147 PRAKTIK KOLABORASI PERAWAT-DOKTER DAN FAKTOR YANG MEMENGARUHINYA (Collaboration Practice Between Nurses and Physician and the Affecting Factors) Wiwin Martiningsih Poltekkes Kemenkes Malang Prodi Keperawatan Blitar Jl. Dr. Sutomo 56 Blitar, E-mail: Wiwin_martiningsih@yahoo.co.id ABSTRACT Introduction: Collaboration is basically discuss about togetherness, cooperation, sharing tasks, equality, responsibility, and accountability. Purpose of this research was to learn the collaboration practice beetwen nurses and physician and the factors affecting. Method: Design of this research was correlational and comparational study, and population were the physician who work in Ngudi Waluyo Blitar hospitals, intensive cooperation with the nurse in the room, not holding structural positions and not studying, there are 19 peoples taken by total population and nurses who work in Ngudi Waluyo hospitals, not holding structural positions (Head of Division or Head of Section), having relationship with the physician and the samples were 31 peoples taken by probability proportional to size (PPS). Methods of data collection by giving questionnaire about the characteristics of respondents (nurses and physician) and practice of collaboration scale. Data characteristics and attitudes of nurses and physicians about the practice of collaboration is analyzed with descriptive statistics, to know the differences between nurses and physicians attitude using mann whitney u test. To know affecting characteristic with nurses and physician attitude by multivariate analysis. Result: Results of mann whitney test p value is 0.611, which means that there is no difference between nurses and physician attitude in practice collaboration, and result of multivariate analysis the infl uence of nurse characteristics (age, education, functional potition, length of working) with attitude are 0.460 or 46%, while 54% infl uenced by other factors, and the infl uence of physician characteristics (age, education, length of working) with attitude are 0.435 or 43.5%, while 56.5% infl uenced by other factors. Discussion: Further need to study other factors that infl uence and research by observation the impact of collaboration between the nurse with physician on the service quality. Keywords: attitude, collaboration, nurse, physician PENDAHULUAN Perawat dan dokter memiliki kepuasan dan kebanggaan tersendiri dalam berkarya. Tetapi mereka sering dihadapkan pada masalah yang sama yaitu mereka tidak dapat berkolaborasi dengan baik sehingga menghambat usaha mereka untuk membantu klien. Salah satu tujuan kolaborasi adalah memberikan pelayanan kesehatan yang berkualitas dengan menggabungkan keahlian unik dari masing-masing profesi, untuk menggabungkan keahlian unik ini dibutuhkan kesadaran dan kemampuan dari masing-masing profesi, kurangnya kesadaran dan kemampuan dalam berkolaborasi dapat menimbulkan dampak yang buruk terhadap kualitas layanan yang diberikan. Banyak faktor yang memengaruhi atau menghambat pelaksanaan kolaborasi diantaranya adalah faktor sosial, institusional, faktor ekonomi, kemampuan klinik dan kemampuan menjalin hubungan interpersonal (Siegler, 2000), dalam memahami konsep kolaborasi para ahli teori organisasi menurut Sullivan (1998) mengusulkan bahwa perilaku dalam penanganan konfl ik dapat digunakan untuk menilai praktik kolaborasi yang dapat dilihat dari 2 dimensi yaitu tingkat ketegasan atau asertif dan kerja sama atau kooperatif. Ketegasan berarti bahwa sampai tingkat mana satu pihak berupaya untuk memenuhi kepentingannya sendiri, dan kerja sama yang berarti suatu tingkat tertentu di mana salah satu Jurnal Ners Vol. 6 No. 2 Oktober 2011: 147–155 148 pihak berupaya untuk memuaskan kepentingan pihak lain. Kolaborasi akan terjalin dengan baik apabila komponen ketegasan dan kerja sama yang dimiliki perawat dan dokter adalah baik, sehingga masing-masing berkeinginan untuk memuaskan sepenuhnya kepentingan dari semua pihak (saling menguntungkan). Apabila ketegasan lebih dominan dari unsur kerja sama yang muncul hanyalah sebuah persaingan, sedangkan apabila kerja sama lebih dominan dari ketegasan, seseorang akan tampak takut dan cenderung pada akomodasi atau menerima instruksi begitu saja. Keperawatan sebagai salah satu profesi mempunyai kewenangan yang jelas, disiplin ilmu yang berbeda dengan profesi lain, kedudukan perawat