113Rahayu, Riski, Analisis Perilaku Safe Sex pada... 113 JNK JURNAL NERS DAN KEBIDANAN http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk Analisis Perilaku Safe Sex pada Wanita Pekerja Seks dengan Kejadian Infeksi menular Seksual di Lokalisasi Tangkis, Porong Esty Puji Rahayu1, Lailatul Khusnul Riski2 1,2Prodi Kebidanan, Universitas Nahdlatul Ulama Surabaya, Indonesia Info Artikel Sejarah Artikel: Diterima, 29/05/2019 Disetujui, 18/07/2019 Dipublikasi, 01/08/2019 Kata Kunci: IMS, Safe Sex, HIV Abstrak Infeksi Menular Seksual (IMS) menyebabkan angka kesakitan dan kematian terutama di negara berkembang, baik secara langsung maupun tidak langsung dalam mempermudah penularan infeksi seksual HIV. Kunjungan pasien dari kelompok beresiko IMS yang datang untuk memeriksakan dirinya ke Puskesmas Porong pada bulan Maret 2016, hanya terdapat 5 orang. Penelitian merupakan eksplanatory research dengan desain penelitian deskriptif analitik dan pendekatan crossectional. Populasi sebanyak 40 orang wanita pekerja seks, teknik sampling yang digunakan adalah purposive sampling dengan jumlah sampel 36 orang WPS. Data perilaku safe sex diperoleh dengan menggunakan kuesioner, sedangkan pemeriksaan IMS dilakukan degan swab vagina (pewarnaan gram dan gymse), dan pengambilan darah. Hasil analisa menggunakan chi Square didaptakan hasil safe sex, IMS (pewarnaan gram dan gymse ) dan kondiloma mempunyai hubungan yang signifikan dengan p value 0,008. Sedangkan HIV dan syphilis tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan perilaku safe sex dengan p value 0,932 dan 0,76. Perilaku safe sex yang buruk akan meningkatkan 4,47 kali kejadian IMS. Gejala Syphi- lis jarang disadari oleh WPS karena gejalanya cukup ringan. Pemeriksaan HIV menggunakann Tes Cepat dimana hasil tes keluar dalam 20-30 menit dan tidak dilanjutkan dengan pemeriksaan lengkap dengan metode ELISA (en- zyme-linked immunosorbent assays). Faktor faktor tersebutlah yang mungkin bisa menjadi penyebab tidak adanya hubungan safe sex dengan HIV dan syphilis. Dari penelitian ini diharapkan Puskesmas Porong khususnya tenaga kesehatan lebih giat lagi dalam melakukan upaya promotif, prefentif dan kuratif untuk menekan kejadian IMS terutama pada kelompok rentan seperti WPS. ©2019Jurnal Ners dan Kebidanan Correspondence Address: Universitas Nahdlatul Ulama Surabaya- Jawa Timur, Indonesia P-ISSN : 2355-052X Email: esty@unusa.ac.id E-ISSN : 2548-3811 DOI:10.26699/jnk.v6i2.ART.p103-120 This is an Open Access article under the CC BY-SA license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ 114 Jurnal Ners dan Kebidanan, Volume 6, Nomor 2, Agustus 2019, hlm. 103–120 Abstract Sexually Transmitted Infections (STIs) cause morbidity and mortality in developing countries, both directly and indirectly in the ease of transmis- sion of HIV infection. The visit of patients from risk groups who had STIs who came to see themselves at Porong Health Center in March 2016, there were only 5 people. This research is explanatory research with descriptive analytic and crossectional research design. The population was 40 female sex workers, the sampling technique used was purposive sampling with a sample of 36 WPS. Data on safe sex behavior was obtained using a ques- tionnaire, while STI examination was performed with vaginal swabs (gram staining and gymse), and blood collection. The results of the study from the variables