HUBUNGAN FAKTOR RISIKO ASMA DAN PERILAKU PENCEGAHAN 68 IMPLEMENTASI HEALTH BELIEF MODEL PADA ANALISIS KEPUTUSAN KELUARGA MELAKUKAN KUNJUNGAN KE PUSKESMAS (Health Believe Model Implementation on The Analyze of Family Decision to Visit The Public Health Center) Purwaningsih*, Ni Ketut Alit Armini*, Susanti* ABSTRACT Introduction : Dengue Haemorhagic Fever (DHF) is one of infecsius deseases. These deseases can have serious complications and kill the patients. Dengue Haemorhagic Fever (DHF) deseases that is suffered to the patients has become a heavy complication in Tembok Dukuh village. By the health belief model implementation, the patients got earlier response as soon as possible. The objective of the study was to analyze family’s decision for visiting Puskesmas in earlier response of Dengue Haemorhagic Fever (DHF). This descriptive analytic was conducted at work area of Puskesmas Tembok Dukuh Surabaya. The population was the family with Dengue Haemorhagic Fever (DHF) patient from Januari 2007 until July 2009. Method : Clustered design was used to take the sample. Total sample were 65 respondents, taken according to inclusion criteria. The independent variables were health belief model about perceived susceptibility, perceived seriousness, perceived benefits, perceived barriers, and cues to action. The dependent variable was family’s decision for visiting Puskesmas in earlier response of Dengue Haemorhagic Fever (DHF). Data was collecting using structured questionnaire. Data that had collected were later analyzed with frequency distribution of each category. Result : Result showed that perceived susceptibility most family was in middle category, perceived seriousness most family was in high category, most of family got the benefits, most of family also got the barriers, and all of the respondents have cues to action. The family’s decision to visit Puskesmas for the earlier Dengue Haemorhagic Fever (DHF) response was founded in a few of family. Analysis : It can be concluded that most of the family didn’t have a steady decisison to visit Puskesmas for the earlier Dengue Haemorhagic Fever response. It can be proved by there are most of family chose the others health service. Discussion : Health workers in Desease Eradication Departement (P2M) should sosialize the Puskesmas program related with the earlier Dengue Haemorhagic Fever (DHF) response. So that, the family has believed that visiting Puskesmas is important for the earlier Dengue Haemorhagic Fever (DHF) response. Keywords: decisison making, health belief model *Fakultas Keperawatan Universitas Airlangga Kampus C Mulyorejo Surabaya. Telp/Fax: (031) 5913257, E-mail: purwaningsih_ners@unair.ac.id PENDAHULUAN Model kepercayaan kesehatan atau health belief model merupakan salah satu model penggunaan pelayanan kesehatan yang didasarkan pada kenyataan bahwa beberapa problem kesehatan ditandai oleh kegagalan masyarakat untuk menerima usaha pencegahan dan penyembuhan penyakit yang diselenggarakan oleh provider (Notoatmodjo, 2007). Masyarakat yang menderita penyakit dan tidak merasakan sakit tidak akan bertindak terhadap penyakit tersebut. Tetapi bila masyarakat diserang penyakit dan juga merasakan sakit, maka baru akan timbul berbagai macam perilaku dan usaha (Notoatmodjo, 2007). Puskesmas merupakan lini terdepan yang memberikan pelayanan kesehatan masyarakat secara menyeluruh (Susilo, 2008). Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan salah satu penyakit menular yang masih menjadi masalah kesehatan pada negara berkembang termasuk Indonesia (Depkes RI, 2005). Berdasarkan survey yang dilakukan oleh peneliti dari jumlah surat rujukan Jurnal Ners Vol.4 No.1 April 2009: 68-78 69 penderita dengan kasus Demam Berdarah Dengue (DBD) yang dikeluarkan Puskesmas, penyakit demam berdarah yang diderita keluarga di Kelurahan Tembok Dukuh, wilayah kerja Puskesmas Tembok Dukuh Surabaya, pada tahun 2007 sebanyak 28 orang (36,37%) sudah pada manifestasi klinis yang berat, tahun 2008, 18 orang (23,38%), dan tahun 2009 (Januari-Juli) 19 orang (24,68%) atau 84% dari 65 keluarga tidak menggunakan Puskesmas dalam penanganan dini demam berdarah. Penerapan health belief model terhadap keputusan keluarga untuk melakukan kunjungan ke Puskesmas dalam penanganan dini Demam Berdarah Dengue (DBD) masih perlu dijelaskan. Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Kota Surabaya yang menunjukkan bahwa sejak ditemukan pertama kali pada tahun 1968, penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) terus menerus ditemukan di Surabaya yang merupakan salah satu daerah endemis di Jawa Timur. Kasus Demam Berdarah Dengue (DBD) di Surabaya pada tahun 2003, 2004, dan 2005 mengalami peningkatan seiring bertambahnya jumlah penduduk. Pada tahun 2006 sebanyak 4.187 kasus (34,62%) dibandingkan tahun 2005 yaitu sebanyak 2.568 kasus (21,23%) mengalami peningkatan sebesar (13,39%). Sedangkan pada tahun 2007 mengalami penurunan kembali, yaitu jumlah kasus sebanyak 3.214 kasus (26,58%). Hal ini menunjukkan bahwa program pemberantasan penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) di Surabaya masih perlu ditingkatkan. Insidens Risk (IR) dari tahun 2003 sampai dengan tahun 2006 menunjukkan kenaikan yaitu dari dari 36 per 100.000 menjadi 149 per 100.000, sedangkan pada tahun 2007 menunjukkan jumlah yang turun yaitu 113 per 100.000. Nilai Case Fatality Rate (CFR) menunjukkan nilai yang naik turun dari tahun 2003 sampai dengan tahun 2007. Pada tahun 2003 sebanyak 0.9% mengalami peningkatan dibandingkan tahun 2004 sebanyak 0.7%. Pada tahun 2005 sebanyak 1.3% mengalami peningkatan dibandingkan tahun 2006 sebanyak 