DUKUNGAN KELUARGA MENURUNKAN STRESS REMAJA PASCA VONIS PENJARA 182 DUKUNGAN KELUARGA MENURUNKAN STRESS REMAJA PASCA VONIS PENJARA (Family Social Support Reduces Post Judegemental Stress In Teenagers) Nursalam*, Ni Ketut Alit*, Rista Fauziningtyas* ABSTRACT Introduction: Justicial proceeding is able to make any stress or anxiety for everyone that through on it, especially if the process happens on teenagers. The stressor which can make stress in justicial proceeding are the justicial proceeding that doesn’t go along with UU RI No. 3 tahun 1997, i. e. children justicial process, fearness of parents and friend lost, worried about his future, and new neighborhood that is not appropriate with the child’s psychology development. The presence of family is very important to give a social support to the arrested teenagers.The objective of this study was to know the correlation between family social support and post judegement stress in teenagers and the factors of stress in teenagers. Method: This study use Cross Sectional design. Population had taken from teenagers from 13 until 17 years old. Sample was comprised in to 12 individuals who fit with the inclusion criteria. The independent variable in this study was family social support and factors of stress in teenagers, and the dependent variable was post judgement stress in teenagers. Data was collected by measurement using Mood and Feeling Questionnaire (MFQ) for stress, questionnaire of family social support, and interviewed. They were analyzed by Spearman’s test with significance level α<0.05 and content analysis for interview result. Result: The result showed that there is a correlation between family social support and post judgement stress in teenagers with significance level p=0.013. Analysis: It means, Content analysis’ results showed that the factors which related with stress in teenagers are environment, caring type, interfamily member’s relationship, bad event, and characteristic of children. Discussion: Higher family social support makes teenagers have higher self esteem and more optimistic view, so the teenagers will able to face their problem. Keywords : family social support, teenagers, post judgement stress, factors of stres. * Fakultas Keperawatan Universitas Airlangga Kampus C Mulyorejo Surabaya. Telp/Fax: (031) 5913257. E-mail: nursalam_psik@yahoo.com PENDAHULUAN Proses peradilan dapat menimbulkan stres dan kecemasan bagi seseorang, terutama bagi remaja. Hal ini disebabkan oleh proses persidangan yang tidak sesuai dengan UU RI no.3 tahun 1997 yaitu tentang persidangan anak, takut kehilangan orang tua dan teman, khawatir tentang masa depan, dan lingkungan baru yang kurang layak. Untuk mengatasinya, petugas di Rumah Tahanan Kelas I, Surabaya telah mengadakan kegiatan, yaitu olahraga bersama, hiburan orkes dangdut dan bimbingan rohani. Namun kegiatan tersebut belum memberikan hasil yang maksimal, masih ada remaja yang mengalami stres ringan sampai sedang. Hal ini dikarenakan kegiatan tersebut tidak menyentuh remaja secara individu dan tidak melibatkan keluarga. Pada remaja yang bermasalah dengan hukum keluarga memiliki kontribusi yang besar, yaitu melalui dukungan keluarga dan manajemen keluarga. Dukungan sosial keluarga merupakan faktor penting dalam manajemen stres (Niven, 2000). Dukungan keluarga dapat berupa kunjungan ke Rutan, membawakan makanan, dan memberikan dukungan emosi pada remaja. Orang tua yang anaknya berada di penjara sering malu dengan kondisi anak. Hal ini yang membuat seorang anak tidak dijenguk oleh keluarganya (Kurniasari, 2007). Penelitian yang dilakukan di Amerika ditemukan semakin tinggi tingkat stres dan semakin sedikit dukungan dari keluarga akan meningkatkan resiko terjadinya depresi pada Jurnal Ners Vol. 4 No. 2: 182-189 183 remaja di proses peradilan (McCarty, 2006). Di Indonesia belum ada penelitian mengenai hubungan dukungan sosial keluarga dengan tingkat stres pasca vonis penjara pada remaja. Remaja yang bermasalah dengan hukum lebih rentan mengalami gangguan