175 PERSEPSI PENDERITA Tb BTA (+) TENTANG PENGOBATAN DENGAN STATUS KESEMBUHAN (Perception of Tb BTA (+) Patients About Treatment With Healing Status) Purwaningsih*, Hanik Endang Nihayati*, Khikmatul Mu’jizah* ABSTRACT Introduction: Tuberculosis (Tb) is infection disease that remains a major global public-health problem. Although it is curable and preventable, Tb remains a major cause of morbidity and mortality. Wrong perception about TB and treatment often make non-adherence to treatment regimen. This study was aimed to analyze the correlation between perception of Tb BTA (+) patients about treatment with healing status. Method: This research used cross sectional-retrospective design. The sample were 23 Tb BTA (+). The independent variable was perception of Tb BTA (+) patients about treatment and dependent variable was healing status. The data were analyzed by Kolmogorov- Smirnov test with significance α≤ 0.05. Result: The result showed that perception of Tb BTA (+) patients about treatment did not has significance level with healing status (p=1,00). Analysis: It can be concluded that perception of Tb BTA (+) patients about treatment did not has correlation with healing status. Discussion: It is recommended to the Turen public health center about TB programme to include health education for TB patients and family regularly in addition to increase patients adherence. Keywords : tuberculosis, perception, treatment, healing status * Fakultas Keperawatan Universitas Airlangga Kampus C Mulyorejo Surabaya. Telp/Fax: (031) 5913257. E-mail: purwaningsih_ners@unair.ac.id PENDAHULUAN Penyakit tuberculosis (Tb), masih menjadi masalah kesehatan masyarakat. WHO memperkirakan bakteri ini membunuh sekitar 2 juta jiwa setiap tahun. Jika dihitung, pertambahan jumlah pasien Tb akan bertambah sekitar 2,8-5,6 juta setiap tahun, dan 1,1-2,2 juta jiwa meninggal setiap tahun karena Tb (RS. Infeksi Prof. Dr. Sulianti Saroso, 2007). Indonesia tercatat menduduki peringkat ke-3 tertinggi dunia, setelah Cina dan India dengan jumlah pasien sekitar 10% dari total jumlah pasien Tb di dunia. Insidens kasus BTA positif (menular) tahun 2005 diperkirakan 107 kasus baru/100.000 penduduk (246.000 kasus baru setiap tahun) dan prevalensi 597.000 kasus dalam semua kasus. Berdasarkan Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis di Indonesia, WHO mentargetkan angka kesembuhan yang harus dicapai adalah >85% dengan merekomendasikan DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse) sejak tahun 1991 dan baru diterapkan di Indonesia tahun 1995. DOTS adalah strategi yang paling efektif untuk menangani penderita Tb saat ini, dengan angka kesembuhan 87% pada tahun 1995- 1998 dan 89,7% pada tahun 2007 melebihi target WHO (Depkes RI, 2007). Tetapi pada tahun 2004, angka kesembuhan menurun menjadi 60%. Bahkan, angka kesembuhan bagi penderita Tb di rumah sakit masih rendah yaitu 47% (Siswono, 2004). Angka kesembuhan yang rendah mengindikasikan adanya ketidakberhasilan pengobatan Tb. Penelitian yang dilakukan di India, Swaziland, Thailand dan Zambia menunjukkan bahwa banyak penderita Tb yang mengalami kegagalan dalam pengobatan karena mereka menghentikan pengobatan segera setelah mereka merasa kondisinya lebih baik dan/ atau selama 2 bulan menjalani pengobatan (Waisbord , 2005), misalnya di India, penderita menghentikan pengobatan disebabkan kesalahan persepsi penderita Tb tentang pengobatan dengan