SIREP SEBAGAI IMMUNOMODULATOR PADA LANSIA DENGAN GANGGUAN PEMENUHAN TIDUR (Sleep Therapy as Immunomodulator of Elderly with Sleep Disorder) Joni Haryanto*, Suhartono Taat Putra** * Program Studi S1 Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga. Jl. Prof. Dr.Moestopo 47 Surabaya. Telp/Fax: (031) 5012496, E-mail: jurnalners_psikunair@yahoo.com ** Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga. ABSTRACT Introduction: Sirep is one of the nursing intervention to solve sleep problems. Moreover, sirep as immunomodulator for cortisol level, IFN-γR and IL-10 is still unknown. Sleep disorder can make decrease of immunity, concentration disability, decrease of coordination, alteration of personality, etc. Decrease of immunity can caused by increase or imbalance of stress hormone (cortisol). Increase of cortisol in along time can suppresed T lymphocytes. Objective of this study was to analyze the effect of sleep therapy (sirep) as immunomodulator in elderly with sleep disorder Method: This study used Quasy-Experimental Pre-Post Test Control Group Non Randomised design. Result: Result showed that Sleep therapy (sirep) can changed IFNR level in serum elderly with Wilcoxon Sign Rank Test had p<0.01 and Mann Whitney U-Test had p<0.01. Sleep therapy (sirep) can be change IL-10 level serum of elderly could be concluded that there was significant difference with Wilcoxon Sign Rank Test had p<0.01 and Mann Whitney U-Test not significant difference had p>0.01. Discussion: Sleep therapy of elderly can released cortisol level serum changing, so sleep therapy as immunomodulator in elderly with sleep dissorder was verified. Discussion: Sleep therapy must applied on elderly with sleep disorder, because sleep therapy become immunomodulator on elderly with sleep disorder was verified. Keywords: sirep, sleep needed, elderly, immunity. PENDAHULUAN Kejadian multiple diseases pada lansia sangat erat kaitannya dengan atrofi kelenjar thimus dan gangguan tidur (Darmojo dan Martono, 1999). Hypnotherapy mampu menidurkan seseorang sampai pada gelombang tetta atau tidur REMS (Nurindra, 2006). Sirep merupakan terapi tidur dengan teknik menguasai bawah sadar dan mampu menidurkan pasien sampai gelombang delta (deep sleep), namun terapi sirep sebagai imunomodulator terhadap kadar kortisol, IFN-γR dan IL-10 masih belum diketahui. Terdapat 67 orang lansia yang menghuni Panti Unit Pelayanan Sosial Tresna Werdha Tulungagung. Data yang diperoleh dari panti sebanyak 32 orang mengalami gangguan tidur. Carpenito, L.J. (2000) menyebutkan hasil penelitian Damen, et.al, yang melaporkan bahwa orang–orang yang masih muda dilaporkan efisiensi tidurnya 80-90%, sementara lansia 67-70%. Luce dan Segal dalam Carpenito, L.J. (2000) juga mengungkapkan bahwa pada kelompok lansia (40 tahun) hanya dijumpai 7% kasus yang mengeluh mengenai masalah tidur (hanya dapat tidur tidak lebih dari lima jam sehari). Hal yang sama dijumpai pada 22% kasus pada kelompok usia 70 tahun (terbangun lebih awal dari pukul 05.00 pagi). Terdapat 30% kelompok usia 70 tahun yang banyak terbangun di waktu malam hari. Gangguan tidur dapat menimbulkan perilaku agresif, kurang dapat berkonsentrasi, koordinasi menurun, rasa capai, gelisah, gangguan persepsi, halusinasi, disorientasi dan perubahan kepribadian. Imunitas klien dengan gangguan tidur rendah. Hal tersebut disebabkan oleh tidak adanya keseimbangan hormon stres (cortisol), yang umumnya meningkat. Kortisol meningkat dalam waktu tertentu dapat mensupresi limfosit T. Kadar limfosit T yang rendah, mengkibatkan sistem imun yang lain mengalami penurunan, seperti