mental dibandingkan dengan remaja pada populasi biasa. Data yang didapatkan oleh National Mental Health Association di Amerika pada tahun 2001 menyebutkan bahwa prevalensi gangguan mental diantara remaja pada masyarakat umum diperkirakan sebesar 22%, dan prevalensi gangguan mental pada remaja di sistem peradilan anak diperkirakan sebesar 60%. Gangguan mental tersebut termasuk depresi, stres, bunuh diri, dan tindak kekerasan. (Otto dkk., 1992 dalam Kurniasari, 2007). Lembaga Advokasi Hak Anak (LAHA) Bandung 2004 menemukan berbagai pelanggaran hak anak, seperti anak tidak didampingi penasihat hukum pada tahap penyidikan, dan proses penuntutan. Sebesar 95% responden saat akan ditahan tidak didampingi oleh orang tua/wali dan 60% orang tua wali tidak mendapatkan surat tembusan. Saat pemeriksaan, hanya 50% responden yang mendapat pendampingan, namun sebagian besar tidak diberitahukan hak-hak mereka (Kurniasari, 2007). Data yang diperoleh penulis dari pengambilan data terhadap 4 orang pada tanggal 13 Mei 2009 di Rutan Kelas I Surabaya didapatkan 1 orang mengalami stres ringan, 2 orang stres sedang, dan sisanya stres berat. Data mengenai dukungan sosial keluarga didapatkan peneliti, 2 responden menerima dukungan sosial kelarga yang cukup dan 2 lainnya kurang. Proses hukum pada anak diawali dari penangkapan, selanjutnya adalah penyidikan. Pada saat penyidikan inilah seorang remaja kerap kali mendapatkan perilaku kekerasan dan intimidasi oleh aparat. Proses berlanjut dengan persidangan yang dilakukan secara tertutup dan kekeluargaan, akan tetapi masih banyak ditemukan remaja menjalani proses ini tanpa didampingi orang tua dan pendamping hukum (Kurniasari, 2007). Setelah proses persidangan remaja dapat dikenai hukuman penjara disinilah tekanan terberat pada seorang remaja. Kehidupan remaja dipenjara sangat jauh dari layak, tidak ada fasilitas kamar mandi yang memadai, tempat hunian yang seringkali bercampur dengan orang dewasa dan seringkali adanya perilaku kekerasan bahkan pelecehan seksual dari sesama narapidana. Kunjungan dapat dilakukan oleh keluarga meskipun waktunya dibatasi. Litbang Departemen Hukum dan HAM tahun 2004 menyatakan bahwa pengalaman anak hidup di penjara dapat menimbulkan trauma psikologis, memunculkan stigmatisasi sebagai anak jahat dan berpeluang menjadi residivis (Kurniasari, 2007). Selye (1983) dalam buku Nursalam & Kurniawati, D.N. (2007) mengatakan bahwa perubahan psikologis pada remaja yang mengalami stres berupa kecemasan, depresi, perubahan kebiasaan makan, tidur dan pola aktivitas, menangis, dan menarik diri. Salah satu cara mengatasi masalah stres tersebut perlu keterlibatan keluarga dengan memberikan dukungan kepada remaja pasca vonis penjara. Dukungan sosial keluarga terdiri dari dukungan informasi, material, dan emosional. Dukungan emosional berupa cinta kasih, kepercayaan, dan penghargaan membuat seseorang merasa tidak sendirian dalam menghadapi masalah. Dukungan materi bertujuan untuk membantu mengatasi masalah finansial. Dukungan informasi akan membuat remaja merasa diperhatikan dan dicintai (Smeltzer, 2001). Melalui dukungan sosial keluarga, remaja dapat melepaskan ketegangannya, menceritakan kondisi yang dialaminya sebagai salah satu cara mengatasi stres yaitu seeking social support, usaha untuk mendapatkan kenyamanan emosional dan bantuan informasi dari orang lain (Lazarus & Folkman, 1986 & 1988). BAHAN DAN METODE PENELITIAN Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah crosssectional purposive sampling design. Populasi pada penelitian ini yaitu remaja usia 12-17 tahun di Rumah Tahanan Negara Kelas I, Surabaya yang berjumlah 12 orang. Sampel yang digunakan dalam penelitian ini yaitu remaja usia 12-17 tahun di Rumah Tahanan Negara Kelas I, Surabaya yang memenuhi kriteria inklusi:1) sedang menjalani hukuman penjara < 1 bulan sejak vonis penjara, 2) masih menjalani hukuman penjara selama penelitian berakhir, 3) baru pertama kali masuk penjara, dan 4) memiliki keluarga yang dapat dihubungi oleh peneliti. Lokasi