120 Jurnal Ners dan Kebidanan, Volume 4, Nomor 2, Agustus 2017, hlm. 120–124 120 PIJAT OKSITOSIN PADA IBU POSTPARTUM PRIMIPARA TERHADAP PRODUKSI ASI DAN KADAR HORMON OKSITOSIN (OxytocinMassage on Postpartum Primipara Mother to the Breastmilk Production AndOxytocin Hormone Level) Nove Lestari Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Airlangga email: nophetari@yahoo.com Abstract: Less breastmilk production will interfere the breastfeeding process which is one of the factors causing mothers not to breastfeed exclusively. The purpose of this study was to determine the effective- ness of oxytocin massage on breast milk production and postpartummother’s oxytocin hormone level. The design of this study was quasi experimental design. The population in this study was postpartum primipara mother of 4–11 days lactationin the area of Puskesmas Bendo. 16 respondents in this study were divided into two groups namely treatment groups and control groups. The sampling technique was Probability Sampling type Simple Random Sampling. The independent variablewas (oxytocin mas- sage) and dependent variablewas (breastmilk production and oxytocin hormone levels). The data collected by using interview and observation sheet then analyzed by using Mann-Whitney test test got U value equal to 8.000 with p-value = 0.003 p-value compared = 0.05 then p-value < , in conclusion, H0 was rejected or There was an effect in the production of breast milk and the levels of the hormone oxytocin between the control group and the treatment group. The oxytocin massage was recommended to nurses to be applied in addition to breast care to increase the production of postpartum mothers who have less breastmilk production. Keywords: oxytocin massage, milk production, oxytocin and postpartum levels Abstrak: Produksi ASI yang kurang akan mengganggu proses menyusui, yang menjadi salah satu faktor penyebab ibu tidak menyusui secara eksklusif. Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui pengaruh pijat oksitosin terhadap produksi ASI dan kadar hormon oksitosin ibu post partum. Desain pada penelitian ini menggunakan desain quasi eksperimen. Populasi dalam penelitian ini adalah ibu post partum primipara masa laktasi 4–11 hari di wilayah kerja Puskesmas bendo. Sebanyak 16 responden dalam penelitian ini dibagi menjadi dua kelompok yaitu kelompok perlakuan dan kelompok pembanding. Teknik pengambilan ampel menggunakan Probability Sampling tipe Simple Random Sampling. Terdapat variabel independen (pijat oksitosin) dan variabel dependen (produksi ASI dan kadar hormon oksitosin). Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan wawancara dan lembar observasi kemudian dianalisis dengan menggu- nakan uji Mann-Whitney test didapatkan nilai U sebesar 8.000dengan p-value = 0.003 p-value tersebut dibandingkan = 0.05 maka p-value<, sehingga disimpulkan bahwa H0 ditolak atau ada perbedaan produksi ASI dan kadar hormon oksitosin antara kelompok kontroldengan kelompok perlakuan. Pijat oksitosin tersebut direkomendasikan kepada perawat untuk mengaplikasikan selain perawatan payudara untuk meningkatkan produksi ASI ibu post partum yang memiliki produksi ASI kurang. Kata Kunci: pijat oksitosin, produksi ASI, Kadar oksitosin dan postpartum Pemberian Air Susu Ibu (ASI) sebagai salah satu yang memberikan pengaruh paling besar terhadap kelangsungan hidup anak, pertumbuhan, dan per- kembangannya (Astutik,2014). Banyak dijumpai para ibu melakukan perawatan nifas berdasarkan budaya dan tradisi, termasuk dalam hal menyususi, namun pada sebagian ibu mungkin saja terjadi kesu- litan pengeluaran ASI karena lebih banyak ibu ACER Typewritten