MOTIVASI EKSTRINSIK TERHADAP ADVERSITY QUOTIENT PENDERITA HIV DAN AIDS Jurnal Ners Vol.3 No.1 April 2008: 26-33 MOTIVASI EKSTRINSIK TERHADAP ADVERSITY QUOTIENT PENDERITA HIV/AIDS (The Effect of Extrinsic Motivation on Adversity Quotient in patients with HIV/AIDS) Nursalam*, Misutarno**, Yulia Dewi Puspitawati* * Fakultas Keperawatan Universitas Airlangga Kampus C Mulyorejo Surabaya. Telp/Fax: (031) 5913257. E-mail: nursalam_psik@yahoo.com ** RSUD Dr. Soetomo Surabaya ABSTRACT Introduction: Patients with HIV/AIDS may have various types of psychological responses. It was very difficult situation for them. Difficulty can measured by using Adversity Quotient. As a nurse, we can give extrinsic motivation to bring back the patient HIV/AIDS’s quality of life. The objective of this study was to identify the presence effect of extrinsic motivation on Adversity Quotient in patients with HIV/AIDS in Infectious Disease Intermediateatery Treatment Unit, Dr. Soetomo Hospital, Surabaya. Method: This study was used a quasy experimental purposive sampling design. The population was taken from ambulatory patients. There were 16 respondents who met to the inclusion criteria. The independent variable was extrinsic motivation and dependent variable was Adversity Quotient. Data were collected by using questionnaire and interview, then analyzed by using Wilcoxon Signed Rank Test and Mann Whitney U Test with significance level p=0.05. Result: The result revealed that there was an effect of extrinsic motivation on Adversity Quotient of patients with HIV/AIDS (p=0.017). The extrinsic motivation was found to have an effect on control response (p=0.027) and origin response (p=0.028), there was no influence of extrinsic motivation on ownership response (p=0.334), reach (p=0.129) and endurance (p=0.161). Discussion: It can be concluded that the extrinsic motivation with intervention of social support has a positive effect on the improvement of Adversity Quotient in patients with HIV/AIDS. Further studies should measure the effectiveness of Adversity Quotient training on acceptance response in patients with HIV/AIDS. Keywords: Adversity Quotient, extrinsic motivation, HIV/AIDS patients PENDAHULUAN Pengidap AIDS umumnya berada dalam situasi yang membuat mereka merasakan menjelang kematian dalam waktu dekat. Situasi tersebut mereka antisipasi secara khusus. Ketika individu dinyatakan terinfeksi HIV, sebagian besar menunjukkan perubahan karakter psikososial (hidup dalam stres, depresi, merasa kurangnya dukungan sosial dan perubahan perilaku) (Nasronudin, 2005). Respons psikologis hingga adaptasi psikologis tergantung pada 3 faktor penting meliputi faktor biologis (berbagai gejala perjalanan penyakit), faktor psikologis (kepribadian dan kemampuan mengatasi masalah serta dukungan interpersonal), dan faktor sosiokultural (stigma sosial yang melekat pada infeksi HIV) (Muma et al, 1997). Sistem psikologis menekankan efek faktor psikodinamik, motivasi, dan kepribadian terhadap pengalaman sakit serta reaksi terhadap penyakit (Tandiono, et al., 2007). Psikoterapi transpersonal (termasuk motivasi) merupakan salah satu pilihan untuk mereka yang merasa mendekati kematian, terisolasi, maupun mengalami masalah psikis lainnya sehingga akan mengalami keselarasan harmoni internal maupun eksternal (Maramis, 2005). Motivasi yang