HUBUNGAN FAKTOR RISIKO ASMA DAN PERILAKU PENCEGAHAN 128 PERBEDAAN EFEKTIVITAS PENYEMBUHAN LUKA BAKAR DENGAN PROPOLIS DAN SILVER SUFADIAZIN 1% (Comparison Of The Effectiveness Between Propolis And Silver Sulfadiazine 1% On Burn Wound Healing) I Ketut Sudiana*, Walida Pangestuti*, Wahyuni Tri Lestari* ABSTRACT Introduction: Silver sulfadiazine 1% is often used as topical agent in burn wound due to its antimicrobial effect. Moreover, this agent has toxigenic effect on fibroblast and keratinocyte. Propolis is a honey bee product and has been used for a long time in burn wound related to antimicrobial effect, anti-inflammation, anti-oxidant and increasing fibroblast. The purpose of this study was to examining the differences between propolis and silver sulfadiazine 1% on burn wound healing process. Method: Design used in this study was true experimental design. The samples were 18 guinea pigs divided randomizely into three group. The groups were control group, propolis group, and silver sulfadiazine group. The independent variables were the using of propolis and silver sulfadiazine 1%. The dependent variables were inflammation phase (erythema, oedema, wound fluid) and proliferation phase (wound granulation, wound size) which were observed on the 3 rd , 7 th , 14 th days. Data were collected by using observation paper based on the sign of inflammation and proliferation. Data were analyzed using One- Way ANOVA and Kruskal-wallis test with level of significance of α ≤ 0.05. Result: Results showed that there were differences between propolis and silver sulfadiazine 1% in erythema (p=0.00) and oedema (p=0.001) on 3 rd day and erythema (p=0.00) and oedema (p=0.00) on7 th day, furthermore burn wound size (p=0.00) on14 th day was also attenuated by propolis and silver sulfadiazine 1 %. Analysis: It can be concluded that the using of propolis was more effective than silver sulfadiazine 1% in burn wound healing. Discussion: Further studies involved microscopic observation of collagen, PMN cell (neutrophile), lymphocyte and monocyte cell are needed. Keywords: propolis, silver sulfadiazine 1%, burn wound healing *Fakultas Keperawatan Universitas Airlangga Kampus C Mulyorejo Surabaya. Telp/Fax: (031) 5913257, E-mail : ik.sudiana@yahoo.com PENDAHULUAN Luka bakar adalah kerusakan kulit tubuh yang disebabkan oleh api, atau oleh penyebab lain seperti air panas, listrik, bahan kimia dan radiasi (Sudjatmiko, 2007). Luka bakar memerlukan perawatan berupa agen topikal untuk mendukung penyembuhan luka. Silver sulfadiazin 1% (SSD 1%) merupakan bahan yang biasa digunakan sebagai agen topikal pada luka bakar (Smeltzer & Bare, 2002). Selain efektif terhadap luka bakar, bahan ini juga diketahui memiliki beberapa efek samping seperti leukopenia, alergi, menghambat proliferasi fibroblas dan epitelisasi sehingga memperlambat penyembuhan luka (Lee & Moon, 2008). Menurut Tsauri (2006) dalam Afrina (2009) menyebutkan bahwa salah satu cara yang dapat dilakukan agar perawatan terhadap luka tidak banyak menimbulkan efek samping adalah dengan menggunakan bahan-bahan dari alam. Keunggulan pengobatan alami adalah bahan mudah didapat, ekonomis, mudah digunakan, dan hanya menimbulkan efek samping minimal. Salah satu bahan alami yang dapat digunakan untuk penyembuhan luka bakar adalah propolis. Propolis merupakan salah satu produk yang dihasilkan oleh lebah dan mengandung komposisi kimia yang kompleks yang bersifat sebagai antibakteri, anti-inflamasi dan anti-oksidan (Lotfy, 2006). Penggunaan propolis secara topikal terbukti mampu mempercepat penyembuhan luka bakar, meningkatkan produksi sel epitel, serta mengurangi pembentukan jaringan parut mailto:ik.sudiana@yahoo.com Penyembuhan luka dengan Propolis dan SSD 1% 129 (Krell, 1996 dalam Dzik et al., 2003). Namun sampai saat ini, perbedaan efektivitas antara propolis dan silver sulfadiazin 1% terhadap proses penyembuhan luka bakar masih belum diketahui. Sekitar 2,5 juta orang mengalami luka bakar di Amerika serikat setiap tahunnya. Dari kelompok ini, 200.000 pasien memerlukan penanganan rawat jalan dan 100.000 pasien dirawat di rumah sakit. Sekitar 12.000 orang meninggal setiap tahun akibat luka bakar dan cedera inhalasi yang berhubungan dengan luka bakar (Smeltzer & Bare, 2002). Di unit luka bakar RSUP Dr. Cipto Mangunkusumo, pada tahun 1998 di laporkan 107 kasus luka bakar yang dirawat. Di unit luka bakar RSU Dr. Soetomo Surabaya jumlah kasus yang dirawat selama satu tahun (Januari 2000 sampai Desember 2000) sebanyak 106 kasus luka bakar atau 48,4% dari seluruh penderita bedah plastik (Noer dkk., 2006). Luka bakar menyebabkan kerusakan integritas kulit yang memungkinkan masuknya mikroba ke luka sehingga dapat terjadi infeksi pada luka. Luka