71 PENGEMBANGAN MODEL PENINGKATAN KINERJA TENAGA KEPERAWATAN DALAM PENERAPAN MANAJEMEN TERPADU BALITA SAKIT (MTBS) DI SURABAYA (The Development of Nursing Job Performance Model in The Implementation of Integrated Management of Childhood Illness (IMCI) in Surabaya) Rekawati Susilaningrum*, Chriswardani Suryawati**, Septo Pawelas Arso** *Poltekkes Kemenkes Surabaya, Jl. Mayjend. Prof. Moestopo 8A Surabaya, E-mail: yahoo.reka.co.id ** Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Diponegoro ABSTRACT Introduction: MTBS is a comprehensive approaches for child illnes and one of the way to reduce an infant and under fi ve years morbidity and mortality rateas well as appropriately to apply in public health center. In fact, MTBS has not been implemented as procedure guidance. The objective of the study was to examie the implementation of MTBS viewed from Van Meter and Van Horn model as basic measurement and the goal of policy, the sources of policy, a communication among organisation and the implementation of MTBS. Method: The study was qualitative design. Data were collected by in depth interview. Six Nurse and midwife were recruited as a sample by purposive sampling. Informant triangulation were head of PHC and head of deputy health services. Analysis was by means of content analysis.Result showed that the written and indicator of basic measurement and goal policy was not available yet. Sources of policy, namely health. Result: For the health workers was suffi cient and they have a good competency to carry out MTBS and have workload focus on three types. Fasilities was no room, form was diffi cult to provide, instruments and medication was suffi cient available, but there was no specifi c funding. Communication was carried out only on the training program by MTBS fascilitator. Characteristic of beaurocracy structure (SOP) consists of preparation, implementation, reporting and recording.There was no specifi c preparation, it only an introduction dessimination was done. The implementation was not as modul and the form of MTBS was not used anymore. The implementation of MTBS lack support from Public Health center and Health Care District of Surabaya. Healh worker unmotivated to implement MTBS. Discussion: the implementation of MTBS lack support from health worker, Public Health Center and Health Care District of Surabaya.It is recomended that Health Care District &Public Health Center cooperatively should have commitment to assess the implementation of MTBS in Surabaya. Keywords: development integrated management of childhood illness, public health center, nursing (nurse and midwife) PENDAHULUAN Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007, ada beberapa penyakit utama yang menjadi penyebab kematian bayi dan balita. Pada kelompok bayi (0–11 bulan), dua penyakit terbanyak yang menyebabkan kematian adalah diare sebesar 31,4% dan pneumonia 24%, sedangkan untuk balita, kematian akibat diare sebesar 25,2%, pneumonia 15,5%, Demam Berdarah Dengue (DBD) 6,8% dan Campak 5,8% (Departemen Kesehatan B, 2008). Penyakit-penyakit tersebut umumnya terjadi bersamaan dan sebenarnya bisa ditangani di pelayanan tingkat puskesmas apabila anak yang sakit terdeteksi sejak awal. Oleh karena itu WHO dan UNICEF mengembangkan suatu strategi atau pendekatan yang dinamakan Manajemen Terpadu Balita Sakit (selanjutnya disingkat MTBS) atau Integrated Management of Childhood Illness (IMCI). Indonesia telah mengadopsi pendekatan Manajemn Terpadu Balita Sakita (MTBS) sejak tahun 1996 Jurnal Ners Vol. 7 No. 1 April 2012: 71–80 72 dan implementasinya dimulai tahun 1997 (Departemen Kesehatan, 2008). MTBS merupakan salah satu solusi mengurangi angka kematian dan kesakitan bayi dan balita serta sangat sesuai diterapkan di Puskesmas. Sebagian besar balita sakit yang dibawa berobat ke Puskesmas, jarang mempunyai keluhan tunggal. Menurut data WHO, tiga dari empat balita sakit seringkali memiliki beberapa keluhan lain yang menyertai dan sedikitnya menderita 1 dari 5 penyakit tersering pada balita yang dapat diakomodir oleh MTBS. Tenaga kesehatan yang melaksanakan MTBS harus mengikuti pelatihan terlebih dahulu agar dapat mengenali secara dini dan cepat semua gejala anak sakit, sehingga dapat menentukan apakah anak sakit ringan, berat dan perlu dirujuk. Jika penyakitnya tidak parah, petugas dapat memberikan pengobatan atau tindakan sesuai pedoman MTBS. Penggunaan MTBS