Microsoft Word - 16876-published.doc Lentera Hukum, Volume 2 Issue 3 (2015), pp.220-241 ISSN 2355-4673 | doi: 10.19184/ejlh.v2i3.16876 Published by University of Jember, Indonesia Available online 28 December 2015 Komisi Pemberantasan Korupsi Sebagai Lembaga Negara UUD 1945: Sebuah Analisis Muhammad Bahrul Ulum Osmania University, India ulum.muhammad@gmail.com Dizar Al Farizi Universitas Airlangga, Indonesia Ria Resti Dewanti Universitas Airlangga, Indonesia ABSTRACT Currently, the Corruption Eradication Commission (KPK) is regulated by law, which is considered to have an inferior institutional status and affect the performance of corruption eradication in Indonesia. This institutional inferiority can be judged on the basis of authority and institutions. This paper specifically discusses the institutional status of the Corruption Eradication Commission which is considered inferior and builds discourse through efforts to include the Corruption Eradication Commission as a state institution regulated in the 1945 Constitution. The analysis of this institution as a non-state institution that is not directly outlined in the 1945 Constitution influences its power in efforts to eradicate corruption. KEYWORDS: Corruption Eradication Commission, State Institution, State Commission. Copyright © 2020 by Author(s) This work is licensed under a Creative Commons Attribution-ShareAlike 4.0 International License. All writings published in this journal are personal views of the authors and do not represent the views of this journal and the author's affiliated institutions. Submitted: October 05, 2015 Revised: December 20, 2015 Accepted: December 22, 2015 HOW TO CITE: Ulum, Muhammad Bahrul, Dizar Al Farizi & Ria Resti Dewanti. “Komisi Pemberantasan Korupsi Sebagai Lembaga Negara UUD 1945: Sebuah Analisis” (2015) 2:3 Lentera Hukum 220–241. 221 | Komisi Pemberantasan Korupsi Sebagai Lembaga Negara UUD 1945: Sebuah Analisis I. PENDAHULUAN Reformasi konstitusi merupakan upaya memperbaiki sistem ketatanegaraan di Indonesia sebagai tuntutan kebutuhan. Salah satu manifestasi reformasi tersebut adalah amandemen UUD 1945 yang dimulai pada tahun 1999 hingga 2002. Berdasarkan amanademen yang telah dilakukan maka secara fundamental merubah sistem ketatanegaraan di Indonesia yang pada gilirannya berpengaruh terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara. Lahirnya Mahkamah Konstitusi (MK), Komisi Yudisial (KY) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) merupakan wujud konkrit perubahan dimaksud. Kehadiran lembaga baru itu merupakan upaya menciptakan sistem pengawasan yang mengedepankan prinsip keseimbangan antar lembaga negara dalam rangka penyelenggaraan negara di Indonesia. Diharapkan dengan konsep demikian akan tercipta mekanisme kontrol yang efektif dengan tetap mengutamakan etos profesionalitas lembaga negara di Indonesia. Lebih dari itu output dari reformasi yang telah dilakukan dalam konteks penyelenggaraan negara telah membawa harapan baru dengan lahirnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Lembaga KPK yang dibidani melalui Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi secara fungsional diharapkan dapat menjadi tumpuan terhadap komitmen pemberantasan korupsi yang selama ini merugikan negara. Namun dalam tataran pelaksanaan untuk mewujudkan komitmennya ternyata tidak semudah membalik telapak tangan. Sarat dengan keterbatasan sebagai kendala sehingga harapan banyak pihak terhadap KPK dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia belum optimal dilaksanakan. Dalam praktik, KPK menjalankan tugas dan wewenangnya tidak mampu menjangkau semua lembaga negara karena alasan normatif. KPK kesulitan melakukan akses pemberantasan korupsi terhadap lembaga negara yang legitimasinya merupakan ketentuan langsung amanat UUD 1945. Sementara keberadaan KPK secara kelembagaan lahir dari rahim Undang-Undang, bukan UUD 1945. Dalam hierarki peraturan peraturan perundang-undangan disebutkan bahwa undang- undang sebagai peraturan perundang-undangan yang kedudukannya di bawah UUD. Ketentuan demikian dapat dipahami dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yaitu UUD 1945, UU atau Perppu, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, dan Peraturan Daerah.1 Berdasarkan ketentuan di atas dengan mengacu pada asas lex posteriori derogat lex inferiori, dapat dimengerti bahwa KPK yang lahir dari undang-undang akan mengalami berbagai kendala dalam rangka memberantas korupsi terhadap lembaga negara yang lahir dari UUD. Persoalannya tidak lebih menyangkut dalih kesetaraan kelembagaan. Oleh karena itu, melalui karya tulis ini, penulis akan mengkaji dan menganalisis keberadaan kelembagaan KPK sebagai fakta hukum yang dalam produktivitasnya tidak lepas dari keterbatasan dalam perspektif konstitusional kesetaraan dengan lembaga negara lainnya. Termasuk menyampaikan gagasan sebagai solusi cerdas fungsi KPK dalam rangka peningkatan upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Pokok permasalahan dalam tulisan ini terbagi ke dalam tiga poin utama. Pada bagian pertama, tulisan ini akan mendiskusikan kelembagaan negara secara umum. Pada bagian kedua tulisan ini akan membahas tentang keberadaan KPK sebagai non lembaga negara dalam perspektif UUD 1945 secara fungsional berpengaruh terhadap kompetensi fungsinya dalam upaya memberantas korupsi. Pada bagian kedua, tulisan ini akan menelaah prospek dan potensi 1 Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang- undangan 222 | LENTERA HUKUM membangun kesetaraan KPK sebagai lembaga negara utama, berikut kendala-kendala dan solusinya dalam usaha membangun kesetaraan KPK sebagai lembaga negara utama. II. TINJAUAN PUSTAKA A. Kelembagaana Negara Lembaga negara menurut pandangan Hans Kelsen yaitu “Whoever fulfills a function determined by the legal order is an organ”. Siapa saja yang menjalankan suatu fungsi yang ditentukan suatu tata hukum adalah suatu lembaga atau organ2. Organ negara lebih identik dengan individu yang menjalankan fungsi atau jabatan tertentu dalam konteks kegiatan bernegara. Inilah yang disebut sebagai jabatan publik atau jabatan umum (public offices) dan pejabat publik atau pejabat umum (public official)3. Lembaga negara bukan konsep yang secara terminologis memiliki istilah tunggal dan seragam. Di dalam literatur Inggris, istilah political institution digunakan untuk menyebut lembaga negara, sedangkan Bahasa Belanda mengenal istilah staat organen atau staatsorgaan untuk mengartikan lembaga negara. Sementara di Indonesia, secara baku digunakan istilah lembaga negara, badan negara, atau organ negara. Secara sederhana, istilah lembaga negara atau organ negara dapat dibedakan dari perkataan lembaga atau organ swasta, lembaga masyarakat, atau yang biasa dikenal dengan sebutan organisasi non-pemerintah (ornop). Oleh karena itu, lembaga apapun yang dibentuk bukan sebagai lembaga masyarakat dapat disebut lembaga negara, baik berada dalam ranah eksekutif, legislatif, yudikatif, ataupun yang bersifat campuran. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia4, kata “lembaga” memiliki beberapa arti, salah satu arti yang paling relevan digunakan dalam penelitian ini adalah badan atau organisasi yang tujuannya melakukan suatu usaha. Kamus tersebut juga memberi contoh frase yang menggunakan kata lembaga, yaitu “lembaga pemerintah” yang diartikan sebagai badan-badan pemerintahan dalam lingkungan eksekutif. Apabila kata “pemerintah” diganti dengan kata “negara”, maka frase “lembaga negara” diartikan sebagai badan-badan negara di semua lingkungan pemerintahan negara (khususnya di lingkungan eksekutif, legislatif, dan yudikatif). B. Kelembagaan Negara dalam UUD 1945 Lembaga negara ditinjau berdasarkan UUD 1945 adalah segala lembaga yang diatur di dalam UUD 1945 yang terdiri dari: No. Lembaga Negara Ketentuan dalam UUD 1945 (1) (2) (3) 1. Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Pasal 2 dan Pasal 3 2. Presiden Pasal 4 ayat (1) 2 Jimly Asshiddiqie, Menuju Negara Hukum Yang Demokratis,(Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2008) hlm. 401 3 Ibid. hlm 402 4 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), (Jakarta:Balai Pustaka,1997), Cetakan kesembilan hlm. 579-580 223 | Komisi Pemberantasan Korupsi Sebagai Lembaga Negara UUD 1945: Sebuah Analisis 3. Wakil Presiden Pasal 4 yaitu pada ayat (2) 4. Menteri dan Kementerian Negara Pasal 17 ayat (1), (2), dan (3) 5. Dewan Pertimbangan Presiden Pasal 16 6. Duta Pasal 13 ayat (1) dan (2) 7. Konsul Pasal 13 ayat (1), 8. Pemerintahan Daerah Provinsi Pasal 18 ayat (2), (3), (5), (6) dan ayat (7) 9. Gubernur Kepala Pemerintah Daerah Pasal 18 ayat (4) 10. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Pasal 18 ayat 3 11. Pemerintahan Daerah Kabupaten Pasal 18 ayat (2), (3), (5), (6) dan ayat (7) 12. Bupati Kepala Pemerintah Daerah Kabupaten Pasal 18 ayat (4) 13. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Pasal 18 ayat (3) (1) (2) (3) 14. Pemerintahan Daerah Kota Pasal 18 ayat (2), (3), (5), (6) dan ayat (7) 15. Walikota Kepala Pemerintah Daerah Kota Pasal 18 ayat (4) 16. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Pasal 18 ayat (3) 17. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Pasal 19 sampai dengan Pasal 22B 18. Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Pasal 22C dan Pasal 22D 19. Komisi Penyelenggaran Pemilu Pasal 22E ayat (5) 20. Bank Sentral Pasal 23D 21. Badan Pemeriksa Keuangan Pasal 23E, Pasal 23F , dan Pasal 23G 22. Mahkamah Agung Pasal 24 dan Pasal 24A 23. Mahkamah Konstitusi Pasal 24 dan Pasal 24C 24. Komisi Yudisial Pasal 24B 25. Tentara Nasional Indonesia (TNI) Pasal 30 26. Kepolisian Negara Republik Indonesia Pasal 30 27. Satuan Pemerintahan Daerah yang bersifat khusus atau istimewa Pasal 18B ayat (1) 28. Badan-badan lain yang fungsinya terkait dengan kehakiman seperti kejaksaan diatur dalam undang-undang Pasal 24 ayat (3) Salah satu konsekuensi dilakukannya perubahan terhadap UUD 1945 adalah munculnya beragam penafsiran mengenai istilah “lembaga negara”. Hal ini disebabkan oleh ketidakjelasan UUD Negara RI Tahun 1945 dalam mengatur posis masing-masing lembaga negara.5 5 Indoskripsi, http://one.indoskripsi.com/node/5789 , terakhir diakses pada tanggal 14 September 2009 224 | LENTERA HUKUM Hal ini dapat terlihat dari tiadanya kriteria untuk menentukan apakah suatu lembaga dapat diatur atau tidak dalam konstitusi. Dari berbagai penafsiran yang ada, salah satunya adalah penafsiran yang membagi lembaga negara menjadi lembaga negara utama (state main organ) dan lembaga negara bantu (state auxiliary organ). Lembaga negara utama mengacu pada paham trias politica yang digagas oleh Montesquieu yang memisahkan kekuasaan menjadi tiga poros, yaitu eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Dengan menggunakan pola pikir ini dan penafsiran Mahkamah Konstitusi dalam pengujian Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial, yang dapat dikategorikan sebagai lembaga negara utama