121Fuadah, Hidayati, Fitriyah, Intervensi Dukungan... 121 JNK JURNAL NERS DAN KEBIDANAN http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk Intervensi Dukungan Kelompok Sebaya terhadap Kemampuan Menyelesaikan Masalah pada Remaja Dina Zakiyyatul Fuadah1, Ratna Hidayati2, Aida Fitriyah3 1,2,3Prodi S-1 Keperawatan, STIKes Karya Husada Kediri, Indonesia Info Artikel Sejarah Artikel: Diterima, 02/09/2018 Disetujui, 20/03/2019 Dipublikasi, 01/08/2019 Kata Kunci: Dukungan Kelompok Sebaya, Ke- mampuan Menyelesaikan Masalah, Remaja. Abstrak Masalah remaja cenderung sulit untuk diatasi oleh remaja sendiri, hal ini terjadi karena remaja belum terbiasa menyelesaikan masalahnya sendiri tanpa meminta bantuan orang lain. Ketika remaja dapat menghadapi masalah tersebut dengan baik, maka akan menjadi modal dasar dalam menghadapi masalah selanjutnya sampai dewasa. Kemampuan remaja dalam menghadapi masalah inilah disebut dengan Adversity Quotient. Salah satu faktor pembentuk kemampuan menyelesaikan masalah (Adversity Quotient) yakni motivasi melalui kelompok sebaya (peer group). Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh peer support group therapy terhadap Adversity Quotient pada remaja usia menengah. Desain penelitian adalah pre experi- ment design dengan pendekatan one-group pre-post test design dengan populasi sebanyak 488 remaja usia menengah, dan jumlah sampel yang dijadikan penelitian sebanyak 32 siswa yang dipilih dengan teknik simple random sampling. Analisis statistik menggunakan uji Wilcoxon dengan =0,05. Pada pretest sebesar 46,9% memiliki Adversity Quotient tingkatan moderate dan 50% pada parameter origin and ownership masuk dalam tingkatan moderate high. Pada posttest sebesar 56,2% memiliki Adversity Quotient tingkatan moderate high dan 62,5% pada parameter control, origin and ownership masuk dalam tingkatan moderate high. Hasil uji wilcoxon (=0,000<=0,05) menunjukkan bahwa peer support group therapy berpengaruh terhadap parameter dan tingkatan Adversity Quotient pada remaja menengah. Tiga pendekatan dasar ekspresi perasaan, dukungan sosial, dan keterampilan kognitif yang dapat memberikan dorongan untuk mem- pelajari keterampilan koping dan merubah perilaku kearah yang konstruktif. Remaja dapat melakukan dukungan kelompok sebaya untuk memberikan dukungan agar dapat meningkatkan kemampuan beradaptasi terhadap situasi kehidupan, dan mengajarkan keterampilan penyelesaian masalah. ©2019Jurnal Ners dan Kebidanan Correspondence Address: STIKes Karya Husada Kediri – East Java, Indonesia P-ISSN : 2355-052X Email: dinazakiyya@gmail.com E-ISSN : 2548-3811 DOI: 10.26699/jnk.v6i2.p121-126 This is an Open Access article under the CC BY-SA license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ 122 Jurnal Ners dan Kebidanan, Volume 6, Nomor 2, Agustus 2019, hlm. 121–126 Abstract Most of problem faced by adolescents is difficult to overcome by teenagers themselves, this happens because teenagers cannot be solved with the help of others. When adolescents can deal with the problem well, it will become the basis for facing further problems into adulthood. Adolescent ability in this problem is called Adversity Quotient. One of the factors that form the ability to solve the problem (Adversity Quotient) is the motivation through peer group. This study aims to analyze the effect of peer support group therapy on Adversity Quotient in middle age teenagers. The research de- sign was pre experiment with sample of 32 students selected by simple random. Statistical analysis using Wilcoxon test with  = 0,05. At pre test of 46.9% have moderate level Adversity Quotient and 50% on origin and ownership parameters enter in moderate