126 KEJADIAN VENTILATOR ASSOCIATED PNEUMONIA (VAP) PADA KLIEN DENGAN VENTILASI MEKANIK MENGGUNAKAN INDIKATOR CLINICAL PULMONARY INFECTION SCORE (CPIS) (The Incident of Ventilator Associated Pneumonia (VAP) to Patient with Mechanical Ventilation using Clinical Pulmonary Infection Score (CPIS) Indicators) Dally Rahman*, Emil Huriani*, Ema Julita** * Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran Universitas Andalas, Kampus Universitas Andalas Limau Manis Padang E-mail: dally_rahman@yahoo.co.id **Rumah Sakit Dr M Djamil Padang ABSTRACT Introduction: Ventilator Associated Pneumonia (VAP) is defi ned as nosocomial pneumonia that occurs 48 hours after using mechanical ventilation. The incident of VAP in Dr. M. Djamil Padang Hospital was still high when compared to other hospitals that reached only 9%. Nursing intervention that can be used to avoid VAP is endotracheal secretions suctioning. However, the results of the intervention has not been evaluated by using standardized measuring tool. The purpose of this study was to determine the description of signs differences of VAP on fi rst and third day to clients with mechanical ventilation who were performed endotracheal secretions suctioning in ICU Dr. M. Djamil Hospital Padang 2011. Method: The type of this study was a descriptive analytic. The samples were 15 who had a mechanical ventilation during minimal 3 days. Respondents were derived by Accidental Sampling by using Simplifi ed Version of CPIS as a measuring tool. The statistic test is paired t-test. Result: The result of this study showed that there was a signifi cant difference of the signs of VAP on the fi rst and the third day with p=0,048 (< 0.05). Discussion: There were signifi cant difference on symptom of VAP in mechanically ventilated patient in day 1 and day 3. Simplifi ed version of CPIS was sensitive in early determining VAP. Simplifi ed Version of CPIS are expected to be included in standard procedures of patient management and assessment intervention of endotracheal secretions suctioning. Keywords: Ventilator Associated Pneumonia, endotracheal secretions suctioning, simplifi ed version of CPIS PENDAHULUAN Ventilasi mekanik adalah alat bantu pernafasan bertekanan negatif atau positif yang dapat mempertahankan ventilasi dan pemberian oksigen dalam waktu yang lama (Brunner dan Suddart, 1996). Sejalan dengan penggunaan ventilasi mekanik juga dilakukan intubasi. Intubasi adalah teknik melakukan laringoskopi dan memasukkan Endotracheal Tube (ETT) melalui mulut atau melalui hidung (Elliott, Aitken dan Chaboyer, 2007). Terpasangnya ETT akan menjadi jalan masuk bakteri secara langsung menuju saluran nafas bagian bawah. Hal ini akan mengakibatkan adanya bahaya antara saluran nafas bagian atas dan trakea, yaitu terbukanya saluran nafas bagian atas dan tersedianya jalan masuk bakteri secara langsung. Karena terbukanya saluran nafas bagian atas akan terjadi penurunan kemampuan tubuh untuk menyaring dan menghangatkan udara. Selain itu, refl ek batuk sering ditekan atau dikurangi dengan adanya pemasangan ETT, dan gangguan pada pertahanan silia mukosa saluran nafas karena adanya cidera pada mukosa pada saat intubasi dilakukan, sehingga akan menjadi tempat bakteri untuk berkolonisasi pada trakea. Keadaan ini akan mengakibatkan peningkatan produksi dan sekresi sekret (Agustyn, 2007). Sekret dalam saluran nafas akan tergenang dan menjadi media untuk pertumbuhan bakteri (Agustyn, 2007), sehingga pengisapan sekret endotrakheal merupakan intervensi yang Kejadian Ventilator Associated Pneumonia (VAP) (Dally Rahman) 127 sering dibutuhkan pada pasien yang sedang diintubasi (Elliott, Aitken, dan Chaboyer, 2007). Pengisapan sekret endotrakheal dibutuhkan untuk mengeluarkan sekret dan menjaga kepatenan jalan nafas. Sedangkan, frekuensinya tergantung pada kesehatan klien (Kozier, 1995). Selanjutnya, teknik suction yang aseptik saat melakukan pengisapan pada ETT penting untuk mencegah kontaminasi di saluran nafas (Agustyn, 2007). VAP didefi nisikan sebagai pneumonia yang terjadi 48 jam atau lebih setelah ventilator mekanik diberikan. VAP merupakan bentuk infeksi nosokomial yang paling sering ditemui di unit perawatan intensif (UPI), khususnya pada pasien yang menggunakan ventilator mekanik (Wiryana, 2007). Diagnosa VAP secara klinis ditegakkan berdasarkan adanya demam (> 38,3° C), leukositosis (> 10.000 mm3), sekret trakea bernanah dan adanya infi ltrat yang baru atau menetap dari radiologi. Definisi tersebut mempunyai sensitivitas yang tinggi namun spesifi sitasnya rendah (Joseph, Sistla, Dutta, Badhe dan Parija, 2010). Diagnosa VAP dengan spesifi sitas yang tinggi dapat dilakukan dengan menghitung Clinical Pulmonary Infection Score (CPIS) yang mengkombinasikan data klinis, laboratorium, perbandingan tekanan oksigen dengan fraksi oksigen (PaO2/FiO2) dan foto toraks (Luna, 2003). Penelitian tentang perbandingan CPIS dan kriteria klinik dalam mendiagnosis VAP pada pasien ICU yang komplek menunjukkan, 40 orang pasien yang dirawat di ICU dengan umur rata-rata adalah 14,8–59,6 tahun. Lama hari rawat di ICU antara 14,5–19,2 hari dengan rata-rata durasi penggunaan ventilator mekanik 12,3–13,6 hari. Sensitivitas menunjukkan 35,3% dan 78,3% pada hari pertama dan ketiga dari hari rawat masing-masing pasien. Spesifi sitas menunjukkan 95,7% dan 81,3% pada hari pertama dan hari ketiga dari hari rawat masing-masing pasien (Tan, Banzon, Ayuyao dan Guia, 2007). VAP merupakan komplikasi di sebanyak 28% dari pasien yang menerima ventilasi mekanik. Kejadiannya meningkat seiring dengan peningkatan durasi penggunaan ventilasi mekanik. Estimasi insiden adalah sebesar 3% per hari selama 5 hari pertama, 2% per hari selama 6–10 hari, dan 1% per hari setelah 10 hari (Amanullah dan Posner, 2010). Insiden VAP pada pasien yang mendapat ventilasi mekanik sekitar 22,8%, dan pasien yang mendapat ventilasi mekanik menyumbang sebanyak 86% dari kasus infeksi nosokomial. Selanjutnya risiko terjadinya pneumonia meningkat 3–10 kali lipat pada pasien yang mendapat ventilasi mekanik (Agustyn, 2007). VAP mempunyai banyak risiko, akan tetapi, banyak intervensi keperawatan yang dapat menurunkan insiden VAP. Tindakan yang dapat dilakukan untuk mencegah VAP di antaranya cuci tangan dan pemakaian sarung tangan sebelum dan sesudah melakukan tindakan, dekontaminasi oral, intervensi farmakologis oral, stress ulcer prophilaxis, pengisapan sekret endotrakheal, perubahan posisi klien, posisi semi-fowler, pengisapan sekret orofaring dan pemeliharaan sirkuit ventilator (Agustyn, 2007). Peninjauan sistematis dan meta-analisis oleh Melsen (2009) dikutip dari Amanullah dan Posner (2010) tidak menemukan bukti kematian disebabkan VAP pada pasien dengan trauma atau sindrom gangguan pernapasan akut. Pemusatan data pada 17.347 pasien menunjukkan bahwa di antara pasien trauma, risiko relatif diperkirakan adalah 1,09, dan di antara pasien dengan sindrom gangguan pernapasan akut, risiko relatif adalah 0,86. Melsen (2009) dikutip dari Amanullah dan Posner (2010) menemukan bukti untuk kematian yang terjadi antara subkelompok pasien lain, tetapi risiko ini tidak dapat dihitung karena heterogenitas dalam hasil studi. Hasil juga terkait dengan waktu terjadinya VAP. Awal-onset pneumonia terjadi dalam 4 hari pertama rawat inap, sedangkan akhir-onset VAP terjadi 5 hari atau lebih setelah masuk. Akhir-onset pneumonia biasanya dikaitkan dengan organisme Multi Drugs Resistance (MDR). M e s k i p u n b e l u m a d a p e n e l i t i a n mengenai jumlah kejadian VAP di Indonesia, namun berdasarkan kepustakaan luar negeri diperoleh data bahwa kejadian VAP cukup tinggi, bervariasi antara 9–27% dan angka kematiannya bisa melebihi 50%. Faktor-faktor Jurnal Ners Vol. 6 No. 2 Oktober 2011: 126–135 128 risiko yang berhubungan dengan VAP seperti usia, jenis kelamin, trauma, Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) dan lama pemakaian ventilasi telah banyak diteliti. Sebagian besar faktor risiko tersebut merupakan predisposisi kolonisasi mikroorganisme patogen saluran cerna maupun aspirasi (Wiryana, 2007). Saanin (2006) dikutip dari Yuldanita (2009) mengemukakan bahwa insiden VAP di Rumah Sakit Dr. M. Djamil Padang pada klien yang menggunakan ventilasi mekanik dan intubasi adalah 15–59%. Tingginya angka infeksi nosokomial ini tidak terlepas dari peranan tenaga kesehatan terutama tenaga keperawatan sebagai tenaga mayoritas di rumah sakit ini. Data laporan surveilans Pencegahan dan Pengendalian Infeksi Rumah Sakit (PPIRS) Dr. M. Djamil Padang (2010), insiden VAP yang terjadi di ICU RS Dr. M. Djamil Padang pada klien yang menggunakan ventilasi mekanik dan intubasi adalah 15,52%. Data ini masih menggambarkan tingginya angka VAP di rumah