BERMAIN LEGO MENINGKATAN PERKEMBANGAN KOGNITIF ANAK USIA PRASEKOLAH (4-5 TAHUN ) BERMAIN LEGO MENINGKATAN PERKEMBANGAN KOGNITIF ANAK USIA PRASEKOLAH (4-5 TAHUN) (Playing Lego Increase Cognitive Development on Preschool Child (4-5 Years Old)) Sri Utami*, Nuzul Qur’aniati**, Erlita Kusuma R.** * Poltekes Soetomo Prodi Kebidanan Jln. Mayjend. Prof. Dr. Moestopo No. 8A Surabaya 60286 E-mail: sriutami_prodikesby@yahoo.co.id **Fakultas Keperawatan Universitas Airlangga Surabaya ABSTRACT Introduction: The preschool cognitive development can be stimulated with playing activity. The preschool child who stimulateless, their creativity will be checked and it can effect their cognitive development. Playing lego is one of the stimulation which give chance to the preschool child to express creativity and explorate their skill in playing construction. This research was aimed to analyze the effect of playing lego to the preschool cognitive development. Method: Quasy experimental pre post test design was used in this research. Total sample were 18 preschool child (4-5 years old). The independent variable was playing lego and the dependent variable was the cognitive development. Data were analyzed by Wilcoxon Signed Rank Test and Mann Whitney U Test with the significance α<0.05. Result: Result showed that the control group has significance level p=0.059 and the treatment group has significance level p=0.008. The result of Mann Whitney U Test showed p=0.001. Discussion: It can be concluded that playing lego can effect the preschool cognitive development in spatial factor, reasoning, memory, and perceptual speed. It can be suggested to the further research to examine the effect of playing lego to the motoric development or social development. Keywords : lego, cognitive development, preschool PENDAHULUAN Pertumbuhan dan perkembangan merupakan peristiwa yang pasti terjadi pada manusia mulai dari konsepsi sampai akhir hayat. Perkembangan anak terjadi mulai dari aspek sosial, emosional, dan intelektual yang berkembang pesat saat anak memasuki masa prasekolah (3-5 tahun) dan biasa disebut dengan golden age. Masa prasekolah adalah masa dimana kognitif anak mulai menunjukkan perkembangan dan anak telah mempersiapkan diri untuk memasuki sekolah (Hidayat, 2005). Pengalaman belajar yang diperlukan usia prasekolah diantaranya mengenal warna, mengerti kata sifat, mengenal huruf dan angka, berhitung sederhana, mengerti perintah sederhana, dan mengenal bentuk suatu obyek. Kemampuan lain seperti mengelompokkan, mengamati, menganggap dan membayangkan hal yang lebih abstrak juga berkembang. Kemampuan tersebut seharusnya sudah dapat dicapai oleh anak prasekolah. Dengan adanya Taman Kanak-kanak (TK), diharapkan anak prasekolah mulai mempelajari kemampuan tersebut melalui bermain. Metode bermain yang telah digunakan di TK misalnya bermain balok kayu, meronce, permainan memasangkan gambar dan warna, maze (mencari jejak) dan puzzle (Depdiknas, 2007). Evaluasi hasil penilaian rapor pada anak masih didapatkan anak yang belum mencapai tugas perkembangan kognitifnya secara optimal. Metode yang dapat menstimulasi perkembangan kognitif anak sangat bervariatif, salah satunya dengan lego tetapi pengaruh lego terhadap perkembangan kognitif disini masih perlu dijelaskan. Perkembangan kognitif anak prasekolah dapat dilihat dari kemampuan secara simbol maupun abstrak seperti berbicara, bermain, berhitung, membaca, dan lain-lain. Data yang diperoleh dari hasil penelitian yang dilakukan oleh IDAI- BKKBN pada tanggal 13 Januari-3 Februari 1996 di salah satu desa di Propinsi Bali