HUBUNGAN FAKTOR RISIKO ASMA DAN PERILAKU PENCEGAHAN 9 FAKTOR RISIKO ASMA DAN PERILAKU PENCEGAHAN BERHUBUNGAN DENGAN TINGKAT KONTROL PENYAKIT ASMA (Asthma Risk Factors and Prevention Behaviour Relate to Asthma Level of Control) Nursalam*, Laily Hidayati*, Ni Putu Wulan Purnama Sari* ABSTRACT Introduction : Asthma’s symptoms are commonly persistent in each asthmatic client, but they could be controlled. This control directly refers to asthma level of control. It could be affected by asthma risk factors and preventive behavior to exposures, but the correlation between them is still unclear because the development of asthma is not fully understood and very complex. The objective of this study was to explain the correlation between asthma risk factors and preventive behavior to exposures to asthma level of control. Method : This study used cross-sectional design and involved 41 respondents which are taken by simple random sampling. Data were collected using questionnaires and then analyzed by using Spearman Rho correlation with level of significance ≤0.05. Result : Result showed that asthma risk factors had correlation with asthma level of control (p=0,032), but preventive behavior to exposures had no correlation with asthma level of control (p=0,095). Analysis : It can be concluded that asthma level of control has correlation with asthma risk factors. Preventive behavior has no correlation with asthma level of control could be caused by the differences between the respondents preventive behavior and the recommended one. Discussion : It indicates possible errors or unsuitability in preventive behavior to asthma risk factor exposures. However, preventive behavior to asthma risk factors exposures is still necessary in order to decrease asthma symptoms. Keywords: asthma risk factors, preventive behavior, asthma level of control. *Fakultas Keperawatan Universitas Airlangga Kampus C Mulyorejo Surabaya. Telp/Fax: (031) 5913257, E-mail: nursalam_psik@yahoo.com PENDAHULUAN Asma merupakan penyakit paru obstruktif kronis yang sering diderita oleh anak-anak, orang dewasa, maupun para lanjut usia. Penyakit ini memiliki karakteristik serangan periodik yang stabil (Sykes, et al, 2008). Terapi farmakologis yang ada selama ini efektif untuk mengatasi serangan asma, namun kurang efektif untuk mengontrol perkembangan asma. Hal ini dibuktikan dengan jumlah penderita asma yang semakin meningkat dewasa ini, di saat kemajuan dalam bidang pengobatan asma telah dicapai (Arief, 2009). Asma tidak bisa disembuhkan, namun manifestasi klinis dari asma bisa dikendalikan (GINA, 2008). Mengingat terapi farmakologis tidak dirancang untuk menyembuhkan asma, maka perilaku pencegahan terhadap paparan faktor risiko asma lebih diutamakan dari pengobatan. Intervensi awal untuk menghentikan atau mengurangi paparan terhadap faktor risiko asma yang menyebabkan hipereaktivitas saluran nafas dapat membantu meningkatkan kontrol penderita terhadap penyakit asma (GINA, 2008). Hubungan antara faktor risiko asma dan perilaku pencegahan tentang paparan dengan tingkat kontrol penyakit pada penderita asma masih belum jelas, mengingat perkembangan penyakit ini sangat kompleks dan belum sepenuhnya dimengerti. World Health Report di tahun 2000 menunjukkan asma menduduki peringkat ke-5 sebagai penyakit paru utama yang menyebabkan kematian di dunia. Saat itu penderita asma di dunia mencapai 100-150 juta orang, dan terus bertambah sekitar 180 ribu orang pertahun (WHO, 2000). Jumlah terkini di tahun 2008 mencapai 300 juta orang (GINA, 2008). Asma mencapai perkembangan hingga dua kali lipat dari jumlah awal dalam 8 tahun terakhir. Prevalensi asma di Indonesia sendiri berkisar antara 5-7% (Suyono, 2001). Asma juga terbukti menurunkan kualitas hidup penderita. Riset terhadap 3207 kasus asma menunjukkan 44-51% penderita mengalami batuk malam dalam sebulan terakhir, bahkan Jurnal Ners Vol.4 No.1 April 2009: 9-18 10 28,3% penderita mengaku mengalami gangguan tidur paling tidak sekali dalam seminggu. Penderita yang mengaku mengalami keterbatasan dalam berekreasi atau berolahraga sebanyak 52,7%, aktivitas sosial 38%, aktivitas fisik 44,1%, cara hidup 37,1%, pemilihan karier 37,9%, dan pekerjaan rumah tangga 32,6%. Absen dari sekolah maupun pekerjaan dalam setahun terakhir dialami oleh 36,5% anak dan 26,5% orang dewasa (Journal of Allergy and Clinical Immunology, 2003 ; dikutip oleh Arief, 2009). Faktor risiko asma dapat dibagi menjadi 3 domain besar, yaitu alergen, iritan, dan hal-hal lain yang tidak tergolong dalam alergen maupun iritan (State of the Region’s Health, 2002). Faktor risiko asma yang mempengaruhi perkembangan dan ekspresi asma terdiri dari faktor internal (host factor) dan faktor eksternal (environmental factor). Faktor internal terdiri dari genetik, obesitas, jenis kelamin, usia, aktivitas fisik, dan ekspresi emosi yang kuat atau berlebihan. Sedangkan faktor eksternal meliputi occupational