tinggi dapat mempengaruhi perilaku melalui peningkatan pengetahuan dan skill (Colquite, 2000 dalam Niniek, 2004). Individu yang memiliki Adversity Quotient (AQ) yang tinggi secara emosional dan fisik cukup lentur dalam menghadapi kesulitan (Stoltz, 2004). Namun pengaruh motivasi ekstrinsik terhadap Adversity Quotient pada penderita HIV/AIDS belum jelas. mailto:nursalam_psik@yahoo.com Jurnal Ners Vol.3 No.1 April 2008: 26-33 Nursalam Berdasarkan data awal uji instrumen pada tanggal 9 Mei 2008 di UPIPI RSU Dr. Soetomo, 4 penderita mempunyai tingkat Adversity Quotient sebagai berikut 25% AQ sedang, 50% AQ cukup tinggi dan 25% AQ tinggi. Bagi individu yang positif terinfeksi HIV, menjalani kehidupannya akan terasa sulit karena dari segi fisik individu tersebut akan mengalami perubahan yang berkaitan dengan perkembangan penyakitnya. Prevalensi depresi pada penderita dengan HIV/AIDS meningkat dua kali lipat dibandingkan dengan populasi biasa. Pada penderita yang dirawat, angka ini lebih tinggi lagi (40%). Pada suatu studi longitudinal ditemukan hasil di mana jumlah CD4+ limfosit menurun 38% lebih besar pada penderita HIV dengan depresi dibandingkan kelompok penderita HIV yang tidak mengalami depresi. Pada suatu studi longitudinal dilaporkan prevalensi depresi meningkat dari 15-27% pada 36 bulan sebelum diagnosis AIDS hingga 34% pada saat 6 bulan sebelum diagnosis AIDS dan 43% pada saat 6 bulan sesudah diagnosis (Tandiono, et al., 2007). Penolakan terhadap diagnosis HIV akan membuat penderita jatuh pada keadaan stres berkepanjangan dan berdampak pada penurunan sistem imun, sehingga mempercepat progresivitas HIV ke AIDS. Berdasarkan pendekatan ilmu Psychoneuroimunology dapat dijelaskan, kondisi emosional berupa penolakan dan stres yang dialami penderita terinfeksi HIV akan memodulasi sistem imun melalui jalur Hipothalamic-Pituitary-Adenocortical (HPA) axis dan sistem limbik (kontrol emosi dan learning process), melepaskan neuroleptik Corticotropin Releasing Factor (CRF). Counter regulasi ini meningkatkan produksi dari kotekolamin, kortisol dan argininvasopresin (AVP) (Nasronudin, 2005). Stoltz (2004) mengadakan riset selama 19 tahun dan penerapannya selama 10 tahun. Hasilnya adalah tingkat AQ mendasari kinerja, produktivitas, kreativitas, ketekunan, daya tahan, kesehatan dan vitalitas. AQ dapat melihat bagaimana seseorang mampu menerima suatu masalah dan seberapa jauh individu mampu beradaptasi dengan masalah tersebut (Wardhani, 2003). Reaksi intrapsikis akan menimbulkan suatu interpretasi kognitif atau pemaknaan terhadap situasi yang menyebabkan reaksi emosional. Hal ini bersifat subyektif feeling (tidak disadari dan tidak dipelajari) melibatkan aspek kognitif (kesadaran dari pengalaman subyektif). Motivasi sangat besar pengaruhnya dalam kehidupan seseorang baik itu berupa motivasi ekstrinsik, contohnya dukungan orang tua, teman dan sebagainya maupun motivasi instrinsik yakni motivasi yang datang dari dalam individu itu sendiri. Dukungan sosial mempengaruhi kesehatan dan melindungi seseorang terhadap efek negatif stres berat (Nursalam dan Kurniawati, 2007) penderita HIV/AIDS diarahkan untuk mengembangkan diri dengan transformasi kesadaran agar nantinya dapat mengelola emosinya secara mandiri sehingga dapat melakukan aktivitas seperti layaknya orang sehat sehingga dapat meningkatkan