sejajar dengan profesi kesehatan lain. Sebagai mitra masing-masing profesi harus menghargai profesi lain, konsep ini harus ditanamkan dalam masing-masing profesi kesehatan, sejak dibangku pendidikan sampai dengan di lingkungan profesional. Hasil penelitian menjelaskan bahwa praktik kolaborasi perawat dengan dokter berimbas pada penurunan biaya perawatan 25%, dan penurunan lama hari perawatan 39,8% (Sulivan, 1998). Pendidikan keperawatan di Indonesia yang diawali dari pendidikan yang bersifat vokasional (SPK atau Sekolah Perawat Kesehatan, DIII Keperawatan, DIV keperawatan) berkembang ke arah pendidikan keperawatan yang bersifat profesional yaitu Pendidikan S1 Keperawatan, S2 Keperawatan, bahkan Doktor di bidang keperawatan, diharapkan dengan meningkatnya pendidikan akan diikuti dengan peningkatan kompetensi klinis dan kemampuan berkolaborasi. Beberapa kebijakan diambil oleh rumah sakit agar terjadi harmonisasi antar tim pemberi layanan kesehatan seperti ronde bersama, pertemuan bersama pada hari-hari yang telah disepakati atau bentuk kegiatan lain yang tujuannya adalah menyamakan persepsi atau bekerja sama untuk menyelesaikan masalah, namun demikian hanya beberapa institusi atau rumah sakit yang mampu secara rutin melakukan kegiatan ini. Hasil wawancara peneliti dengan 2 pejabat struktural dan 2 perawat RSUD Ngudi Waluyo Kabupaten Blitar, yang merupakan RS tipe B non pendidikan bahwa kolaborasi perawat dan dokter belum berjalan sesuai yang diharapkan, karena masing-masing pihak cenderung mengutamakan kepentingan hubungan dengan pasien, kurang memperhatikan hubungan perawat dengan dokter. Sebenarnya Standar Operasional Prosedur (SOP) tentang kolaborasi tim kesehatan sudah ada, yang kegiatannya dapat dilihat saat pelaksanaan ronde keperawatan, atau kegiatan lain yang melibatkan tim kesehatan ini, tetapi pelaksanaannya juga belum optimal, kemungkinan penyebabnya karena selama ini beberapa dokter menganggap bahwa perawat belum kompeten untuk diajak berkolaborasi, selain itu usulan yang disampaikan oleh perawat cenderung kurang dianggap dan belum ada manfaatnya, untuk mengantisipasi hal ini pimpinan RSUD Ngudi Waluyo sudah berupaya meningkatkan kemampuan masing- masing perawat melalui pelatihan-pelatihan, seminar dan pendidikan jalur formal. Hal ini ditunjukkan dengan pendidikan minimal perawat di RSUD Ngudi Waluyo adalah D III Keperawatan, berdasarkan informasi di atas peneliti berkeinginan mempelajari bagaimana para pemberi layanan menyikapi praktik kolaborasi ini, apakah ada perbedaan sikap antara dokter dan perawat dan faktor apa yang mempengaruhinya. BAHAN DAN METODE Penelitian ini menggunakan studi komparasi antara sikap perawat dan sikap dokter tentang praktik kolaborasi, serta studi korelasi antara karakteristik perawat dan dokter terhadap sikap perawat dan dokter tentang praktik kolaborasi. Sampel dalam penelitian ini adalah dokter yang bekerja di RSUD Ngudi Waluyo Kabupaten Blitar yang intensif bekerja sama dengan perawat di ruangan, tidak memegang jabatan struktural dan tidak menjalankan tugas belajar sebanyak 19 orang yang diambil secara total dan perawat yang bekerja di RSUD Ngudi Waluyo Kabupaten Blitar, tidak memegang jabatan struktural (Kepala Bidang atau Kepala Seksi), mempunyai hubungan kerja praktik kolaborasi dengan dokter, yang seluruhnya berjumlah 150 orang. Teknik pengambilan sampel Praktek Kolaborasi Perawat-Dokter (Wiwin Martiningsih) 149 secara Probability Proportional to Size (PPS), besar sampel 31 orang (diambil dari 20% Populasi). Identifi kasi praktik kolaborasi perawat dengan dokter menggunakan instrumen yang terbagi dalam dua skala yaitu skala praktik kolaborasi untuk dokter dan skala praktik kolaborasi untuk perawat (Siegler, 2000), yang telah diuji validitas dan reliabilitasnya, selain itu responden juga harus mengisi alasan terhadap jawaban yang diberikan melalui kuesioner terbuka. Data karakteristik perawat dan dokter serta data sikap perawat dan dokter tentang praktik kolaborasi dianalisis dengan menggunakan statistik deskriptif, sedangkan untuk mengetahui perbedaan sikap perawat dengan sikap dokter tentang praktik kolaborasi dianalisis dengan mann whitney test dengan tingkat kemaknaan p ≤ 0,05, dan untuk mengetahui pengaruh karakteristik perawat dan dokter terhadap sikap perawat dan dokter tentang praktik kolaborasi perawat dengan dokter dianalisis dengan