sakit ini. Hasil penelitian tentang hubungan pengetahuan dan sikap perawat dengan tindakan pencegahan VAP di unit perawatan intensif RS Dr. M. Djamil Padang didapat kesimpulan sebanyak 60% perawat di unit perawatan intensif RS Dr. M. Djamil padang memiliki tingkat pengetahuan tinggi tentang tindakan pencegahan VAP, sebanyak 72% perawat memiliki sikap positif tentang tindakan pencegahan VAP dan sebanyak 60% perawat melakukan tindakan yang baik dalam pencegahan VAP. Hal ini menggambarkan bahwa ruang perawatan intensif RS Dr. M. Djamil Padang sudah melakukan tindakan pencegahan VAP dengan cukup baik (Yuldanita, 2009). Hasil survei awal peneliti menunjukkan bahwa pengisapan sekret endotrakheal pada pasien yang terpasang ventilasi mekanik telah dilakukan sesuai dengan Standar Operasional Prosedur (SOP) ICU RS Dr. M. Djamil Padang. Akan tetapi, untuk menilai kemajuan pasien selama tindakan keperawatan belum dilakukan dengan menggunakan alat ukur terstandar CPIS. CPIS dapat mengidentifi kasi VAP secara dini (Luna, 2003). Pembuatan diagnosa VAP secara dini sangat penting untuk menurunkan biaya, angka kesakitan dan kematian serta lamanya tinggal dirumah sakit (Agustyn, 2007). Selain itu, CPIS dapat digunakan sebagai alat yang sensitif untuk mendefenisikan waktu yang tepat untuk memulai terapi VAP (Luna dkk, 2006). Dengan demikian terapi antibiotik dapat diberikan dengan tepat dalam menurunkan angka kematian. Pemberian antibiotik yang tidak tepat dapat meningkatkan biaya, menimbulkan risiko reaksi obat yang merugikan dan resistennya flora normal terhadap antibiotik tersebut (Gillespie, 2009). BAHAN DAN METODE Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif analitik dengan sampel adalah 15 orang pasien yang dirawat di ruangan ICU RS Dr. M. Djamil Padang yang menggunakan ventilator mekanik. Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah accidental sampling, dengan kriteria inklusi sampel adalah pasien dengan ventilasi mekanik minimal 72 jam dengan berbagai indikasi dengan skor CPIS awal < 5. Kriteria eksklusi sampel adalah klien dengan ventilasi mekanik karena COPD, infeksi dan tuberkulosis paru. Pengambilan data dilakukan selama 2,5 bulan. Instrumen pengumpulan data yang digunakan berupa lembar observasi berbentuk check list yang digunakan untuk melihat tanda- tanda VAP yang mengacu pada simplified version of CPIS (suhu, jumlah leukosit, sekresi trakea, oksigenasi dan foto toraks) (Luna, 2003). Suhu tubuh klien diukur setiap 3 jam sekali dalam rentang waktu 12 jam dan diambil nilai tertinggi. Jumlah leukosit diketahui melalui pemeriksaan darah satu kali dalam satu hari. Oksigenasi dinilai dengan membagi hasil Analisa Gas Darah (AGD) yaitu PaO2 dengan konsentrasi/FiO2 yang diberikan seperti yang tertera pada ventilator mekanik dan data yang diambil adalah nilai terendah dari hasil tersebut minimal satu kali atau sesuai dengan frekuensi pemeriksaan analisa gas darah arteri. Sekresi trakea dinilai selama 4 jam dan jumlah sekresi dihitung dengan mengukur tinggi Kejadian Ventilator Associated Pneumonia (VAP) (Dally Rahman) 129 cairan sekresi dari dasar tabung penampung ke permukaan. Foto toraks hari I dilakukan pada semua pasien yang masuk ke ICU. Foto toraks hari III dinilai jika ada indikasi foto toraks pada pasien sesuai standar operasional prosedur ICU RS Dr. M. Djamil Padang. Jika pada hari III tidak ada indikasi foto toraks, maka skor diberikan nilai 0. Observasi hari III dilakukan pada pasien antara 48–72 jam intubasi. Analisa data dilakukan secara bertahap dimulai dengan analisa univariat untuk menggambarkan distribusi dari masing-masing indikator pada simplified version of CPIS. Selanjutnya, analisa bivariat dilakukan dengan menggunakan uji T berpasangan dengan tingkat kemaknaan p < 0,05 yang dilakukan dengan komputerisasi. HASIL Responden sebanyak 15 orang yang telah terkumpul datanya terdapat sebanyak 9 orang (60%) berumur 20–40 tahun, sebanyak 3 orang berusia 40–60 tahun dan sebanyak 3 orang berusia lebih dari 60 tahun. Selanjutnya, sebanyak 9 orang (60%) berjenis kelamin laki- laki. Diagnosa medis pasien menunjukkan sebanyak 6 orang (40%) memiliki diagnosa medis post laparatomy karena berbagai sebab, sebanyak 4 orang (26,4%) memiliki diagnosa medis post kraniotomi karena berbagai sebab dan 5 orang yang lainnya juga merupakan pasien post operasi. Jumlah responden yang