menurut UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah MPR, Presiden dan Wakil Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Mahkamah Agung (MA), Mahkamah Konstitusi (MK). Dengan demikian, lembaga- lembaga lain yang tidak termasuk kategori tersebut merupakan lembaga negara bantu.6 Diadakannya mekanisme penyelesaian atas sengketa kewenangan konstitusional antarlembaga negara melalui Mahkamah Konstitusi menunjukkan bahwa penulis Perubahan UUD 1945 mengandaikan bahwa dalam dinamika hubungan antar lembaga negara dapat timbul persengketaan kewenangan antar lembaga negara. Dalam paradigma pemikiran sebelumnya, tidak terbayangkan bahwa antar lembaga negara dapat timbul sengketa kewenangan. Kalaupun timbul perselisihan antara satu lembaga dengan lembaga lain, maka perselisihan semacam itu diselesaikan dengan prosedur yang tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, akan tetapi melalui proses politik ataupun kultural, atau setiap masalah yang dihadapi diselesaikan secara politik oleh lembaga atau instansi yang mempunyai kedudukan lebih tinggi daripada lembaga yang terlibat persengketaan. Penyelesaian politis dan melalui mekanisme pengambilan keputusan yang bersifat vertikal itulah yang mewarnai corak penyelesaian masalah ketatanegaraan selama ini.7 Lembaga negara yang diatur dan dibentuk oleh UUD merupakan organ konstitusi, sedangkan yang dibentuk berdasarkan UU merupakan organ UU, sementara yang hanya dibentuk karena keputusan presiden, tentunya lebih rendah lagi tingkatan dan derajat perlakuan hukum terhadap pejabat yang duduk di dalamnya8. III. KELEMBAGAAN KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI Komisi Pemberantasan Korupsi adalah lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun.9 Tugas dan wewenang KPK berdasarkan Pasal Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah sebagai berikut:10 7 Jimly Asshiddiqie, Sengketa Kewenangan Antar Lembaga Negara,( Jakarta:Konstitusi Press: 2006) 8 Jimly, Op cit hlm. 403 9 UU Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi 10 Pasal 14 UU Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi 225 | Komisi Pemberantasan Korupsi Sebagai Lembaga Negara UUD 1945: Sebuah Analisis Tugas Wewenang Keterangan (1) (2) (3) Koordinasi Mengkoordinasikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi; Menetapkan sistem pelaporan dalam kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi; Meminta informasi tentang kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi kepada instansi yang terkait; Melaksanakan dengar pendapat atau pertemuan dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi; dan Meminta laporan instansi terkait mengenai pencegahan tindak pidana korupsi (1) (2) (3) Supervisi Mengawasi, meneliti, menelaah instansi dalam menjalankan tugas dan wewenang memberantas korupsi, dan dalam melaksanakan pelayanan publik. Mengambil alih penyidikan atau penuntutan terhadap pelaku korupsi yang sedang ditangani kepolisian atau kejaksaan. Alasan pengambilalihan: laporan masyarakat tidak ditindaklanjuti; proses penanganan perkara korupsi beralrut- larut/tertunda tanpa alasan yang dapat dipertanggung jawabkan; penanganan perkara korupsi ternyata melindungi pelaku korupsi yang sesungguhnya; penanganan perkara mengandung unsur korupsi; hambatan penanganan perkara korupsi karena campur tangan dari eksekutif, yudikatif, atau legislatif; atau keadaan lain yang menurut pertimbangan kepolisian atau kejaksaan, 226 | LENTERA HUKUM penanganan perkara korupsi sulit dilaksanakan secara baik dan dapat dipertanggung jawabkan (1) (2) (3) Penyelidikan, Penyidikan, Penuntutan Menyadap, merekam pembicaraan; memerintahkan instansi yang terkait untuk melarang seseorang epergian ke luar negeri; Meminta keterangan bank/lembaga keuangan lainnya tentang keadaan keuangan tersangka; Memerintahkan bank/lembaga keuangan lainnya untuk memblokir rekening yang diduga hasil dari korupsi milik tersangka, terdakwa, atau pihak lain yang terkait; Memerintahkan pimpinan/atasan tersangka untuk memberhentikan sementara tersangka dari jabatannya; Meminta data kekayaan dan data perpajakan tersangka/terdakwa kepada instansi yang terkait; Menghentikan sementara suatu transaksi keuangan, transaksi perdagangan, dan perjanjian lainnya atau pencabutan sementara perizinan, lisensi serta konsesi yang dilakukan atau dimiliki oleh tersangka/terdakwa yang diduga berdasarkan bukti awal yang cukup ada hubungannya dengan perkara korupsi yang sedang diperiksa; Meminta bantuan Interpol Indonesia atau instansi penegak hukum negara lain untuk melakukan pencarian, pengungkapan, dan penyitaan barang bukti di luar negeri; meminta kepolisian/instansi lain yang terkait untuk melakukan penangkapan, penggeledahan, dan penyitaan dalam perkara korupsi yang sedang ditangani Kasus/perkara yang dapat ditangani KPK adalah (a) perkara korupsi yang melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain terkait aparat penegak hukum atau penyelenggara negara tersebut; (b) perkara yang mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat; dan/atau (c) menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah) (1) (2) (3) Pencegahan Melakukan pendaftaran dan pemeriksaan terhadap laporan harta kekayaan penyelenggara 227 | Komisi Pemberantasan Korupsi Sebagai Lembaga Negara UUD 1945: Sebuah Analisis negara; Menerima laporan dan menetapkan status gratifikasi; Menyelenggarakan program pendidikan antikorupsi pada setiap jenjang pendidikan; Merancang dan mendorong terlaksananya