kualitas hidupnya. Berdasarkan fenomena bahwa kondisi psikologis dan motivasi pada penderita HIV/AIDS menyebabkan respons psikologis yang berbeda dan juga didukung selama ini belum ada yang meneliti tentang pengaruh motivasi ekstrinsik terhadap Adversity Quotient pada penderita HIV/AIDS, maka peneliti mengangkat masalah ini. BAHAN DAN METODE Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah quasy experimental pre posttest purposive sampling design. Populasi pada penelitian ini adalah penderita HIV/AIDS yang rawat jalan di Unit Perawatan Intermediet Penyakit Infeksi Rumah Sakit Umum Dr. Soetomo Surabaya. Sampel dalam penelitian ini sebanyak 16 orang, yang dibagi menjadi 8 orang diberikan perlakuan motivasi ekstrinsik (dukungan sosial), 6 kali intervensi (6x50 menit) selama 3 minggu (2x50 menit/minggu); sedangkan 8 orang yang lain memperoleh intervensi rutin. Variabel independen dalam penelitian ini adalah motivasi ekstrinsik berupa dukungan sosial, sedangkan variabel dependennya adalah Adversity Quotient. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini meliputi SAP untuk mengukur motivasi ekstrinsik dengan intervensi dukungan sosial, sedangkan untuk mengetahui tingkat Adversity Quotient digunakan kuesioner skala Stoltz (2004) dengan dimensi CO2RE (Control, Origin, Ownership, Reach and Endurance). Adversity Quotient Penderita HIV/AIDS (Nursalam) 32 Nursalam Penelitian dilakukan selama bulan Juni sampai dengan Juli 2008. Data yang diperoleh, ditabulasi dan dianalisis dengan menggunakan uji statistik Wilcoxon Signed Rank Test dan Mann Whitney U Test dengan derajat kemaknaan α≤0,05. HASIL Hasil penelitian menunjukkan nilai p=0,017. Berarti ada pengaruh motivasi ekstrinsik terhadap Adversity Quotient pada penderita HIV/AIDS. Terdapat peningkatan hasil dari 70,75 menjadi 77. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat Adversity Quotient penderita meningkat setelah diberikan intervensi, sedangkan untuk kelompok kontrol peningkatan sangat sedikit sekali yaitu dari 70,625 menjadi 70,875 dengan nilai signifikansi p=0,943. Tabel 2 menjelaskan tentang pengaruh motivasi ekstrinsik terhadap respons control penderita HIV/AIDS. Hasil penelitian menunjukkan nilai p=0,027. Berarti ada pengaruh motivasi ekstrinsik terhadap respons control pada penderita HIV/AIDS. Terdapat peningkatan hasil dari 14,5 menjadi 16,38. Hal ini menunjukkan respons control penderita bertambah setelah diberikan intervensi, sedangkan untuk kelompok kontrol peningkatan sangat sedikit sekali yaitu dari 14,375 menjadi 15,00 dengan nilai signifikansi p=0,236. Tabel 3 menjelaskan tentang pengaruh motivasi ekstrinsik terhadap respons origin penderita HIV/AIDS. Hasil penelitian menunjukkan nilai p=0,028. Berarti ada pengaruh motivasi ekstrinsik terhadap respons origin pada penderita HIV/AIDS, Terdapat peningkatan hasil dari 16,5 menjadi 18,5. Hal ini menunjukkan respons origin penderita bertambah setelah diberikan intervensi, sedangkan untuk kelompok kontrol peningkatan sangat sedikit sekali yaitu dari 15,75 menjadi 18,5 dengan nilai signifikansi p=0,366. Tabel 4 menjelaskan tentang pengaruh motivasi ekstrinsik terhadap respons ownership penderita HIV/AIDS. Hasil penelitian menunjukkan nilai p=0,334 yang berarti tidak ada pengaruh motivasi ekstrinsik terhadap respons ownership pada penderita HIV/AIDS, Peningkatan