90 PENGARUH SENAM OTAK TERHADAP PENINGKATAN FUNGSI KOGNITIF (The Effect of Brain Gym to the Improvement of Cognitive Function) Inosensia Amtonis, Ulfa Husnul Fata STIKes Patria Husada Blitar e-mail: ulfaners@yahoo.com Abstract: The decline of cognitive function is a process of mental decline that include attention, language, memory, orientation capability, calculation and reasoning. Cognitive function changed significantly along the trajectories of the aging process. The function of Brain gym is important to improve brain function decline of the cognitive function in the elderly. The way of brain gym is to make a balance between the left and right brain functions. The purpose of this study was to determine the effect of brain gym to the enhancement of cognitive function in elderly at UPT PSLU Blitar. Method: The research design was one group pre-post test design on December 2- 21 Juli 2014. The sampel of the research was 18 elderly at UPT PSLU Blitar, it was chosen using purposive sampling. The data analysis used Wilcoxon Signed Rank test. Result: The results showed that the elderly cognitive decline before doing the brain gym were 9 people (50%) in the category of severe, and after doing the brain gym the result were increased in the category of normal. There was significant effect in the catogories of cognitive function with p value 0.00. Discussion: It was suggested for nurses that brain gym had an effect to the improvement of cognitive function to elderly. Keywords: cognitive function, elderly, and brain gym Lansia adalah tahap akhir siklus hidup manusia yang akan dialami setiap individu secara alamiah. Menjadi lansia berarti seseorang telah melalui tiga tahap kehidupannya yaitu anak, dewasa hingga tua. Pada fase ini lansia banyak mengalami perubahan baik secara fisik maupun mental khususnya kemunduran dalam berbagai fungsi tubuh dan kemampuan yang pernah dimilikinya (Soejono, 2000). Menurut Smith (1999), lansia dibagi menjadi tiga yaitu young old (65 – 74 tahun), middle old (75 – 84 tahun), dan old – old (lebih dari 85 tahun) (Tamher & Noorkasiani, 2011). Lansia mengalami penuaan (aging proses) sebagai proses berkurangnya daya tahan tubuh menghadapi rangsangan dari dalam maupun dari luar tubuh. Hal ini terjadi karena lansia mengalami kehilangan jaringan pada otot, susunan syaraf, dan jaringan lain sehingga tubuh lansia mengalami penurunan fungsi (Nugroho, 2008). Perubahan biologis yang terlihat sebagai gejala kemunduran fisik antara lain kulit yang mulai mengendur, timbul keriput, rambut memutih, gigi mulai ompong, pendengaran dan penglihatan mulai berkurang, mudah lelah, gerakan menjadi lamban dan kurang lincah, serta penimbunan lemak terutama di perut dan pinggul. Selain itu, lansia juga mengalami perubahan psikologis misalnya kesepian, takut kehilangan kebebasan, takut menghadapi kematian, depresi, cemas dan mengalami penurunan daya ingat (Maryam, 2008). Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2012 menjelaskan bahwa, di Indonesia angka pertumbuhan lansia terus meningkat setiap tahun dengan rata – rata populasi usia lanjut adalah 3,9% pertahun. Pada tahun 2010 presentase populasi lansia mencapai ACER Typewritten text Jurnal Ners dan Kebidanan, Volume 1, No. 2, Juli 2014 DOI: 10.26699/jnk.v1i2.ART.p087-092 IT Typewritten text © 2014 Jurnal Ners dan Kebidanan IT Typewritten text This is an Open Access article under the CC BY-SA license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ Amtonis dan Fata, Pengaruh Senam Otak…91 7,56%. Kemudian pada tahun 2011 angka ini meningkat menjadi 7,58%. Berdasarkan jenis kelamin, pada tahun 2012 jumlah lansia terbanyak adalah perempuan (perempuan = 8,2% ; laki-laki = 6,9%). Menurut organisasi kesehatan dunia (WHO, 1998) diperkirakan 121 juta lansia mengalami penurunan fungsi kognitif, dari jumlah itu sebanyak 5,8% lansia laki – laki dan 9,5% lansia perempuan (Ahmad Djojosugito, 2008). Penurunan fungsi kognitif atau daya ingat adalah menurunnya kemampuan dalam proses berpikir atau mengingat kembali suatu kejadian atau peristiwa baik jangka pendek maupun jangka panjang, yang sering terjadi pada lansia. Folstein et al, 1975 mengatakan bahwa, penurunan fungsi kognitif pada lansia terdiri dari beberapa aspek, salah satunya yaitu aspek mengingat kembali. Hal ini disebabkan karena berkurangnya jumlah sel secara anatomis, kurangnya aktivitas, dan kurangnya asupan nutrisi (Maryam, 2008). Penurunan fungsi kognitif yang paling ringan adalah mudah lupa (forgetfulness). Gejala mudah lupa diperkirakan dikeluhkan oleh 39% lanjut usia yang berusia 50 – 59 tahun, meningkat menjadi lebih dari 85% pada usia lebih dari 80 tahun. Masuk pada fase ini seseorang masih bisa berfungsi normal walaupun mulai sulit mengingat kembali informasi yang telah dipelajari. Jika penduduk berusia 60 tahun di Indonesia berjumlah 7% dari seluruh penduduk, maka keluhan mudah lupa tersebut diderita 3% populasi di Indonesia (Wreksoatmodjo 2012). Gangguan mudah lupa berlanjut dari gangguan kognitif ringan (mild cognitive impairment-MCI) sampai ke demensia sebagai bentuk klinis yang paling berat. Kondisi tersebut sangat berbahaya karena dapat mengganggu kegiatan sehari – hari lansia (Maryam, 2008). Berdasarkan data yang didapatkan di UPT PSLU Blitar pada bulan April, didapatkan bahwa lansia yang mengalami gangguan fungsi kognitif ringan sebanyak 15 orang lansia (27%), gangguan fungsi kognitif sedang sebanyak 18 orang (33%), gangguan fungsi kognitif berat sebanyak 4 orang lansia (7%), dan fungsi kognitif baik sebanyak 17 orang (31%) dari 55 lansia secara keseluruhan. Gangguan fungsi kognitif yang dialami lansia di UPT PSLU Blitar terbanyak yaitu gangguan fungsi kognitif sedang sebanyak 33%. Salah satu upaya untuk meningkatkan fungsi kognitif lansia adalah dengan senam otak (brain gym). Verany (2013), telah meneliti bahwa ada pengaruh senam otak (brain gym) terhadap peningkatan fungsi kognitif. Jumlah sampel yang di diteliti sebanyak 14 orang, dengan golongan umur 45-90 tahun. Senam otak dilakukan 1 kali selama 30 menit. Hal ini juga didukung oleh hasil penelitian dari Festi (2010), yang mengatakan bahwa ada pengaruh senam otak (brain gym) terhadap peningkatan fungsi kognitif (daya ingat) lansia. Jumlah sampel yang diteliti sebanyak 20 orang, terbagi dalam 2 kelompok yaitu 10 responden sebagai kelompok perlakuan dan 10 responden sebagai kelompok kontrol dengan golongan usia 45-59 tahun. Senam otak dilakukan 2 kali sehari yakni menjelang dan setelah bangun tidur. Dari kedua hasil penelitian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa apabila senam otak (brain gym) sering dilakukan pada lansia maka akan mengalami peningkatan yang jauh lebih baik. Supardjiman (2005) mendefinisikan senam otak sebagai rangkaian latihan gerakan sederhana yang dapat memperbaiki konsentrasi, meningkatkan rasa percaya diri, menguatkan motivasi belajar, serta lebih mampu mengendalikan stress. Senam ini mendorong keseimbangan aktifitas kedua belahan otak secara bersamaan, memperlancar aliran darah dan oksigen ke otak, serta memperbaiki kemampuan struktur dan fungsi otak agar tetap berkembang karena stimulasi. Gerakan senam otak (brain gym) memberikan rangsangan atau stimulasi pada kedua belahan otak yang dikoordinasikan secara fisiologis melalui korpus kolosum, sehingga bisa meningkatkan daya ingat dan fungsi kognitif lainnya (Paul, 2004). Berdasarkan uraian dari latar belakang di atas maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang “Pengaruh senam otak terhadap peningkatan fungsi kognitif pada lansia di UPT PSLU Blitar”. Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana pengaruh senam otak terhadap peningkatan fungsi kognitif pada lansia di UPT PSLU Blitar?. Tujuan umumnya adalah Menjelaskan pengaruh senam otak terhadap peningkatan fungsi kognitif pada lansia di UPT PSLU Blitar . Sedangkan tujuan khususnya adalah (1) Mengidentifikasi fungsi kognitif lansia sebelum diberikan senam otak, (2) Mengidentifikasi fungsi kognitif lansia setelah 92 Jurnal Ners dan Kebidanan, Volume 1, Nomor 2, Juli 2014, hlm. 90 - 96 diberikan senam otak, (3) Menganalisis pengaruh senam otak terhadap peningkatan fungsi kognitif pada lansia. Manfaat teoritis penelitian ini adalah sebagai bahan dalam penelitian selanjutnya dan menambah referensi pengetahuan dalam ilmu keperawatan gerontik, khususnya tentang pemberian senam otak sebagai alternative untuk mencegah terjadinya penurunan daya ingat yang sering dialami lansia. Sedangkan manfaat praktisnya adalah (1) Sebagai bahan masukan dalam meningkatkan mutu pelayanan keperawatan gerontik melalui senam otak yang dapat meningkatkan fungsi Kognitif lansia di UPT PSLU Blitar, (2) Sebagai bahan masukan kepada keluarga dan perawat gerontik sehingga dapat berperan dalam kegiatan senam otak. BAHAN dan METODE Desain penelitian yaitu pre post test one group design, dimana kelompok subjek diobservasi sebelum dilakukan intervensi, kemudian diobservasi lagi setelah dilakukan intervensi untuk menguji pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen. Subyek pada penelitian ini sebanyak 18 yang memenuhi kriteri inklusi dan eksklusi yaitu lansia yang bertempat tinggal di UPT PSLU Blitar yang bisa melakukan aktivitas senam, bisa membaca dan menulis, usia 60-74 tahun, tidak mengalami gangguan pendengaran, dan bersedia untuk menjadi subyek penelitian. Variabel senam otak merupakan latihan gerakan tubuh yang sederhana untuk meningkatkan fungsi kognitif. Gerakan senam otak meliputi: (1) gerakan silang, (2) delapan tidur, (3) coretan ganda, (4) burung hantu, (5) mengaktifkan tangan, (6) lambaian kaki, (7) luncuran gravitasi, (8) pasang kuda-kuda, (9) air, dan (10) saklar otak. Alat yang digunakan untuk mengumpulkan data adalah kuesioner Mini- Mental State Exam (MMSE). Cara pengumpulan data dilakukan dengan melakukan pre-test yaitu dengan mengukur fungsi kognitif sebelum dilakukan senam otak. Kemudian, responden diberikan intervensi senam otak setiap pagi selama 20 menit. Setelah pelaksanaan 3 minggu, kemudian dilakukan post-test dengan melihat fungsi kognitif lansia menggunakan instrumen MMSE. Analisis data menggunakan uji statistik Wilcoxon test. HASIL PENELITIAN Karakteristik responden di UPT PSLU Blitar sebanyak 18 orang seperti pada tabel 1 di bawah ini. Tabel 1. Karakteristik Responden di UPT PSLU Blitar Juni 2014. No Karakteristik Frekuensi % 1 Jenis Kelamin - Laki-laki - Perempuan 6 12 33 67 2 Pendidikan - SD - SMP - SMU - Tidak sekolah 7 3 2 6 39 17 11 33 3 Pekerjaan - Pensiunan - IRT - Petani - Wiraswasta 1 6 3 8 6 33 17 44 Tabel 2. Uji Statistik Wilcoxon Fungsi Kognitif Lansia Sebelum dan Setelah Dilakukan Senam Otak di UPT PSLU Blitar Juni 2014. Fungsi Kognitif Sebelum Senam Otak Setelah Senam Otak p Frekuensi % Frekuensi % Baik Gangguan Ringan Gangguan Berat 2 7 9 11 39 50 15 3 0 83 17 0 .000 Total 18 100 18 100 PEMBAHASAN Fungsi Kognitif Lansia sebelum diberikan senam otak pada Lansia di UPT PSLU Blitar Gambaran fungsi kognitif lansia sebelum diberikan senam otak yang terbanyak tergolong kategori berat yaitu sebanyak 9 responden (50%) sedangkan responden dengan kategori gangguan fungsi kognitif ringan sebanyak 7 orang (39%), dan responden yang tergolong kognitif baik sebanyak 2 orang (11%) dengan umur dari semua responden antara 60 – 74 tahun. Seperti yang dikatakan Soejono (2000), Lansia banyak mengalami perubahan baik secara fisik maupun mental khususnya kemunduran dalam berbagai fungsi tubuh, salah satunya Amtonis dan Fata, Pengaruh Senam Otak…93 adalah penurunan fungsi kognitif. Dari hasil penelitian sebelum dilakukan senam otak membuktikan bahwa sebagian besar lansia telah mengalami penurunan fungsi kognitif. Hal ini diperkuat oleh Pramanta, (2009) yang mengatakan bahwa kemampuan kognitif lansia berubah atau menurun secara perlahan bersamaan dengan lajunya proses penuaa. Menurut WHO (1998), prevelensi gangguan kognitif meningkat sejalan dengan bertambahnya usia, pada usia 60 – 70 tahun terjadi penurunan kurang dari 3% dan menjadi 25% pada usia 85 tahun ke atas. Hasil penelitian Scanlan et al, 2007 menunjukkan bahwa penurunan fungsi kognitif sebesar 16% pada kelompok umur 65-69 tahun, 21% pada kelompok umur 70-74 tahun, 30% pada umur 75-79 tahun, dan 44% pada umur 80 tahun ke atas. Maka terlihat adanya hubungan positif antara usia dan penurunan fungsi kognitif pada lansia. Menurut Kuczynski (2009), menyebutkan bahwa walaupun tanpa adanya penyakit neurodegeneratif, jelas terdapat perubahan struktur otak manusia seiring bertambahnya usia yang mengakibatkan lansia mengalami penurunan fungsi kognitif. Berdasarkan hasil penelitian ini, menunjukan sebanyak 2 orang responden memiliki fungsi kognitif baik. Melalui hasil pengamatan peneliti menunjukkan bahwa responden tersebut memiliki motivasi hidup yang tinggi. Hal ini didukung oleh Mariam (2008), yang mengatakan bahwa kurangnya motivasi juga mengakibatkan penurunan fungsi kognitif pada lansia. Bahkan menurut Pramanta, (2009) mengatakan bahwa 50% dari seluruh populasi lansia menunjukan fungsi kognitif masih baik. Berdasarkan data demografi menunjukan bahwa perempuan lebih berisiko mengalami penurunan fungsi kogitif. Hal ini terlihat dari hasil pengamatan yang menunjukan bahwa sebagian besar lansia perempuan kurang menjalin hubungan baik antar sesamanya. Hal ini memungkinkan lansia banyak berdiam diri karena tidak memiliki banyak teman untuk mengobrol dan mengakibatkan pengalaman dan pikiran lansia pun kurang terasah dengan baik sehingga memudahkan fungsi kognitifnya ikut menurun. Diketahui bahwa penurunan hormon estrogen pada wanita menopause meningkatkan resiko mengalami penurunan kognitif, karena hormon ini diketahui memegang peranan penting dalam memelihara fungsi otak (Czonkowska, 2003). Diketahui pula bahwa lansia yang berpendidikan rendah lebih banyak mengalami penurunan kognitif. Semakin tinggi tingkat pendidikan lansia akan semakin luas daya pikirnya sehingga kognitif lansia semakin terampil dalam hal berpikir. Terlihat bahwa kebanyakan responden ketika berkomunikasi dengan lawan bicara seringkali tidak memahami isi percakapan dari lawan bicara, serta rasa keingintahuan lansia yang kurang. Ini disebabkan karena pengetahuan yang dimiliki lansia juga terbatas sehingga wawasan berpikir pun minim. Menurut Ramdhani (2012), bahwa tingkat pendidikan yang telah dicapai seseorang secara tidak langsung dapat berpengaruh terhadap fungsi kognitif seseorang terlebih bila tingkat pendidikan yang ditempuh sangat rendah. Karena tingkat pendidikan yang rendah merupakan salah satu indikator terjadinya penurunan kognitif pada lansia. Hal ini juga diperkuat oleh Scanlan (2007), bahwa Kelompok dengan pendidikan rendah tidak pernah lebih baik dibandingkan kelompok dengan pendidikan lebih tinggi Data demografi juga menunjukan pekerjaan lansia terbanyak adalah wiraswasta. Searah dengan kemajuan teknologi biasanya orang usia lanjut, sesuai dengan kompetensi yang dimiliki, cenderung bekerja dengan jenis pekerjaan yang belum mengarah ke orientasi kognitif, seperti generasi sesudahnya (Hultsch, Hammer & Small, 1993 dalam Fadhia, 2012). Hal ini juga menjadi salah satu penyebab lansia mengalami penurunan kognitif. Adanya lansia berada di panti maka memudahkan lansia mengalami penurunan kognitif karena aktivitas lansia yang sebelumnya aktif akhirnya harus dibatasi sesuai kemampuan dari setiap individu yang berada di panti. Hal ini dikatakan Sidiarto (1999), bahwa pekerjaan seseorang dapat mempengaruhi fungsi kognitifnya, dimana perbedaan yang terus- menerus melatih kapasitas otak dan dapat membantu mencegah terjadinya penurunan fungsi kognitif dan mencegah terjadinya demensia. Dari penjelasan di atas diketahui bahwa ada beberapa faktor penting yang sangat berpengaruh terhadap fungsi kognitif lansia, diantaranya yaitu faktor pendidikan, jenis kelamin dan pekerjaan seseorang. Pernyataan tersebut didukung oleh Freidi et al., (1996) yang 94 Jurnal Ners dan Kebidanan, Volume 1, Nomor 2, Juli 2014, hlm. 90 - 96 mengatakan bahwa faktor yang berpengaruh terhadap fungsi kognitif termasuk faktor sosiodemografi seperti usia, pendidikan, pekerjaan dan status menikah. Kemampuan otak dapat ditingkatkan dengan memberikan stimulus atau rangsangan ke otak yang dapat meningkatkan kemampuan kognitif melalui gerakan – gerakan ringan. Gerakan yang dapat meningkatkan potensi kerja otak dan meningkatkan kebugaran tubuh secara umum yaitu dengan melakukan gerakan senam otak (Markam, 2005). Oleh karena itu dengan adanya aktivitas senam otak ini, diharapkan dapat membantu mengatasi atau mengurangi resiko terjadi penurunan konitif yang sering dialami oleh lansia. Fungsi Kognitif Lansia setelah diberikan senam otak pada Lansia di UPT PSLU Blitar Gambaran fungsi kognitif lansia setelah diberikan senam otak menunjukan bahwa kemampuan kognitif lansia setelah dilakukan senam otak tergolong kategori fungsi kognitif baik yaitu sebanyak 15 orang (83%), sedangkan yang tergolong kategori gangguan fungsi kognitif ringan sebanyak 3 orang (17%). Hasil penelitian ini terbukti bahwa aktivitas senam otak dapat meningkatkan fungsi kognitif pada lansia. Hal ini didukung oleh teori Dennison (2006), yang mengatakan bahwa gerakan – gerakan pada senam otak dapat memberikan rangsangan atau stimulus pada otak. Gerakan yang menimbulkan stimulus inilah yang dapat meningkatkan kemampuan kognitif (kewaspadaan, konsentrasi, kecepatan, persepsi, belajar, memori, pemecahan masalah dan kreativitas). Hal ini terbukti bahwa setelah dilakukan senam otak pada lansia selama tiga minggu setiap hari fungsi kognitif lansia mengalami peningkatan dalam hal pengenalan tempat, waktu, menghitung angka, mengingat, serta atensi. Hal ini didukung oleh penelitian Verany (2013) dan Festi (2010), yang mengatakan bahwa ada pengaruh senam otak terhadap peningkatan fungsi kognitif lansia. Senam otak mempunyai manfaat besar karena dapat menyelaraskan antara anggota gerak dan pernafasan. Gerakan pada senam otak cenderung lambat. Hal ini sangat berhubungan dengan pernafasan, gerak yang lambat akan diimbangi dengan pernafasan untuk menghirup dan menghembus udara sedalam – dalamnya, sehingga oksigen akan terserap maksimal. Serta unsur gerakan utama pada senam otak adalah gerakan menyilang untuk menimbulkan stimulus pada otak. Maka senam otak dapat memperbaiki atau bahkan meningkatkan fungsi otak. Hal ini didukung oleh teorinya Dennison (2006), yang mengatakan bahwa kegiatan senam otak yang dilakukan secara teratur oleh kelompok lansia dapat mencegah dan memperlambat penurunan daya ingat sebagai akibat proses menua. Senam otak dapat meningkatkan aktivitas otak melalui gerakan – gerakan sederhana yang dirancang untuk mengaktifkan seluruh bagian otak. Proses tersebut akan selalu merangsang pusat otak (brain learning stimulation), yang didalamnya terdapat pusat-pusat yang mengurus berbagai fungsi tubuh. Menurut Denisson (2004), senam otak mengaktifkan seluruh bagian otak untuk kemampuan akademik, hubungan perilaku, serta sikap karena pada dasarnya otak terbagi menjadi dua belahan yaitu otak kanan dan otak kiri. Masing – masing belahan mempunyai fungsi yang berbeda. Otak kiri berhubungan dengan potensi dalam kemampuan kebahasaan (verbal), kotruksi objek (teknis dan mekanis), temporal, logis, analitis, rasional dan konsep kegiatan yang terstruktur. Sedangkan otak kanan memiliki potensi dalam kemampuan kretivitas (kemampuan berinisiatif dan memunculkan ide), kemampuan visual, potensi intuitif, abstrak dan emosional (berhubungan dengan nilai rasa). Pengaruh senam otak terhadap peningkatan fungsi kognitif pada lansia di UPT PSLU Blitar. Dari hasil analisa data yang dilakukan dengan SPSS dan uji statistika menggunakan uji wilcoxon test didapatkan nilai signifikan adalah α = 0,00 maka dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara fungsi kognitif lansia sebelum dilakukan senam otak (pre-test) yang mana gangguan fungsi kognitif berat lebih mendominasi dengan hasilnya 50%, yang mengalami gangguan fungsi kognitif ringan hasilnya 39% dan lansia yang fungsi kognitif masih baik sebanyak 11%, dan setelah diberikan senam otak (post-test) fungsi kognitif lansia yang tergolong kategori gangguan berat berkurang menjadi 0% , kategori gangguan ringan berkurang menjadi 17% dan rata – rata meningkat menjadi kategori kognitif baik sebanyak 83%. Amtonis dan Fata, Pengaruh Senam Otak…95 Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitianm yang dilakukan Festi ( 2010) dengan uji statistic McNemar dan Chi-Square dengan taraf signifikansi α = 0.05 dengan hasil P = 0.016 pada uji McNemar dan pada uji Chi Square dengan hasil P = 0,03 didapatkan bahwa setelah dilakukan brain gym selama 2 kali sehari hasilnya menunjukkan ada pengaruh brain gym terhadap fungsi kognitif lansia dengan jumlah sampel sebanyak 20 orang. Sesuai dengan fungsinya brain gym merupakan salah satu metode gerak dan latih otak, yang berguna dalam meningkatkan fungsi kognitif terutama pada lansia. Metode ini mengaktifkan dua belah otak dan memadukan fungsi semua bagian otak untuk meningkatkan kemampuan kognitif. Hasil penelitian yang ada maka dapat dikatakan bahwa senam otak apabila dilakukan terus menerus secara teratur maka hasilnya akan jauh lebih efektif. Ini karena gerakan senam otak dapat mengaktifkan tiga dimensi otak, yang mana dimensi pemusatan dapat meningkatkan aliran darah ke otak, meningkatkan penerimaan oksigen, dimensi lateralis akan menstimulasi koordinasi kedua belahan otak yaitu otak kanan dan kiri, memperbaiki pernafasan, stamina, melepaskan ketegangan serta mengurangi kelelahan. Dimensi pemfokusan untuk melepaskan hambatan fokus dari otak yang dapat memperbaiki kurangnya perhatian, kurangnya konsentrasi sehingga dapat menyebabkan fungsi kognitif lansia meningkat. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa aktivitas senam otak sangat membantu untuk mengatasi masalah penurunan fungsi kognitif pada lansia (Denisson, 2004). SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di PSLU Blitar dan tabulasi tentang pengaruh senam otak terhadap fungsi kognitif lansia didapatkan bahwa: (1) Fungsi kognitif lansia sebelum dilakukan senam otak dengan kategori gangguan fungsi kgnitif berat sebanyak 9 orang (50%), (2) Fungsi kognitif lansia setelah dilakukan senam otak presentasenya meningkat menjadi 0%, (3) Hasil uji statistik dengan wilcoxon signed rank test yaitu α = 0,00 menyatakan bahwa ada pengaruh senam otak terhadap peningkatan kognitif lansia di UPT PSLU Blitar. Saran Bagi praktek keperawatan diharapkan dapat memperhatikan gangguan kognitif lansia dengan meningkatkan terapi senam otak sehingga lansia tidak mengalami resiko terjadinya demensia, bagi institusi dan peneliti lain diharapkan dapat menambah referensi ilmu keperawatan di perpustakaan tentang intervensi yang dapat diberikan kepada lansia dengan gangguan kognitif dan kepada peneliti selanjutnya untuk memperbaharui penelitian yang lebih inovatif tentang cara mengatasi penurunan kognitif yang dialami lansia, dan bagi UPT PSLU Blitar dianjurkan untuk lebih giat dan sering dilakukan senam otak kepada lansia agar mencegah atau mengurangi resiko terjadinya penurunan kognitif pada lansia. DAFTAR RUJUKAN Budi Riyanto Wreksoatmodjo, 2012. Hubungan Social Engagement dengan fungsi kognitif. Jakarta, Indonesia Czlonkowska, A., Ciesielka, A. and Joniec, H., 2003, Influence of Estrogen on Neurodegenerative Processes, Med Sci Monit. 23 Juni 2014. Scanlan, J.M., Binkin, N., Michieletto, F., Lessig, M., Zuhr, E., and Borson, S., 2007. Cognitive Impairmen, Chronic Disease Burden, and Functional Disability: A Population Study of Older Italians. The American Journal of Geriatric Psychiatry, 2007. Diakses 24 Juni 2014. Denisson, P. E & Denisson, G. 2006. Buku panduan Brain Gym. Jakarta: PT Gramedia. Djojosugito, Ahmad. 2008. Kebijakan Pemerintah Dalam Pelayanan Kesehatan Menyongsong AFTA 2010, Pusat Data dan Informasi PERSI: Jakarta. http://www.pdpersi.co.id/?show=detailne ws&kode =665&tbl= artikel (diakses 03 mei 2014). Fadhia, dkk., 2012. Hubungan fungsi kognitif dengan kemandirian dalam melakukan activities of daily living (adl) pada lansia di upt pslu pasuruan, Fakultas Keperawatan Universitas Airlangga Surabaya. Diakses 8 Maret 2014. Festi, P., 2010. Pengaruh Brain Gym Terhadap Peningkatan Fungsi Kognitif Lansia Dikarang Werdha Peneleh Surabaya. 96 Jurnal Ners dan Kebidanan, Volume 1, Nomor 2, Juli 2014, hlm. 90 - 96 Jurnal Kesehatan (Http://www.Fik.Umsurabaya . Ac.Id/diakses 8 Maret 2014). Kuczynski, B, Jagust, W, Chui, HC., Reed, B 2009, “An Inverse Association of Cardiovascular Risk and Frontal Lobe Glucose Metabolism”, Neurology, vol. 72. Diakses 24 Juni 2014. Markam, S. 2005. Latihan Vitalisasi Otak (Senam untuk Kebugaran Fisik Dan Otak). Jakarta: Grasindo. Maryam, R.S., et al., 2008. Mengenal Usia Lanjut dan Perawatnnya. Jakarta: Salemba Medika. Martono, HH & Pramanta, K (ed.) 2009. Buku Ajar Boedhi-Darmojo: Geriatri (Ilmu Kesehatan Usia Lanjut), Edisi 4, Jakarta: Balai Penerbit FKUI. Nugroho, W., 2008 Keperawatan Gerontik dan Geriatrik. Edisi 3. Jakarta: EGC. Ramdhani N. 2012. Gambaran Fungsi Kognitif Dan Keseimbangan Pada Lansia Di Kota Manado. KTIS. Manado: FK UNSRAT. S. Tamher & Noorkasiani, 2011. Kesehatan Usia Lanjut dengan Pendekatan Asuhan Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika. Sidiarto, LD, Kusumoputro, S 1999, “Mild Cognitive Impairment (MCI) Gangguan Kognitif Ringan”, Berkala NeuroSains, vol. 1 Soejono Heriawan dkk, 2000. Pedoman Pengelolaan Kesehatan Geriatri untuk Dokter dan Perawat. Jakarta: Pusat Informasi Ilmu Penyakit Dalam FKUI. Verany, dkk., 2013. Pengaruh brain gym terhadap tingkat kognitif lansia di panti sosial tresna werdha warga tama indralaya. Diakses: 11 April 2014