169 STRES DAPAT MENGGANGGU PROSES SPERMATOGENESIS PADA MENCIT (Stress Can Undermine the Process of Spermatogenesis in Mice) Yuni Sufyanti Arief Fakultas Keperawatan Universitas Airlangga, Kampus C Mulyorejo Surabaya, E-mail: yuni_psik@yahoo.com ABSTRACT Introduction: This study aimed to determine the effect of stress on the process of spermatogenesis and testosterone levels of mice (Mus musculus) male. Method: This was an experimental study using a completely randomized design. The variables examined were the number of spermatogenic cells (spermatogonia, spermatocytes, and spermatids oval) and testoseron levels. Data analysis using one- way analysis of variance (ANOVA), test a small real difference (LSD) 5%, and the kruskal wallis test. This study used 36 mice (Mus musculus) male age 2 months with 20–40 gram body weight divided into 4 groups. The control group (subcutaneous injection of 0.1 ml physiological saline), subcutaneous epinephrine injection group 0.001 mg/20 g BW, subcutaneous epinephrine injection group 0.005 mg/20 g BW, the subcutaneous injection of epinephrine 0.01 mg/20 BB gr. Result: The results show that the analysis of spermatogenic cells (spermatogonia, spermatocytes, and spermatids oval), that repeated exposure to epinephrine with different doses showed that there was a signifi cant decrease. The average decline in a row in the treated group (P1, P2, P3) compared with the control group (K0) for spermatogonia was 28.8%, 42.4%, 45.5%, to spermatocytes was 13.7%, 37.4%, 38.9% and for oval spermatids was 33.3%, 44.2%, 50.4% Having followed by LSD 5% found that there were signifi cant differences for almost all groups except the pair P2–P3 groups for the number of spermatogonia, spermatocytes, and partner groups P1–P2 and P2–P3. As for the blood serum levels of testosterone hormone mice showed no signifi cant decrease. Discussion: Administration of high doses of epinephrine (as stressor) can lead to bottlenecks in the process of spermatogenesis as indicated by decreased number of spermatogenic cells but not cause a decrease in testosterone levels. Key words: epinephrine, spermatogonia, spermatocytes, spermatids, testosterone PENDAHULUAN Stres, dapat dialami individu dalam kehidupan sehari-hari. Stres didefinisikan sebagai respons nonspesifi k dari organisme atau sebagai respons tubuh terhadap stimulus baik eksternal maupun internal yang dikenal fi ght or fl ight response. Stimuli yang dapat menimbulkan respons tubuh disebut stresor (Ganong, 2001). Stresor baik fisik, kimia, maupun psikologis dapat mengaktifkan sistem saraf simpatis dan respons adrenal. Aktivasi sistem saraf simpatis oleh stresor menyebabkan pelepasan neurotransmiter norepinefrin (NE) lokal pada ujung saraf simpatis postganglionik, sedang aktivasi stresor pada medula adrenal merangsang lepasnya epinefrin (E) ke dalam sirkulasi. Epinefrin mempunyai sifat yang unik yaitu menstimulasi sejumlah NE, di mana NE yang dilepaskan akan diduplikasi dan dikuatkan oleh E yang mencapai tempat yang sama melalui sirkulasi (Ganong, 2001; Cunningham, 2002). Selain meningkatkan kadar E, NE dan dopamin, stresor juga dapat meningkatkan kadar kortikosteroid. Perbedaan jenis stresor menimbulkan respons endokrin yang berbeda pada berbagai intensitas yang berbeda. Variasi respons spesies terhadap stresor dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor yaitu: usia, jenis kelamin, dan kondisi spesies tersebut. Di samping itu variasi respons juga dapat dipengaruhi oleh waktu terjadinya stressor tersebut, baik akut maupun kronik. Peningkatan kadar E dan NE dapat meningkatkan pulsasi hipotalamus. Peningkatan pulsasi ini dapat merangsang lepasnya Jurnal Ners Vol. 6 No. 2 Oktober 2011: 169–174 170 Gonadotropin Releasing Hormone (GnRH) dari hipotalamus ke sistem portal menuju ke hipofisis anterior. Adanya peningkatan GnRH akan