244 Jurnal Ners dan Kebidanan, Volume 4, Nomor 3, Desember 2017, hlm. 244–247

244

STUDI RESPON FISIOLOGIS DAN KADAR GULA DARAH
PADA TIKUS PUTIH (RATTUS NORVEGICUS) YANG

TERPAPAR STREPTOZOTOCIN (STZ)
(The Study of Physiological Response and White Rats (Rattus
norvegicus) Blood Glucose Levels Exposed by Streptozotocin)

Thatit Nurmawati
STIKes Patria Husada

email: dhyas_tha@yahoo.com

Abstract: Diabetes mellitus (DM) is a metabolic disorder with symptoms of polydipsi, polyuria, polyph-
agia, weight loss and tingling. The incidence of DM increased with the number of patients with type 2
DM more than type1 DM. Insulin resistance and deficiency is characteristic of type 2 diabetes.
Streptozotocin (STZ) as a DM inducer model is better than alloxan by altering the physiological
pancreas. The purpose of this study was to determine the physiological response and blood sugar levels
of mice after exposure to STZ. Descriptive research design with the subjects of 16 white wistar strains
(Rattus norvegicus).  STZ was given 40mg / kg  BW for 3 days. Data collection was done in 2 days after
STZ last gift. Blood glucose  levels obtained from  the end of the tail while the heart rate was measured
using a modified stethoscope. Data presented in the mean ± SD. The results showed heart rate 500 ±
59.32 / min, weight 292,5 ± 65,26 (gr) and blood glucose content 237 ± 102.5 ml /dl. STZ responded to
ratts resulting in physiological changes. Histologic observation of pancreatic cells was needed to
determine the damage caused by STZ . It needed longer observation to see the response of ratts further.

Keywords: STZ, DM type 2, physiological response, blood glucose levels, white ratts.

Abstrak: Penyakit diabetes mellitus (DM) merupakan gangguan metabolisme dengan gejala polidipsi,
poliuria, polifagia, penurunan berat badan dan kesemutan. Kejadian DM semakin meningkat dengan jumlah
penderita DM tipe 2 lebih banyak daripada DM tipe1. Resistensi dan defisensi insulin menjadi karateristik
DM tipe 2. Streptozotocin (STZ) sebagai model penginduksi DM lebih baik daripada aloksan. dengan
mengubah fisiologis pankreas. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui respon fisiologis dan kadar gula
darah tikus setelah terpapar STZ. Desain penelitian deskriptif dengan subyek penelitian 16 ekor tikus putih
galur wistar (Rattus norvegicus). STZ diberikan 40mg/kg BB selama 3 hari. Pengumpulan data dilakukan 2
hari setelah pemberian terakhir STZ. Kadar gula darah diperoleh dari ujung ekor sedangkan denyut jantung
diukur menggunakan stetoskop dimodifikasi. Data disajikan dalam  rerata± SD. Hasil penelitian menunjukkan
nilai denyut jantung 500 ± 59.32 kali/menit, berat 292,5 ± 65,26 (gr) dan kadar gula 237±102.5 ml/dl. STZ
direspon tikus sehingga terjadi perubahan fisiologis. Diperlukan pengamatan histologis sel pankreas
untuk mengetahui kerusakan akibat STZ Perlu pengamatan lebih lama untuk melihat respon tikus lebih
lanjut.

Kata Kunci: STZ,  respon fisiologis, kadar gula darah, tikus putih

Penyakit diabetes mellitus ditandai dengan gangguan
metabolisme pada karbohidrat, lemak dan protein
dengan kejadian selalu meningkat. Gejala yang
sering dirasakan pasien berupa polidipsi, piliuria,

polifagia, penurunan berat badan, dan kesemutan.
Berdasarkan WHO kejadian DM disebabkan oleh
factor genetis, gangguan insulin berupa defisiensi
atau produksi insulin yang kurang efektif. Sebagian

hp
Typewritten text
Jurnal Ners dan Kebidanan, Volume 4, No. 3, Desember 2017
DOI: 10.26699/jnk.v4i3.ART.p244-247

IT
Typewritten text
© 2017 Jurnal Ners dan Kebidanan

IT
Typewritten text
This is an Open Access article under the CC BY-SA license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/)

https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/


    245Nurmawati, Studi Respon Fisiologis dan Kadar Gula Darah...

besar penderita diabetes mellitus adalah diabetes
mellitus tipe 2 yang disebabkan resistensi insulin.
Diabetes mellitus tipe 2 dapat terjadi pada usia muda
dengan dipicu obesitas dan gaya hidup tidak sehat
mulai usia muda.

Berdasarkan data PERKENI pada tahun 2015
menunjukkan jumlah penderita diabetes di Indonesia
mencapai 9,1 juta orang dan Indonesia menduduki
peringkat ke 5 dari peringkat 7 pada sebelumnya.
WHO memperkirakan jumlah penderita diabetes di
Indonesia mencapai 21,3 juta pada tahun 2013,
kondisi tersebut sangat melonjak jika dilihat jumlah
pasien diabetes yang mencapai 8,4 juta pada tahun
2000 (PERKENI, 2015). Penderita diabetes di Jawa
Timur  mencapai 605.974 orang pada tahun 2013
da n menduduki per inga ka t 1 di Indonesia
(RISKESDAS, 2013). Usia penderita diabetes pun
kini semakin muda, hasil RISKESDAS 2013
menujukkan penderita diabetes bisa terjadi pada usia
18 tahun dengan prevalensi tertinggi terjadi pada
jenis kelamin perempuan.

Pada hewan pemberian model DM disebabkan
aloksan, streptozotocin, asam urat, asam dehi-
droaskorbat, asam dialurat. Streptozotosin (STZ)
berasal dari Streptomyces achromogenes dapat
digunakan sebagai penginduksi DM tipe 1 dan 2
dengan dosis 100 mg/kg BB secara intravena
maupun intraperitoneal. STZ menembus sel 
Langerhans mampu pengubah sel  pankreas
menjadi rusak melalui proses pembentukan NO
(nitric oxide) dan anion superoksida yang meng-
hambat siklus Krebs serta menurunkan konsumsi
oksigen pada mitokondria sel. Penurunan produksi
ATP mitokondria mengakibatkan pengurangan
secara drastis nukleotida sel  pankreas yang
menyebabkan kerusakan sel  pankreas. STZ
mempengaruhi sel hidup pada semua siklus sel
mamalia (Tormo dkk, 2006).

STZ merupakan salah satu stresor atau rang-
sangan bagi hewan coba model DM yang lebih baik
daripada aloksan karena rentang dosisnya lebih lebar
(Lenzen, 2008), selain itu tikus bisa mempertahan-
kan hiperglikemia lebih lama. STZ dengan pemberian
berkala terbukti telah mempengaruhi fisiologis
dengan a danya  pembengkakan pada kelenjar
pankreas (Sherwood, 2001) setelah 2–4 hari
(Akbarzadeh dkk 2007) yang bisa mengakibatkan
perubahan produksi insulin atau peningkatan glukosa
darah sehingga mengganggu proses fisiologis tikus.
Adanya respon pada individu terhadap perubahan

pada tubuhnya akan dilakukan dengan menjalankan
homeostatis atau keseimbangan tubuh sebagai adap-
tasinya. Berat badan dan denyut jantung dapat
digunakan sebagai indikator fisiologis tikus yang
terpapar STZ. Maka pada penelitian ini dilakukan
studi respon fisiologis dan kadar gula darah tikus
setelah terpapar STZ

BAHAN DAN METODE
Jenis penelitian ini adalah deskriptif untuk

mengetahui respon fisiologis dan kadar gula darah
setelah tikus putih diberikan STZ yang dipelihara di
Laboratorium Biologi STIKes Patria Husada Blitar.
Semua perlakuan subyek penelitian memenuhi
standar berdasarkan status kesehatan dan kualitas
hewan, pakan, kebersihan kandang, pencahayaan,
kualitas udara, kelembapan, perkembangbiakannnya
(Carlsson, 2008).

Subyek penelitian 16 ekor tikus jenis wistar
(Rattus norvegicus) dengan kepala besar dan ekor
pendek. Berjenis kelamin jantan. Berdasarkan hasil
penelitian Nainggolan dkk (2013) mengatakan jenis
kelamin wanita lebih banyak mengalami DM namun
tidak ada perbedaan resiko antara jantan dan betina.
Kriteria inklusi adalah tikus sehat berumur 2–3 bulan,
berat 200–300gr. Pemilihan tikus sebagai subyek
penelitian karena sebagai hewan coba paling populer
dalam penelitian yang memiliki kemiripan anatomi
dengan manusia.

Aklimatisasi dilakukan selama 21 hari. Berda-
sarkan Fitria dkk (2009) usia mulai 8 minggu untuk
stadium dewasa awal (adult, mature) paling sering
digunakan pada penelitian fisologis yang dikaitkan
dengan fungsi reproduktifnya. Tikus diberikan STZ
dengan dosis 40 mg/kg BB secara intraperitonial
selama 3 hari.

Variabel penelitian: respon fisiologis (denyut
jantung, berat badan) dan kadar gula darah.
Pengumpulan data dilakukan 2 hari setelah perlakuan
STZ. Pengambilan darah dilakukan pada ujung ekor
dengan menggunakan Easy Touch GCU. Peng-
ukuran denyut jantung menggunakan stetoskop yang
telah dimodifikasi. Berat badan dicatat dari neraca
digital yang dinyatakan dengan gram. Data yang
diperoleh ditabulasikan dan ditampilkan sebagai
rerata ± sd



246 Jurnal Ners dan Kebidanan, Volume 4, Nomor 3, Desember 2017, hlm. 244–247

Berdasarkan  Tabel 2 menujukkan kadar gula
darah sewaktu  mencapai 237 dengan standart
deviasi 102,5.

PEMBAHASAN
Gula darah merupakan gula yang terdistribusi

dalam darah berasal dari karbohidrat  makanan atau
dari simpanan  glikogen di hati dan otot.  Penyerapan
dari usus dan pemecahan glikogen menjadi sumber
gula dara h. Ber dasa rka n hasil penelitia n ini
menunjukkan terjadi peningkatan kadar gula darah
setelah pemberian STZ dengan dosis 40 mg/kg BB
secara intraperitoneal. Peningkatan gula darah
setelah pemberian STZ menjadi indikasi terjadinya
DM tipe 2 ( 150 mg/dl). Berdasarkan Wolfenshon
dan Lloyd, (2013)  kadar gula darah normal 50–135
mg/dl. Model kasus DM tipe 2 pada hewan coba
dapat dilakukan dengan dengan beberapa metode
seperti: pemberien diet yang memicu terjadinya
resistensi insulin, mencari genetik hewan coba
dengan kasus DM, pankreatektomi parsial, atau
pemberian senyawa diabetogenik seperti aloksan,
streptozotocin. DM tipe 2 ditandai dengan penurunan
respon jaringan perifer terhadap aksi insulin atau
terjadinya malfungsi reseptor insulin, terjadinya
penurunan kemampuan sel pada sel  Langerhans

pankreas sehingga mengakibatkan terganggunya
produksi insulin dan pada akhirnya terjadi pening-
katan kadar gula darah. Pada penelitian berupa
induksi STZ diduga sudah mampu mempengaruhi
terjadinya kerusakan sel beta pankreas setelah 2–4
hari pemberian STZ yang ditandai pembengkakan
pankreas dan degenerasi sel beta pulau Langerhans
(Akbarzadeh dkk 2007).

Berbagai rangsangan baik fisik, kimiawi, psi-
kologis, trauma maupun psikososial yang menggang-
gu dan mengancam kemampuan tubuh untuk
mempertahankan homeostatis dapat memicu stress
sebagai efek fisiologis tubuh (Sherwood, 2001).
Kelenjar adrenal merespon rangsangan dengan
memproduksi salah satunya adalah hormon  gluko-
kortikoid (Sulistyani dkk, 2007). Guyton dan Hall,
(1997) mengatakan  hormon glukokortikoid mening-
katkan glukosa melalui mekanisme: 1. mampu me-
rangsang proses glukoneogenesis atau pembentukan
glukosa dari pemecahan proteinoleh hati, bahkan
sering kali kecepatannya bisa mencapai 6–10 kali.
Pada proses tersebut terjadi dikarenakan hormon
glukokortikoid mengaktifkan transkripsi DNA sel-
sel hati kemudian diikuti pembentukan RNA
messenger untuk menyusun enzim glukoneogenesis
sehingga terjadi peningkatan pembentukan glukosa.
2. Glukokortikoid mampu menstimulasi pelepasan
asam lemak dan gliserol sehingga proses gluko-
neogenesis memiliki sumber produksi yang banyak.
Pada waktu penelitian ini suhu lingkungan sangat
panas sehingga mengakibatkan tikus mengalami
dehidrasi. Menurut Roussel dkk, 2011 kondisi
dehidrasi merangsang pelepasan vasopresin untuk
menstimulasi glukoneogenesis dan pelepasan
glukoagon sehingga kadar glukosa darah meningkat

Menurut Anwar (2005)  peningkatan glukokor-
tikoid yang berlebihan mengakibatkan penimbunan
lemak berlebih dikarenakan peningkatan selera
makan berkaitan dengan tingginya kadar steroid.
Peningkatan berat badan diduga karena tikus meng-
alami kehilangan kalori cukup besar pada kondisi
diabetik sehingga meningkatkan asupan makan dan
rasa kelaparan (Murray, dkk 1999). Namun pada
penelitian ini peningkatan berat badan tidak tinggi.
Berdasarkan Wolfenshon dan Lloyd, (2013) berat
tikus jantan mencapai 450gr. Diduga tikus pada
penelitian ini sudah mengalami polidipsi dan polifagia,
hal tersebut terlihat dari jumlah makan dan minum
yang diberikan selalu habis sebelum pemberian
makan pada frekuensi berikutnya. Berdasarkan
pengamatan, tikus pada penelitian ini mengamali

Variabel Nilai mean ± SD

Denyut Jantung(k/menit) 500 ± 59.32
Berat Badan (gr) 292,5 ± 65,26
N = 16

Tabel 1 Data respon fisiologis tikus putih (Rattus
norvegicus) setelah terpapar STZ

HASIL PENELITIAN

Berdasarkan tabel diatas menunjukkkan respon
fisiologis tikus setelah diberikan STZ, nilai rata-rata
denyut jantung 500 dengan standart deviasi 59,32.
Nilai rata-rata-rata berat badan 292,5 dengan
standart deviasi 65,26.

Variabel Nilai mean ± SD

Kadar gula darah(mg/dl) 237 ± 102.5
N= 16

Tabel 2 Kadar  gula darah tikus putih (Ratt us
norvegicus) setelah terpapar STZ



    247Nurmawati, Studi Respon Fisiologis dan Kadar Gula Darah...

penurunan aktivitas, diduga berkaitan dengan se-
makin meningkatnya berat badan. Hal tersebut
sejalan dengan hasil penelitianIrianto (2008). Bahkan
kurangnya aktivitas fisik menjadi faktor resiko
terjadinya peningkatan kadar gula darah (ADA,
2015).

Penurunan aktivitas fisik cenderung mening-
katkan tekanan darah, mengurangi toleransi glukosa
serta mempengaruhi kesehatan jantung. Jantung
sehat terlihat dari tingkat kestabilan denyut jantung-
nya. Pada penelitian ini denyut jantung tikus setelah
mendapat perlakuan STZ secara berkala terlihat
mengalami peningkatan. Berdasarkan Wolfenshon
dan Lloyd, (2013) denyut jantung normal tikus 250–
450 kali/menit

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan

STZ sebagai model penginduksi DM tipe 2
mampu mengubah fisiologis tikus yang dilihat dari
denyut jantung 500 ± 59.32 kali/menit, berat 292,5
± 65,26 (gr) dan kadar gula 237±102.5 ml/dl.

Saran
Diperlukan pengamatan histologis sel pankreas

untuk mengetahui kerusakan akibat STZ, perlu
pengamatan lebih panjang untuk mengetahui respon
tikus lebih lama

DAFTAR RUJUKAN
ADA (American Diabetes, Association, Diagnosis and

Classif i c at i on of DM).  2009.  h tt p/ /
caredubetesjournalis.org/content/27/suppl.l/
55.full.

Akbarzadeh A, Norouzian D, Mehrabi MR, Jamshidi Sh,
Farhangi A, Allah Verdi A. 2007.Induction of dia-
betes by streptozotocin in rats. Indian J Clin
Biochem. 22 (2) : 60–64.

An war, R.  2005.  Fungsi Kele njar Adrenal dan
Kelainannya. Bandung: Subbagian Fertilitas dan
Endokrinologi Reproduksi Bagian Obstetri dan
Ginekologi Fakultas Kedokteran Unpad.

Carlsson HE. 2008. The Use of Laboratory Animals in

Biomedical Studies. FELASA Category C-Like
Course. Bogor: Pusat Studi Satwa Primata Institut
Pertanian Bogor (PSSP-IPB).

Fitria L.  2009. Profil R eproduksi Tikus (Rattus
norvegicus Berkenhout, 1769) Stadia Juvenil,
Pradewasa, dan Dewasa. Laporan Penelitian
Hibah Dosen Muda. Yogyakarta: Lembaga
Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat
(LPPMUGM).

Irianto, Djoko Pekik. 2008. Panduan Gizi Lengkap Ke-
luarga dan Olahragawan. Yogyakarta: Andi Off-
set.

Lenzen S. 2008.The mechanisms of alloxan and
streptozotocin induced diabetes. Diabetologia..
51 : 216–26.

PERKE NI. 2011. Konse nsus penge l ol aan dan
pencegahan diabetes mellitus tipe 2 di Indone-
sia. Jakarta

RISKESDAS. 2015. Riset Kesehatan Dasar(Riskesdas).
(2013). Badan Penelitian dan Pengembangan.
Kesehatan Kementerian RI tahun 2013.

Roussel R, Fezeu F, Bouby N, Balkau B, Lantieri O,
Alhenc-Gelas F, Marre M, Bankir L; D.E.S.I.R.
Study Group. 2011. Low water intake and risk
f or new-onse t hy pe rgl y c emi a. Di a bet es
Care34(12):2551–4.

Murray, R.K., D.K. Granner, P.A. Mayes, and V.W.
Rodwell. 1999. Biokimia Harper. Edisi 24.
Penerjemah: Hartono, A. Jakarta: EGC.

Nainggolan, Olwin, A. Yudi Kristanto, dan Hendrik
Edison. 2013. “Determinan Diabetes Melitus
(Analisa Baseline Data Studi Kohort Penyakit
Tidak Menular Bogor 2011)”, dalam Buletin
Penelitian Sistem Kesehatan, volume 16, nomor
3, Juli.

Sherwood, L. 2001. Fisiologi Manusia;dari Sel ke
Sistem. Edisi 2. Jakarta; EGC.

Sulistyani, E; Barid, I dan Isnaini, K. 2007. Pengaruh
Stresor Rasa Nyeri pada Waktu Perdarahan
Tikus Wistar Jantan. Denta Jurnal Kedokteran Gigi
FK UHT (1) 2 : 81–84.

Tormo, M.A., Gil-Exojo, I., Romero de Tejada A., Campillo,
J.E., 2006, White bean amylase inhibitor admin-
istered orally reduces glycaemia

Wolfensohn, S., dan Lloyd, M., 2013, Handbook of Labo-
ratory Animal. Management and Welfare, 4th ed.,
Wiley-Blackwell, West Sussex, 234.