program sosialisasi pemberantasan tindak pidana korupsi; Melakukan kampanye antikorupsi kepada masyarakat umum; Melakukan kerja sama bilateral atau multilateral dalam pemberantasan korupsi Memonitor penyelengga- raan pemerintahan Melakukan pengkajian terhadap sistem pengelolaan administrasi di semua lembaga negara dan pemerintah untuk melakukan perubahan jika berdasarkan hasil pengkajian, sistem pengelolaan administrasi tersebut berpotensi korupsi; Melaporkan kepada Presiden Republik Indonesia, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan Badan Pemeriksa Keuangan, jika saran Komisi Pemberantasan Korupsi mengenai usulan perubahan tersebut tidak diindahkan Kewajiban KPK antara lain: (a) memberikan perlindungan terhadap saksi atau pelapor yang menyampaikan laporan ataupun memberikan keterangan mengenai terjadinya tindak pidana korupsi; (b) memberikan informasi kepada masyarakat yang memerlukan atau memberikan bantuan untuk memperoleh data lain yang berkaitan dengan hasil penuntutan tindak pidana korupsi yang ditanganinya; (c) menyusun laporan tahunan dan menyampaikannya kepada Presiden Republik Indonesia, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, dan Badan Pemeriksa Keuangan; (d) menegakkan sumpah jabatan; dan (e) menjalankan tugas, tanggung jawab, dan wewenangnya berdasarkan asas kepastian hukum, keterbukaan, akuntabilitas, kepentingan umum, dan proporsionalitas. 11 KPK sebagai lembaga negara baru yang dibentuk dengan amanat UU Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Berdasarkan UU KPK, KPK berkedudukan di ibukota negara Republik Indonesia dan wilayah kerjanya meliputi seluruh wilayah negara Republik Indonesia. KPK dapat membentuk 11 Pasal 15 UU Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi 228 | LENTERA HUKUM perwakilan di daerah provinsi. KPK bertanggung jawab kepada publik atas pelaksanaan tugasnya dan menyampaikan laporannya secara terbuka dan berkala kepada Presiden, DPR, dan BPK. KPK sebagai lembaga negara yang diatur di dalam UU atau yang dikenal dengan sebutan organ undang-undang, dalam ranah sengketa kewenangan lembaga negara yang melibatkan KPK, maka KPK tidak mempunyai kedudukan hukum (legal standing) dalam perkaranya di Mahkamah Konstitusi. A. Perkembangan Konsep Pemencaran Kekuasaan Dalam ajaran pembagian kekuasaan, ditekankan pentingnya pembagian fungsi bukan pembagian lembaganya. Konsep pembagian kekuasaan kekuasaan didasarkan pada pemikiran bahwa hanya fungsi pokok masing-masing pemegang kekuasaan yang dibedakan. Lembaga-lembaga negara sebagaimana diajarkan oleh Montesquieu12 yaitu teori trias politica tetap ada, namun fungsi tidak lagi terkotak-kotak dan tertutup pada masing-masing lembaga tersebut. Fungsi pokok lembaga legislatif tetap sebagai pembuat undang-undang, namun di lain pihak Presiden sebagai pemegang kekuasaan eksekutif juga mempunyai tugas bersama-sama dengan lembaga legislatif untuk membuat UU. Begitu juga fungsi-fungsi lembaga lain sehingga hal ini nenunjukkan suatu mekanisme yang saling kontrol dan imbang atau checks anda balances. Dalam teori pemencaran kekuasaan trias politica, masing-masing organ atau kekuasaan negara harus dipisah, karena memusatkan lebih dari fungsi pada satu orang atau organ pemerintah akan membahayakan kebebasan individu. Sebagian besar negara-negara didunia telah mengadopsi teori ini, namun tentu saja dengan corak dan modifikasi yang berbeda satu sama lain, disesuaikan dengan kebutuhan dan karakteristik masing-masing negara. Modifikasi ini antara lain terlihat dengan adanya ajaran pembagian kekuasaan dan ajaran checks and balances. Jadi pada intinya, dalam ajaran pembagian kekuasan ini terdapat kerjasama antar poros kekuasaan satu sama lain dalam rangka menjalankan tugas dan fungsinya. Kekuasaan legislatif adalah kekuasaan untuk membuat undang-undang. Pemegang kekuasaan ini biasanya disebut sebagai Parlemen. Pada saat ini, Legislatif di Indonesia dipegang oleh DPR, yang semuanya dipilih melalui pemilu. Secara umum parlemen didunia ini dikenal dua sistem, yaitu sistem parlemen satu kamar (unikameral) dan sistem parlemen dua kamar (bicameral), walaupun juga terdapat sistem tiga kamar (trikameral). Di Amerika Serikat, Badan legislatif nya disebut Kongres, dimana badan tersebut terdiri dari dua kamar, yaitu Senat (wakil negara bagian) dan DPR (House of Representative). Sedangkan di Prancis, Parlemennya terdiri dari dua kamar, yaitu Dewan Nasional dan Senat (Wakil Rakyat dan Senator). Kekuasaan eksekutif adalah kekuasan untuk melaksanakan undang-undang. Untuk melihat pemegang kekuasaan eksekutif ini terlebih dahulu harus dilihat sistem pemerintahan apa yang digunakan. Jika menggunakan sistem presidensiil, maka kekuasaan tersebut berada di tangan Presiden (sebagai Kepala Negara sekaligus sebagai 12 Soehino, Ilmu Negara, (Yogyakarta;Liberty, 1998) hlm. 116-117 229 | Komisi Pemberantasan Korupsi Sebagai Lembaga Negara UUD 1945: Sebuah Analisis Kepala Pemerintahan ). Jika sistem pemerintahan yang digunakan adalah parlementer, maka kekuasaan tersebut berada di tangan perdana menteri. Pada negara yang berbentuk monarki, dapat pula kekuasaan eksekutif ini dipegang secara langsung oleh Raja. Di Indonesia, lembaga kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.13 Sedangkan Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundangundangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang serta kewenangan lain yang diberikan oleh undang-undang.14 Mahkamah Konstitusi mempunyai empat kewenangan