* ) Praktisi Ners, ** ) STIKes Patria Husada Blitar 8 (The Correlation Between Parenting and Emotional Intelligence Of School Age Children) Arista Rachmawati *) , Thatit Nurmawati **) STIKes Patria Husada Blitar e-mail: dhyas_tha@yahoo.com ABSTRACT Introduction: Parenting is an interaction between the child’s parents and the parents include educating, guiding, disciplining and protecting children. Chilren who reach school age children will learn the the principles and rules. The ability to control emotions depending on the level of intelligence emosinalnya includes recognizing, understanding, controlling and using emotion. The purpose of of this study was to determine the correlation between parenting parents with emotional intelligence in children of school age ( 7-12 years). Method: Research design was analytic with cross sectional approach. Research sample was 97 in primary school of Sambigede 03 Blitar on May 14 th , 2012,its choosed with total sampling. Data collected by questionnaire. Analysis using Spearmen Rank test, with p≤0.0. Result: The result showed that association between parenting with emotional intelligence in children of school age (7-12) years, with a = 0.000 and correlation coefficient of 0.633. Discussion: Parents with an authoritative parenting have good emotional intelligence children . Keywords : parenting, emotional intelligence , school-age children PENDAHULUAN Keluarga sebagai kelompok masyarakat terkecil terbentuk oleh ikatan dua orang dewasa berlainan jenis kelamin, wanita dan pria serta anak-anak yang mereka lahirkan (Poerwadarminta, 1988). Keluarga merupakan lembaga pertama dalam kehidupan anak, tempat anak belajar dan menyatakan diri sebagai makhluk sosial. Dalam keluarga umumnya anak berhubungan erat dengan anggota keluarga yang lain. Fungsi keluarga memberikan dasar pembentukan tingkah laku, watak, moral, dan pendidikan anak (Kartono, 1992). Dalam sebuah keluarga orang tua berperan sebagai pendidik. Peran orang tua menjadi faktor terpenting dalam menanamkan dasar kepribadian tersebut dan turut menentukan corak serta gambaran kepribadian seseorang setelah dewasa. Jika anak itu dibiasakan dan diajari berbuat baik maka anak itu akan hidup berbahagia di dunia dan akhirat. Orang tua kadang cenderung mencampurkan pola asuh satu dengan pola asuh yang lain, sehingga anak menjadi binggung dengan pola yang diterapkan orang tua. Pola asuh orang tua merupakan interaksi antara anak dan orang tua selama mengadakan kegiatan pengasuhan meliputi orang tua mendidik, membimbing, dan mendisiplinkan serta melindungi anak untuk mencapai kedewasaan sesuai dengan norma-norma yang ada dalam masyarakat (Hurlock, 2002). Baumrind (1971), dalam buku perkembangan anak, mengemukakan empat macam pola asuh yang dilakukan orang tua dalam keluarga, yaitu: 1). Autokratis/ototarian (otoriter): Ditandai dengan adanya aturan-aturan yang kaku dari orang tua dan kebebasan anak sangat di batasi. Gaya ini biasanya mengakibatkan perilaku anak yang tidak bisa bersaing secara sosial. 2). Demokratis/otoritatif: Ditandai dengan adanya sikap terbuka antara orang tua HUBUNGAN POLA ASUH DENGAN KECERDASAN EMOSIONAL ANAK USIA SEKOLAH Jurnal Ners dan Kebidanan, Volume 1, No. 1, Maret 2014 DOI: 10.26699/jnk.v1i1.ART.p007-012 mailto:dhyas_tha@yahoo.com IT Typewritten text © 2014 Jurnal Ners dan Kebidanan IT Typewritten text This is an Open Access article under the CC BY-SA license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ Arista Rahmawati, Thatit Nurmawati Jurnal Ners dan Kebidanan, Volume 1, No. 1, Maret 2014 9 dan anak. Anak yang memiliki orang tua otoritatif sering kali ceria, bisa mengendalikan diri dan mandiri, dan berorientasi pada prestasi. Gaya ini biasanya mengakibatkan perilaku anak yang bisa bersaing secara sosial. 