that participated, safe sex, STI (gram staining and gymnasium) and condyloma had a significant relationship with p value 0.008. Whereas HIV and syphilis didn’t have a significant relationship with safe sex (p values 0.932 and 0.76). Poor safe sex will increase 4.47 STIs. Syphilis proplem is rarely realized by FSW because the symptoms are quite mild. HIV testing uses a Rapid Test in which the test results come out in 20-30 minutes and do not pass with a complete examination using the ELISA method (test for enzyme-related immunosorbents). These factors may be the cause of the absence of safe sex with HIV and syphilis. From this research, it is expected that Porong Health Center specifically for health workers will be evenmore active in promoting promotive, preventive and curative efforts to prevent the incidence of STIs, especially in vulnerable groups such as FSW. Behavioral Analysis of Female Sex Workers in the Application of Safe Sex When Serving Customers with the Incidence of Sexual Transmitted Infection in Tangkis Localization Porong Article Information History Article: Received, 29/05/2019 Accepted, 18/07/2019 Published, 01/08/2019 Keywords: STI, Safe Sex, HIV 115Rahayu, Riski, Analisis Perilaku Safe Sex pada... PENDAHULUAN Infeksi menular Seksual atau penyakit kelamin adalah penyakit yang ditularkan melalui hubungan seksual seperti Siphilis, Gonorhoe, jenger ayam, Jamur herpes, Hepatitis B, dan HIV/AIDS. Infeksi menular seksual meningkatkan angka kematian dan kesakitan terutama di negara berkembang dengan sumber daya terbatas, baik secara langsung yang ber a kiba t pa da quality of life da n health reproduction, maupun secara tidak langsung dalam mempermudah penularan infeksi seksual HIV serta akibatnya terhadap perekonomian perorangan dan nasional. Upaya preventif dan kuratif pada IMS dapat menurunkan risiko penularan HIV melalui hubungan seks, terutama pada kelompok yang me- miliki banyak pasangan seksual, misalnya pekerja seks dan pelanggannya. Keberadaan IMS dengan inflamasi atau ulserasi akan meningkatkan risiko tertularnya infeksi HIV saat melakukan hubungan seks tanpa kondom antara seorang yang telah terin- feksi IMS dengan pasangannya yang belum tertular (Kemenkes RI, 2015). Angka kejadian gonore tertinggi pada wanita pekerja seks langsung (38%), waria (29%), homosekual (21%), dan wanita pe- kerja seks tidak langsung (19%). Angka kejadian klamidia tertinggi pada wanita pekerja seks langsung maupun tidak langsung (terselubung) masing-ma- sing 41%, waria (28%) dan homoseksual (21%). Angka kejadian gonore dan/atau klamidia berkisar antara 33% homoseksual dan 56% wanita pekerja seks langsung (Kemenkes RI, 2011). Lokalisasi Tangkis terletak di wilayah Puskes- mas Porong dan masih belum ada penanganan opti- mal dari tenaga kesehatan. Dilihat dari kunjungan pasien ke Puskesmas Porong pada bulan Maret 2016, hanya terdapat 5 orang dari kelompok beresiko IMS yang datang ke Puskesmas untuk memeriksa- kan dirinya. Data terakhir tahun 2017 di wilayah Puskesmas Porong terdapat 42 pasien pengidap HIV. Hal ini mungkin terjadi karena kurang paham- nya masyarakat tentang gejala dan bahaya IMS sehingga beresiko terjangkitnya HIV. Berda sa rka n wawa nca ra peneliti dengan beberapa WPS di Lokalisasi Porong ,mereka me- ngaku bahwa penggunaan kondom hanya dilakukan jika memang pelanggan bersedia menggunakan saja. WPS tidak memaksa menggunakan kondom