penelitian ini adalah di Rumah Tahanan Negara Kelas I, Stress Remaja Pasca Vonis Penjara (Nursalam) 184 Surabaya. Pelaksanaan penelitian dan pengambilan data dilakukan selama 3 minggu, pada tanggal 25 Mei – 15 Juni 2009. Variabel independen dalam penelitian ini yaitu dukungan sosial keluarga dan faktor-faktor yang berhubungan dengan stres. Variabel dependen yaitu tingkat stres yang dialami remaja pasca vonis penjara. Instrumen yang digunakan dalam pengumpulan data tingkat stres adalah Mood and Feelings Questinnaire yang dimodifikasi oleh penulis sebanyak 30 item. Instrumen yang digunakan untuk observasi dukungan sosial keluarga adalah kuisioner yang berjumlah 11 item yang diadopsi dari Niven (2002) dan Smet (1994). Instrumen yang digunakan untuk analisis faktor-faktor yang mempengaruhi stres pada remaja pasca vonis penjara adalah pertanyaan terbuka yang berjumlah 19 pertanyaan yang mengacu pada Richardson dan Katzenellenbogen (2005) yang meliputi 4 faktor, yaitu genetik, karakteristik anak, lingkungan dan kejadian buruk dalam hidup. Data tingkat stres dan dukungan sosial keluarga ditabulasi kemudian dianalisis dengan menggunakan uji statistik Corelations Spearman Rho dengan derajat kemaknaan α<0,05. Interpretasi nilai sebagai berikut 0,80-1,00: tinggi; 0,60-0,80: cukup; 0,40-0,60: agak rendah; 0,20-0,40: rendah dan 0,00-0,20: sangat rendah (tidak berkorelasi). Berbagai faktor yang berhubungan dengan stres yang diperoleh melalui wawancara dilakukan content analysis. HASIL PENELITIAN Hasil penelitian menunjukkan didapatkan sebanyak 2 (16,7%) responden menerima dukungan sosial keluarga cukup dengan tingkat stres ringan, 2 (16,7%) responden menerima dukungan sosial keluarga baik dengan tingkat stres ringan, 5 (41,7%) responden menerima dukungan sosial keluarga cukup dengan tingkat stres sedang, 1 (8,3%) responden menerima dukungan sosial keluarga baik dengan tingkat stres ringan, dan 2 (16,7%) responden menerima dukungan sosial keluarga pkurang dengan tingkat stres berat. Berdasarkan hasil uji statistik dengan menggunakan uji Spearman dengan derajat kemaknaan α ≤ 0,05 diperoleh p=0,013 dengan koefisien korelasi r=-0,689 yang berarti ada hubungan yang berbanding terbalik antara dukungan sosial keluarga dengan tingkat stres pasca vonis penjara pada remaja di Rumah Tahanan Kelas 1, Surabaya. Hubungan yang berbanding terbalik artinya semakin baik dukungan sosial keluarga maka tingkat stres pasca vonis penjara yang dialami oleh tahanan remaja semakin menurun. Analisis isi (content analysis) dari hasil wawancara yang memperkuat hasil data kuantitatif atas pertanyaan tentang faktor genetik adalah jawaban dari pertanyaan “Apakah ayah, ibu atau saudara kandung Anda pernah mengalami gangguan jiwa atau stres?” “Apakah ada anggota keluarga lain yang pernah mengalami gangguan jiwa atau stres?” Dari dua pertanyaan di atas didapatkan jawaban sebanyak 66,6 % responden menjawab tidak memiliki riwayat keluarga dengan stres, depresi dan gangguan jiwa, 16,7% memiliki riwayat saudara kandung dengan stres, depresi dan gangguan jiwa, dan 16,7% sisanya memiliki riwayat saudara jauh dengan stres, depresi dan gangguan jiwa lain. Berikut analisis isi (content analysis) dari wawancara yang mendukung data di atas: “Setahuku ga ada si Mbak, ibu dulu waktu ditinggal bapak ya cuma nangis terus sedih, tapi gak lama koq.” “Sepupuku dari ibu, stres, gila gitu, Mbak.” Analisis isi (content analysis) dari hasil wawancara yang memperkuat hasil data kuantitatif atas pertanyaan tentang faktor lingkungan : “Menurut Anda bagaimana keadaan lingkungan di penjara?” Sebagian besar responden 66,7% menjawab tidak nyaman, 25% mengatakan biasa saja, dan sisanya 8,3% menjawab enak. Hal ini didukung dengan jawaban berikut: “Mbak ini gimana se, ya gak enak lah. Mosok dipenjara enak. Wis turune duselan koyok pindang Mbak (Sudah tidurnya berdesakan seperti ikan pindang, Mbak red.).” “Lumayan Mbak, bersih koq, paling nyamuke rodo’ akeh.” “Enak, Mbak. Bersih, nyman. Disini bisa makan gratis, gak bingung besok makan