3). Permisif: Ditandai dengan adanya kebebasan tanpa batas pada anak untuk berprilaku sesuai dengan keinginannya sendiri. Hasilnya, anak tidak pernah belajar mengendalikan perilakunya sendiri dan selalu berharap mendapatkan keinginannya. Gaya pengasuhan ini biasanya mengakibatkan inkompetensi sosial anak, terutama kurangnya pengendalian diri. 4). Laissez faire: Ditandai dengan sikap acuh tak acuh orang tua terhadap anaknya. Anak – anak ini cenderung tidak memiliki kemampuan sosial. Gaya ini biasanya mengakibatkan inkompetensi sosial anak, terutama kurangnya pengendalian diri. Anak adalah individu yang dilahirkan dari pasangan suami istri (Poerwadarminta, 1988). Anak merupakan individu yang berada dalam satu rentang perubahan perkembangan yang dimulai dari bayi hingga remaja (Gustian, 2001). Anak dikatakan masa sekolah atau masa pra pubertas apabila wanita: 6–10 tahun, laki–laki : 8–12 tahun (Tanuwijaya, 2002). Pada usia anak 5 sampai 12 tahun anak mempelajari kaidah dan aturan yang mengendalikan suatu pekerjaan. Bahkan anak usia lima tahun anak mulai mampu menjaga rahasia. Ini adalah ketrampilan yang menuntut kemampuan menyembunyikan informasi-informasi secara terarah. Jika fase ini dilalui secara alamiah dan sehat, saat anak mencapai usia enam tahun akan memiliki keterikatan yang baik dengan kedua orang tuanya dan dalam batas – batas tertentu akan terhindar dari ketakutan dan goncangan. Ia akan memahami dengan baik emosi dan perasaannya serta mampu mengungkapkan dengan bahasa yang tepat. Pada usia 7 sampai 8 tahun anak akan lebih bersinggungan dengan gagasan dan emosi. Dari sinilah kita dapat mengetahui bahwa kecerdasan emosional pertama kali dibentuk dan dimulai. Pada usia 9 sampai 10 tahun anak akan lebih emosional dan agresi (Mubayidh, 2006). Kecerdasan emosional sebagai serangkaian kemampuan pribadi, emosi dan sosial yang mempengaruhi kemampuan seseorang untuk berhasil dalam mengatasi tuntutan dan tekanan lingkungan (Goleman, 2000). Suasana emosional di dalam rumah, dapat merangsang perkembangan otak anak yang sedang tumbuh dan mengembangkan kemampuan mentalnya. Berdasarkan hasil penelitian Yusniyah (2008), tentang hubungan pola asuh orang tua dengan prestasi belajar, menunjukkan ada hubungan yang positif dan signifikansi antara pola asuh dengan prestasi belajar. Selain itu hasil penelitian Marina dan Sarwono (2007), menunjukkan bahwa ada hubungan antara kegiatan orang tua mendongeng sebagai pola asuh katagori otoritatif/demokratis) dengan kecerdasan emosional. Bahkan ada hasil penelitian menunjukkan ada hubungan yang bermakna antara pola asuh dengan kecerdasan emosional pada anak usia prasekolah (3–5 tahun). Tidak seperti anak usia pra sekolah yang cenderung mengekpresikan emosinya secara spontan, anak usia sekolah sudah mulai dapat mengendalikan emosinya. Anak usia sekolah telah mengetahui bahwa ia tidak dapat mengekspresikan emosinya tanpa memperhatikan lingkungannya. Ia mulai belajar melampiaskan emosinya dengan cara yang dapat diterima oleh lingkungannya (Gustian, 2001) dan mengemukakan pola asuh orangtua mempengaruhi kepribadian dan perilaku anak. Berdasarkan studi pendahuluan yang telah dilakukan di SDN 03 Sambigede Kecamatan Binangun Kabupaten Blitar pada tanggal 22 Pebruari 2012, didapatkan data, bahwa penerapan pola