HUBUNGAN ORGANIZATIONAL ROLE STRESSORS DENGAN TINGKAT STRES KERJA PERAWAT ICU 94 HUBUNGAN ORGANIZATIONAL ROLE STRESSORS DENGAN TINGKAT STRES KERJA PERAWAT ICU (The Correlation of Organizational Role Stressors with Stress Level of ICU Nurses) Nursalam*, Ferry Efendi*, Ni Luh Putu Dewi Puspawati* ABSTRACT Introduction : Work stress which is often experienced by ICU nurses may affects nurse’s performance, nurse’s health and wealth so that the factors which may affect work stress such as organizational role stressors must be noticed. This study was aimed to explain the correlation between organizational role stressors and work stress level in ICU Nurses. Method : This study used cross-sectional design involved 13 respondents, taken by purposive sampling. The independent variable was organizational role stressors and the dependent variable was work stress. Data were collected by using questionnaires and analyzed using Spearman’s rho with level of significance α ≤ 0.05. Result : Results showed that there was no significant correlation between organizational role stressors and work stress level in ICU nurses with significance value p ≤ 0.139. Analysis : It can be concluded that the organizational role stressors had no correlation with work stress level because there are so many factors that may affect work stress in ICU nurses. Discussion : Role overload however was experienced by ICU nurses as a mild stressors. This indicates the importance of increasing nurse’s quality and quantity by training and recruiting new nursing staffs. Keywords : organizational role stressors, work stress, ICU nurses *Fakultas Keperawatan Universitas Airlangga Kampus C Mulyorejo Surabaya. Telp/Fax: (031) 5913257, E-mail: nursalam_psik@yahoo.com PENDAHULUAN Keperawatan merupakan salah satu dari pekerjaan yang mempunyai stres kerja berat (Smith, et.al, 2000). Stres kerja juga dialami oleh perawat Intensive Care Unit (ICU). Ruang perawatan yang menangani kasus akut dan kritis seperti ICU telah terbukti menyebabkan stres kerja pada perawat yang bertugas di ICU (AACCN, 2002). Stres kerja yang berat dapat berpengaruh pada kesehatan perawat dan berlanjut pada terganggunya kinerja perawat. RSUD Dr. Soetomo merupakan RS rujukan sehingga perawat seringkali harus menangani berbagai macam kasus dengan tingkat keparahan dan kondisi pasien yang berbeda. Keadaan demikian dapat menimbulkan stres kerja pada perawat. Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi timbulnya stres kerja adalah organizational role stressors (Cooper (1976) dalam Vokic & Bogdanic (2007)). Faktor ini dapat menimbulkan stres kerja pada setiap individu yang mempunyai peran dan terlibat dalam suatu organisasi dan lingkungan yang dalam hal ini adalah perawat, rumah sakit dan profesi lainnya dalam organisasi tersebut. Berbagai peran yang dilaksanakan oleh perawat ICU baik yang terkait dengan lingkungan pekerjaan/organisasi maupun non-organisasi dapat menjadi stresor tersendiri bagi perawat. Data awal menunjukkan 70% responden perawat di ICU RSUD Dr. Soetomo menyatakan bahwa tugas dan peran yang harus dilakukan belum jelas dan 60% responden menyatakan bahwa sering terdapat konflik antara berbagai peran yang dilakukan baik yang terkait dengan organisasi maupun non-organisasi. Survei yang dilakukan oleh PPNI pada tahun 2006 menyatakan bahwa sekitar 50,9% perawat yang bekerja di empat provinsi mengalami stres kerja (Depkes, 2007). Stres kerja dalam keperawatan berdampak pada kesehatan dan kesejahteraan perawat. Dampak tersebut di antaranya; penurunan kinerja perawat, peningkatan gangguan kejiwaan ringan, kesehatan fisik, masalah muskuloskeletal dan depresi (ILO, mailto:nursalam_psik@yahoo.com Jurnal Ners Vol.4 No.1 April 2009: 94-102 95 2000). Kinerja perawat yang tidak baik dapat menyebabkan perawatan pasien tidak optimal sehingga proses penyembuhan/rehabilitasi dapat terganggu. Salah satu contoh kinerja yang tidak baik adalah kesalahan pemberian obat disebabkan oleh stres di ICU termasuk stres kerja perawat (Moyen et.al., 2008). Lingkungan kerja di ICU sudah terbukti dapat menimbulkan stres. Di Amerika 40% karyawan perawat di ICU mengalami tingkat stres kerja yang lebih berat daripada perawat di unit perawatan lainnya (Yobel, 2005). Stres kerja yang berat dan terus menerus dapat mengakibatkan ketidakpuasan terhadap pekerjaan, burnout dan bahkan kerugian material bagi rumah sakit maupun perawat itu sendiri (Smith et al., 2001). Cooper (1976) dalam Vokic (2007) menyatakan bahwa sumber stres dalam pekerjaan meliputi faktor intrinsik pekerjaan, organizational role stressors, pengembangan karier, relasi dalam pekerjaan, iklim dan struktur organisasi serta extra-organizational sources of stress. Organizational role stressors meliputi 10 dimensi yang memaparkan stres karena peran individu dalam sebuah organisasi yaitu: inter-role distance, role stagnation, role expectation conflict, role erosion, role overload, role isolation, personal inadequacy, self-role distance, role ambiguity dan resource inadequacy (Lu, 2008). Hasil penelitian dari Katz & Kahn (1978) menjelaskan bahwa peran yang dilaksanakan oleh individu adalah sumber stres (Wijono, 2006). Peran dan tipe kepribadian A terbukti mempunyai efek pada timbulnya stres kerja yang dialami oleh manajer madya (Wijono, 2006). Penelitian yang dilakukan oleh Lu (2008) menyatakan bahwa stresor ini bahkan dapat menyebabkan terjadinya burnout. Stres akibat peran di antara perawat juga dapat menyebabkan dampak negatif pada kepuasan kerja mereka (Ho et.al., 2009). Konflik peran juga terbukti berpengaruh secara tidak langsung terhadap komitmen pada organisasi (Churiyah, 2007). Stres kerja dapat menurunkan prestasi kerja, kinerja dan kepuasan perawat sehingga stres kerja harus diatasi, dicegah dan dikurangi. Stres kerja dapat dicegah dan dikurangi dengan cara mengidentifikasi dan mengendalikan faktor-faktor penyebabnya termasuk organizational role stressors. Stresor dari peran dalam organisasi ini dapat dikendalikan dengan strategi koping psikologis yang baik. Oleh karena itu faktor- faktor yang mempengaruhi stres kerja pada perawat di ICU khususnya organizational role stressors perlu diteliti lebih lanjut sehingga bisa dikendalikan untuk mengurangi stres kerja pada perawat ICU (Keller (1990) dalam Mims (2003)). BAHAN DAN METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan metode cross-sectional dengan jumlah populasi semua perawat ICU RSUD Dr. Soetomo yang berjumlah 45 orang. Sampel sebanyak 13 perawat diambil berdasarkan kriteria inklusi yang telah ditetapkan yaitu : 1) perawat yang dinas saat pengumpulan data, 2) pelaksana perawatan, 3) perawat perempuan, 3) bekerja > 1 tahun, 4) sudah menikah dan mempunyai anak. Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 23 Juni 2009. Variabel independen dalam penelitian ini adalah Organi-zational Role Stressors dan variabel dependennya yaitu tingkat stress kerja. Instrumen pengumpulan data dengan menggunakan kuisioner. Tingkat stres kerja diukur dengan kuesioner modifikasi dari As (2002) dan Yobel (2005) berupa 30 pernyataan, sedangkan pengukuran organizational role stressors digunakan kuesioner modifikasi dari Pareekh (1981) dan Lu (2008). Kuesioner terdiri atas pernyataan: inter-role distance, role stagnation, role expectation conflict, role erosion, role overload, role isolation, personal inadequacy, self-role distance, role ambiguity dan resource inadequacy. Tingkat stressor diketegorikan dalam 4 tingkatan yaitu : tidak berpengaruh, stressor ringan, sedang dan berat. Data yang diperoleh ditabulasi dan dianalisis menggunakan uji statistik Krusskal-wallis test, Mann Whitney U Test dengan tingkat kemaknaan α≤0,05. HASIL PENELITIAN Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar responden yaitu sebanyak 12 orang (92,3%) memiliki stres kerja yang tergolong tingkat ringan dan 1 orang (7,7%) responden mengalami stres kerja tingkat sedang. Tidak ada responden yang tidak Organizational Role Stressors dan Tingkat Stress Kerja Perawat ICU (Nursalam) 96 mengalami stres kerja dan tidak ada responden yang mengalami stres kerja berat. Hasil pengumpulan data tentang organizational role stressors pada perawat responden di ICU RSUD Dr. Soetomo. Gambar tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar responden yaitu sebanyak 9 orang (69,2%) merasakan organizational role stressors sebagai stresor yang ringan. Organizational role stressors dirasakan sebagai stresor sedang oleh 4 orang (30,8%) responden. Tidak ada responden yang merasakan organizational role stressors sebagai stresor yang tidak berpengaruh ataupun sebagai stresor yang berat. Hasil uji statistik korelasi Spearman’s rho dengan α≤0,05 untuk menentukan hubungan antara organizational role stressors dengan tingkat stres kerja pada perawat ICU adalah: r=0,433 dan p=0,139. Hal tersebut menunjukkan