high level. At post test 56,2% have Adversity Quotient of moderate high level and 62,5% on control parameter, origin and ownership enter in moderate high level. Wilcoxon test result ( = 0,000 < = 0,05) indicated that peer support group therapy influenced parameter and level of Adversity Quotient in middle adoles- cent. Three basic approaches to the expression of feelings, social support, and cognitive skills that can provide the impetus to learn coping skills and change behaviors towards the constructive. Teens can do peer support to provide support in order to improve adaptability to life situations, and teach problem-solving skills. Peer Support Interventions for Ability to Adversity Quotient in Adolescents Article Information History Article: Received, 02/09/2018 Accepted, 20/03/2019 Published, 01/08/2019 Keywords: Peer Support Group Therapy, Ad- versity Quotient, Adolescence. 123Fuadah, Hidayati, Fitriyah, Intervensi Dukungan... PENDAHULUAN Remaja adalah masa transisi yang menghu- bungkan masa kanak-kanak dan masa dewasa (Santrock, 2013). Menurut Hurlock (2003) remaja merupakan masa bermasalah. Isu-isu yang menjadi masalah bagi remaja adalah citra tubuh, identitas, kemandirian, peran sosial dan perilaku seksual (Stuart, 2016). Masalah remaja cenderung sulit untuk diatasi oleh remaja sendiri. Hal ini terjadi karena remaja belum terbiasa menyelesaikan masalahnya sendiri tanpa meminta bantuan orang lain. Akibat- nya, terkadang terjadi penyelesaian yang tidak sesuai dengan yang diharapkan. Ketika remaja dapat menghadapi masalah tersebut dengan baik, maka akan menjadi modal dasar dalam menghadapi masa- lah selanjutnya sampai dewasa. Kemampuan rema- ja dalam menghadapi masalah inilah yang menurut Stoltz (dalam Rahmawati, 2007) disebut dengan Adversity Quotient (AQ). Menurut Stoltz (dalam Dhanita & Hidayat, 2015) Adversity Quotient merupakan kemampuan seseorang dalam menghadapi sebuah kesulitan atau hambatan sehingga ia mampu keluar dari kesulitan atau hambatan tersebut menjadi sebuah keberha- silan. Stoltz (dalam Wardiana., Wiarta., Zulaikha, 2014) mengemukakan bahwa konsep Adversity Quotient membagi manusia dalam tiga kelompok yakni quitter, camper, dan climber. Adversity Quotient kategori quitters (orang yang menyerah) yakni orang-orang yang cenderung menolak per- ubahan, orang yang menyerah dan mudah putus asa dalam menghadapi suatu persoalan yang ditemui- nya . Ber beda denga n remaja ya ng memiliki Adversity Quotient kategori campers yakni orang yang sudah berusaha namun karena ada suatu fak- tor membuat orang tersebut menjadi menyerah dan kalah atas suatu tantangan. Sedangkan remaja yang memiliki Adversity Quotient kategori climbers yakni orang yang mendedikasikan diri untuk terus menda- ki, selalu memikirkan kemungkinan-kemungkinan dan berusaha menempuh kesulitan-kesulitan hidup dengan keberanian dan penuh disiplin. Remaja dengan Adversity Quotient yang ter- golong quitter dan camper sangat mempengaruhi banyak fenomena seperti merokok, narkoba, tawur- an antar remaja, dan tindakan nekat bunuh diri yang sangat mengkhawatirkan, karena pengalihannya dalam menyelesaikan masalah yang tertuju pada tindakan negatif. Remaja pria yang berusia 15 sam- pai dengan 19 tahun berisiko melakukan bunuh diri 5 kali lipat lebih banyak dari remaja perempuan. Namun, remaja perempuan berisiko melakukan per- cobaan bunuh diri 2 sampai 3 kali lebih sering dari pada remaja pria (Stuart, 2016). Kebanyakan bunuh diri dilakukan remaja karena pengaruh obat-obatan, penggunaan alkohol, kematian anggota keluarga, bermasalah di sekolah, terlibat masalah hukum dan putusnya hubungan yang membuat putus asa, memi- liki pemikiran pesimis, tidak