Layout Desember 2008 209 Epistimologi Politik : Studi Atas Politik Hukum Undang-Undang Perbankan No. 10/1998 http://dx.doi.org/10.18196/jgp.2012.0010 Zainal Said Program Studi Kebijakan, Sekolah Pascasarjana UGM. Email: diqy.spsugm@gmail.com Irwan Abdullah Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Email: iabdullah@ugm.ac.id Lasiyo Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Email: lasiyo@filsafat.ugm.ac.id ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ABSTRACT Legal and political system is a subsystem in the community. Each perform a specific func- tion to move the social system as a whole. A rill, a national banking law norms contained in Law no. 7/1992 concerning Banking as amended by Law no. 10/1998 provide less public protection arrangements (social protection) than in community settings (social de- regulation). The Law. 7/1992 on banking, as amended by Law No. 10/1998 which does not restrict the ownership of commercial banks. In a company where there are differences in ownership of company shares a number of very big difference, it will be found the majority shareholder in one hand and minority shareholders, on the other by differences in the number of voting rights is striking. Lessons of the past shows that the majority principle causes ¬’s minority shareholders are in a position of powerlessness and disadvantage in enforcing their interests. Legal position of minority shareholders who number more weak and unable to deal with actions that harm the directors or commissioners of the company, it is caused by the position of the majority shareholder of which is identical with the company’s second organ, both physically and interests. 210 Jurnal Studi Pemerintahan Vol.3 No.1 Februari 2012 ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ Keywords: Politics of Banking Law, Indonesia ABSTRAK Hukum dan politik merupakan subsistem dalam sistem kemasyarakatan. Masing-masing melaksanakan fungsi tertentu untuk menggerakkan sistem kemasyarakatan secara keseluruhan. Secara rill, norma hukum perbankan nasional yang terdapat dalam UU No. 7/1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan UU No. 10/1998 kurang memberikan pengaturan proteksi masyarakat (social protection) dari pada pengaturan masyarakat (social deregulation). Dalam UU No. 7/1992 tentang perbankan sebagaimana diubah dengan UU No 10/1998 yang tidak membatasi dalam kepemilikan bank umum. Dalam suatu perseroan apabila terdapat perbedaan pemilikan saham perseroan yang selisih jumlahnya sangat besar, maka akan dijumpai adanya pemegang saham mayoritas di satu pihak dan pemegang saham minoritas di pihak lain dengan perbedaan jumlah hak suara yang mencolok. Pelajaran masa lalu menujukkan bahwa prinsip mayoritas menyebab-kan pemegang saham minoritas berada pada posisi yang tidak berdaya dan kurang menguntungkan dalam menegakkan kepentingannya. Kedudukan hukum para pemegang saham minoritas yang jumlah lebih lemah dan tidak mampu menghadapi tindakan direksi atau komisaris yang merugikan perseroan, justru disebabkan oleh kedudukan pemegang saham mayoritas yang identik dengan kedua organ perseroan tersebut, baik secara fisik maupun kepentingan. Kata kunci: Politik Hukum Perbankan, Indonesia PENDAHULUAN Hukum tidak ditempatkan pada posisi sentral protes input output sistem kemasyarakatan secara keseluruhan. Dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia, kita mengalami hubungan hukum dengan politik yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip yang diamanatkan dalam UUD 1945. Pembukaan UUD 1945 dengan jelas mengamanatkan susunan negara RI yang berkedaulatan rakyat. Penjelasan umum UUD 1945 mengenai sistem Pemerintahan Negara dengan gamblang menentukan antara lain bahwa Negara Indonesia berdasar atas hukum (rechtstaat) tidak berdasar atas kekuasaan belaka (machtsstaat) serta pemerintahan berdasar atas sistem konstitusi (hukum dasar) tidak bersifat absolutisme (kekuasaan yang tidak terbatas). Hukum dan politik merupakan subsistem dalam sistem kemasyarakatan. Masing-masing melaksanakan fungsi tertentu untuk menggerakkan sistem kemasyarakatan secara keseluruhan. Secara garis