bakar yang terinfeksi akan menyebabkan infeksi sistemik yang merupakan penyebab utama kematian pasien luka bakar (Shuid et al, 2005). Oleh karena itu, diperlukan suatu alternatif obat topikal pada luka bakar yang aman dan efektif pada luka agar tidak berlanjut ke kondisi yang lebih parah. Luka bakar merupakan suatu bentuk kerusakan atau kehilangan jaringan yang disebabkan kontak dengan sumber panas seperti api, air panas, bahan kimia, listrik dan radiasi (Sudjatmiko, 2007). Luka bakar disebabkan oleh pengalihan energi dari suatu sumber panas kepada tubuh. Panas dapat dipindahkan lewat hantaran atau radiasi elektromagnetik. Luka bakar dapat menyebabkan kerusakan jaringan yang akan memicu serangkaian proses dari host yang bertujuan untuk memperbaiki integritas jaringan (Smeltzer & Bare, 2002). Proses penyembuhan luka bakar terjadi melalui beberapa fase, diantaranya fase inflamasi, fase proliferasi, dan maturasi. Apabila proes ini tidak terkontrol dan berlebih akan menimbulkan berbagai masalah. Luka bakar yang tidak ditangani secara baik akan berisiko untuk menjadi jaringan parut hipertrofik atau keloid (Noer dkk., 2006) Penggunaan bahan alam baik sebagai obat maupun tujuan lain cenderung meningkat, terlebih dengan adanya isu back to nature. Sementara ini banyak orang beranggapan bahwa penggunaan obat tradisional relatif lebih aman dibandingkan obat sintetis (Katno & Pramono, 2009). Salah satu obat tradisional yang dapat dijadikan sebagai salah satu altenatif terapi pada luka bakar adalah propolis. Menurut Koichi et al. (2006) propolis merupakan bahan resin yang melekat pada bunga, pucuk dan kulit kayu yang dikumpulkan oleh lebah madu (Apis mellifera) dan sekarang banyak dipakai sebagai obat persediaan di rumah dalam bentuk kapsul, obat tetes, obat kumur, krim dan bubuk. Propolis memiliki efek antibiotik, anti-oksidan, dan anti-inflamasi yang mampu mempercepat penyembuhan luka bakar. Efek anti-inflamasi propolis disebabkan oleh senyawa caffeic acid phenethyl ester (CAPE) dan bioflavonoid yang dapat menekan mediator inflamasi (Ramos&Miranda, 2007). Kedua bahan tersebut juga bersifat sebagai anti-oksidan yang mampu mengikat radikal bebas yang dihasilkan oleh sel-sel peradangan (Song et al., 2008 dalam Nijveldt et al., 2001). Senyawa CAPE dalam propolis terbukti mampu meningkatkan pembentukan fibroblas yang berarti juga meningkatkan pembentukan kolagen pada luka (Song et al., 2008). Menurut Lotfy (2006) menyatakan bahwa propolis memiliki sifat antibakteri yang kuat yang dapat mencegah infeksi pada luka bakar. Karena efek yang menguntungkan dari propolis terhadap penyembuhan luka, peneliti ingin membandingkan antara propolis dan pengobatan standar pada luka bakar yaitu SSD 1% terhadap proses penyembuhan luka bakar. Sehubungan penelitian ini masih belum dapat diterapkan pada manusia, maka digunakan hewan coba yaitu marmut (Cavia cobaya). METODE PENELITIAN Penelitian menggunakan true eksperimental design menggunakan post test only control group. Pemilihan sampel dilakukan dengan simple random sampling. Penelitian ini menggunakan hewan coba marmut (cavia cobaya) dan untuk menghindari sampel yang drop out, peneliti telah menetapkan kriteria sampel subyek penelitian: 1) usia marmut 3 bulan, 2) berat badan 350- 450 gram, 3) jenis lokal dan 4) jenis kelamin jantan. Variabel independen dalam penelitian Jurnal Ners Vol.4 No.2: 128 - 138 130 ini adalah pemberian propolis dan silver sulfadiazin 1%. Variabel dependen pada penelitian ini adalah proses penyembuhan luka yang terdiri atas fase inflamasi (kemerahan di sekitar luka, edema di sekitar luka dan cairan pada luka) dan fase proliferasi (granulasi pada jaringan luka dan ukuran diameter luka). Instrumen yang digunakan yaitu lembar observasi yang berisi kriteria penyembuhan luka menurut Rainey (2002) dan modifikasi dari Watono (2007). Sampel yang terpilih dibagi dalam 3 kelompok: kelompok propolis, kelompok sulfadiazin dan kelompok kontrol masing-masing berjumlah 6 ekor marmut. Pembuatan luka bakar dilakukan pada seluruh kelompok dengan cara memanaskan logam berdimeter 1 cm di atas api selama 13 menit, kemudian ditempelkan pada punggung marmut selama 6 detik. Luka bakar pada kelompok propolis dirawat dengan propolis, pada kelompok sulfadiazin dirawat dengan sulfadiazin 1 % dan kelompok kontrol hanya dibilas dengan normal saline. Perawatan luka bakar ini dilakukan setiap hari sekali selama 14 hari. Penilaian terhadap proses penyembuhan luka dilakukan pada hari ke-3 (fase inflamasi), hari ke-7 (peralihan fase inflamasi ke fase proliferasi) dan hari ke-14 (fase proliferasi). Data yang didapat kemudian dianalisis menggunkakan uji One Way Anova dan Kruskal Wallis dengan derajat kemaknaan α≤0,05. HASIL PENELITIAN Hasil