bisa berpikir adanya upaya alternatif menyelesaikan masalah (Ash, 2008 dalam Stuart, 2016). Data dari Badan Narkotika Nasional (BNN) yang ditulis oleh Kunsriharni, 2015 dalam artikel di Brebes News online, diantara 4 juta pengguna narkoba di Indonesia 150 ribu pecandunya masih dalam usia remaja. Pada kasus remaja lainnya yakni tawuran, remaja sebagai pelaku tawuran mengalami kenaikan dari 46 kasus di 2014 menjadi 103 kasus di 2015. Dari data Global Youth Tobacco Survey (GYTS)kasus merokok pada remaja yang ditulis oleh Maharani, 2016 dalam artikel di Kompas online menunjukkan prevalensi perokok anak usia 13-15 tahun di Indonesia mencapai 20,3%. Hasil riset yang dilakukan oleh Koalisi Untuk Indonesia Sehat (KUIS) terhadap 3.040 remaja di Jakarta yang menghasilkan temuan bahwa perilaku merokok dengan motif meringankan ketegangan dan stres menempati urutan tertinggi, yakni 54,59%. Berdasarkan studi pendahuluan pada 23 siswa ter da pa t da ta ya kni siswa denga n kategori moderately low 26,1%; siswa kategori moderately 47,8%; siswa kategori moderately high 26,1%. Terdapat data yang berbeda dalam studi pendahuluan dari peneliti pada hari Kamis, 17 November 2016 di SMA Muhammadiyah 1 Pare di kelas X (sepuluh) yang terdiri dari 28 siswa yaitu siswa dengan kate- gori low 7,1%; siswa dengan kategori moderately low 35,7%; siswa kategori moderately 53,6%; siswa kategori moderatelyhigh 3,6%.Dari data di atas dapat diketahui bahwa remaja menengah khu- susnya Kelas X di SMA Muhammadiyah 1 Pare dan kelas XI (sebelas) IPA diSMA Negeri 1 Pare memiliki Adversity Quotient yang sedang dengan kecenderungan rendah berupa kurang mampu mengendalikan respon terhadap situasi, kurang memiliki kemampuan dalam membatasi masalah agar tidak menjangkau bidang-bidang lain dalam kehidupan, kurang memiliki harapan dan sikap optimis dalam mengatasi kesulitan atau tantangan yang sedang dihadapi. Dengan rendahnya kemam- puan mengendalikan respon terhadap situasi sehing- ga sangat mungkin mengembangkan perilaku buruk 124 Jurnal Ners dan Kebidanan, Volume 6, Nomor 2, Agustus 2019, hlm. 121–126 sebagai suatu cara untuk mengatasi masalah yang mereka hadapi yang akan menjadi modal buruk dalam menghadapi masalah selanjutnya sampai dewasa. Ada berbagai macam cara untuk meningkatkan Adversity Quotient karena Adversity Quotient termasuk kecerdasan yang bersifat tidak permanen. Salah satu cara yang bisa dilakukan adalah dengan memperkuat faktor-faktor pembentuk Adversity Quotient. Menurut penelitianyangdilakukan oleh Pangma,Tayraukham dan Nuangchalerm (dalam Putra., Hidayati., Nurhidayah, 2016) didapatkan bahwa faktor yang paling mempengaruhi Adversity Quotientsi swaremaja adalah motivasi. Motivasi dengan dukungan (support) dapat diberikan melalui interaksi dengan kelompok sebaya (peer group) yang sesuai dengan salah satu ciri-ciri remaja adalah senang berinteraksi dengan kelompok sebaya. Didukung juga oleh Hoag dan Burlingame (dalam Swasti., Helena., Pujasari, 2013) yang menyatakan bahwa jenis terapi yang paling efektif untuk dilakukan di lingkungan sekolah yakni terapi kelompok. Terapi kelompok yang dapat dilakukan di sekolah salah satunya yakni peer support group therapy. Peer support group sebagai dukungan sosial emosional, dukungan instrumental, dan saling ber- bagi dalam kondisi apapun untuk membawa peru- bahan sosial atau pribadi yang diinginkan (dalam Solomon, 2004 dalam Ekasari., Andriyani, 2013). Salmivalli mengemukakan peer support adalah kegiatan dimana terdapat dukungan dari teman sebaya yang dibangun dengan alasan teman-teman secara spontan membantu satu sama lain. Peer support grouptherapy memungkinkan terjadi interaksi dan dinamika dalam kelompok