129Prawesti, Purwaningsih, Armini, Faktor Pendorong Pemanfaatan Layanan... 129 FAKTOR PENDORONG PEMANFAATAN LAYANAN VOLUNTARY COUNSELLING AND TESTING (VCT) OLEH LELAKI SUKA DENGAN LELAKI (LSL) DI LSM GAYa NUSANTARA (Factor Related Voluntary Counselling And Testing Utilization By Men Sex With Men (MSM) In Gaya Nusantara Civil Society Organizations) Niken Ariska Prawesti, Purwaningsih, Ni Ketut Alit Armini Program Studi Pendidikan Ners Fakultas Keperawatan Universitas Airlangga email: nariska91@gmail.com; purwaningsih@fkp.unair.ac.id; nk.alita@fkp.unair.ac.id Abtract: Voluntary Counseling and Testing (VCT) is one of the government programs to prevent trans- mission of HIV/AIDS must done by Men Sex With Men (MSM). But there are still MSM who have not utilized VCT services. This study was aimed to analyze of the factors correlating with utilization VCT in MSM based on Health Belief Model at Surabaya region. Design used analytic with cross-sectional ap- proach. The 43 samples were chosen by purposive sampling. The independent variabels were perceived susceptibility, perceived seriousness, perceived benefits, perceived barriers, and cues to action. The de- pendent variabel was utilization VCT. Data were collected by using questonnaire and alayzed by chi square test. Results showed that perceived seriousness had correlation with VCT utilization (p=0,035), perceived seriousness had correlation with VCT utilization (p=0,039), perceived benefits had correlation with VCT utilization (p=0,019), perceived barrier had correlation with VCT utilization (p=0,008) and cues to action (p=0,037) had correlation with VCT utilization. Some factors in health belief model have a correlation with VCT utilization by MSM. It is recommended to officer GAYa Nusantara Civil Society Organizations to give adequate information frequently to the high risk people of HIV/AIDS. Keyword: VCT, utilization, MSM, health belief model Abstrak: Voluntary Counseling and Testing (VCT) adalah suatu program pemerintah untuk mencegah penularan HIV/AIDS yang perlu dilakukan olehLelaki Suka dengan Lelaki (LSL). Namun, masih terdapat LSL yang belum memanfaatkan layanan VCT. Penelitian ini bertujuan menganalisis faktor yang berhubungan dengan pemanfaatan VCT oleh LSL berdasarkan Teori Health Belief Model (HBM) di wilayah Surabaya. Desain penelitian analitik dengan pendekatan cross-sectional. 43 sampel dipilih dengan purposive sam- pling. Variabel independen adalah persepsi kerentanan, persepsi keseriusan,persepsi manfaat, persepsi hambatan, dan petunjuk bertindak. Variabel dependen adalah pemanfaatan VCT. Data dikumpulkan dengan menggunakan kuesioner dan dianalisisdengan uji chi square. Hasil menunjukkan bahwa kerentanan yang dirasakan memiliki korelasi dengan pemanfaatan VCT (p = 0,035), keseriusan yang dirasakan memiliki korelasi dengan pemanfaatan VCT (p = 0,039), manfaat yang dirasakan memiliki korelasi dengan pemanfaatan VCT (p = 0,019), hambatan yang dirasakan memiliki korelasi dengan VCT pemanfaatan (p = 0,008) dan isyarat untuk bertindak (p = 0,037) memiliki korelasi dengan pemanfaatan VCT. Persepsi kerentanan, persepsi keseriusan, persepsi manfaat, persepsi hambatan, dan petunjuk bertindak memiliki korelasi dengan pemanfaatan VCT oleh LSL.Disarankan kepada LSM GAYa Nusantara untuk sering memberikan informasi