besar hukum berfungsi melakukan social control, dispute settlement dan a tool social engeneering atau inovation. Sementara itu, fungsi politik meliputi pemeliharaan sistem dan adaptasi (socialization dan recruitment), konversi Epistimologi Politik : Studi Atas Politik Hukum Undang-Undang Perbankan No. 10/1998 / ZAINAL SAID, IRWAN ABDULLAH, LASIYO LASIYO / http://dx.doi.org/10.18196/jgp.2012.0010 211 Jurnal Studi Pemerintahan Vol.3 No.1 Februari 2012 ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ (rule making, rule aplication, rule adjudication, interestarticulation, dan aggre- gation) dan fungsi kapabilitas (regulatif extractif, distributif. dan responsif). David Held (2004: 3) menegaskan bahwa pertentangan nilai muncul, misalnya pada ajaran-ajaran duniawi yang lain, atau pada ajaran-ajaran mengenai tata peringkat alamiah, atau pada klaim-klaim meneganai kepentingan kaum proletariat. Pilihan-pilihan politik tampak seakan-akan hanya bisa mulai diorganisasikan, diartukulasikan, dan dinegosiasikan dalam demokrasi, tetapi dalam kenyataannya tidak selalu demikian. Sistem hukum, kata Held lebih lanjut memikul tanggung jawab utama untuk menjamin dihormatinya hak dan dipenuhinya kewajiban yang timbul karena hak yang bersangkutan. Sasaran utama sistem politik ialah memuaskan kepentingan kolektif dan perorangan. Meskipun sistem hukum dan sistem politik dapat dibedakan, namun dalan bebagai hal sering tumpang-tindih. Dalam proses pembentukan Undang-undang oleh badan pembentuk Undang-undang misalnya. Proses tersebut dapat dimasukkan ke dalam sistem hukum dan juga ke dalam sistem politik, karena undang-undang sebagai output merupakan formulasi yuridis dari kebijaksanaan politik dan proses pembentukannya sendiri digerakkan oleh proses politik. Hukum dan politik sebagai subsistem kemasyarakatan adalah bersifat terbuka, karena itu keduanya saling mempengaruhi dan dipengaruhi oleh subsistem lainnya maupun oleh sistem kemasyarakatan secara keseluruhan. Walaupun hukum dan politik mempunyai fungsi dan dasar pembenaran yang berbeda, namun keduanya tidak saling bertentangan. Tetapi saling melengkapi. Masing-masing memberikan kontribusi sesuai dengan fungsinya untuk menggerakkan sistem kemasyarakatan secara keseluruhan. Dalam masyarakat yang terbuka dan relatif stabil sistem hukum dan politiknya selalu dijaga keseimbangannya, di samping sistem- sistem lainnya yang ada dalam suatu masyarakat. Hukum memberikan kompetensi untuk para pemegang kekuasaan politik berupa jabatan-jabatan dan wewenang sah untuk melakukan tindakan-tindakan politik bilamana perlu dengan menggunakan sarana pemaksa. Hukum merupakan pedoman yang mapan bagi kekuasan politik untuk mengambil keputusan dan tindakan-tindakan sebagai kerangka untuk rekayasa sosial secara tertib. Von Savigny, menyatakan politik yang Epistimologi Politik : Studi Atas Politik Hukum Undang-Undang Perbankan No. 10/1998 / ZAINAL SAID, IRWAN ABDULLAH, LASIYO LASIYO / http://dx.doi.org/10.18196/jgp.2012.0010 212 Jurnal Studi Pemerintahan Vol.3 No.1 Februari 2012 ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ sangat berpengaruh dalam menentukan arah hukum dalam suatu negara, politik -merupakan sebagai alat yang digunakan setiap menentukan kebijakan-kebijakan hukum. Dengan kata lain bahwa politik merupakan determinan atas hukum, karena itu Maurice Duverger (1981:358) menegaskan: “hukum didefinisikan oleh kekuasaan; dia terdiri dari tubuh undang-undang dan prosedur yang dibuat atau diakui oleh kekuasaan politik. Hukum memberikan dasar legalitas bagi kekuasaan politik dan kekuasaan politik membuat hukum menjadi efektif dalam kehidupan kemasyarakatan. Mahfud MD (1999:6-7) juga menghadirkan sistem politik sebagai variabel yang mempengaruhi rumusan dan pelaksanaan hukum. Lebih lanjut ditegaskan, suatu proses dan konfigurasi politik rezim tertentu akan sangat signifikan pengarunya terhadap suatu produk hukum yang kemudian dilahirkannya. Dalam negara yang konfigurasi politik demo- kratis, produk hukumnya berkarakter responsif atau populis, sedangkan dinegara yang konfigurasi politiknya otoriter, produk hukumnya berkarakter ortodoks atau konservatif atau