metode analisis multivariate menggunakan Structural Equation Modelling (SEM), dengan perangkat lunak Analysis of Moment Structure (AMOS) versi 5. HASIL Usia perawat sebagian besar > 30 tahun (77,4%) dan selebihnya antara 20–30 tahun 22,6%, sedang jenis kelamin terbanyak adalah perempuan 61,3%, pendidikan DIII Keperawatan 71%, jabatan fungsional terbanyak adalah perawat penyelia 41,9%, lama kerja sedang sampai dengan lama sebanyak 90,3%, tempat kerja terbanyak di ruang penyakit dalam 22,5%. Usia dokter sebagian besar > 30 tahun (89,4%) dan selebihnya antara 20–30 tahun (10,6%), sedang jenis kelamin terbanyak adalah laki-laki (63,2%), pendidikan S2/Spesialis (52,6%), jabatan fungsional dokter pertama, dokter muda dan madya masing- masing sama 26,3%, lama kerja sedang sampai dengan lama sebanyak 79,0%, tempat kerja terbanyak di IRD 31,6%. Gambar 1 menunjukkan bahwa sikap tentang praktik kolaborasi terbanyak adalah berunding 58% untuk perawat dan 42% untuk dokter, hanya 2 (6%) pada perawat dan 1 (5%) pada dokter yang menunjukkan sikap menghindar. Tidak ada sikap bersaing, menghindar–bersaing, dan akomodasi baik pada perawat maupun dokter. Hasil uji man whitney didapatkan p value 0,611, yang berarti bahwa tidak ada perbedaan antara sikap perawat dengan sikap dokter tentang praktik kolaborasi perawat dengan dokter. Hasil rekapitulasi jawaban perawat maupun dokter atas 19 pertanyaan dari skala praktik kolaborasi 3 urutan teratas sikap yang sering ditunjukkan perawat adalah meminta masukan sejawat untuk memperkuat sistem pendukung, menceritakan kesulitan pasien, dan melakukan negosiasi menentukan tanggung jawab masing-masing, sedangkan pada dokter adalah menyampaikan apabila tindakan perawat kurang tepat, memberi saran cara pendekatan yang bermanfaat, dan menekankan pentingnya bidang medis maupun keperawatan pada pasien. Sikap perawat dengan dokter yang K E T E G A S A N 54 Bersaing (skor 2) Perawat = 0 Dokter = 0 Bersaing-kolaborasi (skor 3) Perawat = 1 (3%) Dokter = 0 Kolaborasi (skor 4) Perawat = 3 (10%) Dokter = 4 (21%) 39 24 Menghindar-bersaing (skor 1) Perawat = 0 Dokter = 0 Berunding (skor 2) Perawat = 18 (58%) Dokter = 8 (42%) Akomodasi-kolaborasi (skor 3) Perawat = 4 (13)% Dokter 3 (16%) 9 Menghindar (skor 0) Perawat = 2 (6%) Dokter = 1 (5%) Menghindar-akomodasi (skor 1) Perawat = 3 (10%) Dokter = 3 (16%) Akomodasi (skor 2) Perawat = 0 Dokter = 0 10 25 44 60 KERJASAMA Gambar 1. Diagram sikap perawat dan dokter berdasar skala praktik kolaborasi (ketegasan dan kerjasama) Siegler dan Whytney Jurnal Ners Vol. 6 No. 2 Oktober 2011: 147–155 150 paling jarang dilakukan adalah menjelaskan lingkup keahlian masing-masing dan diskusi bidang mana termasuk keperawatan dan mana termasuk medis. Terdapat 4 variabel yang berpengaruh secara signifikan terhadap sikap perawat yaitu usia, pendidikan, jabatan fungsional dan lama kerja, hasil analisis menggunakan SEM dengan AMOS versi 5, menunjukkan besarnya pengaruh karakteristik perawat (usia, pendidikan, jabatan fungsional, dan lama kerja) secara bersama-sama terhadap sikap perawat adalah 0,460 atau 46%, sedangkan sisanya 54% dipengaruhi oleh faktor lain. Terdapat 3 variabel yang berpengaruh secara signifi kan terhadap sikap dokter yaitu: usia, pendidikan dan lama kerja. Hasil analisis menggunakan SEM dengan AMOS versi 5, besarnya pengaruh karakteristik dokter (usia, pendidikan dan lama kerja) secara bersama- sama terhadap sikap dokter berdasar hasil analisis adalah 0,435 atau 43,5%, sedangkan sisanya 56,5% dipengaruhi oleh faktor lain. PEMBAHASAN Hasil penelitian menunjukkan bahwa sikap perawat dan dokter tentang praktik kolaborasi terbanyak adalah berunding atau kompromi. Kompromi atau berunding merupakan suatu situasi di mana tiap-tiap pihak pada suatu konflik bersedia untuk melepaskan sesuatu. Kedua unsur yang terlibat menyerah dan menyepakati hal yang telah dibuat. Menurut Sullivan, kompromi atau berunding menjadi pilihan ketika tujuan yang akan diselesaikan benar-benar merupakan perselisihan tidak berguna, lawan dalam konfl ik memiliki komitmen untuk mencapai hasil akhir yang berbeda, dan dilakukan ketika penyelesaian diperlukan secara cepat. Melihat konsep di atas sikap berunding ini bagi perawat dan dokter merupakan tindakan yang paling tepat dilakukan saat ini, karena perawat dan dokter mengerti bahwa keterbatasan- keterbatasan yang mereka miliki