di Indonesia menjadi masalah yang serius dan tantangan bagi tenaga kesehatan (Biondi, 2001). Di Jawa Timur terjadi suatu peningkatan kasus HIV/AIDS yang signifi kan. Data di RSU Dr. Soetomo tahun 2004, pada tahun 1989–2000 tercatat 29 pasien; 2001–2002 = 80 pasien; dan 2003 – Agustus 2004 = 155, dan akhir Agustus 2004 adalah 85 kasus yang dirawat di UPIPI, 20 di antaranya meninggal dunia. Keadaan tersebut akan bertambah parah jika tidak ada suatu upaya penanganan yang komprehensif dengan melibatkan beberapa pihak dan model asuhan yang lebih baik (Departemen Kesehatan, 2003). Hal ini karena setelah pasien didiagnosis dengan HIV positif mengalami gangguan respons adaptasi (biologis, psikologis, sosial) bahkan pasien mengalami shock yang berat Nursalam (2007). Kondisi ini diperparah dengan stigma yang ada di masyarakat Indonesia bahwa penyakit HIV Jurnal Ners Vol. 6 No. 2 Oktober 2011: 113–125 114 adalah penyakit akibat moral yang tidak baik, penyakit menular yang berbahaya, dan penyakit yang mematikan. Hal dimaksud membuat pasien semakin stres (psikologis-sosial- spiritual) dan merasa terisolasi yang akhirnya memperparah stres biologis, terutama pada sel imunokompeten: penurunan jumlah CD4, peningkatan kadar cortisol, penurunan kadar IFNγ, dan Anti-HIV(Ader, 2001). Penurunan CD4 menurut (Nasronudin, Soewandojo, Suharto. 2002) rerata 30–60 cells/μL, bahkan bisa mencapai lebih dari 180 cells/μL per tahun. Berdasarkan hasil pilot study yang dilakukan peneliti pada bulan Juni – Juli 2004, dari 9 pasien HIV yang dirawat di UPIPI RSU Dr. Soetomo semua mengalami gangguan respons adaptif biologis, psikologis, sosial dan spiritual. Kondisi yang demikian ini memerlukan penanganan yang komprehensif, khususnya dalam mengatasi stres psikososial- spiritual. Menurut Nursalam (2007), asuhan keperawatan yang diberikan pada pasien HIV di instansi pelayanan masih belum optimal. Perawat masih belum mampu memenuhi kebutuhan pasien secara holistik, khususnya dalam dukungan sosial dan strategi koping yang efektif. Stres persepsi yang dialami pasien semakin bertambah. Pasien yang mendapatkan asuhan keperawatan dengan menerapkan strategi koping dan dukungan sosial selama 3 bulan mengalami peningkatan CD4 rerata 12 cells/μL. Asuhan keperawatan dengan PAKAR yang menekankan pada strategi koping dan dukungan sosial sangat diperlukan. Namun sampai saat ini model asuhan keperawatan yang sesuai pada pasien HIV di Indonesia dalam mempercepat respons adaptif (biologis, psikologis, sosial dan spiritual) masih belum ditemukan. Stres psikososial-spiritual pasien terinfeksi HIV berlanjut akan mempercepat kejadian AIDS dan bahkan meningkatkan angka kematian. Menurut Maramis (2003) jika stres mencapai tingkat exhausted stage dapat menimbulkan kegagalan fungsi sistem imun, yang memperparah keadaan pasien. dan mempercepat kejadian AIDS. Modulasi respons imun akan menurun secara signifi kan, seperti aktivitas APC (makrofag); Th1 (CD4); IFNγ; IL-2; Imunoglobulin A, G, E dan Anti- HIV. Penurunan tersebut akan berdampak terhadap penurunan jumlah CD4 hingga mencapai 180 cells/μL per tahun. Hal tersebut mengakibatkan pasien menjadi rentan terhadap infeksi sekunder. Nursalam (2005) pasien yang mengalami penurunan aktivitas IFNγ, lebih rentan terhadap infeksi sekunder pada kulit, seperti herpes zooster dan simplek. Keadaan ini sangat membahayakan kondisi pasien dan mempercepat kejadian AIDS serta kematian. Pada umumnya penanganan pasien HIV memerlukan tindakan yang hampir sama, namun dari fakta klinis sewaktu pasien kontrol ke rumah sakit menunjukkan ada perbedaan respons imunitas (CD4). Hal tersebut terbukti ada faktor lain yang memengaruhi. Menurut peneliti faktor tersebut sangat berkaitan dengan peran serta keluarga dan perawat dalam menangani stres psikososial selama menjalani perawatan kurang optimal. Pasien yang mengalami stres yang berkepanjangan, berdasarkan konsep psikoneuroimunologi, melalui sel astrosit pada cortical dan amigdala pada sistem limbik berefek pada hipotalamus. Kemudian hipofisis akan menghasilkan CRF, yaitu pada sel basofi lik. Sel basofi lik tersebut akan mengekspresikan ACTH (adrenal cortico tropic hormone) yang akhirnya dapat memengaruhi kelenjar kortek adrenal pada sel zona fasiculata, kelenjar ini akan menghasilkan kortisol yang bersifat immunosupressive. Apabila stres yang dialami pasien sangat tinggi, maka kelenjar adrenal akan menghasilkan kortisol dalam jumlah banyak sehingga dapat menekan sistem imun, yang meliputi aktivitas APC (makrofag); Th-1 (CD4); dan sel plasma: IFNγ; IL-2; IgM – IgG dan Antibodi-HIV (Nursalam, 2005). P e r a w a t m e r u p a k a n f a k t o r y a n g mempunyai peran penting pada pengelolaan stres khususnya dalam memfasilitasi dan mengarahkan koping pasien yang konstruktif agar pasien dapat beradaptasi dengan sakitnya dan pemberian dukungan sosial, berupa dukungan emosional, informasi, dan material (Nursalam, 2005). Salah satu metoda yang digunakan dalam penerapan teknologi ini adalah menerapkan model pendekatan asuhan keperawatan (PAKAR). Pendekatan yang Model Asuhan Keperawatan (Nursalam) 115 digunakan adalah strategi koping dan dukungan sosial yang bertujuan untuk mempercepat respons adaptif pada pasien terinfeksi HIV, meliputi modulasi respons imun (Nursalam, 2005) respons psikologis; dan respons sosial. Dengan demikian penelitian bidang imunologi dengan 4 variabel dapat membuka nuansa baru untuk bidang ilmu keperawatan dalam mengembangkan model pendekatan asuhan keperawatan (PAKAR) adaptasi dari Roy yang berdasar pada paradigma psikoneuroimunologi terhadap pasien terinfeksi HIV. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis perbaikan respons psiko-sosio- spiritual dan biologis pada pasien terinfeksi HIV dengan PAKAR. BAHAN DAN METODE R a n c a n g a n p e n e l i t i a n i n i a d a l a h eksperimental. Jenisnya adalah quasy- experimental non-randomised pre-post- test control group design. Subjek diukur respons biologis, berupa modulasi respons imun (kortisol, CD4, IFNγ dan Anti-HIV) dan diberikan kuesioner serta diobservasi respons psikologis, sosial, dan spiritual sebelum dilakukan intervensi berupa penerapan pendekatan asuhan keperawatan selama 3 bulan. Populasi yang diteliti adalah seluruh pasien HIV yang tinggal di Kota Surabaya berdasarkan data pasien yang masuk rumah sakit dan kontrol rutin di Unit Perawatan Intermediate Penyakit Infeksi (UPIPI) RSU Dr. Soetomo Surabaya tahun 2004. Jumlah populasi pasien yang dirawat di UPIPI adalah 85 pasien. Pasien yang terpilih akan mengisi surat pernyataan kesediaan peran serta dalam penelitian. Variabel bebas (perlakuan) dalam penelitian ini adalah model PAKAR, sedangkan variabel tergantungnya adalah variabel respons adaptif spiritual (Ronaldson, 2000): harapan yang realistis, tabah dan sabar, pandai mengambil hikmah; variabel respons adaptif sosial: emosi, cemas, interaksi sosial; variabel respons adaptif penerimaan diri: denial (penolakan), anger (marah), bargaining (tawar menawar), depression (depresi); acceptance (penerimaan); variabel respons adaptif biologis (modulasi respons imun: kortisol, CD4, IFNγ, Anti-HIV. Variabel kendali: status gizi (BB dan TB), faal hati (SGOT, SGPT), albumin dan faal ginjal (BUN, kreatinin). Lokasi penelitian adalah Unit Perawatan Intermediate Penyakit Infeksi (UPIPI) RSU Dr. Soetomo dan tempat tinggal pasien di wilayah kota Surabaya. Waktu penelitian adalah selama 1 tahun, 6 bulan mengumpulkan data dan 6 bulan adalah analisis dan penulisan hasil. HASIL Hasil analisis data penelitian yaitu data uji perbedaan respons kognisi (spiritual, sosial, penerimaan diri dan respons biologis). Respons Spiritual Uji perbedaan respons spiritual antara kelompok model PAKAR dan standar tampak pada tabel 1. Analisis hasil penelitian didasarkan pada prinsip-prinsip content analysis adalah sebagai berikut. Pertanyaan: bagaimana harapan anda terhadap kesembuhan penyakit ini? "Saya sebenarnya berharap sangat banyak untuk secepatnya sembuh" Saya ingin segera dapat bekerja seperti semula" (Tn. KN, 31 tahun). Respons tabah dan sabar Analisis isi (content analysis) dari hasil wawancara terstruktur yang peneliti Tabel 1. Uji wilcoxon signed rank test (pre-post) respons spiritual kelompok PAKAR dan standar Respons Pakar Standar Z Hitung Signifi kansi Z Hitung Signifi kansi Harapan -3,758 p = 0,000 -0,775 p = 0,439 Tabah -3,848 p = 0,000 -1,941 p = 0,052 Hikmah -3,368 p = 0,001 -0,812 p = 0,417 Jurnal Ners Vol. 6 No. 2 Oktober 2011: 113–125 116 digunakan untuk mengetahui respons verbal dari responden. Pertanyaan: bagaimana kesabaran dan ketabahan anda terhadap sakit yang anda alami? "Rasanya kesabaran saya sudah habis, setelah usaha yang saya lakukan selama ini sia-sia" Saya sudah tidak tahan lagi menerima cobaan sakit ini" (Ny. Um, 44 tahun). Setelah 3 bulan mendapatkan asuhan hasil wawancara sebagai berikut: "Saya harus sabar dan tawakal sus. Saya mempunyai tanggung jawab untuk mengasuh anak-anakku yang masih kecil". Saya akan merasa berdosa kalau, tidak bisa mengasuh anak saya ini" (Ny. Um, 44 tahun). Respons pandai mengambil hikmah Data analisis isi (content analysis) dari hasil wawancara terhadap pertanyaan yang diajukan peneliti. Pertanyaan: apakah anda berpikir bahwa dengan sakit ini ada hikmahnya dibalik semuanya? Mereka selalu mengatakan penyakit ini merupakan suatu musibah dan hukuman dari Tuhan Yang Maha Esa akibat perilakunya pada masa lampau. "Aku tidak tahu makna dari penyakit ini". " Yang saya tahu, penyakit ini menambah derita yang saya alami" Tuhan mungkin sudah tidak mau menolong saya, karena perbuatanku yang jelek pada masa lampau" (Tn. NGR, 30 tahun). Respons Sosial Uji perbedaan respons sosial antara kelompok model PAKAR dan standar sebelum dan sesudah intervensi ditunjukkan pada tabel 2. Respons sosial aspek emosi, cemas, dan interaksi sosial semua menunjukkan perbedaan yang bermakna. Data analisis isi (content analysis) dari hasil wawancara terstruktur yang peneliti gunakan untuk mengetahui respons verbal dari responden. Respons Emosi Berikut beberapa pertanyaan yang diajukan peneliti. Apakah ada orang yang paling dekat dengan Anda? Apa yang anda rasakan terhadap perasaan dicintai, dihargai, diperhatikan oleh keluarga atau tetangga? Beberapa pasien yang dinyatakan positif sebelum mendapatkan asuhan merasa tidak diperhatikan dan dihina. Hal ini dapat dilihat dari beberapa pernyataan pasien; "Saat saya dinyatakan positif, banyak keluarga saya yang menjauh dan tidak memperhatikan keadaan saya lagi sus! Mereka semua takut tertular" (Ny. ST). "Orang yang dulu dekat dengan saya sekarang mulai menjauh. Saya merasa tidak diperdulikan lagi" (Tn Bd, 30 tahun). Setelah penerapan PAKAR selama 3 bulan hasil wawancara sebagai berikut; "Sekarang ibu, istri, dan adik-adik saya selalu memberi perhatian yang lebih setelah saya dinyatakan HIV" "Mereka mulai menerima kondisi saya dan memberi banyak perhatian, sepertinya tidak berkurang sedikitpun" "Ibu dan adik-adik tetap bisa menerima