136 GAMBARAN KLINIS PENDERITA DIFTERI ANAK DI RSUD Dr. SOETOMO (Clinical Features of Children with Diphtheria on Soetomo Hospital) Dwiyanti Puspitasari, Erna Supatmini, Dominicus Husada Departemen Ilmu Kesehatan Anak, RSUD Dr. Soetomo Surabaya, Jl. Mayjen. Prof. Dr. Moestopo 6–8 Surabaya, Email: ... ABSTRACT Introduction: Diphtheria is an important disease in children that could lead to fatal disease. East Java Province was declared to have Diphtheria outbreak in 2011 with increasing morbidity and mortality, including on Soetomo Hospital. Our paper aimed to describe the profi le of diphtheria cases in children admitted at dr Sutomo Hospital. Method: This descriptive study reviewed all medical records of diphtheritic patients admitted to Dr. Soetomo Hospital, January 2004–December 2010, of concerns were clinical presentations, age, sex, immunizations status, complications, and outcomes. Result: From 148 diphtheria cases, 22.3% were bacteriologically proven; 53.4% were male with sex ratio 1.1:1. The age proportion of ≤ 5 years old, 5- ≤ 10 years old, and > 10 years old were 61.5%, 31.8%, and 6.7%. Fever occurred in 99% cases, sore throat, stridor and bullneck occurred respectively in 62.2%, 39.9%, and 29.7% cases. There were 56.8% severe and 41.9% moderate diphtheria. Subjects were immunized in 84%, but none of them have adequate immunization. Myocarditis, being one of the commonest complications occurred in 11.4% cases and tracheostomy was the second (4.0%). All of the death cases (7.9%) were unvaccinated and in severe form. Discussion: The mostly prevalent clinical manifestations in diphtheria children were fever and sore throat. Half of the cases came with severe diphtheria and most cases were inadequately vaccinated. Death occurred in the unvaccinated and severe form. Keywords: diphtheria, clinical profi le, children, mortality PENDAHULUAN Difteri adalah penyakit saluran nafas atas akut sangat menular yang disebabkan oleh kuman Corynebacterium diphtheriae (C. diphtheria). Kuman ini menghasilkan toksin yang menyebar sistemik dan menyebabkan kerusakan pada epitel saluran nafas, jantung, ginjal, saraf otak dan saraf tepi. Kuman C. diphtheria sendiri berbiak dan berkolonisasi di saluran nafas atas, tidak menyebar, namun dapat menimbulkan sumbatan jalan nafas atas, hingga kematian. Difteri masih menjadi masalah serius di beberapa negara di dunia. Meskipun vaksinasi difteri telah rutin dilaksanakan diseluruh dunia sejak tahun 70-an, masih terjadi laporan Kejadian Luar Biasa (KLB) difteri terutama di negara berkembang hingga tahun 1990- an (Magdei, et al., 2000; Quick, et al., 2000; Pantukosit, et al., 2008). Indonesia tidak lepas dari masalah difteri. Jawa Timur dinyatakan KLB difteri pada 2011, dengan jumlah kasus hingga akhir 2011 tercatat 665 kasus dengan kematian 20 kasus (DinKes Jatim, 2011). Gejala klinis difteri bervariasi dari ringan hingga berat, dan tergantung pada organ yang terkena. Difteri pada rongga mulut (tonsil-faring-laring) merupakan bentukan paling sering (> 90%). Gejalanya seringkali tidak khas: diawali nyeri telan, demam ringan, tidur ngorok, pembesaran kelenjar getah bening leher dengan atau tanpa bullneck, stridor hingga tanda-tanda sumbatan jalan nafas atas. Pemeriksaan fi sik yang teliti dengan melihat rongga mulut penderita adalah hal mutlak dalam mendiagnosis difteri, terutama difteri tonsil/faring (Buescher, 2007). St ud i i n i ber t uju a n mempelaja r i mengenai profi l gambaran klinis pasien difteri yang dirawat di Ruang Isolasi Anak RSUD Dr. Soetomo Surabaya. Dengan