kepada orang-orang berisiko tinggi HIV / AIDS. Kata kunci: VCT, LSL, HIV, HBM Jurnal Ners dan Kebidanan, Volume 5, No. 2, Agustus 2018 DOI: 10.26699/jnk.v5i2.ART.p129–136 IT Typewritten text © 2018 Jurnal Ners dan Kebidanan IT Typewritten text This is an Open Access article under the CC BY-SA license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ 130 Jurnal Ners dan Kebidanan, Volume 5, Nomor 2, Agustus 2018, hlm. 129–136 PENDAHULUAN Indonesia merupakan negara berkembang urutan ke 5 di Asia yang memiliki resiko tinggi ter- hadap penyakit HIV/AIDS, penyakit ini dapat menyebabkan kematian (Kemenkes RI, 2014). Salah satu populasi yang beresiko tinggi terkena Infeksi Menular Seksual (IMS) dan HIV/AIDS adalah Lelaki Suka dengan Lelaki (LSL) dikare- nakan sering berganti-ganti pasangan (Carmelita et al., 2017). Kejadian HIV di Indonesia pada tahun 2017 dilaporkan dari bulan Januari sampai dengan Maret terdapat kejadian infeksi sejumlah 10.376 orang. Presentase laporan tertinggi dilaporkan pada kelompok umur 25–49 tahun (69,6%) diikuti kelompok umur 20-24 tahun (17,6% ) dan kelompok umur > 50 tahun (6,7%) dengan rasio HIV antara laki-laki dan perempuan adalah 2:1 (Kemenkes RI, 2017).Terdapat 118 LSL yang berkumpul di hotspot Pataya dari jumlah tersebut diketahui 56 orang LSL telah melakukan pemeriksaan VCT sementara 52% dari 118 LSL belum melakukan pemeriksaan VCT (Data Pemetaan LSL GAYa Nusantara, 2017) Program Voluntary Counseling and Testing (VCT) merupakan salah satu strategi kesehatan masyarakat yang dilakukan untuk menekan penye- baran HIV/AIDS, tujuan utamanya adalah merubah perilaku lebih sehat dan lebih aman (Kemenkes RI, 2012). Menurut Lestari (2017) dengan melakukan VCT, LSL dapat mengetahui status HIVnya, selain itu dalam proses konseling klien akan mendapatkan pengetahuan tentang cara menjaga kesehatan sek- sual agar terhindar dari segala penyakit IMS. Harap- an dilakukan program VCT sebagai pencegahan penularan HIV/AIDS secara lebih dini. LSL sendiri sebenarnya telah menyadari bahwa perilaku seksual beresiko yang dilakukan dapat menyebabkan tertu- larnya HIV dan AIDS, namun kerap kali ada dilema yang menghalangi LSL melakukan tindakan untuk mendapatkan kepastian status kesehatannya salah satunya dengan mengikuti program VCT.Tingginya kasus HIV/AIDS di Indonesia salah satunya dika- renakan minat seseorang yang beresiko untuk mela- kukan pemeriksaan VCT yang masih rendah. Teori Health Belief Model (HBM) memuat komponen- komponen yang dapat menganalisis respon suatu individu terhadap pencegahan suatu penyakit (Notoatmodjo, 2007). BAHAN DAN METODE Penelitian ini menggunakan desain penelitian analitik dengan pendekatan cross sectional. Va- riabel dependennya yaitu pemanfaatan Voluntary Counseling and Testing (VCT) oleh Lelaki Seks dengan Lelaki(LSL) dan variabel independen meliputi perceived susceptibility, perceived seriousness, perceived benefits, perceived barriers dan cues to action. Peneliti menggunakan teknik deskriptif analitik dengan instrumen yang digunakan yaitu kuesioner. Penelitian dilakukan di Hotspot Pataya yang terletak di Jl. Karimun Jawa Surabaya Jawa Timur tanggal 25-27 Mei 2018 pada pukul 19.00 WIB. Sampel sebanyak 53 orang Lelaki Suka dengan Lelaki (LSL) yang telah memanfaat- kan ataupun belum memanfaatkan VCT di Hotspot Pataya