Pengaruh Pernafasan active cycle of breathing terhadap peningkatan aliran ekspirasi maksimum pada penderita tuberkulosis paru TERAPI KOGNITIF MENURUNKAN TINGKAT DEPRESI LANSIA (Cognitive Therapy Decrease the Level of Depression) Ahmad Yusuf*, Hanik Endang Nihayati*, Zaenal Abidin** * Fakultas Keperawatan Universitas Airlangga Kampus C Mulyorejo Surabaya. Telp/Fax: (031) 5913257. E-mail: yusuf@fk.unair.ac.id ** Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Bhakti Mulia Pare Kediri ABSTRACT Introduction: Aging is a natural process in individuals. Most of the elderly have problems in dealing with this natural process. Lost of occupation, friends and loneliness may result in depression in this age group. Cognitive therapy changes pessimistic idea, unrealistic hopes and excessive self evaluation may result and justify depression. Cognitive therapy may help elderly to recognize the problem in life, to develop positive objective of life and to create more positive personality. The aimed of this study was to analyze the effect of cognitive therapy to reduce the level of depression. Method: This study was used a pre experimental pre post test design. Sample were 10 elderly people who met to the inclusion criteria. The independent variable was cognitive therapy and dependent variable was the level of depression in elderly. Data were collected by using Geriatric Depression Scale (GDS) 15, then analyzed by using Wilcoxon Signed Rank Test with significance levelα≤0.05. Result: The result showed that cognitive therapy has an effect on reducing depression with significance level p=0.005. Discussion: It can be concluded that cognitive therapy was effective in reducing depression level in elderly. Further studies are recommended to analyze the effect of cognitive therapy on decreasing anxiety in elderly by measuring cathecolamin. Keywords: cognitive therapy, depression, elderly PENDAHULUAN Lanjut usia (lansia) sebagai tahap akhir dari siklus kehidupan manusia, sering diwarnai dengan kondisi yang tidak sesuai dengan harapan. Banyak faktor yang menyebabkan seorang lansia mengalami gangguan mental seperti depresi. Lansia merupakan masa dimana semua orang berharap akan menjalani hidup dengan tenang, damai, serta menikmati masa pensiun bersama anak dan cucu tercinta dengan penuh kasih sayang. Pada kenyataannya tidak semua lansia mendapatkan sesuai dengan yang diinginkan (Syamsuddin, 2006). Depresi dapat terjadi karena lansia banyak mendapat stressor. Pada lansia, gangguan depresif merupakan suasana alam perasaan utama bagi lansia dengan penyakit fisik kronik dan kerusakan fungsi kognitif yang disebabkan oleh adanya penderitaan, disabilitas, perhatian keluarga yang kurang serta penyakit fisik yang bertambah buruk. Adanya musibah psikososial seperti kemiskinan, isolasi sosial dan lain-lain akan meningkatkan kerentanan untuk mengalami depresi atau untuk mencetuskan kondisi depresi pada lansia yang rentan akan hal tersebut (Bongsoe, 2007). Beberapa stressor akan semakin kompleks saat lansia tinggal di suatu panti werdha sebagai tempat penampungan, pembuangan dan tempat menanti kematian (Oswari, 1997). Berbagai stressor ini membuat lansia mengalami depresi. Depresi ditandai dengan pandangan negatif pada diri sendiri, lingkungan dan masa depan (Beck, 1976 dalam Blackburn, 1990). Pandangan-pandangan negatif ini disebut distorsi kognitif. Sebagai salah satu upaya untuk mengurangi dan menghentikan pikiran negatif ini dengan menggunakan terapi kognitif (Nancy, 2007). Lansia diharapkan dapat mengalami penurunan tingkat depresi melalui terapi