0.5%, dan pada tahun 2007 sebanyak 0.7% juga mengalami peningkatan dibandingkan tahun 2006. Hal ini menunjukkan bahwa seorang penderita Demam Berdarah Dengue (DBD) masih perlu deteksi dini untuk mencegah terjadinya kegawatan akibat penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD). Kasus Demam Berdarah Dengue (DBD) di Puskesmas Tembok Dukuh Surabaya berada diurutan kedua di wilayah Surabaya. Oleh sebab itu, berdasarkan program pokok Puskesmas, prioritas kinerja pada upaya penanggulangan Demam Berdarah Dengue (DBD) lebih ditingkatkan. Pemilihan prioritas upaya penanggulangan Demam Berdarah Dengue (DBD) dikarenakan Demam Berdarah Dengue (DBD) selalu ada di wilayah kerja Puskesmas, salah satunya adalah Kelurahan Tembok Dukuh di Kecamatan Bubutan yang merupakan salah satu kelurahan yang endemis. Berdasarkan data awal yang didapatkan oleh peneliti pada tanggal 15 Juni 2009 di Puskesmas Tembok Dukuh, keluarga di Kelurahan Tembok Dukuh Surabaya yang menderita Demam Berdarah Dengue (DBD) pada tahun 2007 sebanyak 34 orang (44,16%), pada tahun 2008 sebanyak 22 orang (28,57%), dan pada tahun 2009 sebanyak 21 orang (27,27%). Pada tahun 2008 mengalami penurunan sebesar 15,59% sedangkan pada tahun 2009 mengalami peningkatan. Hal ini dapat ditunjukkan dari bulan Januari sampai dengan Juli 2009 jumlah penderita sudah mencapai 27,27%. Hal ini menunjukkan bahwa kasus Demam Berdarah Dengue (DBD) di Kelurahan Tembok Dukuh masih perlu mendapat perhatian khusus karena jika tidak segera ditangani maka jumlah kematian penderita demam berdarah akan semakin meningkat. Oleh sebab itu, program pemberantasan penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) di Kelurahan Tembok Dukuh masih perlu ditingkatkan untuk lebih menekan jumlah penderita. Kasus kematian penderita akibat Demam Berdarah Dengue (DBD) yang tinggi terjadi karena penderita terlambat dibawa berobat ke Rumah Sakit atau Puskesmas. Jika penderita Demam Berdarah Dengue (DBD) terlambat untuk ditangani, akibatnya sering fatal, yaitu bisa langsung merenggut nyawa karena gejala dan tanda Demam Berdarah Dengue (DBD) tidak selalu tampil nyata sehingga tidak selalu mudah dikenali (Nadesul, 2007). Menurut Rosenstock (1982) dalam Sarwono (2004), Masyarakat atau keluarga tidak akan mencari pertolongan medis atau pencegahan penyakit bila keluarga kurang mempunyai pengetahuan dan motivasi minimal yang relevan dengan kesehatan, bila keluarga memandang keadaan tidak cukup berbahaya, Implementasi Health Belief Model (Purwaningsih) 70 bila tidak yakin terhadap keberhasilan suatu intervensi medis, dan bila keluarga melihat adanya beberapa kesulitan dalam melaksanakan perilaku kesehatan yang disarankan. Model kepercayaan kesehatan (Health Belief Model) dari Rosenstock (1982) dalam Sarwono (2004), meliputi: kerentanan yang dirasakan terhadap suatu penyakit, keseriusan yang dirasakan, manfaat yang diterima, rintangan-ritangan yang dialami dalam tindakannya melawan penyakit, dan isyarat atau tanda-tanda yang mendorong tindakan tersebut. Kelima variabel tersebut merupakan variabel health belief model yang dapat diterapkan bagi keluarga terhadap keputusan keluarga untuk melakukan kunjungan ke Puskesmas dalam penanganan dini Demam Berdarah Dengue (DBD) guna meningkatkan derajat kesehatan keluarga. Kepercayaan keluarga mengunjungi Puskesmas dapat menolong proses penyembuhan penyakit termasuk penanganan dini penderita Demam Berdarah Dengue (DBD) diharapkan mampu menurunkan jumlah penderita Demam Berdarah Dengue (DBD) di wilayah penelitian yaitu wilayah kerja Puskesmas Tembok Dukuh dengan cara deteksi dini terhadap tanda dan gejala yang ditimbulkan sehingga penderita tidak terlambat mendapatkan pertolongan. Salah satu fungsi Puskesmas adalah membina peran serta masyarakat di wilayah kerjanya dalam rangka meningkatkan kemampuan untuk hidup sehat. Oleh sebab itu, keputusan keluarga untuk melakukan kunjungan ke Puskesmas tersebut merupakan langkah awal terhadap perubahan perilaku dalam menghadapi masalah kesehatan yang berkelanjutan serta demi terwujudnya kemandirian dalam bidang kesehatan di dalam keluarga dan masyarakat. Berdasarkan fakta di atas, peneliti tertarik untuk menganalisis penerapan health belief model terhadap keputusan keluarga untuk melakukan kunjungan ke Puskesmas dalam penanganan dini Demam Berdarah Dengue (DBD). BAHAN DAN METODE PENELITIAN Rancangan penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif. Sampel didapat dengan menggunakan cluster sampling dengan kriteria inklusi: 1) Keluarga yang memiliki anggota keluarga dengan Demam Berdarah Dengue (DBD) mulai Januari 2007-Juli 2009, 2) Orang tua (Ayah atau Ibu) sebagai pengambil keputusan yang berusia 25-65 tahun. Jumlah sampel yang didapat sebanyak 65 orang terdiri dari 19 orang dari RW 3, 21 orang dari RW 7 dan 25 orang dari RW 10. Data untuk variabel independen yaitu penerapan health belief model meliputi: kerentanan, keseriusan, manfaat, rintangan, dan faktor pendorong yang dirasakan oleh keluarga yang memiliki anggota keluarga penderita Demam Berdarah Dengue (DBD) diperoleh melalui pengisian kuesioner jenis close ended dichotomy question. Variabel dependen dalam penelitian ini adalah keputusan keluarga untuk melakukan kunjungan ke Puskesmas yang didapat melalui kusioner terstruktur dengan hasil berupa content analysis. Penelitian ini dilakukan di wilayah Puskesmas Tembok Dukuh Surabaya pada tanggal 23 Juni sampai 6 Juli 2009. HASIL PENELITIAN Data mengenai kerentanan yang dirasakan keluarga (perceive susceptibility) menunjukkan dari 65 keluarga yang menjadi responden dalam penelitian ini, lebih dari setengah responden (55%) mengalami