yang memiliki sikap terbuka yang dipilih secara purposive sampling. HASIL PENELITIAN Karakteristik demografi Data karakteristik demografi responden ini menguraikan tentang karakteristik responden yang diteliti dengan jumlah 43 orang. Data yang dibahas meliputi usia sekarang, jarak rumah dengan pela- yanan kesehatan terdekat, pendidikan terakhir, jenis pekerjaan, dan penghasilan perbulan serta pernah melakukan VCT atau tidak. Tabel 1 Karakteristik Demografi LSL yang melaku- kan Pemeriksaan VCT (n=43) No Karakteristik Responden f % 1 Usia 21–30 tahun 23 53 31–40 tahun 15 35 41–49 tahun 5 15 2 Jarak rumah dengan pelayanan kesehatan < 1 km 20 47 1 km-3km 13 30 > 3 km 10 23 3 Pendidikan Terakhir Tidak tamat SD 1 2 Tamat SD/MI/ Sederajat 1 2 Tamat SMP/Sederajat 9 21 Tamat SMA/Sederajat 27 63 Perguruan Tinggi 5 12 131Prawesti, Purwaningsih, Armini, Faktor Pendorong Pemanfaatan Layanan... Hubungan perceived susceptibility dengan pemanfaaatan layanan VCT oleh LSL Berdasar Tabel 2 hasil statistik chi square diperoleh p = 0,035 (  0,05) maka H1 diterima yang berarti ada hubungan antara perceived susceptibility dengan pemanfaatan layanan VCT oleh LSL. Pada koefisien kontingensi (C) didapatkan 0,307 yang berarti bahwa variabel perceived susceptibility dan variabel pemanfaatan VCT memiliki hubungan yang lemah. No Karakteristik Responden f % 4 Jenis Pekerjaan Pelajar/mahasiswa 1 2 Wiraswasta 14 33 Swasta 26 60 Buruh 1 2 Lain-lain 1 2 5 Penghasilan Perbulan < Rp 3. 583. 321 24 56 > Rp 3. 583. 321 19 44 6 Pernah Melakukan pemeriksaan VCT Ya 33 77 Tidak 10 23 Perceived susceptibility (Persepsi Kerentanan) Total (%) Pemanfaatan VCT Ya Tidak f % f % Rendah 14 33 8 57 6 43 Tinggi 29 67 25 86 4 14 Total 43 100 33 77 10 23 Uji Chi Square p = 0. 035;koefisien kontingensi (C) = 0, 307 Tabel 2 Hubungan Perceived Susceptibility dengan pemanfaatan VCT oleh LSL di Hotspot Pataya Tabel 3 Hubungan Perceived Seriousness dengan pemanfaatan VCT oleh LSL di Hotspot Pataya Perceived seriousness (Persepsi Keseriusan) Total (%) Pemanfaatan VCT Ya Tidak f % f % Rendah 18 42 11 61 7 39 Tinggi 25 58 22 88 3 12 Total 43 100 33 77 10 23 Uji Chi Square p =0. 039 koefisien kontingensi (C) = 0, 300 Hubungan perceived seriousness dengan pemanfaatan layanan VCT oleh LSL Berdasar Tabel 3 Hasil statistik chi square diperoleh p = 0,039 (  0,05) maka H1 diterima yang berarti ada hubungan antara perceived seriousness dengan pemanfaatan layanan VCT oleh LSL. Pada koefisein kontingensi (C) didapatkan 0,300 yang berarti bahwa variabel perceived se- riousness dan variabel pemanfaatan VCT memiliki hubungan yang lemah. Hubungan perceived benefits dengan pemanfaatan VCT oleh LSL Berdasar Tabel 4, hasil statistik chi square diperoleh p = 0,015 (  0,05) maka H1 diterima yang berarti ada hubungan antara perceived benefit dengan pemanfaatan layanan VCT oleh LSL. Pada koefisein kontingensi (C) didapatkan 0,335 yang berarti bahwa variabel perceived benefit dan variabel pemanfaatan VCT memiliki hubungan yang lemah. 