irritant, infeksi virus di saluran nafas, alergen, asap rokok, polusi udara, obat-obatan, dan perubahan suhu terkait perubahan musim atau kondisi geografis lainnya (Suyono, 2001 ; GINA, 2008). Faktor eksternal menjadi berperan dominan sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Banyak penelitian telah membuktikan hal ini. Riset di Kanada menunjukkan bahwa infeksi virus, olahraga, asap rokok, debu, dan serbuk sari bunga menempati lima peringkat teratas sebagai penyebab asma terbanyak di semua golongan usia (State of Region’s Health, 2002). Di lingkungan kerja, dimana asma meliputi asma kerja (occupational asthma) dan asma diperberat di tempat kerja (work-aggravated asthma), occupational irritant yang paling sering menginduksi asma tersebut adalah isosianat (dari cat semprot) sehingga disebut isocyanate-induced asthma (Wahyuningsih, et al, 2003). Selain itu, riset di London menunjukkan bahwa berjalan selama 2 jam di sepanjang jalan yang padat kendaraan bermesin diesel mempengaruhi efek fungsional dan reaksi inflamasi pada orang dewasa dengan asma (Kaufman, 2007). Di wilayah kerja Puskesmas Selat Kabupaten Karangasem Bali, asma termasuk dalam 5 besar penyakit dengan angka kunjungan tertinggi di awal tahun 2009. Penduduk setempat melaporkan bahwa faktor yang paling sering menginduksi asma adalah polusi udara terkait daerah pertambangan dan perubahan suhu terkait kondisi geografis wilayah yang ada di daerah dataran tinggi. Peningkatan intensitas paparan faktor risiko asma akan menyebabkan ekspresi asma lebih sering muncul. Hal ini menunjukkan kontrol penderita yang rendah terhadap penyakit asma, dan secara tidak langsung menunjukkan kegagalan terapi asma, sehingga perlu peninjauan kembali. Perilaku pencegahan terhadap paparan faktor risiko asma yang dilakukan terus-menerus, seperti memakai alat pelindung diri saat bekerja, akan sangat membantu penderita asma untuk meningkatkan kontrol terhadap penyakit asma. Semakin baik kontrol penderita terhadap asma, terapi farmakologis dapat diminimalkan sehingga sangat berguna dalam menghindari efek samping obat-obat anti asma. Hubungan antara faktor risiko asma dan perilaku pencegahan tentang paparan dengan tingkat kontrol penyakit pada penderita asma perlu diteliti lebih lanjut. Dengan ini diharapkan tingkat kontrol penyakit yang maksimal atau controlled asthma semakin mudah dicapai oleh penderita asma, sehingga kualitas hidup para penderita asma akan meningkat. BAHAN DAN METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan cross- sectional design dan simple random sampling. Besar populasi 54 orang penderita asma di wilayah kerja Puskesmas Selat berdasarkan laporan bulan April 2009. Sampel yang memenuhi kiteria inklusi dan eksklusi sebanyak 41 orang. Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 17-22 Juni 2009. Variabel independen dalam penelitian ini adalah faktor risiko asma dan perilaku pencegahan tentang paparan, sedangkan variabel dependen adalah tingkat kontrol penyakit pada penderita asma. Instrumen pengumpulan kedua jenis variabel tersebut adalah kuesioner. Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan uji statistik korelasi Spearman Rho dengan tingkat signifikansi α≤0,05. HASIL PENELITIAN Faktor Resiko Asma dan Perilaku Pencegahan (Nursalam) 11 Hasil uji statistik dengan korelasi Spearman Rho menunjukkan ada hubungan antara faktor resiko asma dengan tingkat kontrol penyakit pada penderita asma yang dibuktikan dengan r=0,336 dan p=0,032 (Tabel 1). Uji korelasi Spearman Rho menunjukkan tidak ada hubungan antara perilaku pencegahan tentang paparan faktor risiko asma dengan tingkat kontrol penyakit pada penderita asma (r=0,264 dan p=0,095) yang berarti korelasi tidak bermakna (Tabel 2). Tabel 1. Hubungan faktor resiko asma dengan tingkat kontrol penyakit asma Faktor Risiko Asma Tingkat Kontrol Penyakit Asma Mean = 12,58 Mean = 2,51 SD = 4,18 SD = 0,64 r= 0,336 dan p=0,032 Tabel 2. Hubungan perilaku pencegahan dengan tingkat kontrol penyakit asma Perilaku Pencegahan Tingkat Kontrol Penyakit Asma Mean = 7,95 Mean – 2,51 SD = 2,16 SD = 0,64 r= 0,264 dan p=0,095 Keterangan: Mean = rerata SD = Standar Deviasi r = koefisien korelasi p = signifikansi PEMBAHASAN Berdasarkan hasil penelitian di lapangan, faktor risiko asma yang sering menyebabkan kemunculan gejala asma menurut intensitasnya terdiri dari perubahan suhu terkait kondisi geografis, alergen, aktivitas fisik, asap rokok, ekspresi emosi yang berlebihan, dan polusi udara. Faktor risiko yang tersering menyebabkan kemunculan gejala asma dalam setahun terakhir adalah perubahan suhu terkait kondisi geografis (27,90%). Penderita asma mayoritas memilih faktor risiko ini, yaitu sebanyak 37 orang (90,24%). Ini merupakan faktor risiko asma yang terbukti dominan menginduksi kemunculan gejala asma. Menurut data statistik tahun 2007 dari BPS Kabupaten Karangasem, wilayah Kecamatan Selat memiliki ketinggian 544 meter dari permukaan