merangsang lepasnya 2 macam gonadotropin dari hipofisis anterior yaitu Follicle Stimulating Hormone (FSH) dan Luteinizing Hormone (LH), di mana LH lebih sensitif terhadap perubahan GnRH (Guyton, 2000). Secara normal GnRH disekresi dalam pulsasi yang episodik. Hal ini penting bagi sekresi normal FSH dan LH (Ganong, 2001). Pada berbagai penelitian dapat ditunjukkan bahwa perubahan sekresi FSH dan LH dipengaruhi oleh pengeluaran GnRH secara pulsatil dengan frekuensi dan amplitudo dalam batas kritis. Akan tetapi bila amplitudo dan frekuensi pulsasi GnRH ditingkatkan secara berlebihan dapat menurunkan dan menghentikan sekresi dari gonadotropin. Hal ini telah dibuktikan dengan penelitian pada kera yang diberi GnRH 1 mikrogram per menit untuk 6 menit setiap jamnya (1 pulsasi per jam) menghasilkan konsentrasi di dalam darah portal kurang lebih sama dengan puncak konsentrasi di dalam darah portal manusia ± 2mg/ml. Kenaikan frekuensi pulsasi GnRH menjadi 2 dan 5 pulsasi perjam dapat menghentikan sekresi gonadotropin. Peningkatan pulsasi GnRH akan merangsang penekanan konsentrasi LH dan FSH. Peningkatan ini akan memicu terjadinya pengaturan yang tertekan (down regulation) sehingga dapat memicu terjadinya proses internalisasi yang berarti hilangnya reseptor dari membran dan berkurangnya fungsi secara biologis. Di samping itu bila GnRH diberikan dengan infus tetap maka reseptor GnRH dalam hipofi sis ditekan dan sekresi LH turun ke nol tetapi bila GnRH diberi secara episodik maka sekresi LH dirangsang (Ganong, 2001). Proses spermatogenesis dikendalikan oleh suatu poros hipotalamus, hipofi sis dan testis (Ganong 2001). Gonadotropin Releasing Hormone dilepaskan oleh ujung-ujung saraf dari hipotalamus yang berdekatan dengan jala kapiler utama dari sistem portal hipofi sis. Melalui pembuluh portal yang panjang hormon tersebut sampai pada sasarannya yaitu hipofi sis anterior. Jadi hormon utama yang mengatur fungsi testis adalah hormon gonadotropin yang dihasilkan oleh bagian anterior dari kelenjar hipofi sis. Hilangnya hormon gonadotropin ini mempunyai dampak pada berhentinya proses spermatogenesis, atropi testis dan tenunan testis menjadi lunak. Folicle Stimulating Hormone (FSH) memegang peranan penting di dalam mengatur fungsi testis. Terhadap sel sertoli, adenilsiklase dirangsang hormon gonadotropin ini sehingga sintesis siklik AMP (cAMP) dari ATP meningkat. Selanjutnya cAMP merangsang protein kinase dan proses fosforilasi protein pengikat androgen (ABP). Satu hormon yang juga tidak kalah penting peranannya di dalam mengatur fungsi testis adalah Luteinizing Hormone (LH). Oleh karena organ sasarannya adalah sel-sel interstitial dari testis maka LH seringkali disebut sebagai Interstitial Cell Stimulating Hormone (ICSH). Aktivitas adenilsiklase dan meningkatnya kadar siklik AMP dirangsang dengan adanya LH, setelah hormon ini mengadakan ikatan dengan reseptor pada dinding sel Leydig. Di bawah pengaruh LH sel Leydig kemudian mensintesis testosteron. Testosteron dan FSH bekerja secara sinergis untuk mendorong perubahan spermatosit primer menjadi spermatosit sekunder kemudian memasuki meiosis menghasilkan spermatid dan diikuti oleh proses spermiogenesis. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa spermatogenesis dikendalikan oleh interaksi antara hormon testosteron, FSH dan LH. Adanya gangguan pada interaksi hormon testosteron, FSH dan LH akan menyebabkan gangguan pada proses spermatogenesis. Terganggunya proses spermatogenesis merupakan salah satu penyebab terjadinya infertilitas. S e j a u h i n i b e l u m a d a p e n e l i t i a n yang secara jelas melaporkan apakah stres yang dalam penelitian ini menggunakan pemberian epinefrin akan mengganggu proses spermatogenesis. Berdasarkan fenomena tersebut penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sejauh mana pengaruh stres dapat mengganggu