132 Jurnal Ners dan Kebidanan, Volume 5, Nomor 2, Agustus 2018, hlm. 129–136 Tabel 4 Hubungan Perceived Benefits dengan pemanfaatan VCT oleh LSL di Hotspot Pataya Perceived Benefits (Persepsi Keuntungan) Total (%) Pemeriksaan VCT Ya Tidak f % f % Rendah 13 30 7 54 4 13 Tinggi 30 70 26 87 6 46 Total 43 100 33 77 10 23 Uji Chi Square p = 0,019 koefisen kontingensi (C) = 0,335 Tabel 5 Hubungan Perceived Barierr dengan pemanfaatan VCT oleh LSL di Hotspot Pataya Perceived Barries (Persepsi Hambatan) Total (%) Pemeriksaan VCT Ya Tidak f % f % Rendah 28 65 25 89 3 11 Tinggi 15 35 8 53 7 47 Total 43 100 33 77 10 23 Uji Chi Square p = 0,008 koefisien kontingensi (C) = 0,376 Hubungan perceived barrier dengan pemanfaatan layanan VCT oleh LSL Berdasarakan Tabel 5, Hasil statistik chi square diperoleh p = 0,008 (  0,05) maka H1 diter ima ya ng ber a r ti a da hubunga n a nta r a perceived barrier dengan pemanfaatan layanan VCT oleh LSL. Pada koefisein kontingensi (C) didapatkan 0,376 yang berarti bahwa variabel perceived barrier dan variabel pemanfaatan VCT memiliki hubungan yang lemah. Hubungan cues to action dengan pemanfaatan layanan VCT oleh LSL Berdasarkan tabel 6, hasil statistik chi square diperoleh p = 0,015 (  0,05) maka H1 diterima yang berarti ada hubungan antara cues to action dengan pemanfaatan layanan VCT oleh LSL. Pada koefisein kontingensi (C) didapatkan 0,303 yang berarti bahwa variabel cues to action dan variabel pemanfaatan VCT memiliki hubungan yang lemah. Tabel 6 Hasil Variabel Cuess to Action oleh LSL di Hotspot Pataya Cues to Action (stimulus) Total (%) Pemeriksaan VCT Ya Tidak f % f % Rendah 21 49 19 90 2 10 Tinggi 22 51 14 64 8 36 Total 43 100 33 77 10 23 Uji Chi Square p = 0,037koefisein kontingensi (C) = 0,303 PEMBAHASAN Responden ya ng memiliki perceived susceptibility yang tinggi namun tidak melakukan VCT disebabkan oleh jenis pekerjaan yaitu swasta dan wiraswasta. Berdasar wawancara, responden mengatakan memiliki sedikit waktu sehingga tidak sempat memanfaatkan layanan VCT. Euis (2017) pelayanan VCT dilakukan saat jam kerja puskesmas 133Prawesti, Purwaningsih, Armini, Faktor Pendorong Pemanfaatan Layanan... yaitu pada hari kerja yang terbatas pagi atau sore saja. Sehingga tidak menutup kemugkinan kelompok resiko tinggi merasa kurang nyaman untuk melaku- kan karena bertabrakan dengan jam kerja mereka, sebagian besar responden memiliki pekerjaan yang tetap dan tidak memungkinkan untuk meninggalkan pekerjaannya, informan lebih memilih untuk menun- da VCT. Selain memiliki pekerjaan (swasta dan wiraswasta ), LSL memiliki pekerjaan sampingan sebagai Petugas Lapangan (PL) di LSM GAYa Nusantara dan sebagai relawan kesehatan dipusat layanan kesehatan terkait HIV/AIDS dan memiliki pekerjaan freelance lain yang lebih dipilih, sehingga LSL tidak sempat memikirkan untuk memanfaatkan layanan VCT karena kesibukan pekerjaan mereka. Responden dengan perceived seriousness tinggi memilih tidak memanfaatakan layanan VCT. Faktor yang mempengaruhi yaitu tingkat pendidikan, jarak rumah dengan layanan kesehatan, pekerjaan dan memiliki latar belakang pendidikan terakhir tamat SMP. Anggraeni (2018) faktor pengubah seperti tingkat pendidikan dipercayai mempunyai pengaruh tidak langsung terhadap perilaku dengan cara mempengaruhi persepsi individu seperti persep- si terhadap keseriusan. Individu dengan pendidikan tinggi, cenderung memiliki perhatian yang besar ter- hadap kesehatannya sehingga jika individu tersebut mengalami gangguan kesehatanmaka ia akan segera mencari pelayanan kesehatan. Selain karena faktor pendidikan, jarak rumah dengan tempat pelayanan kesehatan juga dapat