PERILAKU PEMULUNG TENTANG DEMAM BERDARAH DENGUE DENGAN KEBERADAAN JENTIK AEDES AEGYPTI (Waste Picker’s Behaviour on DHF and it’s Correlation with the Presence of Aedes Aegypti Larva) Sulistiawati*, Joni Haryanto**, Tintin Sukartini**, Mardiana** * Departemen Ilmu Kedokteran Masyarakat Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga ** Program Studi S1 Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga. Jl. Prof. Dr.Moestopo 47 Surabaya. Telp/Fax: (031) 5012496, E-mail: jurnalners_psikunair@yahoo.com ABSTRACT Introduction: Dengue Haemorhagic Fever is an endemic disease caused by dengue virus with Aedes aegypti as the vector. Most of waste pickers in waste goods pool refuse fogging, 3M programme and abatization, so that DHF outbreak occurs in that area every year. Larva free rate also remains under the target. Therefore, it was necessary to improve DHF relation with behaviour of waste pickers. This study was used a cross sectional design. The objective of this study was to identify waste picker’s behaviour on DHF and its correlation with the presence of Aedes aegypti larva. Method: The subjects were waste picker which live at Sidokumpul and Kebomas village. There were 36 samples which recruited by using cluster random sampling. Data were collected by using questionnaire (structured intervied) and observation, then analyzed by using Fisher’s Exact Test with significance level α≤0.05. Result: The result showed that there was not a correlation between waste picker’s knowledge with the presence of Aedes aegypti larva (p=0.236), no correlation between waste picker’s attitude with the presence of Aedes aegypti larva (p=0.422) and there was a significance correlation between waste picker’s behaviour with the presence of Aedes aegypti larva (p=0.03). Discussion: It can be concluded that there was not a correlation between waste picker’s knowledge and waste picker’s attitude with the presence of Aedes aegypti larva. Moreover, the waste picker’s behaviour has a significance correlation with the presence of Aedes aegypti larva.The waste picker should improve their participation in mosquito’s nest eradication programme. Keywords: waste picker’s behaviour, DHF, Aedes aegypti larvae PENDAHULUAN Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan penyakit endemis yang disebabkan oleh virus dengue dengan vektor Aedes aegypti dan masih menjadi masalah kesehatan di Indonesia (Soegijanto, 1997 dalam WHO, 2004). Hampir semua pemulung di tempat pengepulan barang bekas menolak apabila diadakan fogging, begitu juga program 3 M (Menguras, Menutup dan Mengubur) tidak pernah terlaksana, sehingga selalu ada Kejadian Luar Biasa (KLB) setiap tahun di kota Gresik (Dinkes Kota Gresik, 2007). Terutama di kelurahan Sidokumpul tahun 2006 Angka Bebas Jentik (ABJ) masih 84,92% dan kelurahan Kebomas sebesar 89,73%, hal ini menunjukkan tingkat populasi nyamuk Aedes aegypti masih cukup tinggi, sedangkan target propinsi Jawa Timur Angka Bebas Jentik sama atau lebih dari 95%. Di kedua kelurahan tersebut di atas pada bulan Maret 2007 masih terjadi Kejadian Luar Biasa (KLB). Sampai saat ini hubungan perilaku pemulung tentang DBD dengan keberadaan jentik Aedes aegypti di tempat pengepulan barang bekas masih belum diketahui. Penyakit DBD di Indonesia merupakan salah satu emerging disease dengan insiden yang meningkat dari tahun ke tahun. Demam Berdarah Dengue pertama kali dilaporkan di Surabaya dan Jakarta tahun 1968 dengan Case Fatality Rate (CFR) 41,3%. Kejadian DBD cenderung meningkat antara 