didapatkan 3,3% dari 215 sampel mengalami penyimpangan perkembangan dari pemeriksaan Denver II. Data yang diperoleh dari hasil evaluasi raport tentang perkembangan kognitif semester 1 tahun ajaran 2007/2008 di TK Pertiwi Dharma Wanita Trenggalek menunjukkan bahwa dari 38 anak, jumlah anak yang belum dapat mengenal konsep bilangan dan menyebut bentuk-bentuk geometri dengan baik (21,4%), belum mampu mengelompokkan benda sesuai warna, bentuk, maupun ukuran (14,3%), belum mampu menggambar lingkaran dan bujursangkar (17,9%), belum dapat membuat perkiraan urutan suatu benda (28,6%). Stimulasi merupakan hal yang penting dalam tumbuh kembang anak. Anak yang mendapat stimulasi terarah dan teratur akan lebih cepat berkembang (Soetjiningsih, 1998). Menstimulasi anak prasekolah dapat dilakukan dengan bermain. Bermain secara tidak langsung akan membuat anak mengembangkan kemampuan fisik-motorik, sosial-emosional, dan kognisinya (Davida, 2004). Banyak orangtua tidak menyadari bahwa dengan bermain anak usia prasekolah dapat melatih kreatifitas, yang merupakan aspek kecerdasan. Anak yang waktu bermainnya kurang akan menyebabkan anak tidak ceria, kurang percaya diri, kurang supel, bahkan mudah takut pada teman- temannya, dan kurang kreatif (Budiman, 2006). Perkembangan anak, dan kreatifitas menurut psikolog berhubungan erat dengan perkembangan kognitif. Anak prasekolah yang kurang mendapat stimulus bermain akan menekan kreatifitas dan berpengaruh pula terhadap perkembangan kognitif (Menstimulasi Kreatifitas Anak, 2006). Masa prasekolah ini diperlukan rangsangan/stimulasi yang berguna agar potensi anak berkembang optimal. Berdasarkan pada uraian sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa anak prasekolah sebaiknya mendapatkan cukup stimulasi dengan bermain. Salah satu permainan yang dapat merangsang perkembangan kognitif anak usia prasekolah adalah lego (Nad, 2005). Lego merupakan permainan konstruktif berupa kepingan plastik yang dapat disusun dan dirangkai menjadi aneka bentuk. Anak yang terbiasa memainkan permainan bongkar pasang ini dapat memenuhi ketiga aspek perkembangan yaitu perkembangan motorik kasar, halus, dan kognitif sekaligus (Handayani, 2005). Anak prasekolah juga akan belajar untuk berpikir, berpendapat, menyelesaikan masalah, mengasah keterampilan melalui kemampuannya menyusun lego, serta membangun koordinasi mata dan tangan sehingga dapat menyiapkan anak untuk belajar membaca. Lego memiliki berbagai macam warna yang dapat membantu anak belajar membedakan bentuk dan pola-pola, serta dari bentuk-bentuk yang dibuat, anak akan belajar mengenal simetri (Davida, 2004). BAHAN DAN METODE Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah quasy experimental. Sampel dalam penelitian ini adalah seluruh populasi, yaitu murid TK A Pertiwi Dharma Wanita Trenggalek dengan usia 4-5 tahun sebanyak 18 anak. Variabel independen dalam penelitian ini adalah bermain lego. Variabel dependen dalam penelitian ini adalah perkembangan kognitif. Instrumen yang digunakan berupa lembar observasi model checklist. berisi 15 tugas tentang perkembangan kognitif anak yang meliputi kemampuan mengingat (memory), kemampuan nalar/berpikir logis (reasoning), kemampuan tilikan ruang (spatial factor), dan kemampuan mengamati dengan cermat dan cepat (perceptual speed). Data yang dikumpulkan dianalisis secara sistematik dan disajikan dalam bentuk tabulasi silang antara variabel independen dan variabel dependen. Selanjutnya, data analisa dengan uji statistik Wilcoxon Signed Rank Test untuk membandingkan perkembangan kognitif sebelum dan setelah dilakukan