dan satu kewajiban. Kewenangannya yaitu berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap UUD, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum, termasuk pemilukada, serta kewajibannya yaitu memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut UUD.15 Sebagaimana telah dijelaskan didepan, bahwasanya pemencaran kekuasaan sebagaimana ajaran trias politika tlah banyak dipraktikkan dibanyak negara didunia, namun dengan modifikasi dan penyesuaian disana-sini, tergantung kebutuhan masing- masing negara. Hal ini terjadi juga di Indonesia. Sejak Dekrit Presiden 5 Juli 1959- sekarang, setidaknya telah terjadi dua modifikasi ajaran pemencaran kekuasaan dalam struktur ketatanegaraan Indonesia. Dari segi rentang waktu, modifikasi tersebut dapat dikelompokkan dalam dua masa, yaitu sebelum dan sesudah amandemen UUD 1945. Sebelum amandemen Indonesia menganut ajaran pembagian kekuasaan, sedang setelah amandemen Indonesia memiliki kecenderungan menganut sistem checks and balances. Mengenai distribution of Power S.F Marbun berpendapat bahwa trias politika juga berpengaruh pada struktur ketatanegaraan Indonesia yang diciptakan menurut UUD 1945.16 Dikatakan berpengaruh, karena Indonesia tidak menganut sepenuhnya teori trias politica dalam arti pemencaran kekuasaan. Sebelum perubahan UUD 1945, sistem ketatanegaraan Indonesia menganut atau paling tidak dipengaruhi oleh ajaran pembagian kekuasaan. Dalam ajaran pembagian kekuasaan, ditekankan pentingnya pembagian fungsi, bukan pembagian lembaganya. Di Indonesia terdapat lembaga- lembaga negara yang secara fungsi mirip dengan lembaga-lembaga yang diinginkan oleh ajaran trias politika, namun jika dilihat dari kecamata hubungan kerjasama antar poros 13 Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 14 Pasal 24A ayat (1) UUD 1945 15 Pasal 24C ayat (1) dan (2) UUD 1945 16 Marbun SF dan Moh. Mahfud MD, Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara, (Liberty:Yogyakarta,2000) 230 | LENTERA HUKUM organ atau lembaga negara sebagaimana diamanatkan oleh UUD, maka dapat dilihat adanya hubungan kerja sama dalam menjalankan fungsinya. Dalam hal ini ajaran pembagian kekuasaan dapat ditunjukkan dalam Pasal 5, Pasal 14, Pasal 21 UUD 1945 pra perubahan. Pasal 5 UUD 1945 pra amandemen menunjukan bahwa pemegang kekuasaan legilatif di Indonesia bukanlah DPR, melainkan Presiden. Konstruksi pasal yang demikian jelas tidak sesuai dengan ajaran tris politika, karena trias politika menghendaki agar kekuasaan eksekutif dan legislatif dipisahkan untuk mewujudkan sistem pemerintaha negara yang saling imbang dan kontrol, sedangkan dalam UUD 1945 pra amandemen kedua poros kekuasaan tersebut berada ditangan Presiden. UUD 1945 hanya menegaskan bahwa pembentukan UU harus mendapatkan persetujuan bersama, antara pemerintah dan DPR. Disisi lain, ajaran pembagian kekuasaan di Indonesia juga dapat ditunjukkan pada Pasal 1 ayat (2) UUD 1945. Pasal tersebut berbunyi “Kedaulatan adalah ditangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat”. Pasal ini menunjukkan, bahwasanya, secara teoritis, semua kekuasaan negara berada ditangan MPR, kemudian kekuasaan tersebut dibagi-bagikan kepada lembaga lembaga tinggi negara sesuai UUD 1945. Menurut Moh. Kusnardi17, dengan mendasarkan pada UUD 1945, paling tidak terdapat tiga alasan mengapa sistem pemerintahan di Indonesia menganut ajaran pembagian kekuasaan, yaitu : a. UUD 1945 tidak membatasi secara tajam, bahwa setiap kekuasaan itu harus dilakukan oleh satu organ/badan tertentu yang tidak boleh saling campur tangan. b. UUD 1945 tidak membatasi kekuasaan itu dibagi atas tiga bagian saja dan juga tidak membatasi pembagian kekuasaan dilakukan oleh tiga organ/badan saja. c. UUD 1945 tidak membagi habis kekuasaan rakyat yang dilakukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Pasal 1 ayat 2, kepada lembaga-lembaga negara lainnya. Pada UUD 1945 pasca amandemen memiliki kecendrungan sistem yang digunakan terhadap hubungan antar organ konstitusi adalah paham pemencaran kekuasaan berdasarkan mekanisme checks and balances. Dalam mekanisme checks and balances lembaga-lembaga negara tersebut diakui sedarajat dalam rangka mewujudkan keseimbangan dan saling kontrol. Sudah seharusnya tidak ada lembaga negara yang sifatnya superior dan lembaga penunjang, tidak ada yang berkedudukan lebih tinggi dan lebih rendah, sehingga antar lembaga negara tersebut saling mengawasi dan mengendalikan satu sama lain. Inilah inti dari mekanisme checks and balances. Menurut Jimly Asshiddiqie, “jika sebelumnya UUD 1945 memang menganut paham pembagian kekuasaan, maka setelah perubahan keempat, prinsip pembagian kekuasan yang bersifat vertikal itu tidak lagi dianut oleh UUD 1945.18 Sekarang, meskipun bukan dalam pengertian trias politica gagasan Montesquieu, UUD 1945 17 Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, (Jakarta: UI Press: 1983) 18 Jimly Asshiddiqie, Sengketa Kewenangan Antar Lembaga Negara, ( Jakarta: Konstitusi Press: 2006) 231 | Komisi Pemberantasan Korupsi Sebagai Lembaga Negara UUD 1945: Sebuah Analisis menganut paham pemencaran kekuasaan berdasarkan prinsip checks and balances antar lembaga negara, buktinya yaitu sebagai berikut19: a. Adanya pergeseran kekuasaan legislatif dari tangan presiden ke DPR, (bandingkan sebelum dan sesudah perubahan); b. Dikenal sistem pengujian konstitusional oleh MK; c. Diakuinya lembaga pelaku kedaulatan rakyat yang tidak terbatas pada MPR; d. MPR bukan lagi sebagai pemegang kedaulatan tertinggi