Pengaruh Pernafasan active cycle of breathing terhadap peningkatan aliran ekspirasi maksimum pada penderita tuberkulosis paru 62 PERAN PENGAWAS MINUM OBAT (PMO) DALAM KEBERHASILAN PENGOBATAN TUBERCULOSIS PARU DI MASYARAKAT (The Role of Direct Observed Treatment in Tuberculosis Treatment Successful at Community) *Nursalam, *Makhfudli, **Dominikus Rato ABSTRACT Introduction : The succeeded of the tuberculosis treatment depends on the obedience of the patient in taking the tuberculosis’s medication assisted by the direct observed treatment shortcourse (DOTS) to refrain resistancy and dropping out of the program. The aimed of this study was to analyze the correlation between DOTS’s role with the successfullness of lung’s tuberculosis treatment program at Bajawa city. Method : A cross sectional simple random sampling design was used in this study. Population were all the Direct Observed Treatment Supervisors and patients who have had finished their treatment of tuberculosis. Sample were 43 respondents. The independent variables in this study were the role of the DOTSs, education level, family support, motivation and the DOTSs attitude. The dependent variables were the patient’s obedience in taking medication and the evaluation of the acid fast bacterias in their sputum. Data were collected by using questionnaire and observation sputum the to evaluate acid fast bacteria. Data were analyzed by using Spearman Rho with significance level with α<0.05.Result : The result showed that role of the DOTSs had significance correlation with the succeeding program of tuberculosis (=0.023), education level had significance correlation (=0.043), family support as the DOTS had significance correlation (=0.021), motivation (=0.032) and attitude (=0.014). Analysis : It can be concluded that the role of the DOTS has correlation with succesing tuberculosis treatment. Discussion : The role of PMO cause the succesfully of Tb treatment for the community in Bajawa City, Ngada NTT. Keywords: DOTS’s role, family support, motivation, attitude, medication successfulness. *Fakultas Keperawatan Universitas Airlangga Kampus C Mulyorejo Surabaya. Telp/Fax: (031) 5913257 E-mail : nursalam_psik@yahoo.com ** RSUD Bajawa Kab. Ngada Flores NTT PENDAHULUAN Salah satu penyakit penyebab kematian utama yang disebabkan oleh infeksi adalah Tuberkulosis (TB). Pada tahun 2004 bertambah penderita baru sebanyak seperempat juta orang dan sekitar 140.000 kematian setiap tahunnya. Sebagian besar penderita TB adalah penduduk yang berusia produktif antara 15-55 tahun. Penyakit ini merupakan penyebab kematian nomor tiga setelah penyakit jantung dan penyakit pernafasan akut pada seluruh kalangan usia (Depkes RI, 2003). Nusa Tenggara Timur merupakan salah satu Propinsi dengan keberhasilan pengobatan hanya mencapai 72% dibawah standar nasional (95%). Kabupaten Ngada menduduki urutan ke 4 dari 18 Kabupaten Kota di Nusa Tenggara Timur yang mencapai keberhasilan pengobatan TB (Dinkes Propinsi NTT, 2008). Puskesmas Kota Bajawa di Kabupaten Ngada merupakan salah satu Puskesmas yang melayani dan menangani kasus TB dengan rerata usia 18-65 tahun. Jumlah penderita di Puskesmas Kota Bajawa dari bulan Januari-Mei 2008 yang sudah melakukan pengobatan berjumlah 48 orang yang terdiri dari 30 laki-laki, 18 perempuan. Hasil pengobatan 45 penderita sembuh (BTA negatif), 3 pengobatan lengkap (BTA positif), 0 meninggal, 0 gagal, 0 default (drop out) dan 0 pindah