korelasi tidak signifikan atau tidak bermakna sehingga hipotesis penelitian ditolak dengan tingkat kepercayaan sebesar 95%. Hal ini berarti tidak ada hubungan antara organizational role stressors dengan tingkat stres kerja perawat ICU (Tabel 1). PEMBAHASAN Sebagian besar responden (92,3%) mengalami tingkat stres kerja yang ringan. Hanya 7,7% responden yang mengalami stres kerja tingkat sedang. Indikator stres yang paling banyak dialami berupa gejala ketidakstabilan psikologis, gejala fisik dan indikator yang paling sedikit dialami responden adalah gejala perilaku. Terbentuknya respons stres ditentukan oleh interpretasi dari stresor (Lazarus (1965) dalam Niven (2000)). Menurut Lazarus hal tersebut terbagi menjadi dua bagian yaitu penilaian stres dan mekanisme koping untuk mengatasinya. Tahap pertama adalah penilaian terhadap ancaman/stresor yang dipengaruhi oleh latar belakang sosial, budaya individu dan pengalaman masa lalu. Mekanisme koping diklasifikasikan menjadi dua kategori yaitu tindakan langsung dan tindakan paliatif. Tindakan langsung secara langsung mencoba mengurangi atau menghilangkan sumber stres. Sebaliknya, tindakan paliatif memodifikasi respons internal individu terhadap stimulus. Potensi stresor masih tetap ada tetapi individu dapat mengatasi dengan lebih baik. Bakal (1979) menyatakan bahwa alasan mengapa tenaga kesehatan tidak merasakan stres kerja karena mereka sudah mengurangi aspek/potensi yang mengancam dari suatu situasi (stresor) dengan menggunakan penilaian kognitif (Niven, 2000). Berdasarkan uraian di atas, tingkat stres kerja ringan yang paling banyak dialami responden dalam penelitian ini disebabkan mereka sudah mengurangi potensi ancaman dari suatu stresor dengan menggunakan penilaian kognitif, sehingga respons stres berupa respons emosional dapat dikendalikan. Selain itu tingkat stres kerja ringan juga dapat disebabkan karena mekanisme koping yaitu tindakan paliatif yang memodifikasi respons internal individu terhadap stimulus. Pendidikan minimal responden adalah DIII Keperawatan (92,3%) dan sebagian besar (92,3%) responden sudah mendapat pelatihan ICU serta mempunyai pengalaman kerja lebih dari satu tahun, bahkan ada yang sudah bekerja sampai kurun waktu 20-25 tahun (15,4%). Berdasarkan latar belakang pendidikan, pelatihan dan masa kerja yang lama memungkinkan berlangsungnya proses pembelajaran sehingga individu dapat beradaptasi melalaui penggunaan mekanisme koping yang sesuai. Ancaman berupa stresor masih tetap ada tetapi individu dapat mengatasi dengan lebih baik sehingga stres kerja yang muncul berada pada tingkat yang ringan. Indikator stres yang paling banyak dialami oleh responden berupa gejala psikologis. Respons gejala psikologis yang dialami sebagian besar berupa perasaan lelah, kehilangan konsentrasi dan mudah jengkel dalam bekerja. Perbedaan individual (gender) juga dapat membedakan bagaimana orang menerima dan berrespons terhadap stres. Perempuan lebih cenderung mengalami respons stres psikologis (Davidson & Cooper, (1987); Jick & Mitz, (1985)) dalam Sulsky & Smith (2005)). Perempuan yang bekerja lebih sering mengalami gangguan psikosomatis seperti kelelahan, kejengkelan dan kecemasan (Cooper & Davidson, 1982), distress mental (Piltch et.al., 1994) dan depresi daripada pria (Murphy et.al. (1994) dalam Sulsky & Smith (2005)). Kelelahan disebabkan karena banyak energi yang Jurnal Ners Vol.4 No.1 April 2009: 94-102 97 dikeluarkan dalam keadaan stres. Saat keadaan stres tubuh akan mengaktifkan respons melawan atau menghindar, baik pada saat memilih untuk tetap aktif ataupun diam saja (NSC, 2003). Beberapa hasil penelitian menunjukkan perempuan mengalami tingkatan burn out dan diskriminasi pekerjaan yang lebih berat daripada pria. Meskipun demikian perbedaan respons stres dan penjelasan mekanisme perbedaan respons tersebut belum sepenuhnya dimengerti (Sulsky & Smith, 2005). Responden dalam penelitian ini semuanya perempuan. Perempuan cenderung mengalami respons stres psikologis. Hal tersebut sesuai dengan penelitian sebelumnya bahwa perempuan yang bekerja lebih sering mengalami gangguan psikosomatis seperti kelelahan, kejengkelan dan kecemasan. perasaan lelah muncul disebabkan karena banyak energi yang dikeluarkan dalam keadaan stres. Berbagai stresor yang menuntut perhatian misalnya, tugas yang harus dikerjakan dalam waktu yang relatif singkat, jumlah pasien yang banyak, catatan produktivitas (monitoring) dapat menyebabkan kejengkelan dan konsentrasi berkurang. Indikator stres yang paling banyak dialami setelah gejala psikologis adalah gejala fisik dengan rerata prosentase sebesar 37,98%. Gejala fisik yang paling banyak dialami berupa sakit kepala, otot kaku saat bekerja dan gangguan tidur. Stres adalah respons umum terhadap adanya tuntutan pada tubuh yang mengharuskan untuk menyesuaikan diri dan karenanya keseimbangan tubuh dapat terganggu (Selye (2000) dalam Yobel (2005)). Contoh gejala fisik yang sering diamati sebagai gejala stres adalah ketegangan otot, sakit kepala (karena tegang dan migrain) dan insomnia. Ketegangan otot merupakan gejala stres paling utama. Gejala ini kemungkinan muncul dalam bentuk sakit kepala karena tegang, rahang terkatup, leher kaku dan nyeri punggung bawah. Insomnia merupakan gejala pasti akibat kerja sistem saraf yang terlalu aktif/berlebihan. Stimulasi saraf yang berlebihan pada jaringan otak dan otot dapat menyebabkan rasa gelisah atau resah baik di siang hari maupun di malam hari (NSC, 2003). Sakit kepala yang dialami perawat dapat disebabkan karena ketegangan otot ataupun peningkatan aliran darah dan sekresi zat kimia ke bagian kepala. Ketegangan otot juga dapat menyebabkan kekakuan otot. Gangguan tidur disebabkan karena kerja sistem saraf yang terlalu aktif/berlebihan. Di ruang perawatan akut dan kritis seperti ICU perawat memerlukan konsentrasi dan kewaspasdaan lebih tinggi daripada ruang rawat inap lain dalam melaksanakan perawatan pada pasien. Oleh karena itu selama bekerja sistem saraf dituntut untuk aktif sehingga perawat mampu berkonsentrasi. Selain itu kerja sistem shift juga menyebabkan perubahan pola tidur dan akhirnya menyebabkan gangguan tidur. Indikator stres kerja yang paling sedikit dialami responden adalah gejala perilaku dengan rerata prosentase sebesar 33,01%. Gejala perilaku yang paling jarang dan bahkan tidak pernah dilakukan adalah meninggalkan kerja. Saat mengalami stres perempuan cenderung mengatasi dengan tending dan befriending tidak dengan cara fight atau flight. Tending meliputi aktivitas bermanfaat yang dapat mengurangi stres seperti meluangkan waktu untuk rekreasi bersama keluarga. Sedangkan befriending adalah kreasi dan pemeliharaan hubungan sosial yang dapat membantu pengurangan stres (Taylor, 2006). Hasil pengkategorian organizational role stressors menunjukkan sebagian besar perawat di ICU RSUD Dr. Soetomo merasakan sebagai stresor tingkat ringan. Sedangkan 30,8% perawat merasakannya sebagai stresor yang sedang. Dimensi yang paling tinggi dengan kategori sebagai stresor sedang adalah role overload. Skor tertinggi diperoleh untuk pernyataan ”Mengalami kesulitan dengan besarnya tanggung jawab dan lamanya jam kerja di RS”. Role overload menggambarkan situasi karyawan merasa bahwa tanggung jawab atau tugas yang harus dilakukan terlalu banyak dan tidak seimbang dengan kemampuan dan waktu yang mereka miliki (Ahmady et.al., 2007). Role overload juga termasuk melakukan beberapa fungsi atau harus merawat banyak pasien dalam waktu bersamaan (Maslach and Jackson (1986) dalam Lu (2008)). Rasio perawat dan pasien untuk unit perawatan kritis seperti ICU biasanya diterapkan satu perawat : satu pasien sesuai dengan MAKP kasus (Nursalam, 2007). Organizational Role Stressors dan Tingkat Stress Kerja Perawat ICU (Nursalam) 98 Tabel 1. Hubungan Organizational Role Stressors dengan Tingkat Stres Kerja Perawat ICU di RSUD Dr. Soetomo Tanggal 23 Juni 2009 Tingkat Stres Kerja Tingkat Organizational Role Stressors Total Tidak berpengaruh Ringan Sedang Berat JML % JML % JML % JML % JML % Tidak stres 0 0,0% 0 0,0% 0 0,0% 0 0,0% 0 0,0% Ringan 0 0,0% 9 69,2% 3 23,1% 0 0,0% 12 92,3% Sedang 0 0,0% 0 0,0% 1 7,7% 0 0,0% 1 7,7% Berat 0 0,0% 0 0,0% 0 0,0% 0 0,0% 0 0,0% Total 0 0,0% 9 69,2% 4 30,8% 0 0,0% 13 100% r= 0,433 ; p= 0,139 Keterangan: r = Koefisien korelasi p = signifikansi Role overload yang dirasakan oleh responden disebabkan oleh tugas dan tanggung jawab yang besar harus dilakukan berkaitan dengan perawatan pasien. Di ICU RSUD Dr. Soetomo MAKP yang diterapkan adalah model asuhan keperawatan yang sudah dimodifikasi dari MAKP tim, kasus dan fungsional. Hal tersebut disesuaikan dengan jumlah perawat. Ketua tim juga turut memberikan intervensi kepada pasien yang menjadi tanggung jawabnya. Satu perawat bisa menangani lebih dari satu pasien. Sebagian besar ketua tim memperoleh persentase