baik dalam hal waktu, tenaga dan kemampuan (terutama perawat) masih merupakan permasalahan yang patut diselesaikan secara bertahap. Sesuai dengan hasil penelitian, beberapa ungkapan baik oleh perawat maupun dokter, mendukung permasalahan ini. Hal keterbatasan waktu beberapa perawat mengatakan "dokter terbatas waktunya", dokter dan perawat juga mengungkapkan "tergantung waktu dan situasi". Tentang keterbatasan kemampuan Tabel 1. Pengaruh karakteristik perawat secara parsial terhadap sikap perawat tentang praktik kolaborasi Karakteristik Perawat P Kesimpulan Usia Jenis kelamin Pendidikan Jabatan fungsional Lama kerja Ruang tempat kerja 0,000 0,365 0,000 0,013 0,000 0,915 Ada pengaruh Tidak ada pengaruh Ada pengaruh Ada pengaruh Ada pengaruh Tidak ada pengaruh Tabel 2. Tabel pengaruh karakteristik dokter secara parsial terhadap sikap dokter tentang praktik kolaborasi Karakteristik Dokter P Kesimpulan Usia Jenis kelamin Pendidikan Jabatan fungsional Lama kerja Ruang tempat kerja 0,000 0,174 0,015 0,059 0,000 0,225 Ada pengaruh Tidak ada pengaruh Ada pengaruh Tidak Ada pengaruh Ada pengaruh Tidak ada pengaruh Praktek Kolaborasi Perawat-Dokter (Wiwin Martiningsih) 151 ada perawat yang mengatakan" sungkan untuk memberi saran" atau ungkapan perawat " hanya pada dokter yang mau menerima pendapat kita". Sikap perawat dan dokter tentang praktik kolaborasi hanya sedikit yang menghindar. Menurut Sullivan menghindar merupakan mencoba sekadar mengabaikan suatu masalah dan menghindari orang-orang lain yang tidak sependapat dengannya. Menghindari konfl ik menjadi pilihan yang baik ketika terdapat lebih dari satu isu kepentingan, kurangnya kesempatan untuk menyelesaikan kebutuhan dan urusan, karena harus memberikan orang lain kesempatan untuk memenangkan konfl ik, karena butuh informasi tambahan, dan terkadang untuk meminimalkan kerugian. Seperti ungkapan perawat "dokter paling begitu saja", atau ungkapan dokter "membiarkan semua apa adanya". Sikap berunding yang merupakan pilihan sikap terbanyak ± 50% dari jumlah responden baik pada dokter maupun perawat memiliki skor 2 maksudnya bahwa seseorang hanya membutuhkan 2 balok untuk mencapai skor 4 (kolaborasi), sedangkan bila bersikap menghindar (skor 0) harus memindahkan 4 balok untuk menuju kolaborasi. Tentunya memindahkan 2 balok lebih mudah daripada 4 balok. Ini artinya lebih mudah mengubah sikap berunding untuk menuju kolaborasi dari pada sikap menghindar. Beberapa perawat dan dokter sudah memiliki sikap kolaborasi (skor 4) walau hanya 10% pada perawat dan 21% pada dokter, hal ini menunjukkan sudah ada perawat atau dokter yang melaksanakan praktik kolaborasi dengan baik, oleh karena itu perlu adanya reward bagi mereka, sehingga semangat untuk berkolaborasi akan dapat dipertahankan. Hasil yang didapat dalam penelitian ini, perawat atau dokter yang mendapatkan skor < 2 (16% untuk perawat dan 21% untuk dokter), setidaknya harus berupaya untuk mulai berubah, karena skor < 2 berarti cenderung ke arah menghindar. Alasan-alasan yang diungkapkan dalam jawaban kuesioner terbuka akan menjadi gambaran para pengambil kebijakan dan pasangan kolaborasi sebagai faktor penyebab lemahnya pelaksanaan kolaborasi, sehingga dapat dicarikan solusinya. Sikap yang sering ditunjukkan perawat adalah meminta masukan sejawat untuk memperkuat sistem pendukung, menceritakan kesulitan pasien, sedangkan pada dokter adalah menyampaikan apabila tindakan perawat kurang tepat dan memberi saran cara pendekatan yang bermanfaat, sedangkan sikap perawat dan dokter yang paling jarang dilakukan adalah menjelaskan lingkup keahlian masing-masing dan diskusi bidang mana termasuk keperawatan dan mana termasuk medis, karena dianggap masing-masing profesi sudah jelas tentang peran dan fungsinya masing-masing, keberanian mengambil sikap pada dokter dalam hal ini masih dominan karena dokter kebanyakan berani mengingatkan jika tindakan kurang tepat, dan memberi saran cara pendekatan yang bermanfaat. Perawat seharusnya juga bersikap demikian, tidak hanya kompromi yang dilakukan tetapi juga harus berani mengatakan tidak apabila tidak sesuai dengan standar yang ada. Hasil penelitian berdasarkan uji mann whitney tidak ada perbedaan antara sikap perawat dan sikap dokter tentang praktik kolaborasi perawat dengan dokter, dengan nilai p = 0,611, hasil ini didukung oleh distribusi sikap perawat maupun dokter