kesembuhan, juga adanya penderita yang tidak tahu tentang potensial efek samping dari obat. mailto:purwaningsih_ners@unair.ac.id Jurnal Ners Vol. 4 No. 2: 175-181 176 Pada saat peneliti melakukan pendataan awal pada tanggal 29 April 2009 – 12 Mei 2009 di Puskesmas Turen Kabupaten Malang, diperoleh data angka kesembuhan pasien Tb pada tahun 2006 mencapai 80% dan tahun 2007 mencapai 79,5%. Namun pada tahun 2008 mengalami penurunan menjadi 59,26 %. Pada tahun 2008, terhitung dari bulan Januari sampai bulan November 2008 angka kesembuhan diperoleh dari jumlah penderita Tb BTA (+) yang dinyatakan sembuh sebanyak 32 orang dibagi dengan jumlah penderita Tb BTA (+) yang diobati sebanyak 54 orang. Menurut Dyahsih Mukti Lestari, 2009 (Koordinator Bidang Tb Paru Puskesmas Turen), beberapa faktor yang menyebabkan menurunnya angka kesembuhan tersebut seperti ketidakpatuhan pasien Tb dalam melaksanakan regimen pengobatan Tb dan pemeriksaan sputum di akhir intensif (bulan ke-2), 1 bulan sebelum AP/Akhir Pengobatan (bulan ke-5) dan AP (bulan ke-7 atau setelah obat terakhir habis). Pemeriksaan sputum ulang pada AP sangat penting karena sebagai evaluasi hasil pengobatan dan penentu status kesembuhan pasien. Target angka kesembuhan yang belum tercapai dapat menjadi masalah serius yang dihadapi tenaga kesehatan karena menunjukkan status kesembuhan pasien tidak diketahui. Sehingga pihak unit pelayanan kesehatan yang menangani tidak mengetahui keberhasilan dari pengobatan yang diberikan. Apabila banyak pasien yang belum sembuh tapi tidak terdeteksi, maka masalah yang bisa muncul adalah banyaknya pasien Tb yang tersebar di Indonesia tanpa penanganan yang tepat, sehingga dapat mempermudah penularan pada orang sehat disekitarnya. Dampak pasien yang tanpa pengobatan, setelah lima tahun 50 % dari penderita Tb akan meninggal, 25 % akan sembuh sendiri dengan daya tahan tubuh tinggi dan 25 % sebagai kasus Kronik yang tetap menular (WHO, 1996 dikutip oleh RS. Infeksi Prof. Dr. Sulianti Saroso, 2007). Jika satu orang pasien bisa menularkan ke 10-15 orang, pada tahun berikutnya jumlah yang tertular adalah 5,8 juta orang (RS. Infeksi Prof. Dr. Sulianti Saroso, 2007). Dampak dari ketidakberhasilan pengobatan di masa lalu yang menjadikan penderita dinyatakan tidak sembuh, juga memungkinkan timbulnya kekebalan kuman Tb terhadap OAT (Obat Anti Tuberkulosis) secara meluas atau Multi Drug Resistance (MDR). Jika pasien MDR masih tidak patuh juga, ia akan menjadi pasien XDR-Tb yaitu resistensi obat yang sudah tahap ekstrem. Biasanya kuman sudah resisten terhadap dua jenis obat atau lebih. Biaya pengobatan pun bisa 25 kali lipat dari pengobatan Tb biasa (Yohan, 2008). Tb adalah penyakit yang sangat perlu mendapat perhatian untuk ditanggulangi. Permasalahan yang penting untuk difokuskan adalah persepsi penderita Tb tentang pengobatan yang dimungkinkan memiliki hubungan dengan kejadian penurunan angka kesembuhan penderita Tb. Jadi, yang menjadi masalah dalam penelitian ini adalah angka kesembuhan penderita Tb tahun 2008 di Puskesmas Turen Kabupaten Malang baru mencapai 59,26 %. Oleh karena itu, hubungan persepsi penderita Tb tentang pengobatan dengan status kesembuhan perlu diteliti lebih lanjut. BAHAN DAN METODE PENELITIAN Desain dalam penelitian ini adalah cross sectional secara retrospektif. Populasi yang digunakan adalah seluruh penderita TB tahun 2008 di wilayah cakupan Puskesmas Turen Kabupaten Malang