kondisi saya sekarang apa adanya dan makin sayang saya " (Tn. Bd., 30 tahun). Respons Cemas Data analisis isi pertanyaan tentang; Apa yang sedang saudara cemaskan? Mayoritas responden cemas terhadap kesembuhan penyakitnya. Seperti yang disampaikan oleh pasien waria: "Saya bingung dan khawatir dengan penyakit yang saya alami! Kata orang penyakit Tabel 2. Uji wilcoxon signed rank test (pre-post) respons sosial kelompok PAKAR dan standar Respons Pakar Standar Z Hitung Signifi kansi Z Hitung Signifi kansi Emosi -3,756 p = 0,000 -1,228 p = 0,219 Cemas -3,939 p = 0,000 -3,205 p = 0,001 Interaksi sosial -3,835 p = 0,000 -1,235 p = 0,217 Model Asuhan Keperawatan (Nursalam) 117 ini tidak bisa disembuhkan ya! Saya takut menularkan penyakit ini kepada orang lain, padahal saya harus tetap bekerja! Belum lagi obat yang harus saya beli ya sus! (Tn. Bd, 30 tahun). Sesudah 3 bulan mendapatkan PAKAR respons kecemasan pasien berkurang pada tingkat yang ringan dan ada beberapa yang sedang. "Saya sekarang sudah mulai tenang sus, saya sudah mengerti tentang penyakit ini: pencegahan penularan, pengobatan, dan perawatannya. Untuk masalah biaya pengobatan dari ibu, beliau juga yang membantu memecahkan masalah, tapi kan ndak bisa seterusnya sus, saya khawatir juga kalau subsidinya habis berarti saya harus beli obat sendiri mahal lho sus" (Tn. Sto, 26 tahun). "Saya sebenarnya ingin menikah, tetapi saya khawatir anak dan istri saya nanti tertular. Takut dosa lagi sus". (Tn. SN) Respons Interaksi Sosial Berikut ini analisis isi (content analysis) dari hasil wawancara dari pertanyaan sebelum mendapatkan PAKAR; Bagaimana hubungan Anda dengan pasangan (suami dan istri)? Apakah Anda ikut berpartisipasi dalam kegiatan keluarga? Adakah dukungan dari tokoh agama/tokoh masyarakat atau LSM untuk Anda? Jawaban dapat disimpulkan sebagai berikut. "Sejak saya dinyatakan positif, saya sering dimanjakan ibu saya. Saya jarang dilibatkan dalam keluarga dan biasanya saudara-saudara saya jarang mengajak bicara. Selama ini yang mendukung dari luar ya cuma LSM–HIV/AIDS, khususnya sesama ODHA yang tergabung dalam perawatan di Ruang PIPI RSU Dr. Soetomo Surabaya." "Teman-teman sekampung dan tetangga sampai dengan sekarang tidak tahu kalau saya terkena HIV. Yah kalau tahu mungkin mereka semua akan mengucilkan saya sus! (Tn. SN, 22 tahun). Setelah mendapatkan PAKAR, respons interaksi sosial sebagai berikut: "Sekarang aku sudah sering diajak dan dilibatkan orang tuaku dalam kegiatan di rumah. Mereka semua sudah mulai mau bicara dengan saya lagi". "Sekarang aku aktif dalam kegiatan LSM (HIV) karena senang rasanya kalau bisa bertukar pikiran dengan teman-teman sesama penderita dan saling berbagi "Cuma untuk kegiatan di kampung, aku masih ragu. Takut kalau mereka tahu penyakitku, mereka semua akan menjauhi dan mengusir saya" (Tn. SN, 22 tahun). Respons Penerimaan Diri (Psikologis) Aspek respons psikologis (penerimaan) menunjukkan perbedaan yang signifi kan antara kelompok PAKAR dan STANDAR. Bagian ini akan disajikan hasil secara berurutan 5 respons penerimaan diri: denial, anger, bargaining, depression, dan acceptance. Analisis hasil penelitian didasarkan pada prinsip-prinsip content analysis. Respons Denial Jawaban pasien dari beberapa pertanyaan respons penolakan. Pertanyaan yang diajukan pada respons ini adalah: Bagaimana tanggapan b a p a k / i b u p e r t a m a m e n d e n g a r h a s i l pemeriksaan dan penyakit yang Bapak/Ibu Tabel 3. Uji wilcoxon signed rank test (pre-post) respons penerimaan diri kelompok PAKAR dan standar Respons Pakar Standar Z Hitung Signifi kansi Z Hitung Signifi kansi Denial Anger Bargaining Depresi Acceptance -3,654 -3,622 -3,221 -2,243 -2,136 p = 0,000 p = 0,000 p = 0,001 p = 0,025 p = 0,033 -3,544 -2,820 -3,831 -2,662 -2,928 p = 0,000 p = 0,005 p = 0,000 p = 0,008 p = 0,003 Jurnal Ners Vol. 6 No. 2 Oktober 2011: 113–125 118 derita? Dapat disimpulkan." Berdasarkan hasil dari analisis isi responden menjawab bervariasi, tetapi mayoritas responden sudah siap sehingga respons penolakan tidak berkepanjangan. "Ya gimana lagi, aku sudah merasa. Soalnya teman-teman sesama pengguna juga sudah positif". Tetapi ada responden bernama Ny. St. (25 tahun), seorang ibu muda rumah tangga yang baru mempunyai anak umur 4 tahun. Suami bekerja di Papua selama 3 tahun, begitu diberitahu positif HIV, ibu tadi mengalami shock dan tidak percaya. "Kupikir mungkin ada kesalahan dalam pemeriksaan. Masa sih aku yang kena, aku selalu setia dan tidak pernah hubungan seks dengan orang lain selain suamiku. Lagian suamiku adalah orang yang khusuk dan beriman. Apa ya selama di sana nakal?" "Aku masih gak percaya dengan hasilnya. Lha wong aku memang ada sakit livernya! Tapi aku terima aja, mau diapakan lagi?" (I.s; 30 tahun). Respons Anger Analisis isi dari pertanyaan; Bagaimana tanggapan bapak/ibu bila ada orang yang membicarakan sakit anda? Menurut bapak/ibu karena salah siapa anda sakit? "Jangan sampe ada orang yang tahu dengan sakit saya, kecuali ibu dan bapakku." "Aku sangat marah jika ada orang lain yang mengejek dan menjauhi aku jika sedang berbicara, khususnya teman-teman kampung yang tidak tahu!" "Coba kalo orang tuaku gak cerai! Tidak akan seperti ini! Semua ini salah orang tuaku kok!" (Tn. WT; 20 tahun – SMA). Sesudah pasien mendapatkan model PAKAR selama 3 bulan respons pasien sebagai berikut: "Malu memang. Tapi untuk apa terlalu dipikirkan yang kasih makan aku kan bukan tetangga. Sakit ini karena salahku sendiri kenapa dulu berbuat