belum berjalan secara efektif, dalam pelaksanaannya. Kondisi dialami oleh sebagian besar puskesmas di Indonesia, karena berbagai kendala antara lain terbatasnya jumlah tenaga yang dilatih MTBS, perpindahan tenaga, kurang lengkapnya sarana dan prasarana pendukung. Seluruh propinsi di Indonesia, puskesmas yang telah melaksanakan MTBS hingga akhir 2009 sebesar 51,59%. Kriteria melaksanakan bila dalam menangani balita sakit minimal 60% dari jumlah kunjungan balita sakit menggunakan modul MTBS (Departemen Kesehatan C, 2009). Pelaksanaan di propinsi Jawa Timur, MTBS di setiap puskesmas juga belum sesuai dengan yang diharapkan. Menurut Laporan penerapan MTBS di kabupaten atau kota wilayah Propinsi Jawa Timur (2009), dari 933 puskesmas di Jawa Timur, yang telah melaksanakan MTBS sekitar 74,4% (692 puskesmas) di antara jumlah puskesmas tersebut, hanya 0,7% puskesmas yang telah menangani balitanya dengan MTBS di atas 60% dari seluruh balita yang berkunjung. Jika dibandingkan dengan data nasional, maka persentase puskesmas yang menerapkan MTBS di Jawa Timur masih memprihatinkan. Data dari Sub-Bagian Penyusunan Program Dinas Kesehatan Kota Surabaya (2009), ada kenaikan persentase rata-rata balita sakit yang ditangani dengan MTBS pada tahun 2009 jika dibandingkan tahun 2008. Pada tahun 2009 persentasinya sekitar 30,4% dari seluruh balita sakit yang berkunjung ke puskesmas, sedangkan pada tahun 2008 hanya sekitar 11,2%. Kenaikan persentasi ini tidak selalu karena meningkatnya jumlah pelayanan pada balita dengan MTBS. Ada beberapa puskesmas yang mengalami penurunan persentasi balita yang ditangani dengan MTBS, bahkan ada puskesmas yang tidak menggunakan MTBS lagi di samping itu, sebagian besar puskesmas menerapkan MTBS belum sesuai dengan harapan pemerintah, meskipun sebagian besar puskesmas telah ada petugas MTBS. Merujuk model Kebijakan Implementasi dari Van Meter dan Van Horn, ada 6 faktor yang saling berkaitan dan berpengaruh terhadap implementasi kebijakan yaitu ukuran-ukuran dasar dan tujuan kebijakan, sumber-sumber kebijakan, komunikasi antarorganisasi dan kegiatan-kegiatan pelaksanaan, karakteristik badan-badan pelaksana, kondisi-kondisi ekonomi, sosial dan politik serta kecenderungan pelaksana. Faktor-faktor tersebut bekerja secara simultan dan berinteraksi satu sama lain untuk membantu dan menghambat implementasi kebijakan (Budi, 2008). Tujuan penelitian ini adalah untuk mengembangkan model kinerja tenaga keperawatan dalam implementasi MTBS di puskesmas wilayah Dinas Kesehatan Kota Surabaya ditinjau dari ukuran dasar dan tujuan kebijakan, sumber kebijakan, komunikasi antarorganisasi dan kegiatan pelaksanaan, karakteristik badan pelaksana, lingkungan ekonomi, sosial dan politik serta kecenderungan pelaksana. BAHAN DAN METODE Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif yaitu salah satu metode penelitian yang bertujuan untuk mendapatkan pemahaman tentang kenyataan melalui proses berpikir induktif (Morse, 1995). Berdasarkan pendekatan waktu pengumpulan data dilakukan secara cross sectional yang dilakukan sekaligus pada satu kali pengamatan (point time approach) (Sugiyono, 2008). Pengembangan Model Peningkatan Kinerja Tenaga Keperawatan (Rekawati Susilaningrum) 73 Pengumpulan data dilakukan dengan cara wawancara mendalam (indepth interview) yaitu proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara pewawancara dan informan, dengan menggunakan pedoman wawancara (Basrowi, 2002). Informan pada penelitian ini dibedakan menjadi 2 kelompok yaitu informan inti yang merupakan petugas pelaksana MTBS dalam hal ini bidan atau perawat di puskesmas yang telah mengikuti pelatihan MTBS dan Informan triangulasi yaitu kepala puskesmas dan Kepala Sie Kesehatan ibu dan Anak (KIA) Dinas Kesehatan Kota (DKK) Surabaya. Dalam penelitian kualitatif, populasi diistilahkan situasi sosial yang terdiri dari 3 elemen yaitu tempat, pelaku dan aktivitas yang berinteraksi secara sinergis (Sugiyono, 2008). Populasi pada penelitian ini adalah petugas yang telah dilatih MTBS yang berada di puskesmas wilayah Dinas Kesehatan Kota (DKK) Surabaya. Sampel pada penelitian kualitatif disebut subjek. Subjek pada penelitian ini adalah perawat atau bidan pelaksana MTBS yang berasal dari 6 puskesmas yang terdiri dari dua puskesmas yang cakupan MTBS di bawah 25%, dua puskesmas yang cakupan MTBS sekitar 50%, dua puskesmas yang telah melaksanakan MTBS di atas 75%. Adapun