apa, banyak temennya, terus gonta-ganti.” Pertanyaan kedua menanyakan mengenai aktivitas di waktu luang. Jurnal Ners Vol. 4 No. 2: 182-189 185 “Kegiatan apa yang sering Anda lakukan dengan teman di waktu luang?” Sebanyak 66,7% kegiatan yang dilakukan monoton seperti ngobrol dengan teman, tiduran, membaca majalah, nonton TV dan bermain dengan teman dan 33,3% responden memiliki kegiatan lain untuk mengisi waktu yaitu ikut kursus bahasa Inggris dan pelatihan membuat mebel. Dari pertanyaan tersebut juga diketahui sebanyak 66,7% responden mengaku bosan dengan aktivitasnya sehari- hari dan 33,3% menjawab tidak bosan. Data di atas diperkuat dengan hasil wawancara di bawah ini: “Maen ma temen, ngobrol. Terus bersih-bersih, di sini aku jadi Tamping kebersihan Mbak (petugas kebersihan red.)” “Tidur, jalan-jalan, nonton TV ngobrol, paling akeh si tidur. Kadang bosen banget Mbak. Kalo bosen gitu aku tidur.” Pertanyaan ketiga yang diajukan untuk mengetahui perekonomian keluarga. “Bagaimana keadaaan perekonomian keluarga?” Sebagian besar responden (75%) menjawab bapak, ibu dan saudaranya bekerja kasar yaitu sebagai kuli, buruh tani, buruh pabrik, pedagang asongan, cleaning services, dan lain-lain. Sisanya sebanyak 25% menjawab orang tuanya mempunyai usaha yang cukup besar yaitu pemilik toko, pemilik dealer mobil, dan pemotongan kayu. Data di atas didukung pernyataan berikut: “Yang kerja ibu, Mbak, jaga toko di depan rumah. Ditanyakan, “Toko milik sendiri ta, Dek?” Bukan Mbak, punya orang, tetangga.” “Bapak punya dealer mobil, lumayan gedhe. Cukup banget, Mbak.” Pertanyaan keempat untuk mengetahui pola asuh keluarga. “Bagaimanakah keluarga Anda mengasuh Anda? Apakah Anda selalu dituntut untuk melakukan sesuatu? Atau Anda diberi kebebasan untuk melakukan sesuatu?” Sebanyak 54,3% responden menjawab menerima pola asuh demokratis, 25% pola asuh permisif, dan sisanya 16,7% pola asuh otoriter dari keluarganya. Hal ini diperkuat dari jawaban responden, yaitu sebagai berikut: “Dulu waktu ada bapak aku sering gak boleh kemana-kemana dikekang Mbak, tapi sekarang sudah agak bebas.” “Kadang boleh, kadang juga gak boleh, tapi bapak sama ibu selalu ngasih alasan kenapa gak boleh. Kalo saya niatnya baik pasti boleh. “Orang tua gak pernah nglarang apapun, mereka sibuk. Kalo minta apa-apa tinggal bilang terus dikasih.” Analisis isi (content analysis) dari hasil wawancara yang memperkuat hasil data kuantitatif atas pertanyaan tentang faktor kejadian buruk dalam hidup: “Bagaimana hubungan perkawinan ayah dan ibu, orang tua-Anda, dan antar saudara?” Sebanyak 66,37% responden berasal dari keluarga broken home dan tidak adanya komunikasi antar keluarga dan sisa 33,33% responden mengaku memiliki keluarga yang harmonis. Pernyataan tersebut diperkuat dengan hasil wawancara berikut: “Bapak ibu harmonis Mbak, sama orang tua aku deket banget.” “Embuh Mbak, Bapakku ga pernah pulang, ga peduli aku mbek wong iku (Aku tidak perduli dengan orang itu red.). Gak jelas.” Pertanyaan kedua adalah: “Apakah Anda pernah kehilangan seseorang yang sangat berarti untuk Anda?” Sebagian besar responden (58,4%) menjawab tidak pernah kehilangan seseorang, 33,3% mengaku pernah kehilangan anggota keluarganya, dan sisanya 8,3% pernah kehilangan pacar atau sahabat. Hal ini diperkuat dengan jawaban responden, yaitu: “Ya bapakku itu, Mbak. Ditanyakan, “Kapan meninggalnya?” Baru ja Mbak, waktu aku dapat 2 mingguan di sini. Waktu dikasih tau bapak meninggal, aku pingsan.” “Pacarku Mbak, dulu pernah pacaran sekali sekitar 2 tahunan, tapi sekarang dia sudah menikah. Sampe sekarang aku sebenarnya masih sayang, makanya sekarang masih belum punya pacar lagi.” Pertanyaan ketiga untuk mengetahui perlakuan buruk yang pernah diterima, selama dipenjara dan sebelum dipenjara. “Pernahkah Anda mengalami perlakuan yang buruk yang sangat mempengaruhi diri Anda? Seperti apakah perlakuan tersebut? (Sebelum dipenjara dan selama dipenjara)” Setengah responden (50%) mengaku tidak pernah menerima perlakuan yang buruk dan sisanya 50% pernah