seperti ini" "Orang-orang sudah mau menerima aku. Soalnya mereka melihat kalau badanku sekarang sudah gemuk lagi. Jadi mereka tidak punya bukti untuk menuduh aku kena sakit AIDS. Orang-orang tahunya kalo sakit AIDS berat badan tidak akan meningkat lagi." (JN, 30 tahun, waria). Respons Bargaining Pertanyaan yang diajukan pada respons ini adalah: Andaikata bapak/ibu sembuh apa yang hendak dilakukan atau punya niat apa? Hal ini bisa dilihat dari pernyataan beberapa jawaban pasien sebelum mendapatkan intervensi: "Ah aku bingung, seandainya aku hidup teratur tentu tidak akan menderita penyakit seperti ini. (Ny. Iis). "Apa aku juga kena ya? Tapi kan aku setelah menikah belum 'kumpul' dengan suamiku, soalnya waktu itu dia langsung sakit. Kalau aku ciuman pernah, pas aku sariawan, dia juga. Gimana ya mbak kalau aku juga positif?" (Fr, perempuan, 30 tahun). Berikut beberapa kutipan jawaban dari pasien yang telah mendapatkan model PAKAR selama 3 bulan. "Kalau aku sembuh, aku gak mau pake yang gitu lagi. Tapi apa aku masih bisa sembuh? Obatnya apa aku bisa beli di luar? Gimana kalau aku ke pengobatan alternatif saja" (Tn. Hr, 41 tahun). Respons Depression Berikut ini adalah beberapa pertanyaan yang diajukan kepada pasien dalam menggali respons depresi: Adakah perasaan tertekan dengan kondisi anda saat ini? Bagaimana perasaan bapak/ibu bila ingat penyakit dan pengobatan yang harus dijalani? Sebagian besar pasien mengalami depresi, khususnya perasaan ingin mati jika mengingat penyakit yang diderita tidak bisa disembuhkan. Pernyataan ini seperti yang disampaikan Ar (42 tahun, waria). "Saya merasa gagal dalam hidup ini, saya tidak pernah bisa mencapai kebahagiaan"Aku takut cepat mati. Apalagi kalau aku pas tidak punya uang untuk beli obatnya. Rasanya hidup ini semakin pendek dan hanya menunggu kematian ya sus!" Sesudah dilakukan PAKAR selama 3 bulan respons yang ditunjukkan seperti yang disampaikan Ny. Mul. Model Asuhan Keperawatan (Nursalam) 119 "Iya, kadang-kadang perasaan tidak berdaya, kegagalan, dan keinginan mati masih ada sus" Gimana ya cara menghilangkannya, sulit sekali". "Aku juga masih merasa minder dan sedih jika timbul keluhan-keluhan" Respons Acceptance Pertanyaan: Apakah bapak/ibu bisa menerima apapun kondisi anda saat ini dan yang akan datang? Hal ini seperti yang disampaikan pasien Ny. I.s yang pernah bekerja sebagai pegawai Pabrik Sony di Singapura. "Aku masih belum terima, suster. Aku tidak pernah memakai narkoba bahkan waktu aku bekerja si Singapura juga aku tidak pernah berhubungan dengan siapa pun juga. "Apa yang saya usahakan selama ini sia-sia, sus. Ya saya hanya akan kontrol kalau kondisi saya sudah tidak bisa saya atasi". (I.s, perempuan, 30 tahun). Setelah 3 bulan mendapatkan model PAKAR respons yang ditunjukkan seperti yang disampaikan oleh Ny. I.s; "Entahlah suster, yang penting aku harus berobat dan menjaga kondisi. Dengan berkunjung ke sini setiap Rabu, saya merasa mendapatkan dukungan emosional dari teman- taman semua. Aku sudah mulai bisa menerima sus". Respons nonverbal Respons nonverbal yang ditunjukan selama PAKAR dengan individu, keluarga, dan kelompok dapat dilihat pada tabel 4. Tabel 4. Respons nonverbal yang menonjol selama PAKAR Respons Ekspresi/Respons Nonverbal Spiritual Pertemuan individu dan Keluarga: – Ekspresi yang ditunjukkan sewaktu ditanya hal-hal yang berhubungan spiritual, mereka menarik napas panjang, sering menunduk dan diam. Kadang-kadang muka menghadap ke lantai untuk beberapa saat. Pertemuan kelompok (peer group) – Sewaktu ada sebagian mereka yang mengatakan harus tabah dan menghadapi masa depan, ekspresi yang ditunjukkan sebagian pasien adalah menunduk dengan menyangga muka, ada yang menghadapkan wajahnya ke langit-langit. Sosial Pertemuan individu dan keluarga – Respons ekspresi yang ditunjukkan terus menunduk, menggeleng kepala, mengangguk, membuang muka dan kurang memperhatikan. Jika pasien ditanya tentang apa yang dialami selama ini, pasien tampak memperhatikan. Sebaliknya jika ditanya tentang hal-hal yang menyebabkan sakit, sebagian besar pasien tidak menjawab langsung, terdiam dan hanya bicara seperlunya. Mereka sering bermain-main jari, lihat-lihat HP, dan menatap ke atas. Pertemuan kelompok (peer group) – Respons yang ditunjukkan selama diskusi mereka tampak gelisah. Sebagian mereka malu bertanya sehingga hanya terdiam. Penerimaan diri Pertemuan individu dan keluarga – Ketika ditanya tentang aspek penerimaan diri, ekspresi yang ditunjukkan mata tampak melotot dan wajah pucat. Ada juga pasien yang selalu memandang peneliti setiap pembicaraan. Mereka tampak ingin terus bertanya untuk meyakinkan, apakah diagnosa tidak salah. Pertemuan kelompok (peer group) – Mayoritas pasien aktif bertanya untuk mendapatkan keyakinan tentang sakitnya. Sebagian pasien ada yang selalu mengangkat tangan, interupsi. Mereka tampak ingin tukar pikiran hal-hal yang dialami dan hal-hal yang dianggap berhasil. Jurnal Ners Vol. 6 No. 2 Oktober 2011: 113–125 120 Analisis Data Respons Biologis Uji perbedaan respons biologis antara k e l o m p o k m o d e l PA K A R d a n s t a n d a r pengamatan sebelum dan sesudah intervensi. Hasil dari perhitungan model linier regresi pada kelompok yang mewakili PAKAR dan standar (dalam analisis diskriminan: fisher's linier discriminant function) ditunjukkan pada tabel 5 di mana didapatkan pola untuk menggambarkan kekuatan kortisol dan Anti-HIV. PEMBAHASAN Melalui penelitian ini dapat dibuktikan bahwa pengembangan model PAKAR