perawatan luka pada hari ke-3 dengan propolis menunjukkan tidak terbentuk cairan pus pada luka, ada kemerahan dan edema di sekeliling luka, jaringan granulasi belum nampak dan diameter luka bakar belum mengecil. Kelompok perawatan silver sulfadiazin 1% menunjukkan tidak ada cairan pada luka, ada kemerahan dan edema yang cukup lebar di sekeliling luka, jaringan granulasi belum nampak dan diameter luka bakar belum mengecil. Kelompok kontrol normal salin 0,9% memiliki luka yang kering dan tidak ada cairan pus pada luka, ada kemerahan dan edema yang lebar di sekeliling luka, jaringan granulasi belum nampak dan diameter luka bakar belum mengecil. Kondisi luka bakar pada hari ke-7 kelompok propolis terlihat tidak ada cairan luka, ada sedikit kemerahan dan edema di sekeliling luka, jaringan granulasi belum nampak, diameter luka bakar belum mengecil dan luka masih berukuran 1 cm. Kelompok perlakuan dengan silver sulfadiazin 1% terlihat tidak ada cairan pada luka, ada kemerahan dan edema yang cukup lebar di sekeliling luka, jaringan granulasi belum nampak, luka bakar semakin melebar dan meradang. Kelompok kontrol normal salin 0,9 % pada hari ke-7 menunjukkan kondisi luka yang terlihat kering dan tidak ada cairan luka, kemerahan di sekeliling luka masih cukup lebar, ada edema, jaringan granulasi belum nampak, diameter luka bakar tetap berukuran 1 cm. Hari ke-14 perawatan luka bakar pada kelompok propolis memiliki luka yang terlihat kering atau tidak terdapat cairan pus pada luka, tidak ada kemerahan dan edema di sekeliling luka, terdapat jaringan granulasi di seluruh bagian luka, ukuran luka bakar mengecil. Kelompok silver sulfadiazin 1% terlihat tidak ada cairan luka, tidak ada edema dan kemerahan di sekeliling luka, terlihat jaringan granulasi di seluruh bagian luka, luka bakar semakin mengecil. Kelompok kontrol normal salin menunjukkan luka yang terlihat kering, tidak tampak kemerahan dan edema di sekitar luka, pada bagian tengah luka tertutup oleh keropeng dan dibagian tepi luka sudah muncul granulasi, diameter luka bakar sedikit mengecil. Berdasarkan hasil perawatan selama 14 hari, kelompok propolis memiliki diameter ukuran luka terkecil di antara semua kelompok. Kelompok SSD 1% dan kontrol memiliki ukuran diameter luka bakar yang hampir sama pada hari ke-14 post pembuatan luka. Hal ini menunjukkan bahwa propolis lebih efektif dalam penyembuhan luka bakar dibanding SSD 1%. Berikut ini merupakan data yang diperoleh mengenai tanda inflamasi luka bakar pada tiap kelompok pada hari ke-3, 7, 14 post pembuatan luka bakar. Penyembuhan luka dengan Propolis dan SSD 1% 131 Tabel 1. Ukuran Kemerahan dari Tepi Luka pada Hari Ke-3, 7, 14 Post Pembuatan Luka Bakar di Laboratorium Biokimia Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya Tanggal 14- 28 Juni 2009 Tabel 2. Hasil Post Hoc Test Ukuran Kemerahan dari Tepi Luka pada Hari Ke-3 dan 7 Post Pembuatan Luka Bakar di Laboratorium Biokimia Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya Tanggal 14-28 Juni 2009 Tabel 3 Ukuran Edema dari Tepi Luka pada Hari Ke-3, 7, 14 Post Pembuatan Luka Bakar di Laboratorium Biokimia Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya Tanggal 14- 28 Juni 2009 Tabel 4. Hasil Post Hoc Test Ukuran Edema dari Tepi Luka pada Hari Ke-3 dan 7 Post Pembuatan Luka Bakar di Laboratorium Biokimia Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya Tanggal 14-28 Juni 2009 Edema hari ke- Kelompok p value 3 Propolis SSD 1% 0.001 Propolis Kontrol 0.013 SSD 1% Kontrol 0.215 7 Propolis SSD 1% 0.00 Propolis Kontrol 0.00 SSD 1% Kontrol 0.794 Kelompok N Rata-rata kemerahan dari tepi luka hari ke- (cm) 3 7 14 Propolis 6 0,41 ± 0,058 0,13 ± 0,075 0 SSD 1% 6 0,60 ± 0,077 0,32 ± 0,026 0 Kontrol 6 0,54 ± 0,049 0,33 ± 0,026 0 One-Way ANOVA p = 0.00 p = 0.00 p = - Kemerahan hari ke- Kelompok p value 3 Propolis SSD 1% 0.00 Propolis Kontrol 0.002 SSD 1% Kontrol 0.129 7 Propolis SSD 1% 0.00 Propolis Kontrol 0.00 SSD 1% Kontrol 0.559 Kelompok N Rata-rata edema dari tepi luka hari ke- (cm) 3 7 14 Propolis 6 0,44 ± 0,066 0,14 ± 0,086 0 SSD 1% 6 0,60 ± 0,077 0,32 ± 0,026 0 Kontrol 6 0,55 ± 0,055 0,33 ± 0,027 0 One-Way ANOVA p = 0.003 p = 0.00 p = - Jurnal Ners Vol.4 No.2: 128 - 138 132 Tabel 5. Cairan Luka pada Hari Ke-3, 7, 14 Post Pembuatan Luka Bakar di Laboratorium Biokimia Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya Tanggal 14-28 Juni 2009 Tabel 6. Granulasi Luka pada Hari Ke-3, 7, 14 Post Pembuatan Luka Bakar di Laboratorium Biokimia Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya Tanggal 14-28 Juni 2009 Tabel 7. Ukuran Diameter Luka Bakar pada Hari Ke-3, 7, 14 Post Pembuatan Luka Bakar di Laboratorium Biokimia Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya Tanggal 14- 28 Juni 2009 Tabel 8. Hasil Post Hoc Test Ukuran Diameter Luka Bakar pada Hari Ke-14 Post Pembuatan Luka Bakar di Laboratorium Biokimia Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya Tanggal 14-28 Juni 2009 PEMBAHASAN Fase inflamasi merupakan tahapan yang penting pada penyembuhan luka. Walaupun inflamasi diperlukan untuk penyembuhan luka, namun bila terjadi perpanjangan inflamasi justru akan memperlambat penyembuhan luka. Fase inflamasi dimulai setelah beberapa menit terjadi luka dan berlangsung selama sekitar 3 hari setelah cedera (Potter & Perry, 2006; Ramos & Miranda, 2007). Fase inflamasi Kelompok Hari ke-3 Hari ke-7 Hari ke-14 Cairan dengan pus Ada cairan Tidak ada cairan Cairan dengan pus Ada cairan Tidak ada cairan Cairan dengan pus Ada cairan Tidak ada cairan Propolis 0 0 6 0 0 6 0 0 6 SSD 1% 0 0 6 0 0 6 0 0 6 Kontrol 0 0 6 0 0 6 0 0 6 Kruskal- Wallis p = 1.00 p = 1.00 p = 1.00 Kelompok Hari ke-3 Hari ke-7 Hari ke-14 Tidak ada granulasi Sebagian luka Seluruh bagian luka Tidak ada granulasi Sebagian luka Seluruh bagian luka Tidak ada granulasi Sebagian luka Seluruh bagian luka Propolis 6 0 0 6 0 0 0 0 6 SSD 1% 6 0 0 6 0 0 0 0 6 Kontrol 6 0 0 6 0 0 0 6 0 Kruskal- Wallis p = 1.00 p = 1.00 p = 0.00 Kelompok N Rata-rata ukuran diameter luka hari ke- (cm) 3 7 14 Propolis 6 1 ± 0,00 1 ± 0,00 0,48 ± 0,044 SSD 1% 6 1 ± 0,00 1,41 ± 0,053 0,69 ± 0,066 Kontrol 6 1 ± 0,00 1 ± 0,00 0,75 ± 0,064 Uji statistik One-Way ANOVA p = - Kruskal-Wallis: p = 0.00 One-Way ANOVA p = 0.00 Diameter luka hari ke- Kelompok p value 14 Propolis SSD 1% 0.00 Propolis Kontrol 0.00 SSD 1% Kontrol 0.105 Penyembuhan luka dengan Propolis dan SSD 1% 133 dapat diobservasi secara makrokopis dari tanda-tanda yang muncul seperti kemerahan di sekitar luka, edema, dan adanya cairan pada luka. Kemerahan hari ke-3 pada kelompok propolis berukuran rata-rata 0,41 cm dari tepi luka, sedangkan nilai kemerahan SSD 1% adalah 0,6 cm dan kontrol 0,54 cm. Ukuran kemerahan pada ketiga kelompok tersebut mengalami penurunan pada hari ke-7, dimana ukuran kemerahan kelompok propolis menjadi sebesar 0,13 cm, kelompok SSD 1% sebesar 0,32 cm, dan kontrol sebesar 0,33 cm. Hal ini menunjukkan bahwa baik penggunaan propolis maupun SSD 1% dapat menurunkan kemerahan. Kerusakan jaringan menyebabkan terbentuknya asam arakhidonat yang akan dikonversi melalui dua jalur yang berbeda, yaitu jalur siklooksigenase dan lipoksigenase yang dapat menghasilkan mediator inflamasi seperti tromboksan, prostaglandin dan leukotrien. Mediator inflamasi menyebabkan vasodilatasi yang memungkinkan lebih banyak darah mengalir ke daerah yang cedera, sehingga terjadi kemerahan lokal pada peradangan akut (Price & Wilson, 2006). Propolis mampu meningkatkan hilangnya kemerahan karena memiliki kemampuan anti- inflamasi dan antibakteri. Komponen bioflavanoid dan CAPE dapat meregulasi inflamasi dengan jalan menghambat jalur siklooksigenase dan lipoksigenase yang menghasilkan mediator inflamasi (tromboksan, prostaglandin, leukotrien) dari konversi asam arakidonat, menghambat pelepasan histamin, atau aktivitas "radical scavenging" suatu molekul (Ramos & Miranda, 2007). Pemberian propolis akan mencegah terjadinya peningkatan inflamasi sehingga regenerasi jaringan berlangsung lebih cepat karena ada indikasi bahwa peningkatan inflamasi menyebabkan produksi berlebih dari IL-8 dan sitokin inflamasi yang lain yang menghambat replikasi keratinosit sehingga mengganggu pembentukan matriks baru dan memperlambat penutupan luka (Cho Lee et al., 2005). Menurut Lotfy (2006) menyatakan bahwa flavonoid dalam propolis juga bersifat sebagai antibakteri yang dapat mencegah infeksi pada luka sehingga inflamasi menjadi lebih terkendali. Penggunaan SSD 1% dapat menurunkan kemerahan karena kandungan antibakteri yang dimilikinya. Sulfadiazine dalam SSD 1% merupakan antibakteri yang bersifat sebagai kompetitor PABA (para aminobenzoic acid) yang diperlukan kuman untuk membentuk asam folat yang digunakan untuk sintesis purin dan asam-asam nukleat (Mariana & Setiabudi, 2006). Kelompok propolis maupun SSD 1% mengalami penurunan kemerahan yang ditandai oleh semakin mengecilnya ukuran kemerahan pada hari ke-7 dan menghilang pada hari ke-14. Bahan anti-inflamasi dalam propolis membuat regulasi inflamasi berjalan optimal sehingga efektif dalam menurunkan kemerahan. Begitu juga dengan penggunaan SSD 1% yang mencegah infeksi mikroba pada luka sehingga inflamasi menjadi terkendali yang ditandai oleh adanya penurunan kemerahan. Edema hari ke-3 pada kelompok propolis berukuran rata-rata 0,44 cm dari tepi luka, sedangkan nilai edema SSD 1% adalah 0,6 cm dan kontrol 0,55 cm. Ukuran edema pada ketiga kelompok tersebut mengalami penurunan pada hari ke-7, dimana