intervensi, kemudian dilakukan uji statistik Mann Whitney U Test untuk membandingkan perkembangan kognitif antara kelompok kontrol dengan kelompok perlakuan. HASIL Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pada kelompok perlakuan 9 anak (100%) menunjukkan perbedaan perkembangan kognitif sebelum dan sesudah intervensi. Sedangkan pada kelompok kontrol tidak terjadi perubahan (Tabel 1). Pada tabel 1 dapat dilihat bahwa bermain lego mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap perkembangan kognitif dengan hasil analisis statistik Wilcoxon Signed Rank Test didapatkan nilai signifikansi p=0,008. Hasil penelitian ini menunjukkan terdapat perbedaan perkembangan kognitif yang signifikan antara kelompok kontrol dan kelompok perlakuan pada anak usia prasekolah dengan hasil analisis statistik Mann Whitney U Test menunjukkan nilai signifikansi p=0,001. Pada kelompok perlakuan terjadi perubahan perkembangan kognitif pada pra tes (rerata 39; standar deviasi 4) menjadi (rerata 47; standar deviasi 2,345). PEMBAHASAN Hasil yang didapatkan dari penelitian ini, melalui uji Wilcoxon Signed Rank Test setelah dilakukan intervensi berupa permainan lego selama tiga minggu, menunjukkan nilai p=0,05 pada kelompok perlakuan yang berarti terjadi perbedaan perkembangan kognitif yang signifikan sebelum dan sesudah intervensi, sedangkan untuk kelompok kontrol bernilai p=0,05 yang berarti tidak ada perbedaan perkembangan kognitif sebelum dan sesudah dilakukan aktifitas selain bermain lego. Hasil uji Mann Whitney U Test menunjukkan p=0,05 yang berarti ada pengaruh bermain lego terhadap perkembangan kognitif anak usia prasekolah. Hasil ini sesuai dengan penelitian sebelumnya oleh Willy (2006), bahwa dengan bermain konstruktif lego akan membantu mengembangkan kemampuan kognitif anak. Hasil ini juga sesuai dengan teori Davida (2004) yang menyebutkan bahwa melalui permainan lego akan terjadi pengenalan terhadap konsep warna, geometri, ukuran dan tekstur benda, selanjutnya hasil pengamatan anak terhadap konsep-konsep tersebut akan tersimpan dalam benak anak sehingga anak akan mengalami proses belajar, mencoba menggali ingatan dalam benak anak yang telah didapatkan, serta belajar mengungkapkan pendapat. Kemampuan anak dalam membayangkan hal yang lebih abstrak dan imajinatif juga semakin berkembang (50 Tahun Mainan Lego Masih Tetap Jadi Favorit, 2006). Hal ini dikarenakan tahap perkembangan kognitif anak prasekolah berada pada tahap pemikiran praoperasional dimana kemampuan anak untuk berpikir lebih komplek didemonstrasikan dengan kemampuan mengklasifikasikan benda dan pengetahuan anak tentang dunia terhubung erat pada pengalaman konkret, bahkan kehidupan anak yang kaya fantasi didasarkan pada persepsi tentang realitas (Perry dan Potter, 2005). Tabel 1 Perkembangan kognitif reponden di TK Pertiwi sebelum dan setelah diberikan permainan lego. Kontrol Perlakuan Kontrol Perlakuan Pre Post Pre Post Post Post Mean 38,667 39,222 39 47 39,222 47 SD 3,905 4,295 4 2,345 4,295 2,345 Wilcoxon Signed Rank Test p=0,059 Wilcoxon Signed Rank Test p=0,008 Mann Whitney U Test p=0,001 Keterangan : p = signifikansi Sifat permainan konstruksi lego sendiri adalah aktif, dimana anak akan selalu ingin menyelesaikan tugas-tugas dalam permainan dan dapat membangun kecerdasan anak (Hidayat, 2005). Selain itu, lego merupakan permainan yang bersifat membina keterampilan dan rangsangan bagi kreatifitas anak, karena melalui eksperimentasi dalam bermain anak akan menemukan bahwa merancang sesuatu yang baru dan berbeda dapat menimbulkan kepuasan (Hurlock, 2005). Selanjutnya, kreatifitas