laut, dengan suhu maksimum 240C, penyinaran matahari rata-rata 68,75%, dan kelembaban udara rata-rata 86,75%. Volume curah hujan adalah 1.165 mm/tahun dan jumlah hari dengan curah hujan terbanyak adalah 40 hari. Bentuk wilayah datar hingga berombak sebanyak 49,8%, berombak hingga berbukit 20%, dan berbukit hingga bergunung 30,2%. Mata pencaharian penduduk sebagian besar adalah petani dengan tanah sawah seluas 856,370 hektar, dan perkebunan seluas 328 hektar (BPS, 2007). Tingkat kelembaban yang tinggi dan penyinaran matahari yang cukup membuat wilayah Selat cukup panas di siang hari, namun suhu udara turun drastis pada malam hingga pagi hari. Kondisi geografis suatu wilayah yang berakibat pada perubahan cuaca maupun iklim yang menyebabkan perubahan suhu setempat menjadi ekstrim dapat memperburuk kondisi tubuh penderita asma. Udara dingin dan kering merupakan iritan yang sangat poten bagi penderita asma. Perubahan cuaca yang mungkin menjadi iritan seperti cuaca yang panas dan lembab, sangat dingin, perubahan suhu/kelembaban/tekanan udara yang tiba-tiba, angin kencang, badai bergemuruh, cuaca yang ekstrim, dan lain-lain (MacNaughton, 2008). Data di atas menunjukkan bahwa wilayah Selat cenderung bersuhu rendah dengan kelembaban udara yang tinggi, yang mengakibatkan udara di wilayah Selat menjadi dingin dan kering. Penderita asma yang sudah lama bertempat tinggal di wilayah ini ternyata tetap tidak mampu mentolerir keadaan tersebut. Iritan di saluran pernafasan seperti udara dingin dan kering dirasakan sangat cepat menginduksi penyempitan jalan nafas, akibat saluran nafas yang sangat sensitif pada penderita asma (MacNaughton, 2008). Penderita asma yang bekerja sebagai petani perkebunan (19,51%) yang mayoritas bertempat tinggal di dalam wilayah perkebunan tentu saja merasakan perubahan suhu yang lebih ekstrim dibanding penderita asma yang bertempat tinggal jauh dari area perkebunan. Selain itu, tindakan pencegahan terhadap udara dingin dan kering juga berpengaruh terhadap kondisi tubuh penderita asma. Tindakan seperti memakai pakaian yang tebal kurang efektif pada keadaan ini, karena yang terlindungi adalah tubuh, bukan jalan nafas padahal bagi orang asma yang membutuhkan perlindungan adalah jalan nafas, seperti rongga hidung dan rongga mulut Jurnal Ners Vol.4 No.1 April 2009: 9-18 12 (GINA, 2008). Maka, tindakan pencegahan yang mereka lakukan tidak efektif untuk mengurangi frekuensi maupun intensitas kemunculan gejala asma akibat perubahan suhu yang mereka rasakan. Faktor risiko asma terbanyak kedua adalah alergen (24,80%). Pada penelitian ini, penderita asma yang memilih alergen sebagai penyebab kemunculan gejala asma dalam setahun terakhir sebanyak 30 orang (73,17%) dengan rincian alergi makanan sebanyak 30 orang (100%), alergi bahan bakar memasak sebanyak 29 orang (96,67%), alergi hewan peliharaan sebanyak 18 orang (60 %), dan alergi jamur atau lumut sebanyak 6 orang (20%). Asma yang saat ini dipandang sebagai penyakit inflamasi jalan nafas memang tidak bisa lepas dari pengaruh alergen (Suyono, 2001). Alergen spesifik sifatnya sangat subyektif, tergantung kepekaan masing-masing penderita asma. Paparan berulang terhadap suatu jenis alergen spesifik akan menyebabkan reaksi alergi langsung, seperti reaksi hipersensitivitas tipe I pada asma (AAFA, 2008). Penyakit alergi tidak bisa disembuhkan, satu-satunya cara adalah dengan menghindari paparan terhadap alergen spesifik, yang sumber terbesarnya adalah dari lingkungan (Arruda, 2006). Alergen spesifik dapat berupa makanan, minuman, bagian tubuh hewan atau tumbuhan, dan lain-lain. Dalam kehidupan sehari-hari, penderita asma tidak dapat bebas sepenuhnya dari alergen spesifik ini. Alergen makanan seperti sayuran hijau dan buah segar misalnya, penderita asma memiliki kecenderungan untuk tetap mengkonsumsi makanan tersebut walaupun frekuensinya dikurangi, dengan berbagai alasan. Salah satunya adalah karena tersedianya obat-obatan jenis reliever di rumah. Hal ini sangat mengkhawatirkan, karena efek samping obat anti asma juga berbahaya (GINA, 2008). Walau demikian, penderita asma lebih memilih rajin mengkonsumsi obat-obatan dibandingkan menghindari paparan terhadap alergen spesifik. Maka dari itu, manifestasi klinis asma juga tidak dapat dihindari. Penyebab kemunculan gejala asma terbanyak ketiga adalah aktivitas fisik (17,82%). Penderita asma yang memilih faktor risiko ini sebanyak 24 orang (58,54%) dengan rincian olahraga (100%) dan kerja berat (100%). Aktivitas fisik yang sering menyebabkan kemunculan gejala asma adalah olahraga dan melakukan pekerjaan berat, sehingga penderita asma tidak mampu mentolerir rasa lelah yang dirasakan (AAFA, 2008). Bila tubuh lelah akibat aktivitas fisik yang dilakukan, maka tubuh akan mengkompensasi dengan bernafas lebih cepat, dengan tujuan memperoleh oksigen yang lebih banyak untuk kepentingan metabolisme (Canadian Lung Association, 2008). Gejala asma akibat aktivitas