monosit, makrofag, sel NK, CD4+, CD8+, limfosit B dan polimorfonuklear (PMN). Menurut Stites (1994) bahwa monosit, makrofag, sel NK, CD4+, CD8+ dan limfosit B mempunyai reseptor alfa interferon gamma (IFNR), apabila sitokin tersebut meningkat menunjukkan monosit, makrofag, sel NK, CD4+, CD8+ dan limfosit B mengalami peningkatan. Interleukin 10 di hasilkan oleh Th2, monosit, makrofag dan limfosit B yang berperan menimbulkan keseimbangan produksi sitokin oleh Th1 dan sel NK. Dampak yang terjadi apabila seseorang tidak mampu mencukupi kebutuhan tidur, maka akan menimbulkan perubahan kepribadian dan perilaku seperti agresif, menarik diri, atau depresi, rasa capai meningkat, gangguan persepsi, halusinasi pendengaran atau pandangan, bingung dan disorientasi terhadap tempat dan waktu, koordinasi menurun serta bicara tidak jelas, mudah tersinggung dan tidak rileks (Priharjo, 1996). Merujuk dari kondisi tersebut peneliti ingin mengetahui terapi sirep sebagai imunomodulator terhadap kadar kortisol, IFN-γR dan IL-10. BAHAN DAN METODE Penelitian ini menggunakan desain penelitian Quasy Experimental Pre-Post Test Control Group Non Randomised Design. Pada penelitian ini teknik sampling yang digunakan adalah non probability sampling yaitu purposive sampling, dengan jumlah sampel 30 responden. Penelitian dilaksanakan di Panti Unit Pelayanan Sosial Tresna Werdha Tulungagung. Kadar kortisol, IFNR, IL-10 serum lansia diperiksa secara Enzyme Linked Immunosorbent Assay (ELISA). ELISA merupakan teknik pelabelan indikator dengan menggunakan enzim, yang mempunyai kelebihan cukup sensitif, mempunyai half life lebih panjang dari pada RIA (Radio Immuno Assay), dapat menggunakan spektrofotometer biasa dan mudah dilakukan automatisasi dan tidak mengandung bahaya radioaktif. Prosedur indirek ELISA sebagai berikut: dua kali pengenceran serial serum standar positif dan serum standar negatif dalam tabung, sepuluh kali pengenceran serial dari serum standar negatif dalam tabung, encerkan serum spesimen 1:100 dengan PBS-T dalam tabung (20 l + 2 ml), kosongkan seperti pada poin e-2, kemudian masukkanlah PBS-T 100 l / lubang ke A-1 dan B-1; 90 l/ lubang kesemua sisa lubang yang kosong, yang terakhir reaksikan pada temperatur ruangan selama 1 jam. Pengambilan darah dilakukan sesuai dengan siklus diurnal kortisol 24 jam dimana terjadi peningkatan pada jam 08.00 wib (pagi) sebagai puncak kadar kortisol dan jam 24.00 wib (malam) sebagai kadar kortisol paling rendah. Pada penelitian ini pengambilan darah sampel pagi dilakukan pada jam 09.00 WIB untuk sebelum perlakuan dan setelah perlakuan darah sampel diambil jam 21.00 WIB. Variabel independen dari penelitian ini adalah teknik sirep, sedangkan variabel dependen adalah kadar kortisol, kadar IFNR dan IL-10 serum lansia. Data yang diperoleh dari laboratorium dianalisis dan diuji dengan Wilcoxon Signed Rank Test dan MannWhitney U-Test. HASIL Data pada tabel 1 dapat dilihat adanya penurunan nilai rerata dari 18,95 g/dl menjadi 10,15 g/dl. Nilai rerata pada kelompok kontrol sebelum diberikan terapi sirep adalah 18,98 g/dl dan nilai rerata post untuk kelompok kontrol 14,85 g/dl. Pada hasil uji analisis statistik dengan menggunakan Mann Whitney U-Test pada tingkat signifikansi =0,01 menunjukkan p<0,01. Pada Wilcoxon Signed Rank Test didapatkan p<0,01 menunjukkan bahwa ada pengaruh pemberian terapi sirep terhadap kadar kortisol lansia. Pengaruh pemberian terapi sirep pada lansia terhadap kadar IL-10 menunjukkan adanya peningkatan nilai rerata dari 445,36 pg/mL menjadi 499,36 pg/mL. Nilai rerata pada kelompok kontrol sebelum