dalam diagram skala praktik kolaborasi yang hampir sama dan dapat dilihat pada gambar 1, yang menunjukkan distribusi sikap terbanyak baik pada perawat maupun dokter adalah berunding, hanya sedikit perawat dan dokter yang menunjukkan sikap menghindar dan sikap kolaborasi, tidak ada sikap bersaing, menghindar – bersaing, dan akomodasi baik pada perawat maupun dokter. Melihat fakta ini jelas bahwa baik perawat dan dokter punya sikap yang sama tentang praktik kolaborasi. Mereka memahami bahwa profesi mereka berbeda tetapi kerja sama harus tetap dilakukan sesuai dengan wewenang dan tanggung jawab masing-masing profesi, walau masih didominasi oleh sikap berunding, selain itu perawat dan dokter juga mengenali, menyadari adanya pengetahuan dan keterampilan yang overlapping. Sifat caring juga telah tertanam dalam diri perawat dan dokter, salah satunya adalah adanya sikap altruistic (mementingkan kepentingan orang lain daripada diri sendiri) Jurnal Ners Vol. 6 No. 2 Oktober 2011: 147–155 152 (Feist, 2008). Hal ini didukung dengan jawaban beberapa perawat dan dokter pada kuesioner terbuka pada komponen ketegasan terdapat beberapa jawaban yang disampaikan yaitu masalah adalah tanggung jawab bersama, semuanya demi kebaikan pasien, saling mengerti peran masing-masing, sedangkan pada komponen kerja sama yang intinya ingin mencapai konsensus bersama, beberapa jawaban perawat dan dokter adalah agar jelas wewenang masing-masing, sebagai mitra kerja, agar suasana kerja nyaman, untuk kebaikan pasien. Perawat dan dokter menyadari bahwa kolaborasi merupakan proses interpersonal di mana dua orang atau lebih membuat suatu komitmen untuk berinteraksi secara konstruktif untuk menyelesaikan masalah klien dan mencapai tujuan, target atau hasil yang ditetapkan. Para individu harus mengenali dan mengartikulasikan nilai-nilai yang membuat komitmen ini menjadi terwujud. Kemampuan mewujudkan komitmen untuk berinteraksi secara konstruktif tergantung dari persamaan persepsi, tentang tujuan bersama, kompetensi klinik, dan kemampuan interpersonal, humor, kepercayaan, menghargai dan menghormati pengetahuan dan praktik keilmuan yang berbeda. Usia berpengaruh terhadap sikap perawat dan dokter tentang praktik kolaborasi berdasar analisis statistik, hasil ini didukung data usia perawat dan dokter sebagian besar adalah dewasa menengah (30–60 tahun), dengan sikap yang banyak mengarah ke berunding sampai kolaborasi. Sesuai dengan teori perkembangan Erik Erikson, tahap perkembangan dewasa, merupakan waktu ketika manusia mulai m e n g a m b i l t e m p a t d i m a s y a r a k a t d a n mengasumsikan sebuah tanggung jawab bagi apapun yang dihasilkan masyarakat. Usia dewasa menengah adalah mencapai generativitas yaitu pembangkitan ide-ide baru, memberikan instruksi-instruksi ke orang lain dengan cara yang sesuai dengan budaya. Untuk orang dewasa yang matang motivasi ini bukan sekadar kebutuhan tapi juga merupakan dorongan untuk memberikan kontribusi untuk menjamin kontinuitas di masyarakat. Dalam tahap ini perhatian merupakan kekuatan dasar masa dewasa (Feist, 2008). Masa ini perawat dan dokter harus bisa menentukan tugas mana yang dapat dilakukan secara individual, yang harus dilakukan bersama-sama, dan apa yang diharapkan dalam interaksi (Lindeke, 2005). Mereka juga mengerti bahwa kolaborasi merupakan suatu pengakuan keahlian seseorang oleh orang lain di dalam maupun di luar profesi orang tersebut. Pada usia ini masing-masing pasangan kolaborasi membuat suatu komitmen untuk berinteraksi secara konstruktif untuk menyelesaikan masalah klien dan mencapai tujuan, target atau hasil yang ditetapkan. Faktor pendidikan juga berpengaruh terhadap sikap perawat dan dokter dalam berkolaborasi. Dalam teori, edukasi sebagai institusi sosial tertua, merupakan pengarahan formal dari pengalaman belajar. Fungsi edukasi adalah sosialisasi, transmisi pengetahuan kultural seperti nilai (value) dan kepercayaan (belief). Membantu individu memilih dan belajar peran sosial serta mempertemukan antara bakat (talent) dan kemampuannya (ability) dengan kebutuhan spesialisasi pekerjaan. Selain itu edukasi juga berhubungan dengan stratifi kasi sosial yaitu membantu menentukan posisi di masa depan dalam struktur sosial. Peningkatan tingkat pendidikan cenderung membuat individu lebih toleran dan lebih demokratik, karena orang yang memiliki tingkat pendidikan lebih