proses spermatogenesis. Stres dapat Mengganggu Proses Spermatogenesis (Yuni Sufyanti Arief) 171 BAHAN DAN METODE Penelitian ini termasuk penelitian eksperimen yang dilakukan di laboratorium. Rancangan yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL). Penelitian ini dilakukan pada mencit jantan dengan 9 kali ulangan. Data yang dianalisis adalah jumlah sel spermatogenik dan kadar testosteron untuk setiap kelompok perlakuan. Data disajikan dalam bentuk histogram (diagram batang) dan tabel. Untuk mengetahui adanya pengaruh yang bermakna atau tidaknya perbedaan semua perlakuan dilakukan data dianalisis dengan menggunakan one-way analysis of variance (ANOVA) satu arah pada taraf signifi kansi p < 0,05. Jika dari hasil analisis varians didapatkan adanya pengaruh perlakuan (dengan nilai p < 0,05) terhadap jumlah sel spermatogenik, dan kadar hormon testosteron, dilanjutkan dengan uji LSD (BNT = Beda Nyata Terkecil) untuk mengetahui bermakna tidaknya beda antar pasangan perlakuan. Pada data dengan distribusi yang tidak normal digunakan uji Kruskal Wallis untuk mengetahui adanya pengaruh yang bermakna atau tidaknya perbedaan antar kelompok. PEMBAHASAN Hasil penelitian tentang pengaruh stres (pemberian epinefrin) berulang pada jumlah sel spermatogonium, spermatosit, dan spermatid oval, menunjukkan adanya perbedaan penurunan yang nyata. Uji anova pada keempat kelompok didapatkan perbedaan yang signifi kan, hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi dosis epinefrin yang diberikan semakin menurun jumlah sel spermatogeniknya (spermatogonium, spermatosit, dan spermatid oval). Tubulus seminiferus merupakan bagian utama penyusun testis selain jaringan ikat dan pembuluh darah testis. Di dalam tubulus ini diproduksi spermatozoa sebagai hasil pembelahan dari sel-sel epitel germinalis yang berurutan, membentuk sel-sel baru yang arah perkembangan selnya menuju ke lumen tubulus seminiferus. Kemudian akan terbentuk spermatozoa yang bergerak bebas pada lumen Tabel 1. Analisis jumlah spermatogonium untuk kelompok kontrol, kelompok perlakuan yang diberi injeksi subkutan epinefrin dosis 0,001 mg/20 gram BB, dosis 0,005 mg/20 gram BB dan dosis 0,01 mg/20 gram BB. Kelompok Rata-rata ± SD Nilai Minimum Nilai Maksimum ANOVA Ko (Kontrol) 50,02 ± 6,91 41,60 63,80 F= 37,403 p = 0,000* P1 35,62 ± 4,36 30,40 42,00 P2 28,91 ± 5,16 24,20 39,80 P3 27,24 ± 3,18 22,40 33,00 Keterangan: *signifi kan pada α 0,05 Tabel 2. Analisis jumlah spermatosit untuk kelompok kontrol, kelompok perlakuan yang diberi injeksi subkutan epinefrin dosis 0,001 mg/20 gr BB, dosis 0,005 mg/20 gr BB dan dosis 0,01 mg/20 gr BB Kelompok Rata-rata ± SD Nilai Minimum Nilai Maksimum ANOVA Ko (Kontrol) 58,82 ± 7,05 48,00 73,60 F = 29,663 p = 0,000 P1 50,76 ± 5,85 42,40 61,80 P2 36,84 ± 6,19 28,80 47,40 P3 35,89 ± 5,33 29,80 44,80 Keterangan: *signifi kan pada α = 0,05 HASIL Jurnal Ners Vol. 6 No. 2 Oktober 2011: 169–174 172 tersebut dan berlangsung secara normal jika tidak ada gangguan. Pemberian obat atau zat yang bersifat toksik yang dapat memengaruhi proses spermatogenesis tersebut maka akan terjadi g a n g g u a n p a d a s a a t p e m b e l a h a n a t a u perkembangan dari sel epitel germinalis sampai menjadi spermatozoa. Terganggunya proses spermatogenesis secara histologis dapat dilihat dari jumlah dan ukuran sel-sel spermatogenik penyusun tubulus seminiferus yang berkurang dan berubah, terputusnya perkembangan sel pada salah satu tahapan dan terjadinya pelepasan sel-sel germinalis. Proses diferensiasi sel spermatogonia terjadi sangat kompleks di dalam tubulus seminiferus. Tubulus dikelilingi oleh jaringan interstitial khususnya sel leydig yang merupakan sumber testosteron beserta FSH merupakan hormon pengatur proses spermatogenesis. Dengan kata lain bahwa untuk berlangsungnya proses spermatogenesis yang normal diperlukan adanya