dengan besar sampel 23 orang, diperoleh dengan menggunakan tehnik purposive sampling yang memenuhi kriteria inklusi sebagai berikut 1) penderita baru Tb BTA (+) tahun 2008 2) tidak sedang minum OAT atau telah selesai menjalani pengobatan (baik lengkap maupun tidak) Variabel independen dalam penelitian ini yaitu persepsi penderita Tb sedangkan variabel dependen adalah status kesembuhan. Instrumen yang digunakan untuk mengukur variabel independen menggunakan kuesioner tentang pengobatan berdasarkan kuesioner yang dimodifikasi dari Treatment Perceptions Questionnaire (TPQ) oleh John Marsden et al (1998). Sedangkan untuk mengukur variabel dependen yaitu status kesembuhan adalah dengan observasi menggunakan data Tb 03 Puskesmas Turen Kabupaten Malang yang berisi tentang seluruh data penderita Tb. Data diolah dan dianalisis dengan menggunakan uji statistik Two-Sample Kolmogorov- Smirnov Test dengan tingkat kemaknaan α ≤0,05, yang berarti ada hubungan bermakna antara dua variabel yang diukur yaitu ada Persepsi Penderita Tb BTA (+) (Purwaningsih) 177 hubungan antara persepsi penderita Tb tentang kesembuhan dengan angka kesembuhan. HASIL PENELITIAN Tabel 1 merupakan hasil hubungan persepsi penderita Tb BTA (+) tentang pengobatan dengan status kesembuhan menunjukan bahwa terdapat 13 orang penderita (56,52%) telah sembuh, 5 orang penderita (21,74%) pengobatan lengkap dan 5 orang penderita (56,52%) berstatus default (putus berobat). Dari tabel 1 tersebut juga terlihat bahwa hampir seluruh responden memiliki persepsi positif terhadap pengobatan yang telah dijalaninya, yaitu sebanyak 12 orang penderita (52,17%). Sedangkan terdapat 11 orang penderita (47,83%) memiliki persepsi negatif. Analisis menggunakan uji statistik 2-sample Kolmogorov Smirnov diperoleh nilai p = 1,00. Artinya tidak ada hubungan yang bermakna antara persepsi penderita Tb BTA (+) tentang pengobatan dengan Status kesembuhan. PEMBAHASAN Hasil penelitian menunjukkan bahwa mayoritas responden berpersepsi positif. Hal ini disebabkan karena mereka menganggap seluruh rangkaian pengobatan yang telah dijalani sudah baik dan sesuai prosedur. Walaupun terdapat beberapa responden yang masih menganggap kurang, tetapi sebagian responden tetap memberi tanggapan bagus pada item-item yang tercantum pada kuesioner. Penelitian yang dilakukan oleh Zhang dkk (2007) menunjukan hasil bahwa adanya beberapa faktor yang berhubungan dengan pengetahuan dan persepsi, yaitu usia, jenis kelamin, etnis (suku bangsa), tingkat pendapatan dan pendidikan. Menurut Robbins & Judge (2008), terdapat beberapa faktor yang berperan untuk membentuk dan terkadang mengubah persepsi, yaitu bisa terletak dalam diri pembentuk persepsi, dalam diri objek atau target yang diartikan dan konteks situasi dimana persepsi tersebut dibuat. Widayatun (1999) menjelaskan bahwa seseorang dalam mempersepsikan sesuatu dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor intrinsik : 1) usia, 2) pembawaan, 3) kebutuhan, 4) kematangan, 5) pengalaman dan 6) fisik dan kesehatan. Faktor ekstrinsik, meliputi : 1) lingkungan, 2) keluarga, 3) teman sebaya, 4) sosial budaya, 5) norma masyarakat, dan lain- lain. Walgito (2003) menyatakan persepsi ada 3 macam, meliputi : 1) persepsi diri yaitu bila objek persepsi diri pribadi seseorang mengenai ciri-ciri dan kualitas dirinya sendiri. Pada persepsi diri sendiri, orang akan mengerti dirinya sendiri sehingga seseorang dapat mengevaluasi