PERNAFASAN ACTIVE CYCLE OF BREATHING MENINGKATKAN ALIRAN EKSPIRASI MAKSIMUM PENDERITA TUBERKULOSIS PARU (Active Cycle of Breathing Raises Peak Expiratory Flow Rate (PEFR) on Tuberculose Patients) Tintin Sukartini*,Sriyono*, Iwan Widia Sasmita* Program Studi S1 Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga. Jl. Mayjen. Prof. Dr. Moestopo No. 47 Surabaya. Telp/Fax: (031) 5012496 E-mail: tintin_bios@yahoo.com ABSTRACT Introduction: Tuberculosis bacterial can cause fibrosis tissue in lung. Fibrosis decrease elasticity and compliance of lung as a result, there will be air ventilation and oxygenation disorder, thus it will decrease peak expiratory flow rate (PEFR). The objective of this study was to analyze the effect of active cycle of breathing technique on raised peak expiratory flow rate (PEFR). Method: A quasy experimental purposive sampling design was used in this study. There were 14 sample who met in inclusion criteria divided into 7 subjects for intervention group and 7 subject for control group. Data were analyzed by using Paired t-Test, Independent t-Test, Wilcoxon Signed Rank Test, and Mann Whitney U Test with significance level α≤0.05. Result: The result showed that active cycle of breathing had significance level on increased peak expiratory flow rate (PEFR) (p=0.001). Discussion: It can be concluded that active cycle of breathing has effect on raise peak expiratory flow rate. Further study are recommended to measure the effect of active cycle of breathing on raised maximum midexpiratory flow rate (MMFR50-75%) Keywords: tuberculosis, active cycle of breathing, PEFR PENDAHULUAN Penyakit Tuberkulosis paru merupakan penyakit penyebab kematian pertama pada golongan penyakit infeksi (Rahayu, 2007). Di Indonesia penyakit ini merupakan penyakit rakyat nomor satu dan sebagai penyebab kematian nomor dua setelah sistem sirkulasi (SKRT, 1995 dan Arlina Gusti, 2003). Pada umumnya gejala respiratorik yang ditimbulkan setelah seseorang terkena tuberkulosis adalah batuk lebih dari 3 minggu, berdahak, batuk darah, nyeri dada, serta sesak nafas (Alsagaaf dan Mukty, 1995). Pada perjalanan penyakit tuberkulosis selanjutnya menimbulkan kecacatan baik berupa destruksi atau fibrosis dari saluran napas maupun parenkim paru, dengan manifestasi klinis berupa sesak napas dan batuk (Aida, 1996). Manifestasi dari kerusakan ini juga membawa dampak terganggunya fungsi atau faal paru penderita, yang berupa kelainan restriktif maupun obstruktif. Kelainan ini berdampak pada penurunan volume ekspirasi maksimum (Judyanto, 2004). WHO menyatakan bahwa 1/3 penduduk dunia telah terinfeksi kuman tuberkulosis. Saat ini di negara maju diperkirakan setiap tahun terdapat 10–20 kasus baru setiap 100.000 penduduk dengan kematian 1-5 per 100.000 penduduk sedang di negara berkembang masih tinggi. WHO memperkirakan di Indonesia setiap tahunnya terjadi 175.000 kematian akibat tuberkulosis dan terdapat 550.000 kasus tuberkulosis. Data Departemen Kesehatan RI menyebutkan pada tahun 2001 di Indonesia terdapat 50.443 penderita tuberkulosis paru dengan BTA positif yang diobati (Helmia dan Lulu, 2004). Jawa Timur merupakan penyumbang kedua kasus tuberkulosis positif di Indonesia setelah Jawa Barat. Berdasarkan data Dinas Kesehatan Jatim 2006, sedikitnya 39.371 penderita TB BTA positif di Surabaya, jumlah penderita TB sedikitnya 812 orang pada 2005 dan meningkat menjadi 3.005 pada 2006. Penderita yang berobat di RSU Dr Soetomo Surabaya sedikitnya 365 penderita (Esti, M., 2007). Menurut penelitian yang dilakukan oleh Judyanto (2004) terhadap 40 orang yang menderita TB di RSU Dr. Soetomo berdasarkan parameter MMFR (maximum midexpiratory flow rate) yaitu salah satu parameter untuk mengukur aliran ekspirasi maksimum, didapatkan 5 orang (12,5%) penderita mempunyai nilai diatas predicted, 35 orang (87,5%) penderita dibawah nilai predicted. Bila MMFR >75 predicted dianggap normal (kriteria Navy), maka terdapat 15 orang (37,5%) penderita normal, 25 (62,5%) penderita abnormal. Dampak yang terjadi adalah terganggunya fungsi oksigenasi