yang menekankan pada strategi koping dan dukungan sosial kepada pasien terinfeksi HIV, berperan sebagai terapi kognisi untuk membangun jenis koping yang sesuai sehingga akan dapat memperbaiki respons kognisi dan biologis. Model PAKAR digunakan untuk mempercepat respons adaptif. Jika koping yang digunakan tidak efektif, maka dengan penggunaan model tersebut akan mempercepat respons adaptif. Tabel 6. Perbedaan model PAKAR dan standar Perbedaan Pakar Standar Tujuan Pemenuhan respons adaptif (kognisi dan biologis) Pemenuhan kebutuhan dasar pasien Pengkajian Fokus pada gangguan adaptasi: kognisi (spiritual, sosial, penerimaan diri) dan biologis (kortisol, CD4, IFN-γ, Anti- HIV). Sebab tidak terpenuhinya kebutuhan dasar pasien, dengan pendekatan head to toe atau ROS (Review of System). Lebih menekankan pada aspek klinis dan sistem Diagnosis Keperawatan Fokus pada 4 gangguan adaptasi 1. Spiritual 2. Sosial 3. Penerimaan diri 4. Imunitas Respons manusia akibat tidak terpenuhi kebutuhan dasar. Intervensi 1. Strategi koping 2. Dukungan sosial (penerapan peran caring oleh perawat, dukungan keluarga, dan dukungan sesama ODHA dengan menerapkan peran pendampingan 1. Observasi 2. Tindakan (indepeden, dependen, kolaboratif) 3. Penyuluhan Evaluasi Respons adaptif kognisi dan imunitas Keluhan Subyektif, Data Obyektif (hasil dari IPPA = inspeksi, perkusi, palpasi, Auskultasi + pemeriksaan laboratorium). Aplikasi di Ruangan Perawat dapat menerapkan perannya secara mandiri dalam memenuhi kebutuhan pasien secara holistik. Perawat menjadi lebih komunikatif dan dekat dengan pasien. Perawat lebih menekankan pada tugas limpah (dependen) dari dokter, sehingga perawat belum dapat memenuhi kebutuhan pasien secara holisitik. Perawat kurang dekat dan komunikatif dengan pasien. Tabel 5. Fisher linier discriminant function Kelompok Asuhan Pakar Standar Cortisol -0.231 0.001 Anti-HIV 3.644 -0.683 Model Asuhan Keperawatan (Nursalam) 121 Strategi koping dalam meningkatkan keadaan biologis pasien, peneliti menekankan pada penyuluhan tentang penyakit dan pengobatan (bagi yang sudah mendapatkan ARV) dan infeksi sekunder, konsumsi nutrisi yang mengandung tinggi kalori, tinggi protein, multivitamin, dan anti oksidan melalui pembelajaran membuat berbagai j u s ( p e n g e m b a n g a n d a r i L a s m a d i w a t i , Sukanta, Nugroho, 2002), aktivitas istirahat (senam), (Oka, 2005), penerapan universal precautions. Strategi koping dan dukungan sosial memengaruhi proses belajar di berbagai sel otak seperti astrosit, mikroglia dan neuron sehingga produksi dan sekresi hormon berkurang. Menurut Roy dikutip oleh Nursalam (2008) proses belajar diawali persepsi, belajar, keputusan, dan tindakan (emosi). Persepsi merupakan proses informasi terhadap stimulus yang masuk, meliputi perhatian, reinforcement, dan identifikasi tanda. Belajar, diartikan sebagai proses imitasi. Keputusan merupakan upaya solusi dan pengambilan keputusan. Emosi diartikan sebagai tindakan terhadap keputusan yang telah ditetapkan. Teknik strategi koping spesifik yang diajarkan pada penelitian ini adalah dengan 3 cara, yaitu pemberdayaan potensi diri, dengan meningkatnya harga diri, berpikiran positif dan percaya diri, teknik kognisi, dapat berupa menghindar atau menghadapi secara terbuka atau kompromi dan teknik perubahan perilaku, yaitu melakukan aktivitas yang bermanfaat dalam mempercepat kesembuhan: meditasi, senam aura atau terapi alam, dan kegiatan lain yang bermanfaat. Perbedaan Pengaruh Respons Spiritual Model PAKAR yang diberikan pada respons ini adalah strategi koping (teknik kognisi) agar pasien mempunyai harapan untuk terus hidup, pasien merasa tabah menghadapi sakitnya, dan bisa mengambil hikmah terhadap sakit yang diderita. Menguatkan harapan yang realistis kepada pasien terhadap kesembuhan merupakan peran perawat yang sangat penting. Perawat dapat meyakinkan kepada pasien bahwa sekecil apapun kesembuhan, akan memberikan ketenangan dan keyakinan pasien untuk berobat. Sehingga diharapkan pasien menjadi lebih tabah dan sabar (Nursalam, 2007). Sabar dan ketabahan hati adalah kunci bagi pasien terinfeksi HIV untuk terus meningkatkan kualitas hidup. Dalam hal ini unsur karakteristik seseorang dan dukungan orang terdekat (peer group) sebagai penguat untuk lebih tabah dan sabar dalam menghadapi cobaan. Individu yang mempunyai kepribadian yang kuat dalam arti tidak suka mengeluh dan selalu optimis, akan tabah dalam menghadapi setiap cobaan. Individu tersebut biasanya mempunyai keteguhan hati dalam menentukan kehidupannya (Nursalam, 2007). Lebih lanjut Proto menjelaskan individu yang sering mengalami kekecewaan dan menderita lebih kuat dan tabah dalam menghadapinya. Ketabahan hati sangat dianjurkan kepada pasien terinfeksi HIV. Perawat dapat menguatkan diri pasien dengan memberikan contoh nyata dan atau mengutip kitab suci atau pendapat orang bijak (Faugier dan Hicken, 1996). Sebagaimana di dalam Al Qur'an surat Al-Baqaroh ayat 286, bahwa Tuhan tidak akan memberikan cobaan kepada umatnya, melebihi kemampuannya. Pasien harus diyakinkan bahwa semua cobaan yang diberikan Tuhan kepada dirinya pasti mengandung hikmah yang sangat penting dalam kehidupannya. Sebagaimana dikutip oleh Kauman dan Nipan (2003) bahwa musibah (penyakit) diberikan kepada manusia oleh Allah untuk menguji tingkat keimanan seseorang. Barang siapa yang tetap bersabar dalam menghadapi musibah yang menimpa dirinya, niscaya ia akan memperoleh derajat yang begitu tinggi dihadapan Allah SWT. Jika