37Susilowati, Wardani, Imamah, Hubungan Tingkat Pengetahuan dengan ... History Article: Received, 19/08/2019 Accepted, 27/11/2019 Published, 05/04/2020 37 JNK JURNAL NERS DAN KEBIDANAN http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk Hubungan Tingkat Pengetahuan dengan Perilaku Penanganan Gawat Darurat Hipotermi pada Pendaki Gunung di Organisasi Primapala Ampel Kabupaten Boyolali Tri Susilowati1, Ririn Wardani2, Ida Nur Imamah3 123Prodi Keperawatan, STIKes Aisyiah Surakarta Info Artikel Sejarah Artikel: Diterima, 19/08/2019 Disetujui, 27/11/2019 Dipublikasi, 05/04/2020 Kata Kunci: Tingkat Pengetahuan, Perilaku, Pendaki, Hipotermi Abstrak Pendaki gunung dan hipotermi merupakan sebuah hubungan yang sangat terkait dalam pendakian. Cuaca buruk di puncak gunung Merbabu menyebabkan 7 pendaki harus dievakuasi karena mengalami hipotermi saat mendaki. Kondisi tubuh yang terlalu lama kedinginan, khususnya dalam cuaca berangin dan hujan dapat menyebabkan mekanisme pemanasan tubuh terganggu. Pentingnya pengetahuan pada pendaki dapat menjadikan pendaki tersebut terhindar dari hipotermi, tetapi tak jarang para pendaki menganggap remeh dan tidak peduli. Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui hubungan tingkat pengetahuan dengan perilaku penanganan gawat darurat hipotermi pada pendaki gunung di organisasi Primapala Ampel Boyolali. Jenis penelitian analitik dengan pendekatan cross sectional. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh anggota Primapala Ampel Boyolali yang berjumlah 30 orang. Jumlah sampel dalam penelitian ini adalah 30 orang. Teknik pengambilan sampel menggunakan total sampling. Instrumen penelitian menggunakan kuesioner. Analisa data menggunakan Uji Kendal Tau. Hasil analisa diperoleh tingkat pengetahuan tentang penanganan gawat darurat hipotermi dalam katgori baik sebanyak 27 responden (90%), kategori cukup sebanyak 3 res- ponden (10%). Perilaku penanganan gawat darurat hipotermi dalam kategori baik sebanyak 28 responden (93,3%), kategori cukup 2 responden (6,7%). Nilai Signifikansi uji Kendal Tau yaitu 0,013. Perilaku penganganan gawat darutat Hipertermi mayoritas dalam kategori baik dan terdapat hubungan antara tingkat pengetahuan dengan perilaku penanganan gawat darurat hipotermi pada pendaki gunung di organisasi Primapala Ampel Boyolali. Article Information Relationship Between the Cognitive Level and Hypothermia Emergency Handling of Mountaineers in Primapala Ampel Boyolali Organization Abstract Mountaineer and hypothermia have correlation in climbing. Bad weather at the top of Merbabu caused 7 mountaineers to be evacuated because of hypothermia. Body condition was too long periods of cold, especially in http://crossmark.crossref.org/dialog/?doi=10.26699/jnk.v7i1.ART.p037-043&domain=pdf&date_stamp=2020-4-05 38 Jurnal Ners dan Kebidanan, Volume 7, Nomor 1, April 2020, hlm. 037–043 Correspondence Address: STIKes Aisyiah Surakarta, East Java - Indonesia P-ISSN : 2355-052X Email: priawahyu88@gmail.com E-ISSN : 2548-3811 DOI:10.26699/jnk.v7i1.ART.p037–043 This is an Open Access article under The CC BY-SA license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) PENDAHULUAN Gunung merupakan suatu bentuk permukaan tanah yang letaknya jauh lebih tinggi daripada tanah- tanah disekitarnya yang terbentuk akibat gerakan lempeng tektonik, gerakan epeirogenik atau gerak- an orogenik (Sarimo, 2008). Gunung memiliki karak- ter ketinggian yang variatif, sehingga membuat suhu di gunung menentukan karakter suhu tubuh sese- orang, resiko yang paling sering menyerang para pendaki gunung adalah