mengalami perlakuan buruk berupa pemukulan dari sesama narapidana (8,3%), pemukulan oleh oknum polisi (16,7%), perilaku bermusuhan dari sesama narapidana (8,3%), dan pengkhianatan Stress Remaja Pasca Vonis Penjara (Nursalam) 186 sahabat dan atau teman (16,7%). Hal ini didukung oleh hasil wawancara berikut ini: “Gak ada si Mbak. Ditanyakan “Bertengkar atau dipukul temen di sini mungkin?” Pernah sih tengkar, tapi biasa ja koq.” “Dulu juga pernah dikhianati temen, ini yang bikin aku masuk penjara. Ditanyakan “Dulu waktu di Polres pernah dipukul, Mbak. Ditanyakan, “Siapa yang mukul?” Ya polisinya, Mbak. Ditanyakan “Kamu mau lari mungkin?” Gak, Mbak, aku nyesel banget.” “Di sini saya pernah ditempeleng, Mbak sama temen. Sakit Mbak.” Pertanyaan keempat adalah: “Pernahkah Anda mengalami bencana yang sangat membekas pada Anda? Bisakah Anda menceritakannya?” Semua responden menyatakan tidak pernah mengalami bencana apapun. Pertanyaan kelima untuk mengetahui adanya benda yang hilang. “Apakah anda pernah kehilangan benda yang sangat berharga bagi Anda? Benda apakah itu? Bisakah anda menceritakan bagaimana Anda bisa kehilangan benda tersebut? (Sebelum dipenjara dan selama dipenjara).” Sebanyak 38,6% responden mengaku tidak pernah kehilangan sesuatu, baik sebelum maupun selama di penjara dan 61,4% responden mengaku pernah kehilangan barang-barangnya selama di penjara. Barang yang hilang antara lain pakaian, alat mandi, uang, dan lain-lain. Hal ini didukung hasil wawancara berikut: “Gak pernah, Mbak. Di sini aman-aman saja.”, “Kemarin sandal saya hilang, Mbak. ” PEMBAHASAN Faktor genetik merupakan faktor internal yang berhubungan dengan stres pada individu. Menurut Richardson dan Katzenellenbogen (2005), anak yang memiliki orang tua mengalami stres dan depresi memiliki kecenderungan tiga kali lipat mengalami stres dan depresi daripada anak yang tidak memiliki riwayat keluarga stres dan depresi. Meskipun hubungan faktor genetik dengan stres pada individu masih belum dapat dijelaskan, namun berdasar penelitian yang ada 20-50% remaja yang mengalami stres dan depresi memiliki riwayat keluarga stress dan depresi. Hasil penelitian ini menunjukkan lebih banyak responden yang tidak memiliki riwayat keluarga dengan stres. Faktor genetik stres tidak akan muncul jika tidak ada faktor pencetus lain, biasanya peristiwa yang sangat buruk, atau kondisi lingkungan yang kurang mendukung. Terbentuknya kondisi lingkungan yang baik faktor genetik ini dapat diminimalkan. Perawat dapat membantu keluarga untuk membentuk lingkungan yang baik bagi perkembangan psikologis anak dengan memberikan pengetahuan tentang perkembangan remaja dan bagaimana cara mengatasi. Salah satu cara yaitu orang tua dapat melakukan komunikasi dan stimulus yang tepat pada anak. Komunikasi yang baik membuat anak mampu menceritakan permasalahannya, terutama jika anak sudah menginjak usia remaja. Menurut Richardson dan Katzenellenbogen (2005), lingkungan tempat tinggal juga menjadi faktor stres dan depresi. Kondisi penjara yang tidak seperti di rumah, ramai dan kumuh menimbulkan kesan jauh dari nyaman. Kondisi tempat tinggal yang tidak nyaman dapat meningkatkan stres pada responden. Sedikit dari responden yang mengatakan bahwa lingkungan Rutan enak dan nyaman. Responden yang berpendapat demikian adalah mereka yang tidak memiliki kedekatan hubungan dengan keluarga. Perawat dapat membantu mengkondisikan lingkungan menjadi lebih baik, misalnya memberikan buku atau majalah sebagai sarana membaca, memberikan jadwal piket agar lingkungan penjara tetap bersih, sehingga para tahanan merasa nyaman. Jika memungkinkan perawat juga dapat berkoordinasi dengan pihak Rutan agar dapat mengatur jumlah penghuni dalam setiap blok, khususnya blok tahahan anak, agar tidak terlalu berdesakan dan dipisahkan dengan tahanan lansia. Aktivitas yang dilakukan di dalam penjara memiliki hubungan dengan stres yang dialami remaja. Responden yang memiliki aktivitas sehari-hari monoton cenderung mengalami stres, dibandingkan dengan responden