pengobatan (Dinkes Kabupaten Ngada, 2008). Keberhasilan pengobatan TB tidak lepas dari keteraturan mailto:nursalam_psik@yahoo.com Jurnal Ners Vol.4 No.1 April 2009: 62-67 63 penderita TB Paru dalam minum obat. Keteraturan minum obat dapat dicapai dengan adanya pengawas minum obat OAT (PMO) yang dipilih dari orang dekat (keluarga) dan harus disegani oleh penderita (Depkes RI, 2003). Di Puskesmas Kota Bajawa semua PMO diambil dari keluarga penderita sendiri yang berjumlah 48 orang (sesuai jumlah penderita TB Paru) berdasarkan kesepakatan yang dibuat bersama oleh pengelola TB Paru Kabupaten Ngada dengan seluruh Puskesmas yang berada di wilayah kerja Dinas Kesehatan Kabupaten Ngada (Dinkes Kabupaten Ngada, 2007). Penanggulangan TB paru merupakan suatu gerakan yang bukan saja menjadi tanggung jawab pemerintah, swasta namun juga masyarakat. Salah satu kegiatan dalam gerakan terpadu nasional (Gardunas) TB adalah pelaksanaan Strategi Directly Observed Treatment Shortcourse (DOTS) dengan tujuan untuk menjamin dan mencegah resistensi, keteraturan pengobatan dan mencegah drop out penderita TB dengan cara melakukan pengawasan dan pengendalian pengobatan penderita tuberkulosis. Target program penanggulangan TB adalah tercapainya penemuan penderita baru TB dengan BTA positif paling sedikit 70% dari perkiraan dan menyembuhkan 85% dari semua penderita tersebut serta mempertahankannya. Target ini diharapkan dapat menurunkan tingkat prevalensi dan kematian akibat TB hingga separuhnya pada tahun 2010 dibanding tahun 1990 dan mencapai tujuan millenium development goals (MDGs) pada tahun 2015. Indonesia memang telah banyak mencapai kemajuan, yakni penemuan kasus baru 51,6% dari target global 70% dan penyediaan obat anti TB yang mencukupi kebutuhan perkiraan kasus di seluruh Indonesia, namun TB belum dapat diberantas, bahkan diperkirakan jumlah penderita TB terus meningkat (Depkes RI, 2003). Pada tahun 1999 WHO Global Surveillance memperkirakan di Indonesia terdapat 583.000 penderita TB baru pertahun dengan 262.000 BTA positif atau insidens rate kira-kira 130 per 100.000 penduduk. Kematian akibat TB diperkirakan menimpa 140.000 penduduk tiap tahun (Depkes RI, 2003). Kenyataan mengenai penyakit TB di Indonesia begitu mengkhawatirkan, sehingga kita harus waspada sejak dini dan mendapatkan informasi lengkap tentang penyakit TB. Apabila hal ini tidak mendapat perhatian dan penanganan yang tepat, cepat, segera dan intensif, maka prevalensi penyakit ini akan terus meningkat serta risiko penularan pun semakin tinggi. Penyakit TB paru menyerang sebagian besar kelompok kerja produktif, penderita TB paru kebanyakan dari kelompok sosial ekonomi rendah. Hal ini disebabkan oleh pengetahuan yang rendah tentang penyakit dan bagaimana cara merawat penderita TB Paru dengan baik. Berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah untuk mengurangi virulensi dan menekan jumlah penderita tuberkulosis, diantaranya dengan dicanangkannya Gerakan Terpadu Nasional (Gardunas TB) oleh Menkes RI pada tanggal 24 Maret 1999. Pemerintah melalui Program Nasional Pengendalian TB telah melakukan berbagai upaya untuk menanggulangi TB, yakni dengan strategi DOTS. World Health Organization (WHO) merekomendasikan 5 komponen strategi DOTS, antara lain dengan pengawasan langsung Pengawas Minum Obat (PMO). Pelaksanaan strategi DOTS sudah dilaksanakan tetapi sampai saat ini penderita tuberkulosis di Indonesia masih tinggi. Perlu dilakukan