mengetahui gambaran klinis pada penderita Difteri anak 137 Gambaran Klinis Penderita Difteri Anak (Dwiyanti Puspitasari, dkk.) diharapkan dapat meningkatkan kewaspadaan akan penyakit difteri dan komplikasinya, sehingga dapat melakukan identifi kasi kasus dan pelayanan keperawatan yang komprehensif dapat dicapai. BAHAN DAN METODE Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif retrospektif pada seluruh anak yang dirawat dengan diagnosis difteri di Ruang Isolasi Anak RSUD Dr. Soetomo dari Januari 2004 hingga Desember 2010. Data diambil dari rekam medis penderita, bila rekam medis tidak ditemukan maka penderita diekslusi. Diagnosis difteri dibuat secara klinis berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fi sik tanpa memperhatikan hasil kultur. Penderita difteri secara rutin diterapi dengan Penisilin Prokain. Alternatif untuk terapi tersebut adalah Eritromisin. Antibiotika tambahan diberikan pada infeksi tumpangan. Jumlah Anti Diphtheria Serum (ADS) yang diberikan tergantung derajat keparahan difteri sesuai protokol di Dept/SMF Ilmu Kesehatan Anak FK Unair/RSUD Dr. Soetomo. Difteri ringan bila menderita difteri nasal, konjungtiva, atau kulit, dan mendapat ADS 20.000 IU. Difteri sedang bila menderita difteri tonsil, atau faring dan mendapat ADS 40.000–60.000, difteri berat bila menderita komplikasi difteri, bullneck, pseudomembran yang meluas, dan mendapat ADS 100.000 IU. Pemberian ADS dilakukan segera ketika diagnosis difteri dibuat. Terapi tambahan lain tergantung dari komplikasi yang terjadi. Pengumpulan data yang dimasukkan dalam Lembar Pengumpul data (LPD) antara lain presentasi klinis, usia, jenis kelamin, status imunisasi, keparahan difteri, gambaran klinis, pemeriksaan kultur difteri dari hapusan hidung dan tenggorok, komplikasi yang timbul selama masuk rumah sakit, dan keluaran pasien selama dirawat. St at us imu nisasi di kat akan vaccinated bila pernah mendapatkan imunisasi difteri setidaknya 1 kali, bila tidak pernah sama sekali dikelompokkan dalam unvaccinated. Data deskriptif yang disajikan dalam studi ini menggunakan nilai frekuensi, interval (range), dan prosentase (%). HASIL Sejumlah 148 penderita anak (pasien keseluruhan) dengan difteri dimasukkan dalam studi ini. Tidak ada penderita yang dieksklusi. Tabel 1. Data karakteristik 148 penderita difteri Jumlah kasus n (%) Usia (tahun) mean ± SD (range) 5,11 ± 0,24 Rasio jenis kelamin (laki-laki:perempuan) 1,14:1 Lama sakit sebelum MRS (hari) mean 0 – < 5 ≥ 5 4,96 ± 2,41 77 (52) 71 (48) Tempat tinggal Surabaya Luar Surabaya 84 (56,8) 64 (43,2) Derajat difteri Difteri ringan Difteri sedang Difteri berat 2 (1,4%) 62 (41,9%) 84 (56,7%) Status imunisasi DPT Unvaccinated Vaccinated 23 (15,5) 125 (84,5) Status gizi Buruk Kurang atau baik 6 (4,1) 142 (95,9) 138 Jurnal Ners Vol. 7 No. 2 Oktober 2012: 136–141 Jenis kelamin terdiri dari 79 (53,4%) laki- laki dan 69 (46,6%) perempuan. Terdapat 91 (61,5%) penderita berusia kurang dari 5 tahun, 47 (31,8%) berusia 5–10 tahun, dan 10 (6,7%) berusia > 10 tahun, dengan rata-rata usia 5,11 tahun. Sebagian besar, 77 (52%) penderita datang ke rumah sakit sebelum hari kelima sakit. Karakteristik penderita difteri lebih lanjut dapat dilihat di Tabel 1. Sebagia n besa r (125/148, 84,4%) penderita datang dengan lokasi pseudomembran di tonsil bilateral dan sisanya tonsil unilateral, faring, laring, dan konjungtiva. Hampir seluruh penderita datang dengan klinis panas, tetapi hanya 29 (19,6%) dengan klinis suara parau. Dari seluruh penderita yang dilakukan kultur Corynebacterium diphtheriae didapatkan