skor yang tinggi (57,5%) karena tanggung jawab mereka sebagai ketua tim yang sekaligus melakukan perawatan langsung pada pasien. Rerata prosentase terbesar kedua adalah personal inadequacy. Skor tertinggi diperoleh pada pernyataan ”Anda berpikir bahwa Anda mungkin lebih baik daripada saat ini jika pernah dilatih dan mempunyai persiapan lebih” diikuti dengan pernyataan ”Merasa belum adekuat dalam hal pengetahuan dan keterampilan sebagai perawat”. Personal inadequacy meliputi pengetahuan, keterampilan dan persiapan yang tidak adekuat untuk dapat berperan secara efektif. Keadaan ini dapat terjadi ketika suatu organisasi tidak memberikan kesempatan pelatihan/seminar yang memungkinkan karyawan mampu beradaptasi untuk menghadapi perubahan (Pareekh, 1981 dalam Aziz (2007)). Personal inadequacy dapat muncul saat adanya perasaan subyektif berupa keraguan terhadap kemampuan diri sendiri (Lopez, 2005) dalam Lu (2008). Perawat di ICU RSUD Dr. Soetomo yang menjadi responden sebagian besar pernah mengikuti pelatihan ICU, hanya 7,7% yang belum pernah mengikuti pelatihan. Berdasarkan uraian tersebut, personal inadequacy pada perawat responden di ICU RSUD Dr. Soetomo muncul sebagai stresor kemungkinan disebabkan oleh adanya perasaan subyektif berupa keraguan terhadap kemampuan diri sendiri sehingga perawat berpikir jika ada pelatihan dan persiapan lebih, mereka akan mampu melaksanakan peran dan tugasnya dengan lebih baik. Dimensi yang rerata persentase skornya tertinggi ketiga adalah role ambiguity. Skor tertinggi diperoleh pada pernyataan ”RS tidak memberikan umpan balik yang adekuat terhadap kinerja Anda”. Role ambiguity adalah ketidakjelasan peran yang dapat terjadi ketika karyawan tidak memiliki cukup informasi untuk dapat melaksanakan tugasnya atau tidak mengerti realisasi harapan-harapan terhadap perannya. Menurut Everly dan Giordano dalam Munandar (2001), salah satu faktor yang dapat menimbulkan ketidakjelasan peran ialah kurang adanya umpan balik atau ketidakpastian tentang kinerja pekerjaan. Berdasarkan uraian tersebut role ambiguity yang muncul pada perawat di ICU RSUD Dr. Soetomo disebabkan karena kurangnya umpan balik terhadap kinerja perawat. Umpan balik terhadap kinerja dapat berupa evaluasi dan penghargaan. Dimensi keempat yang masih mempunyai kriteria stresor sedang adalah resource inadequacy dengan skor tertinggi pada pernyataan ”Anda berpikir bahwa Anda mungkin dapat melakukan tugas dengan lebih baik daripada saat ini jika terdapat sumber daya RS yang adekuat”. Resource inadequacy adalah suatu keadaan di mana sumber daya yang tidak adekuat untuk Jurnal Ners Vol.4 No.1 April 2009: 94-102 99 melakukan peran individu secara efektif (Pareekh, 1981 dalam Aziz (2007)). Sebagian besar perawat berpendapat bahwa RS dalam hal ini ICU RSUD Dr. Soetomo belum memiliki sarana yang cukup bagi perawat untuk dapat melaksanakan tugas dan perannya dengan baik. Hal itu dapat dilihat dari penerapan MAKP modifikasi tim dan kasus yang menyertakan metode asuhan keperawatan fungsional karena kurangnya fasilitas untuk pelaksanaan perawatan pasien. Sebagai contoh jumlah troli rawat luka yang terbatas sehingga untuk rawat luka dilakukan oleh perawat fungsional. Oleh sebab itu perawat berpendapat bahwa mereka dapat melakukan tugas dengan lebih baik jika terdapat sumber daya yang sudah adekuat dari rumah sakit khususnya di ICU RSUD Dr. Soetomo. Dimensi role expectation conflict memperoleh rerata persentase skor sebesar 48,08% dan termasuk dalam kategori stresor ringan. Skor tertinggi diperoleh pada pernyataan ”Berbagai tuntutan dan tuntutan yang kontras dari pekerjaan membuat Anda stres”. Role expectation conflict menggambarkan konflik yang terjadi karena perbedaan tuntutan dan harapan dari orang lain yang berbeda terhadap suatu peran individu (Pareekh, 1981) dalam Aziz (2007)). Role expectation conflict yang dapat menjadi stresor bagi perawat ICU di RSUD Dr. Soetomo berupa banyaknya tuntutan dan tuntutan kontras yang harus dipenuhi oleh perawat selain perbedaan harapan dari pasien maupun atasan. Role expectation conflict termasuk dalam kategori stresor ringan karena jarang sekali ditemui tuntutan yang kontras pada peran perawat. Dimensi role isolation diperoleh rerata prosentase sebesar 47,44% dan termasuk dalam kategori stresor ringan. Skor tertinggi diperoleh pada pernyataan ”Berharap diikutsertakan dalam pengambilan keputusan untuk perawatan pasien”. Role