yang memiliki aktivitas lain. Aktivitas yang menyenangkan digunakan sebagai salah satu bentuk pengalihan stres. Salah satu bentuk koping stres adalah kompromi, yaitu berusaha untuk menyesuaikan diri dengan masalah yang dihadapi (Maramis, 2004). Koping stres Jurnal Ners Vol. 4 No. 2: 182-189 187 kompromi dapat dilakukan dengan cara mencari aktivitas yang lebih menyenangkan dan disukai. Penerapan pola asuh yang benar memberikan dampak positif terhadap sikap dan perilaku anak. Pola asuh orang tua yang otoriter menerapkan segala sesuatu harus taat dan patuh sesuai dengan apa yang telah ditentukan oleh orang tua. Pada orang tua yang bersifat demokratis, akan memberi kesempatan kepada anak untuk tumbuh dan berkembang sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan anak tersebut. Pola asuh demokratis dari orang tua membuat anak lebih percaya diri dan mandiri. Pola asuh permisif menyebabkan anak cenderung menjadi kurang bertanggung jawab dan semaunya sendiri sehingga anak kurang mandiri. (Hurlock, 1997). Pola asuh orang tua yang otoriter menyebabkan anak selalu merasa ketakutan, kurang percaya diri, dan penakut sehingga kurang mandiri, anak akan lebih rentan mengalami stres jika mendapatkan masalah. Pola asuh tersebut menyebabkan anak merasa tidak dihargai keberadaannya dan keinginannya, apabila hal ini terus terjadi maka dapat menimbulkan frustasi pada diri anak. Pola asuh demokratis, orang tua mampu memberikan kasih sayang secara wajar, tidak memanjakan, dan tidak mengekang. Orang tua mampu menciptakan hubungan yang hangat dengan anak sehingga anak merasa aman dan senang. Pola asuh demokratis membentuk anak lebih adaptif dalam menghadapi masalah, sehingga ketika dia menghadapi masalah, mampu menyesuaikan diri dan memberikan koping adaptif dalam penyelesaian masalah. Anak yang diasuh dengan pola asuh permisif biasanya menjadi tidak peduli dengan apa yang terjadi pada dirinya, masalah yang terjadi dijadikan sebagai alat untuk menarik perhatian orang tua. Seperti yang terjadi pada An.F yang melakukan pencurian dengan alasan hanya ingin masuk penjara. Dalam segi ekonomi An.F berasal dari keluarga berkecukupan, kenakalan tersebut sengaja dilakukan untuk menarik perhatian orang tuanya. Menurut Richardson dan Katzenellenbogen (2005), keadaan sosio- ekonomi keluarga yang rendah meningkatkan terjadinya stres dan depresi pada anak dan remaja. Remaja dan anak-anak yang tumbuh dengan kondisi ekonomi terbatas, sering merasa malu dengan kondisinya. Mereka dituntut untuk lebih berhati-hati dalam menggunakan keuangan, tidak jarang dari mereka bekerja untuk membantu perekonomian keluarga. Karena beban dan tanggung jawab yang berlebih ini akan menyebabkan ketegangan dan mempermudah terjadinya stres. Sebagian besar responden pernah mengalami kejadian buruk dalam hidup. Kejadian tersebut berupa hubungan keluarga yang tidak harmonis dan kurang komunikasi. Anak yang berasal dari keluarga broken home seringkali mencari perhatian dari lingkungan dengan berbuat kenakalan, terkadang remaja tersebut bisa menjadi lebih pendiam dan menarik diri dari lingkungan. Mereka butuh perhatian dari kedua orang tuanya. Anak mendapatkan stresor yang besar dari perpisahan orang tuanya. Kejadian lainnya adalah kehilangan orang yang berarti. Kejadian buruk yang pernah dialami juga bisa berupa perlakuan yang tidak menyenangkan misal: pelecehan seksual, pemukulan, dan pertengkaran. Menurut Richardson dan Katzenellenbogen (2005), anak dan remaja yang mengalami stres dan depresi memiliki riwayat kejadian buruk di masa lalu, seperti kehilangan orang yang dicintai, terpisah dari orang tua, kematian anggota keluarga atau teman, kehilangan barang berharga miliknya dan lain sebagainya. Kejadian lainnya yang kurang menyenangkan adalah kehilangan barang- barang berharga milik responden. Sebagian besar responden pernah kehilangan barang selama di dalam penjara, hanya 38,6% responden yang menyatakan tidak pernah kehilangan barang. Meskipun di dalam penjara barang-barang berharga tersebut hanya sebatas