mempengaruhi. Responden mengatakan mimiliki jaraka rumah dengan layanan kesehatan >3 km. Terdapat pendukung (enabling factors) untuk mela- kukan perilaku kesehatan salah satunya adalah accessibility of health resouse, dimana seseorang akan melakukan perilaku kesehatan jika terdapat kemudahan dalam mencapai akses tempat pela- yanan kesehatan tersebut. Jarak rumah responden cukup jauh dengan tempat pelayanan kesehatan dibanding dengan responden lainnya membuat responden enggan memanfaatkan layanan VCT, meskipun persepsi keseriusan terhadap HIV/AIDS tinggi, hal tersebut tidak membuat responden tergugah untuk memanfaatkan layanan VCT. Responden dengan perceived seriousness (persepsi keseriusan) rendah memilih melakukan pemanfaatan VCT. Berdasarkan hasil analisis dike- tahui bahwa hal tersebut dipengaruhi oleh tingkat pendidikan, mayoritas responden tamat SMA, se- perti yang sudah dijelaskan, bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka akan mendorong orang tersebut untuk memanfaatkan pelayanan kesehatan termasuk pemeriksaan VCT. Responden memiliki pendidikan terakhir SMP dan persepsi keseriusan yang rendah namun, masih memanfaat- kan layanan VCT hal tersebut dipengaruhi oleh faktor lingkungan LSL berkumpul. Faktor lingkung- an dapat menjadi salah satu faktor yang mendorong responden merasakan persepsi keseriusan sehingga termotivasi untuk memanfaatkan VCT (Purwaning- sih, 2011). Pengetahuan merupakan faktor yang paling dominan berhubungan dengankepatuhan pasien HIV/AIDS. Adanya pengetahuan yang tinggi dari pasien akan mempengaruhi tingkat kepatuhan (Astuti and Mulyaningsih, 2017) Ketika LSL berada di lingkungan orang yang memiliki pengetahuan dan pendidikan yang tinggi dan memiliki pengetahuan yang cukup tentang VCT maka dapat mendorong responden yang berlatar belakang pendidikan rendah namun tetap mau untuk memafaatkan layanan VCT. Persepsi keseriusan yang dirasakan terhadap HIV/AIDS berbeda pada masing-masing individu. Hal tersebut dikarenakan setiap orang memiliki pandangan yang subjektif terkait penyakit HIV/ AIDS. Responden dengan perceived benefits (per- sepsi keuntungan) yang tinggi memililih tidak me- manfaatkan VCT. Faktor hambatan yang mem- pengaruhi adalah pekerjaan yang mayoritas memiliki pekerjaan swasta dan wiraswasta. Pekerja dituntut untuk dapat memberikan waktu, tenaga, dan pikiran dalam mencapai hasil yang diinginkan oleh pekerjaan tersebut (Carmelita et al., 2017). Dengan adanya tuntutan dalam perkerjaan, responden memiliki waktu yang terbatas untuk dapat dengan teratur melakukan VCT. Faktor dukungan yang rendah dari orang sekitar dan media informasi juga ikut ber- pengaruh dalam penelitian ini, meskipun persepsi manfaat dalam memanfaatkan layanan VCT ter- masuk tinggi. Teori model of mediator in health terdapat dau variabel yang berpengaruh yaitu jalur sosio emosional yang meliputi pengetahuan infor- masi yang dapat mempengaruhi perilaku kesehatan Responden dengan persepsi keuntungan rendah memilih memanfaatkan layanan VCT. Berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa hal tersebut dipe- ngaruhi oleh adanya pemeriksaan VCT setelah dila- kukan penyuluhan yang dilakukan oleh petugas kesehatan. Mitikie (2015) faktor pendorong peman- faatan VCT adalah respoden yang merasakan ada- nya manfaat dalam melakukan VCT dan responden 134 Jurnal