1994-1998, meskipun CFR berhasil diturunkan dari 2,5% (1994) menjadi 2% (1998) (Soegijanto, 2004). Jumlah pasien DBD di Indonesia tahun 2002 sebanyak 40.337 orang, tahun 2003 sebanyak 50.131 orang, tahun 2004 sebanyak 79.480 orang, tahun 2005 sebanyak 95.000 orang dan sepanjang tahun 2006 menurun menjadi 85.000 orang (Kristina, 2004 dalam Depkes RI., 2006). Kabupaten Gresik merupakan daerah endemik DBD. Jumlah kasus DBD di Kabupaten Gresik tahun 2002 sebanyak 139 orang, tahun 2003 167 orang, tahun 2004 sebanyak 69 orang, tahun 2005 sebanyak 84 orang, tahun 2006 meningkat 4 kali lipat dari tahun 2005 sebanyak 358 orang, CFR 2,5%, IR 33,8 per 100.000 penduduk, Angka Bebas Jentik (ABJ) 89,34%. Kelurahan Sidokumpul dan kelurahan Kebomas merupakan daerah KLB DBD. Tahun 2006 jumlah pasien DBD di Kelurahan Sidokumpul sebanyak 23 orang dan sampai bulan Maret 2007 tercatat sebanyak 20 orang, 4 orang diantaranya bertempat tinggal di tempat pengepulan barang bekas, sedangkan di kelurahan Kebomas tahun 2006 sebanyak 39 orang dan sampai bulan Maret 2007 tercatat 3 orang (Dinkes Kota Gresik, 2007). Keberadaan jentik nyamuk Aedes aegypti di suatu daerah merupakan indikator terdapat populasi nyamuk Aedes aegypti di daerah tersebut. Pengendalian nyamuk Aedes aegypti pada umumnya belum berhasil, karena sampai saat ini belum ada vaksin yang dapat mencegah infeksi dengue dan belum ada obat khusus untuk mengobatinya (WHO, 2004). Pemberantasan DBD yang paling mudah dilakukan adalah dengan memberantas vektor untuk memutus rantai penularan. Program penanggulangan DBD telah dilakukan oleh Departemen Kesehatan dengan kegiatan meliputi: penyemprotan insektisida, PSN dan abatisasi (Depkes RI, 2000). Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) merupakan program pemerintah yang paling diandalkan daripada penggunaan insektisida yang berupa pengasapan (fogging) dengan malathion dan penaburan abate Temephos. Kedua cara ini belum memberikan hasil yang optimal, dalam arti belum dapat menaikkan Angka Bebas Jentik sama atau lebih besar dari 95%. Halstead (2000) menyatakan bahwa salah satu faktor gagalnya pemberantasan DBD adalah kurangnya pengetahuan, sikap dan tindakan masyarakat mengenai DBD. Penelitian Ghufron (2003) di tempat pembuangan sampah di Tamangapa Makassar menyatakan bahwa masalah kesehatan di lingkungan pemulung sangat terabaikan, hal ini karena pengetahuan pemulung terhadap masalah kesehatan terutama DBD sangat kurang, perilaku pemulung dalam mengumpulkan barang- barang bekas tidak mendukung adanya program gerakan 3 M. Kesadaran masyarakat akan pentingnya gerakan PSN DBD yang meliputi 3M yaitu menguras, mengubur dan menutup kontainer yang berpotensi sebagai sarang nyamuk yang masih belum optimal. Hal ini disebabkan oleh dua faktor yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor internal meliputi pendidikan, pekerjaan dan nilai yang diyakini masyarakat. Faktor eksternal meliputi ketersediaan sumber informasi, keaktifan petugas penyuluh dan fasilitas unit kesehatan (Bambang, 1998). Apabila usaha pemberantasan sarang nyamuk ini dilaksanakan oleh seluruh masyarakat, maka nyamuk Aedes aegypti dapat dikendalikan. Peningkatan kasus DBD disebabkan adanya faktor yang menunjang perkembangbiakan vektor. Faktor tersebut perlu diteliti agar dapat diambil tindakan untuk pencegahan, salah satu usaha yang baik adalah dengan mengontrol keberadaan jentik secara berkesinambungan terutama pada tempat-tempat yang selama ini kurang mendapat perhatian seperti tempat pengepulan barang bekas. Hubungan perilaku pemulung tentang DBD dengan keberadaan jentik Aedes aegypti di tempat pengepulan barang bekas perlu di teliti. Perilaku pemulung di tempat pengepulan barang bekas sebagai dasar dalam penentuan kebijakan selanjutnya. Dengan harapan semakin baik perilaku pemulung mengenai DBD maka kasus DBD tidak terjadi di daerah tersebut. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis hubungan perilaku pemulung tentang DBD dengan keberadaan jentik Aedes aegypti di tempat pengepulan barang bekas. BAHAN DAN METODE Penelitian ini menggunakan desain penelitian Cross Sectional. Populasi dalam SIKAP 56% 44% Positif Negatif TINDAKAN 3% 36% 61% Baik Cukup Kurang PENGETAHUAN 14% 44% 42% Baik Cukup Kurang penelitian ini adalah semua pemulung yang ada di tempat pengepulan barang bekas yang ada di kelurahan Sidokumpul (21 orang) dan di kelurahan Kebomas Gresik (15 orang), yang diperoleh berdasarkan teknik cluster random sampling. Variabel independen dalam penelitian ini adalah perilaku pemulung tentang DBD meliputi pengetahuan, sikap dan tindakan, sedangkan variabel dependen adalah keberadaan jentik Aedes aegypti. Penelitian ini dilakukan di di tempat-tempat pengepulan barang-barang bekas yang ada di Kelurahan Sidokumpul dan Kelurahan Kebomas Gresik pada Mei 2007. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner (wawancara terstruktur), lembar observasi jentik, mikroskop dan senter. Data yang diperoleh dianalisis dan diuji dengan menggunakan uji statistik Chi- Square dengan derajat kemaknaan α≤0,05 dan apabila tidak memenuhi syarat digunakan uji alternatif yaitu Fisher Exact Test. HASIL Berdasar hasil penelitian bahwa dari 36 tempat pengepulan barang bekas yang diteliti, sebagian besar ditemukan jentik Aedes aegypti yaitu sebanyak 28 tempat (77,8%), 6 tempat (16,6%) tidak ditemukan jentik dan 2 tempat (5,6%) ditemukan jentik Culex. Pada gambar 1 dapat dilihat dari 36 orang pemulung yang diteliti, sebagian besar pemulung memiliki tingkat pengetahuan cukup yaitu sebanyak 16 orang (44,4%), 20 orang (55,6%) memiliki sikap positif terhadap pencegahan dan PSN DBD dan 22 orang (61,1%) memiliki tindakan yang kurang dalam upaya pencegahan dan PSN DBD. Pada tabel 1 dapat dilihat dari 36 tempat pengepulan barang bekas yang diteliti, terdapat 28 tempat pengepulan barang bekas ditemukan jentik Aedes aegypti dan 8 tempat tidak ditemukan jentik Aedes aegypti. Tidak ada hubungan yang bermakna antara tingkat pengetahuan pemulung tentang Demam Berdarah Dengue dengan keberadaan jentik Aedes aegypti di tempat pengepulan barang bekas yang ditunjukkan dengan hasil analisis statistik Fisher’s Exact Test p=0,236. Sikap pemulung yang positif tentang upaya pencegahan dan PSN DBD ditemukan jentik Aedes aegypti di 17 tempat (47,3%) sedangkan pada sikap pemulung yang negatif ditemukan jentik Aedes aegypti di 11 tempat (30,5%). Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 36 tempat pengepulan barang bekas tersebut, pemulung yang memiliki tindakan kurang tentang pencegahan dan PSN DBD ditemukan jentik Aedes aegypti sebanyak 21 tempat (58,4%), pada pemulung yang memiliki tindakan cukup dan baik ditemukan jentik Aedes aegypti sebanyak 7 tempat (19,4%). Gambar 1. Perilaku (Pengetahuan, Sikap dan Tindakan) Pemulung tentang Demam Berdarah Dengue dengan Keberadaan Jentik Aedes aegypti di tempat pengepulan barang bekas di Kelurahan Sidokumpul dan Kelurahan Kebomas Gresik, Mei 2007. Tabel 1. Hubungan tingkat pengetahuan, sikap dan tindakan pemulung tentang Demam Berdarah Dengue dengan keberadaan jentik