tinggi akan lebih mudah mengenali dan menganalisis bermacam kenyataan atau implikasi tindakan yang tidak benar (Sarwono dan Soeroso, 2001). Kurikulum pendidikan keperawatan menunjukkan bahwa adanya pembelajaran tentang konsep-konsep kepemimpinan, kerja sama, manajemen konfl ik, komunikasi interpersonal mendukung kemampuan perawat dalam berkolaborasi, walaupun pendidikan perawat terbanyak adalah DIII Keperawatan, namun jenjang ini dikategorikan profesional pemula, yang akan dapat mendukung pelaksanaan kolaborasi. Pengaruh pendidikan terhadap sikap dokter tentang praktik kolaborasi adalah signifi kan tetapi mempunyai nilai negatif artinya bahwa makin tinggi pendidikan dokter, sikap tentang praktik kolaborasi pada dokter justru semakin menurun. Data yang mendukung adalah adanya dokter dengan pendidikan spesialis namun skor sikap 0 (menghindar). Kemungkinan hal Praktek Kolaborasi Perawat-Dokter (Wiwin Martiningsih) 153 ini disebabkan karena tidak adanya waktu atau kesempatan untuk berkolaborasi, karena dengan tingginya pendidikan dokter dalam hal ini spesialis, beban yang diemban juga makin besar dan semakin sibuk, sesuai dengan ungkapan beberapa perawat dalam kuesioner terbuka bahwa adanya alasan "keterbatasan waktu dokter", selain itu adanya jawaban dokter "membiarkan semua, seperti apa adanya saja, atau adanya jawaban dokter " bila perawat konsul saja". Melihat adanya pengaruh pendidikan terhadap sikap tentang kolaborasi, untuk mempersiapkan pelaksanaan praktik kolaborasi, dalam kurikulum seharusnya diajarkan tentang dinamika kelompok, teori peran, teori organisasi, teori perubahan, strategi negosiasi, selain itu mahasiswa sebaiknya diajari tentang contoh-contoh kegiatan kolaborasi dan nonkolaborasi dari pengalaman klinis dan dijelaskan faktor penghambat dan kesuksesan pelaksanaan kolaborasi, serta sosialisasi kolaborasi melalui seminar antardisiplin ilmu atau peer learning. Ada pengaruh jabatan fungsional perawat terhadap sikap perawat tentang praktik kolaborasi, tetapi mempunyai nilai negatif, artinya bahwa makin tinggi jabatan fungsional perawat, sikap perawat tentang praktik kolaborasi makin menurun. Hal ini didukung data adanya perawat penyelia dan pertama (minimal gol. IIIa) dengan sikap menghindar-akomodasi (skor 1), padahal ada beberapa perawat dengan jabatan fungsional di bawahnya mendapatkan skor 3 (sikap akomodasi-kolaborasi). Jabatan dipandang sebagai komponen demografi yang penting, peningkatan jabatan akan menyebabkan peningkatan komitmen terhadap organisasi yang salah satunya adalah komitmen untuk mau berkolaborasi, namun faktor situasi juga perlu diperhatikan, walau jabatan tinggi, tetapi pasangan dalam kolaborasi tidak punya komitmen yang sama, akan mengakibatkan menurunnya minat untuk berkolaborasi. Pendapat lain, bahwa sikap/kepuasan dalam bekerja dipengaruhi oleh kedudukan/jabatan, bahwa umumnya manusia beranggapan bahwa seseorang yang bekerja pada jabatan yang lebih tinggi akan merasa lebih puas daripada yang jabatannya lebih rendah, sesungguhnya hal tersebut tidaklah selalu benar (Sarwono dan Soeroso, 2001). Melihat fakta ini, pembagian tugas sesuai dengan wewenang dan jabatan harus dilakukan, tidak harus melihat sisi senioritas tetapi dipertimbangkan tentang kemampuan yang dimiliki. Ada pengaruh lama kerja dengan sikap perawat dan dokter tentang praktik kolaborasi, yang mempunyai nilai negatif, berarti bahwa makin lama perawat atau dokter bekerja sikap tentang praktik kolaborasi makin menurun, yang didukung data adanya perawat dengan masa kerja > 6 tahun (lama) tetapi menunjukkan sikap menghindar (skor 0) dan menghindar- akomodasi (skor 1), sedangkan pada dokter adanya data sikap Dokter menghindar (skor 0) dan menghindar- akomodasi (skor 1) pada masa kerja sedang (4–6 tahun), sementara beberapa dokter dengan masa kerja baru mempunyai sikap akomodasi-kolaborasi (skor 3). Pertumbuhan pekerjaan dapat dialami oleh seseorang hanya apabila menjalani proses belajar sehingga berpengalaman, diharapkan orang yang bersangkutan memiliki sikap kerja yang bertambah maju ke arah positif, memiliki kecakapan (pengetahuan) kerja dan keterampilan kerja yang bertambah dalam kualitas dan kuantitas, dan dengan tingginya frekuensi dua orang berjumpa dan bekerja sama, kemungkinan akan tumbuh rasa suka antara satu dengan lainnya. Namun demikian tidak semua individu akan bersikap demikian