kognitif. Namun, pengaruh terapi kognitif terhadap Ah. Yusuf penurunan tingkat depresi belum dapat dijelaskan. Prevalensi lanjut usia (lansia) semakin lama semakin meningkat. Demikian pula dengan angka harapan hidup. Jumlah penduduk lansia pada tahun 2006 sebesar kurang lebih 19 juta, usia harapan hidup 66,2 tahun, pada tahun 2010 diperkirakan sebesar 23,9 juta (9,77%), usia harapan hidupnya 67,4 tahun dan pada tahun 2020 diperkirakan sebesar 28,8 juta (11,34%), dengan usia harapan hidup 71,1 tahun. Data prevalensi untuk gangguan mental lansia bervariasi secara luas. Depresi adalah masalah psikiatrik yang paling sering terjadi pada lansia, menyerang paling sedikit 1 dari 6 klien yang diobati pada praktik medik umum dan menunjukkan persentase yang lebih tinggi di rumah sakit dan panti jompo. Menurut WHO (2006) menyebutkan bahwa terdapat 121 juta penderita depresi dengan perbandingan 5,8% laki-laki dan 9,5% perempuan mengalami episode depresi dalam kehidupan mereka. Di panti tresna werdha Pare terdapat 10 lansia dengan depresi. Depresi lansia telah menjadi masalah kesehatan utama dan dihubungkan dengan kematian dan kejadian bunuh diri (Jones, 2002). Penderita depresi cenderung memiliki penilaian dan pandangan yang negatif terhadap diri, lingkungan dan masa depan. Pemikiran (pandangan) negatif ini mempengaruhi lansia untuk berperilaku negatif. Secara global 50% dari penderita depresi berpikiran untuk bunuh diri, tetapi hanya 15% mengakhiri hidupnya. Depresi berat juga dapat menimbulkan berbagai penyakit fisik, seperti gangguan pencernaan (gastritis), asma, gangguan pada pembuluh darah (kardiovaskular), serta menurunkan produktivitas. Sejak depresi sering didiagnosis, WHO memperkirakan depresi akan menjadi penyebab utama masalah penyakit dunia pada tahun 2020 (Gsianturi, 2006). Banyak bukti yang mendukung efektivitas dari terapi kognitif dalam menangani depresi mayor dan mengurangi risiko episode kekambuhan (De Rubeis et al., 1999; 2001; Jareth et a.l, 2001; Leichsenring, 2001). Keuntungan yang dicapai dari terapi kognitif paling tidak sama dengan yang dicapai dari pengobatan antidepresan dalam hal menangani depresi (De Rubeis, et a.l, 1999, 2001; Jareth, et al., 1999). The National Institute of Mental Health Treatment of Depression (2006) dengan program penelitian membandingkan efektivitas 2 bentuk psikoterapi (contohnya terapi interpersonal dan CBT) dengan inipramin (sofranil) atau placebo pada terapi 250 klien dengan gangguan depresi mayor. Studi ini menemukan tidak ada perbedaan signifikan antara kedua terapi. Pada studi lain 169 klien dengan depresi mayor menunjukkan hasil sama antara antidepresan trisiklik dan CBT. Fakta ini menunjukkan bahwa terapi kognitif adalah antidepresan alternatif untuk klien depresi ringan sampai sedang dan mungkin depresi yang lebih berat. David et al. (2008) membandingkan keampuhan REBT (Rational Emotive Behavior Therapy), cognitive therapy dan farmakoterapi pada pengobatan 170 klien dengan non psikotik gangguan depresi mayor. Klien secara acak diberi 14 minggu REBT, 14 minggu CT atau 14 minggu farmakoterapi (flukoxentin). Hasilnya diukur dengan Hamilton Rating Scale for Depression and Beck Depression Inventory. Tidak ada perbedaan di antara perlakuan pada hasil post test. De Rubeis et al (2002) menyatakan bahwa terapi kognitif efektif untuk menangani depresi berat dalam jangka panjang dan biayanya lebih murah dibandingkan obat antidepresan. Banyaknya masalah yang ditimbulkan oleh terjadinya depresi pada lansia membuat kita semakin peka untuk terus mencari terapi yang cocok untuk