tentang dirinya sendiri, 2) persepsi benda, yaitu bila objek persepsi berwujud benda-benda dan 3) persepsi orang yaitu bila objek persepsi berwujud manusia atau orang. Data mengenai persepsi responden dalam penelitian ini menunjukkan bahwa distribusi persepsi penderita seimbang. Persepsi positif dimiliki oleh responden yang berasal dari segala kategori umur, jenis kelamin, tingkat pendapatan maupun berbagai macam tingkat pendidikan, begitu juga pada responden yang berpersepsi negatif. Responden yang berstatus sembuh, pengobatan lengkap serta default juga memiliki distribusi yang rata baik pada persepsi positif maupun negatif. Pada penelitian ini karakteristik demografi tidak mempengaruhi persepsi responden. Terdapat beberapa responden yang bercerita bahwa seburuk apapun atau sesulit apapun pengobatan TB yang harus dijalaninya, mereka akan tetap berusaha berjuang menjalaninya karena adanya keinginan yang kuat untuk sembuh. Sebagian besar dari responden menganggap bahwa sebenarnya pelayanan yang diberikan petugas kesehatan, fasilitas yang diberikan, prosedur tentang pengobatan dan pemeriksaan dahak sudah sangat baik. Tetapi jika terdapat beberapa kesalahan dalam pelaksanaan pengobatan, misalnya tidak mengikuti tes dahak ulang atau berhenti berobat, kesalahan tersebut berasal dari penderita sendiri. Mereka mengaku bahwa rasa malas, bosan, bahkan tidak mau minum obat memang dikarenakan kurangnya kesadaran penderita. Padahal mereka juga sering mendapatkan penyuluhan dari petugas kesehatan di Puskesmas Turen yang menangani dan pengawasan dari PMO yang ditunjuk. Selain itu, juga ada beberapa responden yang merasa takut karena menganggap hasil penelitian ini akan berdampak nantinya bagi dia, ada juga yang takut karena ini berhubungan dengan puskesmas. Jurnal Ners Vol. 4 No. 2: 175-181 178 Tabel 1. Tabulasi silang persepsi penderita TB BTA (+) tentang pengobatan dengan status kesembuhan di Puskesmas Turen Kab. Malang 13-18 Juli 2009 Keterangan: p = signifikansi ∑ = Jumlah % = Prosentase Data hasil juga menunjukkan bahwa mayoritas responden memiliki tingkat pendidikan rendah, yaitu SD dan cukup banyak yang berusia >50 tahun hal ini menyebabkan responden bisa berpikiran seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Sehingga mereka lebih memilih untuk menjawab yang baik-baik saja daripada nantinya ada dampak buruk pada mereka. Responden yang memiliki persepsi negatif beberapa diantaranya memiliki tingkat pendidikan paling tinggi diantara yang lain, yaitu SMA dan berusia pada rentang 21-35 tahun serta beberapa juga memiliki tingkat pendapatan cukup yaitu pada rentang 500.000- 1.000.000. Beberapa alasan yang menyebabkan hasil persepsi mereka negatif berdasarkan kuesioner adalah mereka masih merasa kurang mendapatkan pelayanan yang maksimal dari Puskesmas dan PMO yang ditunjuk selama pelaksanaan pengobatannya berlangsung, tidak menyukai pengobatan dan peraturan dari pengobatan dikarenakan lamanya pengobatan serta mengganggu aktivitas sehari-hari mereka. Buku Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis oleh Departemen Kesehatan RI (2008) menunjukkan bahwa status kesembuhan penderita TB dapat dilihat dari hasil pengobatan yang dikategorikan sebagai berikut : 1) sembuh yaitu pasien telah menyelesaikan pengobatannya secara lengkap dan pemeriksaan ulang dahak (follow-up) hasilnya negatif pada Akhir Pengobatan (AP) serta minimal satu pemeriksaan follow-up sebelumnya