hasil sangat sedikit antara kelompok kontrol dan perlakuan peningkatan hampir sama dari 16,87 menjadi 17,25 pada kelompok perlakuan dan 16,87 menjadi 17,25. Tabel 5 menjelaskan tentang pengaruh motivasi ekstrinsik terhadap respons reach penderita HIV/AIDS. Hasil penelitian menunjukkan tidak ada pengaruh motivasi ekstrinsik terhadap respons reach pada penderita HIV/AIDS dengan nilai p=0,129. Peningkatan hasil sangat sedikit antara kelompok kontrol dan perlakuan peningkatan hampir sama dari 9,00 menjadi 9,62 pada kelompok perlakuan dan 6,87 menjadi 6,75. Tabel 6 menjelaskan tentang pengaruh motivasi ekstrinsik terhadap respons endurance penderita HIV/AIDS. Hasil penelitian menunjukkan tidak ada pengaruh motivasi ekstrinsik terhadap respons endurance pada penderita HIV/AIDS dengan nilai p=0,161. Peningkatan hasil sangat sedikit antara kelompok kontrol dan perlakuan peningkatan hampir sama dari 14,125 menjadi 15,125 pada kelompok perlakuan dan 15,375 menjadi 15,5. Tabel 1. Tingkat Adversity Quotient Penderita HIV/AIDS di Rawat Jalan UPIPI RSU Dr. Soetomo tanggal 6 Juni sampai dengan 2 Juli 2008. Kelompok Intervensi Kelompok Kontrol Kelompok Intervensi Kelompok Kontrol Pre Post Pre Post Post Post Mean 70,75 77 70,62 70,87 77 70,87 SD 5,34 2,83 4,84 3.,44 2,83 3,44 Hasil Analisis Statistik Wilcoxon Signed Rank Test p=0,017 Wilcoxon Signed Rank Test p=0,943 Mann Whitney U Test p=0,003 Jurnal Ners Vol.3 No.1 April 2008: 26-33 Tabel 2. Respons Dimensi Kendali (Control) Penderita HIV/AIDS di Rawat Jalan UPIPI RSU Dr. Soetomo tanggal 6 Juni sampai dengan 2 Juli 2008. Tabel 3. Respons Dimensi Penyebab (Origin) Penderita HIV/AIDS di Rawat Jalan UPIPI RSU Dr. Soetomo tanggal 6 Juni sampai dengan 2 Juli 2008. Kelompok Intervensi Kelompok Kontrol Kelompok Intervensi Kelompok Kontrol Pre Post Pre Post Post Post Mean 16,5 18,5 16,375 15,75 18,5 15,75 SD 2,72 1,93 2,77 2,43 1,93 2,43 Hasil Analisis Statistik Wilcoxon Signed Rank Test p=0,028 Wilcoxon Signed Rank Test p=0,366 Mann Whitney U Test p=0,028 Tabel 4. Respons Dimensi Pengakuan (Ownership) Penderita HIV/AIDS di Rawat Jalan UPIPI RSU Dr. Soetomo tanggal 6 Juni sampai dengan 2 Juli 2008. Tabel 5. Respons Dimensi Jangkauan (Reach) Penderita HIV/AIDS di Rawat Jalan UPIPI RSU Dr. Soetomo tanggal 6 Juni sampai dengan 2 Juli 2008. Kelompok Intervensi Kelompok Kontrol Kelompok Intervensi Kelompok Kontrol Pre Post Pre Post Post Post Mean 9,00 9,62 6,87 6,75 9,625 6,75 SD 1,60 1,51 1,46 1,67 1,51 1,67 Hasil Analisis Statistik Wilcoxon Signed Rank Test p=0,129 Wilcoxon Signed Rank Test p=0,705 Mann Whitney U Test p=0,003 Keterangan: p = Derajat kemaknaan SD = Standar Deviasi Mean = Rerata Kelompok Intervensi Kelompok Kontrol Kelompok Intervensi Kelompok Kontrol Pre Post Pre Post Post Post Mean 14,5 16,37 14,37 15,00 16,37 15,00 SD 1,93 1,41 1,92 1,31 1,41 1,31 Hasil Analisis Statistik Wilcoxon Signed Rank Test p=0,027 Wilcoxon Signed Rank Test p=0,236 Mann Whitney U Test p=0,008 Kelompok Intervensi Kelompok Kontrol Kelompok Intervensi Kelompok Kontrol Pre Post Pre Post Post Post Mean 16,875 17,25 17,125 16,875 17,25 16,875 SD 1,25 1,49 1,36 2,10 1,49 2,10 Hasil Analisis Statistik Wilcoxon Signed Rank Test p=0,334 Wilcoxon Signed Rank Test p=0,589 Mann Whitney U Test p=0,721 Adversity Quotient Penderita HIV/AIDS (Nursalam) 32 Nursalam Tabel 6. Respons