kriteria inklusi dari penelitian ini adalah bidan atau perawat yang bertugas di puskesmas kota Surabaya yang telah dilatih MTBS dan sebagai penanggung jawab MTBS, tidak sedang cuti, ijin atau tugas belajar serta bersedia menjadi informan. Teknik pengambilan sampel atau subjek pada penelitian secara purposive sampling yaitu teknik pengambilan sampel dengan pertimbangan tertentu yang dibuat oleh peneliti berdasarkan ciri atau sifat-sifat populasi yang telah diketahui (Nursalam, 2007). Variabel yang diteliti adalah faktor- faktor yang memengaruhi implementasi berdasarkan teori Van Meter dan Van Horn yaitu variabel pertama ukuran dan tujuan kebijakan yaitu pernyataan semacam surat edaran yang menyatakan maksud dilaksanakannya MTBS. Dalam bentuk aturan pelaksanaan dan indikator keberhasilan yang berupa target jumlah balita yang ditangani dengan MTBS, variabel yang kedua yaitu sumber kebijakan di mana ketersediaan sumber-sumber daya yang digunakan untuk melaksanakan MTBS, terdiri dari petugas dan fasilitas, variabel ketiga adalah komunikasi yaitu penyampaian informasi tentang apa dan bagaimana penerapan MTBS, kapan dan mengapa harus dilaksanakan, yang dilakukan oleh penanggung jawab program MTBS di DKK atau atasan lainnya, variabel keempat yaitu karakteristik badan pelaksana di mana merupakan karakteristik, norma atau hubungan yang terjadi berulang-ulang di puskesmas dalam bentuk prosedur kerja atau Standard Operating Procedure (SOP), variabel kelima adalah kondisi ekonomi, sosial dan politik yaitu lingkungan yang dapat mendukung pelaksanaan MTBS dalam hal ini kelompok pembuat kebijakan maupun masyarakat yang Gambar 1. Model pengembangan kinerja tenaga Keperawatan pada implementasi MTBS (diadaptasi dari teori van Meter dan van Horn (1975) Jurnal Ners Vol. 7 No. 1 April 2012: 71–80 74 memanfaatkan pelayanan puskesmas, dan variabel keenam merupakan kecenderungan pelaksana adalah kecenderungan sikap petugas MTBS yang bisa menghambat atau mendukung pelaksanaan MTBS di puskesmas. Peneliti menggunakan alat bantu untuk memperoleh data yang diperlukan berupa pedoman wawancara yang diperlukan untuk menggali informasi tentang tujuan kebijakan, komunikasi, sumber daya, sikap dan prosedur kerja, tape recorder untuk merekam semua informasi yang diberikan oleh informan. Dalam menjaga validitas data maka dilakukan teknik triangulasi yaitu pengumpulan data dari berbagai sumber atau informan yang berbeda (Lincoln, 2009). Adapun informan triangulasi adalah kepala puskesmas berjumlah 6 orang dan Sie KIA atau penanggung jawab MTBS DKK Surabaya adalah 1 orang. Data yang diperoleh dengan wawancara mendalam, dilakukan sampai tuntas sehingga datanya jenuh. Selanjutnya data diolah dengan analisis isi (content analysis) yaitu analisis berdasarkan topik dengan cara memilah-milah melalui tahapan (Lincoln, 2009) penyederhanaan, reduksi data (data reduction) yaitu merangkum, memilih hal-hal yang pokok, fokus pada hal- hal yang penting, dicari tema dan polanya. Data yang telah direduksi akan memberikan gambaran yang lebih jelas, penyajian data (data display), dalam bentuk uraian singkat (bentuk naratif), matriks dan hubungan antarkategori, penarikan kesimpulan, verifikasi simpulan (conclusion drawing). Jika data yang diperoleh valid dan konsisten, maka kesimpulan yang diperoleh akan kredibel. HASIL Data diambil di 6 puskesmas di Surabaya yang telah ada petugas MTBS yaitu Puskesmas 1, Puskesmas 2, Puskesmas 3, Puskesmas 4, Puskesmas 5, Puskesmas 6. Setiap puskesmas, petugas MTBS rata-rata 2–3 orang yang terdiri dari dokter dan perawat atau bidan. Jumlah kunjungan bayi dan balita sakit, paling sedikit di Puskesmas 1 dengan jumlah 3235 balita, yang paling banyak di Puskesmas 2 yaitu 87043 balita (Dinas Kesehatan Kota Surabaya, 2009). Jika dirata-rata dalam satu hari, jumlah kunjungan sekitar 13 balita untuk Pkm 1 dan 33 balita untuk Pkm 2. Jika MTBS dilaksanakan, di Pkm 1 waktu yang dibutuhkan jauh lebih sedikit jika dibandingkan di Pkm 2, karena setiap pasien memerlukan waktu sekitar 10 menit. Ukuran Dasar dan Tujuan Kebijakan Hasil wawancara menunjukkan bahwa selama ini pedoman untuk melaksanakan MTBS, berdasarkan modul dan bagan MTBS. Pedoman selain modul seperti surat edaran dari DKK yang berisi tentang aturan pelaksanaan MTBS atau indikator keberhasilan yang bisa dijadikan pijakan atau dasar untuk melaksanakan MTBS belum ada. Sebagian informan mengatakan ada