hasil positif pada 34 pasien (22,9%). Komplikasi tersering yang didapatkan adalah Miokarditis (17/148, 11,5%). Ena m (4%) pender it a menjalani trakeostomi. Sebelas penderita (7,4%) meninggal dunia, dengan penyebab kematian Miokarditis (9/81,8%). PEMBAHASAN Penelitian ini menunjukkan dari 148 kasus difteri terdiri dari 53,4% laki-laki dan Tabel 2. Gejala klinis penderita difteri Jumlah kasus n = 148 Letak membran, n (%) Tonsil unilateral Tonsil bilateral Faring Laring Mata 19 (12,8) 125 (84,4) 6 (4,0) 3 (2,0) 1 (0,06) Gambaran klinis, n (%) Demam Nyeri tenggorok Parau Stridor Bullneck 147 (99,3) 92 (62,2) 29 (19,6) 59 (39,9) 44 (29,7) Kultur positif, n (%) Corynebacterium diphtheria 33 (22,3) Komplikasi, n (%) Miokarditis Sumbatan jalan nafas Acute Kidney Injury (AKI) 17 (11,5) 6 (4,0) 6 (4,0) Meninggal, n (%) 11 (7,4%) 46,6% perempuan. Hasil ini sesuai dengan studi terdahulu dan yang menyebutkan tidak ada perbedaan bermakna jenis kelamin pada kejadian difteri (Top, 1976; Pancharoen, et al., 2002). Penderita difteri terbanyak pada usia di bawah 5 tahun yaitu 61,5% diikuti dengan usia 5–10 tahun sebanyak 31,8% dan sisanya pada usia lebih dari 10 tahun. Hal ini sesuai dengan studi di Delhi, yang mendapatkan gambaran serupa, dengan 93% penderita berusia kurang dari 9 tahun (Sharma, et al., 2007). Sedangkan laporan penelitian KLB di USA dan negara- negara bekas Rusia menemukan pergeseran epidemiologi usia penderita difteri dari usia sebelum sekolah menjadi usia sekolah dan dewasa yang menggambarkan rendahnya antibodi pada kelompok umur tersebut, sehingga saat KLB kelompok ini menjadi rentan terhadap difteri (Naiditch, 1954; Jukka, 2003). Inkubasi difteri terjadi pada hari ke 2–7 (interval 1–10 hari) setelah paparan di mana transmisinya bisa berupa partikel droplet nuklei dari pernafasan atau bisa juga melalui kontak langsung dengan kulit pasien karier difteri. Manifestasi klinis umum yang terjadi pada difteri adalah panas badan dan nyeri telan. Awalnya nyeri telan merupakan gejala awal 139 Gambaran Klinis Penderita Difteri Anak (Dwiyanti Puspitasari, dkk.) yang tidak menyebabkan orang tua membawa anaknya ke dokter tetapi panas yang terjadi kemudian membuat seorang anak dibawa ke dokter. Pada studi ini didapatkan bahwa panas badan terjadi pada hampir semua kasus (99,3%), diikuti nyeri telan (62,2%), dan stridor (39,9%). Pseudomembran mer upakan tanda k has difteri yang terbentuk dari sel-sel leukosit, fi brin, jaringan nekrosis dan kuman difteri yang melekat kuat dengan jaringan di bawahnya dan akan mengeluarkan darah jika berusaha dilepaskan. Pada penelitian ini, 84,4% pseudomembran terdapat pada kedua sisi tonsil, 12,8% pada satu tonsil tetapi lebih dari setengah luas tonsil atau meluas keluar tonsil. Terdapat 6 kasus dengan pseudomembran di faring, 3 kasus di laring yang sebagian besar merupakan perluasan dari difteri tonsil. Adanya satu kasus difteri di konjungtiva merupakan hal yang sangat jarang terjadi pasca era imunisasi DPT, yang mengindikasikan t i n g g i ny a k a s u s d i f t e r i d a n k u m a n C. diphtheria yang beredar di masyarakat. Data dari Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur tahun 2011 juga melaporkan mulai munculnya kasus difteri di luar saluran nafas seperti difteri kulit, konjungtiva dan urogenital (vagina) yang setelah era imunisasi sudah menghilang (Dinas Kesehatan Jawa Timur, 2011). Diagnosis difteri terutama berdasarkan gejala klinis dan konfirmasi laboratorium ber upa hasil kultur C. diphtheria hanya ditemu kan pada 23,3%. St udi di India mengemukakan bahwa