isolation dapat berupa perasaan terisolasi dari akses informasi tentang apa yang terjadi dan tidak menjadi bagian yang penting dari hal tersebut (Ahmady et.al., 2007). Perawat di ICU RSUD Dr. Soetomo berharap untuk lebih diikutsertakan dalam pengambilan keputusan untuk perawatan pasien kemungkinan disebabkan karena selama ini perawat merasa partisipasi mereka masih kurang dalam pengambilan keputusan padahal yang paling intensif merawat pasien di ICU adalah perawat. Namun hal ini dirasakan perawat sebagai stresor ringan karena perawat di ICU RSUD Dr. Soetomo diperkenankan memberikan saran kepada dokter mengenai perawatan pasien. Saran tersebut bisa disampaikan secara langsung ataupun melalui ketua tim dan kepala ruangan. Dimensi role stagnation memperoleh rerata prosentase sebesar 37,18% dan termasuk dalam kriteria stresor ringan. Skor tertinggi diperoleh pada pernyataan ”Anda mengharapkan tanggung jawab dan kesempatan lebih dalam bekerja”. Role stagnation berupa perasaan terperangkap dalam suatu peran dan menghasilkan persepsi bahwa tidak ada kesempatan untuk pengembangan karir (Pareekh (1981) dalam Aziz (2007)). Perawat di ICU RSUD Dr. Soetomo sebagian besar tidak menyetujui bahwa profesi perawat tidak memberikan peluang ke arah profesionalisme dan kesempatan pengembangan karir. Perawat berharap dapat memperoleh tanggung jawab dan kesempatan lebih dalam bekerja agar pengembangan ke arah profesionalisme dan pengembangan karir dapat terwujud. RSUD Dr. Soetomo memberikan kesempatan pada perawat ICU untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi misalnya dari DIII Keperawatan ke S1 Keperawatan dan jika sudah menyelesaikan tugas belajar perawat tersebut mendapat tanggung jawab yang lebih tinggi misalnya menjadi ketua tim. Perawat diseleksi berdasarkan loyalitas dan kinerja. Oleh karena itu perawat mengharapkan tanggung jawab dan kesempatan lebih dalam bekerja sehingga mereka dapat menunjukkan kinerja yang terbaik. Dimensi inter-role distance memperoleh rerata persentase skor sebesar 30,77% dan termasuk dalam kriteria stresor ringan. Pernyataan yang memperoleh skor tertinggi adalah ”Pernah mengalami konflik antara peran dan fungsi di tempat kerja dan di rumah”. Inter-role distance dapat terjadi saat tuntutan pekerjaan di rumah sakit berbenturan dengan tuntutan di rumah (Penson et al. (2000) dalam Lu (2008)). Selain itu menyeimbangkan karier dan keluarga dapat menyebabkan stres tersendiri bagi perempuan yang bekerja di luar rumah (Lucas & Wilson, 1995). Responden dalam Nursalam Organizational Role Stressors dan Tingkat Stress Kerja Perawat ICU (Nursalam) 100 penelitian ini semuanya adalah perempuan dan berstatus sebagai ibu. Responden dalam penelitian ini memiliki peran ganda yaitu peran domestik dan peran publik. Peran domestik meliputi peran dalam rumah tangga yakni sebagai istri dan ibu. Peran publik meliputi peran yang terkait dengan pekerjaan/profesi. Masing-masing peran mengharuskan perawat untuk mampu beradaptasi dan dapat menimbulkan stres jika kepentingan kedua peran tersebut berbenturan. Meskipun demikian stresor dirasakan masih ringan karena perawat diperbolehkan untuk mengambil cuti atau ijin jika ada keperluan di luar pekerjaan yang tidak bisa dikesampingkan. Untuk dimensi role erosion diperoleh rerata persentase sebesar 27,57% dan termasuk dalam kategori stresor tidak berpengaruh. Role erosion adalah suatu keadaan di mana peran dan fungsi yang seharusnya dilaksanakan oleh individu yang berwenang namun diambil alih oleh orang lain yang mempunyai tanggung jawab dan peran yang berbeda. Manifestasi lain berupa penggunaan peran yang dirasa kurang (underutilization) (Pareekh (1981) dalam Aziz (2007)). Responden tidak merasakan role erosion sebagai stresor karena jarang sekali terjadi pengambilalihan tanggung jawab perawat. Perawat di ICU RSUD Dr. Soetomo bahkan mempunyai banyak tugas terkait dengan peran yang harus dilakukan. Dimensi self-role distance diperoleh rerata prosentase sebesar 11,54% yang termasuk kategori stresor yang tidak berpengaruh. Self-role distance adalah konflik yang terjadi antara nilai-nilai individu dengan tuntutan yang harus dilakukan sesuai perannya dalam organisasi (Pareekh (1981) dalam Aziz (2007)). Responden tidak merasakan self-role distance sebagai stresor karena jarang sekali terjadi konflik antara nilai-nilai individu dengan tugas yang harus dilakukan di ICU. Uji statistik korelasi Spearman’s rho