hormon LH dan FSH. Hormon LH bekerja secara langsung pada sel leydig untuk menghasilkan hormon testosteron, sedangkan hormon yang langsung bekerja pada epitel tubulus seminiferus adalah testosteron dan FSH. Hormon FSH diperlukan pada saat permulaan proses spermatogenesis yang disebut spermatositogenesis di mana pada fase ini spermatogonia akan berkembang menjadi spermatosit dan diakhiri dengan terbentuknya spermatid. Sementara itu, sel sertoli yang merupakan sel target dari hormon testosteron akan didorong untuk menghasilkan ABP. Ganong (2001) menyatakan bahwa fungsi utama sel Sertoli yang dipengaruhi oleh testosteron antara lain adalah mendorong sintesis ABP, sintesis inhibin, sintesis glikoprotein dan metabolisme energi untuk menghasilkan asam laktat yang merupakan salah satu sumber energi utama sel-sel spermatogenik. Jika terjadi gangguan pada sel sertoli yang merupakan sel pendukung dan pemberi nutrisi bagi sel-sel spermatogenik akan mengakibatkan terjadinya hambatan perkembangan sel spermatogenik dalam tubulus seminiferus. Penurunan jumlah sel spermatogenik di sebabkan karena penambahan kadar epinefrin dari luar akibat injeksi dari luar epinefrin dapat meningkatkan pulsasi hipotalamus yang dapat merangsang lepasnya GnRH dari hipotalamus ke sistem portal menuju ke hipofi sis anterior. Menurut Guyton (2000) katekolaminergik bekerja dengan meningkatkan frekuensi rangsangan dan amplitude GnRH. Peningkatan pulsasi GnRH ini akan mengakibatkan penurunan sekresi gonadotropin (LH dan FSH), berdasarkan penjelasan tersebut menunjukkan bahwa pemberian stres fi sik berupa suntikan subkutan dan stres kimiawi berupa injeksi epinefrin berulang dapat menurunkan kadar FSH sehingga tidak mampu bekerja sama dengan testosteron untuk menstimulasi sel sertoli untuk membentuk protein khusus, yaitu ABP yang berguna untuk mengangkut dan mengkonsentrasikan testosteron guna proses spermatogenesis tersebut. Penurunan kadar FSH disebabkan karena katekolamin (epinefrin) yang dihasilkan oleh stimulasi akibat stressor fi sik dapat mengaktifkan sistem saraf simpatis untuk melepaskan neurotransmitter norepinefrin lokal pada ujung saraf simpatis postganglionik, sedangkan stressor pada medula merangsang pelepasan epinefrin ke sirkulasi (Antony, 1995). Dengan demikian peningkatan kadar Tabel 3. Analisis jumlah spermatid oval untuk kelompok kontrol, kelompok perlakuan yang diberi injeksi subkutan epinefrin dosis 0,001 mg/20 gram BB, dosis 0,005 mg/20 gram BB dan dosis 0,01 mg/20 gram BB. Kelompok Rata-rata ± SD Nilai Minimum Nilai Maksimum ANOVA Ko(Kontrol) 114,07 ± 16,75 93,40 145,20 F = 21,98 p = 0,000 P1 76,04 ± 15,85 43,80 102,20 P2 63,69 ± 20,57 37,60 90,20 P3 56,56 ± 10,95 33,20 73,00 Keterangan: *signifi kan pada α = 0,05 Stres dapat Mengganggu Proses Spermatogenesis (Yuni Sufyanti Arief) 173 E ini dapat meningkatkan pulsasi hipotalamus dan selanjutnya akan memengaruhi pulsasi dari GnRH. Peningkatan pulsasi GnRH ini akan merangsang penekanan konsentrasi LH dan FSH. Guyton (2000) menyebutkan bahwa pemberian E menimbulkan efek mirip stimulasi saraf adrenergik. Pemberian E dapat menimbulkan gejala seperti perasaan takut, khawatir, gelisah, tegang, nyeri, kepala berdenyut, tremor, rasa lemah, pusing, pucat, sukar bernapas dan palpitasi. Pemberian E juga akan menyebabkan vasokonstriksi dari pembuluh darah sistemik, sebagai akibatnya suplay darah menuju testis akan menurun dan pada akhirnya fungsi testis akan terganggu sehingga proses spermatogenesis juga akan terganggu. Penurunan jumlah sel spermatogenik akibat pemberian E. Dengan demikian poros hipotalamus-hipofisis-testis terpengaruh oleh pemberian E di dalam mensekresi hormon yang dihasilkannya terutama hormon gonadotropin. Selain itu penurunan jumlah sel spermatogenik dimungkinkan juga disebabkan karena pemberian E akan menyebabkan vasokonstriksi dari pembuluh