diberikan terapi sirep adalah 416 pg/mL dan nilai rerata post untuk kelompok kontrol mempunyai kadar IL-10 sebanyak 422,80 pg/mL. Dari hasil uji analisis statistik dengan tingkat signifikansi =0,01 pada Mann Whitney U-Test didapatkan p>0,01 sedangkan dengan menggunakan uji Wilcoxon Signed Rank Test diperoleh p<0,01 (lihat tabel 2). Pada tabel 3 dapat dilihat terdapat peningkatan nilai rerata IFN-R dari 24,09 pg/mL menjadi 29,45 pg/mL. Nilai rerata pada kelompok kontrol sebelum diberikan terapi sirep adalah 25,70 pg/mL dan nilai rerata post untuk kelompok kontrol mempunyai kadar IFN-R sebanyak 26 pg/mL. Dari hasil uji analisis statistik dengan tingkat signifikansi =0,01 pada uji Mann Whitney U-Test di dapatkan p>0,01 dan dengan menggunakan uji Wilcoxon Signed Rank Test diperoleh p<0,01. Hal ini menunjukkan bahwa ada pengaruh pemberian terapi sirep pada lansia terhadap kadar IFN-R di Panti Unit Pelayanan Sosial Tresna Werdha Tulungagung. PEMBAHASAN Tidur merupakan kebutuhan dasar yang dibutuhkan setiap manusia, namun dalam keadaan sakit kebutuhan tidur akan terganggu yang disebabkan oleh berbagai faktor yaitu faktor psikologis, faktor fisik dan faktor lingkungan. Berdasarkan hasil penelitian kepada lansia yang mengalami gangguan pemenuhan kebutuhan tidur pada kelompok perlakuan terjadi peningkatan kebutuhan tidur. Pada kelompok kontrol pemenuhan kebutuhan tidur lansia sebagian besar masih kurang. Hal ini dipengaruhi oleh keadaan individu sendiri yang sedang sakit, keadaan lingkungan yang bising, maupun adanya gangguan psikologis. Tabel 1. Hasil uji analisis statistik pengaruh terapi sirep terhadap kadar kortisol (g/dl) pada lansia di Panti Unit Pelayanan Sosial Tresna Werdha Tulungagung Tabel 2. Hasil uji analisis statistik pengaruh terapi sirep terhadap kadar IL-10 (pg/mL) pada lansia di Panti Unit Pelayanan Sosial Tresna Werdha Tulungagung Keterangan: p = signifikansi SD = Standar Deviasi X = Rerata Perlakuan Kontrol Pre (Jam 09.00) Post ( Jam 21.00) Pre (Jam 09.00) Post ( Jam 21.00) X=18,95 X=10,15 X=18,98 X=14,85 SD=2,13 SD=1,05 SD=2,26 SD=2,26 Wilcoxon Signed Rank Test p=0,003 Wilcoxon Signed Rank Test p=0,005 Mann Whitney U-Test p=0,00001 Perlakuan Kontrol Pre (Jam 09.00) Post ( Jam 21.00) Pre (Jam 09.00) Post ( Jam 21.00) X=445,36 X=499,36 X=416,00 X=422,80 SD=45,04 SD=121,91 SD=35,36 SD=123,01 Wilcoxon Signed Rank Test (p=0,003) Wilcoxon Signed Rank Test (p=0,005) Mann Whitney U-Test p=0,016 Tabel 3. Hasil uji analisis statistik pengaruh terapi sirep terhadap kadar IFN-R (pg/mL) pada lansia di Panti Unit Pelayanan Sosial Tresna Werdha Tulungagung Keterangan: p = Derajat kemaknaan SD = Standar Deviasi X = Rerata Berdasarkan dari konsep dasar terapi sirep, terapi ini sebagai bentuk relaksasi yang dalam baik pikiran dan fisik, maka seseorang dalam keadaan sadar namun rileks, tenang, istirahat pikiran, otot–otot rileks dan pernafasan dalam teratur. Keadaan ini menurunkan rangsangan dari luar terhadap formatio retikuler. Perangsangan pada nuklei retikuler non spesifik yang mengelilingi thalamus dan nuklei dalam yang difus sering mampu mencetuskan gelombang dalam sistem thalamokortikal. Relaksasi sebagai proses pengelolaan pernafasan, ventilasi, difusi dan perfusi menjadi terkontrol. Pemusatan pikiran maka impuls dari stresor negatif bisa dialihkan sehingga secara tidak langsung akan membantu dalam menjaga keseimbangan homeostasis tubuh melalui jalan HPA Axis, yang dapat merangsang produksi kortisol dalam batas normal. Kortisol yang normal akan menciptakan keseimbangan neurotransmitter tubuh yang bermuara pada keseimbangan