anak akan semakin terasah dan anak lebih eksploratif dan terampil dalam memainkan lego (50 Tahun Mainan Lego Masih Tetap Jadi Favorit, 2006). Pada penelitian ini tampak variasi perubahan perkembangan kognitif pada tiap- tiap responden setelah diberikan intervensi berupa permainan lego. Hal ini mungkin disebabkan oleh beberapa faktor yang dapat mempengaruhi perkembangan, diantaranya usia anak, jenis kelamin, jumlah saudara, mainan yang tersedia, usia orang tua, serta pendidikan dan pekerjaan orang tua, sehingga hasil yang diperoleh juga berbeda pada tiap- tiap responden. Menurut Soetjiningsih (1998), faktor-faktor yang dapat mempengaruhi perkembangan anak diantaranya faktor genetik dan faktor lingkungan. Faktor lingkungan terbagi menjadi lingkungan prenatal dan postnatal. Termasuk dalam lingkungan prenatal adalah gizi pada waktu hamil, toksin, endokrin, radiasi, infeksi, stres, imunitas, sedangkan yang termasuk dalam lingkungan postnatal antara lain usia, suku, gizi, perawatan kesehatan, kepekaan terhadap penyakit, cuaca, keadaan geografis, keadaan rumah, stimulasi, motivasi belajar, kasih sayang, interaksi orang tua-anak, pekerjaan/ penghasilan orang tua, pendidikan orang tua, jumlah saudara, stabilitas rumah tangga, dan lain-lain. Pada penelitian ini responden paling banyak berjenis kelamin laki-laki dan merupakan anak pertama. Sebesar 44% responden memiliki seorang saudara di rumah. Sebanyak 28% responden memiliki hanya satu jenis mainan dan 3 jenis mainan. Usia ayah responden antara 21-30 tahun adalah 50 % dan 67% usia ibu responden adalah antara 21-30 tahun. Sebagian besar pendidikan orang tua responden adalah SMA (61%), sedangkan pekerjaan orang tua terbanyak adalah pekerja swasta (55,6%). Hurlock (2005) menyatakan bahwa pada awal masa kanak-kanak anak laki-laki cenderung lebih menunjukkan perhatian dan kemampuan menguasai berbagai jenis permainan yang lebih banyak daripada anak perempuan. Ini disebabkan perlakuan terhadap anak laki-laki yang diberikan kesempatan lebih untuk mandiri, desakan teman sebaya untuk mengambil resiko lebih dalam bermain, dan dorongan untuk menunjukkan inisiatif dan orisinalitas dalam menghasilkan suatu karya, sehingga kreatifitas anak laki-laki juga lebih baik. Jumlah saudara dalam satu rumah juga akan mempengaruhi perkembangan anak karena semakin banyak jumlah saudara yang dimiliki maka perhatian orang tua terhadap masing-masing anak akan semakin kecil. Selain itu, jumlah dan jenis alat permainan yang diberikan pada anak akan berpengaruh pula. Jika permainan yang diberikan tidak sesuai dengan usia anak atau bahkan anak hanya memiliki satu jenis mainan saja maka anak akan bosan untuk memainkannya sehingga proses perkembangannya akan terhambat. Usia, pendidikan dan pekerjaan orang tua juga berperan penting dalam proses perkembangan anak. Semakin sibuk orang tua dalam bekerja maka perhatian dan kedekatan anak dengan orang tuanya semakin kecil dibandingkan dengan orang tua yang senantiasa mempunyai cukup waktu untuk berkumpul bersama keluarga. Pada kelompok kontrol, kemampuan kognitif semua responden sebelum intervensi bernilai antara 31-45 yang berarti anak mampu mengerjakan dengan sedikit / tanpa bantuan guru. Setelah diberikan intervensi, responden 3, 4, 7, dan 9 mengalami perubahan perkembangan kognitif meskipun tidak terlalu berarti sedangkan 5 responden lainnya tidak mengalami perubahan. Dari hasil pengumpulan data, tiga dari keempat responden yang mengalami perubahan ini adalah anak laki-laki. Seorang responden adalah anak tunggal, dua responden memiliki seorang saudara, dan