elitis. Dengan asumsi, ada keterikatan yang erat antara hukum dan politik yang mengarah pada analisa teoretis bahwa ilmu politik hukum merupakan bagaian dari ilmu hukum, bukan ilmu politik. METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan penelitian desk studi atas produk hukum yang ditajaun dalam perspektif politik. Penelitian mendasarkan pada bahan-bahan yang tertulis seperti Undang-Undang Perbankan, perdebatan yan muncul dari kalangan anggota dewan dan para penggagas dalam hal ini pemerintah. Untuk mendapatkan data tersebut dilakukan wawancara mendalam, studi literature yang terkait, bahan-bahan cetakan produk undang-undang maupun surat keputusan dan sjenisnya. Dari sana dianalisis dalam perspektif politik hukum yang akan mengahasilkan produk undang-undang. KERANGKA TEORITIK Kehadiran hukum perbankan dalam khazanah sistem hukum Indone- sia merupakan suatu Condotio Sinequa nan. Hal itu seiring dengan semakin Epistimologi Politik : Studi Atas Politik Hukum Undang-Undang Perbankan No. 10/1998 / ZAINAL SAID, IRWAN ABDULLAH, LASIYO LASIYO / http://dx.doi.org/10.18196/jgp.2012.0010 213 Jurnal Studi Pemerintahan Vol.3 No.1 Februari 2012 ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ berkembang dan pesatnya bisnis perbankan dalam sistem perekonomian nasional kita. Perkembangan bisnis perbankan tersebut telah diantisipasi dengan lahirnya Undang-Undang No. 7/1992 tentang Perbankan sebagai pengganti Undang-Undang No. 14/1967 tentang Pokok Perbankan, yang kemudian disempurnakan dengan Undang-Undang No. 10/1998. Kini dunia perbankan nasional mempunyai landasan hukum yang memadai dalam rangka mewujudkan sistem perbankan nasional yang stabil. Dalam Undang-Undang No. 7/1992 tentang perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 10/1998, terdapat sejumlah norma hukum yang berfungsi sebagai landasan dalam membuat, mengatur dan menetapkan kebijakan dan ketentuan hukum perbankan yang dilakukan oleh pemerintah maupun Bank Indonesia sebagai pemegang otoritas moneter perbankan. Dan menjadi kewajiban setiap pelaku bisnis perbankan untuk mentaati norma hukum perbankan yang terdapat dalam Undang-Undang No. 7/1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 10/1998. Pelbagai norma hukum perbankan yang ditetapkan dimaksudkan untuk memberikan dasar prevensi bagi bank dalam menjalankan kegiatan usahanya, sehingga kepentingan masyarakat maupun kelangsungan hidup bisnis perbankan nasional dapat terlindungi. Disamping itu, untuk mendidik dan sekaligus meningkatkan ketaatan pelaku bisnis perbankan nasional, maka dikembangkan dengan Self Regulation dan moral suasion. Menurut Rahmadi Usman (2001: 2-3) Norma hukum perbankan nasional yang terdapat dalam Undang-Undang No. 7/1992 tentang perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 10/ 1998, cenderung menonjolkan sifat administratif, ketimbang mengatur hubungan keperdataan antar bank dan nasabahnya. Oleh karena itu, norma hukum perbankan lebih tepat jika di kualifikasikan sebagai norma hukum fungsional, yang tidak dapat lagi dikualifikasi sebagai norma hukum privat atau norma hukum publik. Ciri norma hukum fungsional tersebut, meniadakan differensi antara norma hukum privat dan norma hukum publik. Dimana kedua norma hukum ini saling bertaut atau bersinggungan. Hal ini menunjukkan bahwa telah terjadi pergeseran hukum privat menjadi hukum publik. Secara rill, norma hukum perbankan nasional yang terdapat dalam Epistimologi Politik : Studi Atas Politik Hukum Undang-Undang Perbankan No. 10/1998 / ZAINAL SAID, IRWAN ABDULLAH, LASIYO LASIYO / http://dx.doi.org/10.18196/jgp.2012.0010 214 Jurnal Studi Pemerintahan Vol.3 No.1 Februari 2012 ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ Undang-Undang No. 7/1992 tentang perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 10/1998 kurang memberikan pengaturan proteksi masyarakat (social protection) dari pada pengaturan masyarakat (social deregulation). Moment itu oleh pemerintah hukum difungsikan sebagai sarana perubahan masyarakat yang lazim dinamakan sebagai “ law as a tool social engeenering”. Hukum dijadikan alat politik untuk melegitimasi kebijakan pemerintah. Salah