Dimensi Daya Tahan (Endurance) Penderita HIV/AIDS di Rawat Jalan UPIPI RSU Dr. Soetomo tanggal 6 Juni sampai dengan 2 Juli 2008. Keterangan: p = Derajat kemaknaan SD = Standar Deviasi Mean = Rerata PEMBAHASAN Hasil penelitian menunjukkan terdapat pengaruh motivasi ekstrinsik terhadap respons Adversity Quotient pada penderita HIV/AIDS namun masih terdapat responden yang belum maksimal dalam mengatasi masa sulit sejak terdiagnosis HIV. Hal ini ditunjukkan dengan penderita yang kurang meningkatkan nilai Adversity Quotient, responden Tn. R menyatakan: “iya, mbak saya sangat kaget setelah hasil darah saya positif, saya sempat mengurung diri, ada keinginan kabur dari rumah, akhirnya saya tidur di gerbong kereta api, dan minum sprite banyak tapi ko ga mati-mati, ya akhirnya saya sadar sudah di rumah sakit”. Stoltz (2004) menyatakan bahwa Adversity Quotient merupakan suatu gambaran (snapshot) dari kebiasaan respons seseorang terhadap kesulitan, suatu ukuran pola bawah sadar yang konsisten yang telah dikembangkan oleh individu selama bertahun-tahun. Adversity Quotient merupakan suatu kerangka konseptual yang mampu meramalkan tingkat kemampuan seseorang untuk mengatasi kesulitan- kesulitan hidupnya, dimana perjuangan meraih tujuan dan perjuangan menghadapi hambatan yang ada dianalogikan dengan perjalanan mendaki gunung, Adversity Quotient merupakan kerangka konseptual yang dapat meramalkan individu mana yang mampu dan tidak mampu mengatasi kesulitan hidupnya. Nasronudin (2005) menyatakan penderita HIV/AIDS mengalami adaptasi psikologis yang berat akibat dari hasil positif sampel darah penderita. Hal ini sangat mempengaruhi mental psikologis penderita dan berpengaruh terhadap tingkat imunitas penderita, dihubungkan dengan teori psikoneuroimunologi sebagai dasar pembentuk Adversity Quotient terdapat pengaruh yang signifikan jika dihubungkan dengan ketahanan penderita terhadap proses perjalanan penyakit (meningkatnya virus HIV yang mengakibatkan penurunan CD4). Adversity Quotient sebagai bentuk penilaian terhadap kemampuan atau ketahanan dalam menghadapi kesulitan dalam menghadapi penyakit yang dideritanya, meliputi penilaian apakah diri seseorang itu merasa sebagai orang yang berguna, memiliki banyak kemampuan dan keyakinan untuk dapat hidup normal meskipun dirinya terjangkit HIV, memiliki ketahanan dalam menghadapi masalah dan memiliki kendali terhadap sebuah peristiwa yang menimbulkan kesulitan. Hal ini akan mempunyai pengaruh yang besar terhadap daya tahan dan kekebalan penderita. Seseorang dengan tingkat Adversity Quotient yang tinggi akan cenderung memiliki sikap yang positif terhadap segala sesuatu. Sikap positif terhadap kesembuhan penyakitnya, membantu penderita terhadap koping yang lebih konstruktif serta harapan yang lebih meningkat, dengan motivasi ekstrinsik berupa dukungan sosial, membantu penderita dalam mengungkapkan perasaan saat pertama kali terdiagnosis, membantu penderita untuk tetap menghargai dirinya dan menerima kondisi tersebut dengan ikhlas, No Kelompok Intervensi Kelompok Kontrol Kelompok Intervensi Kelompok Kontrol Pre Post Pre Post Post Post Mean 14,13 15,13 15,37 15,5 15,12 15,5 SD 2,75 2,59 1,85 1,60 2,59 1,60 Hasil Analisis Statistik Wilcoxon Signed Rank Test p=0,334 Wilcoxon Signed Rank Test p=0,589 Mann Whitney U Test p=0,721 Jurnal Ners Vol.3 No.1 April 