rakyat; e. Hubungan antar lembaga negara seimbang dan saling mengendalikan. Memang spirit pemencaran kekuasaan gagasan Montesquieu sedikit banyak telah mempengaruhi arah perubahan UUD 1945, namun tentu saja pengaruh tersebut tidak dapat diartikan bahwa Konstitusi Indonesia seratus persen berdasarkan teori pemencaran kekuasaan negara gagasan Montesquieu. Pernyataan tegas yang menyatakan bahwa lembaga-lembaga negara pemegang kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif sebagaimana dikehendaki Montesquieu dapat terlihat dalam Pasal 4 Ayat (1), Pasal 20 Ayat (1), dan Pasal 24 Ayat (1) UUD 1945. Bandingkan ketentuan tersebut dengan Pasal 4, Pasal 5, Pasal 20, Pasal 24 Ayat (1) UUD 1945 sebelum amandemen. Praktik pemencaran kekuasaan dengan prinsip checks and balances di Indonesia dapat dilihat dari uraian berikut: a. Kekuasaan legislatif dipegang oleh DPR, namun demikian Presiden dapat mengajukan rancangan undang-undang kepada DPR, bahkan kenyataan menunjukkan sebagian besar UU yang dibahas di DPR berasal dari Pemerintah; b. Pembentukan UU harus mendapatkan persetujuan bersama antara DPR dan Pemerintah; c. DPD juga diberikan kewenangan untuk ikut membahas UU dan mengajukan RUU (khusus sesuai kewenangannya), meskipun fungsi bikameralismenya yang diemban DPD masih dilemahkan oleh UU SUSDUK; d. Dalam hal rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu tiga puluh hari semenjak rancangan undang-undang tersebut disetujui, maka rancangan undang-undang tersebut sah menjadi undang- undang dan wajib diundangkan; e. Dalam kondisi kegentingan yang memaksa, Presiden dapat membentuk Perppu kekudukannya setingkat dengan UU, meskipun dalam persidangan yang berikutnya harus dibahas dalam DPR, apakah disetujui atau tidak menjadi UU; f. DPR dan DPD (berkaitan dengan UU khusus) bertugas mengawasi jalannya pemerintahan; g. Dianutnya sistem presidensiil murni mengakibatkan Presiden tidak dapat dijatuhkan oleh parlemen, begitu juga sebaliknya Presiden juga tidak dapat membubarkan Parlemen. 19 http://heryabduh.blogspot.com/2009/05/politik-hukum-pemisahan-kekuasaan-dan.html diakses terakhir pada tanggal 14 September 2009 232 | LENTERA HUKUM h. Namun demikian, dalam hal Presiden melakukan tindak pidana berat, pengkhianatan terhadap negara maupun tindakan yang bertentangan dengan norma kesusilaan dan tidak cakap lagi, maka Ia dapat diberhentikan memalui prosedur impeachment oleh MPR atas usul DPR, dengan sebelumnya melewati pengadilan forum previlegiantium di Mahkamah Konstitusi; i. Mahkamah Konstitusi mempunyai kewenagan untuk menguji UU (produk hukum yang dibuat DPR) terhadap UUD 1945 dan MA dapat menguji peraturan perundang-undanagan dibawah UU (produk hukum pemerintah (executive act) terhadap UU dan keduanya dapat menyatakan suatu peraturan tidak memiliki kekuatan hukum manakala permohonan pengujian dikabulkan; j. Presiden dapat membuat perjanjian dengan negara lain, akan tetapi agar perjajian tersebut berlaku sebagai hukum nasional, maka harus ditetapkan dengan UU (hanya khusus perjanjian tertentu), Dengan bergesernya politik hukum pembagian kekuasaan secara vertikal menjadi pemencaran kekuasaan dengan prinsip checks and balances sebagaimana dihasilkan dalam perubahan UUD NRI Tahun 1945, diharapkan setiap kekuasaan negara dapat dibatasi dan dikontrol dengan sebaik-baiknya, maka potensi penyalahgunaan kewenagan oleh jabatan- jabatan, atau oleh orang yang kebelutan memegang jabatan tertentu dapat ditanggulangi dan diminimalisasi dengan sebaik-baiknya. B. Eksekutif, Legislatif, Yudikatif, dan Komisi Independen Komisi negara independen adalah organ negara (state organs) yang diidealkan independen dan karenanya berada diluar cabang kekuasaan eksekutif, legislatif maupun yudikatif; namun justru mempunyai fungsi campur sari ketiganya.20 Dalam kesempatan lain, Jimly Assihiddiqie menamakan komisi negara independen sebagai independent supervisory bodies, yaitu lembaga-lembaga yang menjalankan fungsi campuran antara “fungsi regulatif”, administratif dan fungsi penghukuman”, yang biasanya terpisah, namun dilakukan bersamaan oleh suatu komisi negara independen. Komisi negara demikian karenanya adalah self-regulatory agencies.21 Dalam bahasa Funk dan Seamon komisi independen itu tidak jarang mempunyai kekuasaan “quasi legislative”,” executive power”, dan “quasi judicial”. UUD 1945 pasca amandemen telah merubah sistem ketatanegaraan di Indonesia, seperti lahirnya lembaga-lembaga baru, terutama komisi-komisi yang diatur di dalam UUD. Lahirnya lembaga-lembaga baru yang diatur di dalam konstitusi tidak dapat dapat menjawab kompleksitas sehigga tidak dapat terhindarkan dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia, karena hal tersebut untuk semakin memperkuat sistem checks and balances antar lembaga negara yang tidak hanya pada tiga cabang kekuasaan, yaitu eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Hal ini merupakan suatu realitas yang terjadi di 20 Jimly Asshiddiqie dalam Denny Indrayana, Negara Antara Ada dan Tiada Reformasi Hukum Ketatanegaraan (Jakarta: Kompas,2008) hlm. 265-266 21 Ibid. hlm. 266 233 | Komisi Pemberantasan Korupsi Sebagai Lembaga Negara UUD 1945: Sebuah Analisis beberapa negara di dunia, tak terkecuali Amerika Serikat. Bahkan Bruce Ackerman berpendapat bahwa : “… the American system contain (at least) five branches: house, senate, President, Court, and Independent Agencies such as the federal Reserve Board. Complexity is compounded by the bewildering institutional