kebutuhan pokok yaitu pakaian, uang dan peralatan mandi, namun barang-barang tersebut sangat berarti bagi para tahanan remaja. Kehilangan barang- barang tersebut juga menyebabkan permasalahan dalam diri responden, jika tidak teratasi dapat menyebabkan stres. Menurut Caplan (1976) dalam Friedman (1998) dukungan keluarga diperlukan untuk memberikan dukungan informasional (keluarga berfungsi sebagai suatu kolektor dan diseminator/penyebar informasi tentang dunia), dukungan penilaian Stress Remaja Pasca Vonis Penjara (Nursalam) 188 (keluarga bertindak sebagai sebuah bimbingan umpan balik, membimbing dan menengahi pemecahan masalah dan sebagai sumber dan validator identitas anggota), dukungan instrumental (keluarga merupakan sebuah sumber pertolongan praktis dan konkrit), dan dukungan emosional (keluarga sebagai sebuah tempat yang aman dan damai untuk istirahat dan pemulihan serta membantu penguasaan terhadap emosi) kepada remaja dalam menghadapi pasca vonis penjara dan menjalani hukuman penjaranya. Friedman (1998) menyatakan beberapa alasan mengenai keterlibatan keluarga dalam perawatan kesehatan dan perkembangan anak, yaitu dalam sebuah unit keluarga, disfungsi apa saja (penyakit, cedera, perpisahan) yang mempengaruhi satu atau lebih anggota keluarga, dalam hal tertentu, seringkali akan mempengaruhi anggota keluarga yang lain dan unit secara keseluruhan. Perbedaan persepsi mengenai bentuk dukungan sosial keluarga menyebabkan perbedaan pemberian dukungan. Ada keluarga yang hanya memberikan dukungan materi tanpa ada komunikasi dengan anaknya. Ketiga bentuk dukungan, yaitu emosional, informasi dan materi dibutuhkan oleh seorang remaja dan harus diberikan secara berimbang terutama ketika sedang menghadapi masa sulit, dalam hal ini adalah proses sidang dan vonis penjara. Apabila kebutuhan dukungan sosial keluarga tidak dapat dirasakan secara adekuat maka akan muncul gejala-gejala stres yang dialami oleh angota keluarga, dalam hal ini adalah remaja yang dipenjara. Gejala-gejala yang muncul meliputi perasaan marah, ansietas, stres dan depresi. Selanjutnya jika hal ini tidak teratasi maka akan menghambat dan merusak komunikasi dalam keluarga tersebut. Perbedaan tingkat stres berhubungan dengan beberapa faktor, yaitu genetik (riwayat keluarga dengan stres dan depresi), faktor lingkungan (keadaan keluarga dan lingkungan tempat tinggal), kejadian buruk dalam hidup (kehilangan orang yang dicintai, perceraian), dan karakteristik anak (Richardson & Katzenellenbogen, 2005). Stres yang terjadi pasca vonis sebagian besar diakibatkan oleh ketakutan remaja, tidak bisa bertemu keluarga. Rasa kehilangan keluarga yang dialami oleh remaja menimbulkan kesedihan dan stres yang mendalam, maka dibutuhkan dukungan, keluarga yang sangat besar. Stres akan membaik jika seorang dapat beradaptasi dengan lingkungan di sekitarnya. Responden yang sudah lama menjalani hukuman penjara cenderung dapat mengatasi stres pada dirinya. Selain itu perbedaan koping setiap individu dalam menghadapi stresor juga berhubungan dengan tingkat stres yang terjadi. Koping adaptif individu dapat menurunkan tingkat stres yang dialami. Remaja yang lebih terbuka untuk mengungkapkan emosi mereka lebih berhasil dalam menyesuaikan diri terhadap masalah yang dihadapinya. Hasil penelitian didapatkan hubungan yang signifikan antara dukungan sosial keluarga dengan tingkat stres pasca vonis penjara pada remaja di Rumah Tahanan Kelas 1, Surabaya. Hasil uji statistik dengan menggunakan uji Spearman dengan derajat kemaknaan α≤0,05 diperoleh p=0,013 dengan koefisien korelasi r=-0,689 sehingga Ho ditolak dan H1 diterima. Nilai negatif menunjukkan hubungan yang berbanding terbalik. Berdasarkan hasil tersebut dapat dijelaskan bahwa semakin baik dukungan sosial keluarga maka semakin rendah tingkat stres pasca vonis penjara yang dialami oleh remaja, atau semakin kurang dukungan sosial keluarga yang diterima oleh responden maka semakin tinggi tingkat stres yang dialami. Friedman (1998) menyatakan bahwa orang yang hidup dalam