kesepakatan bahwa balita yang diperiksa dokter berarti sudah di MTBS. Beberapa kepala puskesmas mengatakan bahwa sebaiknya ada target atau indikator agar petugas merasa ada pressurenya. Menurutnya, petugas puskesmas akan mendahulukan program yang ada targetnya sebagaimana komentar berikut ini “...Perlu target saya kira. Selama ini MTBS tidak ada pressure dan batasannya tidak jelas. Kita akan mendahulukan program yang ada pressurenya. Targetnya berapa misalkan 100 harus bisa dicapai berapa lama..itu untuk MTBS ndak ada.... “: Saya kira perlu untuk memberikan motivasi. Dari DKK memang tidak ada target, terkesan tenang-tenang saja, tidak seperti program lain yang dikejar-kejar. Jadi saya agak kendor... Kepala Bidang Pelayanan Kesehatan selaku informan triangulasi mengatakan bahwa sejauh ini DKK belum membuat suatu aturan pelaksanaan MTBS dan tidak menetapkan target, karena memaklumi kondisi puskesmas yang banyak target Standar Pelayanan Minimal (SPM). Kalau memang perlu target seharusnya pemerintah pusat yang menetapkannya, karena pemerintah yang mengadakan pelatihan MTBS, namun bukan berarti DKK mengabaikan program MTBS. Setiap kali ada pertemuan kepala puskesmas atau pertemuan bidan atau perawat selalu diingatkan agar tidak lupa melaksanakan MTBS. Pengembangan Model Peningkatan Kinerja Tenaga Keperawatan (Rekawati Susilaningrum) 75 Sumber Kebijakan Sebagian petugas mengatakan untuk jumlah tenaga MTBS saat ini sudah cukup meskipun ditambah tidak jaminan untuk dilaksanakan karena ruangan tidak ada, banyak pasien dan berbagai tugas yang harus diselesaikan. Beberapa kepala puskesmas juga mengatakan tidak perlu ada penambahan petugas MTBS karena pelayanan sudah dilakukan oleh dokter. Berikut komentarnya. “...Saya kira sudah cukup, toh yang menangani pasien sudah dokternya.. “...Dua petugas yang dilatih saya kira cukup. karena semua pasien sudah ditangani dokter. Intinya kan sama dengan kita kuliah, cuma dibuat modul. Kalo perlu dirujuk ya dirujuk.. S e g i k o m p e t e n s i , s e m u a p e t u g a s m e n g a t a k a n s e b e n a r n y a m a m p u u n t u k melaksanakan. Menurut mereka MTBS cukup mudah, tetapi memerlukan waktu yang lama dan ketenangan pasien, sedangkan beban kerja, semua petugas mengatakan bahwa beban kerja yang harus dilaksanakan lebih dari 3 jenis kegiatan. Beban kerja ini berupa tugas pokok dan fungsi (tupoksi) serta tugas tambahan lain. Kegiatan-kegiatan tersebut sudah menyita waktu sehingga kesempatan melaksanakan MTBS tidak ada. Kepala puskesmas juga mengakui bahwa petugas MTBS mempunyai tugas rangkap sebagaimana komentar berikut. “..Kalau beban kerja di puskesmas.. jika dihitung dengan rumus harusnya pegawainya kurang ya, tapi memang bebannya tumpang tindih dari dulu seperti itu, sehingga sulit kalau harus pegang mtbs saja..Tk6 Komunikasi Semua petugas mengatakan kalau penyampaian informasi tentang pelaksanaan MTBS dilakukan saat pelatihan oleh tim fasilitator kepada peserta pelatihan. Tim fasilitator juga menyampaikan tujuan dan latar belakang dilaksanakannya MTBS yaitu untuk memberikan pelayanan yang terintegrasi kepada bayi dan balita sakit. Setelah pelatihan dan kembali ke puskesmas, petugas diharapkan melaksanakan deseminasi kepada staf dan karyawan puskesmas. Ada kepala puskesmas yang menyarankan kalau ada program baru dari pemerintah hendaknya dilihat dulu dilapangan apakah bisa diaplikasikan. Petugas mengatakan bahwa setelah pelatihan terkesan dibiarkan saja tidak ada kelanjutannya. Evaluasi paska pelatihan hampir tidak pernah dilakukan. Pada tahun 2010 pernah dievaluasi yaitu mengerjakan test dengan cara mengisi formulir MTBS dengan suatu simulasi. Menurut Kepala Bidang Pelayanan K e s e h a t a n , e v a l u a s i t e l a h d i l a k u k a n pascapelatihan dan refresh (penyegaran). Memang dalam pelaksanaannya evaluasi dan supervisi tidak khusus untuk MTBS tetapi bersamaan dengan program lain dan rutin dilaksanakan setiap tahun. Penyegaran sudah dimulai setahun terakhir. Karakteristik Badan Pelaksana (Struktur Birokrasi, SOP) S e b a g i a n b e s a r p e t u g a s M T B S mengatakan melakukan diseminasi informasi MTBS kepada seluruh petugas puskesmas dalam suatu pertemuan rutin yang dihadiri kepala puskesmas dan staf. Diseminasi dilakukan cukup sekali pascapelatihan saat ada minilokakarya atau pertemuan rutin puskesmas. Persiapan logistik dan formulir MTBS, hampir seluruh petugas mengatakan tidak ada