seorang responden memiliki dua saudara. Jumlah permainan yang dimiliki di rumah yaitu dua responden memiliki 2 jenis mainan, seorang memiliki 3 jenis mainan, seorang lainnya memiliki hanya satu jenis mainan. Rata-rata usia orang tua keempat responden antara 21-30 tahun Sri Utami dan pendidikannya adalah SMA, serta tiga diantaranya bekerja di swasta. Pada kelompok perlakuan, sebelum diberikan intervensi kemampuan kognitif semua responden bernilai antara 31-45 yang berarti sama dengan kemampuan responden kelompok kontrol. Setelah diberikan intervensi bermain lego, semua responden mengalami perubahan perkembangan kognitif. Empat dari sembilan responden (responden 2, 3, 4, 9) perubahannya cukup banyak, akan tetapi skor kognitifnya masih terbatas pada skor antara 31-45 sehingga masih dalam kategori mampu mengerjakan dengan sedikit/tanpa bantuan guru. Sedangkan responden 1, 5, 6, 7, 8 mencapai kategori mampu mengerjakan tanpa bantuan guru dan dapat melakukan tugas lebih. Hasil pengumpulan data menunjukakkan, tiga dari lima responden yang mengalami peningkatan pesat adalah anak laki-laki, sedangkan dua lainnya adalah perempuan. Jumlah saudara yang dimiliki antara lain dua saudara, seorang saudara, dan anak tunggal. Mainan yang dimiliki antara lain berjumlah 4 jenis, 2 jenis, dan 1 jenis mainan. Sebagian besar usia orang tua responden adalah antara 21-30 tahun. Beberapa orang tua berpendidikan SMA, tetapi ada pula yang berpendidikan SMP dan perguruan tinggi. Empat orang tua dari lima responden bekerja di swasta, seorang lainnya sebagai pedagang. Hal ini sesuai teori bahwa responden yang mengalami perubahan terbanyak adalah anak laki-laki, jumlah saudara yang tidak terlalu banyak, jumlah mainan sebagian responden juga cukup banyak, usia orang tua yang tergolong muda, serta pekerjaan dan pendidikan orang tua yang cukup tinggi. Responden 1, 2, dan 6 mengalami peningkatan tertinggi. Hal ini kemungkinan disebabkan tersedianya mainan yang cukup banyak di rumah, sehingga stimulasi juga didapatkan anak di rumah. Selain itu, pendidikan ketiga orang tua responden yang lebih tinggi, yaitu SMA dan perguruan tinggi. Sedangkan responden 4 mengalami peningkatan paling sedikit dan kemungkinan ini disebabkan jumlah mainan yang dimiliki hanya satu jenis dan pendidikan orang tua yang lebih rendah (SMP). Perkembangan kognitif yang meningkat terlihat pada hampir semua indikator penilaian, akan tetapi peningkatan yang lebih besar terjadi pada indikator penilaian 1 (mengelompokkan benda berdasarkan warna), 9 (mengenal sifat panjang-pendek), 10 (mengenal sifat besar- kecil), 11 (mengenal sifat tinggi-rendah), 12 (memperkirakan dan mengikuti urutan berdasarkan bentuk dan warna benda), 13 (menggambar bebas dari lingkaran dan bujur sangkar), 14 (menggambar orang secara bebas), dan 15 (menyusun/membuat konstruksi dari lego sesuai dengan imajinasi anak). Indikator-indikator tersebut di atas sesuai dengan hasil penelitian terdahulu bahwa dengan bermain konstruksi lego, kemampuan anak mengenal simbol-simbol yang sama dan tidak sama semakin meningkat, sehingga perkembangan kognitif anak semakin optimal. Hal tersebut juga mewakili dimensi karakteristik perkembangan kognitif anak prasekolah menurut Depdiknas (2007), diantaranya dapat memahami konsep berlawanan seperti tinggi-rendah, dapat memadankan bentuk geometri dengan obyek nyata atau visualisasi gambar, dapat menumpuk benda sesuai ukuran secara berurutan, dapat mengelompokkan benda yang memiliki persamaan, dan dapat menyebut pasangan benda. Peningkatan yang lebih besar pada indikator penilaian 1 dan 12 dikarenakan lego adalah balok-balok dengan berbagai macam warna sehingga kemampuan mengingat pada anak lebih baik pada konsep warna. Kemampuan pengenalan sifat-sifat pada indikator 9, 10, dan 11 dikarenakan lego adalah balok-balok dengan beberapa macam ukuran. Sedangkan pada indikator 13, 14, dan 15 peningkatan dikarenakan kemampuan imajinasi abstraksi anak lebih baik dan lego sendiri memberikan manfaat belajar art sehingga anak lebih memahami dan mengerti tentang seni dan keindahan dalam menghasilkan suatu karya. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa pada kelompok perlakuan melalui uji Wilcoxon Signed Rank Test setelah dilakukan intervensi berupa permainan lego selama tiga minggu, menunjukkan nilai p>0,05 pada kelompok perlakuan yang berarti terjadi perbedaan perkembangan kognitif yang signifikan sebelum dan sesudah intervensi, sedangkan Bermain Lego Meningkatan Perkembangan Kognitif Anak Usia Prasekolah (4-5 Tahun) untuk kelompok kontrol bernilai p>0,05 yang berarti tidak ada perbedaan perkembangan kognitif sebelum dan sesudah dilakukan aktifitas selain bermain lego. Hasil uji Mann Whitney U Test menunjukkan p<0,05 yang berarti ada pengaruh bermain lego terhadap perkembangan kognitif anak usia prasekolah. Hasil ini sesuai dengan penelitian sebelumnya oleh Willy (2006), bahwa dengan bermain konstruktif lego akan membantu mengembangkan kemampuan kognitif anak. Selain itu, hasil ini sesuai dengan teori Davida (2004) yang menyebutkan bahwa melalui permainan lego akan terjadi pengenalan terhadap konsep warna, geometri, ukuran dan tekstur benda, selanjutnya hasil pengamatan anak terhadap konsep-konsep tersebut akan tersimpan dalam benak anak sehingga anak akan mengalami proses belajar, mencoba menggali ingatan dalam benak anak yang telah didapatkan, serta belajar mengungkapkan pendapatnya. Kemampuan anak dalam membayangkan hal yang lebih abstrak dan imajinatif juga semakin berkembang (50 Tahun Mainan Lego Masih Tetap Jadi Favorit, 2006). Hal ini dikarenakan tahap perkembangan kognitif anak prasekolah berada pada tahap pemikiran praoperasional dimana kemampuan anak untuk berpikir lebih komplek didemonstrasikan dengan kemampuan mengklasifikasikan benda dan pengetahuan anak tentang dunia terhubung erat pada pengalaman konkret, bahkan kehidupan anak yang kaya fantasi didasarkan pada persepsi tentang realitas (Perry&Potter, 2005). Sifat permainan konstruksi lego sendiri adalah aktif, dimana anak akan selalu ingin menyelesaikan tugas-tugas dalam permainan dan dapat membangun kecerdasan anak (Hidayat, 2005). Lego merupakan permainan yang bersifat membina keterampilan dan rangsangan bagi kreatifitas anak, karena melalui eksperimentasi dalam bermain anak akan menemukan bahwa merancang sesuatu yang baru dan berbeda dapat menimbulkan kepuasan (Hurlock, 2005). Selanjutnya, kreatifitas anak akan semakin terasah dan anak lebih eksploratif dan terampil dalam memainkan lego (50 Tahun Mainan Lego Masih Tetap Jadi Favorit, 2006). Pada penelitian ini tampak variasi perubahan perkembangan kognitif pada tiap-tiap responden setelah diberikan intervensi berupa permainan lego. Hal ini mungkin disebabkan oleh beberapa faktor yang dapat mempengaruhi perkembangan, diantaranya usia anak, jenis kelamin, jumlah saudara, mainan yang tersedia, usia orang tua, serta pendidikan dan pekerjaan orang tua, sehingga hasil yang diperoleh juga berbeda pada tiap- tiap responden. Soetjiningsih (1998) menyatakan bahwa faktor-faktor yang dapat mempengaruhi perkembangan anak diantaranya faktor genetik dan faktor lingkungan. Faktor lingkungan terbagi menjadi lingkungan