fisik juga akan semakin parah dengan tambahan iritan dari faktor risiko asma lainnya, seperti udara dingin (MacNaughton, 2008). Hal ini terbukti di lapangan. Penderita asma yang memilih faktor risiko aktivitas fisik juga memilih faktor risiko perubahan suhu akibat kondisi geografis, yaitu sebanyak 21 orang (51,22%). Aktivitas fisik tidak mampu dihindari oleh penderita asma di wilayah Selat. Hal ini disebabkan oleh profesi mereka, yaitu 24,39% sebagai petani dan 19,51% sebagai wirausahawan. Mereka sering harus melakukan aktivitas fisik yang berat dan dalam waktu yang lama. Pada wirausahawan misalnya, pesanan yang menumpuk juga menjadi beban karena harus segera dikerjakan. Petani perkebunan juga bukan pekerjaan mudah, karena mereka mengejar target panen yang sudah ditetapkan oleh pemilik perkebunan. Penderita asma yang tidak tahan lelah akan sangat cepat menunjukkan tanda- tanda kekambuhan asma. Walau demikian, aktivitas fisik juga tidak dapat dihindari, sehubungan dengan masalah ekonomi. Dalam kondisi seperti ini, penderita asma memang harus mampu menyesuaikan diri dengan pekerjaan, sehingga waktu istirahat mereka cukup dan tidak mengorbankan tubuhnya. Faktor risiko asma terbanyak keempat adalah asap rokok (17,05%). Penderita asma yang memilih faktor risiko ini sebanyak 22 orang (53,66%) dengan rincian perokok aktif 10 orang (45,45%), dan perokok pasif 12 orang (54,54%). Asap rokok merupakan partikel yang paling mampu menembus hingga sistem pernafasan paling akhir, yaitu alveolus di antara seluruh partikel yang ada di udara bebas (Ricky, 2009). Hal ini setara dengan kemampuan difusi virus. Asap rokok juga Faktor Resiko Asma dan Perilaku Pencegahan (Nursalam) 13 mampu membuat sel-sel epitel jalan nafas memproduksi mucus lebih banyak. Gerakan paru-paru untuk membersihkan diri juga terganggu, sehingga dahak dan iritan lain tidak bisa dikeluarkan. Hal ini berarti penderita asma akan lebih mudah terkena penyakit infeksi saluran nafas. Gejala asma juga akan muncul akibat infeksi di saluran nafas (Green, et al, 2002). Merokok dapat menyebabkan penurunan fungsi paru yang cepat, meningkatkan derajat keparahan asma, menjadikan penderita kurang responsif terhadap terapi glukokortikosteroid, dan menurunkan tingkat kontrol penyakit asma (GINA, 2008). Sebenarnya, kuantitas paparan asap rokok pada penderita asma dapat diketahui dengan mengukur kadar cotinin pada air ludah, sehingga penderita asma bisa lebih waspada (Ricky, 2009). Paparan terhadap asap rokok sangat mudah dihindari. Namun, kenyataannya manifestasi klinis asma juga banyak yang diakibatkan oleh asap rokok, walaupun penderita asma sudah berusaha menghindar. Udara sekitar tetap tercemar dengan adanya partikel-partikel asap rokok yang mengandung 4000 senyawa kimia yang berbahaya ini (AAFA, 2008). Selain itu budaya merokok pada pria juga sulit dihindari, dengan berbagai alasan pribadi. Maka dari itu, untuk menciptakan kondisi lingkungan yang bebas asap rokok bukanlah hal yang mudah, walaupun penderita asma tidak merokok. Perokok pasif bahkan menghirup bahan kimia yang lebih berbahaya dari perokok itu sendiri, karena sidestream smoke (asap yang berasal dari ujung batang rokok yang terbakar) lebih berbahaya dibandingkan asap yang dihirup oleh perokok. Asap rokok sangat cepat memicu serangan asma, dan juga dapat meningkatkan frekuensi terjadinya serangan asma. Faktor risiko asma terbanyak kelima yang sering menyebabkan kemunculan gejala asma dalam setahun terakhir adalah ekspresi emosi yang berlebihan (10,08%). Penderita asma yang memilih faktor risiko ini sebanyak 13 orang (31,70%). Asma dipengaruhi oleh stres psikologis, yang menunjukkan hubungan timbal balik antara faktor periferal yang meregulasi reaksi inflamasi dan respon saraf pusat terkait stress dan reaktivitas emosi (Rosenkranz, et al, 2005). Emosi dan perasaan seperti khawatir, cemas, takut, dan panik, dapat menyebabkan ketegangan muskuler dan kontraksi di sekitar bronkiolus, sehingga bronkiolus menjadi lemah dan kejang (Silva, 2006). Ekspresi emosi yang ekstrim dapat menyebabkan hiperventilasi dan hipokapnia, yang menyebabkan penyempitan jalan nafas (GINA, 2008). Penderita asma dengan stress kerja yang tinggi biasanya memiliki banyak beban pikiran, yang terkadang tidak bisa dilimpahkan pada orang lain. Hal ini membuat manifestasi klinis asma sering muncul akibat stress. Selain karena pekerjaan, umur juga berpengaruh. Pada lansia, kecenderungan untuk tidak diperhatikan oleh sekitarnya, termasuk keluarganya, sangat besar. Hal ini menimbulkan suatu kondisi seperti depresi, kesepian, merasa tidak dicintai, sedih, dan lain- lain (Silva, 2006). Di saat seperti ini, gejala asma sering muncul. Maka dari itu, penderita asma sebaiknya mampu mengendalikan pikiran dan perasaannya. Keluarga juga diharapkan mampu mengkondisikan lingkungannya agar ekspresi asma tidak muncul akibat emosi yang dirasakan oleh penderita asma. Faktor risiko terbanyak