2008: 26-33 Nursalam Nursalam menegaskan pentingnya penderita bagi orang lain serta mengarahkan penderita untuk tetap aktif dalam mengikuti berbagai kegiatan yang bermanfaat bagi penderita dan bisa berguna bagi orang lain. Sikap optimis ini akan mensinergikan segala kegiatan terhadap peningkatan kesehatan yang dilakukan penderita itu sendiri, kontrol yang teratur, patuh dalam minum ARV serta kegiatan lain yang menunjang kesembuhan penderita. Hasil penelitian menunjukkan terdapat pengaruh motivasi ekstrinsik terhadap respons kendali pada penderita HIV/AIDS, dengan signifikansi p=0,027. Hal tersebut didukung seperti yang disampaikan responden Nn. N: “Saya tu sekarang agak cuek mbak, ma tetangga-tetangga yang nggunjing dan bilang saya cewek ga bener, keluyuran malam, ora ngurus..!! tapi saya kasihan sama Ibu kalo ada tetangga yang usil seperti itu”. Hal ini memberikan gambaran bahwa kemampuan penderita kelompok perlakuan untuk membalik kesulitan dan kemudian mengubahnya menjadi kesempatan serta merubah rasa tidak berdaya menjadi berdaya masih bervariasi, tetapi kecenderungan menunjukkan nilai relatif sedang. Respons control melihat bagaimana seseorang mengendalikan suatu peristiwa yang menimbulkan kesulitan dalam hidupnya. Respons control penderita HIV/AIDS mengalami peningkatan ditunjukkan pada perasaan penderita lebih baik saat dokter menyatakan diagnosis dan penderita tetap yakin kalau penyakit ada obatnya serta yakin terdapat jalan keluar dalam masalah yang dialami. Semangat untuk tetap berjuang meskipun dengan HIV positif terdapat setelah dilakukan motivasi ekstrinsik. Welles (2000) mengatakan bahwa orang-orang yang memiliki control yang baik cenderung untuk memiliki AQ tinggi. Mereka tidak menyalahkan orang lain atas penyakitnya dan memiliki tanggungjawab akibat perbuatan yang dilakukannya dulu dan mereka yakin dapat menghadapinya. Berdasarkan hasil analisis pada tabel 3 terdapat adanya pengaruh motivasi ekstrinsik terhadap dimensi penyebab pada penderita HIV/AIDS. Disini disebutkan penderita Tn. J bahwa: ”ya risiko mbak..tau sakit gini meski dulunya ada awal-mulanya, Saya mengakui klo pernah tinggal dan kumpul sama waria, tapi itu saya saat remaja, setelah itu saya menikah, istri saya melahirkan, bayi saya hanya bertahan 6 bulan, kemudian tak lama istri saya meninggal, sekarang saya baru tahu kalo saya menularkan penyakit ke istri sama anak saya”. Penderita yang mempunyai AQ rendah cenderung menempatkan rasa bersalah yang tidak semestinya atas berbagai peristiwa buruk yang terjadi. Respons origin yang rendah bisa menghentikan umpan balik karena beban mempersalahkan diri sendiri yang terus-menerus. Seperti kritik, rasa bersalah dan penyesalan hanya akan sedikit bermanfaat. Rasa bersalah memiliki dua fungsi penting. Rasa bersalah dalam ukuran yang tepat akan menyebabkan seseorang bertindak ke arah perbaikan dan membantu mencapai kesembuhan. Rasa bersalah yang terlalu besar dapat melemahkan semangat dan menjadi dekstruktif, sehingga menghancurkan energi, harapan, harga diri dan sistem kekebalan. Respons origin pada penderita HIV/AIDS meningkat ditunjukkan dengan rasa bersalah penderita terhadap keluarga serta teman dekat akibat diagnosis HIV positif. Hasil penelitian menunjukkan tidak terdapat pengaruh motivasi ekstrinsik terhadap dimensi pengakuan (ownership) pada penderita