Aedes aegypti di tempat pengepulan barang bekas No. Perilaku Keberadaan Jentik Aedes aegypti Total Hasil Uji Statistik (Fisher’s Exact Test) Tidak Ada Ada 1. Tingkat Pengetahuan Kurang 5 (13,8%) 10 (27,9%) 15 (41,7%) p=0,236 Cukup + Baik 3 (8,3%) 18 (49,9%) 21 (58,3%) 2. Sikap Pemulung Sikap positif 3 (8,3%) 17 (47,3%) 20 (55,6%) p=0,422 Sikap negatif 5 (13,9%) 11 (30,5%) 16 (44,4%) 3. Tindakan Pemulung Kurang 1 (2,8%) 21 (58,4%) 22 (61,2%) p=0,03 Cukup + Baik 7 (19,4%) 7 (19,4%) 14 (38,8%) Keterangan: p = signifikansi Terdapat hubungan yang bermakna antara tindakan pemulung tentang DBD dengan keberadaan jentik Aedes aegypti di tempat pengepulan barang bekas yang ditunjukkan dengan hasil analisis statistik Fisher’s Exact Test p=0,03. PEMBAHASAN Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar tempat pengepulan barang bekas positif ditemukan jentik Aedes aegypti. Nadesul (1999) menyatakan, kebersihan lingkungan sangat berkaitan erat dengan tempat perkembangbiakan jentik Aedes aegypti, terutama di lingkungan yang terdapat tempat-tempat penampungan air sebagai media Breeding Place, misal bak mandi, tempayan, kaleng-kaleng bekas dan barang-barang bekas lainnya yang dapat menampung air. Tempat pengepulan barang bekas merupakan suatu tempat dimana para pemulung mengumpulkan barang hasil memulung yang ditimbun sebelum dijual. Barang-barang bekas tersebut diletakkan diruang terbuka. Pada saat musim hujan barang-barang bekas tersebut akan terisi air dan menjadi tempat perkembangbiakan nyamuk Aedes aegypti. Penyebab ditemukan jentik Aedes aegypti pada sebagian besar tempat pengepulan barang bekas yang diteliti adalah banyaknya barang-barang bekas yang menjadi sarang nyamuk, tempat-tempat penampungan air yang ada belum dikuras dan tidak ditutup, selain itu abatisasi juga tidak pernah dilaksanakan. Sebagian kecil tempat pengepulan barang bekas tidak ditemukan jentik Aedes aegypti. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor seperti pada saat dilakukan penelitian barang-barang bekas tersebut sebagian besar sudah dijual, barang-barang bekas tersebut dalam posisi terbalik sehingga tidak dapat menampung air hujan, barang bekas tergenang air kotor bercampur sampah sehingga didalam barang bekas ini ditemukan jentik Culex, tempat penampungan air yang terdapat di tempat pengepulan barang bekas tersebut juga sebagian sudah dikuras dan beberapa pemulung memelihara ikan pemakan jentik di tempat penampungan air seperti bak mandi, sehingga tidak ditemukan jentik. Sebagian besar pemulung memiliki pengetahuan cukup tentang DBD. Hal ini berarti informasi atau pengetahuan pemulung tentang DBD yang meliputi penyebab dan vektor DBD, tanda/gejala dan penanganan serta upaya pencegahan dan pemberantasan sarang nyamuk Aedes aegypti (PSN-DBD) sebagian besar cukup, namun jumlah pemulung yang memiliki pengetahuan kurang pun masih banyak. Hal ini didukung oleh pendidikan responden (pemulung) yang sebagian besar masih rendah dimana 13 orang (36,1%) SD tidak tamat, 10 orang (27,78%) tidak sekolah, 8 orang (22,22%) lulus SD, 5 orang (13,89%) lulus SMP. Pemulung yang berpengetahuan kurang dan cukup lebih banyak jumlahnya disebabkan oleh kurangnya informasi tentang DBD yang diperoleh dari media cetak atau elektronik, sehingga informasi tentang DBD kurang. Pendidikan kesehatan tentang DBD tidak pernah diadakan di tempat pengepulan barang bekas. Matra dalam Notoatmodjo (2003), menyatakan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka semakin mudah orang tersebut untuk menerima informasi baik