asuh oleh orang tua Jurnal Ners dan Kebidanan, Volume 1, No. 1, Maret 2014 Hubungan pola asuh orang tua dengan kecerdasan emosional anak usia sekolah 10 siswa-siswi di SD tersebut berbeda- beda. Hal itu dikarenakan latar belakang keluarga dan lingkungan yang berbeda. Seorang siswa mengatakan meskipun orang tuanya berdagang dipasar berangkat pagi dan pulang sore, orang tuanya tetap memberikan perhatian yang cukup, sedangkan siswa yang orang tuanya berdangang dari sore hingga malam tidak punya waktu yang cukup, itu membuat siswa tersebut menjadi nakal di sekolah. Sedangkan seorang siswa yang tidak tinggal bersama orang tuanya tetapi tinggal bersama nenek dan kakeknya lebih pendiam dikarenakan aturan dari nenek dan kakeknya sangat disiplin, seperti setelah pulang sekolah harus langsung pulang,tidak boleh bermain kalau tidak hari minggu, harus menuruti perkataan nenek dan kakeknya. Berdasarkan latar belakang masalah diatas peneliti tertarik untuk meneliti “Hubungan Pola Asuh Orang Tua dengan Kecerdasan Emosional pada anak usia”. Rumusan masalah penelitian ini adalah bagaimana hubungan pola asuh orang tua dengan Kecerdasan Emosional Anak Usia Sekolah (7-12 tahun) Tujuan umum dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan pola asuh orang tua dengan Kecerdasan Emosional Anak Usia Sekolah (7-12 tahun). Sedangkan tujuan khususnya adalah : 1) Mengidentifikasi pola asuh orang tua 2) Mengidentifikasi kecerdasan emosional anak usia 3) Menganalisis hubungan pola asuh orang tua dengan kecerdasan emosional anak usia sekolah. Manfaat Penelitian ini secara teoritis untuk meningkatkan pemahaman tentang hubungan pola asuh orang tua terhadap kecerdasan emosional anak usia sekolah sehingga dapat digunakan sebagai wacana dalam mengembangkan ilmu keperawatan khususnya keperawatan anak dan sebagai acuan penelitian selanjutnya. Manfaat praktis penelitian ini 1) Diharapkan dapat memberikan pemahaman tentang bagaimana orang tua harus menerapkan gaya pengasuhan kepada anaknya agar dapat meningkatkan Kecerdasan Emosional. 2) Pengembangan ilmu keperawatan anak dengan melibatkan keluarga sebagai sistem pendukung yang berperan lebih aktif untuk meningkatkan Kecerdasan Emosional Anak Usia Sekolah. BAHAN DAN METODE Desain penelitian ini adalah cross sectional dengan melakukan pengukuran atau pengamatan pada saat bersamaan (sekali waktu) yang menekankan pada waktu pengukuran atau observasi data variable independen dan dependen hanya 1 kali dan pada jenis ini variabel independen dan dependen dinilai secara simultan. Sampel penelitian ini sebanyak 97 siswa SD Sambigede 03 Kecamatan Binangun Kabupaten Blitar tahun 2012. Variabel bebasnya adalah pola asuh orang tua dan variabel tergantungnya adalah kecerdasan emosional pada anak usia sekolah. Alat pengumpulan data pada penelitian ini adalah kuesioner untuk membedakan jenis pola asuh orang tua, dan mengisi kuesioner untuk mengukur kecerdasan emosional anak. Pengumpulan data dilaksanakan tanggal 14-28 Mei 2012. Analisis data menggunakan Spearman’s Rho dengan p≤0,05. Arista Rahmawati, Thatit Nurmawati Jurnal Ners dan Kebidanan, Volume 1, No. 1, Maret 2014 11 HASIL PENELITIAN Karakteristik siswa SDN Sambigede 03 Kabupaten Blitar pada tanggal 14 Mei 2012 seperti tabel di bawah ini. Tabel 1 Karakteristik Anak Usia Sekolah No Karakteristik f % 1 Jumlah siswa per kelas - Kelas 1 - Kelas 2 - Kelas 3 - Kelas 4 - Kelas 5 - Kelas 6 16 16 14 18 15 18 16,5 16,5 14,4 18,6 15,5 18,6 2 Jenis kelamin - Laki-laki - Perempuan 61 36 62,9 37,1 3 Usia siswa (tahun) - 7 - 8 - 9 - 10 - 11 - 12 17 8 14 17 14 27 17,5 8,2 14,4 17,5 14,4 27,8 4 Urutan kelahiran - Anak ke 1 - Anak ke 2 - Anak ke 3 - Anak ke 4 44 35 15 3 45,4 36,1 15,5 3 Tabel 2 Pola asuh orang tua SDN Sambigede 03 Kabupaten Blitar pada tanggal 14 Mei 2012 No Pola Asuh Orang Tua f % 1 Mengabaikan 1 1 2 Permisif 6 6,2 3 Otoritatif 48 49,5 4 Otoritarian 42 43,3 Tabel 3Distribusi Responden Berdasarkan Kecerdasan Emosional No Pola Asuh Orang Tua f % 1 Baik 55 56,7 2 Cukup 41 42,3 3 Kurang 1 1 Tabel 4 Hubungan Pola asuh orang tua dan Kecerdasan emosional anak usia sekolah (7-12 tahun) di SDN Sambigede 03 Kabupaten Blitar tahun 2012. No Kecerdasan emosional Pola asuh orang tua Mengabaikan Permisif Otoritatif Otoritarian f % F % f % f % 1 EQ Baik 0 0 2 2,1 48 49,5 5 5 2 EQ Cukup 1 1,0 3 3,1 0 0 37 37 3 EQ Kurang 0 0 1 1,0 0 0 0 0 Total 1 1,0 6 6,2 48 49,5 42 43,3 Spearman rho: p value: 0,000 rs: 0,633 Berdasarkan tabel 4 di atas dapat diketahui bahwa prosentase responden dengan pola asuh otoritatif dan mempunyai kecerdasan emosional baik sebesar 49,5% (48 responden). Pada orang tua yang menerapkan pola asuh permisif, kecerdasan emosional anak terlihat kurang meskipun nilai prosentasenya kecil sebesar 1% (1 responden). Dari hasil uji statistik dengan menggunakan uji korelasi Spearman’s Rho dengan SPSS versi 16 didapat hasil p value adalah 0,000., yang berarti ada hubungan antara pola asuh Jurnal Ners dan Kebidanan, Volume 1, No. 1, Maret 2014 Hubungan pola asuh orang tua dengan kecerdasan emosional anak usia sekolah 12 orang dengan kecerdasan emosional anak pada usia sekolah (7-12 tahun). Sedangkan nilai koefisien korelasi rs = 0,633 yang artinya ada derajat hubungan yang kuat antara pola asuh orang tua dengan kecerdasan emosional anak pada usia sekolah (7-12 tahun). Sehingga dapat disimpulkan bahwa, bila orang tuanya menerapkan pola asuhnya otoritatif maka kecerdasan emosional pada anak usia sekolah (7-12 tahun) di SDN Sambigede 03 Kabupaten Blitar semakin baik. PEMBAHASAN Pola Asuh Orang Tua Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di SDN Sambigede 03 Kabupaten Blitar bahwa dari 97 responden sebagian besar memakai pola asuh otoritatif yaitu sebesar 49,5% (48 responden). Gaya pengasuhan juga tergantung dengan jenis kelamin, orang tua terkadang lebih lembut dengan anak perempuannya dan dengan anak laki- laki akan lebih disiplin (Santrock, 2007). Usia anak akan menentukan pengasuhan orang tua, ketika anak beranjak ke pertengahan dan akhir masa kanak- kanak, orang tua akan menghabiskan waktu lebih sedikit dengan anaknya. Walaupun orang tua menghabiskan waktu lebih sedikit tetapi orang tua tetap menjadi pelindung dan pengawas yang sangat penting untuk anak (Santrok, 2007). Orang tua yang masih memiliki anak pertama kali akan berusaha memberikan sebuah kebebasan yang membuat anak merasa bebas dalam memilih keinginannya tetapi masih ada batasan yang diberikan. Orang tua dan anak pertama sering kali menjalin lebih erat disepanjang rentang hidup. Orang tua memiliki harapan yang lebih besar kepada anak pertamanya (Hurlock,2002). Hasil tersebut sesuai dengan teori yang diungkapkan Santrock (2007), yang menyebutkan bahwa pengasuhan otoritatif cenderung merupakan gaya yang paling efektif. Melalui pola asuh ini anak juga dapat merasa bebas mengungkapkan kesulitannya dan orang tua akan membantu mencari jalan keluarnya (Shochib, 1998). Orang tua katagori otoritatif dalam menghadapi sesuatu yang disebabkan oleh anak, selalu mendiskusikan kepada keluarganya, sehingga ini membantu anak memahami