HIV/AIDS. Stolz (2004) menyatakan semakin sedikit tingkat pengakuan, semakin besar kemungkinan tidak mengakui akibat yang ditimbulkan. Kecenderungan untuk menepis peristiwa buruk atau menghindari tanggungjawab merupakan sikap yang tidak diinginkan. Respons ownership mengungkapkan aspek pengakuan terhadap kesulitan yang timbul. Penderita yang memiliki AQ tinggi cenderung mengakui berbagai akibat yang ditimbulkan oleh kesulitan dan seringkali dapat mengingat penyebabnya. Rasa tanggung jawab tersebut memaksa mereka untuk bertindak, membuat penderita lebih meningkatkan kesehatan. Dari hasil penelitian ini dapat diasumsikan bahwa penderita HIV/AIDS kurang mengakui apa yang menjadi penyebab kesulitan yang timbul, tetapi masih ada rasa tanggung jawab untuk mengatasi kondisi tersebut. Tidak adanya pengaruh dalam dimensi ini disebabkan karena penderita kurang bisa menegaskan tentang pentingnya penderita bagi orang lain. Responden Mbak Adversity Quotient Penderita HIV/AIDS (Nursalam) 32 Nursalam D mengatakan: ”Apa ya bisa mbak saya berguna bagi orang lain, sakit kaya gini saya bisanya cuma merepotkan orang lain, apalagi klo kondisi saya drop pasti saya jadi ramut-ramutan orang banyak”. Hasil analisis pada tabel 5 menunjukkan tidak terdapat pengaruh motivasi ekstrinsik terhadap dimensi jangkauan (reach) pada penderita HIV/AIDS. Stolz (2004) menyatakan respons dengan AQ yang rendah akan memperluas kesulitan ke dalam kehidupan. Hasil ini memberikan gambaran bahwa kemampuan penderita HIV/AIDS untuk membatasi dampak kesulitan dari progresif penyakitnya terhadap bagian lain dari kehidupan berada pada tingkat sedang. Reach menggambarkan bahwa sejauh mana kesulitan yang timbul akan menjangkau berbagai bagian lain kehidupan seseorang. Respons reach pada penderita ditunjukkan dengan adanya keluarga yang merawat penderita, namun penderita sendiri merasa dirinya telah merepotkan orang lain. Jangkauan disini meliputi kedekatan penderita dengan keluarga dan teman dekat. Penderita akan terpuruk dan drop jika keluarga menyalahkan penderita tersebut. Responden menyatakan: ”Saya ini memang ndableg mbak, dinasehati orang tua ga pernah tak dengerin. Semuanya sak karepku..sampai akhirnya saya menanggung akibatnya sekarang. Jujur saya minder sama teman-teman mbak. Saya tertutup. Tapi bisa berbagi cerita disini bersama teman-teman senasib, saya jadi plong mbak” demikian ungkap Mas S yang baru terdiagnosis bulan Juni 2008 kemarin. Hasil analisis pada tabel 6 menunjukkan tidak terdapat pengaruh motivasi ekstrinsik terhadap dimensi daya tahan (endurance) pada penderita HIV/AIDS. Hasil ini menunjukkan bahwa daya tahan (endurance) berada pada kategori rendah. Hasil ini juga memberikan gambaran bahwa penderita HIV/AIDS cenderung menganggap masalah atau kesulitan yang terjadi bersifat permanen dan bukan sebagai suatu dinamika yang bersifat sementara. Respons endurance mempertanyakan sejauh mana kesulitan akan berlangsung. Berdasarkan penelitian Seligman, riset tentang teori atribusi menunjukkan perbedaan dramatis antara orang yang mengaitkan kesulitan dengan sesuatu yang sifatnya sementara versus sesuatu yang lebih permanen atau abadi. Stoltz (2004) menyatakan seseorang yang memiliki nilai respons endurance tinggi menganggap bahwa penyebab kesulitan sebagai suatu yang bersifat sementara, cepat berlalu dan kecil kemungkinannya