kerentanan yang sedang terhadap penyakit DBD. Sub variabel mengenai keseriusan yang dirasakan keluarga (perceived seriousness) hampir setengah responden (46%) mengalami keseriusan yang tinggi terhadap kegawatan akibat penyakit DBD apabila penderita tidak segera mendapatkan penanganan. Berdasarkan manfaat yang dirasakan keluarga (perceived benefits) sebanyak 62% dari 65 responden merasakan manfaat ketika keluarga melakukan kunjungan ke Puskesmas dalam penanganan dini anggota keluarga yang menderita DBD (tabel 1). Identifikasi rintangan yang dirasakan keluarga (perceived barrier) menunjukkan bahwa dari 65 keluarga sebanyak 74% mengalami rintangan ketika akan melakukan kunjungan ke Puskesmas dalam penanganan dini anggota keluarga yang menderita DBD (tabel 2). Pengetahuan keluarga untuk melakukan penanganan dini penyakit DBD berasal dari sumber informasi yang didapatkan keluarga seperti pada distribusi tabel 3. Faktor pendorong utama (cues to action) keluarga melakukan kunjungan ke Puskesmas dapat dilihat tabel 4. Jurnal Ners Vol.4 No.1 April 2009: 68-78 71 Tabel 1. Manfaat yang Dirasakan (Perceived Benefits) Keluarga untuk Melakukan Kunjungan ke Puskesmas dalam Penanganan Dini Demam Berdarah Dengue (DBD) di Kelurahan Tembok Dukuh Kecamatan Bubutan, Surabaya 23 Juni-6 Juli 2009 Manfaat yang dirasakan Frekuensi Persentase (%) Penderita mendapatkan penanganan dengan cepat 21 52,5% Penderita dapat terhindar dari kegawatan akibat penyakit demam berdarah 11 27,5% Penderita dapat terhindar dari kematian akibat keterlambatan penanganan 8 20% Jumlah 40 100% Tabel 2. Rintangan yang Dialami (Perceived Barriers) Keluarga untuk Melakukan Kunjungan ke Puskesmas dalam Penanganan Dini Demam Berdarah Dengue (DBD) di Kelurahan Tembok Dukuh Kecamatan Bubutan, Surabaya 23 Juni-6 Juli 2009 Rintangan yang dialami Frekuensi Persentase (%) Jarak rumah ke Puskesmas sangat jauh 28 58,3% Tidak ada transportasi atau kendaraan 11 22,9% Biaya pengobatan di Puskesmas mahal 0 0% Pelayanan petugas Puskesmas yang kurang memuaskan 9 18,8% Jumlah 48 100% Tabel 3. Sumber Informasi Keluarga tentang Penanganan Dini Demam Berdarah Dengue (DBD) di Kelurahan Tembok Dukuh Kecamatan Bubutan, Surabaya 23 Juni-6 Juli 2009 Sumber informasi Frekuensi Persentase (%) Media massa (Televisi, radio, surat kabar, majalah, internet) 40 61,5% Mencari sendiri dengan membaca-baca buku tentang penanganan dini demam berdarah 5 7,7% Teman-teman dan tetangga 9 13,9% Petugas Puskesmas 11 16,9% Jumlah 65 100% Tabel 4. Pendorong Utama (Cues To Action) Keluarga untuk Melakukan Kunjungan ke Puskesmas atau Sarana Kesehatan yang Lain dalam Penanganan Dini Demam Berdarah Dengue (DBD) di Kelurahan Tembok Dukuh Kecamatan Bubutan, Surabaya 23 Juni-6 Juli 2009 Pendorong utama Frekuensi Persentase (%) Gejala dan tingkat keparahan penyakit demam berdarah 44 67,7% Informasi dari keluarga 6 9,2% Penjelasan petugas Puskesmas 15 23,1% Jumlah 65 100% Sebanyak 51% responden melakukan kunjungan ke Puskesmas jika ada anggota keluarga yang dicurigai menderita Demam Berdarah Dengue (DBD) atas inisiatif keluarga sendiri, sebagian besar responden (75%) membicarakan terlebih dahulu dengan anggota keluarga yang lain dalam proses pengambilan keputusan untuk melakukan kunjungan ke Puskesmas dalam penanganan dini penderita Demam Berdarah Dengue (DBD). Adapun content analysis dari hasil kuesioner terstruktur yang mendukung data tersebut dengan pertanyaan: Apa saja yang anda bicarakan dengan keluarga mengenai keputusan anda untuk membawa anggota keluarga yang sakit ke Puskesmas? Jawaban dapat disimpulkan sebagai berikut: “Kami Implementasi Health Belief Model (Purwaningsih) 72 sebelumnya selalu membicarakan terkait dengan penanganan yang dilakukan oleh Puskesmas untuk segera mengetahui penyakit yang diderita anggota keluarga agar dapat segera disembuhkan.” (15 responden). “Saya berbicara tentang kemungkinan mendapatkan surat rujukan dengan cepat jika anggota keluarga yang sakit dicurigai mengalami kegawatan.” (6 responden). “Saya berbicara terlebih dahulu kepada keluarga (suami atau istri) perihal keberadaan dokter yang bertugas saat itu karena biasanya tidak langsung ditangani oleh dokter yang bertugas dan juga tentang obat-obatan yang nanti diterima dari Puskesmas. Selain itu, kami juga memperhitungkan jarak Puskesmas dengan rumah kami” (17 responden). “Yang dibicarakan adalah mempertimbangkan biaya yang dikeluarkan untuk berobat ke Puskesmas sebab biayanya cukup terjangkau” (4 responden). “Kami membicarakan perihal pelayanan petugas Puskesmas apakah dapat memberikan pelayanan secara maksimal kepada masyarakat yang berobat ke Puskesmas tersebut” (7 responden). Delapan puluh lima persen (55 responden) memiliki keinginan untuk berobat ke tempat pelayanan kesehatan yang lain selain di Puskesmas, dengan distribusi 76,4 % (42 responden) berobat ke Dokter Praktik, 23,6% (13 responden) ingin berobat ke Rumah Sakit. Kurang dari setengah responden (45%) memutuskan untuk berobat ke Puskesmas jika ada anggota keluarga yang dicurigai menderita Demam Berdarah Dengue (DBD). Hasil tabulasi silang antara kerentanan yang dirasakan keluarga (perceived susceptibility) dan keputusan keluarga untuk melakukan kunjungan ke Puskesmas dalam penanganan dini Demam Berdarah Dengue (DBD) menunjukkan sebagian besar keluarga memiliki keputusan yang mantap untuk berobat ke Puskesmas jika terdapat anggota keluarga yang menderita Demam Berdarah Dengue (DBD) berada pada tingkat kerentanan yang sedang yaitu sebesar (65,5%). Sementara, keluarga yang tidak memiliki kemantapan untuk berobat ke Puskesmas sebagian besar berada pada kerentanan yang sedang yaitu sebesar (47,2%). Tabulasi silang antara keseriusan yang dirasakan keluarga (perceived seriousness) dan keputusan keluarga untuk melakukan kunjungan ke Puskesmas dalam penanganan dini Demam Berdarah Dengue (DBD) dapat diketahui bahwa sebagian besar keluarga memiliki keputusan yang mantap untuk berobat ke Puskesmas jika terdapat anggota keluarga yang menderita Demam Berdarah Dengue (DBD) berada pada tingkat keseriusan yang rendah yaitu sebesar (41,4%). Sebaliknya, keluarga yang tidak memiliki kemantapan untuk berobat ke Puskesmas jika terdapat anggota keluarga yang menderita Demam Berdarah Dengue (DBD) karena keluarga menganggap berobat ke Puskesmas adalah keputusan yang kurang tepat, sebagian besar pada tingkat keseriusan yang tinggi yaitu sebesar (55,5%). PEMBAHASAN Kerentanan yang dirasakan keluarga (perceived susceptibility) meliputi riwayat kesehatan anggota keluarga, kebersihan lingkungan tempat tinggal keluarga, dan kebiasaan yang dilakukan anggota keluarga di dalam rumah. Menurut Notoatmodjo (2007), kerentanan yang dirasakan keluarga (perceived susceptibility) adalah suatu tindakan pencegahan terhadap suatu penyakit akan timbul bila seseorang telah merasakan bahwa seseorang mengetahui keluarganya rentan terhadap penyakit tersebut. Kerentanan yang dialami timbul dari pendapat subyektif yang merupakan kunci dari dilakukannya atau dihindarinya suatu tindakan kesehatan. Dalam hal ini, keluarga baru akan melakukan suatu tindakan untuk menyembuhkan penyakit jika keluarga merasa terancam oleh penyakit tersebut. Dalam hal ini, keluarga dikatakan memiliki kerentanan yang tinggi jika keluarga memiliki pola hidup yang tidak sehat terkait dengan pemeliharan kesehatan keluarga yang tidak optimal serta keluarga kurang memahami cara hidup yang sehat untuk mencegah terjadinya penyakit Demam Berdarah Degue (DBD). Sebaliknya, jika keluarga memahami cara hidup sehat untuk pemeliharaan kesehatan anggota keluarga maka keluarga dikatakan memiliki kerentanan yang rendah. Dalam penelitian ini sebagian besar responden (55%) mengalami kerentanan yang sedang terhadap penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) karena sebagian besar keluarga telah mendapakan informasi mengenai penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) dan penanganannya melalui media massa, seperti televisi, radio, surat kabar, majalah, internet. Jurnal Ners Vol.4 No.1 April 2009: 68-78 73 Hasil penelitian diperoleh sebagian besar responden (75%) berpendidikan menengah ke atas dan lebih dari setengah responden (61,5%) mendapatkan informasi tentang penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) dan penanganannya. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka semakin mudah orang tersebut menerima informasi, baik dari orang lain maupun dari media massa. Notoatmodjo (2007) menyatakan bahwa tingkat pendidikan mempunyai efek tidak langsung pada perilaku yang berpengaruh pada pengertian dari kerentanan yang dirasakan, keseriusan yang dirasakan, serta manfaat dan penghalang dalam pengambilan tindakan pencegahan dan pengobatan terhadap penyakit. Terdapat beberapa faktor lain yang dapat mempengaruhi kecemasan terhadap kerentanan yang dirasakan oleh keluarga, antara lain: perbedaan demografi (usia, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, tingkat ekonomi, kelompok etnis, dan agama), pengetahuan, pengalaman, sumber informasi, dan latar belakang yang lain. Menurut WHO yang dikutip oleh Notoatmodjo (2003), pengetahuan dapat diperoleh dari pengalaman sendiri atau orang lain. Sampel dalam penelitian ini adalah keluarga dengan penderita Demam Berdarah Dengue (DBD) sebagai pengambil keputusan dengan rentang usia 25-65 tahun. Semakin bertambah dewasa usia seseorang akan mempengaruhi tindakan orang tersebut dalam pengambilan keputusan untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan anggota keluarganya. Sebagian responden berada pada rentang usia 25-34 tahun. Hal ini merupakan salah satu faktor yang menyebabkan kerentanan sebagian keluarga tinggi karena pengalaman maupun informasi yang dimiliki anggota keluarga sebagai pengambil keputusan di dalam keluarga terkait dengan bahaya penyakit dan penanganan dini penderita Demam Berdarah Dengue (DBD) belum optimal. Kerentanan terhadap suatu penyakit akan mempengaruhi seseorang untuk bertindak mengobati dan mencegah penyakitnya. Salah satu dasar pengambilan keputusan adalah pengalaman karena pengalaman seseorang dapat memperkirakan keadaan sesuatu, dapat memperhitungkan untung rugi, baik buruknya keputusan yang akan diambil (Hasan, 2004). Umumnya, seseorang menggunakan pengetahuan, pertimbangan, dan pengalamannya untuk memutuskan alternatif yang dianggap lebih menguntungkan dan yang paling kecil kerugiannya dari masing-masing alternatif yang tersedia. Identifikasi keseriusan yang dirasakan keluarga (perceiveed seriousness) dari 65 keluarga yang menjadi responden, diperoleh hasi penelitian yang menunjukkan bahwa (22%) responden mengalami keseriusan yang rendah, (32%) responden mengalami keseriusan yang sedang, dan (46%) responden mengalami keseriusan yang tinggi terhadap kegawatan akibat penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) apabila penderita tidak segera mendapatkan penanganan. Keseriusan yang dirasakan keluarga (perceived seriousness) tersebut meliputi pemahaman keluarga tentang penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD), kegawatan penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD), dan kecemasan akan kondisi anggota keluarga yang menderita Demam Berdarah Dengue (DBD). Notoatmodjo (2002) menyatakan bahwa keseriusan yang dirasakan (perceived seriousness) keluarga