keenam adalah polusi udara (2,32%). Penderita asma yang memilih faktor risiko ini sebanyak 3 orang (7,32%). Berdasarkan data statistik di tahun 2007 dari BPS Kabupaten Karangasem, Kelurahan Duda Utara dan Kelurahan Muncan merupakan 2 kelurahan yang memiliki wilayah pertambangan dan penggalian (BPS, 2007). Kelurahan ini memiliki kadar polutan yang cukup tinggi terkait aktivitas pertambangan dan penggalian tersebut. Berdasarkan laporan Puskesmas bulan April 2009, penderita asma yang berasal dari 2 kelurahan ini sebanyak 11 orang (26,82%). Polusi udara dapat memperburuk gejala asma (AAFA, 2008). Polusi udara di suatu wilayah berkaitan dengan peningkatan kadar polutan atau alergen spesifik dimana penderita asma tersensitisasi (GINA, 2008). Gejala asma akan mulai terasa parah bila nilai PSI berada di angka 50-100, dengan kata lain tingkat polusinya sedang (ARB, 2008). Partikel-partikel yang secara normal tidak terdapat dalam udara bebas sangat poten menyebabkan penyempitan jalan nafas, dengan cara kerja seperti alergen bagi penderita asma. Cara agar ekspresi asma tidak muncul adalah hanya dengan menghindari paparan polutan ini. Namun, bila bertempat tinggal di wilayah Jurnal Ners Vol.4 No.1 April 2009: 9-18 14 yang merupakan kawasan pertambangan dan penggalian, hal ini tentu sulit dilakukan. Faktor risiko asma yang tidak pernah menyebabkan kemunculan gejala asma dalam setahun terakhir adalah obat-obatan (0%). Walaupun banyak reaksi yang tidak diharapkan dari penggunaan obat-obatan muncul seperti reaksi hipersensitivitas, kejadian seperti ini jarang terjadi. Obat yang menginduksi bronkospasme misalnya, jarang terjadi walaupun sangat potensial mengancam nyawa (Virchow, 2001). Hal ini terbukti di lapangan. Obat-obatan reliever dan controller yang digunakan oleh penderita asma dirasakan sangat besar manfaatnya, bahkan banyak di antara mereka yang selalu mengandalkan obat- obatan ini untuk mengontrol manifestasi klinis asma. Obat-obatan ini tidak menimbulkan reaksi alergi, dan memang sangat efektif bagi penderita asma. Terkait dengan paparan faktor risiko asma, perilaku pencegahan tentang paparan juga merupakan sesuatu yang esensial. Seperti telah disinggung di atas, penyakit asma tidak bisa disembuhkan. Perilaku pencegahan tentang paparan faktor risiko asma sangat berguna dalam mengendalikan ekspresi asma (GINA, 2008). Berdasarkan pedoman dari beberapa organisasi penyakit paru-paru di dunia, panduan tentang hal-hal yang bisa dilakukan untuk mengurangi paparan faktor risiko asma sangat mudah diperoleh. Namun, kenyataannya tidak semua penderita asma melakukannya dalam kehidupan sehari-hari, dengan berbagai alasan pribadi. Ada yang melakukan semua tindakan yang dianjurkan, ada yang hanya melakukan sebagian, bahkan ada yang tidak melakukan sama sekali. Faktor risiko asma yang mudah tindakan pencegahannya dan dilakukan seluruhnya oleh penderita asma adalah alergen (3,57%), karena cukup dengan menghindarinya saja. Faktor risiko asma yang sebagian besar tindakan pencegahannya dilakukan sebagian saja oleh penderita asma diurutkan berdasarkan intensitasnya adalah: ekspresi emosi yang berlebihan dan polusi udara (masing-masing 100%), alergen (96,42%), asap rokok (36,36%), perubahan suhu terkait kondisi geografis (13,88%), dan aktivitas fisik (13,04%). Sedangkan faktor risiko yang tindakan pencegahannya sulit dilakukan dan membuat penderita asma sama sekali tidak melakukan tindakan pencegahan terhadap paparannya adalah aktivitas fisik (86,96%), perubahan suhu terkait kondisi geografis (86,11%), dan asap rokok (63,64%). Perilaku manusia terdiri dari 3 domain, yaitu pengetahuan, sikap, dan tindakan. Menurut teori perilaku dari Lawrence Green, perilaku manusia dipengaruhi oleh faktor- faktor predisposisi, pendukung, dan penguat (Notoatmodjo, 2003). Meskipun perilaku merupakan bentuk respon atau reaksi terhadap stimulus atau rangsangan dari luar organisme, namun dalam memberikan tanggapan sangat tergantung pada karakteristik atau faktor-faktor lain dari orang yang bersangkutan. Hal ini berarti bahwa meskipun stimulusnya sama bagi beberapa orang, namun respon tiap-tiap orang berbeda. Faktor-faktor yang membedakan respon terhadap stimulus yang berbeda ini disebut determinan perilaku, yang terdiri dari determinan internal (yang bersifat bawaan) dan determinan eksternal (berasal dari lingkungan), yang keberadaannya membuat perilaku manusia menjadi sangat beragam (Notoatmodjo, 2003). Hal ini terbukti di lapangan. Pada responden yang sama, tindakan pencegahan yang berbeda ditunjukkan untuk paparan faktor risiko yang berbeda pula. Sedangkan pada responden yang berbeda, tindakan pencegahan yang sama dapat ditunjukkan untuk paparan faktor risiko yang sama pula. Keanekaragaman jenis perilaku ini sangat wajar ditemukan di lapangan. Tindakan pencegahan yang berbeda- beda terhadap berbagai paparan faktor risiko asma sudah diprediksi dengan baik sebelumnya. Ada beberapa faktor