hubungan sosial dan apa yang dibutuhkan untuk menjadi orang berkompeten secara sosial, kehangatan dan keterlibatan orang tua yang diberikan oleh orang tua yang otoritatif membuat anak lebih bisa menerima pengaruh orang tua. Kecerdasan Emosional Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di SDN Sambigede 03 Kabupaten Blitar bahwa dari 97 responden sebagian besar mempunyai kecerdasan emosional yang baik yaitu sebesar 56,7% (55 responden). Kecerdasan emosional merupakan pengendalian diri, semangat dan ketekunan, serta mampu untuk memotivasi diri sendiri dan bertahan menghadapi frustasi, kesanggupan untuk mengendalikan dorongan hati dan emosi, tidak melebih-lebihkan kesenangan, mengatur suasana hati dan menjaga agar beban stres tidak melumpuhkan kemampuan berpikir,untuk membaca perasaan terdalam orang lain (empati) dan berdoa, untuk memelihara hubungan dengan sebaik-baiknya, kemampuan untuk menyelesaikan konflik dengan orang lain maupun konfik di dalam keluarga antara orang tua dan anak. Secara fisik bagian yang paling menentukan atau paling berpengaruh terhadap kecerdasan emosi seseorang adalah anatomi saraf emosinya. Bagian otak yang digunakan untuk berfikir yaitu konteks (kadang disebut juga neo konteks). Sebagai bagian yang berada dibagian otak yang mengurusi emosi yaitu system limbic, tetapi sesungguhnya antara kedua bagian inilah yang menentukan kecerdasan emosi seseorang (Goleman, 2002). Kecerdasan emosional juga membantu manusia mengarahkan dan mengendalikan emosinya (Mubayidh, 2006). Arista Rahmawati, Thatit Nurmawati Jurnal Ners dan Kebidanan, Volume 1, No. 1, Maret 2014 13 Menurut Goleman (2002), beberapa faktor yang mempengaruhi kecerdasan emosional yaitu pengalaman, usia, jenis kelamin dan keluarga. Salah satu faktor tersebut adalah usia, siswa yang lebih tua dapat sama baiknya atau lebih baik dibandingkan siswa yang lebih muda dalam penguasaan kecakapan emosi baru. Selain usia, jenis kelamin, pria dan wanita mempunyai kemampuan yang sama dalam hal meningkatkan kecerdasan emosional, tetapi prosentase wanita mungkin dapat lebih tinggi dibanding kaum pria dalam beberapa ketrampilan emosi, walaupun secara statistik ada perbedaan yang nyata diantara kedua kelompok tersebut. Kecerdasan emosional anak juga tergantung dengan urutan kelahiran anak, anak pertama cenderung ingin selalu diperhatikan apalagi jika mempunyai adik yang masih kecil, emosinya sering tidak terkontrol, cemburu dengan perhatian yang diberikan orang tuanya kepada anak yang terkecil dalam keluarga (Mubayidh, 2006). Hubungan pola asuh orang tua dengan kecerdasan emosional pada anak usia sekolah (7-12 tahun). Berdasarkan hasil penelitian tabel 4 di SDN Sambigede 03 Kabupaten Blitar diketahui bahwa hasil 49,5% (48 responden) berpola asuh otoritatif dan mempunyai kecerdasan emosional yang baik. Pola asuh otoritatif mendorong anak untuk mandiri, namun masih menempatkan batas dan kendali pada tindakan mereka. Melalui pola asuh ini anak juga dapat merasa bebas mengungkapkan kesulitannya dan orang tua akan membantu mencari jalan keluarnya (Shochib, 1998). Sedangkan 5% (5 responden) berpola asuh otoritarian dan mempunyai kecerdasan emosional yang baik. Sedangkan 37% (37 responden) berpola asuh otoritarian dan mempunyai kecerdasan emosional yang cukup. Pola asuh otoritarian adalah gaya yang membatasi dan menghukum, dimana orang tua mendesak anak untuk mengikuti arahan orang tua dan menghormati pekerjaan dan upaya mereka (Hurlock, 2002). Adapula 2,1% (2 responden) berpola asuh permisif dan mempunyai kecerdasan