lingkungan yang bersifat suportif, kondisinya jauh lebih daripada mereka yang tidak memiliki keuntungan ini. Secara lebih spesifik, karena dukungan sosial Dukungan sosial juga dapat berfungsi sebagai strategi preventif untuk mengurangi stres dan konsekuensi negatifnya. Secara lebih spesifik, keberadaan dukungan sosial yang adekuat terbukti berhubungan dengan menurunnya mortalitas, lebih mudah sembuh dari sakit, dan dikalangan kaum tua, fungsi kognitif, fisik, dan kesehatan emosi (Ryan dan Austin, 1989 dalam Friedman, 1998). SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Semakin baik dukungan sosial keluarga yang diterima oleh tahanan remaja maka semakin menurun tingkat stres yang Jurnal Ners Vol. 4 No. 2: 182-189 189 dialami, karena dukungan sosial dapat mengurangi stres, memperkokoh kesehatan mental individual dan keluarga. Dukungan sosial kelurga yang lebih efektif untuk menurunkan stres pada remaja pasca vonis penjara adalah dukungan materi dan emosi. Saran Peneliti menyarankan: 1) keluarga harus dilibatkan dalam setiap proses hukum yang dijalani oleh tahanan remaja, 2) perlu dipertimbangkan untuk menambah ijin waktu kunjungan keluarga, 3) memberikan fasilitas tempat yang nyaman dan layak, misalnya dengan mengurangi jumlah penghuni dalam tiap blok, dan tidak mencampur tahanan remaja dengan tahanan dewasa dan atau lansia, 4) diadakan kegiatan yang dapat mendukung perkembangan dan pertumbuhan remaja, 5) perawat dapat memaksimalkan peran keluarga dengan memberikan konseling pada keluarga. dan 6) penelitian lebih lanjut mengenai cara untuk mengatasi stres pada remaja yang divonis penjara, yaitu melalui kegiatan konseling keluarga dalam rangka meningkatkan dukungan sosial keluarga dan menurunkan stres pada remaja. KEPUSTAKAAN Friedman, M.M, 1998. Keperawatn Keluarga Teori dan Praktik. Alih Bahasa oleh Ina Debora R.L & Yoakim Asy. Jakarta: EGC, hlm. 6-7, 100, 195-198. Hurlock, E.B, 1997. Psikologi Perkembangan Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Edisi 5. Jakarta: Erlangga, hlm. 205-209. Hurlock, E.B, 1997. Perkembangan Anak. Edisi 6. Jakarta : Erlangga, hlm. 256. Kurniasari, A, 2007. Studi Penanganan Anka Berkonflik Hukum, (online), www.depsos.go.id/modules.phpname= Downloads&d_op=getit&lid=13, diakses tanggal 19 April 2009, jam 09.15 WIB). Maramis, 2004. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Surabaya: Airlangga University Press, hlm. 63-83. McCarty, C.A dkk., 2006. Depressive Symptoms Among Delinquent Youth: Testing Models of Association with Stress and Support,(online), http://www.pubmedcentral.nih.gov/pic render.fcgi?artid=2140000&blob type=pdf, diakses tanggal 19 April 2009, jam 09.30 WIB). National Mental Health Asociation, 2001. Mental Health Treatment for Youth in The Juvenile Justice System: A Compendium of Promising Practices, (online), (www.isc.idaho.gov/JJCompendiumof BestPractices.pdf, diakses tanggal 19 April 2009, jam 09.00 WIB). Niven, N., 2002. Psikologi Kesehatan: Pengantar untuk Perawat dan Profesional Kesehatan Lain. Jakarta: Salemba Medika, hlm. 53-54. Nursalam & Kurniawati, D.N., 2007. Asuhan Keperawatan pada Pasien Terinfeksi HIV/AIDS. Jakarta: Salemba Medika, hlm. 6-10. Richardson, L.P. and Katzenellenbogen, R. 2005. Childhood and Adolescent Depression: The Role of Primary Care Providers in Diagnosis and Treatment, (online), (http//www.hogg.utexas.edu/PDFChild &Adolescent_Depression.pdf, diakses tanggal 21 April 2009, jam 09.00 WIB). Smet, B., 1994. Psikologi Kesehatan. Alih Bahasa oleh Kunta R. Jakarta: Anggota IKAPI, hlm. 135-137. http://www.depsos.go.id/modules.phpname=Downloads&d_op=getit&lid=13 http://www.depsos.go.id/modules.phpname=Downloads&d_op=getit&lid=13 http://www.pubmedcentral.nih.gov/picrender.fcgi?artid=2140000&blobtype=pdf http://www.pubmedcentral.nih.gov/picrender.fcgi?artid=2140000&blobtype=pdf http://www.pubmedcentral.nih.gov/picrender.fcgi?artid=2140000&blobtype=pdf http://www.isc.idaho.gov/JJCompendiumofBestPractices.pdf http://www.isc.idaho.gov/JJCompendiumofBestPractices.pdf