sehingga akan mempengaruhi produktifitas kerja, kualitas hidup dan peningkatan biaya perawatan (Antarudin, 2003 dalam Judyanto, 2004). Penyakit ini bermula saat individu menghirup basil tuberkulosis dan menjadi terinfeksi. Melalui jalan napas bakteri menuju ke alveoli dan memperbanyak diri. Sistem imun tubuh berespons dengan melakukan respons inflamasi. Fagosit (neutrofil dan makrofag) menelan banyak bakteri. Massa jaringan baru yang disebut granulomas yang merupakan gumpalan basil yang masih hidup dan yang sudah mati dikelilingi oleh makrofag membentuk dinding protektif. Granulomas diubah menjadi massa jaringan fibrosa. Bahan (bakteri dan makrofag) menjadi nekrotik, membentuk massa seperti keju, massa ini mengalami kalsifikasi, membentuk skar kolagenase (Brunner dan Suddarth, 1997). Pembentukan jaringan ini mengakibatkan berkurangnya luas permukaan membran pernapasan total dan meningkatkan ketebalan membran pernapasan dan seringkali menyebabkan kerusakan jaringan paru yang hebat. Keadaan ini berdampak pada berkurangnya elastisitas dan compliance paru sehinngga meningkatkan kerja otot pernapasan dan menurunkan kemampuan ekspirasi maksimum (Guyton dan Hall, 1996). Penurunan elastisitas dan compliance paru dapat pula menyebabkan ventilasi paru yang tidak maksimal dan jika tidak ditangani dengan maksimal dapat menyebabkan kecacatan paru dan bahkan atelektasis yang berujung pada kematian pasien (Mulyono, 1997). Latihan penapasan merupakan tindakan keperawatan dalam penatalaksanaan pasien dengan masalah gangguan sistem pernapasan. Termasuk didalamnya adalah latihan pernapasan active cycle of breathing. Latihan pernapasan active cycle of breathing merupakan salah satu latihan pernapasan yang selain berfungsi untuk membersihkan sekret juga dapat mempertahankan fungsi paru (Pyor and Webber, 1998) termasuk didalamnya dalam meningkatkan aliran ekspirasi maksimum (Peterson, 1998 dalam Judyanto, 2004). Latihan pernapasan ini dapat mengkoordinasikan dan dapat melatih pengembangan (compliance) dan pengempisan (elastisitas) paru secara optimal (Pyor and Webber, 1998), serta pengaliran udara dari dalam paru menuju keluar saluran pernapasan secara maksimal (Falling, 1993). Dengan metode diatas diharapkan terjadi peningkatan aliran ekspirasi maksimum pada penderita tuberkulosis. Menurut penelitian yang dilakukan Pardy dkk. (1991) yang dikutip dari Ellida (2006) menunjukkan latihan napas yang dilakukan 15 menit akan meningkatkan ventilasi paru. Hasil penelitian yang dilakukan Holland (2004) dalam Elida, (2006) menunjukkan pasien dengan cyctic fibrosis paru didapatkan hasil yang signifikan terhadap peningkatan aliran ekspirasi maksimum dengan teknik pernapasan active cycle of breathing, namun latihan pernapasan active cycle of breathing ini belum pernah dilakukan terhadap penderita tuberkulosis paru dan belum diketahui pengaruhnya. BAHAN DAN METODE Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah quasy experimental purposive sampling pre-posttest design. Sampel diambil sesuai dengan kriteria inklusi yang telah ditentukan, dengan jumlah sampel sebanyak 14 responden, dibagi menjadi kelompok perlakuan (diberikan intervensi latihan pernapasan active cycle of breathing setiap 1 kali / hari selama 10 hari, dengan durasi pertemuan 20- 30 menit) dan kelompok kontrol (tanpa latihan pernafasan) dengan jumlah sampel masing-masing 7 orang. Penelitian dilakukan selama bulan Juni sampai dengan Juli 2007. Variabel independen dalam penelitian ini adalah teknik penapasan active cycle of breathing, sedangkan variabel dependen adalah peningkatan aliran ekspirasi maksimum yang ditandai dengan adanya hasil pemeriksaan PEFR. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat peak flow meter untuk pengukuran aliran ekspirasi maksimum dan lembar observasi terhadap PEFR (skala dalam bentuk skor). Data yang diperoleh, dianalisis dengan menggunakan uji statistik Mann Whitney U Test, Wilcoxon Signed Rank Test, Paired t- Test dan Independent t-Test, dengan derajat kemaknaan α<0,05. HASIL Hasil pada tabel 1 dapat dilihat bahwa terdapat perbedaan yang signifikan hasil post PEFR antara kelompok perlakuan dan kelompok kontrol dengan hasil uji statistik dengan menggunakan Independent t- Test (p=0,020). Pada kelompok perlakuan terjadi peningkatan nilai rerata PEFR dari 138,57 menjadi 178,57 dengan hasil uji statistik menggunakan Paired t-Test didapatkan nilai yang signifikan antara pre dan post terhadap peningkatan PEFR dengan nilai p=0,001 yang berarti ada pengaruh latihan napas active cycle of breathing terhadap peningkatan PEFR. Pada kelompok kontrol nilai rerata meningkat sedikit dari 117,14 menjadi 120,00 namun dengan menggunakan uji statistik Paired t-Test tidak didapatkan nilai yang signifikan antara pre dan post (p=0,457). PEMBAHASAN Pada penyakit tuberkulosis, paru mengalami pengkejuan dan nekrosis (Alsagaaf dan Mukty, 1995) perubahan komposisi jaringan paru ini akan berakibat terhadap turunnya luas permukaan membran pernapasan total dan meningkatkan ketebalan membran pernapasan (Guyton dan Hall, 1996), hal ini akan menurunkan kemampuan mengembang paru (compliance) dan kemampuan mengempis paru (elastisitas) (Alsagaaf dan Mukty, 1995). Penurunan compliance dan elastisitas paru tersebut apabila dibiarkan terus menerus akan mengakibatkan menurunnya volume udara yang mengisi ruang paru, sehingga PEFR juga akan menurun karena PEFR akan lebih besar jika volume paru juga terisi dengan volume udara yang besar pula (Guyton dan Hall, 1996). Penyakit tuberkulosis juga mengakibatkan kelainan saluran pernapasan berupa radang atau mukosa disertai dengan kelainan penyempitan saluran pernapasan maupun penimbunan sekret (Alsagaaf dan Mukty, 1995). Adanya obstruksi saluran pernapasan mengakibatkan penurunan nilai PEFR (Guyton dan Hall, 1995). Latihan pernapasan active cycle of breathing, terdiri atas tiga urutan pernapasan yang pertama adalah breathing control, kemudian thoracic expansion exercise dan forced expiration technique (Rasmin, 2001 dan Hughes and Pride, 2001). Pada breathing control pernapasan dikontrol seperti pernapasan orang normal dengan inspirasi 3 detik dan ekspirasi 2 detik sehingga udara yang masuk dan keluar paru lebih maksimum. Dilanjutkan dengan thoracic expansion exercise, pada latihan ini dada dikembangkan dengan menahan napas selama 4 detik sebelum dihembuskan (Kisner and Colby, 1990). Hal ini bertujuan untuk mengembangkan rongga toraks, peningkatan volume paru dan mereekspansi jaringan paru. Tabel 1. PEFR pada penderita tuberkulosis di ruang Paru Laki RSU Dr. Soetomo No. Perlakuan Kontrol Perlakuan Kontrol Pre Post Pre Post Post Post Mean 138,57 178,57 117,14 120,00 178,57 120,00 SD 56,400 49,473 22,147 20,00 49,473 20,00 Paired t-Test (p=0,001) Paired t-Test (p=0,457) Independent t-Test (p=0,020) Keterangan: p = signifikansi SD = Standar Deviasi Mean = Rerata Forced expiration technique adalah hembusan kuat tanpa menutup glotis mengakibatkan pengaliran udara dari paru bagian bawah menuju paru bagian atas serta udara yang berada dalam saluran napas kecil menuju keluar, dengan hembusan kuat tanpa menutup glotis mukus yang menutupi saluran pernapasan juga dapat keluar dengan mudah sehingga udara akan keluar dengan maksimum (Pyor and Webber, 1998). Pada penyakit paru kronis dan pengempisan paru mengakibatkan penyempitan saluran pernapasan. Latihan napas dapat mengaktifkan serat-serat saraf simpatis yang sifatnya lemah, karena beberapa serat ini menembus masuk ke bagian pusat dari paru. Batang bronkus berkontak secara sangat luas dengan norepinefrin dan epinefrin dalam sirkulasi, yang dilepaskan ke dalam tubuh oleh perangsangan simpatis dari medulla glandula adrenal. Kedua hormon ini, terutama epinefrin menyebabkan dilatasi pada batang bronkus akibat kuatnya perangsangan pada reseptor beta (Guyton dan Hall, 1996). Penderita tuberkulosis mengalami kelainan restriktif maupun obstruktif pada paru. Kelainan restriktif membawa dampak terhadap pengembangan paru, suatu latihan pernapasan dapat melatih pengembangan dada, pengembangan dada merupakan salah satu teknik yang digunakan dalam pengembangan paru, sehingga udara yang keluar paru juga dapat meningkat karena proses ekspirasi merupakan proses yang pasif tergantung terhadap daya lenting atau elastisitas paru itu sendiri. Kelainan obstruktif membawa dampak terhadap menurunnya volume udara baik yang menuju paru ataupun yang meninggalkan ruang paru dengan limitisasi ini maka nilai PEFR pada penderita sangat menurun. PEFR pada responden tidak dapat mencapai ≥ 400 L/menit sebagaimana pada orang normal. Namun dengan melakukan active cycle of breathing technique sekali dalam 10 hari selama 20 menit mampu memperoleh nilai PEFR stabil. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Teknik pernapasan active cycle of breathing dapat meningkatkan dan menstabilkan nilai PEFR. Latihan pernapasan active cycle of breathing meningkatkan elastisitas dan compliance paru pada penderita tuberkulosis sehingga volume udara meningkat dan berdampak pada peningkatan (peak expiratory flow rate) PEFR. Saran Berdasarkan hasil penelitian ini, peneliti menyarankan agar latihan napas active cycle of breathing 1 kali dalam waktu 20 menit dapat diterapkan pada penderita tuberkulosis terutama dengan gangguan pernapasan dan hendaknya dilakukan secara kontinyu untuk mengurangi gangguan pernafasan dan meningkatkan kualitas hidup. Hasil penelitian dapat menjadi dasar penetapan standar operasional (SOP) latihan napas active cycle of breathing di ruang Paru RSU Dr. Soetomo Surabaya dan penelitian lebih lanjut dapat dilakukan tentang pengaruh latihan pernapasan active cycle of breathing terhadap peningkatan MMFR50-75% . KEPUSTAKAAN Aida, N. 1996. Kekerapan Hiperaktivitas Bronkus Pada Bekas TB Paru di RSUP Persahabatan Jakarta. Jakarta: Bagian Pulmonologi FKUI Jakarta, hlm. 16. Alsagaff dan Mukty, 1995. Dasar-dasar Ilmu Penyakit Paru. Surabaya: Airlangga University Press, hlm. 7,11,13-15,73- 92. Brunner dan Suddarth. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Edisi 8 Vol.1. Jakarta: EGC, hlm. 584-589, 671. Ellida, I. 2006. Pengaruh Breathing Exercise: Pursed Lip Breathing dan Diafragma Breathing terhadap peningkatan aliran ekspirasi maksimum pada penderita PPOK di RSU Dr. Soetomo. Skripsi tidak dipublikasikan. Surabaya: Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, hlm. 5-8. Martiana, E. 2007. Jatim Penyumbang TB Ke-2 di Indonesia, (Online), (http://www.jatim.co.id., diakses tanggal 14 April 2007, jam 20.00 WIB). Mulyono, D. 1997. Rehabilitasi Pada Penderita Penyakit Paru Obstruktif Menahun. Cermin Dunia Kedokteran, 33-37. Guyton dan Hall, 1996. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC, hlm. 598, 603-604, 671, 676. Gusti, A. 2003. Kekerapan TB Paru pada pasangan suami istri penderita TB Paru yang berobat di bagian Paru RSU Adam Malik. USU: Digitalized Library, (Online), diakses tanggal 14 April 2007, Jam 20.00 WIB. Falling, J. 1993. Principles and Practice of Pulmonary Rehabilitation. Philadelphia: WB Saunders, hlm. 176. Helmia dan Lulu, 2004. Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru. Surabaya: Graha Masyarakat Ilmiah Kedokteran Universitas Airlangga, hlm. 10-21. Hughes and Pride, 2001. Lung Function Test Physiological Principles and Clinical Aplication. London: WB Saunders, hlm. 23. Judyanto. 2004. Fungsi Faal Paru Pada Penderita Tuberkulosis Paru Di RSU Dr. Soetomo Program Studi Dokter Spesialis Paru Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Penelitian Tidak dipublikasikan, hlm. 16-18, 30. Kisner and Colby. 1990. Therapeutic Exercise Foundation and Techniques. Philadelphia: FA Davis, hlm. 591-592. Potter dan Perry. 2005. Fundamental Keperawatan. Alih Bahasa oleh Yasmin Asih. EGC: Jakarta, hlm. 791. Pyor, et al. 1998. Physioterapy for Respiratory and Cardiac Problem. Eidenburgh: Churcill Livingston, hlm. 139-145. Rahayu. 2007. Jatim Penyumbang TB Ke-2 di Indonesia, (Online), (http://www.jatim.co.id., diakses tanggal 14 April 2007, jam 20.00 WIB). Rasmin, et al. 2001. Prosedur Tindakan Bidang Paru dan Pernapasan. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, hlm. 33. http://www.jatim.co.id/ http://www.jatim.co.id/