darah sehingga suplai darah ke testis akan menurun yang menyebabkan fungsi testis terganggu dan pada akhirnya proses spermatogenesis akan terganggu. B e r d a s a r k a n h a s i l u j i B N T didapatkan data bahwa penurunan jumlah sel spermatogonium dan spermatosit tidak menunjukkan perbedaan yang nyata pada pasangan kelompok yang diberi E dosis 0,005 mg/20 gram BB dan dosis 0,01 mg/ 20 gram BB (P2–P3), dan penurunan jumlah sel spermatid oval juga tidak menunjukkan penurunan yang nyata pada pasangan kelompok yang diberi E dosis 0,001 mg/20 gram BB dan dosis 0,005 mg/20 gram BB (P1–P2) dan pasangan kelompok yang diberi E dosis 0,005 mg/ 20 gram BB dan dosis 0,01 mg/20 gram BB (P2–P3). Hal ini berarti bahwa pemberian E dosis 0,005 mg/20 gram BB merupakan dosis maksimal yang menyebabkan penurunan jumlah spermatogonium, spermatosit dan spermatid oval. Menurut Guyton (2000) bahwa pemberian E harus diberikan pada dosis terapi yang tepat. Pemberian dosis yang berlebihan akan menyebabkan efek stimulasi saraf adrenergik yang berlebihan. Arif (1999) menyebutkan bahwa dosis terapi maksimal E yang dapat diberikan pada hewan coba adalah 0,001 mg/20 gram BB. sehingga pemberian E dosis 0,005 mg/20 gram BB sudah merupakan dosis yang maksimal yang dapat menyebabkan penurunan jumlah sel spermatogenik. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Hasil penelitian tentang stres (pemberian epinefrin) terhadap jumlah spermatogonium, spermatosit primer, spermatid oval, dan kadar hormon testosteron dapat disimpulkan bahwa stres dalam hal ini pemberian epinefrin menurunkan jumlah sel spermatogenik (spermatogonium, spermatosit, dan spermatid oval), dengan penurunan masing-masing kelompok perlakuan (P1, P2, P3) dibandingkan dengan kontrol(K0) untuk spermatogonium adalah 28,8%, 42,4%, 45,5%, untuk spermatosit adalah 13,7%, 37,4%, 38,9% dan untuk spermatid oval adalah 33,3%, 44,2%, 50,4%. Saran H a s i l p e n e l i t i a n i n i m e m b e r i k a n informasi pada pelayanan kesehatan bahwa stres yang berkepanjangan dapat menganggu kesehatan reproduksi sehingga meningkatkan kejadian infertilitas. Peneliti memberikan saran agar dilakukan penelitian serupa untuk jangka waktu yang lama yang disertai dengan pengukuran kadar kortisol maupun FSH dan LH yang berguna untuk melihat pengaruh lebih lanjut terhadap fertilitasnya. KEPUSTAKAAN Antony, 1995. Endocrinology of the Male Reproductive Sistem, (Online), (http// www.endotext.org/male/male2/male1. htm., diakses tanggal 5 agustus 2006). Arief, M., Triyanti Kuspuji, Savitri Rakhmi, Wardhani Wahyu Ika, Setiowulan Luiwik, 1999. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Media Aesculapius. Jurnal Ners Vol. 6 No. 2 Oktober 2011: 169–174 174 Cunningham, G., 2002. Textbook of Veterinay Physiology, 3rd edition. WB. Souinders Company. Philadhelpia pp: 356–357. Ganong, W.F., 2001. Review of Medical Physiology, 20th ed. Appleton and Large, Stanford, Connectut, pp 545–567. Guyton, A.C., 2000. Texbook of Medical Physiology, 10th ed. West Washington Aquare: WB Saunder Company, pp: 1284–1298. Ismudiono, 1999. Fisiologi reproduksi pada ternak. Edisi 2, Surabaya: Fakultas K e d o k t e r a n H e w a n U n i v e r s i t a s Airlangga, hlm 70–79. Johnson, H., M., J. Everitt, 2000. Essential Reproduction. Fifth edition, Blackwell Science Ltd, 53–68, 102–103. Kusumawati, D., 2003. Bahan Ajar tentang HEWAN COBA. Surabaya: Fakultas K e d o k t e r a n H e w a n U n i v e r s i t a s Airlangga, hlm. 11–2, 22, 67, 87. Prato, F.S., Choleris, E., Thomas, A.W., Moran, G.R., 2001. Behavioural stress responses of mice may be sensitive to weak, ambient elf magnetic fi elds on the order of 0.1 uT. Bioelectromagnetics Society, 23rd Annual Meeting, 11–14 June, St. Paul, MN, Sugiyono, Wibowo Eri, 2001. Statistik Penelitian dan Aplikasinya dengan SPSS 10.0 for windows, Bandung: Alfabeta.