prenatal dan postnatal. Yang termasuk dalam lingkungan prenatal adalah gizi pada waktu hamil, toksin, endokrin, radiasi, infeksi, stres, imunitas. Sedangkan yang termasuk dalam lingkungan postnatal antara lain usia, suku, gizi, perawatan kesehatan, kepekaan terhadap penyakit, cuaca, keadaan geografis, keadaan rumah, stimulasi, motivasi belajar, kasih sayang, interaksi orang tua-anak, pekerjaan / penghasilan orang tua, pendidikan orang tua, jumlah saudara, stabilitas rumah tangga, dan lain-lain. Pada penelitian ini, paling banyak responden berjenis kelamin laki-laki (56%), sebagian besar responden (67%) merupakan anak pertama. Jumlah saudara responden sebesar 44% responden memiliki seorang saudara di rumah dan sebanyak 28% responden memiliki hanya satu jenis mainan dan 3 jenis mainan. Lima puluh persen usia ayah responden adalah antara 21-30 tahun dan 67% usia ibu responden adalah antara 21-30 tahun. Sebagian besar pendidikan orang tua responden adalah SMA (61%), sedangkan pekerjaan orang tua terbanyak adalah pekerja swasta (55,6%). SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Perkembangan kognitif anak prasekolah mengalami peningkatan yang lebih baik setelah diberikan permainan lego. Dimana sebelum dilakukan permainan lego, kemampuan anak adalah mampu mengerjakan dengan sedikit atau tanpa bantuan guru dan setelah dilakukan permainan lego, kemampuan anak adalah mampu mengerjakan tanpa bantuan sama sekali dan dapat melakukan tugas lebih. Bermain lego mempengaruhi perkembangan kognitif anak prasekolah (4-5 tahun) dalam hal kemampuan tilikan ruang, berpikir logis, mengingat, dan mengamati dengan cepat dan cermat. Saran Peneliti menyarankan supaya para orang tua dan perawat diharapkan dapat menggunakan permainan lego sebagai alternatif alat permainan untuk menunjang perkembangan anak, khususnya perkembangan kognitif usia prasekolah, Bagi institusi pendidikan prasekolah diharapkan dapat menyediakan permainan lego sebagai variasi jenis permainan di Taman Kanak- kanak dan dapat dimasukkan ke dalam kurikulum pendidikan Taman Kanak-kanak. KEPUSTAKAAN Budiman, A. 2006. Bermain? Hmm, Bukan Main…!, (Online), (http://www.ummigroup.co.id., diakses tanggal 6 Maret 2008, jam 15.30 WIB). Davida. 2004a. Bermain Sambil Belajar, (Online), (http://www.sabda.org., diakses tanggal 8 April 2008, jam 11.00 WIB). Davida. 2004b. Permainan Yang Mengasah Ketrampilan, (Online), (http://www.sabda.org., diakses tanggal 8 April 2008, jam 11.05 WIB). Departemen Pendidikan Nasional. 2007. Pedoman Pembelajaran Bidang Pengembangan Kognitif di Taman Kanak-kanak. Jakarta, hlm. 3-9. Handayani, F. 2005. Mainan Dan Permainan Berdasarkan Perkembangan Usia, (Online), (http://www.tabloid- nakita.com., diakses tanggal 8 April 2008, jam 10.53 WIB). Hidayat, A.A. 2005. Pengantar Ilmu Keperawatan Anak 1. Jakarta: Salemba Medika, hlm. 59 Hurlock, E.B. 2005. Perkembangan Anak Jilid 1. Jakarta: Erlangga Nad. 2005. Mainan Yang Mencerdaskan, (Online), (http://info.balitacerdas.com., diakses tanggal 6 Maret 2008, jam 15.43 WIB). Perry dan Potter. 2005. Fundamental Keperawatan. Jakarta: EGC, hlm. 639, 664-665. Soetjiningsih, DSAK. 1998. Tumbuh Kembang Anak. Jakarta: EGC, hlm. 2-11, 106-111 Willy, D. dkk. 2006. Pengembangan Piranti Permainan Alternatif Bagi Pendidikan Anak Dini Usia (PADU), (Online), (http://willydeni.wordpress.com., diakses tanggal 8 Mei 2008, jam 12.46 WIB). http://www.ummigroup.co.id/ http://www.sabda.org/ http://www.sabda.org/ http://www.tabloid-nakita.com/ http://www.tabloid-nakita.com/ http://info.balitacerdas.com/ http://willydeni.wordpress.com/