pasien sudah mulai mampu mengambil hikmah dari sakit yang diderita, maka respons psikologis: penerimaan akan bisa dipercepat. Peran perawat dalam hal ini adalah mengingatkan dan mengajarkan kepada pasien untuk selalu berpikiran positif terhadap semua cobaan yang dialaminya. Dibalik semua cobaan yang dialami pasien, pasti ada maksud dari Sang Pencipta. Pasien harus difasilitasi untuk lebih mendekatkan diri kepada Sang Pencipta dengan jalan melakukan ibadah secara terus-menerus, sehingga pasien diharapkan memperoleh suatu ketenangan selama sakit (Ronaldson, 2000). Penelitian Jurnal Ners Vol. 6 No. 2 Oktober 2011: 113–125 122 ini mayoritas pasien bisa menerima sakitnya sebagai suatu pelajaran yang berharga untuk memperbaiki perilakunya yang selama ini dianggap bertentangan dengan nilai-nilai moral dan agama. "Dengan sakit ini, saya menjadi lebih mengerti tentang diri saya. Saya menyadari bahwa semua yang telah saya lakukan selama ini tidak benar". Pernyataan pasien di atas sesuai yang dikemukakan oleh Zoetmulder (2000) dalam buku Manunggaling Kawula Gusti bahwa Tuhan telah berada di dalam hati manusia, lebih tepat di bagian paling dalam dinamakan sirr. Sirr berada di tengah-tengah nafsu, bawah sadar yang mendalam, kesadaran yang masih terlipat, dan disebut dengan "perawan murni". Untuk itu perlu dibangkitkan sirr tersebut, agar hati pasien tergerak untuk dapat mengambil hikmah terhadap cobaan yang dialaminya. Dalam Al-qur'an sirr disebut sebagai tahta kesadaran. Ki Agen Sela dalam Prabowo (2004) memberikan beberapa gambaran bahwa cobaan yang diberikan Tuhan kepada manusia, agar orang tersebut mencapai keluhuran atau keutamaan, menghindari sesuatu yang dinamakan tan anut mring wuruk (tidak mengikuti perintah); kumprung biasanya tidak memikirkan untuk mencapai keluhuran, karena senantiasa diliputi oleh kebingungan. Suasana pikiran yang bingung, orang seperti itu tidak sempat memikirkan sesuatu yang lebih luhur yang di balik cobaan yang diberikan. Semua itu terjadi karena ia tidak dapat mengikuti petuah, ajaran, petunjuk yang berguna bagi dirinya. Distres spiritual berupa harapan yang terlalu berlebihan, tidak sabar dan tidak dapat mengambil hikmah dari sakitnya. Dukungan informasional (keluarga berfungsi sebagai sebuah kolektor dan diseminator atau penyebar informasi tentang dunia); dan dukungan penilaian atau appraisal (keluarga bertindak sebagai sebuah bimbingan umpan balik, membimbing dan menengah pemecahan masalah dan sebagai sumber dan validator identitas anggota); dukungan instrumental ( k e l u a rg a ) m e r u p a k a n s e b u a h s u m b e r pertolongan praktis dan konkrit); dukungan emosional (keluarga sebagai sebuah tempat yang aman dan damai untuk istirahat dan pemulihan serta membantu penguasaan terhadap emosi). Menurut Ronaldson (2000) pasien dengan penyakit kronis yang menjalani perawatan yang lama mengalami distres spiritual yang berat. Mereka sebagian besar mengalami perbaikan keadaan fi sik yang lambat. Hal senada juga disampaikan oleh Zoetmolder (2000) bahwa jiwa yang tidak bisa manunggal dengan gusti, mengalami keluhan-keluhan fi sik dan rentan terhadap sakit. Pernyataan ini bisa disimak dari pernyataan pasien: "Aku masih belum bisa mengontrol diri. Saya sering marah-marah tanpa sebab. Yang jadi sasaran ya anak saya dan orang tuaku (ST, perempuan, 26 tahun). Penelitian ini hanya variabel tabah dan sabar yang menunjukkan hubungan yang signifikan dengan peningkatan kadar CD4. Artinya pasien yang tabah dan sabar dalam menghadapi sakit yang dialami akan meningkatkan kadar CD4. Hasil penelitian dari Nursalam (2007) menunjukkan bahwa pasien yang sabar dan menyerahkan diri terhadap sakit yang dialaminya, mengalami peningkatan kadar kortisol. Ader (2001) menemukan dengan peningkatan kadar CD4 pada pasien terinfeksi HIV akan meningkatkan aktivasi IFN-γ yang akhirnya infeksi oportunistik seperti herpes simplek dan herpes zoester dapat dicegah. Perbedaan Pengaruh Respons Sosial Model PAKAR dalam menunjang respons sosial yang adaptif adalah dengan memberikan dukungan sosial kepada pasien melalui pasien, keluarga, dan peer group ODHA. Dukungan yang diberikan berupa dukungan emosional, dukungan informasi, dan dukungan material. Nursalam (2007) menjelaskan bahwa dukungan sosial sebagai informasi atau nasihat verbal dan atau nonverbal, bantuan nyata, atau tindakan yang diberikan oleh keakraban sosial atau berupa kehadiran dan mempunyai manfaat emosional atau berpengaruh pada perilaku penerimanya. Setiap anggota keluarga memiliki kebutuhan dasar fi sik, pribadi dan sosial. Keluarga harus berfungsi menjadi perantara bagi tuntutan-tuntutan dan harapan- harapan dari semua individu yang ada di dalamnya. Menurut Caplan (Nursalam, 2007) Model Asuhan Keperawatan (Nursalam) 123 menerangkan bahwa keluarga memiliki delapan fungsi suportif, termasuk di antaranya dukungan. Keluarga memainkan sebuah peran yang sangat penting dalam menentukan perilaku anggota keluarganya yang sakit, bersifat mendukung selama masa penyembuhan dan pemulihan. Apabila dukungan semacam ini tidak ada, maka keberhasilan program penyembuhan dan pemulihan akan sangat berkurang. Namun untuk penyakit HIV di mana keluarga juga mengalami kekacauan sebentar sebagai respons terhadap kekuatan stresor. Pada penelitian ini pada awal pasien dinyatakan positif terinfeksi HIV, bentuk dukungan keluarga sangat bervariasi. Ada keluarga yang justru menyalahkan, tetapi sebagian besar keluarga tetap memberikan semangat dan dukungan. Perilaku