negatif, 2) pengobatan lengkap adalah pasien yang telah menyelesaikan pengobatannya secara lengkap tetapi tidak memenuhi persyaratan sembuh atau gagal, 3) meninggal adalah pasien yang meninggal dalam masa pengobatan karena sebab apapun, 4) pindah adalah pasien yang pindah berobat ke unit dengan register TB 03 yang lain dan hasil pengobatannya tidak diketahui, 5) default (putus berobat) adalah pasien yang tidak berobat 2 bulan berturut-turut atau lebih sebelum masa pengobatannya selesai dan 6) gagal adalah pasien dengan hasil pemeriksaan dahak tetap positif atau kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan. Responden yang telah dinyatakan sembuh mengatakan bahwa mereka selalu rajin menjalani pengobatan dan tes pemeriksaan dahak ulang sesuai dengan yang dianjurkan oleh petugas. Walaupun banyak kesibukan mereka tetap rutin mengambil obat ke puskesmas tiap satu minggu sekali. Responden mengatakan bahwa penyakit mereka menular dan juga mengetahui resiko jika mereka menghentikan minum obat dan tidak tes dahak, yaitu bakteri akan kebal dan pengobatannya akan jauh lebih mahal, bahkan bisa meninggal dunia. Sehingga mereka tetap menganggap pengobatan selama 6 bulan dan tes pemeriksaan dahak ulang wajib dilaksanakan jika mereka menginginkan cepat sembuh dan tidak mau menularkan penyakitnya pada keluarga di rumah. Data responden menunjukkan bahwa mayoritas berpendidikan SD, hal ini sedikit berlawanan, karena walaupun dengan tingkat pendidikan yang rendah, penderita dan keluarga tetap memiliki kesadaran yang cukup tinggi untuk Persepsi Penderita TB BTA (+) tentang Pengobatan Status Pengobatan Sembuh Pengobatan Lengkap Default (Putus Berobat) Total ∑ % ∑ % ∑ % ∑ % Positif 7 30,43 2 8,7 3 13,04 12 52,17 Negatif 6 26,09 3 13,04 2 8,7 11 47,83 Total 13 56,52 5 21,74 5 21,74 23 100 Two-Sample Kolmogorov-Smirnov Test p=1,00 Persepsi Penderita Tb BTA (+) (Purwaningsih) 179 tetap menjalankan prosedur pengobatan sebagaimana mestinya. Responden yang berstatus pengobatan lengkap ada yang menganggap bahwa tes pemeriksaan dahak pada Akhir Pengobatan (AP) tidak perlu sehingga dia cukup melaksanakan minum obat saja. Selain itu beberapa alasan lain adalah adanya kebosanan minum obat di bulan-bulan akhir masa pengobatan, ketidaktahuan bahwa setelah masa berobat habis diharuskan mengikuti tes dahak pada Akhir Pengobatan (AP) dan juga ada yang harus pergi ke luar kota sehingga mereka tidak sempat mengikuti tes dahak pada Akhir Pengobatan (AP). Responden yang mengalami default (putus berobat) mengatakan bahwa alasan mereka menghentikan pengobatan disebabkan tidak punya biaya untuk datang berulang kali mengambil obat ke puskesmas karena jarak rumah yang jauh, kurangnya pemahaman tentang penyakit TB dan dampak penghentian Obat Anti Tuberkulosis (OAT), dan tidak menyukai lamanya regimen pengobatan karena bosan. Selain itu juga ada responden yang sebenarnya mau menjalankan pengobatan dan tahu dampak jika dia tidak menjalankan pengobatan. Tetapi karena tidak sabar dengan lamanya pengobatan, baru minum obat beberapa saja sudah menganggap obat dari Puskesmas kurang manjur dan penyakitnya tidak kunjung sembuh, sehingga memutuskan untuk pindah ke unit pelayanan kesehatan yang lain. Hasil uji statistik Kormogorov- Smirnov dengan tingkat kemaknaan α<0,05 menunjukkan nilai p=1,00. Artinya tidak ada hubungan yang bermakna antara persepsi penderita TB BTA (+) tentang pengobatan dengan status