memiliki total skor simplifi ed version of CPIS hari I adalah 1 sebanyak 1 orang (6,7%), skor CPIS 2 sebanyak 3 orang (20%), skor CPIS 3 sebanyak 8 orang (53,3%), dan skor CPIS adalah 4 sebanyak 3 orang (20%). Pada hari ke-3, jumlah responden yang memiliki total skor CPIS adalah 0 sebanyak 2 orang (20%), skor CPIS adalah 1 sebanyak 5 orang (33,3%), skor CPIS 2 sebanyak 5 orang (33,3%), dan skor CPIS adalah 5 sebanyak 3 orang (20%) (Grafi k 1). Adapun distribusi frekuensi responden berdasarkan tanda-tanda VAP pada hari I dan hari 3 dapat dilihat pada Tabel 1. Terdapat penurunan rata-rata total skor simplifi ed version of CPIS hari I dari 2,87 menjadi 2,00 pada hari III yaitu sebesar 0,867. Di samping itu diketahui pula penurunan total skor simplifi ed version of CPIS terbesar adalah 3 dan peningkatan terbesar adalah 2. Selanjutnya berdasarkan uji statistik dengan menggunakan uji t-berpasangan diperoleh nilai kemaknaan p = 0,048. Hal ini berarti secara statistik pada tingkat kemaknaan p < 0,05 terdapat perbedaan rata-rata yang bermakna antara total skor simplifi ed version of CPIS Hari I dan Hari III. PEMBAHASAN Hari I sebanyak 14 orang mengalami demam, yaitu sebanyak 11 orang (73,3%) memiliki suhu 38,5–38,9° C, sedangkan Grafi k 1. Perbandingan frekuensi total skor CPIS hari 1 dan hari 3 pada responden dengan ventilasi mekanik yang dilakukan penghisapan sekret endotrakeal. 0 1 3 8 3 2 5 5 0 0 3 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 1 2 3 4 5 6 Total Skor CPIS F re k u e n s i Hari 1 Hari 3 Jurnal Ners Vol. 6 No. 2 Oktober 2011: 126–135 130 Tabel 1. Distribusi frekuensi responden berdasarkan tanda-tanda VAP hari 1 dan hari 3 No. Tanda-Tanda VAP Hari 1 Hari 3 Frekuensi Persentase Frekuensi Persentase 1. Suhu (° C) Skor 0 (36,5–38,4) 1 6,7 6 40 Skor 1 (38,5–38,9) 11 73,3 8 53,3 Skor 2 (≥ 39 atau ≤ 36) 3 20 1 6,7 Total 15 Orang 100 15 Orang 100 2. Leukosit/mm3 Skor 0 (4000–11000) 2 13,3 5 33,3 Skor 1 (< 4000 atau > 11000) 13 86,7 10 66,7 Total 15 Orang 100 15 Orang 100 3. Sekresi Trakea Skor 0 (Sedikit) 8 53,3 10 66,7 Skor 1 (Sedang) 7 46,7 3 20 Skor 2 (Sedang + Bernanah) 0 0 2 13,3 Skor 2 (Banyak) 0 0 0 0 Total 15 Orang 100 15 Orang 100 4. Oksigenasi PaO2/FiO2 Skor 0 (> 240 atau ARDS) 12 80 15 100 Skor 2 (≤ 240 dan tidak ARDS) 3 20 0 0 Total 15 Orang 100 15 Orang 100 5. Foto Toraks Skor 0 (Tidak Ada Infi ltrat) 15 100 12 80 Skor 1 (Bercak atau Infi ltrat Difus) 0 0 3 20 Skor 2 (Infi ltrat Terlokalisir) 0 0 0 0 Total 15 Orang 100 15 Orang 100 3 o r a n g ( 2 0 % ) m e m i l i k i s u h u d i a t a s 39° C. Marik (2000) menjelaskan dalam hasil penelitiannya sebagian besar demam yang timbul di ICU bukan karena infeksi melainkan disebabkan oleh proses infl amasi dari cidera jaringan. Demam dengan sebab yang tidak pasti biasanya digambarkan oleh suhu yang tidak lebih dari 38,9° C. Oleh karena itu, jika peningkatan suhu di atas ambang batas ini harus dipertimbangkan pasien memiliki penyebab demam oleh infeksi. Di samping itu, demam juga dapat disebabkan oleh proses transfusi darah. Demam ini biasanya dimulai 30 menit sampai 2 jam setelah transfusi darah dan dapat berlangsung sampai 2 jam atau 24 jam setelah transfusi. Hari I sebanyak 13 orang (86,7%) responden memiliki jumlah leukosit yang meningkat di atas 11.000/mm3. Mekanisme patofisiologi penting yang menyebabkan tingginya jumlah leukosit adalah respons s u m s u m t u l a n g y a n g n o r m a l t e r h a d a p rangsangan eksternal dan gangguan sumsum tulang primer. Leukositosis dapat terjadi sebagai respons terhadap rangsangan eksternal seperti infeksi, infl amasi, obat-obatan, trauma, keganasan, keracunan, olahraga dan gangguan kejiwaan. Selain itu, leukositosis dapat juga terjadi sebagai akibat dari leukimia akut, leukimia kronis dan gangguan mieloproliferatif (Asadollahi, 2011). Kejadian Ventilator Associated Pneumonia (VAP) (Dally Rahman) 131 Sekret juga menyumbang skor simplifi ed version of CPIS pada hari I. Dari 15 orang r e s p o n d e n , s e b a n y a k 7 o r a n g ( 4 6 , 7 % ) responden telah memiliki sekret sedang. Agustyn (2007) mengemukakan terpasangnya ETT akan menjadi jalan masuk bakteri secara langsung menuju saluran nafas bagian bawah. Hal ini akan mengakibatkan adanya bahaya antara saluran nafas bagian atas dan trakea, yaitu terbukanya saluran nafas bagian atas dan tersedianya jalan masuk bakteri