satu akibatnya, penga- turan bisnis perbankan nasional dilakaukan dengan cara memodifikasi kebijakan deregulasi yang telah diambil pemerintah untuk disesuaikan dengan tuntutan pembangunan ekonomi nasional dengan tujuan politik yang dijalankan pemerintah. Untuk meluruskan “benang kusut” dalam sektor perbankan perlu penggalangan dan pemanfaatan daya seoptimal mungkin dan segenap komponen dalam sistem moneter dan keuangan serta diikuti dengan penegakan hukum perbankan nasional yang konsisten, transparan dan berkeadilan. Selain itu, juga diperlukan pengetahuan dan pemaknaan yang mendalam mengenai pengaturan bisnis perbankan nasional sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku. Dalam Undang-Undang No. 7/1992 tentang perbankan sebagaimana diubah dengan Undang-Undang No. 10/ 1998 yang tidak membatasi dalam kepemilikan bank umum. Terkhusus dalam kepemilikan saham yang sampai 99 % terhadap pihak Asing dan/ atau badan hukum Asing dari jumlah saham yang bersangkutan sesuai pasal 3 Peraturan Pemerintah No. 29/1999 tentang pembelian saham bank umum. Melihat materi ini memungkinkan adanya diskriminasi saham atas pemilik saham myoritas dan pemeilik saham minoritas terkhusus dalam posisi serta menyangkut hal kepentingan dalam pengambilan kebijakan, yang secara horinsontal akan mempengaruhi pembangunan ekonomi sosial serta kesejahteraan rakyat. HASIL DAN ANALISIS 1. Latar Belakang Lahirnya Undang-undang Perbankan Sebagaimana diketahui Undang-Undang Perbankan 1967 disusun pada situasi dan kondisi perekonomian yang jauh berbeda dengan sistuasi dan kondisi perekonomian saat ini. Perkembangan perekonomian nasional maupun nasional maupun internasional yang senangtiasa bergerak cepat Epistimologi Politik : Studi Atas Politik Hukum Undang-Undang Perbankan No. 10/1998 / ZAINAL SAID, IRWAN ABDULLAH, LASIYO LASIYO / http://dx.doi.org/10.18196/jgp.2012.0010 215 Jurnal Studi Pemerintahan Vol.3 No.1 Februari 2012 ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ disertai dengan tantangan yang sangat luas dan berat, perlu selalu diikuti secara tanggap oleh perbankan nasional dalam menjalankan fungsi dan tanggungjawabnya. Seperti yang tertuang dalam penjelasan umumnya: “Sejalan dengan perkembangan tersebut adanya komitmen Indonesia dalam berbagai forum internasional seperti World Trade Organization (WTO), Asia Pasific Economic Coorporation (APEC), da Association of South East Asian Nations (ASEAN)-diperlukan berbagai penyesuaian dalam peraturan perbankan nasional termasuk pembukaan akses pasar dan perlakuan non-diskriminatif terhadap pihak asing. Upaya liberalisasi di bidang perbankan dilakukan sede- mikian rupa sehingga dapat sekaligus meningkatkan kinerja perbankan nasional. Oleh karena itu, pihak asing perlu diberikan kesempatan yang lebih besar untuk berperan serta dalam memiliki bank nasional sehingga tetap terjadi kemitraan dengan pihak nasional” Dari sudut sifatnya, struktur kaidah hukum dapat dibedakan atas hukum imperative (istilah konvensional: hukum memaksa atau dwigend recht) dan hukum fakultatif ( hukum mengatur atau hukum pelengkap: regelend recht atau aanvullend recht). Perbedaan didasarkan pada kekuatan sanksinya (Djumhana, 2000:9). Hukum memaksa itu adalah hukum yang dalam keadaan kongkret tidak dapat dikesampingkan (disisihkan) oleh perjanjian (kontrak) yang dibuat oleh kedua belah pihak sendiri. Dengan kata lain hukum yang dilakukan dalam keadaan bagaimanapun juga harus ditaati, hukum yang mempunyai paksaan mutlak (absolute). Sedangkan hukum mengatur ialah hukum yang dalam keadaan konkret dapat disisihkan oleh perjanjian yang dibuat oleh kedua belah pihak. Bila mana kedua belah pihak dapat menyelesaikan soal mereka yang membuat sendiri suatu peraturan, maka peraturan hukum yang tercantum dalam pasal yang bersangkutan tidak perlu dijalankan. Hukum mengatur biasanya dijalankan, bilamana kedua belah pihak tidak membuat sendiri peraturan. Hukum mengatur disebut juga hukum menambah (Purba- caraka dan Soekanto, 1980: 21-26; Utrecht, 1983: 28-30). Sekarang bagaimana dengan sifat hukum perbankan nasional sekarang ini? Sifat hukum perbankan kita merupakan hukum memaksa, artinya bank dalam menjalankan usahanya harus tunduk dan patuh terhadap rambu-rambu perbankan yang dilanggar, Bank Indonesia berwenang menindak bank yang bersangkutan dengan menjatuhkan sanksi adminis- Epistimologi Politik : Studi Atas Politik Hukum Undang-Undang Perbankan No. 10/1998 / ZAINAL SAID, IRWAN ABDULLAH, LASIYO LASIYO / http://dx.doi.org/10.18196/jgp.2012.0010 216 Jurnal Studi Pemerintahan Vol.3 No.1 Februari 2012 ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ tratif. Walau pun demikian dalam rangka pengawasan intern, bank diperkenankan membuat ketentuan internal bank sendiri (self regulation) dengan berpedoman pada kebijakan umum yang ditetapkan Bank Indo- nesia. Ketentuan bank sendiri ini dimaksudkan sebagai standar atau ukuran yang jelas dan tegas dalam pengawasan internal bank, sehingga bank diharapkan dapat melaksanakan kebijakannya sendiri dengan baik dan penuh tanggung jawab. Berdasar UU No. 10/1998 yang merupakan sumber hukum utama dari hukum perbankan, karenanya segala ketentuan perbankan di Indo- nesia. Dengan berlakunya Undang-Undang Perbankan yang diubah, selain menyatakan tidak berlaku lagi UU No. 14/1967 tentang pokok-pokok perbankan, juga menyatakan tidak berlakunya lagi peraturan lainnya yakni: a. Staatsblaad 1929 No. 357, 14 September 1929 tentang aturan-aturan mengenai Badan-Badan Kredit Desa dalam Propinsi-propinsi di Jawa dan Madura diluar wilayah kota praja-kota praja b. UU No. 12/1962 tentang Bank Pembangunan Swasta (Lembaran Negara 1962 No 58, tambahan Lembaga Negara Nomor 2489). c. Peraturan tentang usaha perkreditan yang diselenggarakan oleh kelurahan didaerah kadipaten Paku Alaman (Rijksblaad dari daerah Paku Alaman tahun 1937 No 9). Peraturan perbankan tersebut, dinilai sudah tidak dapat mengikuti perkembangan ekonomi nasional maupun inter-nasional, untuk itu disusun UU baru tentang perbankan yang kemudian mengalami perubahan. Sebagaimana diketahui, UU perbankan 1967 disusun pada situasi dan kondisi perekonomian yang jauh berbeda dengan situasi dan kondisi perekonomian saat ini. Serta meratifikasi hasil kesepakatan perundingan perdagangan multilateral Putaran Uruguay diselenggarakan pada 12-15 April 1994 di Marrakesh, Maroko dengan menyepakati satu paket teks peraturan/hukum yaitu “The Results of the Uruguay Round of Mulatilateral Trade Negotiations-Legal Texts”. Faried Wijaya dan Soetatwo Hadiwegeno (1991:78) menyatakan bahwa perkembangan perekonomian nasional maupun internasional yang senantiasa bergerak cepat disertai dengan tantangan yang semakin luas dan berat, perlu selalu diikuti secara tanggap oleh perbankan nasional Epistimologi Politik : Studi Atas Politik Hukum Undang-Undang Perbankan No. 10/1998 / ZAINAL SAID, IRWAN ABDULLAH, LASIYO LASIYO / http://dx.doi.org/10.18196/jgp.2012.0010 217 Jurnal Studi Pemerintahan Vol.3 No.1 Februari 2012 ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ dalam menjalankan fungsi dan tanggungjawabnya. Oleh karena itu perlu: 1. Ditata dalam struktur kelembagaan yang lebih luas dengan landasan yang lebih luas dan arah geraknya. 2. Diberi kesempatan untuk memperluas jangkauan pelayanannya di segala penjuru tanah air. 3. Diperkuat dengan landasan hukum yang dibutuhkan bagi terseleng- garanya pembinaan dan pengawasan yang mendukung peningkatan kemampuan perban-kan dalam menjalankan fungsinya secara sehat, wajar dan efisien sekaligus memungkinkan perbankan Indonesia melalui perkembangan norma-norma per-bankan internasional. Dengan dasar tersebut, diadakan penggantian dan penyempurnaan terhadap peraturan perbankan agar lebih sesuai dengan tuntutan pembangunan nasional. Substansi dari pengaturan perbankan yang baru ini di harapkan dapat menyempurnakan tata perbankan di Indonesia terkhusus menyangkut pengaturan pokok untuk mendirikan suatu bank, sehingga ketentuan pelaksanaan yang berkaitan dengan kegiatan perban- kan lebih jelas, terarah dan bertanggung jawab terhadap pembangunan ekonomi sosial. 2. Implementasi Undang-Undang Perbankan Sebagai subjek hukum pemegang saham mempunyai hak dan kewajiban yang timbul atas saham tersebut. Selaku pemegang hak, pemegang saham berhak mempertahankan haknya terhadap setiap orang. Hak dan kewajiban pemegang saham baik terhadap perseroan maupun terhadap pemegang saham lainnya berada dalam hubungan perikatan, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang dan Anggaran Dasar perseroan. Dalam Pasal 54 ayat (1) UU No. 1/1995 yang telah digantikan dengan Undang- Undang No. 40/2007 tentang Perseroan Terbatas (PT) juga dinyatakan bahwa saham merupakan benda bergerak dan memberikan hak kepemilikan kepada pemegangnya. Dijelaskan bahwa kepemilikan atas saham sebagai benda bergerak memberikan hak untuk kebendaan kepada pemegangnya yang dapat dipertahankan terhadap setiap orang. Dalam suatu perseroan apabila terdapat perbedaan pemilikan saham perseroan yang selisih jumlah yang begitu besar (Widjaya, 2000:202-203) Epistimologi Politik : Studi Atas Politik Hukum Undang-Undang Perbankan No. 10/1998 / ZAINAL SAID, IRWAN ABDULLAH, LASIYO LASIYO / http://dx.doi.org/10.18196/jgp.2012.0010 218 Jurnal Studi Pemerintahan Vol.3 No.1 Februari 2012 ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ maka akan dijumpai adanya pemegang saham mayoritas dipihak yang satu dan pihak yang lain adalah pemegang saham minoritas, juga dengan perbedaan jumlah hak suara yang mencolok. Pelajaran masa lalu menujukkan bahwa prinsip mayoritas menyebabkan pemegang saham minoritas berada pada posisi yang tidak berdaya dan kurang mengun- tungkan dalam menegakkan kepentingannya. Kedudukan hukum para pemegang saham minoritas yang jumlah lebih lemah dan tidak mampu menghadapi tindakan direksi atau komisaris yang merugikan perseroan, justru disebabkan oleh kedudukan pemegang saham mayoritas yang identik dengan kedua organ perseroan tersebut, baik secara fisik maupun kepentingan Hal ini juga menghambat pemegang saham minoritas untuk mewakili kepentingan perseroan atau perseroan terbatas adalah prinsip “Persona Standi in Judicio” atau Capacity Satnding in Court or Judment, yaitu hak untuk mewakili perseroan, baik didalam maupun diluar pengadilan di lakukan oleh organ perseroan. Jadi tampak suatu diskriminasi yang jelas antara yang “kuat” dan yang “lemah”. Walaupun masing-masing mempunyai hak dan kewajiban namun tanpa adanya suatu instrument bagi pihak yang lemah untuk mempertahankan haknya, apalagi hendak menuntut pelaksanaan haknya sebagaimana mestinya menurut hukum. Terlihat secara jelas pada tataran implementasi, dunia perbankan belum berjalan secara signifikan serta masih terlihanya adanya gap antara pemegang otoritas dengan yang terkooptasi dengan otoritas itu sendiri. Hal ini dipertegas dengan terjadinya krisis ekonomi dan moneter yang asal muasalnya melanda dunia perbankan kita. Sehingga dunia perbankan mengalami bencana besar (catastrophe) yang sangat berdampak luas khususnya menyangkut perekonomian nasional. Seperti yang terlihat dalam kasus penyimpangan dana BLBI yang melibatkan beberapa mantan Presdir atau Direktur bank diantaranya bank ASPAC, bank SERVITA, Bank BHS, Bank Modern, Bank Surya dan lainnya (Abraham Amos, 2007:54). Diperburuk lagi dengan kasus penyuapan DPR untuk melagalkan RUU Bank Indonesia yang sekarang ini telah diudangkan menjadi UU No. 23/1999 tentang Bank Indonesia. Rentetan ini juga memperlihatkan berbagai bank melakukan merger, akusisi serta konsilidasi untuk melakukan penyehatan dalam dunia perbankan. Epistimologi Politik : Studi Atas Politik Hukum Undang-Undang Perbankan No. 10/1998 / ZAINAL SAID, IRWAN ABDULLAH, LASIYO LASIYO / http://dx.doi.org/10.18196/jgp.2012.0010 219 Jurnal Studi Pemerintahan Vol.3 No.1 Februari 2012 ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ Lebih parah lagi bisnis perbankan nasional cenderung dimanfaatkan untuk interes-interes yang bersifat politis dan ekonomis, yang akhirnya merusak organ yang menyengsarakan kehidupan rakyat. Krisis ekonomi yang melanda dinegara ini, bermula pada perbankan. Secara beruntung pelbagai “tragedi” yang tragis menimpa bisnis perbankan nasional dan pelbagai masalah hukum yang timbul tidak terselesaikan dengan baik. Hal ini disebabkan dilanggarnya moral hazard oleh pelaku bisnis perbankan nasional serta tidak konsisten (taat asas) dan konsekuennya kita dalam menerapkan asas-asas dan norma hukum yang berkaitan dengan kegiatan bisnis perbankan nasional. Di samping itu diperoleh dengan lemahnya pengawasan bank yang dilakukan bank Indonesia serta penegakan hukum yang pihak-pihak yang terkait dengan bisnis perbankan nasional. Itulah salah satu penyebab krisis perbankan nasional, sampai saat ini belum ada kejelasan arah. Sebagai bahan perbandingan dalam hal law enforcement yang berwibawa, selayaknya kita melihat apa yang ditegaskan Max Weber (2003:230-231) tetang konsep idealisnya, bahwa kekuasaan dibahasakan sebagai kemampuan seseorang untuk memaksakan kehendaknya terhadap orang lain sekalipun ada perlawanan. Dalam hal ini dominasi yang bergantung pada otoritas, sementara otoritas sendiri yang dimaksudkan adalah, ketundukan sukarela minimal tertentu. Namun banyak terdapat kasus ambang, baik karena pembedaan itu merupakan pembedaan anilitis, dan karena paksaan atau bentuk-bentuk kontrol lain sering berkembang menjadi otoritas. Searah dengan pernyataan Weber, Philippe Nonet dan Philip Selsnick (2008:106-107) menegasikan bahwa akibat wajar melemahnya kewajiban adalah pembagian otoritas hukum yang lebih luas sumber-sumber kritisnya, ia menedelegasikan lebih banyak diskresi untuk memutuskan hal-hal yang otoritatif. Partisipasi hukum memiliki arti baru: partisipasi bukan saja menjadi kurang pasif dan kurang patuh; namun juga diperluas hingga menjangkau pembuatan dan interpretasi kebijakan hukum. Dengan kritik komtemporer terhadap rule of law; ber-samaan dengan soal orientasi tujuan memperkenalkan motif pluralis yang kuat. Pluralitas tampak dengan sangat jelas ketika peran utama hukum adalah untuk meminjamkan otoritas kepada institusi-nstitusi swasta dalam hal Epistimologi Politik : Studi Atas Politik Hukum Undang-Undang Perbankan No. 10/1998 / ZAINAL SAID, IRWAN ABDULLAH, LASIYO LASIYO / http://dx.doi.org/10.18196/jgp.2012.0010 220 Jurnal Studi Pemerintahan Vol.3 No.1 Februari 2012 ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ penyelenggaraan peran tetentu oleh pihak swasta, namun ia juga terlibat di dalam kerangka kerja pemerintahan modern. Dengan “Konvensi Konstitusi” yang di gagas A.V. Dicey (2007:449), menegaskan nilai-nilai yang terkandung dalam adat istiadat, prilaku, asas atau prinsip yang tidak ditegakkan atau diakui oleh pengadilan, yang bukannya membentuk hukum, melainkan etika institusional atau politis; lebih jauh dinyatakan bahwa hukum, bukannya moralitas konstitusi, membentuk subjek yang tepat untuk kajian hukum. Lanjut Dicey, bahwa konvensi konstitusi (pada dasarnya) merupakan aturan untuk menentukan pelaksanaan hak-hak prerogatif (eksekutif), yang memiliki satu tujuan utama. Tujuannya adalah memastikan bahwa parlemen, atau kabinet yang secara tidak langsung ditunjuk oleh parlemen, dalam jangka panjang akan menjalankan kehendak kekuasaan tersebut merupakan kedaulatan politis negara yang sesungguhnya mayoritas pemilih seluruh rakyat. Secara esensi, bahwa supremasi hukum adalah kadaulatan parlemen. Oleh karena itu, negara dalam hal ini eksekutif dan legislatif mestinya secara sadar melihat bahwa perlunya membuka sumber-sumber pluralitas dalam demografi keindonesian agar pintu otoritas tersebut nampak secara nyata. Sehinggga dalam proses memahami apa dan bagaimana proses penyelenggaraan negara yang baik dan korporasi yang bertanggung jawab, penghormatan atas nilai-nilai hak asasi manusia merupakan bagian yang paling integral. Nilai-nilai tersebut bisa disebut dengan pilar yang sangat penting bagi pembangunan masyarakat dan warga. Mekanisme pengelolaan sumber daya ekonomi dan sosial di dalam pengertian good governance yang substansi dan pelaksanaannya menunjang pembangunan yang stabil dengan syarat yang utama: efisiensi dan pemerataan. KESIMPULAN Salah satu efek dari struktur kepemilikan melalui saham adalah terciptanya struktur pemegang saham mayoritas dan minoritas. Pada dasarnya masing-masing mempunyai hak yang sama. Terutama terhadap hak suara dengan prinsip One Share One Vote Yaitu 1 saham adalah 1 suara. Ketentuan tambahan terhadap hak suara dapat diatur secara tegas- tegas sehubungan dengan klasifikasi saham. Dengan mekanisme pemilikan yang demikian, pemegang saham mayoritas menjadi pihak yang Epistimologi Politik : Studi Atas Politik Hukum Undang-Undang Perbankan No. 10/1998 / ZAINAL SAID, IRWAN ABDULLAH, LASIYO LASIYO / http://dx.doi.org/10.18196/jgp.2012.0010 221 Jurnal Studi Pemerintahan Vol.3 No.1 Februari 2012 ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ “diuntungkan” dengan sendirinya dan pemegang saham minoritas yang akan menngalami “kerugian”. Semakin banyak saham yang dimilikinya, maka makin dapat berkuasa ia dalam menentukan keputusan mengenai keberadaan dan jalannya suatu perseroan terbatas (perbankan). DAFTAR PUSTAKA Amos, Abraham. 2007, Katastropi Hukum Dan Quo Vadis sistem Politik Peradilan Di Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Dicey, A.V., 1952, Introduction to the Study of The Law of the Constitution diterjemahkan oleh Nurhadi, M.A. Pengantar Studi Hukum Konstitusi. Bandung: Nusamedia. Duverger, Maurice. 1972, The Study of Politics, diterjemahkan oleh Daniel Dhakidae, Sosiologi Politik. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Held, David. 1995, Democracy and The Global Order, From The Modern State to Cosmopolitan Governance, diterjemahkan oleh Damanhuri Demokrasi dan Tatanan Global. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Jumhana, Muhammad. 2000. Hukum Perbankan Di Indonesia. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti. Mahfud MD, Moh, 1999, Pergulatan Politik dan Hukum Di Indonesia. Yogyakarta: Gama Media. Nonet Philippe dan Selsnick Philip, 1978, Law and Society in Transition: Toward Responsive Law, diterjemahkan oleh Raisul Muttaqien Hukum Responsif. Bandung: Nusa Media. Perundingan perdagangan multilateral Putaran Uruguay diselenggarakan pada tanggal 12-15 April 1994 di Marrakesh, Maroko dengan menyepakati satu paket teks peraturan/hukum yaitu “The Results of the Uruguay Round of Mulatilateral Trade Negotiations-Legal Texts”. Purbacaraka Purnadi dan Soekanto Soerjono, 1980. Aneka Cara Pembedaan Hukum. Bandung: Alumni. Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 1998 Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Usman, Rahmadi. 2001. Aspek-Aspek Hukum Perbankan Di Indonesia. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Utrecht E.,1983. Pengantar dalam Hukum Indonesia, terjemahan Moh. Epistimologi Politik : Studi Atas Politik Hukum Undang-Undang Perbankan No. 10/1998 / ZAINAL SAID, IRWAN ABDULLAH, LASIYO LASIYO / http://dx.doi.org/10.18196/jgp.2012.0010 222 Saleh Djingdang. Jakarta: PT. Ichtiar Baru dan Sinar Harapan. Widjaya I.G.Rai. 2000. Hukum Perusahaan, Berbagai Peraturan dan Pelaksanaan Undang-Undang di Bidang Usaha. Jakarta: Kesaint Blanc- IKAPI. Wijaya, Faried dan Hadiwegeno Soetatwo. 1991. Lembaga-Lembaga Keuangan dan Bank:Perkembangan, Teori dan Kebijakan. Yogyakarta: BPFE. Wrong, Dennis. 2003. Max Weber Sebuah Khazanah. Yogyakarta: Ikon Teralitera. Undang-Undang Undang-Undang Dasar 1945 (terutama pasal 33). Undang-Undang No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (PT). Undang-undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1998 tentang Kepailitan. Undang-undang Nomor 10 tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang- undang Nomor 7 tahun 1992 tentang perbankan. Undang-undang Nomor 23 Thaun 1999 tentang Bank Indonesia. Undang-undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan sistem dan sistem Nilai Tukar. Undang-undang Nomor 7 Tahgun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing Trade Organization. Undang-undang Nomor 8 tahun 1995 tentang Pasar Modal. Peraturan Pemerintah Peraturan Nomor 27 Tahun 1998 tentang penggabungan, peleburan dan pengambilalihan Perseroan Terbatas. Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1999 tentang Badan Penyehatan perbankan Nasional. Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1999 tentang Merger, Konsolidasi dan Akuisisi Bank. Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1999 tentang pembelian Saham Bank Umum. Epistimologi Politik : Studi Atas Politik Hukum Undang-Undang Perbankan No. 10/1998 / ZAINAL SAID, IRWAN ABDULLAH, LASIYO LASIYO / http://dx.doi.org/10.18196/jgp.2012.0010