merupakan tindakan individu untuk mencari pertolongan pengobatan atau pencegahan penyakit akan didorong oleh keseriusan penyakit tersebut terhadap individu atau masyarakat. Dalam penelitian ini sebagian besar responden (92%) beragama Islam. Menurut Notoatmodjo (2005), beberapa anggota masyarakat dikalangan kelompok yang beragama Islam percaya bahwa anak adalah titipan Tuhan, dan sakit atau mati itu adalah takdir, sehingga masyarakat kurang berusaha untuk segera mencari pertolongan pengobatan bagi anak atau anggota keluarga yang sakit. Hasil penelitian menunjukkan dari 65 responden di Kelurahan Tembok Dukuh Kecamatan Bubutan, Surabaya sebagian kecil dari jumlah keluarga yang menjadi responden (21,5%) memiliki keputusan yang mantap untuk berobat ke Puskesmas jika terdapat anggota keluarga yang menderita Demam Berdarah Dengue (DBD) berada pada tingkat keseriusan yang rendah (41,4%). Sebaliknya, hampir setengah dari jumlah responden (46,2%) berada pada tingkat keseriusan yang tinggi (55,5%) memiliki keputusan yang tidak mantap untuk berobat ke Puskesmas karena keluarga menganggap bahwa Puskesmas tidak dapat memberikan penanganan dengan cepat Implementasi Health Belief Model (Purwaningsih) 74 dan tepat. Notoatmodjo (2002) menyatakan bahwa keseriusan yang dirasakan keluarga berasal dari banyaknya gejala, kecemasan, dan kesulitan yang dihadapi keluarga apabila anggota keluarga yang sakit tidak mendapatkan pemeliharaan dan perawatan yang baik dan tepat. Dalam hal ini, keluarga beranggapan bahwa jika penyakit yang diderita anggota keluarga dirasa cukup serius atau dianggap gawat oleh keluarga maka keluarga lebih memutuskan berobat ke Dokter Praktik karena penanganannya lebih cepat. Sebaliknya, jika penyakit yang diderita keluarga dirasa tidak serius oleh keluarga maka keluarga memutuskan berobat ke Puskesmas sebab tidak membutuhkan penanganan secara serius. Hal tersebut mempengaruhi keputusan keluarga untuk melakukan kunjungan ke Puskesmas dalam penanganan dini penderita Demam Berdarah Dengue (DBD). Dalam penelitian ini sebagian besar responden (67,7%) terdorong untuk melakukan kunjungan ke Puskesmas atau sarana kesehatan yang lain dalam penanganan dini penderita Demam Berdarah Dengue (DBD) karena gejala dan tingkat keparahan penyakit demam berdarah yang tampak pada penderita. Sesuai dengan pendapat Sarwono (2004) yang menyatakan bahwa keseriusan merupakan resiko kesulitan yang akan dirasakan individu terhadap suatu penyakit. Semakin besar resiko suatu penyakit dan semakin besar kemungkinannya bahwa individu dapat terserang penyakit, semakin besar pula keseriusan yang dirasakan individu. Individu akan mengambil tindakan pencegahan apabila mereka percaya bahwa penyakit tersebut berpontensi menimbulkan dampak yang serius. Identifikasi manfaat yang dirasakan keluarga (perceived benefits) dari hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 65 responden, diperoleh data (62%) responden merasakan manfaat, dan (38%) responden tidak merasakan manfaat ketika keluarga melakukan kunjungan ke Puskesmas dalam penanganan dini anggota keluarga yang menderita Demam Berdarah Dengue (DBD). Menurut Notoatmodjo (2007), Semakin besar manfaat yang diperoleh akan memperkuat individu untuk mengambil keputusan melakukan tindakan tersebut, yaitu memilih berobat ke Puskesmas walaupun harus disertai dengan rintangan yang dialami. Manfaat yang dirasakan keluarga beragam dan merupakan persepsi individu mengenai manfaat yang diperoleh apabila melakukan tindakan tertentu yang berkaitan dengan kesehatan. Menurut Rosenstock dalam Sarwono (2004), manfaat tersebut dapat berupa berkurangnya ancaman dan tingkat bahaya. Sedangkan menurut Notoatmodjo (2002), individu akan melakukan tindakan tertentu apabila individu merasa dirinya rentan terhadap penyakit yang dianggap serius dan dapat membahayakan diri sendiri dan orang- orang disekitar. Tindakan tersebut tergantung pada manfaat yang dirasakan dan rintangan yang ditemukan dalam mengambil tindakan tersebut. Pada umumnya, besarnya manfaat tindakan akan lebih menentukan daripada rintangan yang mungkin dtemukan dalam melakukan tindakan tersebut. Semakin besar manfaat yang akan diperoleh akan memperkuat individu untuk mengambil keputusan dalam melakukan tindakan tersebut, walaupun harus disertai dengan rintangan yang mungkin akan dialami. Berdasarkan hasil penelitian, manfaat yang dirasakan keluarga (perceived benefits) dari (62%) responden, sebesar (52,5%) responden adalah mendapatkan penanganan dengan cepat saat melakukan kunjungan ke Puskesmas jika salah satu anggota keluarga dicurigai menderita Demam Berdarah Dengue (DBD). Manfaat lain yang dirasakan keluarga saat melakukan kunjungan ke Puskesmas adalah penderita dapat terhindar dari kegawatan akibat penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD), dan penderita juga terhindar dari kematian akibat keterlambatan penanganan. Identifikasi rintangan yang dialami keluarga (perceived barriers) dari hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 65 responden, diperoleh data (74%) responden mengalami rintangan, dan (26%) responden tidak mengalami rintangan ketika akan melakukan kunjungan ke Puskesmas dalam penanganan dini anggota keluarga yang menderita Demam Berdarah Dengue (DBD). Rintangan yang dialami keluarga (perceived barriers) tersebut meliputi keterjangkauan fisik, pengorbanan tenaga, dan pengorbanan waktu. Maggie Davies dan Wendy Macdowall (2006) menyatakan bahwa individu akan melakukan suatu tindakan pencegahan dan pemeliharaan kesehatan apabila dalam diri Jurnal Ners Vol.4 No.1 April 2009: 68-78 75 individu terdapat keyakinan bahwa manfaat yang akan diperoleh