individual sangat dipengaruhi oleh adanya tekanan sosial. Adanya tekanan sosial ini dapat menimbulkan kondisi stres. Respons sosial yang negatif ini muncul, karena adanya situasi yang mengancam atau menyakitkan tubuh individu tersebut, atau disebabkan oleh adanya tekanan sosial yang pada akhirnya akan berdampak pada kondisi fi sik, psikologis dan kemampuan individu untuk berinteraksi dengan lingkungan. Penelitian ini hampir semua respons sosial pasien terifeksi HIV sangat labil dan mereka mengalami kecemasan yang tinggi, baik disebabkan oleh penyakit maupun oleh karena hal lain yang sifatnya dapat memperparah kondisi pasien. Mayoritas pasien mempunyai perasaan dikucilkan oleh teman maupun masyarakat sehingga pasien menjadi tertutup, menyendiri, dan jarang berhubungan dengan lingkungan sekitar. Menurut Roy, respons sosial berhubungan dengan respons imunitas. Pasien yang terganggu hubungan sosial, berupa merasa terisolasi, dikucilkan, dan tidak bisa berperan sesuai dengan statusnya menunjukkan penurunan respons imunitas berupa rentan terhadap sakit. Pada hasil kajian (Nursalam, 2007) pasien terinfeksi HIV waria menunjukkan adanya gangguan interaksi sosial dengan lingkungan. Gangguan interaksi tersebut disebabkan penolakan masyarakat tentang statusnya yang bertentangan dengan agama dan budaya di Indonesia. Kondisi tersebut akan menjadikan beban moral bagi pasien (waria) di masyarakat. Hal demikian berdampak terhadap penurunan kadar CD4 dan peningkatan Anti- HIV. Pada penelitian ini kelompok pasien yang mendapatkan model PAKAR selama 3 bulan menunjukkan respons sosial yang signifi kan, khususnya pasien yang mempunyai emosi yang stabil (perasaan dicintai, dihargai, dan diperhatikan) oleh lingkungan sekitar akan meningkatkan kadar CD4. Pasien menunjukkan respons emosi yang positif, merasa dihargai, diperhatikan dan dicintai. Sebagaimana yang disampaikan SY (laki-laki, 33 tahun). "Selama ini orang tuaku dan adik dan kakakku tetap mendukung saya. Mereka semua menginginkan saya cepat sembuh". Pasien yang tidak terlalu mencemaskan k e a d a a n s a k i t n y a , b i a y a p e r a w a t a n , kesembuhan, dan hubungan dengan sesama menunjukkan peningkatan CD4 dan Anti-HIV yang signifi kan. "Kata teman-teman saya ini tidak sakit HIV/AIDS, badan saya tetap gemuk dan BB tidak turun. Paling kamu tidak sakit YN). Saya semakin senang dengan pujian tetangga tersebut. Saya juga merasa senang dengan bisa berkumpul sesama ODHA setiap hari di UPIPI ini. Saya bisa belajar banyak (JN, waria, 30 tahun). Kecemasan merupakan respons gangguan afek emosi. Individu yang mengalami cemas sampai pada tingkat panik, meningkatkan kerja dari jantung dan menjadi mudah kelelahan. Kondisi tersebut akan memperparah respons imunitas. Perbedaan Pengaruh Respons Penerimaan Diri (Psikologis) Respons psikologis yang digunakan dalam penelitian ini didasarkan pada konsep Kubler dan Ross yang meliputi lima tahapan respons, yaitu: denial – anger – bargaining – depression – acceptance (Sunaryo, 2004) P e n e r a p a n PA K A R d i h a r a p k a n d a p a t mempercepat respons penerimaan. Percepatan respons adaptif pada penyakit ini memengaruhi mekanisme koping dan menurunkan aktivitas HPA. Penurunan aktivitas HPA berpengaruh terhadap penurunan produksi dan sekresi Jurnal Ners Vol. 6 No. 2 Oktober 2011: 113–125 124 neuromodulator disertai neurotransmitter. Pada penelitian kelompok pasien yang mendapatkan model PAKAR menunjukan penurunan produksi kortisol yang signifi kan. Tetapi secara menyeluruh antara kelompok perlakuan dan standar tidak menunjukkan perbedaan yang signifi kan. Hal ini diduga karena sebagian besar pasien sudah menduga positif terinfeksi HIV, karena teman-teman kencan/sesama pengguna sudah terlebih dahulu positif HIV. A d e r ( 2 0 0 1 ) m e n j e l a s k a n b a h w a respons psikologis (stres) berhubungan dengan peningkatan kadar kortisol dan penekanan immunosupresan (CD4, sitokin, dan antibodi). Pasien terinfeksi HIV yang mengalami depresi yang berat berdampak terhadap penurunan CD antara 30–60 cells/μL. Pada penelitian ini respons psikologis secara keseluruhan tidak menunjukkan hubungan yang signifi kan dengan respons biologis. Secara individu, respons denial berhubungan dengan peningkatan IFN-γ. Hal ini diduga bahwa pasien sudah siap dengan didiagnosa yang diberitahukan tim kesehatan. Menurut Carpenito (2003) pasien yang sudah dipersiapkan terhadap suatu kesedihan (anticipatory grieving) mempunyai koping yang lebih konstruktif dibandingkan yang tidak dipersiapkan. Keadaan demikian akhirnya tidak berdampak terhadap kondisi fi sik (biologis). Hal ini bisa disimak dari pernyataan pasien laki-laki YP (28 tahun): " S a y a s u d a h t i d a k t e r l a l u k a g e t dinyatakan positif HIV, karena temanku sesama pengguna juga sudah terlebih dulu kena. Stres sih iya, tapi saya bisa apa. Saya masih tetap ingin konsentrasi dengan pekerjaanku sekarang sebagai tukang sablon. Toh selama saya sakit tidak berpengaruh keluarga". Respons anger berhubungan dengan peningkatan respons imunitas (CD4). Hal ini terjadi karena respons imunitas tersebut, sering terjadi pada pasien yang mengalami respons psikologis yang agresif (seperti anger). Ader (2001) menjelaskan pasien yang mengalami respons marah terhadap sakit yang berkepanjangan akan memicu penurunan IFN-γ. Sehingga pasien menjadi rentan terhadap infeksi oportunistik seperti herpes simplek dan zooster. Suami Ny. UM, juga mengalami respons anger yang berkepanjangan sehingga selama 