persiapan khusus, sedangkan untuk penyesuaian alur pelayanan, semua petugas mengatakan tidak ada perubahan alur pelayanan meskipun dulu menerapkan MTBS. Sebagian besar petugas mengatakan dalam pelaksanaan MTBS langkah-langkah dalam formulir MTBS dipersingkat agar tidak memakan waktu, namun sebagian lain mengatakan tidak perlu direvisi atau dipersingkat nanti malah tidak sesuai. Seluruh petugas juga mengatakan bahwa sekarang tidak melaksanakan MTBS, karena tidak ada formulir, ruangan belum ada dan banyak kegiatan yang harus dilaksanakan. Seluruh petugas mengatakan bahwa pencatatan pada formulir MTBS tidak dilakukan lagi, baik yang bermasalah dengan formulir maupun yang tidak. Meskipun terpaksa diisi, Jurnal Ners Vol. 7 No. 1 April 2012: 71–80 76 dilakukan setelah pasien sepi dan seingatnya dan terkadang hanya klasifi kasinya saja yang ditulis. Apalagi sebagian kepala puskesmas mengatakan kalau pencatatan pada formulir MTBS sulit dilaksanakan karena waktu yang cukup lama. Berikut komentarnya: “..dengan tanpa menulis di form MTBS saja waktu pelayanan kita terbatas apalagi dengan mengisi MTBS. Kita sebenarnya sudah melaksanakan langkah MTBS hanya tidak dicatat di form. Pelaksanaan MTBS tidak masalah tapi pencatatannya yang sulit karena terkendala waktu dan banyaknya pasien..Tk5 “..Gimana ya, masalahnya semua balita sudah ditangani dokter sehingga pola pikirnya sdh paham.. Sebagaimana dengan pencatatan, pelaporan yang digunakan juga tidak memerlukan perubahan. Dengan demikian semua pencatatan dan pelaporan yang digunakan tidak mengalami perubahan. Lingkungan Politik, Sosial dan Ekonomi Lingkungan politik, sosial dan ekonomi adalah lingkungan yang dapat mendukung pelaksanaan MTBS yaitu pembuat kebijakan m a u p u n k e l o m p o k m a s y a r a k a t y a n g memanfaatkan pelayanan puskesmas dan merupakan faktor eksternal puskesmas. Sebagian besar petugas mengatakan bahwa sejauh ini belum ada keterlibatan dan perhatian dari pihak luar seperti tokoh masyarakat, dan media karena kenyataannya MTBS belum dilaksanakan. Beberapa petugas mengatakan dulu pernah memberitahu pasien saat akan dilayani dengan MTBS dan pasien mau dan senang karena merasa diperhatikan. Namun sekarang tidak lagi, karena jika anaknya rewel atau antrian panjang, ibu minta anaknya dilayani dengan cepat. Kepala puskesmas juga mengatakan bahwa MTBS hanya bisa dijalankan sesuai kondisi puskesmas, belum ada upaya untuk melibatkan pihak luar agar MTBS bisa berjalan dengan baik. Ada beberapa kepala p u s k e s m a s y a n g m e n g a t a k a n b a h w a sebenarnya MTBS ditujukan untuk tenaga perawat dan bidan, sehingga lebih sesuai diterapkan di daerah yang tenaga dokternya terbatas. DKK juga belum memberikan perhatian lebih terhadap MTBS, karena mengutamakan program yang ditentukan standar pelayanan minimalnya (SPM), sebagaimana pernyataan berikut: “..bukan bermaksud mengabaikan program MTBS, kalau memang ada keharusan untuk dilaksanakan, pemerintah pusat seharusnya juga memfasilitasi, misalnya dengan menentukan target atau indikator. Setelah tidak ada pelatihan, pemerintah terkesan diam.. Kecenderungan (Sikap) Pelaksana Beberapa petugas yang mengatakan MTBS cukup bagus untuk diterapkan di puskesmas, tetapi untuk melaksanakannya sulit. Namun sebagian informan mengatakan terlalu rumit, perlu waktu lama dan tidak cocok jika diterapkan dikota. Sebagian besar petugas mengatakan pelaksanaannya belum sesuai dengan prosedur. Form MTBS diisi setelah pasien sepi dan seingatnya saja karena waktu pelaksanaannya lebih lama sehingga kurang efektif. Petugas tidak yakin jika MTBS dapat membantu menurunkan angka kesakitan dan kematian bayi. Sebagian besar mengatakan semua tergantung pola hidup pasien itu sendiri. Berbagai pernyataan yang disampaikan oleh petugas MTBS maupun informan triangulasi dapat dijelaskan bahwa ada keterkaitan antara keenam faktor tersebut. Tidak jelasnya ukuran dasar dan tujuan kebijakan mempunyai dampak tidak langsung terhadap kecenderungan sikap petugas yang terwujud belum dilaksanakannya MTBS. Sumber-sumber kebijakan yang kurang memadai memengaruhi komunikasi dan pelaksanaan MTBS. Pada sisi yang lain kecenderungan para pelaksana dapat dipengaruhi secara langsung tersedianya sumber-sumber. Kecenderungan petugas yang enggan melaksanakan MTBS dipengaruhi oleh sumber-sumber daya yang kurang memadai. Jika sumber-sumber tersedia, para pelaksana akan melaksanakan kebijakan