kesembuhan. Dalam sosiologi kesehatan dikenal perbedaan antara konsep disease dan illness. Effendi (2009) merumuskan disease (penyakit) adalah gangguan fungsi fisiologis dari suatu organisme sebagai akibat dari infeksi atau tekanan dari lingkungan, baginya disease bersifat objektif. Sedangkan illness (sakit) sebagai penilaian individu terhadap pengalaman menderita penyakit; baginya illness bersifat subjektif. Penyakit merupakan suatu produk budaya. Konsep sakit berkembang berbeda-beda di masyarakat. Anggota masyarakat yang merasakan penyakit akan menampilkan perilaku sakit. Effendi (2009) menambahkan, perilaku sakit merupakan segala bentuk tindakan yang dilakukan oleh individu yang sedang sakit agar memperoleh kesembuhan. Sedangkan berdasarkan teori perilaku sakit menurut Mechanic dalam Effendi (2009) yang dikenal sebagai Coping Response Theory, mengatakan bahwa perilaku sakit adalah reaksi optimal dari individu jika dia terkena suatu penyakit. Terdapat 2 faktor utama yang menentukan perilaku sakit, yaitu: 1) persepsi atau definisi individu tentang suatu situasi atau penyakit dan 2) kemampuan individu untuk melawan serangan penyakit tersebut. Tanggapan seseorang terhadap suatu penyakit ditentukan oleh berbagai faktor. Subyektifitas masyarakat dalam menanggapi kondisi sakitnya dipengaruhi oleh faktor- faktor ekonomi, budaya dan sosial (Effendi, 2009). Menurut Mechanic dalam Effendi (2009) berbagai faktor yang menyebabkan orang bereaksi terhadap penyakit adalah : 1) dirasakannya gejala/tanda yang menyimpang dari keadaan biasa, 2) banyaknya gejala yang dianggap serius, 3) dampak gejala terhadap hubungan social, 4) frekuensi dari gejala yang tampak dan persistennya, 5) susceptibility atau kemungkinan individu untuk diserang penyakit itu, 6) informasi dan asumsi budaya tentang penyakit itu, 7) perbedaan interpretasi terhadap gejala yang dikenalnya, 8) adanya kebutuhan untuk bertindak mengatasi gejala sakit dan 9) tersedianya sarana kesehatan. Tanggapan dan persepsi akan mempengaruhi motivasi seseorang untuk berupaya mencari pelayanan kesehatan. Menurut teori kaitan imbalan dengan prestasi, motivasi seorang individu sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik yang bersifat internal maupun eksternal. Selain itu juga ada beberapa faktor yang mempengaruhi perilaku individu mencari pertolongan yaitu faktor sosio demografi (umur, jenis kelamin, status sosial, status ekonomi, pendidikan dan budaya), interaksi sosial dan faktor internal. Termasuk pada faktor internal yaitu: a) persepsi seseorang, b) harga diri, c) harapan pribadi, d) kebutuhan, e) keinginan, f) kepuasan dan g) prestasi yang dihasilkan (Sudrajat, 2008). Perilaku upaya kesehatan ini memungkinkan orang yang sakit untuk mengakses pelayanan kesehatan dan memperoleh kesehatannya kembali. Sesuai Jurnal Ners Vol. 4 No. 2: 175-181 180 dengan beberapa teori yang telah dijelaskan di atas, maka harapannya penelitian tentang hubungan persepsi penderita TB BTA (+) tentang pengobatan dengan status kesembuhan memiliki hubungan yang bermakna. Sejak penderita terdiagnosa TB terutama TB dengan BTA (+), maka penderita sudah mulai direncanakan jadwal pengobatan selama 6 bulan disertai tes pemeriksaan dahak ulang secara rutin. Tanggapan setiap penderita tentang penyakit yang diderita tentunya berbeda-beda. Perbedaan inilah yang nantinya menentukan tinggi rendahnya motivasi penderita untuk berobat dan melanjutkan pengobatan