terjadi lagi. Motivasi ekstrinsik tidak berpengaruh terhadap dimensi daya tahan (endurance) karena masa sulit yang dialami oleh penderita HIV/AIDS termasuk permanen. Hal ini disebabkan penderita harus mengkonsumsi obat terus-menerus dan selalu menjaga kondisi tubuh agar tidak menurun. Seperti yang diungkapkan responden Mas D: ”Bosen lho mbak, ARV ga boleh telat, padahal awal minum tu dulu saya mual-mual ngga doyan makan. Tapi lama-lama saya ya terbiasa, saya pasrah, untungnya keluarga saya selalu mengingatkan”. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Penelitian ini menunjukkan bahwa motivasi ekstrinsik dengan intervensi dukungan sosial berpengaruh positif dalam peningkatan Adversity Quotient pada penderita HIV/AIDS. Motivasi ekstrinsik berpengaruh positif terhadap respons dimensi asal-usul (origin) pada penderita HIV/AIDS. Penderita HIV/AIDS yang mendapatkan motivasi ekstrinsik tidak menunjukkan perubahan yang bermakna terhadap respons dimensi pengakuan (ownership), dimensi jangkauan (reach) dan dimensi daya tahan (endurance). Saran Berdasarkan pada hasil penelitian ini peneliti menyarankan agar pada penderita dibentuk kelompok diskusi kecil yang terdiri dari 7-10 orang untuk meningkatkan interaksi antar penderita, saling memberikan dorongan untuk tetap mempertahankan kualitas hidup dan berbagi pengalaman tentang perawatan dan pengobatan sakit yang diderita (yang diadakan setelah kontrol). Perawat diharapkan untuk meningkatkan intervensi dengan pendekatan psikologis agar tercipta keperawatan biopsikososiospritual yang holistik. Perawat diharapkan memberikan kesempatan pada penderita untuk Jurnal Ners Vol.3 No.1 April 2008: 26-33 Nursalam Nursalam mendapatkan informasi yang lengkap dan mempersiapkan mental penderita sebelum dilakukan pemeriksaan tes HIV/AIDS yang dimaksudkan untuk mengurangi tingkat kecemasan penderita. Selanjutnya perlu adanya kerjasama dengan tenaga Ruang Jiwa C atau lembaga psikologis lain dalam pendekatan yang lebih pada psikososial penderita HIV/AIDS. KEPUSTAKAAN Maramis, M.M. 2005. Manfaat Psikoterapi dalam Psikoneuroimunologi Kedokteran. Surabaya: Gideon Offset, hlm. 77-79. Muma, R.D., et al. 1997. Aspek Sosial dan Psikologis dari AIDS. HIV Manual untuk Tenaga Kesehatan. Alih Bahasa oleh Prawitasari S. Jakarta: EGC, hlm. 275. Nasronudin. 2005. Pengaruh Psikososial Terhadap Perkembangan Infeksi HIV Menjadi AIDS dalam Psikoneuroimunologi Kedokteran. Surabaya: Gideon Offset, hlm. 80-89. Nursalam dan Kurniawati. 2007. Asuhan Keperawatan Pada Penderita Terinfeksi HIV dan AIDS. Jakarta: Salemba Medika, hlm. 15-16, 24-27, 30. Niniek. 2004. Pengaruh Self Eficacy Melalui Kemampuan Kognitif, Motivasi dan Afektif Kader Kesehatan Gigi Terhadap Perilaku Sehat Gigi. Disertasi tidak dipublikasikan. Surabaya : Universitas Airlangga, hlm. 89-95. Stoltz. 2004. Adversity Quotient Mengubah Hambatan Jadi Peluang, Alih Bahasa oleh Hermaya T. Jakarta: Gramedia, hlm. 100-104. Tandiono, et al. 2007. Peran Consultation- Liaison Psychiatry pada Penatalaksanaan Penderita Dengan HIV dan AIDS. PPDS Bagian Psikiatri. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, hlm. 69-75. Wardhani. 2003. Pengaruh Tingkat Adversity Quotient (AQ) terhadap Orientasi Karir di PT. Danzas Surabaya dan Jakarta. Tesis tidak dipublikasikan. Surabaya: Universitas Airlangga, hlm. 110-128.