dari suatu tindakan jauh lebih besar apabila dibandingkan dengan rintangan yang mungkin dialami ketika memutuskan untuk melakukan tindakan tersebut. Pendapat yang serupa juga dikemukakan oleh Notoatmodjo (2007) yang menyatakan bahwa pada umumnya manfat dari tindakan lebih menentukan bila dibandingkan dengan rintangan atau kesulitan yang mungkin dialami dalam melakukan tindakan yang berkaitan dengan kesehatan. Namun, terkait dengan hasil penelitian, pada umumnya keluarga lebih memperhatikan hal-hal yang menjadi rintangan ketika akan berobat ke Puskesmas karena rintangan tersebut menjadi hambatan atau kendala bagi keluarga untuk segera mendapatkan pertolongan atau penanganan anggota keluarga yang menderita Demam Berdarah Dengue (DBD). Berdasarkan hasil penelitian, rintangan yang dialami keluarga (perceived barriers) dari (74%) responden sebesar (58,3%) responden adalah jarak rumah ke Puskesmas yang cukup jauh sehingga keluarga lebih memilih berkunjung ke sarana kesehatan yang lain, dan beberapa responden juga memperhatikan pertimbangan-pertimbangan yang lain ketika memutuskan untuk berobat ke Puskesmas. Rintangan lain yang dialami keluarga saat melakukan kunjungan ke Puskesmas adalah pelayanan petugas Puskesmas yang kurang memuaskan, tidak ada transportasi atau kendaraan untuk menuju ke Puskesmas. Namun, responden tidak menganggap biaya pengobatan di Puskesmas sebagai rintangan karena pada umumnya biaya pengobatan di Puskesmas cukup terjangkau bagi masyarakat. Identifikasi faktor pendorong (cues to action) bagi keluarga untuk melakukan kunjungan ke Puskesmas dalam penanganan dini penderita Demam Berdarah Dengue (DBD), diperoleh data bahwa semua responden (100%) memiliki faktor pendorong untuk melakukan kunjungan ke Puskesmas maupun sarana kesehatan yang lain dalam penanganan dini penderita Demam Berdarah Dengue (DBD). Faktor pendorong keluarga untuk bertindak (cues to action) tersebut meliputi media informasi tentang penanganan dini penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD). Informasi mengenai penanganan dini penderita Demam Berdarah Dengue (DBD) dapat diperoleh dari berbagai sumber, diantaranya adalah melalui media massa, seperti televisi, radio, surat kabar, majalah, internet, dan dapat pula diperoleh dari penjelasan atau penyuluhan petugas Puskesmas, dan informasi yang diberikan oleh teman atau para tetangga yang mempunyai pengalaman terkait dengan peyakit Demam Berdarah Dengue (DBD). Selain media cetak maupun media elektronik, petugas kesehatan dan kader posyandu (PKK) juga memegang peranan penting dalam menyampaikan informasi kesehatan kepada masyarakat. Gambaran tersebut sesuai dengan hasil penelitian yang menunjukkan bahwa (61,5%) responden memperoleh informasi mengenai penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) dan penanganannya melalui media massa, seperti televisi, radio, surat kabar, majalah, internet dan (16,9%) informasi diperoleh responden dari penjelasan atau penyuluhan petugas Puskesmas. Petugas kesehatan mempunyai peranan yang cukup besar dalam menyampaikan informasi tentang memelihara dan meningkatkan kesehatan keluarga. Namun, sampai saat ini peran petugas Puskesmas tersebut kurang optimal. Keterjangkauan informasi tersebut terkait dengan pengambilan keputusan atau tindakan yang tepat. Ahmadi (2002) menyatakan bahwa individu akan melakukan suatu tindakan apabila telah memperoleh informasi yang lengkap. Dalam hal ini, keluarga akan melakukan kunjungan ke Puskesmas dalam penanganan dini penderita Demam Berdarah Dengue (DBD) apabila keluarga tersebut memperoleh penjelasan yang lengkap tentang bahaya penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) beserta penanganannya dari petugas Puskesmas. Berdasarkan hasil penelitian, (67,7%) responden terdorong untuk melakukan kunjungan ke Puskesmas maupun sarana kesehatan yang lain dalam penanganan dini penderita Demam Berdarah Dengue (DBD) karena gejala dan tingkat keparahan penyakit demam berdarah, (23,1%) responden terdorong karena penjelasan dari Petugas Puskesmas, dan (9,2%) responden terdorong untuk melakukan kunjungan ke Puskesmas dalam penanganan dini penderita Demam Berdarah Dengue (DBD) karena informasi dari keluarga. Faktor pendorong merupakan faktor eksternal keluarga yang berasal dari luar individu dan berguna untuk mendapatkan tingkat Implementasi Health Belief Model (Purwaningsih) 76 penerimaan yang benar mengenai kerentanan, kegawatan, dan keuntungan suatu perilaku (Notoatmodjo, 2002). Gejala dan tingkat keparahan penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan salah satu bentuk kecemasan akan keseriusan penyakit yang dirasakan keluarga yang akan mepengaruhi pengambilan keputusan keluarga untuk melakukan kunjungan ke Puskesmas dalam penanganan dini Demam Berdarah Dengue (DBD). Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebesar (51%) responden yang melakukan kunjungan ke Puskesmas jika ada anggota keluarga yang dicurigai menderita Demam Berdarah Dengue (DBD) atas inisiatif keluarga sendiri, (32%) responden atas saran dari tetangga disekitar rumah, dan (17%) responden atas saran dari kader Posyandu atau kader PKK. Hal ini sesuai dengan penjelasan Notoatmodjo (2003), bahwa keluarga merupakan bagian terpenting yang akan mempengaruhi pengambilan keputusan keluarga dalam pemeliharaan kesehatan anggota keluarga. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar responden (75%) membicarakan terlebih dahulu dengan anggota keluarga yang lain tentang keputusan keluarga berobat ke Puskesmas. Sisanya, (25%) responden tidak membicarakannya terlebih dahulu. Sementara jawaban dari pertanyaan terbuka tentang topik yang dibicarakan keluarga, diantaranya: “Kami sebelumnya selalu membicarakan terkait dengan penanganan yang dilakukan oleh Puskesmas untuk segera mengetahui penyakit yang diderita anggota keluarga agar dapat segera disembuhkan” (15 responden). “Saya berbicara tentang kemungkinan mendapatkan surat rujukan dengan cepat jika anggota keluarga yang sakit dicurigai mengalami kegawatan” (6 responden). “Saya berbicara terlebih dahulu kepada keluarga (suami atau istri) perihal keberadaan dokter yang bertugas saat itu karena biasanya tidak langsung ditangani oleh dokter yang bertugas dan juga tentang obat- obatan yang nanti diterima dari Puskesmas. Selain itu, kami juga memperhitungkan jarak Puskesmas dengan rumah kami” (17 responden). “Yang dibicarakan adalah mempertimbangkan biaya yang dikeluarkan untuk berobat ke Puskesmas sebab biayanya cukup terjangkau” (4 responden). “Kami membicarakan perihal pelayanan petugas Puskesmas apakah dapat memberikan pelayanan secara maksimal kepada masyarakat yang berobat ke Puskesmas tersebut” (7 responden). Sebagaimana yang diungkapkan Gitosudarmo dan Sudita (2000), salah satu unsur dalam pengambilan keputusan adalah sarana atau alat untuk mengevaluasi atau mengukur hasil dari suatu pengambilan keputusan, pengambil keputusan harus menentukan nilai dan manfaat dari hasil yang kemungkinan dicapai. Hal ini juga berlaku dalam pengambilan keputusan untuk melakukan kunjungan ke Puskesmas jika ada anggota keluarga yang dicurigai menderita Demam Berdarah Dengue (DBD), pendapat keluarga tentang keuntungan dan kerugian berobat ke Puskesmas dapat mempengaruhi proses pengambilan keputusan tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar responden (85%) memiliki keinginan untuk berobat ke tempat pelayanan kesehatan yang lain selain di Puskesmas, (15%) responden sisanya tidak. Menurut Hasan (2004), dasar-dasar pengambilan keputusan, diantaranya meliputi intuisi, pengalaman, fakta, wewenang, dan rasional. Pada umumnya, keluarga dalam pengambilan keputusan berdasarkan pengalaman karena dari pengalaman seseorang dapat memperkirakan keadaan sesuatu, dapat memperhitungkan untung rugi, baik buruknya keputusan yang akan diambil. Berdasarkan penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar responden (85%) dari 65 keluarga yang menjadi responden memiliki keinginan untuk berobat ke tempat pelayanan kesehatan yang lain, (76,4%) responden berobat ke Dokter Praktik dan (23,6%) responden berobat ke Rumah Sakit. Sementara jawaban dari pertanyaan terbuka tentang alasan keluarga memilih pelayanan kesehatan tersebut untuk berobat terutama dalam penanganan dini penderita Demam Berdarah Dengue (DBD), diantaranya: ”Karena lebih dekat dari rumah dan sudah cocok dengan dokternya” (20 responden). ”Karena keluarga saya sudah mendapatkan fasilitas di Rumah Sakit tersebut sebagai rekomendasi dari suami saya bekerja” (13 responden). ”Karena penanganannya lebih tepat dan cepat” (7 responden). “Karena sudah terbiasa berobat disana meskipun lebih mahal Jurnal Ners Vol.4 No.1 April 2009: 68-78 77 dari Puskesmas yang penting ditangani oleh dokternya langsung” (15 responden). Pengambilan keputusan diawali dengan dirasanya masalah tertentu yang memerlukan pemecahan. Terhadap suatu masalah yang timbul pada umumnya dapat dilakukan berbagai cara pemecahan. Setiap pemecahan mengandung kelebihan dan kelemahan tertentu. Untuk dapat membuat keputusan yang paling menguntungkan atau keputusan yang rasional perlu dikembangkan semua alternatif yang melekat pada masalah pengambilan keputusan (Pangewa, 2004). Dengan adanya masukan atau saran dari keluarga maupun dari petugas kesehatan mengenai penanganan dini penderita Demam Berdarah Dengue (DBD) yang sesuai dengan harapan kesehatan keluarga, diharapkan keluarga mampu mengambil keputusan yang tepat ketika memutuskan untuk berobat ke tempat pelayanan kesehatan yang dipih keluarga. Identifikasi keputusan keluarga untuk melakukan kunjungan ke Puskesmas dalam penanganan dini Demam Berdarah Dengue (DBD), dari hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 65 responden, diperoleh data (45%) responden memutuskan untuk berobat ke Puskesmas jika ada anggota keluarga yang dicurigai menderita Demam Berdarah Dengue (DBD). Sisanya, (55%) responden tidak mantap untuk berobat ke Puskesmas karena keluarga menganggap berobat ke Puskesmas adalah keputusan yang kurang tepat. Sementara jawaban dari pertanyaan terbuka tentang alasan keluarga memutuskan untuk berobat ke Puskesmas terutama dalam penanganan dini penderita Demam Berdarah Dengue (DBD), diantaranya: “Karena pelayanannya di Puskesmas sudah cukup baik, selain itu biaya juga cukup terjangkau bagi masyarakat” (12 responden). “Karena pertolongan di Puskesmas sudah agak cepat dan di Puskesmas juga ada penyuluhan yang dapat menambah pengetahuan” (3 responden). “Karena saya percaya bahwa Puskesmas dapat menjadi tempat pertolongan pertama untuk segara mengetahui penyakitnya” (1 responden). “Karena biaya sangat murah dan dapat dijangkau” (6 responden). “Karena rumah saya lebih dekat dengan Puskesmas dan biayanya juga murah” (4 responden). “Karena pelayanan Puskesmas sudah cukup baik dan dapat terjangkau dalam hal biaya, selain itu dekat dengan rumah” (1 responden). “Karena rumah saya lebih dekat dengan Puskesmas dan saya rasa pelayanan di Puskesmas sudah cukup baik tidak kalah dengan dokter praktik swasta” (2 responden). Sebagaimana yang diungkapkan Gitosudarmo dan Sudita (2000), nilai-nilai individu pengambil keputusan terkait dengan salah satu fungsi Puskesmas, yaitu memberikan pelayanan kesehatan secara menyeluruh dan terpadu kepada masyarakat merupakan keyakinan