tergantung banyak faktor, adanya kejadian yang tidak diinginkan akan meninggalkan kesan mendalam dalam diri individu atau peristiwa yang memberikan kesan kuat pada individu yaitu peristiwa traumatik. Seperti terungkap dalam jawaban perawat "akan mengingatkan dokter apabila tindakan kurang tepat dan hanya pada dokter yang mau menerima pendapat kita", atau jawaban perawat berikut "takut dikatakan menggurui". Terwujudnya suatu kolaborasi tergantung pada beberapa kriteria yaitu adanya rasa saling percaya dan menghormati, saling memahami dan menerima keilmuan masing- masing, memiliki citra diri positif, memiliki kematangan profesional yang setara (yang timbul dari pendidikan dan pengalaman), mengakui sebagai mitra kerja bukan bawahan, dan keinginan untuk bernegosiasi. Bila kedua Jurnal Ners Vol. 6 No. 2 Oktober 2011: 147–155 154 profesi memahami hal ini, hambatan-hambatan dalam kolaborasi dapat diminimalisir. Melihat fakta ini kewajiban pengambil kebijakan adalah memotivasi dan memberikan reward bagi mereka yang sudah lama bekerja agar mereka tetap punya motivasi dalam bekerja, dan tidak mengalami titik kejenuhan dalam bekerja. Faktor jenis kelamin tidak berpengaruh secara signifi kan terhadap sikap perawat dan dokter, hal ini didukung data bahwa jenis kelamin pada sampel perawat terbanyak adalah perempuan tetapi untuk dokter adalah laki-laki, faktanya mereka mempunyai sikap yang sama tentang kolaborasi. Pendapat yang dulunya mengatakan dokter cenderung pria, fi siknya biasanya lebih besar tidak sesuai lagi dengan perkembangan saat ini, karena semakin banyak juga perempuan kini menekuni bidang medis dan keperawatan (Siegler dan Whitney, 2000). R u a n g t e m p a t k e r j a j u g a t i d a k berpengaruh terhadap sikap perawat maupun sikap dokter dalam berkolaborasi, didukung oleh data walaupun mereka berada pada ruang yang berbeda kolaborasi harus tetap dilakukan. Penelitian ini variabel karakteristik perawat yang berpengaruh terhadap sikap perawat tentang praktik kolaborasi adalah usia, pendidikan, jabatan fungsional dan lama kerja, setelah dilakukan uji statistik secara bersama faktor ini mempunyai pengaruh terhadap sikap perawat tentang kolaborasi sebesar 0,460 atau 46%, sedangkan sisanya 54% dipengaruhi oleh faktor lain. Sedangkan variabel karakteristik dokter yang berpengaruh terhadap sikap dokter tentang praktik kolaborasi adalah usia, pendidikan dan lama kerja, ketiga faktor ini secara bersama-sama mempunyai pengaruh sebesar 0,435 atau 43,5%, sedangkan sisanya 56,5% dipengaruhi oleh faktor lain. Melihat hasil penelitian ini bagi peneliti berikutnya diharapkan dapat menggali selain faktor di atas, dan perlunya peningkatan jumlah sampel dalam penelitian. Keluhan-keluhan yang muncul dalam kuesioner terbuka, diharapkan pimpinan rumah sakit dapat mengambil kebijakan untuk penyelesaiannya, agar praktik kolaborasi dapat berjalan dengan baik. Fenomena yang ada cenderung mengatakan perawat kurang terampil, sulit diajak diskusi, karena dokter merasa pendidikan mereka belum sejajar, belum dapat tergali dalam penelitian ini, kemungkinan disebabkan karena kuesioner praktik kolaborasi yang digunakan banyak menggali tentang konsep ketegasan dan kerja sama yang difokuskan pada komunikasi atau hubungan interpersonal antara perawat dan dokter, belum menggali tentang kemampuan yang berkaitan dengan keterampilan/tindakan keperawatan pada intervensi fisiologis. Untuk menggali fenomena ini perlu kiranya melakukan indepth interview dan Focus Group Discussion (FGD) pada masing-masing profesi, sehingga mereka dapat bebas mengungkapkan pendapat dan persepsi masing-masing, karena telah dibuktikan dalam penelitian sebelumnya dalam Siegler dan Whitney (2000), bahwa inti sesungguhnya dari konfl ik antara perawat dan dokter terletak pada perbedaan sikap profesional mereka terhadap pasien dan cara dokter dan perawat berkomunikasi mengenai kesan masing-masing. Manfaat dari penelitian ini dengan tidak adanya perbedaan sikap antara perawat dengan dokter, berarti bahwa praktik kolaborasi antara perawat dan dokter sebetulnya dapat dijalankan dan tidak ada halangan bagi perawat maupun dokter untuk melaksanakannya. Rumah sakit harus memfasilitasi sarana prasarana kolaborasi, menyediakan waktu untuk mendukung kegiatan kolaborasi, dan membuat kebijakan terkait pelaksanaan kolaborasi. Permasalahan atau keluhan-keluhan yang muncul