text Jurnal Ners dan Kebidanan, Volume 4, No. 2, Agustus 2017 DOI: 10.26699/jnk.v4i2.ART.p120-124 IT Typewritten text © 2017 Jurnal Ners dan Kebidanan IT Typewritten text This is an Open Access article under the CC BY-SA license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ 121Lestari, Pijat Oksitosin pada Ibu Postpartum Primipara... terpengaruh mitos sehingga ibu tidak yakin bisa memberikan ASI pada bayi. Perasaan ibu yang tidak yakin bisa memberikan ASI pada bayi akan menye- babkan penurunan hormon oksitosin sehingga ASI tidak dapat keluar segera setelah melahirkan dan akhirnya ibu memutuskan untuk memberikan susu formula. Hal ini disebabkan karena ibu tidak mem- produksi ASI dalam jumlah yang cukup untuk bayi (Astutik,2014). Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Daerah (RISKESDAS) (2013) pemberian ASI ekslusif pada bayi selama enam bulan hanya 40,6% jauh dari target nasional yang mencapai 80%. Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013 menunjukkan bahwa pada usia 0 bulan presentasi pemberian ASI sebesar 82,5%, usia 1 bulan 75,1%, usia 2 bulan 74%, uaia 3 bulan 66,9%, usia 4 bulan 66,8%, dan usia 5 bulan 54,8%. Dari hasil data tersebut menunjukkan pem- berian ASI pada umur 0–5 bulan semakin lama semakin rendah presentasinya. Bedasarkan hasil penelitian menunjukan 6 % ibu nifas mengeluh ASI tidak keluar pada hari pertama postpartum, 13% ibu nifas mengeluh sedikit mengeluarkan ASI dan 64% mengeluh ASI tidak lancar mengakibatkan me- milih susu formula serta 17% ibu postpartum menga- lami perdarahan (Nurul, 2015). Adanya anggapan bahwa menyusui adalah cara kuno serta alasan ibu bekerja, takut kehilangan kecantikan, tidak disayang suami dan gencarnya susu formula di berbagai media massa merupakan alasan yang dapat meng- ubah kesepakatan ibu untuk menyusui bayinya sen- diri, serta menghambat terlaksananya proses laktasi (Ayers, 2000). Faktor yang mempengaruhi kegagalan pem- berian ASI disebabkan kurangnya pengetahuan ibu tentang ASI, ibu menghentikan pemberian ASI karena produksi ASI kurang, gencarnya promosi susu formula, dukungan petugas kesehatan dan faktor keluarga karena orang tua, nenek atau ibu mertua mendesak ibu untuk memberikan susu tam- bahan (Astutik,2014). Pada sebagian ibu pengeluar- an ASI bisa terjadi dari masa kehamilan dan seba- gian terjadi setelah persalinan (Astutik, 2014). Permasalahan kurangnya rangsangan hormon prolaktin dan oksitosin yang sangat berperan dalam kelancaran produksi ASI. Hal ini dapat dapat mem- pengaruhi pengeluaran ASI memberikan dampak buruk untuk kehidupan bayi dikarenakan nilai gizi pada ASI lebih tinggi dibandingkan dengan susu formula, akan tetapi penggunaan susu formula merupakan alternatif yang dianggap paling tepat untuk mengganti produksi ASI yang menurun. Berdasarkan studi pendahuluan di Puskesmas Bendo Kabupaten Kediri, pada bulan April 2017 terdapat 10 ibu melahirkan pervaginam.Diantaranya mereka 1% ibu tidak menyusui, 3% ibu menyusui, 6% ibu tidak menyusui dikarenakan mengeluhkan ASI yang tidak keluar. Dalam studi pendahulan dilakukan pijat oksitosin dan didapatkan 6 dari 10 ibu tidak menyusui mengalami peningkatan produksi ASI yang di observasi melalui frekuensi dan lama menyusui. Refleks hormon oksitosin tersebut banyak dipengaruhi oleh stressor yang dialami oleh ibu primipara, sehingga menyebabkan adanya hambatan dalam sekresi oksitosin oleh hipofisis posterior (Prime et al., 2009). Salah satu upaya yang dapat dilakukan ibu dan keluarga, untuk meningkatkan produksi ASI diper- lukan hormon oksitosin (Bobak, 2005), pada ibu setelah melahirkan dapat melakukan pijat oksitosin. Pijat oksitosin merupakan