dalam penentuan hubungan antara organizational role stressors dengan tingkat stres kerja pada perawat ICU memperoleh hasil bahwa tidak ada hubungan antara organizational role stressors dengan tingkat stres kerja perawat ICU. Stres terbentuk oleh stresor yang berupa stres kerja. Stresor tersebut diterima oleh individu dan dilanjutkan dengan proses persepsi yang terdiri dari seleksi, organisasi dan interpretasi stimuli. Stres ditentukan pula oleh individu sendiri. Perbedaan individual yang perlu diperhatikan dalam proses stres adalah berupa jenis kelamin (gender), ras, usia, status sosial, pengalaman terdahulu, hereditas, intelligence dan tipe kepribadian. Menurut Payne (1988) perbedaan individual mempunyai peran sentral dalam proses stres. Secara teknis variabel ini dapat mengubah atau sebagai moderator antara stressors- strains relationship (Sulsky & Smith, 2005). Dalam penelitian ini diperoleh bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara organizational role stressors dengan tingkat stres kerja pada perawat di ICU RSUD Dr. Soetomo. Hal itu dapat disebabkan karena efek moderator berupa perbedaan/ karakteristik individual yang dimiliki dan mempengaruhi proses stress perception pada perawat. Karakteristik individu yang mungkin mempengaruhi hubungan antara stresor dan respons stres ini adalah: jenis kelamin, usia dan pengalaman terdahulu. Semua responden dalam penelitian ini berjenis kelamin perempuan dengan sebagian besar berusia di atas 30 tahun dan masa kerja sebagian besar 5 tahun ke atas. Dengan karakteristik tersebut perawat sudah berpengalaman dan mampu beradaptasi dengan stresor yang ada sehingga stres kerja yang dialami perawat sebagian besar masih dalam tingkat ringan meskipun ada stresor yang dirasakan dalam tingkat sedang. Untuk mengatasi stres kerja secara positif diperlukan sebuah strategi koping. Terdapat berbagai macam strategi koping, namun tidak semuanya efektif. Koping yang efektif didefinisikan sebagai suatu proses mental untuk mengatasi tuntutan yang dianggap sebagai tantangan terhadap sifat pada diri seseorang. diperlukan sifat internal dan eksternal untuk dapat melakukan koping. Kreativitas, kesabaran, optimisme dan intuisi, rasa humor, hasrat dan kasih sayang merupakan contoh sifat internal. Sifat eksternal meliputi waktu, uang dan dukungan sosial (NSC, 2003). Salah satu cara yang dapat digunakan untuk mengurangi stres adalah emotional outlets yaitu dengan cara berdiskusi dengan kelompok pendukung, rekan sejawat dan keluarga (RCN, 2005). Perawat di ICU RSUD Dr. Soetomo mengalami stres kerja tingkat ringan meskipun ada dimensi organizational role Jurnal Ners Vol.4 No.1 April 2009: 94-102 101 stressors dirasakan dalam tingkat sedang. Hal itu dipengaruhi juga oleh strategi koping yang sudah baik dari perawat di ICU RSUD Dr. Soetomo. Koping tersebut kemungkinan didukung oleh kreativitas, kesabaran, optimisme dan intuisi, rasa humor, hasrat dan kasih sayang yang merupakan sifat internal. Sedangkan sifat eksternal meliputi dukungan sosial dari rekan sejawat maupun tenaga kesehatan lain. Perawat di ICU RSUD Dr. Soetomo memanfaatkan waktu luang di sela- sela rutinitas pekerjaan untuk berdiskusi dengan rekan sejawat maupun dengan tenaga kesehatan lainnya tentang masalah dalam pekerjaan maupun luar pekerjaan yang dapat menyebabkan stres pada perawat tersebut. Dengan demikian perawat mampu mengelola stres sehingga stress response yang muncul berupa stres kerja yang ringan. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Organizational role stressors tidak berdampak terhadap tingkat stres kerja perawat ICU di RSUD Dr. Soetomo. Saran Peneliti menyarankan: 1) bagi instansi IRIR, ICU dan bidang keperawatan diharapkan untuk merencanakan jadwal pelatihan yang berkelanjutan serta penambahan jumlah tenaga keperawatan disesuaikan dengan kebutuhan, 2) perawat diharapkan dapat menerapkan strategi koping efektif melalui komunikasi dan diskusi situasi potensial serta strategi koping yang efektif dalam pertemuan formal (rapat) maupun pertemuan informal di sela-sela rutinitas sehari-hari, 3) bagi peneliti selanjutnya dapat hubungan organizational role stressors dengan tingkat stres kerja perawat agar lebih mengeksplorasi persepsi subyek mengenai stres kerja, organizational role stressors dan proses terbentuknya respons stres beserta faktor-faktor lain yang mungkin mempengaruhi proses tersebut. KEPUSTAKAAN AACN, 2002 . American