hipotermi. Pendaki gunung dan hipotermi merupakan sebuah hubungan yang sangat terkait dalam pendakian. Kondisi tubuh yang terlalu lama kedinginan, khususnya dalam cuaca berangin dan hujan, dapat menyebabkan mekanisme pemanasan tubuh terganggu (Setiati, 2014). Kondisi penurunan suhu dibawah 35ºc dan penurunan kesa- daran akan menyebabkan adanya ancaman kema- tian. Seseorang biasanya membutuhkan 2000 kalori perhari, namun bagi pendaki gunung dibutuhkan sekitar 5000 kalori karena berhubungan dengan aktivitas berat dan terus menerus (Hardisman, 2014). Muchammad (2017), menyatakan bahwa seseorang yang mempunyai hobi berkegiatan di alam windy weather and rain can cause the body’s warming mechanism to be disrupted. The importance of cognitive for mountaineers can make the mountaineers avoid hypothermia, but not infrequently the mountaineers underestimate and do not care. The purpose of this study for knowing the realtion of cognitive level and hypothermia emergency handling of mountaineers in Primapala ampel Boyolali organization. The research used analytic reasearch with cross sectional approach. The research population is all members of Primapala ampel Boyolali organization which are consist of 30 people. The number of samples is 30 people. The sampling technique used total sampling. The research instrument used questionnaire. The data analysis used Fisher Test. Cognitive level of hypothermia emergency handling is good category which are 27 respondents (90%), enough category which are 3 respon- dents (10%). Hypothermia emergency handling in good category is 28 respondents (93,3%) and enough category is 2 respondents (6,7%). Sig- nificance Value of Kendall’s Tau test that is 0.013. Majority of emergency treatment behavior Hypertherm is in the good category. Discuss: There is a realtionship between the cognitive level and hypothermia emergency han- dling of mountaineers in Primapala ampel Boyolali organization. © 2020 Jurnal Ners dan Kebidanan bebas sebaiknya mengerti akan resiko yang mungkin di timbulkan, terutama dalam pendakian gunung. Pendaki gunung harus melakukan persiapan yang matang sebelum mendaki, jangan sampai kegiatan yang bertujuan untuk mendapatkan pengalaman dan kepuasan diri ini berakibat yang merugikan diri sendiri dan alam (lingkungan hidup). Gunung di Jawa Tengah yang paling banyak pendakinya adalah Gunung Merbabu karena meru- pakan gunung tertinggi di Jawa Tengah dengan ketinggian 3.145 mdpl. Berdasarkan grafik di atas, pendaki di Gunung Jawa yang mengalami hipotermi totalnya adalah 18 kasus, jumlah korban yang paling banyak yaitu pada bulan Desember dan Februari, disaat itu sedang terjadi curah hujan yang tinggi (Wijaya, 2011). Pada 29 Desember 2019 cuaca buruk melanda kawasan puncak Gunung Merbabu. Balai Taman Nasional Gunung (BTNG) Merbabu menyatakan pendakian ke Gunung Merbabu ditutup hingga waktu yang belum ditentukan. Sementara itu, akibat cuaca buruk di puncak gunung tersebut 7 pendaki dievakuasi karena mengalami hipotermi saat mendaki. (Ludiyanto, 2018). Berdasarkan hasil studi pendahuluan pada bulan November 2018 di Prima- Keywords: Cognitive Level, Handling, Moun- taineer, Hypothermia https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ 39Susilowati, Wardani, Imamah, Hubungan Tingkat Pengetahuan dengan ... pala Boyolali, pendaki mengatakan kejadian-keja- dian yang sering dialami saat mendaki antara lain dehidrasi, pingsan, dan hipotermi adalah kejadian yang paling sering dialami. Berdasarkan hasil wa- wancara dari 16 pendaki 9 pendaki mengatakan mengetahui bagaimana menangani anggota yang mengalami hipoteremi, 