risiko yang tindakan pencegahannya mudah dilakukan, namun ada juga yang sangat sulit dilakukan, sehingga mempengaruhi perilaku penderita asma terhadap anjuran tindakan pencegahan yang direkomendasikan. Selain itu, ada juga penderita asma yang melakukan tindakan pencegahan berdasarkan pengalamannya selama menderita asma karena sebagian besar penderita menderita asma sejak kecil dan juga ada keterlibatan faktor genetik, atau berdasarkan mitos yang ada di masyarakat, atau juga berdasarkan determinan internal (nilai-nilai yang diyakini). Namun, tindakan ini tidak termasuk dalam tindakan pencegahan yang direkomendasikan terhadap paparan faktor risiko asma sehingga kesesuaian dan Faktor Resiko Asma dan Perilaku Pencegahan (Nursalam) 15 efektivitasnya terhadap faktor risiko asma yang spesifik untuk mereka juga masih diragukan. Faktor risiko asma dan tindakan pencegahan terhadap paparannya akan berpengaruh pada tingkat kontrol penyakit asma oleh penderitanya. Hasil penelitian menunjukkan angka yang sangat mengkhawatirkan, yaitu: uncontrolled asthma sebanyak 24 orang penderita (58,54%), partly controlled asthma sebanyak 14 orang penderita (34,14%), dan controlled asthma hanya mampu dicapai oleh 3 orang penderita (7,32%). Pada penelitian ini, menurut intensitasnya, buruknya tingkat kontrol penyakit pada penderita asma disebabkan oleh kemunculan gejala harian (29,16%), kemunculan gejala di malam hari (24,16%), frekuensi penggunaan reliever (19,16%), limitasi aktivitas (14,16%), dan frekuensi serangan asma (13,33%). Untuk fungsi paru- paru tidak dilakukan penilaian karena membutuhkan spirometer atau peak flow meter, yang tidak tersedia di lapangan. Tingkat kontrol penyakit asma merujuk langsung pada pengendalian manifestasi klinis penyakit asma. Tingkat kontrol ini ditentukan oleh beberapa indikator yaitu: kemunculan gejala harian, limitasi aktivitas, kemunculan gejala di malam hari, frekuensi penggunaan reliever, frekuensi serangan asma, dan penilaian fungsi paru-paru (GINA, 2008). Kontrol penyakit asma dapat diketahui dengan banyak cara. Umumnya, tingkat kontrol penyakit asma dapat mengindikasikan pencegahan penyakit, dan bahkan pengobatan. Bagaimanapun, dalam asma, dimana tidak satupun hal ini diterapkan di lapangan, maka merujuk langsung pada kontrol terhadap manifestasi klinis penyakit. Idealnya tingkat kontrol penyakit ini diterapkan tidak hanya pada manifestasi klinis asma tetapi juga diterapkan pada hasil laboratorium terkait reaksi inflamasi dan gambaran patofisiologis penyakit asma. Mengurangi respon inflamasi dengan controller telah terbukti meningkatkan taraf kontrol penyakit, namun karena tingginya biaya dan tidak tersedianya pemeriksaan seperti biopsi endobronchial dan penghitungan jumlah eosinofil dalam sputum serta Nitric Oxide yang terekshalasi, maka direkomendasikan agar terapi difokuskan pada pengendalian manifestasi klinis penyakit asma, meliputi juga kelainan fungsi paru (GINA, 2008). Kontrol penyakit yang maksimal pada asma biasanya dicapai dengan terapi controller, tujuannya untuk mencapai dan mempertahankan kontrol dalam waktu yang lama, dengan tetap memperhatikan keamanan terapi yang diberikan, potensi efek samping obat, dan biaya terapi yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan tersebut (GINA, 2008). Tingkat kontrol penyakit yang maksimal (controlled asthma) tampaknya sangat sulit dicapai oleh penderita asma di lapangan. Hal ini potensial disebabkan oleh kegiatan mereka sehari-hari yang berhubungan langsung dengan paparan faktor risiko asma yang sulit untuk dihindari, sehingga gejala harian menjadi sangat sering muncul. Selain itu, cara mereka menindaklanjuti paparan faktor risiko spesifik juga penting disesuaikan dengan paparan faktor risikonya sehingga efektif untuk mencegah, dan taraf kontrolnya bisa meningkat serta dapat dipertahankan. Hasil uji statistikal data dengan uji korelasi Spearman Rho memberikan hasil koefisien korelasi Spearman 0,336 dengan tingkat signifikansi data 0,032 untuk variabel faktor risiko asma dan tingkat kontrol penyakit pada penderita asma. Hal ini berarti ada hubungan positif antara faktor risiko asma dengan tingkat kontrol penyakit pada penderita asma. Dengan kata lain, semakin sering seorang penderita asma terpapar oleh faktor risiko spesifik maka tingkat kontrolnya terhadap penyakit asma cenderung turun atau menjadi semakin buruk, yang ditandai dengan peningkatan frekuensi kemunculan gejala asma harian, perburukan kondisi asma dengan munculnya gejala di malam hari, adanya limitasi aktivitas, peningkatan frekuensi penggunaan obat-obatan reliever, dan kejadian serangan asma. Peningkatan intensitas paparan faktor risiko asma akan mengakibatkan ekspresi asma lebih sering muncul. Ekspresi asma dimaksud langsung merujuk pada tingkat kontrol penyakit asma (GINA, 2008). Tingkat kontrol penyakit asma yang maksimal (controlled asthma) dapat dicapai dan dipertahankan salah satunya dengan