suatu modifikasi strategi untuk meningkatkan keteraturan minum OAT bagi penderita TB. Penderita TB perlu pengawasan langsung agar meminum obat secara teratur sampai sembuh (Depkes RI, 2003). Orang yang mengawasi dikenal dengan istilah PMO (Pengawas Minum Obat). PMO sebaiknya orang yang dekat dan disegani oleh penderita TBC, misalnya keluarga, tetangga, atau kader kesehatan. PMO bertanggung jawab untuk memastikan penderita TB meminum obat sesuai anjuran petugas Puskesmas/UPK (Unit Pelayanan Kesehatan). Penderita TB mungkin saja merasa malu atau kesakitan karena mengidap TB, maka PMO harus bisa menjadi sahabat yang siap mendengarkan keluhan penderita dan bisa membuat penderita merasa nyaman (Bachti, 2008). Berdasarkan permasalahan di atas, peneliti ingin mengetahui tentang hubungan peran Pengawas Minum Obat (PMO), faktor eksternal dan internal seperti tingkat pendidikan PMO, dukungan keluarga sebagai PMO, usia, motivasi serta sikap dari PMO http://www.koalisi.org/detail.php?m=3&sm=9&id=75 Peran Pengawas Minum Obat (Nursalam) 64 dengan keberhasilan pengobatan TB paru di Puskesmas Kota Bajawa Kabupaten Ngada. BAHAN DAN METODE PENELITIAN Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah crosssectional simple random sampling design. Populasi pada penelitian ini adalah PMO dan penderita TB Paru yang telah menyelesaikan pengobatan OAT kategori satu di Puskesmas Kota Bajawa Kabupaten Ngada yang berjumlah 48 orang. Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah PMO dan Penderita Tuberkulosis Paru yang telah menyelesaikan pengobatan di Puskesmas Kota Bajawa Kabupaten Ngada, dengan kriteria inklusi untuk PMO: 1) merupakan PMO dari penderita TB paru di Puskesmas Kota Bajawa Kabupaten Ngada, 2) usia PMO >18 tahun dan 3) bersedia menjadi responden. Adapun kriteria inklusi untuk penderita TB paru sebagai berikut: 1) mendapatkan pengobatan selama 6 bulan dan 2) telah menyelesaikan pengobatan OAT kategori 1 yaitu 2RHZS(E). Penelitian ini dilakukan selama Januari 2009. Variabel independen dalam penelitian ini adalah peran PMO dan faktor internal seperti tingkat pendidikan, umur, motivasi dan sikap dari PMO serta faktor eksternal yaitu dukungan keluarga sebagai PMO. Variabel dependen adalah keberhasilan pengobatan penderita TB paru. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah closed ended questionnare yang disusun oleh peneliti berdasarkan pada berbagai teori antara lain untuk data peran pengawas minum obat (Depkes RI, 2005), dukungan keluarga sebagai PMO (Suprajitno, 2004), motivasi (Handoko, 1995) dan sikap (Notoadmojo, 2003) yang kemudian dimodifikasi dengan mempertimbangkan kebutuhan data. Data yang diperoleh ditabulasi kemudian dianalisis dengan menggunakan uji statistik Corelations Spearman Rho dengan derajat kemaknaan <0,05. Interpretasi nilai sebagai berikut 0,80-1,00: tinggi; 0,60-0,80: cukup; 0,40- 0,60: agak rendah; 0,20-0,40: rendah dan 0,00-0,20: sangat rendah (tidak berkorelasi) (Arikunto, 2006). HASIL PENELITIAN Hasil penelitian menunjukkan bahwa 76% (33 responden) peran PMO dalam kategori baik (gambar 1), sebesar 45 % (20 responden) mempunyai tingkat pendidikan SMP. Sebesar 81% (35 responden) dukungan keluarga sebagai PMO dalam kategori baik, 90% (39 responden) motivasi PMO dalam kategori baik., 93,0 % (40 responden) sikap PMO dalam kategori positif. Hasil pemeriksaan dahak/sputum awal di mana 100% (43 responden) dalam kategori positif. Sembilan puluh tiga