homeostasisnya (Guyton dan Hall,1997). Hasil terapi sirep menunjukkan adanya keseimbangan kortisol yang dapat memfasilitasi IL-10. Interleukin 10 menghambat Th1 dan sel NK untuk memproduksi sitokin (Hamblin, 2003; Theze,1999). Sistem ketahanan tubuh seluler adalah limfosit T, yang terdiri atas subset Tc, Th, Ts dan Tr. Peran Tc (CD8 + ) telah diketahui sebagai sitolitik terhadap mikroorganisme endogenus obligate sedangkan Th (CD4 + ) akan berdiferensiasi dan berproliferasi menjadi Th1 dan Th2 (Mosmann and Coffman, 1991 dalam Sridharan, 2001). Perubahan aktivitas sistem ketahanan tubuh yang didapat (adaptive) yaitu respons imun seluler menuju ke respons imun humoral memungkinkan terdapat hubungan dengan kadar kortisol. Aktivitas imun seluler dikendalikan oleh sel T yaitu CD8 + dan CD4 + , sedangkan aktivitas imun humoral oleh sel B. Pada lansia yang mengalami atrofi thimus dan mengalami kegagalan tidur yang dalam, sistem pertahanan alami dan CD8 + dalam melakukan proses sitolisis mikroorganisme mengalami kegagalan, maka Th1 mengambil peran untuk proses aktivasi makrofag dan CD8 melalui IFN-γ bersama TNF dan Th2 menghasilkan IL-4, IL-5 dan IL-6 untuk menstimulasi sel B dan serum menghasilkan imunoglobulin spesifik, sedangkan IL-10 dihasilkan oleh Th2 untuk proses down regulate sitokin. Terapi sirep dapat memfasilitasi IL-10 yang dapat menghambat aktifitas yang berlebihan dari Th1 dan menstimulasi limfosit B dan sel plasma untuk memproduksi imunoglobulin, sehingga daya tahan tubuh menjadi lebih optimal. Berdasarkan data hasil penelitian pengaruh terapi sirep terhadap kadar IFN- R pada lansia di Panti Unit Pelayanan Sosial Tresna Werdha Tulungagung disebutkan terdapat kemaknaan perubahan. Hal ini disebabkan oleh faktor IL-10 yang dihasilkan oleh Th-2 meningkat untuk proses down regulate sitokin, sehingga stimulasi untuk menghasilkan monosit, makrofag, sel NK, CD4, CD8 dan limfosit B sekaligus jumlahnya menurun. Interferon gamma (IFN- γ) reseptor alfa dipunyai oleh sel makrofag, monosit, CD8, Th-2, limfosit B dan sel NK. Semua sel tersebut merupakan sistem Perlakuan Kontrol Pre (Jam 09.00) Post ( Jam 21.00) Pre (Jam 09.00) Post ( Jam 21.00) X=24,09 X=29,45 X=25,70 X=26,00 SD=3,45 SD=5,72 SD=3,64 SD=5,44 Wilcoxon Signed Rank Test p=0,003 Wilcoxon Signed Rank Test p=0,221 Mann Whitney U-Test p=0,114 pertahanan tubuh yang potensial untuk mempertahankan kesehatan dari berbagai mineral non-self. Interleukin 10 menghambat Th1 dan sel NK untuk memproduksi sitokin (Hamblin, 2003 dalam Theze, 1999). Sistem ketahanan tubuh seluler adalah limfosit T, yang terdiri atas subset Tc, Th, Ts dan Tr. Peran Tc (CD8 + ) telah diketahui sebagai sitolitik terhadap mikroorganisme endogenus obligate sedangkan Th (CD4 + ) akan berdiferensiasi dan berproliferasi menjadi Th1 dan Th2. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Terapi sirep terbukti merupakan imunomodulator pada lansia yang mengalami gangguan pemenuhan tidur. Terapi sirep dapat menimbulkan perubahan kadar kortisol, IFN-γR dan IL-10 dalam serum lansia yang mengalami gangguan tidur. Hal ini terjadi oleh akibat sirep mampu menurunkan kadar kortisol tubuh sehingga dalam batas kesetimbangan dan mampu memfasilitasi kebangkitan IL-10. Saran Peneliti menyarankan agar lansia yang mengalami gangguan pemenuhan tidur, sebaiknya menggunakan terapi sirep sebagai salah satu metode penanganan, diadakan sosialisasi terapi sirep kepada masyarakat, karena terapi sirep terbukti sebagai imunomodulator pada lansia yang mengalami gangguan pemenuhan tidur, perawat profesional harus berlatih terapi sirep dan dapat