2 minggu pasien dirawat meninggal. Respons adaptif bargaining juga berhubungan dengan peningkatan CD4. Sebagaimana pada respons anger, respons bargaining akan memicu seseorang untuk melakukan sesuatu yang penuh risiko. Mereka akan berani menghadapi risiko dari tindakan atau keputusan yang dipilih. Kondisi ini memicu terhadap peningkatan kadar IFNγ. Penemuan Baru Model PAKAR pada pasien terinfeksi HIV Penemuan baru yang dapat menjelaskan bagaimana mekanisme penerapan model PAKAR dengan menggunakan paradigma adaptasi dari Roy dan psikoneuroimunologi dapat memperbaiki respons adaptif kognisi (spiritual, sosial, penerimaan diri) dan respons biologis. PAKAR mempunyai efek terhadap proses pembelajaran yang menghasilkan kognisi yang positif sehingga koping pasien menjadi positif. Koping yang positif tersebut ditunjukkan dengan respons emosi yang positif, pandai mengambil hikmah dari sakitnya, dan berpikir rasional terhadap sakit yang dialami sebagai sesuatu yang logis. Hal dimaksud mempunyai efek biologis terhadap penurunan kortisol, sehingga mampu memodulasi respons imun CD4. Peningkatan kadar CD4 akan meningkatkan perannya dalam berinteraksi secara langsung pada ontogen dan fungsi CD4 dalam darah perifer. Interaksi yang kedua adalah CD4 bekerja sebagai reseptor masuknya antigen ke dalam limfosit, khsusnya pada HIV melalui gp 120 yang terdapat pada permukaan HIV. Peningkatan CD4 akan meningkatkan kemampuan mengenal antigen melalui sistem efektor ekstraseluler, misalnya oleh sel T sitoksik yang terdapat pada makrofag sel yang terinfeksi melalui reseptor TCR dan molekul MHC kelas II. Sinyal yang diterima dari sel terinfeksi ini menginduksi limfosit untuk memproduksi berbagai jenis limfokin, termasuk di antaranya IFN-γ yang dapat membantu makrofag menghancurkan HIV. Model PAKAR juga mempunyai efek terhadap keseimbangan perubahan HSP70 yang mampu memproteksi apoptosis melalui jalur sitokin. Model Asuhan Keperawatan (Nursalam) 125 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan M o d e l PA K A R y a n g d i d a s a r k a n psikoneuroimunologi mempunyai efek terhadap perbaikan mekanisme koping pada pasien HIV melalui proses pembelajaran. Perbaikan koping yang positif tersebut ditunjukkan oleh perbaikan respons kognisi distress (tidak tabah, merasa dikucilkan lingkungan, dan marah) menjadi respons yang eutress (tabah dan sabar, emosi yang positif, dan penerimaan diri). Perbaikan respons kognisi tersebut meningkatkan motivasi pasien untuk tetap hidup sehingga memperbaiki respons biologis (imunitas) yang dicerminkan oleh kadar CD4. Peningkatan kadar CD4 akan mencegah progresivitas HIV ke AIDS dan memperbaiki kualitas hidup pasien. Saran Model PAKAR berbasis paradigma p s i k o n e u r o i m u n o l o g i p a s i e n H I V direkomendasikan untuk digunakan dalam perawatan di semua instansi pelayanan kesehatan. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut efek model PAKAR terhadap perubahan respons biologis, khususnya HSP 70 dan HSP lainnya yang memproteksi apoptosis dan memperbaiki imunitas melalui jalur sitokin. Hasil penelitian ini semakin memperjelas peran PAKAR sebagai model terapi kognisi. KEPUSTAKAAN Ader, R., Felten, D.L., dan Cohen N., 2001. Psychoneuroimmunology. 3rd. Edn. San Diago: Academic Pres. INC. pp. 583–612. Biondi, M., 2001. Effects of Stress on immune functions: An overview. In Psychoneuroimmunology, 3rd. ed. Edited by Ader R, Felten DL, Cohen N, Volume II, pp 189–226. Carpenito, L.J., 2003. Nursing Diagnosis. Phladelphia: Mosby Co. pp. 20–45. Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2003. Pedoman Nasional Perawatan, Dukungan dan Pengobatan bagi ODHA. Buku Pedoman untuk Petugas Kesehatan dan Petugas Lainnya. Jakarta: Dirjen PPM & PL Depkes. 11–42. Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2006. Pelatihan Klinik dasar ART dan perawatan akut. Panduan Fasilitator. Jakarta: Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. Faugier, J., dan Hicken, I., 1996. AIDS and HIV. The nursing response. London: Chapman and Hall. Pp. 87–102. Kauman, F., dan Nipan, 2003. Kisah-kisah Akhlak Terpuji. Yogyakarta: Mitra Pustaka. Hlm. 120–127; 162–164. Lasmadiwati, E., Sukanta, P.O., Nugroho, S.H.S., 2002. Potensi Diri dan Alam untuk Pengobatan HIV/AIDS. Bogor: Penebar Swadaya. Hlm. 22–50; 174– 182. Maramis, W.F., 2003. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Surabaya: Airlangga University Press. Nasronudin, Soewandojo, Suharto, 2002. P e n g e t a h u a n d a n s i k a p p e t u g a s kesehatan yang bekerja di Rumah Sakit kota Surabaya dalam merawat pasien HIV/AIDS. Hasil Penelitian tidak dipublikasikan. Nursalam, 2008. Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika, hlm. 13–26. Nursalam, 2007. Asuhan Keperawatan pasien terinfeksi HIV/AIDS. Jakarta: Salemba Medika. Nursalam, 2005. The effect of PAKAR on the increase of CD4 cell account patient with HIV infection. Folia Medica Indonesiana. Prabowo, D.P., 2004. Pandangan Hidup Kejawen. Dalam Serat Pepali Ki Ageng Sela. Yogyakarta: NARASI. Hlm. 73– 89. Oka, P., 2005. Potensi Diri dan Alam untuk Pengobatan HIV/AIDS. Bogor: Penebar swadana. Hlm. 111–150. Ronaldson, S., 2000. Spirituality. The Heart o f N u r s i n g . M e l b o u r n e : A u s m e d Publications. Pp. 5–23. Sunaryo, 2004. Psikologi untuk Keperawatan. Jakarta: EGC. Hlm. 20–29. Zoetmulder, P.J., 2000. Terjemahan oleh Dick Hartoko. Manunggaling Kawulo Gusti. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Hlm. 136–163; 213–246.