ukuran edema kelompok propolis menjadi sebesar 0,14 cm, kelompok SSD 1% sebesar 0,32 cm, dan kontrol sebesar 0,33 cm. Hal ini menunjukkan bahwa baik penggunaan propolis maupun SSD 1% dapat menurunkan edema. Respon jaringan luka pada fase inflamasi adalah terjadinya edema lokal yang disebabkan karena meningkatnya permeabilitas pembuluh darah akibat mediator inflamasi pada daerah peradangan dan mengakibatkan kebocoran protein (Price & Wilson, 2006). Propolis yang memiliki kandungan anti- inflamasi yaitu flavonoid dan CAPE mampu mencegah terbentuknya mediator inflamasi dari konversi asam arakhidonat tanpa mengganggu terbentuknya sel-sel peradangan yang bermanfaat bagi penyembuhan luka (Ramos &Miranda, 2007). Hal ini menyebabkan regulasi inflamasi menjadi lebih optimal. Menurut Tanu dalam Afrina (2009), adanya aktivitas anti-inflamasi dan anti-oksidan pada propolis membuat sel lebih terlindung dari pengaruh negatif, sehingga dapat meningkatkan viabilitas sel. Dengan meningkatnya viabilitas sel, neutrofil-neutrofil yang dibawa oleh darah ke jaringan yang meradang akan semakin meningkat dan monosit yang masuk ke daerah peradangan akan cepat membesar menjadi makrofag. Pembentukan makrofag membuat lebih banyak bakteri yang difagosit, kecepatan Jurnal Ners Vol.4 No.2: 128 - 138 134 makrofag dalam memfagositosis bakteri ini lebih cepat daripada neutrofil. Hal ini membuat bakteri tidak dapat mengkontaminasi luka dan memungkinkan fase inflamasi berjalan normal. Begitu juga perawatan luka bakar dengan menggunakan SSD 1%. Bahan tersebut mengandung perak yang dapat membunuh bakteri patogen pada luka sehingga fase inflamasi menjadi terkendali (Almeida, 2000). Edema merupakan salah satu tanda inflamasi dan bila edema yang muncul semakin parah berarti inflamasi yang terjadi juga semakin meningkat, hal ini dapat memperlambat penyembuhan luka. Baik penggunaan propolis maupun SSD 1% dapat menurunkan edema pada luka bakar yang ditandai oleh ukuran edema hari ke-7 yang lebih kecil dibanding hari ke-3. Penggunaan propolis dapat menurunkan edema yang terjadi karena kandungan anti-inflamasi dan antibakteri yang dapat meregulasi inflamasi. Penggunaan SSD 1% juga dapat menurunkan edema karena terdapat kandungan antibakteri yang mampu mencegah infeksi mikroba pada luka bakar. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di Laboratorium Biokimia FK Unair Surabaya, hasil perawatan luka dengan menggunakan propolis, SSD 1% dan kontrol normal salin 0,9% didapatkan data bahwa tidak ada cairan pus pada semua kelompok pada hari ke-3,7, dan 14. Hal ini menunjukkan bahwa ketiga kelompok tidak mengalami infeksi mikroba pada luka bakar. Adanya cairan pus pada luka merupakan indikasi adanya infeksi pada luka, neutrofil yang mati akan meninggalkan pus (Potter & Perry, 2006). Kemampuan propolis dalam mencegah terbentuknya cairan pada luka dikarenakan propolis mengandung senyawa flavonoid yang bersifat sebagai antibakteri. Flavonoid menyebabkan tidak berfungsinya pompa NA+-K+ pada bakteri, keadaan ini menyebabkan ion sodium tertahan di dalam sel, sehingga terjadi perubahan kepolaran pada plasma sel yang berakibat terjadinya osmosis cairan ke dalam plasma sel. Hal inilah yang menyebabkan sel membengkak dan akhirnya pecah. Membran yang pecah ini menyebabkan gangguan pertukaran zat yang dibutuhkan bakteri untuk mempertahankan hidupnya sehingga terjadi kematian pada bakteri (Harborne, 2000). SSD 1% merupakan anti bakteri yang bersifat sebagai kompetitor PABA (para aminobenzoic acid) yang diperlukan kuman untuk membentuk asam folat yang digunakan untuk sintesis purin dan asam-asam nukleat (Mariana & Setiabudi, 2006). SSD 1% menghambat replikasi DNA dan merusak dinding sel bakteri. Kandungan perak dalam SSD juga berfungsi sebagai anti-mikroba (Almeida, 2000). Hal tersebut mengakibatkan luka bakar terhindar dari infeksi mikroba yang ditunjukkan oleh tidak terdapatnya cairan pada luka selama penelitian. Penggunaan propolis dan SSD 1% membuat luka tidak mengalami infeksi yang ditunjukkan tidak terdapatnya cairan pada luka. Hal ini membuktikan bahwa propolis dan SSD 1% merupakan agen topikal yang efektif dalam mencegah infeksi mikroba pada luka bakar. Fase proliferasi disebut juga fase fibroplasia karena yang menonjol adalah proses proliferasi fibroblas. Fase ini berlangsung dari akhir fase inflamasi sampai kira-kira akhir minggu ketiga (Sjamsuhidayat & Jong, 2005). Fase proliferasi dapat diamati secara makroskopis melalui jaringan granulasi yang terbentuk pada luka dan mengecilnya diameter luka bakar. Kelompok propolis, SSD 1% dan kontrol 100% pada hari ke-3 dan ke-7 tidak terdapat granulasi luka. Jaringan granulasi baru terlihat pada hari ke-14 dimana kelompok propolis 100% terdapat granulasi di seluruh bagian luka, Kelompok SSD 1% juga 100% terdapat granulasi di seluruh bagian luka, dan kelompok kontrol 100% hanya terdapat granulasi di sebagian luka. Hal ini menunjukkan bahwa baik penggunaan propolis dan SSD 1% mampu meningkatkan granulasi pada luka. Pada fase proliferasi, luka akan dipenuhi sel radang, fibroblas , dan kolagen, membentuk jaringan berwarna kemerahan dengan permukaan yang berbenjol halus yang disebut jaringan granulasi (Sjamsuhidayat & Jong, 2005). Jaringan granulasi merupakan salah satu bentuk jaringan penyambung yang memiliki lebih banyak suplai darah daripada kolagen (Potter & Perry, 2006). Propolis mengandung senyawa CAPE dan flavonoid yang bersifat sebagai anti-oksidan. Pemberian anti-oksidan lokal akan mengikat ROS dan menurunkan kerusakan jaringan akibat radikal bebas sehingga perbaikan jaringan berlangsung dengan baik (Song et al., 2008 dalam Nijveldt et al., 2001). Flavonoid akan berikatan dengan komponen reaktif radikal bebas sehingga radikal bebas menjadi lebih stabil (Nijveldt et al., 2001). Penyembuhan luka dengan Propolis dan SSD 1% 135 Flavanoid sebagai anti-inflamasi dan anti-oksidan akan menghambat jalur metabolisme asam arakhidonat, pembentukan prostaglandin, pelepasan histamin, atau aktivitas "radical scavenging" suatu molekul. Melalui mekanisme tersebut, sel lebih terlindung dari pengaruh negatif, sehingga dapat meningkatkan viabilitas sel. Hal ini membuat neutrofil yang dibawa oleh darah ke jaringan yang meradang akan semakin meningkat dan monosit yang masuk ke daerah peradangan akan cepat membesar menjadi makrofag (Tanu dalam Afrina, 2009). Makrofag merangsang pembentukan fibroblas, mengatur proliferasi sel, sintesa matrik, dan angiogenesis (Brunicardi et al., 2005). Kemampuan SSD 1% dalam membentuk granulasi pada luka bakar karena SSD 1% berbentuk salep yang bersifat melembabkan sehingga meningkatkan granulasi luka. Granulasi luka baru terlihat pada hari ke-14 dimana perawatan dengan propolis dan SSD 1% membuat jaringan granulasi muncul di seluruh bagian luka. Hal ini mengindikasikan bahwa penggunaan propolis dan SSD 1% dapat meningkatkan pembentukan granulasi luka bakar. Semua kelompok mengalami penurunan atau pengecilan ukuran diameter luka pada hari ke-14 dimana luka bakar yang semula berukuran 1 cm menjadi sebesar 0,48 cm pada kelompok propolis, 0,69 cm pada kelompok SSD 1% , dan 0,75 cm pada kelompok kontrol. Hal ini berarti bahwa perawatan luka dengan SSD 1% dan propolis dapat membuat ukuran diameter luka bakar semakin mengecil. Luka yang tidak memiliki tepi luka yang berdekatan, kontraksi luka akan membuat ukuran luka mengecil (penyembuhan sekunder) (Sabiston 1995). Proses re-epiteliasi tergatung pada proliferasi keratinosit dan proses kontraksi bergantung pada proliferasi fibroblast (Cho Lee et al., 2005). Kemampuan propolis dalam meningkatkan kecepatan kontraksi luka dikarenakan adanya senyawa flavonoid dan CAPE didalamnya. Flavonoid dan CAPE yang terkandung dalam propolis bersifat sebagai anti-oksidan. Pemberian anti-oksidan lokal akan mengikat ROS dan menurunkan kerusakan jaringan akibat radikal bebas sehingga perbaikan jaringan berlangsung dengan baik. Kedua senyawa tersebut mampu mengikat radikal bebas yang merupakan penyebab kerusakan sel (Song et al., 2008 dalam Nijveldt et al., 2001). Flavonoid akan berikatan dengan komponen reaktif radikal bebas sehingga radikal bebas menjadi lebih stabil (Nijveldt et al., 2001). Senyawa CAPE meningkatkan pembentukan fibroblas yang berarti juga meningkatkan pembentukan kolagen. Proliferasi fibroblas akan menghasilkan kolagen yang membuat luka semakin mengecil dan merupakan tahapan yang sangat penting bagi perbaikan jaringan dan penyembuhan luka (Song et al., 2008). SSD 1% merupakan bahan yang bersifat antibakterial yang membuat luka bersih dari mikroba sehingga regenerasi jaringan menjadi tidak terganggu (Atiyeh et al., 2007). Kondisi ini sangat mendukung proses penyembuhan luka yang optimal. Kandungan krim pada SSD 1% mampu melembabkan luka sehingga mendukung pembentukan jaringan granulasi. Penggunaan propolis dan SSD 1% berpengaruh terhadap pengecilan ukuran diameter luka bakar dimana baik kelompok propolis maupun SSD 1% sama-sama membuat ukuran luka mengecil. Hal ini terjadi karena propolis mengandung senyawa yang dapat meningkatkan proliferasi fibroblast. Sedangkan penggunaan SSD 1% dapat membuat luka mengecil pada hari ke-14 dikarenakan kandungan anti-bakteri yang membuat luka terhindar dari infeksi mikroba, selain itu sediaan yang berbentuk krim membuat bahan ini bersifat melembabkan luka sehingga meningkatkan granulasi yang membuat luka bakar semakin mengecil. Penelitian yang telah dilakukan di Laboratorium Biokimia FK Unair pada tanggal 14-28 Juni 2009 memberikan hasil sebagai berikut. Post Hoc Test menunjukkan bahwa kelompok yang berbeda secara signifikan dalam menurunkan kemerahan hari ke-3 dan ke-7 adalah kelompok propolis dibanding SSD 1% dan kelompok propolis dibanding kontrol, sedangkan kelompok SSD 1% dibanding kontrol tidak terdapat perbedaan yang bermakna dalam menurunkan kemerahan. Ukuran edema hari ke-3 dan ke-7 juga terdapat perbedaan antar kelompok dalam menurunkan edema. Hasil Post Hoc Test menunjukkan bahwa kelompok yang berbeda secara signifikan dalam menurunkan edema hari ke-3 dan ke-7 adalah kelompok propolis dibanding SSD 1% dan kelompok propolis dibanding kontrol, sedangkan kelompok SSD 1% Jurnal Ners Vol.4 No.2: 128 - 138 136 dibanding kontrol tidak terdapat perbedaan yang bermakna. Baik pada hari ke-3 maupun ke-7 kemerahan dan edema kelompok propolis berukuran paling kecil diantara kelompok yang lain. Sedangkan tanda fase inflamasi yang lain yaitu cairan luka, tidak didapatkan perbedaan yang signifikan antara ketiga kelompok dalam hal cairan luka dimana semua kelompok tidak memiliki cairan pada luka. Perbedaan juga terlihat pada proses penyembuhan luka bakar fase proliferasi. Perbedaan baru terlihat pada hari ke-14 dimana kelompok propolis dibanding kontrol dan kelompok SSD 1% dibanding kontrol terdapat perbedaan dalam meningkatkan granulasi luka, sedangkan propolis dibanding SSD 1% sama- sama efektif dalam meningkatkan granulasi luka. Uji Post Hoc Test menunjukkan bahwa ada kelompok yang berbeda secara signifikan dalam mengecilkan ukuran diameter luka bakar hari ke-14 yaitu kelompok propolis dibandingkan dengan kelompok SSD 1% dan kelompok propolis dibandingkan dengan kontrol, serta tidak ada perbedaan yang signifikan antara kelompok SSD 1% dibanding dengan kelompok kontrol. Ukuran diameter luka propolis adalah yang terkecil diantara semua kelompok dan berarti bahwa penggunaan propolis paling efektif dalam memperkecil ukuran diameter luka bakar. Peran propolis dalam mempercepat penyembuhan luka bakar berasal dari kandungan antibakteri, antioksidan, dan anti- inflamasi di dalamnya. Bioflavonoid adalah senyawa yang dominan pada propolis dan memberikan efek antibiotik, anti oksidan, dan anti inflamasi. Propolis sebagai anti-inflamasi bekerja dengan menghambat jalur siklooksigenase dan lipoksigenase yang menghasilkan mediator inflamasi (tromboksan, prostaglandin, leukotrien) dari konversi asam arakidonat (Ramos & Miranda, 2007). Flavonoid dan CAPE yang terkandung dalam propolis bersifat sebagai antioksidan. Kedua senyawa tersebut mampu mengikat radikal bebas yang merupakan penyebab kerusakan sel (Song et al., 2008 dalam Nijveldt et al., 2001). Penyembuhan luka akan berjalan optimal bila tidak terjadi infeksi mikroba pada luka yang dapat memperparah inflamasi. Flavonoid dalam propolis bekerja sebagai antimokroba dengan cara menghambat sintesa protein pada mikroorganisme sampai menjadi inaktif, mencegah pembelahan sel bakteri, menghancurkan dinding sel dan membran sitoplasma bakteri (Lotfy, 2006). Dari penelitian yang dilakukan Song et al. (2008), juga diketahui bahwa senyawa CAPE meningkatkan pembentukan fibroblas pada luka bakar. Penggunaan SSD 1% menyebabkan perlambatan penyembuhan luka karena kandungan krim yang larut air (water soluble cream base) yang membuat inflamasi pada luka bakar semakin meningkat (Atiyah et al., 2007). SSD 1% juga merusak keratinosit yang berperan terhadap re-epitelisasi luka, serta merusak fibroblas sehingga menganggu maturasi matriks kolagen (Lee & Moon, 2003). SSD 1% merusak penyembuhan luka secara langsung dengan cara menghambat mitosis fibroblas, keratinosit, dan sel-sel peradangan (Cho Lee et al., 2005). Kandungan perak dalam SSD 1% tidak dapat membedakan antara bakteri yang jahat dan sel-sel yang sehat yang terlibat dalam penyembuhan luka (Atiyah et al., 2007). Hal tersebut membuat penurunan kontraksi luka bakar yang mengakibatkan lambatnya pengecilan ukuran diameter luka bakar pada kelompok SSD 1%. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat kemerahan dan edema yang merupakan tanda fase inflamasi lebih kecil pada kelompok propolis dibandingkan dengan kelompok SSD 1%. Walaupun kemerahan dan edema masih terlihat pada kelompok propolis dan SSD 1% pada hari ke-7 post pembuatan luka bakar yang menandakan bahwa kedua kelompok mengalami perpanjangan fase inflamasi, tetapi kelompok propolis memiliki nilai kemerahan dan edema yang lebih kecil daripada kelompok SSD 1%. Hal ini menandakan bahwa propolis lebih efektif dalam menghilangkan kemerahan dan edema yang merupakan tanda inflamasi pada luka bakar. Penggunaan propolis dan SSD 1% membuat diameter luka bakar semakin mengecil tetapi diameter kelompok propolis lebih kecil