cara mengendalikan faktor risiko asma, namun akan lebih mudah dicapai dengan rajin mengkonsumsi medikasi controller (GINA, 2008). Hasil penelitian di lapangan menunjukkan terdapat hubungan yang lemah Jurnal Ners Vol.4 No.1 April 2009: 9-18 16 dan signifikan antara paparan faktor risiko asma dengan tingkat kontrol penyakit pada penderita asma. Lemahnya hubungan ini potensial disebabkan oleh adaptasi yang dilakukan oleh penderita asma terhadap paparan faktor risiko spesifik. Perubahan suhu terkait kondisi geografis misalnya. Penderita asma yang bertempat tinggal di wilayah Selat sudah bertempat tinggal di wilayah ini sejak lama dan mayoritas tidak pernah berpindah tempat tinggal. Maka dari itu mereka potensial memiliki cara-cara pribadi untuk mencegah gejala asma yang mungkin akan mereka rasakan akibat udara dingin, tentu saja berdasarkan pengalaman mereka selama ini. Bila cara tersebut berhasil, dan gejala asma tidak muncul, maka tingkat kontrol penyakitnya dapat dipertahankan. Selain adaptasi yang dilakukan penderita asma terhadap paparan faktor risiko spesifik, potensial ada sebab lain yang menyebabkan lemahnya hubungan antara faktor risiko asma dengan tingkat kontrol penyakit pada penderita asma. Misalnya, penderita asma rajin mengkonsumsi obat-obatan jenis controller, karena tingkat kontrol penyakit asma yang maksimal akan mudah dicapai dan dapat dipertahankan dengan cara ini. Sebab-sebab lainnya belum teridentifikasi secara jelas. Hasil uji statistikal data dengan uji korelasi Spearman Rho memberikan hasil koefisien korelasi Spearman 0,264 dengan tingkat signifikansi data 0,095 untuk variabel perilaku pencegahan tentang paparan faktor risiko asma dan tingkat kontrol penyakit pada penderita asma. Hal ini berarti tidak ada hubungan antara perilaku pencegahan tentang paparan faktor risiko asma dengan tingkat kontrol penyakit pada penderita asma. GINA menyatakan bahwa intervensi awal untuk menghentikan atau mengurangi paparan terhadap faktor risiko asma yang menyebabkan hipereaktivitas saluran nafas dapat membantu meningkatkan kontrol penderita terhadap penyakit asma (GINA, 2008). Hal ini berarti tindakan pencegahan terhadap paparan faktor risiko asma dapat membantu meningkatkan taraf kontrol penyakit asma, atau ekspresi asma menjadi dapat dikendalikan dengan melakukan tindakan pencegahan tersebut. Namun, hasil penelitian bertentangan dengan pernyataan GINA ini. Dengan kata lain, tingkat kontrol penyakit asma dapat turun atau menjadi buruk walaupun tindakan pencegahan terhadap paparan faktor risiko spesifik telah dilakukan oleh penderita asma. Atau sebaliknya, tingkat kontrol penyakit asma dapat naik atau menjadi baik walaupun penderita asma tidak melakukan tindakan pencegahan terhadap paparan faktor risiko spesifik. Tingkat kontrol penyakit asma ditentukan berdasarkan indikator dari masing- masing tingkat kontrol penyakit pada penderita asma terkait manifestasi klinis penyakit, faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kontrol penyakit asma belum teridentifikasi secara jelas. Hasil penelitian yang berlawanan dengan pernyataan GINA tersebut potensial disebabkan oleh variatifnya tindakan pencegahan yang dilakukan oleh penderita asma, karena tidak semua orang melakukan tindakan pencegahan yang direkomendasikan. Ada beberapa penderita asma yang melakukan tindakan pencegahan berdasarkan pada pengalamannya selama menderita asma (karena sudah mengalaminya sejak kecil dan anggota keluarga lain juga ada yang menderita asma) atau berdasarkan mitos yang ada di masyarakat, dan atau berdasarkan determinan internal (nilai-nilai yang diyakini), namun tindakan pencegahan ini tidak termasuk dalam tindakan pencegahan yang direkomendasikan terhadap faktor risiko spesifik, sehingga kesesuaian dan efektivitasnya juga masih diragukan. Selain itu, tindakan pencegahan dalam penelitian ini tidak diobservasi, sehingga rentan mengalami bias. Determinan perilaku yang sangat mempengaruhi perilaku seseorang ternyata juga menunjukkan pengaruhnya pada tingkat kontrol penyakit asma. Kecenderungan seseorang untuk intens melakukan atau tidak melakukan tindakan pencegahan terhadap paparan faktor risiko asma dipengaruhi oleh banyak hal, selain karena ada beberapa faktor risiko asma yang tidak mudah tindakan pencegahannya. Walau demikian, setidaknya tindakan pencegahan yang dilakukan dapat membantu meredakan gejala asma pada saat aktual penderita asma terpapar oleh faktor risiko spesifik. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Faktor Resiko Asma dan Perilaku Pencegahan (Nursalam) 17 Faktor risiko asma yang sering menginduksi gejala asma adalah perubahan suhu terkait kondisi geografis, alergen, aktivitas fisik, asap rokok, ekspresi emosi yang berlebihan, dan polusi udara. Penderita asma tidak melakukan tindakan pencegahan yang direkomendasikan terhadap paparan faktor risiko asma. Perburukan tingkat kontrol penyakit asma terjadi akibat kemunculan gejala harian yang sering. Ditemukan hubungan yang signifikan antara faktor risiko asma dengan tingkat kontrol penyakit asma, namun perilaku pencegahan tentang paparan tidak memiliki hubungan dengan tingkat kontrol penyakit asma. Saran Penulis menyarankan agar penderita asma melakukan upaya-upaya untuk menghentikan atau mengurangi paparan faktor risiko asma spesifik, dan perawat dapat memberikan penyuluhan terkait upaya-upaya tersebut. Penelitian selanjutnya dapat menggunakan metode content analysis agar semua jawaban tercover. KEPUSTAKAAN Air Resources Board (ARB), 2008. Asthma and Air Pollution, (online), (http:// www.arb.org., diakses pada tanggal 15 Mei 2009, Jam13.44 WIB). Arief, 2009. Asma Bronkial, (online), (http://www.blogger.com, diakses pada tanggal 13 April 2009, Jam 21.44 WIB). Arruda, L., 2006. Environmental Control in Asthma – to Recommend or Not Recommend : That is The Question!, (online), (http:// www.scielo.br, diakses pada tanggal 29 April 2009, Jam 14.43 WIB). Asthma and Allergy Foundation of America (AAFA), 2008. Asthma Triggers,(online), (http://www.aafa.org, diakses pada tanggal 15 Mei 2009, Jam 13.44 WIB). BPS, 2007. Selat District in Figures 2007. Karangasem: Badan Pusat Statistik Kabupaten Karangasem. hlm. 1, 2, 4, 40, 41, 42, 62, 63, 77, 78. BPS, 2007. Buku Monografi. Karangasem : Badan Pusat Statistik Kabupaten Karangasem. hlm. 1. Canadian Lung Association, 2008. Exercise & Asthma, (online), (http://www.lung.ca.org, diakses pada tanggal 14 Mei 2009 jam 10.46 WIB). Global Initiative for Asthma (GINA), 2008. Asthma Control Questionnaire, (online), (http:// www.qoltech.co.uk, diakses pada tanggal 29 April 2009, Jam 13.04 WIB). Global Initiative for Asthma (GINA), 2008. Asthma Therapy Assessment Questionnair, (online), (http://www.ataqinstrument.com, Dikases pada tanggal 20 April 2009, Jam 09.52 WIB). Global Initiative for Asthma GINA, 2008. Global Strategy for Asthma Management and Prevention, (online), (http://www.ginasthma.org, diakses pada tanggal 8 April 2009, Jam 15.14 WIB). Global Initiative for Asthma GINA, 2008. Pocket Guide for Asthma Management and Prevention, (online), (http://www.ginasthma.org, diakses pada tanggal 8 April 2009, Jam 15.14 WIB). Green, et al., 2002. Synergism Between Allergens and Viruses and Risk of Hospital Admission With Asthma : Case Control Study, (online), (http:// www.pubmedcentral.nih.gov, diakses pada tanggal 29 April 2009, Jam 14.50 WIB). Kaufman, J. D., 2007. Air Pollution and Mortality : Are We Close to Understanding the How?, (online), (http://www.ajrccm.atsjournals.org, Diakses pada tanggal 29 April 2009, Jam 13.35 WIB). MacNaughton, K., 2008. Exercise Induced Asthma : Facts About EIA, (online), (http://www.asthma.about.com, diakses pada tanggal 14 Mei 2009, Jam 19.00 WIB). MacNaughton, K., 2008. Extreme Weather – Asthma Trigger and Irritant. (online),(http:// www.asthma.about.com, diakses pada tanggal 14 Mei 2009, Jam 19.31 WIB). http://www.arb.org/ http://www.blogger.com/ http://www.scielo.br/ http://www.aafa.org/ http://www.lung.ca.org/ http://www.qoltech.co.uk/ http://www.ataqinstrument.com/ http://www.ginasthma.org/ http://www.ginasthma.org/ http://www.pubmedcentral.nih.gov/ http://www.ajrccm.atsjournals.org/ http://www.asthma.about.com/ http://www.asthma.about.com/ Jurnal Ners Vol.4 No.1 April 2009: 9-18 18 Ricky, 2009. Asap Rokok dan Asthma, (online), (http://www.marnalom.com, diakses pada tanggal 14 Juli 2009, Jam 14.46 WIB). Rosenkranz, et al., 2005. Neural Circuitry Underlying The Interaction Between Emotion and Asthma Symptom Exacerbation, ( online), (http:// www.pnas.org, diakses pada tanggal 12 Mei 2009, Jam 15.13 WIB). Silva, R., 2006. The Emotional Cause of Asthma, (online), (http:// www.ezinearticles.com, diakses pada tanggal 12 Mei 2009, Jam 15.13 WIB). State of Region Health, 2002. Asthma Risk Factors and Triggers. Canada : The Regional Municipality of Peel, hlm. 9. Suyono, S., 2001. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid 2, Edisi 3. Jakarta : Balai Penerbit FK – UI, hlm. 21, 22, 23, 27, 28, 29, 31, 33, 41. Sykes, and Johnston, 2008. Etiology of Asthma Exacerbations, (online), (http:// www.aaaai.org, diakses pada tanggal 8 April 2009, Jam 12.01 WIB). Virchow, C. J., 2001. Drug-Induced Bronchospasm – A Negligible Phenomenon?, (online), (http:// www.content.karger.com, diakses pada tanggal 14 Mei 2009, Jam 11.43 WIB). Wahyuningsih, et al., 2003. Dampak Inhalasi Cat Semprot terhadap Kesehatan Paru, (online), (http:// www.cerminduniakedokteran.com, diakses pada tanggal 18 Maret 2009, Jam 17.21 WIB). WHO, 2000. Pocket Book of Hospital Care for Children : Guidelines for the Management of Common Illness with Limited Resources. China : WHO Library Cataloguing-in-Publication Data. hlm. 87. http://www.marnalom.com/ http://www.pnas.org/ http://www.ezinearticles.com/ http://www.aaaai.org/ http://www.content.karger.com/ http://www.cerminduniakedokteran.com/