dengan senang hati, sebaliknya jika tidak cukup tersedia sumber- sumber maka dukungan dan ketaatan terhadap program akan menurun. Pengembangan Model Peningkatan Kinerja Tenaga Keperawatan (Rekawati Susilaningrum) 77 PEMBAHASAN Ukuran Dasar dan Tujuan Kebijakan MTBS memang tidak dimasukkan dalam target SPM, namun digunakan sebagai langkah kegiatan untuk memenuhi target SPM (Departemen Kesehatan E, 2004), karena bukan target, maka pelaksanaannya kurang mendapat perhatian. Kondisi ini terjadi di lapangan, petugas lebih mengutamakan program yang ada target dan pressure karena jika tidak terpenuhi akan mendapatkan surat peringatan. Adanya ukuran dasar dan standar kebijakan sebenarnya dapat membantu untuk mengevaluasi dan membuat langkah selanjutnya, apakah MTBS dibiarkan saja atau bisa dijalankan dengan beberapa revisi. Selama ini telah begitu banyak biaya yang dikeluarkan untuk pelaksanaan MTBS, diantaranya dengan pelatihan MTBS kepada tenaga puskesmas diseluruh Indonesia. Oleh karena itu diperlukan komitmen pejabat atau pengelola program MTBS. Sumber Kebijakan Penambahan petugas, sulit terwujud saat ini. Petugas yang telah dilatih, diharapkan menjadi tutor bagi petugas lainnya yang belum dilatih MTBS. Kenyataan di lapangan, petugas yang telah dilatih memang menginformasikan tentang MTBS kepada petugas lainnya tetapi sifatnya pengenalan dan hanya sekali disosialisasikan. Anggapan bahwa semua anak yang ditangani oleh dokter berarti telah melaksanakan MTBS, perlu ditelaah apakah semua dokter sudah mengikuti pola pikir secara komprehensif sebagaimana pada MTBS. Saat ini belum semua dokter puskesmas mengikuti pelatihan MTBS. Menurut teori Edward, jumlah staf (petugas MTBS) tidak selalu mempunyai efek positif bagi implementasi kebijakan. Hal ini berarti bahwa jumlah staf yang banyak tidak secara otomatis mendorong implementasi yang berhasil. Namun kekurangan staf juga dapat menimbulkan persoalan pelik yang menyangkut implementasi kebijakan yang efektif (Budi, 2008). Kompetensi yang telah dimiliki petugas seharusnya diterapkan saat melayani pasien agar tidak lupa dan semakin terampil. Pelayanan dapat dilakukan secara bertahap sesuai jumlah kunjungan pasien (Departemen Kesehatan D, 2008). Semua petugas mengatakan belum ada ruangan tersendiri untuk melaksanakan MTBS. Sebagian besar mengatakan ruang tersendiri perlu karena pelayanan pada anak berbeda dengan dewasa. Anak perlu ketenangan dan merasa nyaman sehingga memperlancar pelayanan. Pengadaan alat dan obat-obatan untuk pelaksanaan MTBS, tidak masalah karena sama dengan yang digunakan untuk pelayanan sehari- hari dan jumlahnya cukup. Namun pengadaan formulir yang menjadikan kendala. Sebagian petugas mengatakan kalau saat ini formulir tidak ada. Berkaitan dengan pendanaan, semua kepala puskesmas mengatakan tidak ada anggaran khusus atau insentif untuk pelaksanaan MTBS, demikian juga program lain. Menurut Kepala Bidang Pelayanan Kesehatan (Ka. Bid. Yankes), bahwa kebijakan pemerintah kota, anggaran kesehatan diutamakan untuk meningkatkan kesehatan masyarakat. Fasilitas seperti ruangan tersendiri memang diperlukan namun bisa bersamaan dengan pelayanan anak lainnya. Pelaksanaan MTBS memang tidak memerlukan dana atau biaya yang besar. Peralatan dan obat yang diperlukan tidak ada yang khusus karena sudah tersedia cukup. Penyediaan fasilitas yang layak untuk mendukung suatu implementasi yang efektif memang tidak mudah. Namun jika para pembuat kebijakan tidak memperhatikan masalah sumber-sumber daya tersebut, kemungkinan kecil MTBS bisa berjalan dengan baik. Fasilitas fi sik merupakan sumber penting dalam implementasi. Seorang pimpinan mungkin mempunyai staf yang memadai, tetapi tanpa ada fasilitas besar kemungkinan implementasi tidak akan berhasil (Budi, 2008). Komunikasi Komunikasi tentang implementasi MTBS ini seharusnya tidak hanya memberikan informasi tentang cara menggunakan bagan dan mengisi formulir saja, namun ukuran dasar dan tujuan kebijakan juga perlu diinformasikan. Selama ukuran dasar dan tujuan kebijakan Jurnal Ners Vol. 7 No. 1 April 2012: 71–80 78 belum dirumuskan dengan jelas, pelaksanaan MTBS tidak akan berjalan dengan baik. Selain itu, seharusnya komunikasi dilakukan secara konsisten dan berkesinambungan. Menurut teori van Mater dan van Horn, implementasi yang berhasil seringkali membutuhkan mekanisme-mekanisme dan prosedur lembaga. Hal ini sebenarnya akan mendorong kemungkinan yang