4 pendaki mengatakan hanya mengetahui sedikit, dan 3 pendaki mengatakan tidak tahu sama sekali. Data lain menunjukkan bahwa 9 pendaki mengatakan jika ada yang hipotermi maka diberikan minum air hangat seperti air putih hangat atau teh hangat atau coklat hangat, dan memeluk pendaki yang mengalami hipotermi, 4 pendaki lain- nya mengatakan bingung mau melakukan apa, dan 3 pendaki menganggap bahwa kejadian hipotermi adalah kesurupan sehingga tidak perlu penanganan. Hipotermi adalah suatu gangguan medis yang terjadi didalam tubuh dimana terjadi penurunan tem- peratur/suhu tubuh secara tidak wajar yang disebab- kan karena tubuh tidak mampu lagi memproduksi panas untuk mengimbangi dan menggantikan panas tubuh yang hilang dengan cepat karena adanya tekanan buruk dari luar, yaitu udara dingin disertai angin, dan hujan. Seseorang yang mengalami hipo- termi ada 3 masalah medis yang harus dipertimbang- kan yaitu kondisi otot jantung mudah memunculkan gangguan irama, kekurangan cairan tubuh, suhu dan permukaan (kulit, jari-jari tangan dan kaki) jauh lebih dingin dibanding suhu inti (Tanto, 2014). Pendaki yang mengalami kedinginan terlalu lama dapat menyebabkan tubuhnya menjadi beku, vaso- kontriksi pembuluh darah, dan memutus aliran darah ke telinga, hidung, jari dan kaki. Hipotermi yang parah membuat korban menderita pembekuan dan perlu diamputasi. Pakaian dan kaos kaki yang basah semakin menambah dinginnya badan, keadaan akan semakin parah bila pendaki tidak memperhatikan makanan sehingga tubuh tidak memperoleh energi untuk memanaskan badan (Tanto, 2014). Pentingnya pengetahuan pada pendaki dapat menjadikan pendaki tersebut terhindar dari hipo- termi, tetapi tak jarang para pemula menganggap remeh dan tidak peduli. Para pemula tidak mengerti harus berbuat apa saat hipotermi mulai menyerang, bahkan pada tahap lanjut hipotermi dimana penderita berperilaku aneh seperti kejang-kejang sehingga teman-temannya mengira kesurupan (Musliha, 2009). Pendaki yang mengalami hipotermi sebaiknya segera diberikan penanganan seperti mengganti pakaian yang basah dengan pakaian kering, berikan selimut yang tebal dan hangat, tempatkan botol yang berisi air hangat di bagian ketiak dan leher, dan berikan air minum hangat seperti teh hangat atau coklat hangat untuk menjaga cairan dalam tubuh (Susilo, 2012). BAHAN DAN METODE Metode penelitian analitik dengan pendekatan cross sectional. Populasi pada penelitian ini adalah anggota Primapala Ampel yaitu sebanyak 30 res- ponden. Pengambilan sample dilakukan dengan teknik total sampling yaitu sebanyak 30 responden. Instrumen penelitian ini dibuat oleh peneliti yaitu kuesioner tentang tingkat pengetahuan dengan jum- lah pernyataan sebanyak 15 pernyataan dan seluruh pernyataan ini bersifat favorable. Pengukuran aspek perilaku penanganan gawat darurat hipotermi pada pendaki gunung didasarkan pada jawaban responden dari seluruh pernyataan yang diberikan. Pernyataan dari kuesinoer perilaku ini bersifat favorable. Analisa dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan Kendall’s Tau. HASIL PENELITIAN Distribusi frekuensi jenis kelamin pendaki gunung PRIMAPALA disajikan pada Tabel 1. Sumber: Data Primer diolah Tahun 2019 No Jenis kelamin f % 1 Laki-laki 30 100 2 Perempuan 0 0 Total 30 100 Tabel 1 Distribusi frekuensi jenis kelamin pendaki gunung di organisasi primapala Ampel Kabupaten Boyolali Bulan Mei Tahun 2019 Sumber: Data Primer diolah Tahun 2019 No Pendidikan f % 1 SD 19 63,3 2 SMP 5 16,7 3 SMA 5 16,7 4 Perguruan Tinggi 1 3,3 Total 30 100 Tabel 2 Distribusi frekuensi pendidikan pendaki gunung di organisasi primapala Ampel Kabupaten Boyolali Bulan Mei Tahun 2019 Berdasarkan Tabel 1 menunjukkan bahwa semua pendaki berjenis kelamin laki-laki, yaitu sebanyak 30 pendaki (100%). 