dari orang lain maupun dari media massa, sehingga semakin banyak informasi yang masuk, semakin banyak pula pengetahuan yang didapat. Menurut Notoatmodjo (2003) pendidikan merupakan suatu proses belajar yang berarti didalam pendidikan itu terjadi proses pertumbuhan, perkembangan atau perubahan ke arah lebih dewasa, lebih baik dan lebih matang pada diri individu, kelompok atau masyarakat. Martaadisubrata (2003) menyebutkan pendidikan yang rendah menyebabkan seseorang acuh tak acuh terhadap masalah kesehatan, sehingga mereka tidak mengenal bahaya yang akan terjadi. Hal ini dialami oleh para pemulung karena pendidikan yang rendah maka pengetahuan mereka tentang DBD dan bahayanya juga masih sedikit, akibatnya meskipun kasus DBD hampir terjadi setiap tahun di tempat mereka, namun para pemulung tersebut menganggap masalah tersebut sebagai masalah sederhana dan tidak ada tindakan pencegahan yang dilakukan. Pengetahuan pemulung tentang DBD tidak ada hubungan dengan keberadaan jentik Aedes aegypti ditempat pengepulan barang bekas yang ada di kelurahan Sidokumpul dan kelurahan Kebomas. Pemulung tahu tentang DBD tetapi tidak melaksanakan program 3M. Hal ini dapat dibuktikan dengan pemulung yang berpengetahuan cukup dan baik terdapat lebih banyak jentik Aedes aegypti di tempat pengepulannya dibandingkan pemulung yang berpengetahuan kurang. Menurut Notoatmodjo (2003), pengetahuan merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang (overt behaviour). Perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng daripada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan. Seseorang yang mempunyai pengetahuan tentang DBD yang baik akan berperilaku baik pula dalam pencegahan dan PSN DBD, namun dalam penelitian ini pemulung meskipun sebagian besar pengetahuan mereka tentang DBD cukup, tetapi pemulung tidak mengaplikasikan pengetahuan mereka dalam suatu tindakan. Hal ini kemungkinan karena pemulung tersebut tahu tapi tidak mau melaksanakan tindakan pencegahan atau mereka tahu tentang demam berdarah tetapi mereka tidak mampu melaksanakan tindakan pencegahan sehinggga masih ditemukan jentik Aedes aegypti ditempat pengepulan barang bekas. Pelaksanaan PSN DBD tidak cukup dengan pengetahuan yang baik saja. Dapat dilihat dari hasil penelitian dimana pemulung yang berpengetahuan baik pada tempat pengepulan barang bekas masih ditemukan jentik Aedes aegypti. Hal ini menunjukkan bahwa pada orang yang berpengetahuan baik belum tentu melaksanakan tindakan pencegahan, karena hal tersebut tergantung juga pada niat seseorang untuk melakukan tindakan. Tidak terdapat hubungan antara sikap dengan keberadaan jentik Aedes aegypti di tempat pengepulan barang bekas. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar pemulung memiliki sikap positif terhadap upaya pencegahan dan PSN DBD. Persepsi pemulung tentang pencegahan dan PSN DBD sudah baik. Sebagian besar pemulung yang bersikap positif terhadap upaya pencegahan dan PSN DBD, di tempat pengepulannya ditemukan lebih banyak jentik Aedes aegypti dibanding pemulung yang bersikap negatif. Menurut Notoatmodjo (2003), sikap merupakan reaksi atau respons seseorang yang masih tertutup terhadap stimulus atau obyek, yang sudah melibatkan faktor pendapat dan emosi yang bersangkutan. Sikap belum tentu merupakan tindakan (reaksi terbuka) atau aktivitas tetapi merupakan predisposisi tindakan atau perilaku. Hal ini dapat dibuktikan pada pemulung yang bersikap positif terhadap upaya pencegahan dan PSN DBD, namun mereka tidak mewujudkan dalam tindakan nyata