secara langsung. Karena terbukanya saluran nafas bagian atas akan terjadi penurunan kemampuan tubuh untuk menyaring dan menghangatkan udara. Selain itu, refl ek batuk sering ditekan atau dikurangi dengan adanya pemasangan ETT, dan gangguan pada pertahanan silia mukosa saluran nafas karena adanya cidera pada mukosa pada saat intubasi dilakukan. Dengan demikian, akan menjadi tempat bakteri untuk berkolonisasi pada trakea dan akan mengakibatkan peningkatan produksi dan sekresi sekret. H a s i l p e n g u k u r a n o k s i g e n a s i menunjukkan sebanyak 3 orang (20%) responden memiliki nilai oksigenasi yang < 240. Hal ini berkaitan dengan indikasi penggunaan ventilasi mekanik yaitu apnea atau risiko untuk tidak bisa bernafas, kegagalan pernafasan akut (biasanya digambarkan dengan pH ≤ 7,25 dengan PaCO2 ≥ 50 mmHg), hipoksia berat dan kelumpuhan otot pernafasan (Lewis, 2009). Selanjutnya tidak ada responden yang memiliki infi ltrat pada foto toraks. Hari III diintubasi dari 15 orang responden terdapat 12 orang (80%) yang tidak mengalami VAP, sedangkan 3 orang (20%) lainnya mengalami VAP. Pada hari III, responden memiliki total skor simplifi ed version of CPIS yang bervariasi. Nilai yang didapatkan ada yang menurun, meningkat dan sama dibandingkan dengan hari I. VAP merupakan komplikasi di sebanyak 28% dari pasien yang menerima ventilasi mekanik. Kejadiannya meningkat seiring dengan peningkatan durasi penggunaan ventilasi mekanik. Estimasi insiden adalah sebesar 3% per hari selama 5 hari pertama, 2% per hari selama 6–10 hari, dan 1% per hari setelah 10 hari (Amanullah dan Posner, 2010). Analisa peneliti terjadinya VAP pada 3 orang (20%) responden dipengaruhi oleh faktor umur. Semua responden yang mendapat VAP berumur di atas 60 tahun. Joseph (2010) mengemukakan bahwa salah satu faktor risiko VAP yang berasal dari pasien adalah faktor umur. Pasien yang berada pada umur ≥ 60 tahun akan semakin tinggi berisiko VAP. Hasil konsensus American Thoracic Society (1995) menyatakan usia lanjut sangat rentan dengan peningkatan risiko VAP, terutama karena peningkatan komorbiditas pada usia lanjut. Di samping itu semakin meningkatnya usia akan terjadi penurunan dari kekebalan tubuh. Sebanyak 3 orang (20%) responden yang mengalami VAP, 2 orang (13,3%) mempunyai diagnosa medis cidera kepala. Dunham dan Chirichella (2011) menjelaskan angka kejadian VAP yang diakibatkan oleh cidera traumatis berkisar dari kurang dari 20% sampai 40–60%. Tingkat VAP dengan cidera otak traumatis yang substensial adalah 32–45%, dikarenakan risiko aspirasi paru setelah trauma. VAP mungkin akan menjadi masalah yang akan berlanjut bagi lembaga yang mengelola pasien cidera otak parah. Nilai skor simplifi ed version of CPIS yang banyak meningkat yaitu pada foto toraks. Hari I semua responden (100%) tidak memiliki infi ltrat, sedangkan pada hari III terdapat 3 orang (20%) responden memiliki infi ltrat yang difus. Infi ltrat yang berada di dalam paru merupakan substansi yang masuk ke dalam paru. Infi ltrat tampak sebagai area yang lebih terang pada foto toraks dan menunjukkan daerah yang tidak terisi udara. Salah satu penyakit paru yang dapat menyebabkan infi ltrat adalah pneumonia yang menyebabkan paru-paru meradang dan terisi cairan. Foto toraks merupakan pemeriksaan penunjang utama untuk menegakkan diagnosis pneumonia dengan menemukan gambaran radiologis berupa infiltrat (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2003). Agustyn (2007) menambahkan diagnosis VAP paling sering didasarkan pada adanya infiltrat baru atau progresif pada foto toraks. Nilai oksigenasi hari III merupakan nilai yang paling banyak mengalami penurunan. Hasil pengukuran menunjukkan terjadi penurunan skor simplifi ed version of CPIS dari Jurnal Ners Vol. 6 No. 2 Oktober 2011: 126–135 132 semua responden (100%). Jika dibandingkan dengan hari I terjadi kenaikkan dari nilai oksigenasi pada 3 orang (20%) responden. Hal ini menggambarkan bahwa terjadi kemajuan pada pasien terhadap tindakan pengisapan sekret endotrakheal yang dilakukan oleh perawat di samping penggunaan ventilator dengan pengaturan yang sesuai. Hal ini sesuai dengan kesimpulan penelitian Luna (2003) yang mengemukakan bahwa rasio PaO2/FiO2 jauh lebih akurat dan cepat mengukur respons pasien terhadap terapi. Nilai rasio PaO2/FiO2 akan meningkat secara cepat pada pasien yang mendapat terapi