yang diha- rapkan membantu untuk lebih terbuka. Support therapy ini dilakukan dengan menggunakan tiga pendekatan dasar: ekspresi perasaan, dukungan sosial, dan keterampilan kognitif. Menurut Spiegel (dalam Swasti., Helena., Pujasari, 2013) melalui kebebasan mengekspresikan perasaan, seseorang menjadi lebih terbuka mempelajari keterampilan koping yang baru. Hal ini akan meningkatkan kemampuan seseorang beradaptasi terhadap situasi kehidupan, membangun kekuatan ego, dan meng- a jar ka n keter a mpila n penyelesa ian ma sala h (McCallum dalam Swasti., Helena., Pujasari, 2013). Melalui peer support group therapy, remaja mera- sakan adanya kesamaan satu dengan lainnya seperti di bidang usia, kebutuhan dan tujuan yang dapat memperkuat diri dan remaja memiliki kecen- derungan untuk lebih mudah menerima informasi dan mengikuti masukan yang diberikan oleh teman seusianya (Swasti., Helena., Pujasari, 2013). Berdasarkan dari data-data yang telah diurai- kan diatas, peneliti merasa penting untuk meningkat- kan Adversity Quotient dan tertarik untuk melaku- ka n penelitia n mengena i penga r uh peer supportgroup therapy ter ha da p kema mpua n menyelesaikan masalah (Adversity Quotient) pada remaja menengah (usia 14-16 tahun) di SMA Muhammadiyah 1 Pare dan di SMA Negeri 1 Pare. Tujuan penelitian ini untuk menganalisis pengaruh peer support group therapy terhadap kemampuan menyelesaikan masalah (Adversity Quotient) pada remaja menengah (usia 14-16 tahun) di sekolah menengah pertama Pare, Kediri. BAHAN DAN METODE Desain penelitian yang digunakan dalam adalah pre experiment design dengan pendekatan one- group pre-post test design. Populasi pada peneli- tian ini adalah remaja kelas X dan XI SMA Muham- madiyah 1 Pare yang berjumlah 68 siswa dan remaja kelas X dan XI SMA Negeri 1 Pare yang berjumlah 420 siswa. Besar sampel pada penelitian ini sejumlah 32 siswa yang terbagi di SMA Muham- madiyah 1 Pare sejumlah 16 siswa dan di SMA Negeri 1 Pare sejumlah 16 siswa. Sampel dalam penelitian ini menggunakan teknik probability sampling dengan jenis teknik simple random sampling. Instrumen yang digu- nakan pada penelitian ini adalah Adversity Respon Profile (Stoltz, 1997 dalam Hermaya, 2004) yang suda h dimodifika si dengan disesuika n tugas perkembangan remaja untuk mengetahui kategori Adversity Quotient dengan menggunakan lembar kuesioner. Tehnik Pengumpulan Data Penelitian dimulai dari proses pengajuan ijin penelitian. Melakukan pengajuan ijin kepada Ketua Prodi S1 Keperawatan STIKES Karya Husada Kediri. Melakukan pengajuan ijin kepada Kepala sekolah SMA Muhammadiyah 1 Pare dan di SMA Negeri 1 Pare. Mengidentifikasi subjek dengan meminta data populasi di tempat penelitian. Mela- kukan informed consent kepada calon responden dan menerangkan maksud, tujuan, dan prosedur penelitian. Melakukan pengukuran kemampuan menyelesaikan masalah (Adversity Quotient) (pre 125Fuadah, Hidayati, Fitriyah, Intervensi Dukungan... test). Mengidentifikasi siswa remaja yang sesuai dengan kriteria inklusi sebanyak 40 siswa remaja yang terdiri dari remaja menengah (usia 14-16 tahun) di SMA Muhammadiyah 1 Pare sejumlah 20 siswa dan di SMA Negeri 1 Pare sejumlah 20 siswa. Meminta persetujuan kepada remaja yang bersedia menjadi responden. Memberikan perlakuan peer support group therapy yang terdiri dari 4 sesi kepada 4 kelompok yang terdiri dari 10 anggota setiap kelompoknya. Di SMA Muhammadiyah 1 Pare pada tanggal 23 Februari 2017 – 2 Maret 2017. Dan di SMA Negeri 1 Pare pada tanggal 2 Maret 2017 – 9 Maret 2017. Melakukan pengukuran kemampuan menyelesaikan masalah (Adversity Quotient) (post test). Di SMA Muhammadiyah 1 Pare pada tanggal 16 Maret 2017. Dan di SMA Negeri 