serta mematuhi berbagai peraturan pengobatan hinggga akhir. Adanya latar belakang pendidikan, umur, jenis kelamin, suku bangsa dan tingkat pendidikan memiliki pengaruh yang cukup kuat terhadap persepsi mereka. Jika mereka menganggap penyakitnya adalah bahaya dan harus disembuhkan, maka mereka akan memutuskan pergi mencari bantuan kesehatan ke unit pelayanan kesehatan (Puskesmas). Persepsi yang positif dari penderita akan memunculkan motivasi yang tinggi dan akan berpengaruh pada tindakannnya, yaitu akan muncul kepatuhan yang tinggi pula dalam menjalani pengobatan dan peraturan yang ada. Hasil uji statistik yang telah dijelaskan sebelumnya, menunjukkan bahwa tidak adanya hubungan yang bermakna antara persepsi penderita TB BTA (+) tentang pengobatan dengan status kesembuhan. Berdasarkan teori dan penelitian yang telah dilakukan oleh Zhang sebelumnya bahwa wanita, penderita dengan usia lanjut, tingkat pendapatan rendah dan tingkat pendidikan rendah lebih cenderung memiliki kemauan rendah untuk datang dan mencari bantuan ke unit pelayanan kesehatan. Sehingga harapannya, pada penelitian ini bisa menghasilkan bahwa dengan tingkat kemauan yang rendah untuk datang ke puskesmas Turen, penderita tidak mau memulai atau melanjutkan pengobatan, sehingga akan banyak ditemukan penderita yang default (putus berobat), gagal, tidak sembuh atau pengobatan lengkap oleh karena distribusi karakteristik demografi responden cukup banyak yang berusia lanjut (>50 tahun), mayoritas berpendidikan rendah, dan tingkat pendapatan rendah. Dengan karakteristik seperti itu, dimungkinkan mereka memiliki tingkat pemahaman yang rendah sehingga mungkin muncul persepsi negatif. Oleh karena itu, diharapkan pula jika responden memiliki persepsi negatif maka ia akan memiliki status kesembuhan yang tidak baik, yaitu default, gagal, atau pengobatan lengkap. Begitu juga sebaliknya, jika responden berpersepsi positif maka status kesembuhan mereka bagus, yaitu sembuh. Hasil yang menarik pada penelitian ini yaitu walaupun mayoritas responden memiliki tingkat pendidikan dan pendapatan yang rendah serta berada pada usia lanjut, hampir terbagi sama bahwa responden memiliki persepsi positif maupun negatif. Begitu juga dengan status kesembuhannya, baik yang sembuh maupun yang telah default (putus berobat) ada yang memiliki persepsi positif maupun negatif terhadap pengobatan yang telah dijalaninya sehingga sulit untuk dikategorikan bahwa yang persepsi positif akan sembuh atau sebaliknya. Hal ini menunjukkan bahwa tidak adanya hubungan karakteristik demografi responden terhadap persepsi maupun perilaku responden untuk datang mencari pelayanan kesehatan yang nantinya menentukan status kesembuhannya. Persepsi dihubungkan dengan perilaku mencari kesehatan atau perilaku penderita untuk datang ke unit pelayanan kesehatan. Dapat juga dihubungkan dengan tingkat kepatuhan penderita TB untuk menyelesaikan pengobatan atau menghentikan pengobatan. Beberapa kondisi di lapangan yang memungkinkan tidak adanya hubungan lurus antara persepsi dengan status kesembuhan seperti, di Puskesmas Turen tidak memungut biaya yang tinggi, jarak yang perlu ditempuh antara rumah dengan Puskesmas masih dapat terjangkau, pelayanan yang diberikan oleh petugas tetap berkualitas dan sesuai dengan standard prosedur yang seharusnya dan dukungan yang kuat dari keluarga maupun PMO yang ditunjuk. Bila ada kesalahan, ini penyebabnya adalah penderita