yang adekuat. Hasil pengukuran simplified version of CPIS hari III menunjukkan sebanyak 9 orang masih mengalami demam. Sebanyak 8 orang (53,3%) memiliki suhu 38,5–38,9° C, sedangkan 1 orang (6,7%) memiliki suhu di atas 39° C. Jika dibandingkan dengan hari I sebanyak 7 orang mengalami penurunan suhu. Disamping itu, 10 orang (66,7%) responden memiliki jumlah leukosit di atas 11.000/mm3. Jika dibandingkan dengan hari I sebanyak 3 orang mengalami penurunan jumlah leukosit. Dunham dan Chirichella (2011) mengemukakan bahwa respons infl amasi yang terjadi setelah 48 jam trauma menunjukkan risiko untuk munculnya VAP. Sekret pada hari III menunjukkan sebanyak 3 orang (20%) memiliki sekret yang sedang dan 2 orang (13,3%) memilki sekret sedang dan purulen. Jika dibandingkan dengan hari I terdapat penurunan jumlah sekret pada 5 orang (33,3%) responden. Penelitian ini menemukan adanya VAP hari III pada 3 orang (20%) responden. Tanda-tanda VAP yang muncul pada 3 orang responden tersebut adalah demam, leukositosis, sekret yang meningkat dan disertai dengan purulen pada 2 orang responden. Di samping itu, pada foto toraks didapatkan adanya infi ltrat. Hal ini menunjukkan simplified version of CPIS sensitif digunakan pada hari III. Tan dkk. (2007) dalam hasil penelitian mereka tentang perbandingan CPIS dan kriteria klinik dalam mendiagnosis VAP pada pasien ICU yang komplek menunjukkan, 40 orang pasien yang dirawat di ICU dengan umur rerata adalah 14,8–59,6 tahun. Lama hari rawat di ICU antara 14,5–19,2 hari dengan rerata durasi penggunaan ventilator mekanik 12,3–13,6 hari. Sensitivitas CPIS menunjukkan 35,3% dan 78,3% pada hari pertama dan ketiga dari hari rawat masing- masing pasien. Spesifi sitas CPIS menunjukkan 95,7% dan 81,3% pada hari pertama dan hari ketiga dari hari rawat masing-masing pasien. Luna (2003) menambahkan pengukuran skor CPIS dapat menentukan perjalanan klinis resolusi VAP dengan indentifi kasi yang paling baik dilakukan pada hari III. Penelitian ini juga menemukan dari 3 orang (20%) responden yang mengalami VAP, sebanyak 2 orang (13,3%) mengalami penurunan suhu. Selanjutnya tidak terjadi perubahan jumlah leukosit dan oksigenasi pada semua responden. Akan tetapi, semua responden mengalami peningkatan jumlah sekret. Dengan demikian tanda VAP yang benar-benar terlihat pada responden adalah peningkatan jumlah sekret. Sejalan dengan itu, setelah dikonfi rmasi dengan menggunakan foto toraks semua responden memiliki infi ltrat. Hasil penelitian ini juga sesuai dengan penelitian yang dilakukan Nurniti (2002) tentang efektivitas penghisapan sekret endotrakheal terhadap pencegahan risiko pneumonia pada klien dengan ventilasi mekanik di ruang ICU RS Adi Husada Undaan Surabaya yang mendapatkan kesimpulan penelitian ada pengaruh antara sebelum dan sesudah perlakuan pengisapan sekret endotrakeal terhadap risiko pneumonia pada klien dengan ventilator mekanik secara signifikan yaitu hasil uji statistik t-test p = 0,001 di bawah nilai probabilitas 0,05. P e n g i s a p a n s e k r e t e n d o t r a k h e a l merupakan salah satu prosedur yang paling umum dilakukan pada pasien dengan saluran ETT. Pengisapan sekret endotrakheal adalah komponen dari terapi kebersihan bronkial dan ventilasi mekanik yang melibatkan aspirasi secara mekanik sekresi paru pada ETT untuk mencegah obstruksi (American Association for Respiratory Care, 2010). Pengisapan sekret endotrakeal merupakan tindakan yang sangat penting pada pasien dengan ETT untuk menghilangkan sekret dari jalan nafas dan memelihara permeabilitas jalan nafas (Lorente, 2005). Kejadian Ventilator Associated Pneumonia (VAP) (Dally Rahman) 133 Kozier (1995) mengatakan pengisapan s e k r e t e n d o t r a k h e a l d i b u t u h k a n u n t u k mengeluarkan sekret dan menjaga kepatenan jalan nafas. Sedangkan, frekuensinya tergantung pada kesehatan klien. Agustyn (2007) menjelaskan pengisapan sekret endotrakheal akan menurunkan jumlah sekret dan kolonisasi bakteri dalam saluran nafas, sehingga dapat mencegah terjadinya VAP. A u g u s t y n ( 2 0 0 7 ) m e n g e m u k a k a n pencegahan VAP dapat dilakukan dengan melakukan tindakan mencuci tangan, memakai sarung tangan, dekontaminasi oral, intervensi farmakologis oral, dan stress ulcer prophylaxis. Di samping itu, pengisapan sekret endotrakheal, perubahan posisi klien, posisi semifowler, dan pemeliharaan