mengatasinya. Bukti klinis menunjukkan bahwa psikoterapi bermanfaat untuk mengatasi depresi (Buschman, 1995 dikutip oleh Jones, 2002). Psikoterapi yang dapat dilakukan dapat berupa terapi suportif atau kombinasi terapi kognitif dan terapi behavioral (Marpaung, 2003). Ada dugaan bahwa penderita depresi adalah orang yang “belajar menjadi tak berdaya”. Depresi diterapi dengan memberikan klien latihan ketrampilan dan memberikan berbagai pengalaman tentang kesuksesan. Terapi kognitif bertujuan untuk menghilangkan gejala depresi melalui usaha yang sistematis yaitu mengubah cara pikir maladaptif dan otomatik pada klien depresi. Dasar pendekatan yang digunakan adalah suatu Terapi kognitif menurunkan tingkat depresi lansia asumsi bahwa kepercayaan yang mengalami distorsi tentang diri sendiri, dunia dan masa depan dapat menyebabkan depresi. Klien harus menyadari cara berpikirnya yang salah, kemudian ia harus belajar cara merespons cara pikir yang salah tersebut dengan cara yang lebih adaptif. Dari perspektif kognitif, klien dilatih untuk mengenal dan menghilangkan berbagai pikiran dan harapan negatif. Terapi kognitif mempengaruhi korteks serebri yang memiliki dimensi kognisi dan emosi. Terapi kognitif membantu klien mengenali pikiran negatif yang muncul, sehingga hal ini akan membuat persepsi yang positif. Persepsi yang positif akan mempengaruhi koping yang positif. Koping yang positif akan membuat dimensi kognitif menjadi positif (kognisi yang baik) dan peningkatan ini akan menyebabkan penurunan tingkat depresi. Terapi kognitif diharapkan dapat menambah jenis terapi dalam penanganan depresi pada lansia dengan merubah pikiran negatif tentang diri, lingkungan serta masa depan menjadi berbagai pikiran yang positif dan realistis sehingga perilaku lansia menjadi positif. Tujuan penelitian ini adalah untuk menjelaskan pengaruh terapi kognitif terhadap penurunan tingkat depresi pada lansia. BAHAN DAN METODE Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah pre experimental pre-post test purposive sampling design. Populasi pada penelitian ini adalah lansia di Unit Pelayanan Sosial Tresna Werdha (UPSTW) Pare. Sampel diambil sesuai dengan kriteria inklusi dan diperoleh 10 responden yang sesuai dengan kriteria inklusi. Penelitian ini dilakukan selama bulan Juni sampai dengan Juli 2008. Variabel independen adalah terapi kognitif, sedangkan variabel dependen adalah tingkat depresi. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner Geriatric Depression Scale (GDS) yang berisi 15 butir pertanyaan untuk menilai tingkat depresi lansia (Yessage et al) dan kuesioner dimensi kognitif Blackburn (1990) yang telah dimodifikasi sesuai masalah psikologis lansia dengan menggunakan skala likert. Data yang diperoleh, dianalisis dengan menggunakan uji statistik Analisis dengan uji Wilcoxon Signed Rank Test dengan derajat kemaknaan ≤0,05. HASIL Pada tabel 1 dapat dilihat bahwa tampak perbedaan tingkat depresi sebelum dan sesudah diberikan terapi kognitif dengan hasil analisis statistik Wilcoxon Signed Rank Test p=0,005. Terdapat perbedaan antara sebelum dan sesudah diberikan terapi kognitif (lihat gambar 1). Pada gambar 2 dapat dilihat bahwa 90% responden menunjukkan dimensi kognitif negatif (kognisi yang buruk) sebelum terapi kognitif dan 90% memiliki dimensi kognitif positif (kognisi yang baik) setelah diberikan terapi kognitif. Tabel 1. Tingkat depresi dan dimensi kognitif lansia sebelum dan sesudah terapi kognitif. Tingkat Depresi Dimensi Kognitif Pre Post Pre Post Mean 10,60 4,90 33,10 62,70 SD 1,260 2,469 0,737 2,452 Hasil Analisis Statistik Wilcoxon Signed Rank Test (p= 0,005) Wilcoxon Signed Rank Test (p=0,004) Keterangan: p = Derajat kemaknaan SD = Standar Deviasi Mean = Rerata Tingkatan Depresi 70% 30% Depresi Kemungkinan depresi Tingkatan depresi 10% 30% 60% Depresi Kemungkinan depresi Tidak depresi Dimensi kognitif 10% 90% Positif negatif Dimensi kognitif 90% 10% Positif Negatif Gambar 1. Tingkat depresi sebelum dan sesudah diberikan terapi kognitif di PSTW Pare Kediri bulan Juni 2008. Gambar 2. Dimensi kognitif sebelum dan sesudah terapi kognitif di PSTW Pare Kediri bulan Juni 2008 PEMBAHASAN Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa terapi kognitif berpengaruh terhadap penurunan tingkat depresi pada lansia. Terapi kognitif terbukti mampu merubah pikiran negatif menjadi pikiran yang positif. Gangguan depresi pada lansia disebabkan karena lansia cukup banyak mengalami berbagai peristiwa kehidupan yang tidak menyenangkan atau yang cukup berat sehingga terjadinya gangguan depresi sebagai respons perilaku terhadap berbagai stressor kehidupan yang dialami (Bongsoe, 2007). Banyak lansia dihadapkan pada situasi yang penuh stres seperti kematian teman atau keluarga, penurunan kesehatan dan kemampuan fisik, kesepian serta sulit membangun hubungan pertemanan baru. Keadaan ini mempengaruhi lansia secara mental (Stuart dan Sundeen, 1995). Orang depresi cenderung berfokus pada bagaimana perasaan mereka dan bukan pada pikiran yang mungkin mendasari kondisi perasaan mereka, artinya mereka biasanya memberikan lebih banyak perhatian pada bagaimana buruk perasaan mereka dibandingkan pada pikiran yang kemungkinan memicu dan mempertahankan mood yang terdepresi (Nevid, et al., 2005). Fungsi kognitif dan psikomotor pada lansia mengalami penurunan. Perubahan fisik pada lansia pun dapat menyebabkan perubahan pada kondisi jiwa. Lansia berpikir bahwa dirinya tidak dapat mengerjakan berbagai aktifitas sebaik pada saat muda dulu yang disebabkan adanya berbagai perubahan fisik pada lansia. Sikap sosial yang tidak menyenangkan yang beranggapan bahwa lansia sering dianggap tidak berguna lagi. Hal tersebut membuat lansia tidak semangat dalam mengerjakan apapun. Kehilangan pekerjaan yang pernah ditekuni, berada di panti, tidak punya keluarga atau sanak saudara karena hidup membujang, atau punya pasangan hidup namun tidak punya anak dan pasangannya sudah meninggal juga membuat lansia berpikir bahwa mereka adalah orang yang gagal dan tidak lagi berguna seperti dulu. Ah. Yusuf Kaum lansia sering dianggap tidak berdaya, sakit-sakitan, tidak produktif dan sebagainya. Tak jarang mereka diperlakukan sebagai beban keluarga, masyarakat, hingga negara. Lansia sering tidak disukai dan dikucilkan. Panti werdha merupakan salah satu tempat yang dipilih (bahkan oleh keluarga) sebagai tempat tinggal. Kesepian, merasa terbuang dan bosan dengan hidupnya sering dialami oleh lansia yang tinggal di panti. Kondisi ini yang kemudian akan menyebabkan lansia menarik diri dari lingkungan sosial dan merasa semakin tidak berguna, kehilangan harga diri bahkan menjadi semakin depresi. Seseorang yang depresi memiliki kecenderungan untuk membesar-besarkan masalah. Kekecewaan kecil dan kegagalan pribadi dibesar-besarkan melampaui proporsinya, bahkan dapat menjadi ancaman yang merusak. Pada banyak kasus, depresi adalah hasil dari kebiasaan berpikir negatif baik terhadap diri, lingkungan dan masa depan. Ketika hal buruk terjadi, seseorang mulai mengikuti apa yang dia pikirkan dan pikiran negatif inilah yang menjadikan seseorang depresi. Orang yang depresi cenderung memegang pandangan yang lebih pesimistis akan masa depan serta lebih kritis terhadap dirinya sendiri dan orang lain (Glara et al, 1993). Depresi seseorang dapat diatasi dengan menghentikan berbagai pikiran negatif dan menggantinya dengan pikiran positif. Terapi kognitif akan membantu orang yang mengalami depresi mengenali masalah kehidupan yang buruk dan juga membantu untuk mengembangkan tujuan hidup yang positif dan mengkaji kepribadian yang lebih positif (Donald, 2003). Terapi kognitif yang diberikan diharapkan dapat membantu lansia mengenali pikiran negatif yang muncul, sehingga hal ini akan membuat persepsi positif. Persepsi positif akan mempengaruhi koping yang positif. Koping yang positif akan membuat dimensi kognitif menjadi positif (kognisi baik) dan ini akan menyebabkan penurunan tingkat depresi. Terapi kognitif bertujuan membantu klien mengenali dan mengkaji kembali pola kognitif negatif ini dan menggantinya dengan pola kognitif yang positif sehingga terjadi penurunan tingkat depresi (Nancy, 2007). Terapi kognitif merubah pemikiran pesimis, harapan yang tidak realistik dan evaluasi diri yang mencela yang membuat depresi. Melalui kegiatan terapi kognitif lansia dapat mengungkapkan hal yang positif melalui tulisan sehingga dapat meningkatkan kepercayaan diri dan harga diri lansia. Hal ini akan merubah pandangan terhadap diri, lingkungan dan masa depan ke arah positif. Terapi kognitif membuat asumsi bahwa pikiran yang mendahului mood dan kepercayaan diri yang salah menuntun emosi yang negatif. Klien depresi menunjukkan penyimpangan dalam pengetahuan, proses kognitif dan hasil kognitif. Pengetahuan dibentuk dari keyakinan pendapat tentang diri kita, orang lain dan dunia. Pengetahuan ini akan menentukan proses jalan pintas dan berbagai kesalahan dalam cara berpikir kita yang pada akhirnya menentukan isi dan hasil kognitif. Aspek berpikir ini diharapkan dapat membantu untuk memahami mengapa dan bagaimana orang yang mengalami depresi (Beck dalam Blackburn, 1990). Tingkat depresi pada penelitian ini menunjukkan perubahan setelah dilakukan terapi kognitif demikian pula dengan dimensi kognitif. Terlihat perbedaan antara sebelum dan sesudah diberikan terapi kognitif. Pada lansia, gangguan depresi disebabkan karena kerusakan fungsi kognitif yang disebabkan oleh adanya penderitaan, disabilitas, perhatian keluarga yang kurang serta bertambah buruknya penyakit fisik yang banyak dialaminya. Gangguan depresif merupakan suasana alam perasaan yang utama bagi lansia (Bongsoe, 2007). Menurut teori aktivitas, peran yang disandang oleh lansia adalah sumber kepuasan yang besar; semakin besar mereka kehilangan peran setelah masa pensiun, menjanda, jauh dari anak-anak, atau infirmitas, maka semakin merasa tidak puaslah mereka. Hubungan antara berpikir negatif dan depresi bergantung pada keseimbangan antara pikiran positif dan negatif bukan hanya pada keberadaan dari pikiran negatif saja. Orang yang berfungsi baik secara psikologis mengalami baik pikiran positif dan negatif sekaligus, namun pikiran positif muncul satu setengah hingga dua kali lebih sering sering dari pada pikiran negatif (Brunch, 1997; Lightsey, 1994a, 1994b). Ah. Yusuf Kognisi mempengaruhi aliran kesadaran mereka yang mencerminkan tentang diri mereka sendiri, dunia mereka, masa lalu serta masa depan mereka. Klien depresi memiliki dimensi kognitif yang negatif berkaitan dengan pandangan terhadap diri, lingkungan serta masa depan. Proses kognitif mengacu pada aturan yang berlaku bagi stimulus dalam memproses informasi. Teori kognitif meyakini bahwa orang depresi mengadopsi cara berpikir yang