1 Pare pada tanggal 23 Maret 2017. Melaku- kan pengolahan data yang meliputi editing, coding, scoring, tabulating, dan analisa data. HASIL PENELITIAN uji Wilcoxon Signed Ranks didapatkanhasil ­p- value­sebesar 0.000 (kurang dari 0.05) maka H1 diterima sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat pengaruh peer supportgroup therapy (pre-post) terhadap Adversity Quotient pada remaja mene- ngah (usia 14-16 tahun) di SMA Muhammadiyah 1 Pare dan di SMA Negeri 1 Pare. PEMBAHASAN Berdasarkan hasil pre-test Adversity Quotient sebelum diberikan intervensi peer support group dan dilihat dari hasil post-testAdversity Quotient setelah diberikan intervensi peer support group therapy bahwa sebagian besar responden menga- la mi peningka ta n da la m ka tegor i Adversity Quotient. Hasil penelitian dapat menjawab hipotesis penelitian bahwa dukungan (support) yang diberi- kan melalui interaksi kelompok sebaya (peer group) dengan menggunakan tiga pendekatan dasar: ekspresi perasaan, dukungan sosial, dan keteram- pilan kognitif dapat meningkatkan kemampuan dalam menyelesaikan masalah. Pada penelitian ini dilakukan pada remaja menengah (usia 14-16 tahun) yang menurut Piaget (dalam Fitria, 2014) mulai usia 11 tahun memasuki tahap pemikiran operasional formal yang bersifat lebih abstrak, idealis, dan logis (menyusun rencana- rencana untuk memecahkan masalah-masalah dan menguji secara sistematis pemecahan-pemecahan masalah). Remaja secara aktif membangun dunia kognitif, dimana informasi yang didapatkan tidak langsung diterima begitu saja ke dalam skema kog- nitifnya. Remaja telah mampu membedakan antara hal-hal atau ide-ide yang lebih penting dibanding ide lainnya, lalu remaja juga mengembangkan ide-ide tersebut. Pada penelitian ini remaja menceritakan penga- lamannya dalam permasalahan tugas perkembangan remaja, memberikan respon terhadap peristiwa yang dialami serta masalah-masalah yang dihadapinya. Ekspresi perasaan dengan bercerita dapat menja- dikan anggota kelompok merasa tidak mengalami masalah yang dihadapinya sendiri.Sesuai dengan yang dijelaskan oleh Spiegel (dalam Swasti., Helena., Pujasari, 2013) bahwa dukungan sosial dan ekspresi perasaan memberikan dorongan emosi yang kuat bagi anggota kelompok dan mengembangkan sum- ber pendukung yang baru bagi mereka. Selain faktor ekspresi perasaan, terdapat faktor umpan balik yang didapat dari anggota kelompok yang lain membuat sadar akan perilaku mal adaptif Adversity Quotient Pre Post f % f % Low 0 0 0 0 Moderate Low 4 12,5 0 0 Moderate 15 46,9 7 21,9 Moderate High 13 40,9 18 56,2 High 0 0 7 21,9 = 0.05 = 0.000 Tabel 1 Adversity Quotient Pada Remaja Menengah (Usia 14-16 Tahun) Di SMA Muhammadiyah 1 Pare Dan Di SMA Negeri 1 Pare Sebelum dan Setelah Diberikan Peer Support Group Therapy Berdasarkan Tabel diketahui ada perbedaan Adversity Quotient pada remaja menengah (usia 14-16 tahun) di SMA Muhammadiyah 1 Pare dan di SMA Negeri 1 Pare sebelum dan setelah diberi- kan peer supportgroup therapy, yakni sebelum intervensi responden termasuk kategori Adversity Quotient moderate yaitu sebanyak 46,9% respon- den. Sementara sesudah intervensi responden termasuk kategori Adversity Quotient moderatehigh yaitu sebanyak 56,2% responden.Untuk mengetahui ada pengaruhpeer supportgroup therapy(pre- post) terhadap Adversity Quotient pada remaja menengah (usia 14-16 tahun) di SMA Muhamma- diyah 1 Pare dan di SMA Negeri 1 Pare, dilakukan 126 Jurnal Ners dan Kebidanan, Volume 6, Nomor 2, Agustus 2019, hlm. 121–126 yang selama ini dilakukan dan merubah pandangan serta perilaku ke arah yang konstruktif. Hal ini juga sesuai dengan teori belajar behavioristik yang menje- laskan bahwa perilaku terbentuk melalui perkaitan antara stimulus dan respon, dimana perubahan peri- laku lebih banyak dipengaruhi oleh faktor ling- kungan. Lingkungan dalam peer support group therapy adalah seluruh anggota kelompok pada usia remaja menengah dan terapis yang terlibat di dalam- nya. Menurut Erickson usia remaja pada tahap perkembangan psikologis memasuki tahap kelima yakni pencarian identitas. Di dalam tahap ini apabila remaja dalam mencari jati dirinya bergaul dengan lingkungan yang baik maka akan tercipta identitas yang baik pula. Sedangkan dalam teori pembelajaran sosial kognitif menjelaskan bahwa pembelajaran terjadi karena adanya pengaruh lingkungan sosial, dimana individu akan mengamati perilaku lingkung- annya sebagai model yang kemudian ditiru sehingga menjadi perilaku yang dimilikinya (Surya, dalam Swasti., Helena., Pujasari, 2013). Diperkuat oleh Stoltz (dalam Khoirotunnisa, 2015) bahwa salah satu fa ktor pembentuk Adversity Quotient a da la h belajar. KESIMPULAN Intervensi Peer support group therapy ber- penga ruh ter ha dap par a meter dan tingka ta n Adversity Quotient pada remaja menengah (usia 14-16 tahun). Sebagian besar responden memiliki Adversity Quotient tingkatan moderate high dan sebagian besar responden pada parameter control dan origin and ownership masuk dalam tingkatan moderate high. SARAN Peningkatan kemampuan menyelesaikan masa- lah dapat dimulai dari faktor eksternal yaitu ling- kungan yang kondusif bagi remaja. Peran sekolah sangat penting dalam masa-masa remaja sehingga diharapkan Bimbingan Konseling (BK) di sekolah dapat menjadikan peer support group dalam kon- sultasi untuk dapat memberikan dukungan antar sesama remaja agar dapat mencegah menyelesaikan masalah dengan perilaku maladaptif dan merubah pandangan serta perilaku ke arah yang konstruktif. DAFTAR PUSTAKA Dhanita, Lisa., Hidayat, Ahmad. (2015). Gambaran Adversity Quotient pada Wirausahawan Melayu di Bidang Kuliner. An – Nafs, Vol. 09, No. 03, Th 2015. ISSN 1907 – 3305. Ekasari, Agustina., Andriyani, Zesi. (2013). Pengaruh Peer Group Support dan Self-Esteem Terhadap Resilience Pada Siswa SMAN Tambun Utara Bekasi. Jurnal Soul, Vol.6, No.1, Maret 2103. Fitria, Ika Anisa. (2014). Konsep Diri Remaja Putri Dalam Menghadapi Menarche. Skripsi. Program Studi Psikologi Jurusan Ilmu Sosial Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi Universitas Islam Negeri Sunan Ampel. Putra, Randi Gentamandika., Hidayati, Nur Oktavia., Nurhidayah, Ikeu. 2016. Hubungan Motivasi Berprestasi Dengan Adversity Quotient Warga Binaan Remaja Di LPKA Kelas II Sukamiskin B andung. Jur n al Pen di di ka n Keper a wat a n Indonesia, Vol.2 No.1 Juli 2016. Rahmawati, Theresia Aprilia. (2007). Studi Deskriptif Mengenai Adversity Quotient Pada Siswa SMA Kelas XI. Skripsi. Program Studi Psikologi Jurusan Psikologi Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Santrock, J W. (2007). Remaja Edisi 11 Jilid 2. Penerjemah: Benedictine Widyasinta. Jakarta: Erlangga. Santrock, J W. (2013). Adolescence (Perkembangan Remaja). The University of at Dallas: Times Mirror Higher Education. Stoltz, Paul G. (1997). Adversity Quotient Mengubah Hambatan Menjadi Peluang. Hermaya, T. 2004. Jakarta: PT Grasindo. Stuart, G.W., and Laraia .(2005).Principles And Practice of Psychiatric Nursing. (7thed).St. Louis: Mosby Year Book Stuart, Gail W. (2013). Prinsip dan Praktik Keperawatan Jiwa Stuart. Keliat, Budi Anna., Pasaribu, Jesika. (2016). Elsevier. Swasti, Keksi Girinda., Helena, Novy., Pujasari, Hening. (2013). Penurunan Ansietas Dalam Menghadapi Ujian Nasional Pada Siswa Kelas XII SMAN X Mel alui Pemberi an Terapi Suport if. Jurn al Keperawatan Soedirman, Vol.8, No.2, Juli 2013.