emosional yang baik. Ada3,1% (3 responden) yang berpola asuh permisif dan mempunyai kecerdasan emosional cukup. Ada 1% (1 responden) yang berpola asuh permisif dan mempunyai kecerdasan emosional kurang. Pola asuh permisif adalah suatu gaya dimana orang tua sangat terlibat dengan anak tetapi tidak menaruh banyak tuntutan dan kontrol yang ketat pada mereka (Hurlock, 2002). Sedangkan 1% (1 responden) berpola asuh mengabaikan dan mempunyai kecerdasan emosional yang cukup. Gaya ini dimana orang tua sangat tidak terlibat dalam kehidupan anak. Anak yang memiliki orang tua yang mengabaikan merasa bahwa aspek lain kehidupan orang tua lebih penting dari pada diri mereka (Hurlock, 2002). Menurut Mussen (1994), Pola asuh orang tua adalah suatu cara yang digunakan orang tua dalam mencoba berbagai strategi untuk mendorong anak-anaknya mencapai tujuan yang diinginkan. Menurut Goleman (2002), terdapat perbedaan tingkat kecerdasan emosional beberapa faktor yang mempengaruhi kecerdasan emosional yaitu, usia dan jenis kelamin serta keluarga. Pertama faktor usia, siswa yang lebih tua dapat sama baiknya atau lebih baik dibandingkan siswa yang lebih muda dalam penguasaan kecakapan emosi baru. Penelitian yang dilakukan oleh Mubayidh (2006) terhadap 3.831 responden, hasil penelitiannya menunjukkan bahwa kecerdasan emosional manusia akan bertambah tinggi seiring dengan bertambahnya usia. Kecerdasan emosional manusia akan terus berkembang sampai usia sekitar 40 - 50 tahun. Hal ini menunjukan bahwa semakin bertambahnya usia, anak mampu mengendalikan atau mengontrol emosionalnya. Kedua jenis kelamin, pria dan wanita mempunyai kemampuan yang sama dalam hal meningkatkan Jurnal Ners dan Kebidanan, Volume 1, No. 1, Maret 2014 Hubungan pola asuh orang tua dengan kecerdasan emosional anak usia sekolah 14 kecerdasan emosional, tetapi prosentase wanita mungkin dapat lebih tinggi dibanding kaum pria dalam beberapa ketrampilan emosi, walaupun secara statistik ada perbedaan yang nyata diantara kedua kelompok tersebut. Dalam penelitian yang dilakukan Mubbayid (2006) terhadap 4.500 laki- laki dan 3.200 perempuan dengan membandingkan kecerdasan emosional mereka, dinyatakan bahwa perempuan lebih mampu mengenali emosi dan perasaan mereka sendiri dan orang lain dibanding dengan kaum lelaki. Tetapi pada laki-laki lebih menghormati harga diri mereka. Dibandingkan perempuan,mereka dapat berfikir kritis dan lebih mampu menghadapi kesulitan, tantangan dan kegelisahan. Serta keluarga, kehidupan keluarga merupakan sekolah pertama dalam mempelajari emosi. Kecerdasan emosi dapat diajarkan pada saat masih bayi melalui ekspresi. Peristiwa emosional yang terjadi pada masa anak-anak akan melekat dan menetap secara permanen hingga dewasa. Kehidupan emosional yang dipupuk dalam keluarga sangat berguna bagi anak kelak dikemudian hari. Dari hasil uji statistik dengan menggunakan uji korelasi Spearman’s Rho didapat hasil p value adalah 0,000. Karena nilai p ≤ 0.05 maka Ho ditolak, artinya ada hubungan antara pola asuh orang tua dengan kecerdasan emosional anak pada usia sekolah (7-12 tahun). Sedangkan nilai koefisien korelasi rs = 0,633 yang artinya ada derajat hubungan yang cukup kuat antara pola asuh orang tua dengan kecerdasan emosional anak pada usia sekolah (7-12 tahun). Nilai koefisien korelasi adalah possitif berarti semakin pola asuhnya baik maka semakin tinggi kecerdasan emosional pada anak. Hasil ini sesuai dengan yang diungkapkan Shochib (1998), bahwa pola asuh yang dianggap efektif diterapkan kepada anak adalah demokratis (otoritatif). Pada pola asuh ini orang tua memberikan kontrol kepada anaknya dalam batas-batas tertentu, aturan-aturan untuk hal-hal tertentu saja, dengan tetap menunjukkan dukungan, cinta dan kehangantan kepada anaknya. Melalui pola asuh ini anak juga dapat merasa bebas mengungkapkan kesulitannya dan orang tua akan membantu mencari jalan keluarnya. Menurut Hart, Newell & Olsen; Steinberg & Silk, dalam Buku Perkembangan Anak (2002), pengasuhan otoritatif cenderung merupakan gaya yang paling efektif karena orang tua yang otoritatif menerapkan keseimbangan yang tepat antara kendali dan otonomi, sehingga memberi anak kesempatan untuk membentuk kemandirian anak, kehangatan dan keterlibatan orang tua yang diberikan oleh orang tua yang otoritatif membuat anak lebih bisa menerima pengaruh orang tua. Adanya hubungan ini menunjukan bahwa pola asuh orang tua cukup memengang peranan dalam menentukan kecerdasan emosional pada anak, meskipun sebenarnya pola asuh dan kecerdasan emosional dapat dipengaruhi oleh banyak faktor. Faktor tersebut dapat berasal dari dalam dan luar individu sendiri. Faktor yang dapat mempengaruhi kecerdasan emosional antara lain, faktor fisik dan psikis. Faktor psikis meliputi lingkungan keluarga dan lingkungan non keluarga (masyarakat, sekolah, dll). SIMPULAN dan SARAN SIMPULAN Simpulan dalam penelitian ini adalah pola asuh orang tua pada anak usia sekolah (7-12 tahun) di SDN Sambigede 03 Kabupaten Blitar 49,8% (48 responden) dalam katagori pola asuh otoritatif, kecerdasan emosional anak usia sekolah (7-12) di SDN Sambigede 03Kabupaten Blitar 49,5% (48 responden) termasuk dalam katagori kecerdasan emosional baik, ada hubungan yang signifikan antara pola asuh orang tua dengan kecerdasan emosional pada anak usia sekolah (7-12 tahun) di SDN Sambigede 03 Kabupaten Arista Rahmawati, Thatit Nurmawati Jurnal Ners dan Kebidanan, Volume 1, No. 1, Maret 2014 15 Blitar dengan nilai p value = 0,000 dan koefisien korelasi sebesar 0,633 ( koefisien korelasi cukup). SARAN Petugas kesehatan, diharapkan hasil penelitian dapat dijadikan bahan pertimbangan untuk memberikan bimbingan konseling tentang pola asuh orang tua dan kecerdasan emosional. Penelitian selanjutnya, penelitian ini dapat data awal. Orang tua dapat menerapakan pola asuh yang efektif sejak usia dini. REFERENSI Dariyo, A 2004, Psikologi Perkembangan Remaja, Ghalia Indonesia, Bogor Selatan. Goleman, D 2002, Emotional Intelegence, Kecerdasan Emosional,Mengapa EI Lebih Penting Dari IQ, Gramedia Utama Jakarta. Gustian, E 2001, Mempersiapkan Anak Masuk Sekolah, Puspa Swara, Jakarta. Hurlock, EB 1997. Psikologi Perkembangan, Edisi 5. Jakarta: Penerbit Erlangga. Hurlock, EB 2002, Perkembangan Anak, Jilid 2, Edisi 6, Penerbit Erlangga, Jakarta. Kartono, K 1992, Peran Keluarga Memandu Anak, Rajawali press, Jakarta. Mubayidh, M 2006, Kecerdasan dan Kesehatan Emosional Anak, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta. Mussen 1994, Perkembangan dan Kepribadian Anak, Arcan, Jakarta. Poerwadarminta, WJS 1976, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta. Santrock, JW 2007, Child Development: Perkembangan Anak jilid 2, Erlangga, Jakarta. Shochib, M 1998, Pola Asuh Orang Tua, Rineka Cipta, Jakarta. Tanuwidjaya, S 2002, Tumbuh Kembang Anak dan Remaja, Sagung Seto, Jakarta. Yusniah 2008,’Hubungan Pola Asuh Orang Tua Dengan Prestasi Belajar Siswa Mts Al-Falah, Jakarta Timur’, Skripsi, Fakultas Ilmu Tarbiyah Dan Keguruan Jurusan Pendidikan Agama Islam, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta.