357Wulandari, Su’udi, Hubungan Tingkat Kecacatan dan Lama Menderita Kusta dengan... 357 JNK JURNAL NERS DAN KEBIDANAN http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk Hubungan Tingkat Kecacatan dan Lama Menderita Kusta dengan Depresi Penderita dan Mantan Penderita Kusta Nawang Wulandari1, Muhammad Su’udi2 1,2Prodi Keperawatan, STIKes Patria Husada Blitar, Indonesia Info Artikel Kata Kunci: Tingkat Kecacatan, Lama Menderita, Depresi, Kusta Abstrak Sifat penyakit yang kronis dan kecacatan yang ditimbulkan dari penyakit kusta dapat mengganggu penampilan dan fungsi tubuh penderitanya, ditambah persepsi yang negatif dari masyarakat menimbulkan dampak negatif dalam kesehatan jiwa. Penderita akan merasa rendah diri, tekanan batin dan merasa tidak berguna baik dalam lingkungan keluarga maupun masyarakat, kondisi ini yang dapat mencetuskan depresi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara tingkat kecacatan dan lama menderita dengan depresi penderita dan mantan penderita kusta di Kecamatan Ponggok Kabupaten Blitar. Jenis penelitian ini adalah analitik observasional dengan pendekatan cross sectional. Sampel yang digunakan sebanyak 26 responden diambil dengan teknik purposive sampling. Metode pengambilan data menggunakan kuesioner Zung Self-Rating Depression Scale (ZSDS) dan dianalisis menggunakan uji korelasi Spearman. Hasil analisis tingkat kecacatan dan lama menderita dengan depresi sama-sama didapatkan nilai p<0,05 yang berarti ada hubungan antara tingkat kecacatan dan lama menderita dengan depresi penderita dan mantan penderita kusta. Depresi dipengaruhi oleh banyak faktor diantaranya pendidikan, jenis kelamin, status perkawinan, dukungan, pendapatan, dan karakteristik penyakit sendiri. Peningkatan ketahanan terhadap depresi melalui self efficacy sangat diperlukan untuk meningkatkatkan kepercayaan diri penderita dan mantan penderita dalam mengatasi masalahnya. Article Information Abstract The chronic nature of disease and disability resulting from leprosy can disrupt the appearance and function of the sufferer’s body, and the nega- tive perception of the community has a negative impact on mental health. Patients will feel inferior, inner pressure and feel useless in both the family and community environment, this condition can trigger depression. This study aims to determine the relationship between the level of disability Relationship Between Disability Level and Duration of Person Affected by Leprosy with Depression of Sufferers and Former Sejarah Artikel: Diterima, 31/10/2019 Disetujui, 18/11/2019 Dipublikasi, 05/12/2019 History Article: Received, 31/10/2019 Accepted, 18/11/2019 Published, 05/12/2019 http://crossmark.crossref.org/dialog/?doi=10.26699/jnk.v6i3.ART.p357-363&domain=pdf&date_stamp=2019-12-05 358 Jurnal Ners dan Kebidanan, Volume 6, Nomor 3, Desember 2019, hlm. 357–363 Correspondence Address: STIKes Patria Husada Blitar - East Java, Indonesia P-ISSN : 2355-052X PENDAHULUAN Penyakit kusta merupakan salah satu penyakit menular yang menimbulkan masalah yang sangat kompleks. Masalah yang dimaksud bukan hanya dari segi medis tetapi meluas sampai masalah psiko- logis, sosial ekonomi, dan spiritual yang melemahkan individu secara progresif (Depkes RI, 2015). Penyakit dan deformitas fisik yang ditimbulkan oleh penyakit ini merupakan sumber terjadinya stigma dan isolasi sosial terhadap pasien dan keluarganya dalam masyarakat, yang kemudian dapat mempe- ngaruhi kesehatan mental pasien kusta sendiri maupun keluarganya. Program pemerintah untuk mengendalikan kusta sebenarnya sudah berjalan kearah yang semestinya, namun masalah stigma, diskriminasi dan kecacatan masih menjadi masalah bagi orang yang mengalami kusta. Beban akibat kecacatan kusta di Indonesia sendiri juga masih tinggi (Depkes RI, 2015). Prevalensi kusta di dunia sudah mengalami penurunan selama 50 tahun terakhir, akan tetapi penularan masih terjadi dan kusta masih menjadi masalah kesehatan masyarakat yang ditandai dengan masih ditemukannya 250.0000 kasus baru yang terdaftar setiap tahun (Siagian et al, 2009) Rata-rata penemuan penderita kusta di Jawa Timur per tahun antara 4000–5000 orang. Tahun 2012 penderita kusta baru di Indonesia sebanyak 18.853 orang dan penderita baru di provinsi Jawa Timur sendiri sebanyak 25,5% dari jumlah penderita baru di indonesia yaitu 4.807 orang (Kemenkes RI, 2018). Di Kecamatan Ponggok, penderita kusta sejak tahun 2009-Juni 2019 tercatat 26 penderita dengan tingkat kecacatan adalah 50% (kecacatan tingkat 2). Dengan banyaknya kecacatan memunculkan dampak yaitu stigma dan diskriminasi terhadap orang yang pernah terinfeksi kusta. Walaupun kusta jarang menimbulkan kematian namun kecacatan yang semakin parah membuat ketakutan bagi orang lain yang melihatnya. Akibat- nya, meskipun penderita kusta telah diobati dan dinyatakan sembuh secara medis, akan tetapi bila fisiknya cacat, maka predikat kusta tetap akan mele- kat disisa hidupnya. Sehingga penderita dan ke- luarganya akan dijauhi oleh masyarakat sekitarnya (Amirudin, 2012). Selain itu, gejala kecacatan yang timbul akibat kusta ini seringkali muncul pada masa reproduksi sehingga menghalangi penderita menja- lankan peran dan fungsinya secara normal. Mereka menjadi tergantung secara fisik karena cacat, kehilangan kepercayaan diri sebagai hasil isolasi sosial, kualitas hidup secara umum menurun dan bahkan bisa membuat penderitanya menjadi depresi (Chin, 2009). Penderita kusta sering menyembunyikan ke- adaan sebagai penderita kusta dan enggan untuk Keywords: Disability Level, Duration of Suffer- ing, Depression, Leprosy and length of suffering with depression sufferers and former leprosy suffer- ers in Ponggok District Blitar. This type of research is observational ana- lytic with cross sectional approach. The sample used by 26 respondents was taken by purposive sampling technique. The data collection method uses the Zung Self-Rating Depression Scale (ZSDS) questionnaire and analyzed using the Spearman correlation test. The results of the analysis of the level of disability and duration of suffering with depression both ob- tained p values <0.05 which means there is a relationship between the level of disability and duration of suffering with depression sufferers and former leprosy sufferers. Depression is influenced by many factors includ- ing education, gender, marital status, support, income, and the character- istics of the disease itself. Increased resistance to depression through self- efficacy is needed to increase the confidence of sufferers and former suffer- ers in overcoming their problems. © 2019 Jurnal Ners dan Kebidanan Email: wulandarinawang23@gmail.com E-ISSN : 