dasar yang digunakan seseorang jika dihadapkan pada permasalahan dan harus mengambil suatu keputusan. Hal ini juga berlaku dalam pengambilan keputusan keluarga untuk melakukan kunjungan ke Puskesmas jika ada anggota keluarga yang dicurigai menderita Demam Berdarah Dengue (DBD), diharapkan keluarga mampu memgambil keputusan yang tepat ketika memutuskan untuk berobat ke Puskesmas. Penerapan health belief model yang meliputi kerentanan, keseriusan, manfaat, rintangan, dan faktor pendorong sangat diperlukan bagi keluarga untuk menangani masalah kesehatan yang dialami oleh anggota keluarga seperti penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD), agar tidak terjadi kegawatan akibat keterlambatan penanganan penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) dan untuk mempercepat proses penyembuhan penderita agat terhindar dari bahaya kematian. Salah satu upaya yang dapat dilakukan yaitu dengan deteksi dini penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) sehingga kegawatan dapat dicegah. Keputusan keluarga untuk melakukan kunjungan ke Puskesmas dapat mengetahui penyakit yang diderita anggota keluarga lebih cepat, sehingga apabila ditemukan tanda-tanda kegawatan, maka penderita segera mendapatkan penanganan yang tepat sejak dini. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Sebagian besar keluarga jarang memutuskan untuk membawa anggota keluarga yang mengalami gejala DHF ke Puskesmas secara dini, dibuktikan dengan sebagian besar keluarga memilih pelayanan kesehatan lain. Implementasi Health Belief Model (Purwaningsih) 78 Saran Hendaknya keluarga di Kelurahan Tembok Dukuh Surabaya khususnya di RW III, RW VII dan RW X mendapatkan penyuluhan rutin dengan cara mengundang tim Puskesmas Tembok Dukuh dalam kegiatan arisan rutin PKK setiap satu bulan sekali. Puskesmas Tembok Dukuh Surabaya hendaknya mensosialisasikan penanganan pada penderita DBD yaitu dengan memberikan surat rujukan secara cepat ke Rumah Sakit bila penderita sudah menunjukkan tanda dan gejala kegawatan sehingga keluarga dapat lebih merasakan manfaat ketika berobat ke Puskesmas Tembok Dukuh. Petugas Puskesmas Tembok Dukuh Surabaya harus memberikan informasi dan pelatihan kepada Ibu Pemantau Jentik (Bumantik) tentang pencegahan dan penanganan dini penderita DBD sehingga dapat memberikan pemahaman yang diperlukan. Dinas Kesehatan harus memberikan fasilitas media, seperti poster dan leaflet untuk menunjang keberhasilan pendidikan kesehatan sehingga diharapakan dapat memberikan pemahaman lebih bagi keluarga mengenai bahaya penyakit DBD. KEPUSTAKAAN Davies, M dan Wendy Macdowall, 2004. Health Promotion Theory. New York: London School Of Hygiene Medicine, hlm. 173-175 Depkes RI., 2005. Kajian Masalah Kesehatan Demam Berdarah Dengue. Jakarta: Badan Litbang dan Pegembangan Kesehatan Dinas Kesehatan Kota Surabaya, 2008. Profil Kesehatan Kota Surabaya. Surabaya: DKK Dinas Kesehatan Kota Surabaya, 2008. Program Pokok Puskesmas. Surabaya: DKK Dinas Kesehatan Kota Surabaya, 2008. Sosialisasikan Penanggulangan Demam Berdarah Dengue (DBD) yang Paling Efektif, (online), (http://www.surabaya-ehealth.org/e- team/berita/dinkes-kota-surabaya- galakkan-lagi-kelompok-kerja- operasional-dbd. diakses tanggal 13 Juni 2009. Jam 13.51 WIB). Gitosudarmo, I dan Sudita, N.I., 2000. Perilaku Keorganisasian. Edisi Pertama. Yogyakarta: BPFE, hlm.163- 165 Hasan, M.I., 2004. Pokok-pokok Materi: Teori Pengambilan Keputusan. Bogor: Ghalia Indonesia, hlm. 9-12 Nadesul, H., 2007. Cara Mudah Mengalahkan Demam Berdarah. Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, hlm. 9-12 Notoatmodjo, S., 2007. Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku. Jakarta: PT. Rineka Cipta, hlm. 205-207, 213-215 Notoatmodjo, S., 2005. Promosi Kesehatan Teori dan Aplikasi. Cetakan Pertama. Jakarta: Rineka Cipta, hlm. 167, 169 Notoatmodjo, S., 2003. Ilmu Kesehatan Masyarakat (Prinsip-prinsip Dasar). Cetakan kedua. Jakarta: Rineka Cipta, hlm. 87-89 Notoatmodjo, S., 2003. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta, hlm. 73-75 Notoatmodjo, S., 2002. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: PT. Rineka Cipta, hlm. 138-139 Pangewa, M., 2004. Perilaku Keorganisasian. Jakarta: Depdiknas, hlm. 159 Sarwono, S., 2004. Sosiologi Kesehatan. Yogyakarta: Gajah Mada University Press, hlm. 66-68 Susilo, J., 2008. Pembuatan Sistem Informasi Puskesmas Di Kecamatan ‘Xxx’ Berbasis Web Dengan Php Dan Mysql, (online), (http://www.bandung.go.id/images/rag aminfo/puskesmas.pdf. diakses tanggal 12 Mei 2009. Jam 19.00 WIB) WHO, 2004. Panduan Lengkap Pencegahan dan Pengendalian Dengue dan Demam Berdarah Dengue. Jakarta: EGC, hlm. 13, 20 WHO, 2000. Panduan Lengkap Pencegahan dan Pengendalian Dengue dan Demam Berdarah Dengue. Jakarta: EGC, hlm. 8-10 http://www.surabaya-ehealth.org/e-team/berita/dinkes-kota-surabaya-galakkan-lagi-kelompok-kerja-operasional-dbd.%20diakses%20tanggal%2013%20Juni%202009 http://www.surabaya-ehealth.org/e-team/berita/dinkes-kota-surabaya-galakkan-lagi-kelompok-kerja-operasional-dbd.%20diakses%20tanggal%2013%20Juni%202009 http://www.surabaya-ehealth.org/e-team/berita/dinkes-kota-surabaya-galakkan-lagi-kelompok-kerja-operasional-dbd.%20diakses%20tanggal%2013%20Juni%202009 http://www.surabaya-ehealth.org/e-team/berita/dinkes-kota-surabaya-galakkan-lagi-kelompok-kerja-operasional-dbd.%20diakses%20tanggal%2013%20Juni%202009 http://www.surabaya-ehealth.org/e-team/berita/dinkes-kota-surabaya-galakkan-lagi-kelompok-kerja-operasional-dbd.%20diakses%20tanggal%2013%20Juni%202009 http://www.bandung.go.id/images/ragaminfo/puskesmas.pdf http://www.bandung.go.id/images/ragaminfo/puskesmas.pdf