negatif. Keyakinan ini akan membuat mereka menjadi lebih sensitif dalam kehidupan selanjutnya sehingga mengintepretasikan kegagalan atau kekecewaan apapun sebagai refleksi dari sesuatu yang pada dasarnya salah atau tidak adekuat mengenai diri mereka sendiri (Beck, 1976; Beck et al., 1979). Terapis kognitif berfokus untuk membantu klien mengidentifikasi dan memperbaiki berbagai keyakinan maladaptif, berpikir otomatis dan sikap self-defeating yang menghasilkan atau menambah masalah emosional. Mereka percaya bahwa emosi negatif seperti kecemasan dan depresi disebabkan oleh interpretasi kita terhadap peristiwa yang mengganggu, bukan pada peristiwa itu sendiri (Nevid et al., 2005). SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Terapi kognitif mempunyai pengaruh terhadap tingkat depresi pada lansia dengan memberikan stimulus berupa merubah pemikiran lansia yang negatif terhadap permasalahan yang mereka hadapi dengan merubah kognisi lansia yang negatif (buruk) terhadap diri, lingkungan serta masa depan mereka sehingga menjadi kognisi yang positif (baik). Hal tersebut dibuktikan dengan adanya perubahan tingkat depresi dan dimensi kognitif lansia ke arah yang lebih baik setelah diberikan terapi kognitif. Saran Peneliti menyarankan supaya lansia disarankan untuk tetap menerapkan terapi kognitif secara rutin, terapi kognitif diharapkan dapat terus diterapkan di Panti Werdha Pare Kediri dapat diteruskan dengan memfasilitasi lansia untuk selalu mendengarkan permasalahan lansia dipanti dan mengenali pikiran-pikiran negatif lansia yang muncul sehingga lansia tidak akan mengalami depresi, terapi kognitif menjadi salah satu tindakan keperawatan dalam mencegah atau menurunkan tingkat depresi lansia, serta diharapkan penelitian lebih lanjut dapat dilakukan tentang pengaruh terapi kognitif terhadap kecemasan pada lansia dengan mengukur katekolamin. KEPUSTAKAAN Beck, J. S. 2008. Questions and answers about cognitive therapy, Diakses tanggal 5 Mei 2008, Jam 11.00 WIB. Blackburn, I.M dan Davidson, K. 1990. Terapi kognitif untuk depresi dan kecemasan. Terjemahan oleh Rusdakotosutadi 1990, Semarang: IKIP Semarang, hlm. 23-33. Bongsoe, S. 2007. Pengenalan gangguan depresif pada orang usia lanjut, Diakses tanggal 4 Mei 2008, Jam 11.30 WIB. David, D., et al. 2008. Rational Emotive Behavior Therapy, Cognitive Therapy, and Medication in the Treatment of Major Depressive Disorder. A Randomized Clinical Trial, Post Treatment Outcomes, and Six month Follow Up, Journal of Clinical Psycology, 64(6), hlm. 728-733. Donald, J.F. 2003. Cognitive therapy for depression, (Online), (http://www.psychologyinfo.com., diakses tanggal 20 Mei 2008, jam 11.30 WIB). Gallo, J.J. 1998. Buku Saku Gerontology. Alih bahasa oleh James Veldman, 1998. Jakarta: EGC, hlm. 80-97. Gsianturi. 2006. Depresi, Pintu Masuk Berbagai Penyakit, (Online), (http://www.suarapembaharuan.comdi akses tanggal 4 Mei 2008, jam 12.00 WIB). Marpaung, V. 2003. Depresi pada penderita epilepsy umum dengan kejang klonik tonik dan epilepsy parsial sederhana, (Online), (http://www.library.usu.ac.id., diakses tanggal 5 Mei 2008, jam 11.00 WIB). http://www.psychologyinfo.com/ http://www.suarapembaharuan.com/ http://www.library.usu.ac.id/ Nevid, J.S., et al. 2005. Psikologi Abnormal. Terjemahan oleh Murad, J. dkk. Jakarta: Erlangga. Stuart and Sundeen. 1995. Principles and practice of psychiatric nursing fifth edition, Missouri: Mosby Inc., pp. 751- 753. Syamsuddin. 2006. Depresi pada lansia, (Online), (http://www.depsos.go.id., diakses tanggal 5 Mei 2008, Jam 10.00 WIB). http://www.depsos.go.id/