diagnosis difteri secara klinis perlu mendapat perhatian atau sangat penting karena rendahnya temuan positif kuman C. diphtheria. Jika terjadi keterlambatan diagnosis selama 48–72 jam akan menimbulkan komplikasi yang serius bagi pasien (Ray, 1998). Difteri merupakan penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi. Di Indonesia, program imunisasi yang telah digalakkan mulai tahun 1970-an, telah berhasil menurunkan angka kejadian difteri. Imunisasi kombinasi DTP (diphtheria toxoid, tetanus toxoid, dan pertussis) dimulai saat seseorang berusia 6 minggu kemudian diulang 2× interval tiap 4 minggu kemudian di-booster setahun setelah imunisasi terakhir dan saat usia 5 tahun. Di Jawa Timur termasuk di RSUD Dr. Soetomo, terjadi peningkatan kejadian difteri dimulai tahun 2004 sampai 2009, hal ini bisa disebabkan oleh banyak hal antara lain gagalnya cakupan imunisasi, kelangkaan ADS dan resistensi kuman terhadap antibiotik pada saat itu, vaksin yang tak imunogenik karena beku, dan tidak dilakukannya imunisasi ulangan (booster) pada usia 2 tahun. Studi ini menemukan bahwa tidak ada pasien yang menjalani imunisasi lengkap (adequately vaccinated), 84,5% kasus tidak diimunisasi lengkap atau tidak di booster (inadequately vaccinated ) dan 15,5% tidak diimunisasi (u n va c ci n a te d ) d i m a n a ke se mu a nya merupakan difteri berat. Studi di Thailand dan India mendapatkan hampir 2/3 penderita tidak pernah mendapatkan imunisasi DPT (Pancharoen, 2002; Ray, 1998). Pada studi kami, sekitar 85% penderita sudah pernah diimunisasi tetapi tidak adekuat, akan tetapi pengambilan data imunisasi hanya berdasarkan anamnesis orangtua, tanpa menunjukkan kartu imunisasi, sehingga bias ingatan sangat mungkin terjadi. Perlu dilakukan studi lebih lanjut untuk mengetahui kadar protektif antibodi difteri setelah mendapat imunisasi, ketepatan pemberian imunisasi serta rantai penyimpanan vaksin. Prinsip tata laksana medikamentosa difteri yang terpenting adalah pemberian ADS sesuai derajat severitasnya dan antibiotik untuk mengeliminasi kuman sampai 95%, tetapi tetap bukan sebagai pengganti ADS. Selain itu, isolasi pasien, bed rest total, serta cukup cairan dan elektrolit merupakan penunjang yang penting dalam tatalaksana difteri (Buescher, 2007). Hasil penelitian menunjukkan 56,7% penderita datang dalam kondisi difteri berat; bisa dikarenakan luas pseudomembran yang ekstensif, adanya bullneck ataupun komplikasi lain. Diperlukan pemeriksaan f isik yang menyeluruh dengan membuka mulut dan memeriksa faring pada semua penderita anak, terlebih bila datang dengan keluhan demam dan nyeri telan. Dengan semikian, diharapkan difteri dapat terdeteksi dini, sehingga penderita tidak terlambat terdiagnosis dan mendapatkan terapi. 140 Jurnal Ners Vol. 7 No. 2 Oktober 2012: 136–141 Asuhan keperawatan pada penderita difteri yang dirawat meliputi asuhan dalam pember ian A DS, antibioti ka Penicillin Prokain dan atau antibiotika lain, pemberian kortikosteroid bila diperlukan, dan tatalaksana pengambilan sampel usap tenggorok atau hidung, serta EKG. Perlu juga dilakukan diagnosis keperawatan dan tatalaksananya pada hal-hal berikut, yaitu kemungkinan ket id a kefek t ifa n be r si ha n jala n n afa s karena obstruksi jalan nafas, adanya resiko penyebarluasan infeksi dari organisme virulen, perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan karena nafsu makan menur un sekunder, efek toksin kuman, kemungkinan penyulit miokarditis, resiko tinggi cidera karena perubahan sensori/persepsi penglihatan, dan kemungkinan gangguan mobilitas fi sik yaitu penurunan fungsi motorik sekunder karena adanya neuropati. Secara umum, prognosis difteri adalah baik. Mortalitas biasanya terjadi karena kegagalan jantung dan respirasi yang terjadi pada 4 minggu awal sakit. Pada studi ini, didapatkan 17 (11,5%) pasien mengalami miokarditis dengan 8 di antaranya meninggal, sehingga elektrokardiogram (EKG) harus dilaksanakan pada saat awal dirawat dan setiap 2 hari setelah seminggu sakit agar bisa mendeteksi lebih dini adanya Miokarditis. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Anak-anak dengan penyakit difteri pada umumnya datang dengan keluhan panas dan nyeri telan. Separuh penderita datang dengan kondisi difteri berat, dan sebagian besar penderita sudah pernah mendapat imunisasi DPT, tetapi tidak adekuat. Kematian umumnya terjadi pada difteri berat dan yang tidak pernah diimunisasi DPT. Saran Daerah di mana kasus difteri banyak t e r ja d i, p e nt i ng u nt u k mela k s a n a k a n pemeriksaan fi sik yang menyeluruh, termasuk melihat faring penderita, karena gejala difteri yang tidak khas. Penemuan kasus yang dini akan memperbaiki prognosis penderita, karena semakin cepat diagnosis ditegakkan dan diberikan terapi yang adekuat, semakin sedikit jumlah toksin yang sudah masuk ke jaringan, sehingga kemungkinan komplikasi juga semakin rendah. Peningkatan cakupan imunisasi dasar DPT dan pemberian booster atau ulangan DPT pada umur 18 bulan diharapkan dapat menekan morbiditas dan mortalitas infeksi Difteri. KEPUSTAKAAN Buescher, E.S., 2007. Diphtheria. Dalam: Kliegman R.M., dk k. (ed). Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-18. Philadelphia: W.B Saunders company, hlm. 1153–7. Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Timur, 2012. Data Difteri 2011 Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Ti mu r (d at a tidak dipublikasikan). Jukka, L., 2003. Studies on the Epidemiology a n d Cli ni cal Ch a ra cte r i st i c s of Diphtheria during the Russian Epidemic of the 1990 s. Diser t asi Tampere University. Tampere University Press, (online), (http://acta.uta.fi/english/teos. php?id=8914, diakses tanggal 1 Mei 2012, jam 12.00 WIB) Magdei, M., Melnic, A., Benes, O., dkk., 2000. Epidemiology and control of diphtheria in the Republic of Moldova, 1946–1996. J Infect Dis.; 181(Suppl 1): S47–54. Naiditch, M.J., Bower, A.G., 1954. Diphtheria. A study of 1.433 cases observed during a ten-year period at the Los Angeles Cou nt y Hospit al. Am J M ed, 7, 229–45. Pancharoen, C., Mekmullica, J., Thisyakorn U., 2002. Clinical features of diphtheria in Thai children: a historic perspective. Southeast Asian J Trop Med Public Health, 22, 352–4. Pantukosit, P., Arpornsuwan, M., Sookananta, K., 2008. A diphtheria outbreak in Buri Ram, Thailand. Southeast Asian J Trop Med Public Health, 39, 690–6. Quick, M.L., Sutter, R.W., Kobaidze, K., dkk., 2000. Epidemic diphtheria in the Republic of Georgia, 1993–1996: risk factors for fatal outcome among hospitalized patients. J infect Dis, 181(Suppl 1), 130–7. 141 Gambaran Klinis Penderita Difteri Anak (Dwiyanti Puspitasari, dkk.) Ray, S.K., Das, Gupta, S., Saha, I. 1998. A report of diphtheria surveillance from a rural medical college hospital. J Indian Med Assoc, 96, 236–8. Sharma, N.C., Banavaliker, J.N., Ranjan. R, d k k., 2007. Bacter iological & epidemiological character istics of diphtheria cases in and around Delhi – A retrospective study. Indian J Med Res, 126, 545–52. Top, F.H., Wehrle, P.F., 1976. Diphtheria. In: Communicable and Infectious disease, 8th ed. St. Louis: Mosby Co, hlm. 223–38.