sendiri. Beberapa hal inilah yang menurut peneliti memungkinkan responden tetap berpersepsi positif dan tetap antusias untuk menyelesaikan pengobatan hingga akhir serta tetap patuh menjalani tes pemeriksaan dahak ulang. Walaupun ada beberapa responden yang memang dengan sengaja menghentikan pengobatannya karena terkendala dengan biaya untuk datang berulang kali ke Persepsi Penderita Tb BTA (+) (Purwaningsih) 181 Puskesmas dikarenakan jarak yang jauh sementara tidak memiliki kendaraan pribadi, selain itu ada yang menghentikan pengobatannya karena memang pengetahuannya yang rendah tentang pengobatan dan bahaya TB jika tidak menyelesaikan pengobatan hingga tuntas, sehingga membuat status kesembuhan mereka default ataupun pengobatan lengkap. Namun mereka tetap berpersepsi positif terhadap pengobatan yang telah dijalaninya berdasarkan beberapa pernyataan yang tercantum di kuesioner. Hasil yang terlalu bias ini akhirnya dapat menghasilkan tidak adanya hubungan antara persepsi penderita TB BTA (+) tentang pengobatan dengan status kesembuhan. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Persepsi yang baik pada penderita TB BTA (+) tentang pengobatan tidak berperan langsung terhadap status kesembuhan. Saran Berdasar hasil penelitian, peneliti memberikan saran agar bagi koordinator bidang TB Paru Puskesmas Turen, perlu mengadakan jadwal pertemuan rutin untuk melaksanakan penyuluhan tentang TB dengan mengundang seluruh penderita, keluarga, PMO dan petugas kesehatan yang terlibat untuk datang ke Puskesmas setiap 1 bulan sekali secara berkala dengan mengadakan diskusi bersama dan pengarahan tentang TB disertai pembagian selebaran-selebaran yang berguna bagi penderita dan keluarga di rumah. KEPUSTAKAAN Departemen Kesehatan RI, 2008. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis edisi kedua. Jakarta: Dep. Kes. RI. hlm. 4-7, 14-24, 29-37, 91-92 . Effendi, Luqman, 2009. Persepsi Sehat-Sakit dan Perilaku Sakit, (online), (http://www.ditpsmk.net, diakses tanggal 10 Agustus 2009, jam 13.09 WIB). Marsden, John, et al., 1998. Treatment Perceptions Questionnaire (TPQ), (online), (http:// eib.emcdda.europa.eu, diakses tanggal 07 Juni 2009, jam 19.19 WIB). RS. Penyakit Infeksi Prof. Dr. Sulianti Saroso, 2007. Tuberkulosis, (online), (http://www.infeksi.com, di akses tanggal 02 Mei 2009, jam 13.55 WIB). Siswono, 2004. Target Bebas Tuberkulosis pada 2015 tak Tercapai, Angka Kesembuhan masih Rendah, (online), (http://www.gizi.net, diakses tanggal 18 Mei 2009, Jam 19.17 WIB). Sudrajat, Akhmad, 2008. Teori-teori Motivasi, (online), (http://eko13.wordpress.com, diakses tanggal 10 Agustus 2009, jam 12.50 WIB). Waisbord, Sylvio, 2005. Behavioral barriers in tuberculosis control: A literature review, (online), (www.stoptb.org, diakses tanggal 30 Juni 2009, jam 15.00 WIB). Walgito, Bimo 2003. Psikologi Sosial (Suatu Pengantar), Yogyakarta: C.V Andi Offset, hlm. 53-55. Widayatun, Tri Rusmi, 1999. Ilmu Perilaku, Jakarta : Sagung Seto, hlm. 112, 115. Yohan, 2008. TBC Bisa Sembuh, (online) http://www.activeboard.com, diakses tanggal 02 Mei 2009, jam 13.43 WIB). Zhang, Tuohong; Liu, Xiaoyun; Bromley, Helen & Tang, Shenglan, 2006. Perceptions of tuberculosis and health seeking behaviour in rural Inner Mongolia, China. Health Policy, 81, pp. 155-165. http://www.ditpsmk.net/ http://www.infeksi.com/ http://www.gizi.net/ http://eko13.wordpress.com/ http://www.stoptb.org/ http://www.activeboard.com/