2548-3811 DOI: 10.26699/jnk.v6i3.ART.p357-363 This is an Open Access article under the CC BY-SA license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ https://doi.org/10.26699/jnk.v6i3.ART.p357-363 359Wulandari, Su’udi, Hubungan Tingkat Kecacatan dan Lama Menderita Kusta dengan... berobat ke pelayanan kesehatan secara teratur. Keadaan ini tidak menunjang proses pengobatan dan kesembuhan, sebaliknya akan memperbesar resiko munculnya cacat bagi penderita sendiri. Stigma yang terjadi di masyarakat banyak dipe- ngaruhi oleh berbagai kepercayaan dan informasi yang salah tentang penyakit kusta sehingga mem- pengaruhi sikap dan perlakuan masyarakat secara negatif terhadap penderita kusta (Widakdo & Besral, 2013). Adanya cacat tubuh yang menggang- gu penampilan dan fungsi ditambah persepsi negatif yang terbentuk dimasyarakat menimbulkan dampak negatif dalam kesehatan jiwa penderita kusta khususnya dalam bentuk depresi (Rohmatika, 2012). Penanggulangan kusta di indonesia bertujuan untuk mengurangi beban akibat penyakit kusta dengan menurunkan transmisi penyakit, mencegah kecacatan pada semua penderita baru yang dite- mukan melalui pengobatan dan perawatan yang benar, serta menghilangkan stigma sosial dalam masyarakat (Depkes RI, 2015). Beberapa upaya telah dilakukan pemerintah dalam penanganan penyakit kusta ini, akan tetapi masih ditemukan beberapa kendala dalam pencapaiannya. Salah satu masalah dalam penanggulangan penyakit kusta di Indonesia ini adalah masih kuatnya stigma tentang penyakit kusta sedangkan penanganan yang dapat dilakukan masih lebih berfokus pada penyembuhan secara fisik dan belum mengatasi permasalahan psikologis. Hal ini menyebabkan penderita kusta merasa tidak berguna, putus asa, tidak berdaya dan tidak mempunyai motivasi untuk bekerja dan beraktivitas. BAHAN DAN METODE Jenis penelitian ini adalah analitik observasional dengan desain penelitian cross sectional. Populasi dalam penelitian ini adalah penderita dan mantan penderita kusta di Kecamatan ponggok sebanyak 26 orang. Sampel dalam penelitian ini adalah penderita dan mantan penderita yang memenuhi kriteria inklusi yaitu penderita dan mantan pen- derita kusta yang teregister di Puskesmas Bacem dan Puskesmas Ponggok mulai tahun 2009 sejumlah 26 orang yang diambil dengan menggunakan teknik purposive sampling. Variabel dependen dalam penelitian adalah tingkat kecacatan dan lama menderita kusta. Sedangkan variabel independennya yaitu depresi penderita dan mantan penderita kusta. Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner depr esi da r i Zung Self-Rating Depression Scale (ZSDS) dan lembar observasi. Penelitian ini dilakukan di Puskesmas Bacem dan Puskesmas Ponggok Ponggok Kabupaten Blitar pada bulan Juli 2019. Data yang terkumpul dianalisis menggunakan uji korelasi spearman karena semua variabel berjenis data ordinal. HASIL PENELITIAN Variabel Kategori F % Umur 17-25 tahun 2 7,7 26-35 tahun 1 3,8 36-45 tahun 6 23,1 46-55 tahun 5 19,2 56-65 tahun 7 26,9 > 65 tahun 5 19,2 Jenis Kelamin Laki-laki 17 65,4 Perempuan 9 34,6 Status perkawinan Menikah 25 96,2 Tidak Menikah 1 3,8 Tingkat pendidikan SD 10 38,5 SMP 4 15,4 SMU/SMK 11 42,3 PT 1 3,8 Pekerjaan Petani 5 19,2 TNI/POLRI 2 7,7 Wiraswasta 13 50,0 IRT 4 15,4 PNS 2 7,7 Tabel 1 Distribusi frekuensi karakteristik responden berdasarkan Umur, Jenis Kelamin, Status Perkawinan, Pendidikan dan Pekerjaan penderita dan mantan penderita kusta di Kecamatan Ponggok Berdasarkan Tabel 1 dapat diketahui bahwa responden terbanyak umur 56–65 tahun sebesar (26,9%), jenis kelamin laki-laki sebanyak 17 orang (65,4%), dengan status perkawinan menikah 25 Variabel Kategori F % Tingkat kecacatan Tingkat 0 13 50,0 Tingkat 1 4 15,4 Tingkat 2 9 34,6 Lama menderita > 6–12 Bulan 3 11,5 1 – 3 Tahun 6 23,1 > 3 tahun 17 65,4 Tabel 2 Distribusi frekuensi tingkat kecacatan dan lama menderita kusta di Kecamatan Ponggok 360 Jurnal Ners dan Kebidanan, Volume 6, Nomor 3, Desember 2019, hlm. 357–363 orang (96,2%), untuk tingkat pendidikan terbanyak SMU/SMK 11 orang (42,3%) dan pekerjaan wira- swasta 13 orang (50%). Berdasarkan Tabel 2 untuk tingkat kecacatan terbanyak pada tingkat 2 yaitu sebanyak 9 orang (34,6%)dengan lama menderita kusta terbanyak >3 tahun 17 orang (65,4%). Tabel 3 untuk distribusi tingkat depresi ter- banyak pada tingkat sedang sejumlah 16 orang (61,5%) Depresi F % Ringan 10 38,5 Sedang 16 61,5 Total 26 100 Tabel 3 Distribusi frekuensi tingkat depresi penderita dan mantan penderita kusta di Kecamatan Ponggok Dari Tabel 4 dapat dilihat bahwa responden yang memiliki tingkat kecacatan 2 dengan tingkat depresi sedang sebanyak 8 orang (30,8%) dan yang berada ditingkat kecacatan 0 dengan depresi sedang sebanyak 10 orang (38,5%). Terdapat pula respon- den yang berada pada tingkat kecacatan 2 tetapi mengalami depresi ringan ringan sebanyak 1 orang (3,8%). Hasil uji korelasi spearman didapatkan nilai p 0,000 yang berarti bahwa terdapat hubungan antara tingkat kecacatan dengan depresi penderita dan mantan penderita kusta di kecamatan Ponggok Blitar dengan nilai koefisien korelasi 0,128 menun- Tingkat kecacatan Tingkat Depresi Total Ringan Sedang f % f % f % Tingkat 0 3 11,5 10 38,5 13 50 Tingkat 1 1 3,8 3 11,5 4 15,4 Tingkat 2 1 3,8 8 30,8 9 34,6 Total 5 19,2 21 80,8 26 100 P 0,000 rs 0,128 Tabel 4 Hubungan Tingkat Kecacatan Dengan Depresi Penderita Dan Mantan Penderita Kusta Di Kecamatan Ponggok jukkan kekuatan korelasi sangat lemah dengan arah positif. Semakin tinggi tingkat kecacatan yang diderita penderita kusta, semakin tinggi pula tingkat depresinya. Berdasarkan Tabel 5 didapatkan bahwa res- ponden dengan lama menderita kusta >3 tahun dengan tingkat depresi sedang sebanyak 14 orang (53,8%) dan yang >6-12 bulan dengan depresi sedang sebanyak 1 orang (3,8 %). Terdapat pula responden dengan lama menderita >3 tahun menga- lami depresi ringan ringan sebanyak 3 orang (11,5%). Hasil uji korelasi spearman didapatkan nilai Lama menderita kusta Tingkat Depresi Total Ringan Sedang f % f % f % > 6–12 Bulan 2 7,7 1 3,8 3 11,5 1 – 3 Tahun 0 0 6 23,1 6 23,1 >3 tahun 3 11,5 14 53,8 17 65,4 Total 5 19,2 21 80,8 26 100 P 0,004 rs 0,147 Tabel 5 Hubungan Lama Menderita Dengan Depresi Penderita Dan Mantan Penderita Kusta Di Kecamatan Ponggok 361Wulandari, Su’udi, Hubungan Tingkat Kecacatan dan Lama Menderita Kusta dengan... p 0,004 yang berarti bahwa terdapat hubungan an- tara lama menderita kusta dengan depresi penderita dan mantan penderita kusta di kecamatan Ponggok Blitar dengan nilai koefisien korelasi 0,147 menun- jukkan kekuatan korelasi sangat lemah dengan arah positif. Semakin lama orang menderita kusta sema- kin tinggi tingkat depresinya. PEMBAHASAN Hubungan tingkat kecacatan dengan depresi penderita kusta Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat kecacatan penderita kusta di Kecamatan Ponggok maksimal pada tingkat 2. Penderita yang memiliki tingkat kecacatan 2 dan mengalami depresi sedang sebanyak 8 orang (30,8%), sedangkan penderita yang berada pada tingkat kecacatan 0 dengan ting- kat depresi sedang sebanyak 10 orang (38,5%). Hal ini sejalan dengan penelitian Susanto (2010) yang menyatakan bahwa saat mendapatkan diagnosis kusta, penderita akan merasa sedih dan kecewa kepada dirinya sendiri. Perasaan tersebut meru- pakan respon depresi yang ditunjukkan dengan sikap menarik diri, putus asa dan kesedihan yang men- dalam (Kaplan, H & Sadock, B, 2010). Hal ini juga dikarenakan masih banyak masyarakat yang ber- anggapan bahwa penyakit kusta merupakan penyakit menular, penyakit kutukan sehingga masih ada yang merasa jijik dan takut berdekatan dengan penderita terutama penderita yang mengalami kecacatan. Berdasarkan hasil uji statistik dengan menggu- nakan uji spearmans rho untuk mengetahui hubungan tingkat kecacatan dan depresi penderita kusta didapatkan nilai p 0,000 dan nilai koefisien korelasi 0,128 dimana p<0,05 yang berarti ada hubungan antara tingkat kecacatan dan depresi penderita dan mantan penderita kusta. Penderita yang mengalami kecacatan akan mengalami penurunan aktivitas se- hari-hari, keterbatasan inilah yang menjadikan mere- ka enggan dan malu untuk bergaul sehingga merasa tidak berguna. Manifestasi cacat berupa bercak putih kemerahan, jari kaki dan tangan terputus dan bekas amputasi memberikan gambaran yang mena- kutkan dimana hal tersebut juga dapat menimbulkan perasaan rendah diri dan depresi (Rohmatika, 2012). Beberapa orang bahkan merasa tidak nyaman dan bersikap negatif terhadap penderita kusta yang me- ngalami kecacatan, hal ini yang membuat penderita sulit untuk membentuk persahabatan dan hubungan lainnya dengan orang lain. Kondisi inilah yang sebenarnya akan memperlambat proses penyem- buhan kecacatan kusta sendiri (Kaur & Van Brakel, 2012). Penderita dengan kecacatan yang menghadapi banyak masalah dan tantangan yang mungkin me- nempatkan mereka pada peningkatan resiko depresi. Depresi dapat dipicu oleh berbagai faktor dianta- ranya usia, jenis kelamin, status perkawinan, kehi- langan pekerjaaan dan pendapatan keluarga, du- kungan keluarga, pendidikan, suku dan karakteristik penyakit (Amir, 2005). Tingkat pendidikan respon- den yang sebagian berada pada pendidikan dasar yaitu SD (38,5%) dan SMP (15,4%) mengakibatkan kurangnya pengetahuan penderita terhadap pe- nyakitnya. Susanto (2010) dalam penelitiannya menyatakan bahwa pendidikan yang rendah dapat mengakibatkan penderita kusta kurang mengetahui penyakitnya sehingga penderita kurang memahami akibat buruk yang ditimbulkan dari penyakit tersebut. Lumongga (2009) juga menyatakan bahwa tingkat pengetahuan yang baik akan dapat menekan gejala depresi yang dialami. Penderita dan mantan pen- derita yang berpendidikan tinggi akan memiliki pengetahuan yang baik mengenai kecacatan yang dialami dan memiliki mekanisme koping yang baik dalam menghadapi masalahnya. Selain pendidikan, depresi juga dipengaruhi oleh dukungan keluarga. Dukungan sosial baik dari keluarga maupun ling- kungan juga mempengaruhi kondisi psikologis penderita, dukungan dapat berbentuk kasih sayang yang dapat membantu mengembangkan konsep diri pasien kearah positif dan menerima pasien sesuai perubahan-perubahan yang terjadi saat sakit. Pada kenyataannya, kecacatan yang dialami penderita memberikan bayangan jijik, ngeri dan takut yang berlebihan kepada masyarakat. Dampak sosial ter- sebutlah yang menyebabkan keresahan mendalam bagi penderita kusta (Zulkifli, 2018). Banyaknya penderita kusta yang mengalami depresi merupakan akibat dari penolakan sosial masyarakat dan juga penderita kusta sendiri yang tidak bisa menerima keadaan cacat tubuhnya sehingga penderita menga- lami kecema san, keputusa saan da n pera saan depresi. A. Hubungan lama menderita dengan depresi penderita kusta Tabel 5 menunjukkan hubungan lama menderita kusta dengan depresi, penderita yang menderita kusta >6–12 Bulan, 1 Tahun-3 Tahun, dan >3 tahun kesemuanya ada yang menderita depresi sedang, namun ada juga penderita yang lama menderita kustanya >3 tahun menderita depresi ringan. Hal 362 Jurnal Ners dan Kebidanan, Volume 6, Nomor 3, Desember 2019, hlm. 357–363 ini salah satunya dapat dipengaruhi oleh mekanisme koping seseorang. Apabila mekanisme koping yang dilakukan berhasil maka individu tersebut akan beradaptasi dengan perubahan yang terjadi pada dirinya. Namun apabila koping tersebut tidak berhasil maka dapat menimbulkan gangguan kesehatan baik fisik maupun psikologis yang dapat mempengaruhi proses penyembuhan (Videbeck, 2008). Berdasarkan hasil uji untuk mengetahui hu- bungan lama menderita dan depresi penderita kusta didapatkan nilai p 0,004 dan nilai koefisien korelasi 0,147 yang berarti ada hubungan antara lama men- derita dan depresi. Lumongga (2009) menyatakan bahwa ketidakmampuan, ketidaknyamanan, keter- gantungan dan pengobatan yang lama mempunyai kecenderungan untuk membuat seseorang menjadi depresi. Dalam penelitian ini didapatkan bahwa responden terbanyak laki-laki sebesar 17 orang (65,4%), dimana hampir kesemuanya berperan sebagai kepala keluarga yang berfokus untuk mencari nafkah keluarga. Lamanya responden menderita kusta dan tidak kunjung mengalami perbaikan kesehatan pastinya membuat seseorang merasa tidak tidak nyaman yang akan berdampak pada status ekonomi keluarga. Status ekonomi keluarga yang kurang baik akan berpengaruh dalam kemampuan keluarga memberikan dukungan kepada anggota keluarga yang sakit. Susanto (2010) menya- takan bahwa tingkat pendapatan keluarga yang rendah akan menurunkan kemampuan keluarga untuk memberikan dukungan pengobatan penderita kusta sehingga penderita beresiko mengalami ke- cacatan yang pada akhirnya bisa memunculkan depresi. Status sosial ekonomi yang rendah meru- pakan stressor tambahan bagi penderita kusta dimana penderita harus memikirkan penyakit yang dideritanya, memikirkan uang untuk keluarga dan juga untuk pengobatan penyakitnya, hal inilah yang menyebabkan pasien kusta lebih beresiko menglami depresi. Selain faktor ekonomi Siagian et al (2009) juga menyatakan bahwa pasien kusta yang menga- lami depresi akibat penyakit kronis yang diderita dan lamanya pengobatan dan mengalami depresi meru- pakan akibat dari adanya penolakan sosial masya- rakat yang tidak dapat menerima keadaaannya. Adanya perubahan tubuh jari-jari yang bengkok, kelopak mata dan tangan yang sulit ditutup, jari tangan dan kaki yang harus dipotong mejadikan penderita merasa malu untuk bertemu orang dan membuat mereka merasa rendah diri. Perasaan tersebut merupakan respon dari depresi yang dialami. Berdasarkan hasil observasi yang peneliti lakukan terhadap fenomena-fenomena yang muncul dalam masyarakat berkaitan dengan stigma dian- taranya keluarga penderita berusaha menyembunyi- kan penderita kusta dari masyarakat, keluarga jarang berkumpul dengan penderita karena takut tertular, masyarakat berusaha menjauhi dan melarang pen- derita untuk ikut aktif dalam kegiatan sosial. Sikap dari masyarakat dan keluarga sendiri itulah yang menyebabkan penderita kusta mengalami depresi. KESIMPULAN Dari hasil penelitian didapatkan bahwa terdapat hubungan antara tingkat kecacatan dan lama men- derita dengan depresi penderita dan mantan pende- rita kusta. Depresi yang muncul dapat dipengaruhi oleh banyak faktor diantaranya pendidikan, jenis kelamin, status perkawinan, dukungan, pendapatan, dan karakteristik penyakit sendiri. SARAN Diharapkan keluarga dan masyarakat tidak memberikan stigma negatif pada penderita dan mantan penderita kusta sehingga penderita dapat lebih produktif. Tenaga kesehatan juga dapat ber- peran dalam melakukan rehabilitasi melalui program pencegahan kecacatan, membina kelompok pera- watan diri, dan rehabilitasi sosial untuk mengurangi masalah psikologis dan stigma. DAFTAR PUSTAKA Amir, N. (2005). Depresi: aspek neurobiologi, diagnosis dan tatalaksana. Jakarta: balai perbit FK-UI. Amirudin M.D. (2012). Penyakit Kusta Sebuah Pendekatan Klinis. Makassar: Brilian International Chin J. (2009). Manual Pemberantasan Penyakit Menular. Jakarta: Infomedika Depkes RI. (2015). Pedoman Nasional Pemberantasan Penyakit Kusta. Jakarta: Direktorat Jenderal Pengen- dalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kaplan, H & Sadock, B. (2010). Sinopsis Psikiatri Ilmu Pengetahuan Psikiatri Klinis. Jakarta: Binarupa Aksara. Kaur & Van Brakel. (2012). Dehabilitation of leprosy affected people a study on leprosy. Lumongga LN. (2009). Depresi tinjauan psikologi. Jakarta: Kencana. Kemenkes RI. (2018). Profil Kesehatan Provinsi Jawa Timur Tahun 2017. Dinas Kesehatan Profinsi Jawa Timur. Rohmatika. (2012). Gambaran Konsep Diri pada Klien Dengan Cacat Kusta di Kelurahan Karangsari Keca- 363Wulandari, Su’udi, Hubungan Tingkat Kecacatan dan Lama Menderita Kusta dengan... matan Neglasari Tangerang. Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah Siagian, Marchira, Siswati. (2009). The Influenc of Stigma and Depresion on Quality of Life on Leprosy Patient (serial online). Diakses tanggal 25 Oktober 2019 Susanto T. (2010). Pengalaman Klien Dewasa Menjalani Perawatan Kusta di Wilayah Kerja Puskesmas Jeng- gawah Kabupaten Jember Jawa Timur: Studi Feno- menologi. Jawa Barat : program pasca Sarjana Fakul- tas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia. Widakdo, G dan Besral. (2013). Efek penyakit kronis terhadap gangguan mental emosional. Jurnal Kese- hatan Mayarakat Nasional 7(7): 309-316 Videbeck SL. (2008). Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta:EGC Zung Self Depression Scale (ZSDS) ECDEU verion (1965). Zung WW, Sajatovic M & Ramirez LF. Rating scales in mental health (2th Ed) Hudson OH.2003 Zulkifli. (2018). Penyakit Kusta dan Masalah Yang Ditimbulkannya. Dipublikasikan oleh USU: Digital Library.