persen (40 responden) pada pemeriksaan dahak/sputum ulangan (follow up) menunjukkan kategori BTA negatif (gambar 2). Hasil lain yang diperoleh yaitu 100% (43 responden) memperoleh pengobatan kategori satu, mengkonsumsi obat anti tuberkulosis (OAT) selama 2-6 dan 93% (40 responden) minum OAT secara teratur (gambar 3). Sebagian besar (95%) orang yang berperan sebagai PMO adalah mempunyai hubungan keluarga dengan penderita TB paru. Berdasarkan hasil analisis statistik Corelations Spearman Rho menunjukkan bahwa terdapat hubungan bermakna antara keberhasilan pengobatan penderita TB paru di Puskesmas Kota Bajawa dengan 1) peran PMO (p=0,023), 2) tingkat pendidikan PMO (p=0,043), 3) dukungan keluarga (p=0,021), 4) motivasi PMO (p=0,032) dan 5) sikap PMO (p=0,014). 76% 12% 12% Baik Cukup Kurang Gambar 1. Distribusi Peran PMO dalam Keberhasilan Pengobatan Tb Paru di Puskesmas Kota Bajawa, Januari 2009. Jurnal Ners Vol.4 No.1 April 2009: 62-67 65 7% 93% Positif Negatif Gambar 2. Distribusi Hasil Pemeriksaan Dahak/Sputum Ulangan (Follow Up) pada Program Pengobatan Tb Paru di Puskesmas Kota Bajawa, Januari 2009. 93% 7% Teratur Tidak Teratur Gambar 3. Distribusi Keteraturan Minum Oat Pada Penderita Tb Paru di Puskesmas Kota Bajawa, Januari 2009. PEMBAHASAN Terdapat hubungan yang bermakna antara peran PMO dengan keberhasilan pengobatan penderita TB Paru di Puskesmas Kota Bajawa. Menurut Depkes RI (2005) peran seorang PMO dipengaruhi oleh faktor external berupa dukungan keluarga sebagai PMO dan faktor internal yang berupa tingkat pendidikan PMO, serta motivasi dan sikap dari PMO. Dalam penelitian ini terbukti peran seorang PMO dalam kategori baik karena hal tersebut ditunjang oleh tingkat pendidikan dari PMO yang cukup sehingga dalam menjalankan peran, PMO memiliki pengetahuan yang cukup memadai dalam mendampingi dan mengawasi penderita minum OAT. PMO termotivasi untuk berperan membantu anggota keluarga yang sakit sesuai tugas dan fungsi kelurga serta dalam pendampingannya PMO selalu bersikap positif. Hal ini mendorong pasien untuk minum OAT secara rutin sesuai jangka waktu pengobatan yang ditentukan yakni 6 bulan. Terdapat hubungan bermakna antara tingkat pendidikan PMO dengan keberhasilan pengobatan penderita TB Paru di Puskesmas Kota Bajawa. Menurut Notoadmojo (2000) tingkat pendidikan dapat mempengaruhi peran seseorang dalam melaksanakan tugas dan fungsi sosial di masyarakat. Pendidikan yang baik dan cukup dapat meningkatkan pengetahuan seseorang untuk bertindak dan berperan dalam bidang kesehatan (Swamburg, 2000). Pernyataan ini secara tidak langsung mendukung hubungan yang positif antara pendidikan dan motivasi. Petugas kesehatan/pengelola program TB paru di Puskesmas harus memberikan pembekalan berupa pendidikan kesehatan kepada PMO dan penderita sebelum di mulainya program pengobatan tentang penyakit TB paru, cara pencegahan, pengobatan, serta peran dan fungsi dari PMO dalam bertugas mengawasi dan mendampingi penderita minum OAT secara benar dan teratur. Hal tersebut dapat memberikan tambahan pengetahuan bagi PMO dan bagi penderita TB mampu melakukan pencegahan kekambuhan dan drop out. Terdapat hubungan bermakna antara dukungan keluarga sebagai PMO dengan keberhasilan pengobatan penderita TB paru di Puskesmas Kota Bajawa. Menurut Friedman (1998) fungsi keluarga dalam bidang kesehatan adalah mengenal masalah kesehatan, membuat keputusan yang tepat, memberi perawatan kepada anggota keluarga yang sakit, mempertahankan dan menciptakan suasana yang sehat dengan mempertahankan hubungan dengan petugas dan fasilitas kesehatan yang ada di masyarakat. Notoadmojo (2003) menyatakan persepsi keluarga terhadap keadaan sehat dan sakit erat hubungannya dengan perilaku mencari pengobatan. Kedua pokok pikiran tersebut akan mempengaruhi atas dipakai atau tidaknya fasilitas yang tersedia. Penderita TB paru/keluarga memanfaatkan fasilitas kesehatan dalam usaha pengobatan serta mau mematuhi aturan minum OAT sesuai dengan anjuran petugas kesehatan maka besar kemungkinan penderita dapat disembuhkan sehingga tidak terjadi kekambuhan atau resistensi. Dukungan yang baik dari PMO harus diberikan kepada penderita secara terus menerus dan Nursalam Peran Pengawas Minum Obat (Nursalam) 66 berkesinambungan mengingat jangka pengobatan bagi penderita cukup lama yaitu 6 bulan. Hal ini sangat bermafaat dalam mencegah terjadinya kegagalan pengobatan dan menurunkan angka kematian akibat penyakit tuberkulosis paru. Terdapat hubungan bermakna antara motivasi PMO dengan keberhasilan pengobatan penderita TB paru di Puskesmas Kota Bajawa. Menurut Handoko (1995) motivasi adalah keadaan pribadi seseorang yang mendorong keinginan individu di masyarakat dalam melaksanakan kegiatan atau peran dalam mencapai suatu tujuan. Ini berarti bahwa sebagian besar PMO memiliki motivasi yang baik dalam mendampingi dan mengawasi penderita TB paru minum OAT secara tepat dan teratur. Motivasi itu timbul karena adanya suatu keinginan atau kebutuhan yang harus dipenuhi serta motivasi itu dapat timbul akibat kombinasi dari dalam diri orang itu sendiri dan lingkungan sosial terdekat misal keluarga. Motivasi itu diwujudkan dalam bentuk tindakan atau perilaku dalam peran (Sarwono, 1997). Nugroho (2000) menyatakan bahwa ada hubungan yang positif antara kelompok umur dengan motivasi seseorang. Orang dewasa memiliki motivasi yang sangat kuat dalam menjalankan peran di masyarakat dan motivasi itu akan melemah apabila seseorang itu memasuki usia lanjut. Peningkatan motivasi seorang PMO dapat dilakukan dengan cara petugas kesehatan/pengelola program TB paru selalu melibatkan PMO dalam pengambilan keputusan berkaitan dengan program pengobatan TB paru, dengan demikian kerjasama yang baik akan selalu terjaga. PMO akan merasa dihargai dan terus termotivasi serta siap bekerja sama membantu mendampingi dan mengawasi selama masa pengobatan penderita TB paru. Terdapat hubungan bermakna antara sikap PMO dengan keberhasilan pengobatan penderita TB paru di Puskesmas Kota Bajawa. Seorang ahli psikologi menyatakan bahwa sikap itu mengandung faktor perasaan dan motivasi. Hal ini berarti bahwa sikap terhadap suatu obyek atau peran tertentu akan selalu diikuti oleh perasaan yang positif/menyenangkan dan negatif/tidak menyenangkan sedangkan sikap yang mengandung motivasi berarti bahwa sikap itu memiliki daya dorong bagi individu untuk berperilaku dalam perannya. Sikap merupakan kegiatan atau kesediaan seseorang untuk bertindak dalam melakukan pengawasan dan pendampingan yang bersahabat utuk membantu seorang penderita TB paru minum OAT sesuai jangka waktu pengobatan yang ditentukan (Notoadmojo, 2003). Sikap yang paling tinggi tingkatnya adalah tanggung jawab (responsible) terhadap apa yang diyakini dan diterima sebagai suatu tugas untuk diperankan. Dalam menjalankan peran sebagai PMO harus bisa menjadi sahabat yang siap mendengarkan keluhan penderita serta