40 Jurnal Ners dan Kebidanan, Volume 7, Nomor 1, April 2020, hlm. 037–043 Distribusi frekuensi pendidikan pendaki gunung PRIMAPALA disajikan pada Tabel 2. Berdasarkan Tabel 2 menunjukkan bahwa sebagian besar pendaki adalah berpendidikan lulusan SD yaitu sebanyak 19 orang (63,3%) dan yang paling sedikit berpendidikan di perguruan tinggi yaitu sebanyak 1 orang (3,3%). Distribusi frekuensi usia para pendaki gunung PRIMAPALA disajikan pada Tabel 3. Berdasarkan Tabel 6 menunjukkan bahwa mayoritas pendaki memiliki perilaku penanganan gawat darurat hipotermi dalam kategori baik, yaitu sebanyak 28 pendaki (93,3%). Analisa hubungan tingkat pengetahuan dengan perilaku penanganan gawat darurat hipotermi pada pendaki gunung disajikan pada Tabel 7. Berdasarkan Tabel 7 menunjukkan hasil ñ value adalah 0,013 yang artinya terdapat hubungan tingkat pengetahuan dengan perilaku penanganan gawat darurat hipotermi pada pendaki gunung. Sumber : Data Primer diolah Tahun 2019 No Usia f % 1 Masa remaja Akhir (17–25 tahun) 9 30 2 Masa dewasa Awal (26-35 tahun) 15 50 3 Masa dewasa Akhir (36-45 tahun) 4 13,3 4 Masa Lansia Awal ( 46-55 tahun) 2 6,7 Total 30 100 Tabel 3 Distribusi frekuensi usia para pendaki gunung di organisasi primapala Ampel Kabupaten Boyolali Bulan Mei Tahun 2019 Berdasarkan Tabel 3 menunjukkan bahwa mayoritas pendaki berusia pada masa dewasa awal (26-35 tahun) yaitu sebanyak 15 orang (50%) dan yang paling sedikit yaitu berusia pada masa lansia awal (46-55 tahun) yaitu sebanyak 2 orang (6,7%). Distribusi frekuensi pengalaman mendaki para pendaki gunung PRIMAPALA disajikan pada Tabel 4. Sumber: Data Primer diolah Tahun 2019 No Pengalaman Mendaki f % 1 <1 tahun 0 0 2 1-3 tahun 3 10 3 4-5 tahun 8 26,7 4 >5 tahun 19 63,3 Total 30 Tabel 4 Distribusi frekuensi pengalaman mendaki para pendaki gunung di organisasi primapala Ampel Kabupaten Boyolali Bulan Mei Tahun 2019 Berdasarkan Tabel 4 menunjukkan bahwa semua anggota sudah mempunyai pengalaman mendaki minimal 1 tahun. Mayoritas mempunyai pengalaman mendaki selama lebih dari 5 tahun yaitu benyak 19 orang (63,3 %) Sumber : Data Primer diolah Tahun 2019 No Pengetahuan Penanganan Gawat f % Darurat Hipotermi 1 Baik 27 90 2 Cukup 3 10 3 Kurang 0 0 Total 30 100 Tabel 5 Distribusi frekuensi tingkat pengetahuan penanganan gawat darurat hipotermi pada pendaki gunung di organisasi primapala Ampel Kabupaten Boyolali Bulan Mei Tahun 2019 Berdasarkan Tabel 5 menunjukkan bahwa mayoritas pendaki memiliki pengetahuan dalam kategori baik, yaitu sebanyak 27 pendaki (90%). Distribusi frekuensi perilaku penanganan gawat darurat hipotermi pada pendaki gunung disajikan pada Tabel 6. Sumber : Data Primer diolah Tahun 2019 No Perilaku Penanganan Gawat f % Darurat Hipotermi 1 Baik 28 93,3 2 Cukup 2 6,7 3 Kurang 0 0 Total 30 100 Tabel 6 Distribusi frekuensi perilaku penanganan gawat darurat hipotermi pada pendaki gunung di organisasi primapala Ampel Kabupaten Boyolali Bulan Mei Tahun 2019 Distribusi frekuensi pengetahuan penanganan gawat darurat hipotermi pada pendaki gunung disajikan pada Tabel 5. 41Susilowati, Wardani, Imamah, Hubungan Tingkat Pengetahuan dengan ... PEMBAHASAN Tingkat Pengetahuan Hasil penelitian menunjukkan bahwa mayoritas tingkat pengetahuan pendaki dalam kategori baik. Pengetahuan adalah hasil “tahu” dan ini terjadi sete- lah seseorang melakukan penginderaan terhadap objek tertentu. Penginderaan terjadi lewat panca indra manusia yang meliputi indra penglihatan, pen- dengaran, penciuman, rasa, dan raba (Notoadmojo, 2014). Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, setelah melakukan penginderaan terhadap suatu objek. Tan- pa pengetahuan seseorang tidak dapat mengambil keputusa n da n menentuka n tinda ka n da la m mengahadapi suatu masalah (Purwoastuti, 2015). Penelitian ini tidak sejalan dengan hasil penelitian Kustina dan Windya (2017) tentang Hubungan Pengetahuan Tentang Hipotermi Terhadap Praktik Penanganan Hipotermi Pada Maha- siswa Pecinta Alam (MAPALA) yang menunjukkan bahwa sebagian besar responden memiliki tingkat pengetahuan cukup. Sementara tingkat pengetahuan pendaki gunung pada penelitian ini dalam kategori baik. Pengetahuan yang baik dari pendaki dikarena- kan dalam organisasi pendaki gunung PRIMAPALA diberikan pembekalan tentang tindakan antisipasi ketika menghadapi hawa dingin saat mendaki. Tingkat pengetahuan seseorang dipengaruhi oleh umur, pendidikan, lingkungan dan pekerjaan. Hasil penelitian Sri dan Nasifatul (2014) menun- jukkan bahwa tingkat pengetahuan seseorang dipe- ngaruhi oleh beberapa faktor diantaranya adalah faktor umur, pendidikan, pengalaman, pekerjaan dan informasi. Sebagian besar anggota PRIMAPALA berusia pada masa remaja akhir yaitu 17-25 tahun dan dewasa awal yaitu usia 26 – 35 tahun. Pada masa usia tersebut adalah rentang usia produkstif dan aktif di mana seseorang mampu berpikir ra- sional dan mudah untuk menangkap ilmu serta informasi. Sehingga pada rentang usia tersebut pemberian pengetahuan saat pembekalan mudah diserap oleh para anggota. Walaupun anggota PRI- MAPALA sebagian besar lulusan SD, namun seba- gian besar pengalaman pendakian sudah lebih dari 5 tahun, sehingga mereka sudah banyak mempunyai pengetahuan yang diperoleh dari alam langsung saat melakukan pendakian. Wawan (2011), menjelaskan bahwa faktor lingkungan dapat mempengaruhi tingkat pengeta- huan seseorang. Lingkungan organisasi pendaki gunung PRIMAPALA adalah orang-orang yang sudah berpengalaman dalam mendaki, dimana sebagian besar anggota dari organisasi tersebut su- dah mempunyai pengalaman pendakian minimal 1 tahun. Lingkungan organisasi yang terdapat banyak anggota yang berpengalaman dan mempunyai pengetahuan yang lebih akan mempengaruhi penge- tahuan anggota lain. Perilaku Penanganan Gawat Darurat Hipotermi pada Pendaki Gunung Hasil penelitian menunjukkan bahwa mayoritas pendaki dengan perilaku penanganan gawat darurat hipotermi dalam kategori baik. Perilaku merupakan seperangakat perbuatan atau tindakan seseorang dalam melakukan respon terhadap sesuatu dan kemudian dijadikan kebiasaan karena adanya nilai yang diyakini. Perilaku pada hakekatnya tindakan atau aktivitas dari manusia dengan lingkungannya yang terwujud dalam bentuk pengetahuan, sikap, dan tindakan (Triwibowo dan Pusphandani, 2015). Dalam organisasi PRIMAPALA dilakukan pelatih- an dasar penanganan gawat darurat saat mendaki yang bertujuan memberi bekal pendakian bagi anggota baru dan penyegaran kembali bagi anggota lama. Pembekalan yang teratur ini dapat mening- Perilaku Variabel Kategori Baik Cukup  value f % f % Tingkat Pengetahuan Baik 27 90 0 0 Cukup 1 3,3 2 6,7 0,013 Total 28 93,3 2 6,7 Tabel 7 Hasil analisis tingkat pengetahuan dengan perilaku penanganan gawat darurat hipotermi pada pendaki gunung di organisasi primapala Ampel Kabupaten Boyolali Bulan Mei Tahun 2019 42 Jurnal Ners dan Kebidanan, Volume 7, Nomor 1, April 2020, hlm. 037–043 katkan perilaku dari anggota sehingga anggota akan cepat tanggap dalam menghadapi kondisi gawat darurat saat mendaki. Hasil penelitian Muchammad dan Ikhwan (2017) tenta ng penga r uh tr a it kepr iba dia n (personality) dan dukungan sosial terhadap risk taking behavior pada pendaki gunung, menjelaskan bahwa kepribadian seseorang mempengar uhi perilaku dan keputusan individu dalam menentukan perilaku saat berada dalam situasi beresiko yang dihadapinya. Hasil wawancara dengan para anggota PRIMAPALA diperoleh hasil bahwa dukungan social serta rasa solidaritas dalam organisasi sangat baik. Mereka saling membantu dalam mengatasi kesulitan sa a t mela kuka n pendakian. Ketua organisasi menyampaikan bahwa senior harus selalu member ika n bimbingan kepa da junior. Ra sa solidaritas dan saling membantu dalam keadaan apapun yang selalu ditanamkan dalam organisasi membentuk perilaku yang cepat tanggap para anggota dalam mengambil keputusan dan bertindak untuk mengatasi masalah yang ada saat melalukan pendakian. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Naldi, dkk (2018) tentang hubungan pengetahuan hipotermi dengan perilaku penanganan hipotermi bahwa sebagian besar responden mempunyai perilaku yang baik dalam penanganan hipotermi. Hal ini bisa disebabkan karena pengalaman mendaki yang cukup lama yaitu sebagian besar mempunyai pengalaman mendaki minimal 1 tahun. Perilaku yang cepat dalam pena- nganan hipotermi diperoleh dari pengalaman atau kejadian saat melakukan pendakian. Hubungan Tingkat Pengetahuan dengan Perilaku Penanganan Gawat Darurat Hipotermi pada Pendaki Gunung. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara tingkat pengetahuan dengan perilaku penanganan gawat darurat hipotermi pada pendaki gunung di organisasi primapala Ampel Kabupaten Boyolali. World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa perilaku seseorang dipengaruhi oleh pengetahuan. Tingkat pengetahuan seseorang yang semakin tinggi akan berdampak pada arah yang lebih baik (Syahrani, 2012). Anggota PRIMAPALA mempunyai pengetahuan yang baik tentang penanganan gawat darurat pada hipotermi sehingga mempunyai perilaku yang cekatan saat menangani pendaki yang mengalami hipotermi. Hasil penelitian Kaban & Rani (2018) menun- jukkan bahwa terdapat Hubungan Pengetahuan Perawat Tentang Basic Life Support (Bls) Dengan Perilaku Perawat Dalam Pelaksanaan Primary Survey Di Ruang Igd Royal Prima Hospital. Dalam penelitian tersebut disampaikan bahwa perawat diberikan pelatihan dasar tentang kegawatdarutan yaitu PPGD (Pelatihan Penanganan Gawat darurat) dan BTCLS (Basic Trauma Cardiac Life Support) agar perawat cepat tanggap pada saat memberikan penanganan pertama di IGD. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh peneliti. Pengetahuan yang baik yang dimiliki anggota PRIMAPALA tentang penanganan gawat darurat hipotermi menyebabkan perilaku penanganan pendaki yang mengalami hipotermi akan lebih cekatan dan cepat. Hal ini dikarenakan para pendaki mendapatkan pelatihan dasar tentang kegawatdarutan saat menjadi anggota baru dan dilakukan penyegaran secara berkala oleh pengurus organisasi. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Naldi, dkk (2018) tentang hubungan pengetahuan hipotermi dengan perilaku penanganan hipotermi. Pada penelitian tersebut mempunyai hasil yang sama yaitu sebagian besar responden mempunyai waktu keanggotaan lebih dari 12 bulan (1 tahun) dan sebagian besar juga mempunyai perilaku yang baik dalam penanganan hipotermi. Karakteristik responden yang sama dimana mempunyai pengalaman menjadi anggota pendaki gunung yang lama (minimal 1 tahun) merupakan salah satu faktor yang dapat meningkat- kan pengetahuan dan perilaku yang baik dalam penanganan hipotermi. KESIMPULAN Tingkat pengetahuan pendaki di organisasi Primapala Ampel Boyolali mayoritas mempunyai pengetahuan dalam kategori baik. Perilaku pena- nganan gawat darurat hipotermi pada pendaki gunung di organisasi Primapala Ampel Boyolali mayoritas mempunyai perilaku dalam kategori baik. Terdapat hubungan antara tingkat pengetahuan denga n perila ku pena ngana n ga wa t da rur a t hipotermi pada pendaki gunung di organisasi Primapala Ampel Boyolali. SARAN Sebaiknya selalu diberikan pembekalan tentang kegawatdaruratan secara berkala bagi para pendaki gunung. Persiapan dan peralatan yang lengkap 43Susilowati, Wardani, Imamah, Hubungan Tingkat Pengetahuan dengan ... harus selalu menjadi pioritas sebelum mendaki. Diadakan general ceck up bagi anggota pendaki gunung. DAFTAR PUSTAKA Hardisman. (2014). Gawat Darurat Medis Praktis. Yogyakarta: Gosyen Publishing Kaban, KB & Rani, K. (2018). Hubungan Pengetahuan Perawat Tentang Basic Life Support (Bls) Dengan Perilaku Perawat Dalam Pelaksanaan Primary Survey Di Ruang Igd Royal Prima Hospital. Jurnal Keperawatan Priority, Vol 1, No. 1 Ludiyanto, A. (2018). 5 Pendaki Merbabu Dievakuasi Gara-Gara Cuaca Buruk, Jalur Ditutup. https:// m.solopos.com/soloraya/read/20181230/492/ 961983/5-pendaki-merbabu-dievakuasi-gara-gara- cuaca-buruk-jalur-ditutup/amp. Diakses 28 Maret 2019 Muchammad, A. F., dan Ikhwan L. Pengaruh Trait Kepribadian (Personality) Dan Dukungan Sosial Terhadap Risk Taking Behavior Pada Pendaki Gunung. Jakarta: Jurnal P3I. Vol.6. No. 2 Musliha. (2009). Keperawatan Gawat Darurat. Yogya- karta: Nuha Medika Naldi, Y, Atik S dan Purnomo PN. (2018). Hubungan Pengetahuan Hipotermi dengan Perilaku Pena- nganan Awal Hipotermi pada Mahasiswa Pencinta Alam di Unswagati dan IAIN Syekh Nurjati Kota Cirebon. FK Universitas Swadaya Gunung Jati: Jurnal Kesehatan dan Kedokteran Tunas Medika. Notoadmojo, S. (2014). Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku. Jakarta: Rineka Cipta Purwoastuti dan Wahyuni. (2015). Perilaku dan Softskills Kesehatan Panduan Untuk Tenaga Kesehatan Perawat dan Bidan. Jakarta: Pustaka Baru Press Riska, P. P. dan Siti, M. (2017). Tingkat Pengetahuan Ibu Nifas Tentang Hipotermi Pada Bayi. Surakarta: Jur- nal Kebidanan dan Ilmu Kesehatan. Vol. 4. No. 2. Sarimo, E. (2008). LKS Geografi X Semester Genap. Surakarta : CV Citra Pustaka Setiati, S. 2014. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi IV. Jilid I. Jakarta : Internal Publishing Sri, B. dan Nasifatul, M. (2014). Hubungan Tingkat Pengetahuan Ibu Nifas Paritas I Tentang Peranan Perawatan Bayi Baru Lahir Dengan Kejadian Hipo- termi. Jombang: Jurnal Edu Health. Vol. 4. No. 1. Susilo, T. (2012). Siap Mendaki! Panduan Dasar Pendakian. Jakarta Syahrani, Santoso, dan Sayono. (2012). Pengaruh Pendidikan Kesehatan Tentang Penatalaksanaan ISPA Terhadap Pengetahuan dan Ketrampilan Ibu Merawat Balita ISPA dirumah. https://www.jurnal. stikes-aisyiyah.ac.id/index.php/gaster/article/view/ 225 (diakses tanggal 6 April 2019) Tanto, C. (2014). Kapita Selekta Kedokteran. Edisi IV. Jilid II. Jakarta : FKUI Triwibowo, C dan Pusphandani, M, E. 2015. Penge- tahuan Dasar Ilmu Kesehatan Masyarakat. Yogya- karta: Medikal Book Wawan dan Dewi M. (2011). Teori & Pengukuran Penge- tahuan, Sikap, dan Perilaku Manusia. Cetakan II. Yogyakarta: Nuha Medika Wijaya, H. W. (2011). Rekam Jejak Pendakian ke-44 Gunung di Nusantara. Yogyakarta: ANDI Kustina & Windya, DS. (2017). Hubungan Pengetahuan Tentang Hipotermi Terhadap Praktik Penanganan Hipotermi Pada Mahasiswa Pecinta Alam (Mapala). Thesis, Universitas Muhammadiyah Semarang.