pemijatan sepanjang tulang belakang (tulang vertebrae sampai tulang coste kelima-enam). Pijat oksitosin dilakukan pada ibu postpartum dengan durasi 3 menit dan frekuensi pemberian pijatan 2 kali sehari. Pijat ini tidak harus dilakukan oleh petugas kesehatan tetapi dapat dila- kukan oleh suami atau keluarga yang lain. Meka- nisme kerja dalam pelaksanaan pijat oksitosin me- rangsang saraf dikirim keotak sehingga hormon oksitosin dapat dikeluarkan dan mengalir kedalam darah kemudian masuk ke payudara dan menyebab- kan otot-otot sekitar alveoli berkontraksi dan mem- buat ASI mengalir. Hal ini sesuai dengan anjuran dari pemerintah untuk pemanfaatan alam sekitar atau “Back to Nature”, (Hesti, 2013), budaya pijat masa nifas su- dah kenal bagi ibu-ibu masa nifas khususnya pada masyarakat jawa, namun belum diteliti dan difokus- kan keuntungan pijat pada ibu pada masa nifas.Maka dari hal tersebut peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang “Apakah Pijat Oksitosin Dapat Meningkatkan Produksi ASI Dan Kadar Hormon Oksitosin?” BAHAN DAN METODE Desain dalam penelitian ini adalah Quasi Eks- perimental dengan pendekatan pre post test control group design. Populasi pada penelitian ini adalah ibu post partum primipara yang tinggal Desa Darung- an. Teknik pengambilan sampel Penentuan besar sampel dalam penelitian ini dilakukan dengan meto- de pengambilan sampel Probability Sampling tipe Simple Random Sampling.Variabel independen 122 Jurnal Ners dan Kebidanan, Volume 4, Nomor 2, Agustus 2017, hlm. 120–124 dalam penelitian ini adalah pijat oksitosin. Variabel dependen dalam penelitian ini adalah produksi ASI dan kadar hormon oksitosin. HASIL PENELITIAN Hasil penelitian meliputi data produksi ASI dan kadar hormon oksitosin responden sebelum dan sesudah pemberian pijat oksitosin. f % f % Dipijat 8 50 11 68,7 Tidak dipijat 8 50 5 31,3 Total 16 100 16 100 Mann-Whitney U = 8.000 p-value = 0,03, = 0,05 Produksi ASI Pre Test Post Test Tabel 1 Pijat OksitosinTerhadap Produksi ASI pada kelompok perlakuan dan kelompok kontrol responden sebelum dan sesudah intervensi pijat oksitosin pada ibu post partum primipara di wilayah kerja Puskesmas Bendo f % f % Dipijat 9 56,3 11 68,7 Tidak dipijat 7 43,7 5 31,3 Total 16 100 16 100 Mann-Whitney U = 12.000 p-value = 0,015, = 0,05 Pre Test Post Test Tabel 2 Distribusi Kadar hormon oksitosin pada kelompok perlakuan dan kelompok kontrol responden sebelum dan sesudah intervensi pijat oksitosin pada ibu post partum primipara di wilayah kerja Puskesmas Bendo Kadar Hormon Oksitosin PEMBAHASAN Pijat Oksitosin Terhadap Produksi ASI Responden Sebelum Dan Sesudah Pemberian Intervensi Dari hasil diatas menunjukkan bahwa produksi ASI yang dinilai dari frekuensi bayi minum ASI pada waktu lahir adalah 8 kali yang meningkat pada minggu pertama dan kedua. Bila dilihat secara teori bila bayi cukup mendapatkan nutrisi maka rata-rata frekuensi menyusu bayi antara 8–12 kali dan bayi akan tidur tenang atau nyenyak 2–3 jam setelah menyusu. Hal ini menunjukkan bahwa bila bayi menyusu semakin sering maka ASI yang di produksi semakin banyak karena semakin tinggi kadar oksitosin pada peredaran darah yang akan merang- sang prolaktin untuk terus memproduksi ASI. Proses menyusui ataupun diperah untuk menge- luarkan ASI inhibitor autokrin tetap dikeluarkan sehingga produksi ASI terus berlanjut. Intensitas yang tinggi pada bayi untuk menyusu maka semakin banyak ASI diproduksi, sebaliknya jika semakin ja- rang bayi untuk menyusu makin sedikit payudara menghasilkan ASI. Berdasarkan hasil uji statistik proses laktasi merupakan suatu interaksi yang sangat kompleks antara ransangan mekanik, saraf, dan bermacam- macam hormon. Hal ini dipengaruhi oleh faktor dari proses laktogenesis III yang dapat mempengaruhi produksi ASI, menyusui setiap dua-tiga jam akan menjaga produksi ASI tetap tinggi. Untuk wanita pada umumnya, menyusui atau memerah ASI dela- pan kali dalam 24 jam akan menjaga produksi ASI tetap tinggi pada masa-masa awal menyusui, khu- susnya empat bulan pertama. Bukanlah hal yang aneh apabila bayi yang baru lahir menyusui lebih sering dari itu, karena rata-ratanya adalah 10-12 kali menyusui tiap 24 jam, atau bahkan 18 kali. Menyusui on-demand adalah menyusui kapanpun bayi meminta (artinya akan lebih banyak dari rata- rata) adalah cara terbaik untuk menjaga produksi ASI tetap tinggi dan bayi tetap kenyang. Tetapi perlu diingat, bahwa sebaiknya menyusui dengan durasi yang cukup lama setiap kalinya dan tidak terlalu sebentar, sehingga bayi menerima asupan foremilk dan hindmilk secara seimbang. Menurut Maryu- nani, 2012 Pemijatan tengkuk dan punggung mem- berikan kontribusi yang besar bagi ibu nifas yang sedang menyusui. Rasa nyaman yang ibu rasakan akan membantu dalam pengeluaran ASI sehingga ibu tidak akan merasakan nyeri baik dari hisapan bayi pada payudara maupun kontraksi uterus kare- na pada pemijatan tengkuk danpunggung mampu mengeluarkan endorfin merupakan senyawa yang menenangkan. Dalam keadaan tenang seperti inilah ibu nifas yang sedang menyusui mampu memperta- hankan produksi ASI yang mencukupi bagi bayinya. Hal ini seperti teori Sloane (2003), Peranan hipofisis adalah mengeluarkan endorfin (endegenous opiates) yang berasal dari dalam tubuh dan efeknya menyerupai heroin dan morfin. Zat ini berkaitan dengan penghilang nyeri alamiah (analgesik). Peran- an selanjutnya mengeluarkan prolaktin yang akan memicu dan mempertahankan sekresi air susu dari kelenjar mammae. Sedangkan peranan hipotalamus akan mengeluarkan oksitosin yang berguna untuk 123Lestari, Pijat Oksitosin pada Ibu Postpartum Primipara... menstimulus sel-sel otot polos uterus dan menyebab- kan keluarnya air susu dari kelenjar mammae pada ibu menyusui dengan menstimulasi sel-sel mioepitel (kontraktil) di sekitar alveoli kelenjar mammae. Pengaruh pijat oksitosin kadar hormon oksito- sin responden sebelum dan sesudah intervensi Dari hasil uji statistik didapatkan bahwa pijat oksitosin dapat meningkatkan kadar hormon oksito- sin. Jika kadar hormon oksitosin meningkat juga akan mempengaruhi produksi ASI. Pijat oksitosin ini dilakukan untuk merangsang refleks oksitosin atau refleks let down. Pijat oksitosion ini dilakukan dengan cara memijat pada daerah punggung sepan- jang kedua sisi tulang belakang sehingga diharapkan dengan dilakukan pemijatan ini, ibu akan merasa rileks dan kelelahan setelah melahirkan akan hilang. Jika ibu rileks dan tidak kelelahan setelah melahirkan dapat membantu merangsang pengeluaran hormon oksitosin. (Depkes RI, 2007). Faktor yang dapat mempengaruhi produksi ASI selain khormon oksi- tosin adalah dari nutrisi, ketenangan jiwa dan pikir- an, alat kontrasepsi, pola istirahat, perawatan payu- dara, anatomis payudara,faktor fisiologis dan Faktor isapan bayi atau frekuensi penyusuan (Rizki,2013). Hormon oksitosin yang dapat merangsang kon- traksi sel mioepitel yang mengelilingi mammae, fung- si fisiologik ini meningkatkan gerakan ASI kedalam duktus alveolaris dan memungkinkan terjadinya ejeksi ASI (Bobak, 2005). Hormon oksitosin berada di dalam hipotolamus pada otak. Hormon tersebut dikeluarkan oleh kelenjar pituitari yang terletak di dasar otak. Menurut penelitian Morhenn, 2012 hu- bungan pemijatan otot tulang belakang dengan pe- ningkatan kadar oksitosin dan menurunkan kadar adrenocorticotropin hormon (ACTH), Nitric Oxide (NO) dan Beta-Endorphin (BE). Perbandingan efek pemijatan pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol mempunyai perbedaan yang signifikan p < 0,05. Peran oksitosin dalam berbagai tingkah laku manusia, seperti orgasme, kedekatan sosial, dan sikap keibuan. Untuk alasan ini, hormon oksitosin terkadang dianggap sebagai hormon cinta. Pijat oksitosin merupakan suatu tindakan pe- mijatan tulang belakang mulai sampai costa ke 5–6 sampai scapula akan mempercepat kerja saraf para- simpatis untuk menyampaikan perintah ke otak ba- gian belakang sehingga oksitosin keluar. Hasil pene- litian Young, menjelaskan adanya hubungan pemi- jatan yang dilakukan di daerah vetebralis terhadap sistem saraf otonom sehingga serum kortisol dan tingkat norepinefrin akan diturunkan dan mening- katkan kadar oksitosin. Pijat oksitosin yang dilakukan bertujuan untuk merangsang oksitosin. Let down refleks yaitu rangsangan isapan bayi melalui serabut saraf, memacu hipofise bagian belakang untuk men- sekresi hormon oksitosin ke dalam darah. Oksitosin ini menyebabkan sel-sel myopytel yang mengelilingi alveoli dan duktuli berkontraksi, sehingga ASI mengalir dari alveoli ke duktuli menuju sinus dan putting sehingga produksi ASI dapat meningkat yang diobservasi melalui frekuensi menyusui dan lama menyusui. Pijat merupakan salah satu solusi untuk meng- atasi produksi ASI. Pijat adalah pemijatan pada se- panjang tulang belakang (vertebrae) sampai tulang costae kelima-keenam dan merupakan usaha untuk merangsang hormon prolaktin dan oksitosin setelah melahirkan (Yohani, Roesli,2009). Pijatan ini ber- fungsi untuk meningkatkan hormon oksitosin yang dapat menenangkan ibu, sehingga ASI pun otomatis keluar. Pijat oksitosin adalah suatu tindakan pemijat- an tulang belakang (Servikal vetebrae hingga coste 6) yang akan mempercepat kerja saraf parasim- patis untuk menyampaikan perintah ke otak bagian belakang sehingga oksitosin keluar. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Kesimpulan hasil penelitian ini bahwa ada per- bedaan pijat oksitosin terhadap produksi ASI dan kadar hormon oksitosin. Saran Bagi petugas kesehatan, dapat meningkatkan pelayanan asuhan keperawatan kepada ibu post partum dan dapat mengajarkan kepada ibu post partum dan keluarga teknik pijat oksitosin. Bagi ibu post partum dan keluarga dapat meng- aplikasikan pijat oksitosin untuk meningkatkan pro- duksi ASI. DAFTAR RUJUKAN Astutik, R. 2014. Payudara dan Laktasi. Jakarta: Salemba Medika. Ayers, JF. 2000. ‘The use alternative therapies in the support of breastfeeding’, Journal Human Lacta- tion, no. 16, hal 52–56. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kemen- trian Kesehatan RI. 2013. Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS). Departemen Kesehatan Republik Indonesia 124 Jurnal Ners dan Kebidanan, Volume 4, Nomor 2, Agustus 2017, hlm. 120–124 Biancuzzo, M 2003, Breastfeeding the newborn: Clinical strategies for nurses , Mosby, St.Louis. Blair, T. 2003. Suckling of lactation mother,http:/ /www.ncbi. nlm. nih.gov/ entrez/quory.fcgi? d b = p u b m e d & c d m = s e a r c h & i t o l = pubmedabstract, dibuka tanggal 1 Juni 2017. Bobak IM, Lowdermilk DL, Jensen MD. 1995. Buku Ajar Keperawatan Maternitas (Mater- nity Nursing) Edisi 4, Maria A Wijayarti dan Peter Anugerah (penterjemah). 2005. Jakarta: EGC. Cregan, MML, & Hartmann, P 2002, ‘Milk prolactin feed volume and duration between feeds in women breastfeeding their full-term infant over a 24 hour period’, Exp Physiol, hal 207–214. Cunningham,F.G, Mc Donald, P.C.Grant, N.F. 2006. ObstetriWilliams Edisi 21 Volume 1. Jakarta: EGC.