lebih besar bagi atasan untuk mendukung pelaksana melakukan kebijakan berdasar ukuran dasar dan tujuan kebijakan secara konsisten (Terry, 2008). Karakteristik Badan Pelaksana (Struktur Birokrasi, SOP) Diseminasi MTBS seharusnya dilakukan kepada semua petugas puskesmas karena ada keterkaitan peran dan tanggung jawab antar- petugas di puskesmas bila perlu dihadiri oleh supervisor dari Dinas Kesehatan Kabupaten atau Kota. Demikian juga dengan persiapan logistik agar tidak mengganggu kelancaran pelaksanaan MTBS. Sesuai dengan pedoman pelaksanaan MTBS di Puskesmas, seharusnya petugas mempersiapkan logistik dan formulir serta melakukan pengecekan apakah di puskesmasnya masih tersedia peralatan dan obat yang dibutuhkan agar pelaksanaan MTBS tidak terhambat (Departemen Kesehatan, 2008). Salah satu konsekuensi penerapan MTBS adalah waktu pelayanan menjadi lebih lama. Guna mengurangi waktu tunggu, perlu dilakukan penyesuaian alur pelayanan, untuk memperlancar pelayanan. Penyesuaian alur pelayanan balita sakit harus disepakati oleh seluruh Petugas Kesehatan yang ada di Puskesmas saat diseminasi informasi (MTBS, 2008). Penyesuaian alur ini yang belum pernah disosialisasikan kepada petugas puskesmas lainnya. Memang memerlukan suatu persiapan khusus jika MTBS dilaksanakan. Pelaksanaan MTBS memerlukan keterlibatan semua petugas. Sebenarnya dengan MTBS, memudahkan petugas untuk mendeteksi dan menjaring secara dini penyakit-penyakit yang sering menyebabkan kematian pada bayi dan balita di antaranya pneumonia, diare dan gangguan gizi. namun saat ini yang diutamakan oleh puskesmas adalah pelayanan pasien sehingga pasien puas. DKK mempunyai kebijakan secara bertahap yaitu setiap puskesmas diharapkan mendapatkan sertifi kasi ISO 9001–2008 tentang standar mutu pelayanan kesehatan. Penelitian yang dilakukan Djoko Mardijanto dan Mubasysyir Hasanbasri di Pekalongan tahun 2005 juga menyebutkan bahwa pelaksanaan MTBS tergantung pada petugas yang sudah pernah dilatih dan tidak bertambah baik selama periode tiga tahun. Lingkungan Politik, Sosial dan Ekonomi Saat ini puskesmas masih memfokuskan program unggulan masing-masing karena mempunyai karakter yang berbeda antara satu dengan lainnya. Perbedaan ini yang dikelola oleh puskesmas untuk menjadi suatu program unggulan. Situasi ini didukung dengan pendapat bahwa MTBS untuk perawat dan bidan, jelas akan sulit untuk menerapkan MTBS di Surabaya. Sebagai pengguna pelayanan, masyarakat akan paham jika dilayani dengan waktu agak lama, yang penting ada informasi lebih dahulu, yang perlu dicermati dari lingkungan politik, sosial dan ekonomi ini adalah selama ini pemerintah mengadakan pelatihan MTBS difokuskan hanya kepada petugas di puskesmas. Sementara puskesmas bukan satu-satunya fasilitas pelayanan kesehatan dasar, ada fasilitas pelayanan dasar milik perorangan atau swasta yang juga melayani kesehatan anak yang petugasnya mungkin belum pernah ikut pelatihan MTBS. Kecenderungan (Sikap) Pelaksana Pernyataan-pernyataan petugas yang telah disampaikan pada hasil dapat diartikan cenderung kurang mendukung pelaksanaan MTBS. Menurut teori G. Edwards, pelaksana yang memiliki kecenderungan sikap yang baik, akan dapat menjalankan kebijakan dengan baik. Demikian sebaliknya, jika pelaksana bersikap negatif atau menolak maka implementasi kebijakan akan menghadapi kendala yang serius (Dwiyanto, 2009). Penelitian yang dilakukan Nocholas D. Walter (2009) di Tanzania menunjukkan kepatuhan petugas yang rendah terhadap langkah Pengembangan Model Peningkatan Kinerja Tenaga Keperawatan (Rekawati Susilaningrum) 79 tindakan MTBS. Sedangkan penelitian yang dilakukan Christiane Horwood, dkk. (2009) di Afrika Selatan menunjukkan bahwa MTBS merupakan metode yang efektif memperoleh keterampilan, tetapi lebih banyak waktu untuk penerapannya sehingga diperlukan solusi inovatif keterampilan yang diperoleh petugas tetap memadai dan terpelihara. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Ukuran dasar dan tujuan kebijakan berupa aturan pelaksanaan dan indikator keberhasilan saat ini belum ada rumusan t e r t u l i s . S u m b e r k e b i j a k a n b e r u p a ketersediaan sumber daya, dikelompokkan menjadi 2 yaitu petugas dan fasilitas. Petugas meliputi jumlah tenaga, kompetensi dan beban kerja. Jumlah petugas MTBS yang ada saat ini dianggap cukup, namun jika MTBS dilaksanakan pada semua balita, petugas harus ditambah. Fasilitas meliputi ruangan, peralatan, obat-obatan dan formulir semua Puskesmas belum memiliki ruangan tersendiri, tetapi kepala puskesmas belum ada rencana untuk menyediakannya. Komunikasi antar organisasi dan kegiatan pelaksanaan dilakukan oleh fasilitator pada saat pelatihan dan sesekali oleh petugas KIA saat ada pertemuan. Karakteristik badan pelaksana, dalam bentuk prosedur kerja (SOP), yang meliputi; persiapan, pelaksanaan, pencatatan dan pelaporan MTBS. Pencatatan dan pelaporan hasil pelayanan MTBS selama ini yang dilakukan adalah mencatat jumlah balita sakit yang dilayani dokter, tanpa menggunakan formulir MTBS. Ada kesepakatan bahwa balita sakit yang diperiksa dokter, sudah dianggap melaksanakan MTBS. Lingkungan politik, sosial dan ekonomi. Kepala puskesmas mendukung sebisanya sesuai kondisi puskesmas dan belum menjalin kerja sama dengan pihak lain karena MTBS belum dijalankan. K e c e n d e r u n g a n p e l a k s a n a d a l a m implementasi MTBS berupa kecenderungan sikap petugas yang bisa menghambat pelaksanaan MTBS di puskesmas. Saran Bagi DKK dan Puskesmas sebaiknya bersama-sama dengan DKK mengkaji ulang penerapan MTBS apakah perlu diterapkan di Puskesmas Kota Surabaya. Mengusulkan ke DKK untuk menentukan indikator keberhasilan MTBS agar mendapatkan perhatian dari petugas, ada komitmen untuk memenuhi fasilitas yang diperlukan oleh puskesmas sesuai kebutuhannya, evaluasi dan supervisi dari DKK yang berkesinambungan terhadap program- program puskesmas serta ada tindak lanjutnya dan DKK memodifi kasi formulir MTBS yang meringankan petugas dan hemat waktu. Saat ini formulir yang baru memang sudah lebih ringkas dan dibukukan, tapi justru terkesan pemborosan karena 1 anak diberikan 1 buku untuk 60 kunjungan. Bagi peneliti lain ada penelitian lain tentang efektivitas MTBS yaitu dengan membandingkan balita yang dilayani berdasar MTBS dengan balita yang dilayani dengan cara konvensional sebelum ada MTBS. KEPUSTAKAAN Budi, W., 2008. Kebijakan Publik, Teori dan Proses. Yogyakarta: MedPress. Christiane Horwood, et al., 2009. The Training Exprience and Implementing IMCI in South Afrika. Bulletin of the World Health Organization, (Online), (http:// www.biomedcentral.com) Departemen Kesehatan, 2008a. Manajemen Te r p a d u B a l i t a S a k i t M o d u l 1 (Pengantar). Jakarta: Depkes, WHO dan USAID. Departemen Kesehatan, 2008b. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) I n d o n e s i a Ta h u n 2 0 0 7 ; J a k a r t a : Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Departemen Kesehatan, 2009c. Materi pada Pertemuan Nasional Program Kesehatan Anak, Manajemen Terpadu Balita Sakit. Jakarta: Direktorat Bina Kesehatan Anak. Jurnal Ners Vol. 7 No. 1 April 2012: 71–80 80 Departemen Kesehatan, 2008d. Pedoman Penerapan MTBS di Puskesmas (MTBS Modul 7). Jakarta: Depkes RI, WHO dan USAID. Departemen Kesehatan, 2004e. Keputusan Menteri Kesehatan tentang Petunjuk Teknis Standar Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan di Kabupaten/Kota. Jakarta. Dwiyanto, I., 2009. Kebijakan Publik Berbasis Dynamic Policy Analisys. Yogyakarta: Gava Media. Terry George, R., 2008. Prinsip-Prinsip Manajemen. Jakarta: PT Bumi Aksara. Dinas Kesehatan Kota Surabaya, 2009. Laporan Tahunan Dinas Kesehatan Kota Surabaya. Surabaya: Dinas Kesehatan Kota Surabaya. Mardiyanto, D., Hasanbasri, M., 2008. Evaluasi Manajemen Terpadu Balita Sakit di Pekalongan (Evaluation of Integrated Management of Childhood Illness Program in Pekalongan District of Central Java). JMPK UGM, 08. Morse Janice, MFP A., 1995. Qualitative Research Methods for Health Profesionals. Second edition. London: SAGE Publications. Nursalam, 2007. Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian llmu Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika. Dinas Kesehatan Kota Surabaya, 2009. Profi l Kesehatan Tahun 2009. Surabaya: Dinas Kesehatan Kota Surabaya. Subarsono, 2009. Analisis Kebijakan Publik Konsep, Teori dan Aplikasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Sugiyono, 2008. Metode Penelitian Kuantitatif K u a l i t a t i f d a n R & D ; B a n d u n g : Alfabeta. S. Lincoln, NKDY., 2009. Handbook of Qualitative Research edisi Bahasa Indonesia. Jakarta: Pustaka Pelajar. Nicholas D. Walter, et al., 2009. Why fi rst-level health workers fail to follow guidelines for managing severe disease in children in the Coast Region, (Online), (http:// www. proquest. com/pqdweb).