Association of Critical Care Nurses Backgrounder, The Nursing Shortage. (online), (http://www.aacn.org/aacn/pubpolcy. nsf/), diakses tanggal 4 Mei 2009, Jam 18.03 WIB). Ahmady, et.al., 2007. Organizational Role Stress among Medical School Faculty Members in Iran: Dealing with Role Conflict. BMC Medical Education 7 (14), hlm. 2-3, 6-8. Aziz, M., 2007. Organizational Role Stress: An Investigation of Gender Differences. Studia Psychologica, 49 (1), hlm. 53-61. Churiyah, M., 2007. Pengaruh Konflik Peran (Role Conflict) terhadap Kepuasan Kerja Perawat serta Komitmen pada Organisasi. Jurnal Ekonomi Modernisasi, 3 (1). Depkes RI., 2007. Kompetensi Perawat Perlu Ditingkatkan. (online), (http://www.tenaga- kesehatan.or.id/publikasi.php?do, diakses tanggal 9 Juni 2009, Jam 12.14 WIB). Ho, et.al., 2007. Effects of Job Rotation and Role Stress among Nurses on Job Satisfaction and Organizational Commitment. (online), (http://www.pubmedcentral.nih.gov/t ocrender.fcgi?iid=175725. diakses tanggal 12 Mei 2009, Jam 20.04 WIB) ILO, 2000. Work-related Stress in Nursing. (online), (http://www.ilo.org/public/english/pr otection/safework/index.htm. diakses tanggal 9 Mei 2009, Jam 16.04 WIB) Lu, J.L., 2008. Organizational Role Stress Indices Affecting Burnout among Nurses. Journal of International Women’s Studies, 9, hlm. 63-78. Lucas & Wilson, 1995. Memelihara Gairah Kerja, alih bahasa: Ansis Kleden. Jakarta: Arcan, hlm. 188. Mims & Stanford, 2003. Stress and Burnout among Critical Care Nurses, (online), (http://www.lagrange.edu/resources/ pdf/citations/nursing/Stress%20and% 20Burnout.pdf, diakses tanggal 16 Mei 2009, Jam 17.08 WIB). Moyen, et.al., 2008. Clinical review: Medication Errors in Critical Care. Critical Care, 12 (2), hlm. 3. http://www.aacn.org/aacn/pubpolcy.nsf/72fe271374e4c5338825688e00776c20/2b8e43a0fd740c988256b81008168d1?OpenDocument http://www.aacn.org/aacn/pubpolcy.nsf/72fe271374e4c5338825688e00776c20/2b8e43a0fd740c988256b81008168d1?OpenDocument http://www.tenaga-kesehatan.or.id/publikasi.php?do http://www.tenaga-kesehatan.or.id/publikasi.php?do http://www.pubmedcentral.nih.gov/tocrender.fcgi?iid=175725 http://www.pubmedcentral.nih.gov/tocrender.fcgi?iid=175725 http://www.ilo.org/public/english/protection/safework/index.htm http://www.ilo.org/public/english/protection/safework/index.htm http://www.lagrange.edu/resources/pdf/citations/nursing/Stress%20and%20Burnout.pdf http://www.lagrange.edu/resources/pdf/citations/nursing/Stress%20and%20Burnout.pdf http://www.lagrange.edu/resources/pdf/citations/nursing/Stress%20and%20Burnout.pdf Organizational Role Stressors dan Tingkat Stress Kerja Perawat ICU (Nursalam) 102 Munandar, A.S., 2001. Psikologi Industri dan Organisasi. Jakarta: UI-Press, hlm. 380-409. NSC, 2003. Manajemen Stres. Jakarta: EGC, hlm. 11, 17-20, 27-28. Taylor, S.E., 2006. Tend and Befriend Biobehavioral Bases of Affiliation under Stress. Association for Psychological Science. 15 (6), hlm. 273. Niven, N., 2000. Psikologi Kesehatan, alih bahasa: Agung Waluyo. Jakarta: EGC, hlm. 120-127. Nursalam, 2007. Manajemen Keperawatan: Aplikasi dalam Praktik Keperawatan Profesional. Jakarta: Salemba Medika, hlm. 142-145, 148-149. RCN, 2005. Managing Your Stress: A Guide For Nurses. London: Royal College of Nursing, hlm. 6. Smith, et.al., 2000. A Further Analysis of The Impact of Demographic Factors and Type of Job. California: Crown, hlm. 52. Smith, et.al., 2001. A Preliminary Analysis of Psychophysiological Variables and Nursing Performance of Increasing Criticality, (online), (http://www.mayo.edu/proceedings/2 001/mar/7603a5.pdf. diakses tanggal 4 Mei 2009, Jam 18.09 WIB). Sulsky & Smith, 2005. Work Stress. California: Wadsworth, hlm. 4-6. Vokic & Bogdanic, 2007. Individual Differences and Occupational Stress Perceived: A Croatian survey, (online), (http://web.efzg.hr/repec/pdf/Clanak %2007-05.pdf. diakses tanggal 4 Mei 2009, Jam 17.01 WIB). Wijono, S., 2006. Pengaruh Kepribadian Type A dan Peran terhadap Stres Kerja Manajer Madya. INSAN. 8 (3), hlm. 188-197. Yobel, S., 2005. Hubungan Tingkat Stres Kerja dengan Kinerja Perawat di Unit Perawatan Kritis (ICU). Skripsi Tidak Dipublikasikan, Universitas Airlangga, Surabaya, hlm. 1-5, 25 & 66-67. http://www.mayo.edu/proceedings/2001/mar/7603a5.pdf http://www.mayo.edu/proceedings/2001/mar/7603a5.pdf http://web.efzg.hr/repec/pdf/Clanak%2007-05.pdf http://web.efzg.hr/repec/pdf/Clanak%2007-05.pdf