atau menolak pelanggan yang tidak mau mrnggunakan kondom sehingga perilaku safe sex dengan kondom jarang dilakukan oleh WPS. Arifianti dkk (2008) melakukan wawancara secara mendalam pada responden yang berperilaku safe sex, mengaku bahwa sering mengalami ken- dala saat meminta pelanggan agar selalu memakai kondom. Responden yang bermaksud melakukan safe sex mengaku apabila sedang terinfeksi IMS, maka mereka memilih untuk tidak melayani pelang- gan yang tidak bersedia memakai kondom. Mereka beralasan sedang haid apabila menemui pelanggan yang dicurigai IMS dan tidak mau memakai kondom. Perilaku dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu faktor predisposisi, faktor pemungkin, dan faktor penguat. Dalam penelitian yang dilakukan Budiono (2012) faktor predisposisi yang mempengaruhi peng- gunaan kondom pada WPS dan pelanggannya adalah pengetahuan tentang IMS dan HIV/AIDS, dan sikap WPS terhadap penggunaan kondom. Faktor pemungkin yang mempengaruhi penggunaan kondom adalah informasi tentang IMS dan HIV/ AIDS. Sedangkan faktor penguatnya merupakan persepsi pelanggan tentang kemampuan dalam berhubungan seksual secara aman (safe sex) serta dukungan germo/mucikari terhadap penggunaan kondom di kalangan WPSdan pelanggannya. Kendala yang sering muncul adalah ketidak sadaran WPSmeskipun telah mendapatkan infor- masi tentang penyakit IMS yang dideritanya, masih banyak yang tetap melakukan hubungan seksual yang tidak aman. Hal ini dapat terjadi karena faktor ekonomi, karena latar belakang ekonomi yang ber- beda antara pelanggan dengan wanita pekerja seks mengakibatkan kesenjangan antara pihak yang ber- kuasa (pelanggan) dengan pihak yang tidak berdaya (WPS) (Arifianti, 2008). Upaya pencegahan dan perawatan IMS yang efektif dapat dicapai dengan melaksanakan “paket kesehatan masyarakat” yang meliputi promosi peri- laku seksual yang aman (safe sex), pendistribusian kondom, peningkatan perilaku upaya mencari peng- obatan, pelayanan khusus terhadap kelompok popu- lasi berisiko tinggi, penatalaksanaan IMS dilakukan secara paripurna dan melakukan deteksi dini terha- dap infeksi yang bersifat simtomatik maupun yang asimtomatik. Selain upaya pencegahan perlu pena- talaksanaan yang baik bagi pengidap IMS. Pe- nanganan pasien IMS yang efektif, tidak hanya pada pengobatan antimikroba untuk menyembuhkan dan menurunkan penyebaran penyakit namun juga mem- berikan penatalaksanaan paripurna yang diberikan 116 Jurnal Ners dan Kebidanan, Volume 6, Nomor 2, Agustus 2019, hlm. 103–120 untuk meningkatkan derajat kesehatan reproduksi yang bagus (Kemenkes, 2015). Berdasarkan latar belakang di atas penulis tertarik menganalisa perilaku safe sex pada WPS saat melayani pelannggan dengan kejadian IMS. BAHAN DAN METODE Penelitia n ini menggunakan explanatory research, yaitu menjelaskan variabel dengan meng- hubungkan beberapa variabel. Desain penelitian yang digunakan adalah deskriptif analitik dengan pendekatan crossectional dengan mengkukur variabel pada waktu yang bersamaan. Jumlah popu- lasi yang diambil adalah 40 orangwanita pekerja seks. Teknik pengambilan sampel menggunakan teknik purposive sampling berjumlah 36 orang. Sampel diambil berdasarkan kriteria peneliti yaitu bersedia menjadi responden dan dalam 3 bulan terakhir aktif melayani responden. Penelitian ini dilakukan di wilayah Puskesmas Porong dan loka- lisasi di daerah Tangkis, Porong. Prosedur penelitian dilakukan dengan meng- ajukan surat permohonan ijin dari LPPM Universitas Nahdlatul Ulama Surabaya kepada Puskesmas Porong. Peneliti melakukan pendekatan kepada mucikari dan WPS dilanjutkan dengan menjelaskan tentang prosedur pelaksanaan penelitian serta melakukan informed consent. Peneliti melakukan wawancara, pengisian kuesioner oleh WPS, obser- vasi dan pemeriksaan IMS dan HIV oleh bidan di Puskesmas Porong setelah proses ijin keluar. Instrumen penelitian pada variable perilaku safe sex menggunakan kuesioner. Variabel perilaku dibagi menjadi 2 kuesioner, yang pertama adalah tentang pengetahuan responden terhadap IMS dan safe sex dengan bentuk soal multiple choice dan menghitung jawaban yang benar. Kuesioner kedua adalah untuk melihat perilaku safe sex, penghitungan dengan menggunakan Likert. Kuesioner diadaptasi dari penelitian yang pernah dilakukan Trilaksono (2007). Untuk mengukur variabel kejadian IMS adalah dengan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan swab vagina. Pemeriksaan HIV dilakukan dengan rapid test sesuai SOP oleh petugas Puskesmas Porong. Sedangkan pemeriksaan syphilis dilakukan dengan sampel darah vena. Bahan yang digunakan adalah kapas alcohol, reagen untuk pemeriksaan HIV. Sedangkan alat yang digunakan adalah lidi swab, speculum, rapid tes, spuit dll. Data diperoleh secara langsung/data primer, pengambilan data dilakukan dengan mencatat hasil Pada Tabel 1 menunjukkan WPS paling banyak berusia 20-30 tahun. Dari hasil pengisian kuesioner didapatkan data tentang pendidikan terakhir WPS observasi kemudian data yang terkumpuldianalisis menggunakan uji chi square. HASIL PENELITIAN Pada Tabel 1 adalah datausia Wanita pekerja Seks yang menjadi responden dari peneliti: No Umur (th) f % 1. 20-30th 12 33,3 2. 30-40 th 10 27,8 3. 40-50 th 10 27,8 4. 50-60 th 4 11,1 Total 36 100 Tabel 1 Distribusi Frekuensi Umur Wanita Pekerja Seks di Lokalisasi Tangkis Porong No Pendidikan f % 1. Tidak sekolah 4 11,1 2. SD 20 55,6 3. SMP 10 27,7 4. SMA 2 5,6 Total 100 Tabel 2 Distribusi Frekuesnsi Pendidikan Terakhir WPS di Lokalisasi Tangkis, Porong Pada Tabel 2 dari keseluruhan responden dida- patkan data bahwa lebih dari 50% WPS berpen- didikanterakhir SD. Perilaku safe sex diketahui dari kuesioner yang dibagikan ke responden. Berikut adalah tabel perila- ku safe sex pada wanita pekerja seks. No Perilaku Safe Sex f % 1. Baik 14 38,9 2. Buruk 22 61,1 Total 100 Tabel 3 Distribusi Frekuensi Perilaku Safe Sex WPS di Lokalisasi Tangkis, Porong 117Rahayu, Riski, Analisis Perilaku Safe Sex pada... Tabel diatas menunjukkan hasil bahwa terdapat 27,8% wanita pekerja seks menderita HIV. Hubungan Perilaku safe sex dengan kejadian IMS yang dilakukan dengan pemeriksaan swab vagina kemudian diberi pewarnaan gram dan Gymse. Berdasarkan uji statistic dengan Uji Chi square menunjukkan adanya hubungan antara perilaku safe sex dengan kejadian IMS (p value 0,008) dengan Continuity Correction 4,474. Perilaku safe sex yang buruk akan meningkatkan 4,474 kali kejadian IMS. Berdasarakan Tabel di atas sebagian besar WPS tidak berperilaku safe sex saat melayani pelanggan yaitu sebanyak 61,1% Setelah dilakukan pemeriksaan fisik, swab vagina dan pengambilan sampel darah pada 36 res- ponden di Puskesmas Porong didapatkan data IMS sebagai berikut: No Jenis IMS f % 1. Condiloma 4 11,1 2. Positif pada pemeriksaan Gram dan Gymse 32 88,8 3. Syphilis 6 16,6 Tabel 3 Distribusi Frekuensi IMS Wanita Pekerja Seks di Lokalisasi Tangkis Porong Dari Tabel di atas diperoleh data bahwa paling banyak responden positif IMS dengan pemeriksaan Pewarnaan gram dan gymse yaitu sebanyak 88,8%. Tabel 4 Distribusi Frekuensi HIV Wanita Pekerja Seks di Lokalisasi Tangkis Porong No HIV f % 1. Reaktif 10 27,8 2. Non Reaktif 26 72,2 Total 100 Pemeriksaan HIV menggunakan Rapid Test dengan sampel darah. Berikut adalah data hasil pemeriksaan HIV Pemeriksaan Condiloma dilakukan dengan pemeriksaan fisik yaitu inspeksi pada vagina. Hu- bungan Perilaku safe sex dengan condiloma. f % f % f % Baik 4 100 10 31,25 14 100 Buruk 0 0 22 68,75 22 100 Total 4 100 32 100 36 100 Tabel 5 Hubungan Perilaku safe sex dengan kejadian IMS yang dilakukan dengan pemeriksaan swab vagina kemudian diberi pewarnaan gram dan Gymse Perilaku safe sex Kejadian IMS Positif Total Negatif Tabel 6 Hubungan Perilaku safe sex dengan condiloma f % f % f % Baik 10 31.25 4 100 14 100 Buruk 22 68.75 0 0 22 100 Total 32 100 4 100 36 100 Perilaku safe sex Condiloma Positif Total Negatif 118 Jurnal Ners dan Kebidanan, Volume 6, Nomor 2, Agustus 2019, hlm. 103–120 PEMBAHASAN Hubungan Perilaku Safe Sex dengan IMS Wanita pekerja seks di Lokalisasi Tangkis Porong tidak semuanya memahami tentang safe sex dan bahaya IMS. Pada penelitian ini responden sebanyak 55.5% berpendidikan terakhir SDd dan hanya terdapat 38,9 % WPS yang menerapkan safe sex menggunakan kondom. Yang artinya terdapat hubungan antaara tingkat pendidikan dengan perila- ku safe sex. Hal ini sejalan dengan teori yang diung- kapakan Nyagero et .al (2012) yang menyatakan bahwa perubahan perilaku dan faktor yang berhu- bungan dengan wanita pekerja seksual adalah faktor sosiodemografi yang meliputi umur, tingkat pendi- dikan, agama, status pernikahan, jumlah anak, lama menjadi pekerja seksual, serta faktor pengetahuan tentang HIV/AIDS, pekerjaan alternatif selain menjadi pekerja seksual, tidak menggunakan atau penggunaan kondom secara tidak konsisten. Pemakaian kondom secara konsisten oleh pelanggan harus didukung oleh WPS sebagai rekan seksnya, namun masih terdapat pelanggan yang tidak bersedia memakai kondom dengan alasan kurang nyaman dan kurangnya kesadaran untuk memakai kondom sebagai perlindungan terhadap IMS maupun infeksi HIV. Sehingga WPS berperan sangat penting, yaitu melakukan negosiasi dengan pelanggan agar selalu menggunakan kondom (Hadi, 2004). Pemeriksaan IMS menggunakan sampel duh vagina kemudian dilakukan pewarnaan gram. Teknik pemeriksaan sediaan langsung duh vagina dengan pewarnaan Gram untuk mengidentifikasi diplokokus Gram negatif intraseluler leukosit polimorfonuklear (PMN) merupakan metode yang sering digunakan di banyak laboratorium layanan kesehatan. Teknik ini mampu membedakan bakteri antara Gram positif dan negatif. Bakteri Gram positif akan terlihat berwarna ungu sedangkan bakteri Gram negatif berwarna merah (Beveridge,2001).Pemeriksaan gymsamenggunakan object glassyang diwarnai dengan giemsa atau larutan yodium kemudian diobservasi menggunakan mikroskop cahaya biasa. Pada pewarnaan Giemsa, Badan Inklusi (BI) tam- pak intra sitoplasma sel epitel yang berwarna ungu Pemeriksaan syphilis dilakukan menggunakan sampel darah. Hubungan perilaku safe sex dengan syphilis Tabel 7 Hubungan perilaku safe sex dengan syphilis f % f % f % Baik 12 40 2 33.33 14 100 Buruk 18 60 4 66.67 22 100 Total 30 100 6 100 36 100 Perilaku safe sex Syphilis Positif Total Negatif Hubungan perilaku safe sex dengan syphilis tidak menunjukkan korelasi yang signifikan dengan p value 0,76 . Hubungan perilaku safe sex dengan HIV Tabel 8 Hubungan perilaku safe sex dengan HIV f % f % f % Baik 10 38.46 4 40 14 100 Buruk 16 61.54 6 60 22 100 Total 26 100 10 100 36 100 Perilaku safe sex HIV Reaktif Total Non Reaktif Hubungan perilaku safe sex dengan HIV yang menunjukkan tidak ada korelasi yang signifikan dengan p value 0,932. 119Rahayu, Riski, Analisis Perilaku Safe Sex pada... tua, sedangkan dengan pewarnaan yodium akan berwarna coklat. Pada penelitian ini hubungan perilaku safe sex dengan kejadian IMS yang dilakukan dengan pemeriksaan swab vagina kemudian diberi pewar- naan gram dan Giemsa dengan Uji Chi square menunjukkan p va lue 0, 008 dan Continuity Correction 4,474 yang artinya terdapat hubungan yang signifikan antara Perilaku safe sex dan keja- dian IMS. Perilaku safe sex akan menurunkan angka kejadian IMS sebanyak 4,474 kali dibandingkan dengan WPS yang tidak menerapkan safe sex. Perilaku safe sex dengan condiloma juga menun- jukkan hubungan yang signifikan dengan p value 0,008 dengan Continuity Correction 4,474. Sedang- kan perilaku safe sex dengan syphilis tidak menun- jukkan hubungan yang signifikan dengan p value 0,76. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Ardyanto (2016) yaitu diperoleh ada hubungan antara cara penggunaan kondom dengan kejadian infeksi Gonore pada WPS di Lokalisasi kabupaten Nabire Papua (p=0,007). Gonore merupakan salah satu penyakit yang termasuk IMS. Syphilis tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan perilaku safe sex dikarenakan berbagai faktor, baik dari pasien maupun pasangannya. Gejala syphilis juga jarang disadari oleh WPS karena gejalanya cukup ringan. Pada fase awal luka tidak menyebabkan rasa sakit akan tampak saat bakteri masuk ke dalam tubuh. Hal ini biasanya terjadi dalam waktu 3 minggu dari paparan, sekitar 10-90 hari. Fase selanjutnya ditandai dengan timbulnya ruam selama 2-12 minggu setelah luka menyebar dan terkadang bahkan sebelum ia sembuh. Gejala lain pun bisa terjadi, yang artinya bahwa infeksi telah menjalar ke seluruh tubuh. Sedangkan fase laten adalah fase setelah seseorang terinfeksi bakteri. Setelah ruam pada fase sekunder hilang, tidak akan muncul gejala lain dalam beberapa waktu (fase laten). Fase ini mungkin dapat terjadi satu tahun atau sekitar 5-20 tahun. Fase yang paling menular dari sipilis adalah tahap akhir . Jika tidak diobati, tahap akhir ini mungkin akan terlihat dalam waktu dini, yaitu 1 tahun setelah terinfeksi atau seumur hidup. Menurut peneliti tidak adanya hubungan perilaku safe sex dengan syphilis dikarenakan WPS yang mengalami syphilis masih dalam fase primer atau sekunder sehingga belum menyebar ke seluruh tubuh, karena pemeriksaan syphilis pada penelitian ini adalah menggunakan darah vena seba gai sampelnya. Hubungan Safe sex dengan HIV Faktor-faktor yang menyebabkan penularan HIV/AIDS sangat banyak, tetapi yang paling berisiko adalah perilaku seksual. Faktor lain bisa ditimbulkan dari penularan secara parenteral dan riwayat penyakit infeksimenular seksual sebe- lumnya (Lee, 2003). Peradangan pada pasien IMS meningkatkan risiko terhadap transmisi infeksi HIV, karena rusaknya barier mukosal memudahkan transmisi virus HIV ke dalam pembuluh darah. Selain itu IMS memberikan fasilitas virus HIV untuk hidup dalam saluran genital dan merekrut sel pera- dangan virus HIV ke dalam saluran genital. Pemeriksaan HIV pada penelitian ini adalah menggunakan Rapid Test yaitu tes dengan cara cepat menggunakan reagen dan sampel darah. Setelah dianalisa diperoleh hasil bahwa tidak ada hubungan antara perilaku seksual dengan kejadian HIV dengan p value 0,932. Tes HIV dapat dilakukan dengan cepat (Rapid Test) yang merupakan tes untuk deteksi awal adanya virus HIV. Prosedur ini memerlukan sampel darah atau cairan oral untuk menemukan antibodi terhadap HIV. Hasil tes keluar sekitar 20-30 menit. Apabila hasil rapid test positif maka harus dilanjutkan oleh tes konfirmasi darah vena yang dilakukan di laboratorium. Saat ini, terdapat paling tidak empat jenis rapid test HIV yang sudah diluncurkan oleh FDA Amerika Serikat. Untuk semua rapid test, kepatuhan terhadap petunjuk pabrik sangat penting untuk memastikan hasil yang akurat. Kinerja rapid test umumnya lebih tinggi bila digunakan oleh tenaga terlatih. Hal inilah yang menjadi faktor yang menye- bakan tidak adanya hubungan antara perilaku seksual dengan HIV, karena belum dilakukan uji da r a h lengka p da n ELISA (enzyme-linked immunosorbent assays). KESIMPULAN Kesimpulan dari uraian dan pembahasan di atas adalah terdapat hubungan yang signifikan antara perilaku seksual dengan kejadian IMS dengan pemeriksaan gram dan gymse di Lokalisasi Tangkis Porong dengan p value 0,008. Tidak ada hubungan perilaku seksual dengan kejadian HIV di Lokalisasi Tangkis, Porong dengan p value 0,932. 120 Jurnal Ners dan Kebidanan, Volume 6, Nomor 2, Agustus 2019, hlm. 103–120 SARAN Berdasarkan hasil penelitian ini diharapkan pada Puskesmas Porong lebih giat lagi dalam melakukan pemeriksaan IMS terutama pada kelompok rentan seperti WPS. Kepada responden diharapkan dapat lebih memahami lagi tentang IMS dan bahaya yang menyertai penyakit ini. Pada penelitian selanjutnya diharapkan melakukan pemeriksaan lebih mendalam tentang HIV pada WPS termasuk metode pemerik- saannya. DAFTAR PUSTAKA Arifianti, N. A. (2008). Analisis faktor-faktor penyebab niat wanita pekerja seks (WPS) yang menderita IMS berperilaku seks aman (safe sex) dalam melayani pelanggan. Jurnal Promosi Kesehatan Indonesia Vol. 3 / No. 2 Budiono, I. (2012). Konsistensi penggunaan kondom oleh wanita pekerja seks/pelanggannya. Jurnal Kesmas 7(2), 97-101. Beveridge, T.(2001). Use of the gram stain in microbiology biotechnic and histochemistry.Biotech Histocham 2001 May. 76(3), 111-118. Depkes R.I., Population U.N. (2002). Kesehatan reproduksi. Jakarta: Fund Kemenkes RI. (2015). Pedoman nasional penanganan infeksi menular seksual.Jakarta: Kemenkes RI Kemenkes RI, 2011. Surveilans terpadu biologis dan perilaku. Jakarta: Kemenkes RI Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Ling- kungan. Susilo, T. H. (2004). Faktor-faktor yang mempengaruhi praktik negosiasi penggunaan kondom untuk men- cegah IMS dan HIV/AIDS pada WPS di resosialisasi argorejo kelurahan kalibanteng kulon kecamatan semarang barat kota Semarang.Tesis Lee, L.M., McKenna M.T. and Janssen R.S..(2003). Classification of transmission risk in the national HIV/AIDS surveillance system. Public Health Reports. 2003.18, 400-440. Nyagero et,al. (2012). Behaviour change and associated factors among female sex workers in Kenya. Pan African Medical Journal 13 (Supp 1): 16 December 2012.