Ners dan Kebidanan, Volume 5, Nomor 2, Agustus 2018, hlm. 129–136 yang memiliki persepsi yang tinggi. Program VTC dapat memberikan keuntungan bagi klien dengan hasil tes postif maupun tes negatif dengan fokus pemeberian obat ARV, dan dapat membantu me- ngurangi stigma masyarakat, serta dapat memudah- kan akses keberbagai layanan kesehatan maupun layanan psikososial yang dibutuhkan klien (Depkes RI, 2006). Manfaat yang didapat dari layanan VCT dapat digunakan LSL untuk mengatasi masalah kesehatannya, terutama masalah HIV. Responden memiliki perceived barrier (per- sepsi hambatan) rendah namun tidak memanfaatkan layanan VCT. Responden ini tidak memanfaatkan VCT dikarenakan oleh cues to action (stimulus) yang rendah, yaitu tidak ada dukungan dari orang sekitar maupun keluarga serta kurang mendapat informasi. Menurut Friedmand (1988) manyatakan bahwa seseorang akan mencari pelayanan kesehat- an apabila ia mencari nasihat dari keluarga atau teman-temannya. Dengan mendapat anjuran dan dukungan dari orang terdekat dapat merubah peri- laku untuk memnfaatkan layanan VCT. Kurangnya informasi serta saran akan menghabat seseorang melakukan pemanfaatan layanan VCT meskipun memiliki persepsi hambatan yang rendah. Teori HBM memungkinkan seseorang untuk melakukan tindakan pencegahan tergantung secara langsung pada hasil dari dua keyakinan atau penilaian kese- hatan yaitu ancaman yang dirasakan dari sakit dan pertimbangan tentang keuntungan dan kerugian. Rintangan yang ditemukan dalam melakukan tindak- an pencegahan akan mempengaruhi besar kecilnya usaha dari individu tersebut. Bila masalah yang dihadapi dalam tindakan pencegahan penyakit sangat besar maka perspesi untuk melakukan tindakan semakin kecil, namun bila masalah yang dihadapi kecil maka semakin besar bagi individu melaksa- nakan tindakan pencegahan. Responden dengan perceived barrier (persep- si hambatan) yang tinggi, memilih memanfaatkan layanan VCT. Mayoritas respondenmemiliki rumah yang dekat dengan tempat pelayanan kesehatan yaitu berkisar <1 km. Hal ini sejalan dengan pene- litian Murniati (2007) bahwa keterjangkauan terha- dap pelayanan kesehatan mempunyai hubungan terhadap kunjungan ke pusat layanan kesehatan. Sehingga kunjungan masyarakat yang bertempat tinggal lebih dekat dari tempat pelayanan kesehatan lebih bnayak jika dibandingkan dengan masyarakat yang jaraknya jauh. Sulitnya pelayanan kesehatan dicapai secara fisik banyak menuntut pengorbanan sehingga akan menurunkan permintaan. Responden dengan stimulus yang tinggi memilih tidak memanfaatkan layanan VCT karena faktor penghambat yang banyak seperti pekerjaan, jarak dengan akses puskesmas, dan didukung faktor persepsi manfaat yang rendah. Respoden memiliki persepsi manfaat yang rendah karena merasa VCT sangat menyita waktu sedangkan selain itu res- ponden mengatakan saat mendapatkan penyuluhan, responden kurang begitu memahami maksud dari penyuluhan yang dilakukan oleh petugas puskesmas dan pengawas lapangan, hal tersebut dipengaruhi oleh tingkat pendidikan responden yang rendah sehingga merasa informasi yang diberikan kurang memiliki manfaat. Saat melakukan tindakan kese- hatan terdapat faktor pencetus untuk memutuskan menerima atau menolak alternatif tindakan tersebut. Sehingga meskipun stmulus tinggi responden tetap tidak memanfaatkan layanan VCT karena didomi- nasi oleh faktor penghambat. Menurut teori HBM, seseorang akan menerima isyarat untuk bertindak hal ini merupakan pemicu yang membuat orang tersebut merasa perlu untuk mengambil tindakan. Respoden dengan stimulus yang rendah memilih memanfaatkan layanan VCT karena LSL memiliki pengetahuan yang tinggi tentang HIV/AIDS dan mencari sumber informasi tambahan melalui internet terkait layanan VCT lebih cenderung berinisiatif un- tuk memanfaatkan VCT karena merasa memiliki peluang besar terkena HIV/AIDS. Fatmala (2016) Semakin tinggi pendidikan yang dimiliki responden maka akan semakin tinggi pula tingkat pengetahuan terkait VCT, informan yang memiliki tingkat pen- didikan rendah juga mempunyai pengetahuan yang baik mengenai hal- hal yang berkaitan dengan VCT, HIV dan AIDS. Meskipun jarang mengikuti penyu- luhan dan kurang mendapatkan dukungan dari kelompok ataupun informasi dari petugas kesehatan karena terhambat oleh pekerjaan, namun LSL dengan pengetahuan yang tinggi menggali informasi dari internet dan media online lainnya terkait VCT dan cara alternatif untuk mengakses layanan VCT disela-sela kesibukan bekerja, meskipun memilik stimulus yang rendah LSL masih mau memanfaat- kan layanan VCT SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Semua variabel memiliki hubungan dalam pene- litian ini. Tidak semua orang yang memiliki persepsi tinggi mau melakukan pemanfaatan layanan VCT ka r ena va r ia bel perceived susceptibility, 135Prawesti, Purwaningsih, Armini, Faktor Pendorong Pemanfaatan Layanan... perceived seriousness, perceived benefits, perceived barriers dan cues to action dalam pemanfaatan layanan VCT tidak terlepas dari faktor sosiodemografi LSL yang juga dapat memberi pengaruh terhadap persepsi masing-masing individu. Namun Cues to action (isyarat untuk bertin- dak) dipengaruhi sangat dipengaruhi oleh sumber informasi yang didapatkan LSL terkait HIV. Penyu- luhan terkait VCT telah dilakukan petugas VCT dari puskesmas maupun petugas lapangan LSM, namun masih terdapat LSL yang belum memanfaatkan layanan VCT Saran Pengurus LSM GAYa Nusantara diharapkan (1) lebih aktif dalam mengdukasi LSL terkait dengan pemanfaatan layanan VCT baik media online (2) penyuluhan yang dilakukan secara langsung dapat digabungkan dengan layanan mobile VCT melalui kerjasama dengan puskesmas yang memiliki layanan VCT karena saat ini semua layanan terkait VCT telah dibuka. (3) LSL aktif mengikuti penyuluhan dan edukasi yang diberikan pihak puskesmas mau- pun pihak LSM GAYa Nusantara dan mencari infor- masi tambahan dari internet, petugas lapangan (PL) LSM GAYa Nusantara dan teman sekelompok atau orang yang dianggap penting terkait informasi HIV/ AIDS dan layanan VCT sehingga dapat mening- katkan persepsi untuk melakukan pemeriksaan VCT dan menanggulangi perasaan takut. DAFTAR RUJUKAN Abebe, A., & Mitikie G. 2015. Perception of High School Students towards Voluntary HIV Counseling and Testing, using Health Belief Model in Butajira, SNNPR  AIDS, K. 2006. Pelaksanaan akselerasi penanggu- langan HIV/AIDS di 100 kabupaten /Kota. Jakarta. Anggraeni, R. F., Riono, P. and Farid, M. N. 2018 ‘Pengaruh Tahu status HIV terhadap Penggunaan Kondom Konsisten Pada Lelaki yang Seks dengan Lelaki di Yogyakarta dan Makasar (Analisis Data Serveilans Terpadu Biologi dan Perilaku Tahun 2013)’, 3(1), pp. 7–15. Astuti, D. and Mulyaningsih, M. 2017. ‘Nurse Role As Educator Affected the Compliance of Antiretroviral (ARV) Consumption For Patients with HIV/AIDS in the VCT Clinic of Dr. Moewardi Hospital’, Jurnal Ne rs dan Kebidanan (J ournal of Ners and Midwifery), 3(3), p. 183. doi: 10.26699/jnk.v3i3. ART.p183-188. BKKBN. 