sirkuit ventilator juga dapat mencegah terjadinya VAP. Hal ini dapat menurunkan total skor dari simplifi ed version of CPIS. Gillepspie (2009) menjelaskan faktor risiko dari VAP terdiri dari faktor intervensi dan faktor pasien. Faktor intervensi yang dapat menyebabkan berisiko VAP adalah intubasi endotrakheal, peningkatan durasi penggunaan ventilasi mekanik, lama tinggal di rumah sakit, pemakaian alat yang memerlukan tindakan invasif (seperti: ETT, kateter, alat ukur tekanan vena sentral), penggunaan antibiotik sebelumnya (penggunaan sembarangan antibiotik), transfusi sel darah merah (efek imunomodulator), posisi terlentang, tindakan pembedahan dan obat-obatan. Penelitian ini menemukan 3 orang (20%) responden yang mengalami VAP pada hari III. Hal ini menunjukkan bahwa VAP dapat diketahui secara dini (early onset) dengan menggunakan simplified version of CPIS. CPIS dapat mengidentifikasi VAP secara dini. Strategi untuk mempersingkat durasi terapi dapat dilakukan dengan menentukan perjalanan klinis resolusi VAP. Hal ini dapat dilakukan dengan mengukur skor CPIS yang paling baik dilakukan pada hari III (Luna, 2003). Pembuatan diagnosa VAP secara dini sangat penting untuk menurunkan biaya, angka kesakitan dan kematian serta lamanya tinggal di rumah sakit (Agustyn, 2007). Selain itu, CPIS dapat digunakan sebagai alat yang sensitif untuk mendefenisikan waktu yang tepat untuk memulai terapi VAP (Luna, 2006). Dengan demikian terapi antibiotik dapat diberikan dengan tepat dalam menurunkan angka kematian. Pemberian antibiotik yang tidak tepat dapat meningkatkan biaya, menimbulkan risiko reaksi obat yang merugikan dan resistennya flora normal terhadap antibiotik tersebut (Gillespie, 2009). Kollef (1995) dalam penelitian mereka menemukan risiko kematian di rumah sakit meningkat pada pasien dengan late-onset VAP, karena kuman patogen yang berisiko tinggi. Mereka juga menemukan bahwa terjadinya pneumonia nasokomial karena kuman patogen yang berisiko tinggi merupakan prediktor terbaik kematian di rumah sakit di antara pasien dengan late-onset VAP. Simplified version of CPIS secara statistik terbukti dapat mengidentifi kasi VAP secara dini (early onset). Di samping itu, dapat menentukan perjalanan klinis resolusi VAP dan menentukan waktu yang tepat untuk memulai terapi. Namun demikian, American Thoracic Society sampai saat ini masih menyarankan untuk menggunakan complete version of CPIS, walaupun simplifi ed version of CPIS telah mampu untuk mendeteksi VAP. Perbedaan antara keduanya adalah pada pemeriksaan kultur. Penelitian ini turut menyumbang saran perlu dipikirkan kembali efektivitas pemeriksaan kultur rutin pada hari III intubasi. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Terdapat penurunan skor CPIS dari hari I ke hari III pada pasien yang terpasang ventilator mekanik di ICU Rumah Sakit Dr. M. Djamil Padang dari 2,87 menjadi 2,00. Terdapat perbedaan yang bermakna antara tanda-tanda VAP pada klien dengan ventilasi mekanik yang dilakukan pengisapan sekret endotrakheal hari I dan hari III. Saran Simplifi ed version of CPIS dimasukkan ke dalam protap pengelolaan pasien yang menggunakan ventilasi mekanik dan penilaian tindakan pengisapan sekret endotrakeal agar dapat dilakukan secara rutin oleh perawat. Bagi Jurnal Ners Vol. 6 No. 2 Oktober 2011: 126–135 134 peneliti selanjutnya diharapkan melakukan penelitian membandingkan penggunaan CPIS dan simplifi ed version of CPIS dalam menilai tanda-tanda VAP hari I dan hari III pada klien dengan ventilasi mekanik yang dilakukan pengisapan sekret endotrakheal. KEPUSTAKAAN Amanullah, S., dan Posner, D.H., 2010. Ventilator-Associated Pneumonia, (Online), (http://emedecine.medscape. com., diakses tanggal 15 Maret 201, jam 19.48 WIB). American Association for Respiratory Care, 2010. Endotracheal Suctioning of Mechanically Ventilated Patients With Artifi cial Airways 2010, (Online),(http:// rcjournal.com/cpgs/pdf., diakses tanggal 22 Maret 2011, jam 21.05 WIB). American Thoracic Society, 1995. Hospital- a c q u i re d P n e u m o n i a i n A d u l t s : Diagnosis, Assessment of Severity, Initial Antimicrobial Therapy, and Preventative Strategies A Consensus Statement, (Online), (http://thoracic. org/statements/resources/archive/hosp1- 15.pdf., diakses tanggal 02 Juni 2011, jam 21.04 WIB). Asadollahi, K., Hastings, I.M., Beeching, N.J., Gill, G.V., Asadollahi, P., 2011. Leukocytosis as an Alarming Sign for Mortality in Patients Hospitalized in General Wards., (Online), (http:// ijms.sums.ac.ir/files/PDFfiles/09-Dr_ %20Asadollahi.pdf., diakses tanggal 15 Juli 2011, jam 06.44 WIB). Agustyn, B., 2007. Ventilator-Associated Pneumonia Risk Factors and Preventions, (Online), (http://aacn.org/WD/CETests/ Media/C0742.pdf, diakses tanggal 15 Maret 2011 jam 22.45 WIB). Brunner dan Suddart, 1997. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran: EGC, hlm. 543–567. Dunham, C.M., Chirichella, T.J., 2011. A t t e n u a t e d H y p o c h o l e s t e ro l e m i a Following Severe Trauma Signals Risk for Late Ventilator-Associated Pneumonia, Ventilator Dependency, and Death: A Retrospective Study of Consecutive Patients. (Online), (http:// lipidworld.com., diakses tanggal 18 Juli 2011, jam 00.06 WIB). Elliot, D., Aitken, LM., Chaboyer, W., 2007. Critical Care Nursing. Elsevier Australia: Mosby, hlm. 73–89. Gillespie, R., 2009. Prevention and Management of Ventilator-Associated Pneumonia – The Care Bundle Approach, (Online), (http://ajol.info/index.php., diakses tanggal 15 Maret 2011, jam 22.11 WIB). Joseph, et al., 2010. Ventilator-Associated P n e u m o n i a : A R e v i e w , ( O n l i n e ) , ( h t t p : / / x a . y i m g . c o m / k q / g r o u p s / 1 6 2 9 8 3 2 3 / 2 1 1 9 3 0 9 9 6 4 / n a m e / R e v i e w + N AV, + E J I M + 2 0 1 0 . p d f . , diakses tanggal 04 April 2011, jam 21.51 WIB). Kollef, M.H., Silver, P., Murphy, D.M., Trovillion, E., 1995. The Effect of Late- Onset: Ventilator-Associated Pneumonia in Determining Patient Mortality, (Online), (http://chestjournal.chestpubs. org/content/108/6/1655. diakses tanggal 05 Juli 2011, jam 12.01 WIB). Kozier, B., et al., 1995. Fundamental of Nursing Concepts, Process, and Practiced. United States: Addison-Wesley Publishing Company, hlm. 508–522. Lewis, 2007. Medical Surgical Nursing Assessment and Management of Clinical Problems. USA: Mosby, hlm.1751– 1768. Lorente, et al., 2005. Ventilator-associated pneumonia using a closed versus an open tracheal suction system. (Online), (http://portalsaudebrasil.com/ artigosuti/resp366, diakses tanggal 30 Maret 2011 jam 20.32 WIB). Luna, et al., 2006. Appropriateness and delay to initiate therapy in ventilator- associated pneumonia. (Online), (http:// erj.ersjournals.com/content271158.full. pdf, diakses tanggal 27 April 2011 jam 21.43 WIB). Luna, CM., et al., 2003. Resolution of Ventilator- Associated Pneumonia: Prospective Evaluation of the Clinical Pulmonary Infection Score as an Early Clinical Predictor of Outcome. (Online), (http:// medscape.com/viewarticle/450885, diakses tanggal 01 Mei 2011 jam 00.24 WIB). Kejadian Ventilator Associated Pneumonia (VAP) (Dally Rahman) 135 Marik, P.E., 2000. Fever in The ICU. (Online), (http://chestjournal. chestpubs.org/ content/117/3/855.full, diakses tanggal 05 Juli 2011 jam 11.50 WIB). Nurniti, N., 2002. Efektivitas Penghisapan S e k r e t E n d o t r a k h e a l t e r h a d a p Pencegahan Risiko Pneumonia pada Klien dengan Ventilator Mekanik di Ruang ICU RS Adi Husada Undaan Surabaya. Skripsi: Tidak Dipublikasikan. Surabaya: Universitas Airlangga. Pencegahan dan Pengendalian Infeksi Rumah Sakit (PPIRS) Dr. M. Djamil Padang, 2010. Laporan Surveilans PPIRS Dr. M. Djamil Padang 2010. Tidak dipublikasikan. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2003. P n e u m o n i a K o m u n i t i . ( O n l i n e ) , ( h t t p : / / k l i k p d p i . c o m / k o n s e n s u s / konsensuspneumoniakom/pnkomuniti. pdf, diakses tanggal 02 Januari 2011 jam 21.53 WIB). Tan, J.C., Banzon, A.G., Ayuyao, F., Guia T.D., 2007. Comparison of CPIS (Clinical Pulmonary Infection Score and Clinical Criteria in the Diagnosis of Ventilator- Associated Pneumonia in ICU Complex Patiens. (Online), (http://phc.gov. ph/about-phc/journals/pdf/tan.pdf, diakses tanggal 20 Maret 2011 jam 23.14 WIB). Wiryana, M., 2007. Ventilator Associated Pneumonia. (Online), (http://ejournal. unud.ac.id/abstrak/ventilator%20associ ated%20pneumonia.pdf, diakses tanggal 06 Januari 2011 jam 21.21 WIB). Yuldanita, 2009. Hubungan Pengetahuan dan Sikap Perawat dengan Tindakan Pencegahan Ventilator Associated Pneumonia (VAP) di Unit Perawatan Intensif RS Dr. M. Djamil Padang Tahun 2009. Skripsi tidak Dipublikasikan. Padang: Universitas Andalas.