daripada kelompok SSD 1% sehingga penggunaan propolis lebih efektif dalam memperkecil ukuran diameter luka bakar yang merupakan tanda fase proliferasi dibandingkan SSD 1%. Hal tersebut membuktikan bahwa penggunaan propolis lebih efektif dalam penyembuhan luka bakar dibandingkan dengan SSD 1%. Penyembuhan luka dengan Propolis dan SSD 1% 137 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Propolis lebih efektif menghilangkan kemerahan dan edema pada fase inflamasi serta memperkecil ukuran diameter luka bakar pada fase proliferasi dibanding SSD 1%. Hal ini disebabkan senyawa bioflavonoid dan CAPE dalam propolis yang bersifat sebagai anti- inflamasi, anti-oksidan, antibakteri, dan merangsang pembentukan fibroblas pada luka bakar. Saran Peneliti menyarankan agar dilakukan penelitian lebih lanjut tentang luka bakar dengan observasi secara mikroskopis agar dapat melihat berbagai perubahan yang terjadi pada sel kolagen, sel PMN (neutrofil), dan sel limfosit dan monosit selama proses penyembuhan luka baik fase inflamasi maupun fase proliferasi perlu dilakukan. Penelitian lebih lanjut dengan menggunakan sampel manusia perlu dilakukan. KEPUSTAKAAN Afrina, N., 2009. Perbedaan Efektivitas Antara Propolis dan Madu Lebah untuk Mempercepat Hilangnya Eritema pada Luka Bakar Derajat II Dalam pada Tikus Putih (Rattus norvegicus) Galur Wistar. Skripsi tidak dipublikasikan. Malang: PSIK FK Universitas Brawijaya. Almeida, A,.& Noronha, C., 2000. Local Burn Treatment-Topical Antimicrobial Agents. Annuals of Burns and Fire Disasters, 13 (4), pp. 216-219. Atiyah, B., Michael C & Shady W. H, 2007. Effect of Silver on Burn Wound Infection Control and Healing: Review of Literatur. Burns, 33, pp.139-148. Brunicardi, C, 2005. Schwartz’s Principles of Surgery. New York: McGraw-Hill Companies, pp: 190-191 dan 224-330 Cho L, et al., 2005. Reversal of Silver Sulfadiazine Impaired Wound Healing by Epidermal Growth Factor. Journal of Biomaterilas, 26, pp. 4670-4676. Harborne, 2000. Advances Research Flavonoid Since 1992. Phytochemistry, 55, pp. 499-500. Katno & Pramono, 2002. Tingkat Manfaat dan Keamanan Tanaman Obat dan Obat Tradisional, (online), (www.tanamanobat.com, diakses tanggal 4 Mei 2009, jam 15.00 WIB). Koichi, et al., 2006. Anti-inflammatory Effects of Propolis Through Inhibition of Nitric Oxide Production on Carrageenin-induced Mouse Paw Edema.Biol. Pharm. Bull, 29 (1), pp. 96-99 Krell, R., 1996. Value-Added Products from Beekeeping, (online), (www.fao.org/dorcep.htm, Diakses tanggal 4 Mei 2009, jam 15.00 WIB). Lee, A. & Moon, H., 2003. Effect of Topically Applied Silver Sulfadiazine on Fibroblast Cell Proliferation and Biomechanical Properties of the Wound. Archives of Pharmacal Research, 26 (10), pp. 856-860. Lotfy, M., 2006. Biological Activity of Bee Propolis in Health and Disease. Asian Pacific Journal of Cancer Prevention, 7, pp. 22-31. Mariana & Setiabudi, 2006. Farmakologi dan Terapi. Jakarta: Gaya Baru, hlm. 587-588 Nijveldt, R., et al., 2001. Flavonoids: A Review of Probable Mechanism of Action and Potential Applications. The American Journal of Clinical Nutrition, 74, pp. 418-423. Noer, S., Iswinarno, DS. & David P., 2006. Penanganan Luka bakar. Surabaya: Airlangga University Press, hlm. 5-6. Potter & Perry, 2006. Buku Ajar Fundamental Keperawatan; Konsep, Proses, dan Praktik. Edisi 4, Volume 2. Jakarta: EGC, hlm. 1854-1859. Price, S. & Wilson, LM., 2006. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. Edisi 6. Jakarta: EGC, hlm. 61-62. Rainey, J., 2002. Wound Care: A Handbook for Community Nurses. London: Whurr Publishers, pp. 12-15. Ramos & Miranda, 2007. Propolis: A Rivew of Its Anti-Inflammatory and Healing Actions. Journal Venom. Anim. http://www.tanamanobat.com/ http://www.fao.org/dorcep.htm,%20Diakses%20tanggal%20%204%20Mei%202009 http://www.fao.org/dorcep.htm,%20Diakses%20tanggal%20%204%20Mei%202009 Jurnal Ners Vol.4 No.2: 128 - 138 138 Toxins incl. trop. Dis, 13 (4), pp. 697-710. Sabiston, 1995. Buku Ajar Bedah Bagian 1, Jakarta: EGC, hlm. 146-148. Shuid, A., Anwar, M. &Yusof, A., 2005. The Effects of Carica papaya Linn Latex on the Healing of Burn Wounds in Rats. Jurnal Sains Kesihatan Malaysia,. 3 (2), hlm. 39-47. Sjamsuhidayat & Jong, W., 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi 2, Jakarta: EGC, hlm. 67-79. Smeltzer, S. & Bare, Brenda G., 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth. Jakarta: EGC, hlm. 1934-1935. Sudjatmiko, G., 2007. Petunjuk Praktis Ilmu Bedah Plastik Rekonstruksi. Jakarta: Yayasan Khazanah Kebajikan, hlm. 79-80. Watono, 2007. Efektivitas Penggunaan Aloe Vera dan Chlorhexidine Gluconate Terhadap Proses Penyembuhan Luka Insisi pada Marmut. Skripsi tidak dipublikasikan. Surabaya: PSIK FK Unair.