2006. ‘Buku Saku Bagi Petugas Lapangan Program KB Nasional materi Konseling’. Carmelita, P. D. et al. 2017. ‘Analisis Faktor- Faktor yang berhubungan dengan Praktik Skrining IMS oleh Lelaki Seks Lelaki (LSL) sebagai Upaya Pencegahan Penularan HIV (Studi Kasus pada Semarang Gaya Community)’, 5, pp. 486–495. David, H. W. 2017. Fundamental of HIV Medecine. USA: Oxford University Press. Fatmala, R. D. 2016. ‘Faktor Predisposing, Enabling dan Reinforcing dalam Pemanfaatan VCT oleh Laki- Laki Seks dengan Laki- Laki’, September 2016, pp. 138– 150. doi: 10.20473/jbe.v4i1.138-150. Frankenfield, K. M. 2009. ‘Health belief model of breast cancer screening for female college students’, p. 25. Available at: http://commons.emich.edu/cgi/ viewcontent. cgi?article=1257&context=theses. Glanz, K. R. and B.K Viswanath K .2008. Health Behavior and Health education/: Therory, Research and Practice. United Satates of America: Jossey-Bass. Glanz, K. R., Rimer, B. K. and K, V. 2008. Health Behaviour and Health Education. America. Ichasantiarini, A.P & Pringgodiggo N. 2013. Hubungan Diabetes Melitus Tipe 2 dengan Tekanan Darah pada Pasien Hipertensi Rumah Sakit DR.Cipto Mangunkusumo.Skripsi Joseph.T.F, L. et al. 2013. ‘Prevalence and Associated Factors of Intention to Participate in HIV Voluntary Counseling and Testing for the first Time Among Men Who Have Sex With Men iin Hongkong, China’, Preventive Medicine. Elsevier Inc., 57(6), pp. 813–818. doi: 10.1016/j.ypmed.2013.09.005. Kemenkes RI.2012. ‘Profil Kesehatan Indonesia 2012. Jakarta:Kemenkes. Kemenkes RI.2014. ‘Profil Kesehatan Indonesia 2014’. Jakarta: Kemenkes. Kemenkes RI. 2017. ‘Laporan Perkembangan HIV- AIDS & infeksi Penyakit Menular Seksual (IMS) Triwulan I’. Komisi Penangggulangan AIDS Nasional. 2009. ‘Situasi HIV dan AIDS di Indonesia’. Murniati. 2007. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Pemanfaatan Pelayanan Antenatal Oleh Ibu Hamil Di Kabupaten Aceh Tenggara. Tesis. Medan: Universitas Sumatera Utara. http:// repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/6760/1/ 057012021.pdf. Diakses pada tanggal 26 Maret 2018 pukul 16:02 WIB. Nasional, K. penanggulangan A. 2009. HIV dan Sekilah Pandang. Jakarta. Purwaningsih, Misutarno and Imamah, S. N. 2011. ‘Analisis Faktor Pemanfaatan VCT pada Orang Risiko Tinggi HIV/ AIDS’ Teti, Euis, H. M. 2017. ‘Analisis pemanfaatan Voluntary Counseling and Testing Berdasarkan Pendekatan Teori Health Beliefe Model pada Lelaki Suka Lelaki dan Waria di Kabupaten Ciamis’, Jurnal Mitra Ke ncana/: Keperawatan dan Kebi danan, 1 (November), pp. 1–10. 136 Jurnal Ners dan Kebidanan, Volume 5, Nomor 2, Agustus 2018, hlm. 129–136 Umariyah, F. S. N. and Ayu, W. 2017. ‘Kepatuhan Homoseksual (Gay) dalam Pemeriksaan VCT di Psukesmas Halmahera Kota Semarang Tahun 2017’. Vidiyanti, P. D. 2015. ‘Teenage Knowledge and Attitude to Prevent HIV/AIDS’, Jurnal Ners dan Kebidanan (Journal of Ners and Midwifery), 2(1), pp. 060– 066. doi: 10.26699/jnk.v2i1.ART.p060-066.