sehingga di tempat pengepulan barang bekas masih ditemukan adanya jentik Aedes aegypti. Notoatmodjo (2003) menyatakan bahwa suatu sikap belum tentu otomatis terwujud dalam suatu tindakan (overt behaviour), untuk terwujudnya sikap menjadi suatu tindakan nyata diperlukan faktor pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan antara lain tersedianya fasilitas. Pada penelitian ini didapatkan bahwa meskipun sebagian besar pemulung bersikap positif terhadap upaya pencegahan dan pemberantasan sarang nyamuk (PSN- DBD), karena tidak tersedianya fasilitas abatisasi gratis dari pemerintah setempat maka program abatisasi di tempat pengepulan barang bekas tersebut tidak dapat terlaksana, selain itu dipengaruhi juga oleh penghasilan para pemulung yang hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, sehingga untuk membeli obat abate sendiri tidak mencukupi. Faktor pekerjaan pun sangat berpengaruh terhadap terwujudnya sikap mereka menjadi tindakan nyata, meskipun para pemulung tersebut bersikap positif terhadap pencegahan dan PSN DBD namun pekerjaan sebagai pemulung membuat mereka mengumpulkan barang-barang bekas dari berbagai tempat kemudian ditimbun sebelum dijual. Hal ini sangat bertolak belakang dengan upaya pencegahan dan PSN DBD, akibatnya para pemulung tersebut tidak dapat mewujudkan sikap positif mereka menjadi tindakan yang nyata. Penentuan sikap yang utuh baik pengetahuan, pikiran dan emosi memegang peranan penting. Sesuai dengan Azwar (2003) hal tersebut sama halnya dengan komponen kognitif (apa yang dipercayai), afektif (perasaan yang menyangkut aspek emosional) dan komponen perilaku (kecenderungan berperilaku). Dari ketiga komponen tersebut, komponen afektif yang paling kuat dan kompleks, akan lebih sukar berubah walaupun dimasukkan informasi baru yang berlawanan dengan objek sikap. Sikap diikuti atau tidak diikuti oleh suatu tindakan dipengaruhi juga oleh pengalaman seseorang, situasi saat itu, nilai yang menjadi pegangan masyarakat. Sebagian besar pemulung memiliki tindakan yang kurang dalam pencegahan dan PSN DBD yang ditunjukkan dengan terdapatnya jentik Aedes aegypti di tempat pengepulan pada 21 orang (58,4%) pemulung dengan kategori tindakan kurang, pemulung dengan kategori tindakan cukup dan baik ditemukan terdapat jentik Aedes aegypti ditempat pengepulannya sebanyak 7 orang (19,4%). Para pemulung belum optimal dalam melakukan tindakan pencegahan dan PSN DBD yang ditunjukkan dengan abatisasi 0% dan gerakan 3M belum terlaksana dengan baik. Saat observasi hanya sebagian kecil pemulung yang menguras dan menutup tempat penampungan air, sedangkan yang mengubur barang-barang bekas tidak ada sama sekali, sehingga barang-barang bekas tersebut menjadi sarang nyamuk. WHO (2004) menyatakan bahwa barang-barang bekas seperti kaleng-kaleng, plastik, ban bekas dan lain-lain merupakan tempat yang potensial bagi perkembangan nyamuk Aedes aegypti, terutama pada musim hujan, dimana barang-barang bekas tersebut akan tergenang air dan telur-telur nyamuk yang ada akan menetas menjadi jentik yang akhirnya tumbuh menjadi nyamuk dewasa. Tindakan pemulung yang kurang baik dapat menciptakan kondisi yang baik bagi perkembangbiakan nyamuk Aedes aegypti, sehingga mempengaruhi keberadaan jentik Aedes aegypti. Notoatmodjo (2003) menyatakan bahwa perilaku masyarakat mempunyai pengaruh terhadap lingkungan karena lingkungan merupakan lahan untuk pekembangan perilaku tersebut. Apabila perilaku manusia baik maka lingkungan yang mendapat campur tangan manusia yang berperilaku baik maka akan menjadi baik pula, begitu pula sebaliknya. Blum dalam Notoatmodjo (2003) menyimpulkan bahwa faktor perilaku mempunyai peranan yang besar terhadap tingkat kesehatan, jadi perilaku masyarakat yang kurang baik terhadap kesehatan dalam menjaga kebersihan lingkungan dapat menciptakan tempat yang baik bagi perkembangbiakan Aedes aegypti. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Perilaku pemulung berperan dalam keberadaan jentik di tempat tinggal. Perilaku yang kurang baik menunjukkan peningkatan keberadaan jentik Aedes aegyti, khususnya di tempat pengepulan barang bekas. Saran Peneliti menyarankan diterapkan upaya peningkatan kewaspadaan dini para pemulung terhadap penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) dengan cara ikut serta dan aktif dalam pemberantasan sarang nyamuk demam berdarah dengue (PSN DBD), pelaksanaan secara rutin dan berkesinambungan kegiatan penyuluhan kesehatan di tempat pengepulan barang bekas (pemukiman pemulung) tentang DBD, diadakan program abatisasi dan fogging gratis bagi pemulung, pelaksanaan kegiatan pemantauan jentik Aedes aegypti secara berkala 3 bulan sekali di tempat pengepulan barang bekas untuk mengetahui keberadaan jentik Aedes aegypti dan pembentukan kader kesehatan (kelompok dasawisma). KEPUSTAKAAN Azwar, S. 2003. Sikap Manusia Teori dan Pengukurannya. Edisi 2. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, hlm. 5-9. Bambang, H. 1998. Faktor-faktor Penyebab KLB DBD di Indonesia, (Online), (http://www.infomedika.com, diakses tanggal 20 Februari 2007, jam 20.00 WIB). Depkes R.I. 2000. Pencegahan dan Penanggulangan DBD dan DB. Jakarta: Dirjen PPM dan PLP, hlm. 12- 15. Depkes R.I., 2000. Kasus Demam Berdarah Dengue di Indonesia, Buletin Harian Tim Penanggulangan DBD Departemen Kesehatan RI, Edisi Senin 8 Maret 2004, (Online), (http://www.ppmplp.depkes.go.id., diakses tanggal 12 April 2007, jam 06.30 WIB). Depkes R.I., 2006. Pencegahan dan Pemberantasan DBND di Indonesia. Jakarta: Dirjen PPM dan PLP, hlm. 2- 15. Dinkes Kota Gresik, 2000. Jumlah Kasus DBD di Kelurahan Sidokumpul dan Kelurahan Kebomas Gresik bulan Maret 2006 sampai dengan Maret 2007. Gresik: Kasubdin PPM & PLP. Ghufron, et al. 2003. Aku dan Rumahku di Pembuangan Sampah: Profil Anak Pemulung di TPAS Tamangapa Makassar. Makassar: Hasannudin University, hlm. 1-4. Halstead, S.B. 2000. Successes and Failure in Dengue Control Global Experiences, Dengue Bulletin, vol.24, 60-70. Kristina, et al. 2004. Demam Berdarah Dengue: Kajian Masalah Kesehatan, Laporan Badan Litbangkes Depkes RI, (Online), (http://www.ppmplp.depkes.go.id., diakses tanggal 7 April 2007, jam 10.00 WIB). Martaadisubrata, 2003. Obstetri Sosial. Bandung: Fakultas Padjajaran, hlm. 33. Nadesul, H. 1999. Penyebab, Pencegahan, dan Pengobatan Demam Berdarah. Jakarta: Puspa Swara, hlm. 28-31. Notoatmodjo, S. 2003. Ilmu Kesehatan Masyarakat. Jakarta: Rineka Cipta, hlm. 120-130. Notoatmodjo, S. 2003. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta, hlm. 20-45. Soegijanto, S. 1997. International Seminar on Dengue Fever: New Strategy Controlling and Prevention of DHF in South East Asia. Surabaya: Tropical Disease Center Airlangga University, hlm.78-80. Soegijanto, S.2004. Aspek Imunologi Penyakit DBD dalam DBD: Tinjauan dan Temuan Baru di Era 2003. Surabaya: Airlangga University Press, hlm. 27-33. WHO, 2004. Panduan Lengkap Pencegahan dan Pengendalian Dengue dan Demam Berdarah Dengue. Jakarta: EGC. http://www.infomedika.com/ http://www.ppmplp.depkes.go.id/ http://www.ppmplp.depkes.go.id/