dari masing-masing profesi harus difasilitasi untuk penyelesaiannya, salah satu teknik atau cara yang dapat dilakukan menurut Robert (2001) adalah identifi kasi area interdependensi yang tepat untuk kolaborasi, tetap membuka jalur komunikasi di antara setiap orang yang terlibat masalah maupun dalam rangkaian tindakan, biarkan tim mengetahui secepatnya bahwa kerja sama tim tersebut membawa dampak positif terhadap keberhasilan individu, dan menciptakan suasana kerja yang kondusif. Dari faktor karakteristik yang berpengaruh terhadap sikap dokter yaitu usia, pendidikan, dan lama kerja, diketahui bahwa pendidikan arah pengaruhnya adalah negatif, pendidikan yang tinggi tidak diimbangi peningkatan sikap tentang Praktek Kolaborasi Perawat-Dokter (Wiwin Martiningsih) 155 kolaborasi. Sesuai fakta yang ada keterbatasan waktu, beban yang makin besar dan kesibukan merupakan salah satu penyebabnya, dan juga kemungkinan karakter individu tersebut, pengambil kebijakan harus menciptakan situasi yang kondusif, agar tingginya pendidikan seseorang dapat dimanfaatkan seoptimal mungkin yang diimbangi dengan perilaku yang mendukung pelaksanaan kolaborasi. Lama kerja juga mempunyai pengaruh negatif terhadap sikap dokter, sama halnya dengan perawat, titik kejenuhan atau hubungan yang tidak kondusif menjadi faktor penyebabnya. Pemberian reward, melakukan refreshing bersama, dan peningkatan kemampuan melalui seminar ataupun pelatihan-pelatihan, merupakan salah satu solusi yang dapat diambil. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Sikap perawat dan dokter tentang praktik kolaborasi perawat dengan dokter sebagian besar ditunjukkan dalam rentang berunding sampai dengan kolaborasi, tidak ada perbedaan antara sikap perawat dengan sikap dokter tentang praktik kolaborasi, karakteristik yang berpengaruh terhadap sikap perawat tentang praktik kolaborasi adalah usia, pendidikan, jabatan fungsional, dan lama kerja, sedangkan pada dokter adalah usia, pendidikan dan lama kerja. Saran B a g i i n s t i t u s i p e n d i d i k a n p e r l u pengembangan kurikulum tentang konsep praktik kolaborasi dan mempraktikannya dalam tatanan nyata atau saat praktik klinik dan lapangan, mengajarkan pada peserta didik bahwa pelayanan kesehatan bukan hanya kegiatan dependent tetapi banyak kegiatan interdependent dan independent yang harus dilakukan secara profesional, sesuai dengan standar praktik yang ada, perlunya penekanan materi soft skill dalam proses pembelajaran dan diaplikasikan dalam praktik, sehingga akan terjalin hubungan interpersonal yang baik untuk mendukung pelaksanaan kolaborasi. Bagi rumah sakit peningkatan kualitas dan kuantitas Sumber Daya Manusia (SDM) melalui pendidikan tetap perlu dilakukan, baik melalui seminar maupun pelatihan-pelatihan terutama bagi perawat agar dapat melakukan kolaborasi secara optimal, perlunya secara rutin dilakukan pertemuan melalui kegiatan bulanan atau triwulan antara profesi perawat dan dokter, agar terjalin komunikasi yang lebih optimal sebagai dasar pelaksanaan kolaborasi, perlunya support dari pimpinan rumah sakit untuk memotivasi perawat dan dokter agar mendukung pelaksanaan kolaborasi, melalui kegiatan-kegiatan di ruangan misal ronde bersama, atau refreshing bersama untuk membangun hubungan interpersonal, Bagi organisasi profesi: perlunya kedua organisasi profesi (PPNI dan IDI) duduk bersama untuk menyamakan persepsi tentang tugas dan wewenang masing-masing profesi dan identifi kasi area interdependensi. KEPUSTAKAAN Feist, Jest dan Feist, G., 2008. Theories of Personality. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Lindeke, Linda, Sieckert, dan Ann, 2005. Nurse- Physician Workplace Collaboration. Journal of Issues in Nursing, (Online), (http://www.medscape.com., diakses tanggal 15 April 2010). Maddux, Robert, B., 2001. Team Building (Kiat Membangun Tim handal). Jakarta: Erlangga. RS. Ngudi Waluyo, 2010. Laporan Tahunan. Blitar: RS. Ngudi Waluyo. Siegler, L., Eugenia, Fay, Whitney, W., 2000. Kolaborasi Perawat Dokter, Perawatan Orang Dewasa dan Lansia. Jakarta: EGC Sulivan, Toni, J., 1998. Collaboration a Health care Imperative. USA: The McGraw- Hill Companies. S l a m e t d a n S o e r o s o , A m i l u h u r, 2 0 0 1 . Determinasi demografi terhadap perilaku karitatif keorganisasian. 6 (1), (Online), (http://journal.uii.ac.id/index.php/jsb., diakses 15 Juni 2010).