menerapkannya sebagai bentuk intervensi keperawatan, sehingga dapat menurunkan kejadian sakit lansia dan dapat membuat hormon stres dalam kondisi seimbang, serta perlu ada penelitian lanjutan dengan jumlah sampel yang memenuhi kualifikasi random, sehingga hasil dapat di generalisasi. KEPUSTAKAAN Abbas, A.K., et al. 2000. Cellular and Molecular Immunology. Fourth edition. Philadelphia: WB Saunders Company. Avidan, A. 2005. Epidemiology, Assesment, and Treatment of Insomnia in The Elderly Patient, (Online) (http://www.medscape.com/viewarticl e/htm., diakses tanggal 14 Desember 2006, jam 12.05 WIB). Baiturokhim. 2005. Beberapa Jenis Gangguan Tidur, (Online), (http://www.kompascom/komps-cetak /0603/05/keluarga/2483490.htm., diakses tanggal 15 Maret 2006, jam 15.17 WIB). Carpenito, L.J. 2000. Diagnosa Keperawatan Aplikasi pada Praktek Klinis. Jakarta: EGC. Darmojo dan Martono. 1999. Geriatri. Jakarta: Balai Penerbit FK–UI Fleming, J. 2006. Nine rules of sleep hygiene in Sleep Treatment. Toronto: Mediresource Inc. Fogel, J. 2003. Behavioral Treatments for Insomnia in primary Care Settings, (Online), (http://www.medscape.com/viewarticl e/htm., diakses tanggal 14 Desember 2006, jam 12.05 WIB). Guyton dan Hall, 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC. Hamblin, A.S. 2003. Cytokines and Cytokine Receptors. Departement of Pathology and Infectious Diseases. New York: Oxford University Press. Handoyo. 2003. Pengantar Imunoasai Dasar. Surabaya: Airlangga University Press. Hister, A. 2006. Growth hormones and the effect on sleep. Toronto: Mediresource Inc. Johnson, A.G. 1999. High-Yield Immunology. Departement of Medical and Immunology University of Minnesota. Philadelphia: A Wolters Kluwer Company. Kirchner, J. 1999. ITM2A Is Induced During Thymocyte selection and T Cell Activation and Causes Downregulation of CD8 When Overexpressed in CD4+CD8+ Double Positive Thymocytes, Seattle: Departement of Immunology, University of Washington. Lueckenotte, A.G. 1996. Gerontologic Nursing, St. Louis: Mosby-Year Book, pp. 23-32. http://www.kompas/ http://www.medscape.com/viewarticle/htm http://www.medscape.com/viewarticle/htm Martha, D. 1995. Panduan Relaksasi dan Reduksi Stres. Edisi 3. Jakarta: EGC. Melissa. 2004. The Relaxation Response, (Online), (http://stress.about.com/cs/relaxation.h tm., diakses tanggal 14 Desember 2006, jam 12.05 WIB). Mosmann and Coffman. 1991. Heterogenecity of cytokine secretion patterns and functions of helper T cells. Adv Immunol, 46, 111-47. Nurindra, Y. 2006. Hypnotherapy Advant and Stage of Hypnosis. Materi Workshop: A Journey to The Sub Conscious World. Jakarta: Yan Nurindra-School of Hypnotism. Rahayu, R. 2002. Karakteristik Penyakit Pada Usia Lanjut. Naskah Lengkap Temu Ilmiah Nasional I dan Konferensi Kerja III Perhimpunan Gerontologi Medik Indonesia (PERGEMI). Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro. Rantam. 2003. Metode Imunologi. Surabaya: Airlangga University Press. Roitt, et al. 2002. Immunology. Sixth edition, Toronto: Mosby Inc. Stites, et al. 1994. Medical Immunology. tenth edition. San Francisco: Lange /McGraw-Hill Medical Publishing Division. Theze, J.F.D. 1999. The Cytokine Network and Immune Functions. New York: Oxford University Press. Tristram, G.P., et al. 2001. Medical Immunology. New York: Lange Medical Book. Yayasan Bali Galang. 2002. Lontar Usada Pamugpug. Denpasar: Fakultas Sastra Universitas Udayana. Yayasan Bali Galang. 2003. Usada Kurantabolong. Denpasar: Fakultas Sastra Universitas Udayana. http://stress.about.com/cs/relaxation.htm http://stress.about.com/cs/relaxation.htm