bisa membuat pasien TB paru merasa nyaman. Hasil penelitian ini menunjukkan sikap yang baik (positif) yang ditunjang oleh motivasi yang baik dari PMO terbukti dapat menunjang keberhasilan pengobatan TB paru di Puskesmas Kota Bajawa. Mengingat sikap tidak dibawa sejak lahir tetapi terbentuk pada masa perkembangan individu seseorang maka kepada petugas kesehatan/pengelola program TB paru untuk secara terus menerus mempelajari sikap seseorang yang akan direkrut menjadi PMO. Sikap yang baik (positif) juga harus ditunjukkan oleh petugas kesehatan yang terlibat dalam pelayanan kesehatan yang berhubungan kepada penderita dan PMO. Hal tersebut dapat menjadi penentu pencapaian keberhasilan. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Peran PMO dalam keberhasilan pengobatan TB paru mayoritas dalam kategori baik. Hal ini dipengaruhi oleh tingkat pendidikan PMO yang mayoritas SMP, dukungan keluarga sebagai PMO yang baik, dan motivasi dari PMO yang baik serta sikap yang positif dari PMO dalam mendampingi dan mengawasi penderita TB paru. Saran Dari hasil penelitian ini, peneliti menyarankan agar: 1) adanya penghargaan kepada PMO atas partisipasi dalam keberhasilan pengobatan penderita TB paru, 2) petugas kesehatan perlu memberikan Jurnal Ners Vol.4 No.1 April 2009: 62-67 67 penyuluhan dan pembagian brosur (leaflet) kepada PMO dan penderita TB paru tentang peran dan fungsi PMO, penyakit, pengobatan dan cara pencegahan TB paru, 3) adanya pembekalan kepada petugas kesehatan (pengelola program TB paru) dalam bentuk latihan dan seminar untuk meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan dan 4) evaluasi perlu dilakukan minimal setiap 1 bulan sekali untuk mengetahui kekurangan dan hasil pencapaian sebagai bahan acuan pelaksanaan program pengobatan TB paru selanjutnya. KEPUSTAKAAN Arikunto, S., 2006. Prosedur Penelitian. Jakarta: PT Rineka Cipta, hlm. 71-81. Azwar, 1995. Sikap Manusia Teori dan Pengukurannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, hlm. 25-27. Bachti, 2008. TBC Sembuh Total Dengan Pelayanan DOTS, (online) (http://www.pikiranrakyat.com.net.id, diakses tanggal 15 November 2008, Jam 20.15 WIB). Depkes RI, 2003. Pedoman Penanggulangan Penyakit TB Paru. Jakarta: Dirjen PPM dan PLP, Hlm.8-16. Depkes RI, 2005. Pedoman Penanggulangan Tuberkulosis Paru. Jakarta: Dirjen PPM dan PLP, hlm. 14-20. Depkes RI, 2007. Pedoman Penanggulangan Tuberkulosis. Jakarta: Dirjen PPM dan PPL, hlm. 6-23. Dinkes Kabupaten Ngada, 2007. Nota Kesepakatan Bersama (pengelola TB Paru Kabupaten Ngada dengan seluruh Puskesmas yang berada di wilayah kerja Dinas Kesehatan Kabupaten Ngada. Dinkes Kabupaten Ngada, 2008. Jumlah penderita di Puskesmas Kota Bajawa dari bulan Januari-Mei 2008. Dinkes Propinsi NTT, 2008. Data Pencapaian Keberhasilan Pengobatan TB Seluruh Kabupaten Kota di Nusa Tenggara Timur. Friedman, 1998. Keperawatan Keluarga, Teori dan Praktek, Jakarta: EGC, hlm. 24-26. Handoko, 1995. Motivasi Penggerak Tingkah Laku, Jogyakarta: Kanisius, hlm. 4-8. Notoadmojo, 2003. Pendidikan Dan Perilaku Kesehatan Edisi 3. Jakarta: Penerbit Rineka Cipta, hlm. 45-47. Notoadmojo, 2000. Pengantar Pendidikan Kesehatan dan Ilmu Perilaku Kesehatan. Yogyakarta: Andi Offset, hlm. 21-27. Swamburg, 2001. Kepemimpinan Dalam Manajemen Keperawatan. Jakarta: EGC, hlm. 23-25. Suprajitno, 2004. Asuhan Keperawatan Keluarga: Aplikasi dalam Praktek. Jakarta: EGC, hlm. 43. Nursalam http://www.pikiranrakyat.com.net.id/