dynamics of the American federal system. The crucial question is not complexity, but whether we Americans are separating power for the right reason.22 (cetak tebal oleh Penulis). Gagasan Bruce Ackerman merupakan the new theory of separation of power sebagai penyempurnaan dari separation of power dari Montesquieu yang mulai ditinggalkan di berbagai negara, tak terkecuali Amerika Serikat, Thailand, dan Afrika Selatan.23 Beberapa konstitusi negara independen adalah juga organ konstitusi (constitusional organs), yang berarti eksistensi dan fungsinya diatur di dalam konstitusi; sebutlah seperti yang ada di Afrika Selatan dan Thailand. Di Afrika Selatan, Pasal 181 ayat (1) UUD-nya menyebutkan ada Human Rights Commission; Commission for the Promotion and Protection of the Rights of Cultural, Religious and Linguistic Communities; Commission for Gender Equality; dan Electoral Commission. Di Thailand, Pasal 75 konstitusinya mengatur bahwa negara wajib menyediakan anggaran bagi komisi negara independen seperti: Election Commission, Ombudsmen, National Human Rights Commission, National Counter Corruption Commission dan State Audit Commission.24 Belajar dari Afrika Selatan dan Thailand, yang mencantumkan komisi negara itu menjadi organ konstitusi, seharusnya dasar hukum bagi komisi negara diatas lebih dikuatkan. Penguatan itu penting, misalnya, sebagai bentuk komitmen tegas pemberantasan korupsi dan perlindungan HAM, maka Komisi Pemberantasan Korupsi dan Komnas HAM dinaikkan status dasar hukumnya ke tingkat konstitusi. Jaminan konstitusional itu tidak hanya menambah amunisi kehidupan bagi kedua komisi negara itu, tetapi sekaligus menjadi sinyal yang kuat bagi peperangan melawan korupsi dan para penjahat HAM di tanah air.25 C. Kiprah dan Produktivitas KPK di Ujung Tanduk Keberadaan KPK di Indonesia adalah berdasarkan amanat dari UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Lahirnya undang-undang tersebut merupakan suatu hasil dari tuntutan masyarakat terhadap pemberantasan tindak pidana korupsi yang tidak dapat ditangani secara maksimal oleh peradilan umum. Dalam upayanya untuk memberantas tindak pidana korupsi di Indonesia, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memiliki beberapa kewenangan. Kewenangan 22 Bruce Ackerman dalam Denny Indrayana, Negara Antara Ada dan Tiada Reformasi Hukum Ketatanegaraan (Jakarta: Kompas,2008) hlm. 282-283 23 Denny Indrayana, Negara Antara Ada dan Tiada Reformasi Hukum Ketatanegaraan (Jakarta: Kompas,2008) 24 Ibid. hlm. 266 25 Ibid. hlm. 284 234 | LENTERA HUKUM tersebut diantaranya adalah melakukan berbagai upaya dalam mendukung tugas dan kewajiban yang dimiliki, antara lain melakukan pendaftaran dan pemeriksaan terhadap laporan harta kekayaan penyelenggara negara, melaksanakan pendidikan anti korupsi pada setiap jenjang pendidikan. Munculnya beberapa kasus dugaan korupsi hingga penangkapan sejumlah pejabat atas perbuatan tindak pidana korupsi telah menimbulkan implikasi terhadap keberadaan KPK. Pembicaraan seputar KPK yang dilakukan oleh DPR mengundang kekhawatiran banyak pihak, akan dibubarkannya KPK. Rasio legis sebagai dasar pembubaran cukup masuk akal dan konstitusional. Tentu saja sangat disayangkan andaikata kekhawatiran ini terwujud mengingat prestasi yang telah dibangun oleh KPK sangat berarti dalam rangka menciptakan pemerintahan yang bersih dan berwibawa. Dukungan terhadap KPK di sejumlah daerah bahkan dilakukan dengan cara membentuk sebuah organisasi yang men-support kinerja maupun keberadaan dari KPK, seperti pembentukan organisasi yang bernama gerakan Koalisi Cinta Indonesia Cintai KPK (CICAK) di Makassar, Jakarta dan Bandung. IV. PENGARUH KPK SEBAGAI NON-LEMBAGA NEGARA DALAM UUD 1945 Keberadaan KPK sebagai lembaga negara yang tidak diatur di dalam UUD berpengaruh dalam menjalankan fungsi yang dimiliki. Peran KPK dalam merealisasikan tugas, kewajiban dan kewenangan yang dimiliki dalam memberantas tindak pidana korupsi di Indonesia masih sangat terbatas. Hal ini dikarenakan sempitnya ruang gerak KPK di dalam peraturan perundangan. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dalam melakukan kegiatannya KPK mendapatkan pengawasan dari Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat dan Badan Pemeriksa keuangan. Hal ini membuktikan bahwa peran KPK masih dibatasi oleh ketiga lembaga tersebut. Di lain pihak kenyataan demikian akan menimbulkan suatu masalah apabila yang menjadi sasaran dari pemberantasan tindak pidana korupsi oleh KPK adalah salah satu dari lembaga-lembaga tersebut. Karena itulah, demi mendukung optimalisasi kinerja dan produktifitas KPK maka tidak saja dibutuhkan pembenahan secara internal dalam tubuh KPK namun juga perluasan ruang gerak KPK dalam peraturan perundang-undangan. Perluasan ruang gerak KPK yang diatur dalam peraturan perundang-undangan hendaknya tidak hanya pada aturan setingkat undang-undang saja. Namun secara normatif lebih tepat jika diletakkan pada agenda amandemen undang-undang dasar. Hal ini untuk menjaga agar KPK mampu menjadi sebuah lembaga di bidang pemberantasan tindak pidana korupsi yang berkompeten dan independen serta memiliki otoritas untuk mengakses semua lembaga. Perluasan ruang gerak KPK ke dalam undang-undang dasar sangat dimungkinkan. Mengacu pada asas hukum “Lex Posteriori derogat Lex Inferiori”26, yaitu peraturan yang lebih tinggi mengalahkan peraturan yang lebih rendah. Sehingga pada jangka panjang, diharapkan KPK nantinya menjadi sebuah lembaga negara yang mampu melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi pada segala aspeknya. Tidak hanya hilirnya saja yang tersentuh, tetapi juga hulu. 26 Denny Indrayana, Op.Cit. hlm. 29 235 | Komisi Pemberantasan Korupsi Sebagai Lembaga Negara UUD 1945: Sebuah Analisis A. Prospek dan Potensi Membangun Kesetaraan KPK Sebagai Lembaga Negara Utama KPK dibentuk sebagai upaya dan konsekuensi pemerintah terhadap maraknya korupsi di Indonesia, sehingga dianggap perlu adanya suatu lembaga negara baru yang berwenang dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia yaitu dengan dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Namun demikin, KPK dalam upaya pemberatasan korupsi di Indonesia terkendala terhadap kedudukan KPK yang dibentuk berdasarkan undang-undang, terlebih ketika KPK menangani perkara korupsi yang terjadi di dalam lembaga yang diatur di dalam UUD. Dengan pendekatan asas lex posteriori derogat lex inferiori, sehingga tidak mudah bagi lembaga inferior mampu secara keseluruhan mengawasi lembaga superior. Maksudnya KPK dalam menangani perkara tersebut tidak akan mungkin secara maksimal untuk bisa menuntaskan permasalahan korupsi di Indonesia jika hanya diatur di dalam undang-undang. Dalam realitas, bahwa apa yang dikatakan sebagai proses pemberantasan korupsi tidak lain merupakan fenomena yang kental bernuansa politik yang berwujud politik kekuasaan dan politik uang27 sehingga berimplikasi pada tindakan yang diskriminatif atau tebang pilih pelaku korupsi. Contohnya, jika ada dua sosok yang sama-sama patut diduga keras telah melakukan suatu tindak pidana korupsi, tetapi dalam realitasnya, salah satunya yang dekat dengan kekuasaan tidak diproses. Sebaliknya sosok lain yang ditengarai merupakan bagian dari kelompok yang memiliki pandangan politik yang berbeda dari kekuasaan itulah yang dijadikan sasaran penindakan. Namun semua itu akan berhenti tanpa berkepastian jika pelaku merupakan oknum dalam lembaga negara yang secara kostitusional diatur langsung oleh UUD. Namun ada fenomena baru di era reformasi ini, yaitu tindakan yang lebih sadis dibandingkan tindakan yang hanya sekedar tebang pilih, yaitu cruelty by order atau tebang pesanan. Sosok yang tidak bersalah, tetapi hanya karena pesanan atau order dari petinggi hukum, akibat kebencian pribadi terhadap sosok yang tidak bersalah, kemudian dicarikan, direkayasa, dan dipaksakan untuk ditersangkakan atau diterdakwakan. Jadi ketika KPK tidak mempunyai kesetaraan dengan lembaga negara yang diawasi dalam rangka pemberantasan korupsi, maka hukum dijadikan alat kejahatan (lege abitur, instrumento criminis)28. Maksudnya UU KPK hanya sebagai suatu simbol terhadap pemberantasan korupsi, akan tetapi tidak ada jiwa untu memberantas korupsi terhadap para penegak hukum. Sehingga korupsi tumbuh semakin subur tanpa adanya penindakan yang terpadu dan tekad kuat terhadap para pembuat undang- undang dan penegak hukumnya. Tidak berlebihan jika dikatakan keberadaan KPK sama dengan ketidakberadaannya karena energi dan motivasi untuk memberantas korupsi merupakan cermin inisiatif pihak lain yang diwarnai kepentingan politik. KPK menjadi tidak substantif dan disorientasi. Di sinilah letak pentingnya melakukan reposisi hierarki KPK agar setara dengan lembaga negara lainnya secara konstitusional yang juga diatur langsung oleh UUD 1945. Hal ini mengingat amandemen kelima UUD 1945 terhadap upaya mengangkat kesetaraan DPR dan DPD, calon presiden independen, dan hak asasi manusia mulai diwacanakan. Sehingga cukup strategis gagasan untuk memposisikan KPK sebagai organ UUD 1945 menjadi agenda yang serius untuk ditindaklanjuti sebagai komitmen reformasi. 27 Achmad Ali, Menguak Realitas Hukum Rampai Kolom dan Artikel Pilihan Dalam Bidang Hukum, (Jakarta:Kencana,2008), hal. 198-199 28 Ibid. hlm. 199 236 | LENTERA HUKUM B. Kendala dan Solusi Dalam Membangun Kesetaraan KPK Sebagai Lembaga Negara Utama Korupsi merupakan suatu tindak pidana yang luar biasa serta dapat merusak moral dan mental Bangsa Indonesia. Korupsi akan membentuk sistem birokrasi yang korup dan menimbulkan permasalahan bagi Negara Indonesia. Oleh karena itu, dibentuknya KPK merupakan suatu solusi dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Namun demikian pemberantasan korupsi di Indonesia bukan berarti tanpa ada hambatan. Selain berupa hambatan eksternal, hambatan yang cukup memprihatinkan dan membahayakan justru berasal dari internal. Hambatan internal itu antara lain adanya upaya untuk memangkas kewenangan atau bahkan membubarkan komisi atau badan pemberantasan korupsi oleh lembaga negara lain demi melanggengkan sistem pemerintahan yang korup. Hal ini dapat kita lihat pada berita akhir-akhir ini yang menyebutkan terjadinya konflik kewenangan antara KPK, Kepolisian dan Kejaksaan. Kepolisian dan Kejaksaan yang seharusnya terpacu pada KPK untuk lebih meningkatkan kinerja dan kredibilitasnya dalam upaya pemberantasan korupsi, terlihat larut dalam konflik kewenangan tersebut. Ironisnya, justru terjadi upaya politis untuk mereduksi atau bahkan mendekonstruksi eksistensi KPK yang sebelumnya telah berjalan cukup baik. Berikut ini adalah kendala KPK dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia sekaligus kendala dalam upaya mereposisi KPK sebagai lembaga yang seharusnya diatur dalam UUD 1945, antara lain : 1. Belum diselesaikannya pembahasan RUU Pengadilan Tipikor untuk kemudian segera disahkan sebagai undang-undang. Padahal, batas waktu pembentukan UU Pengadilan Tipikor sebagaimana putusan MK, Pengadilan Tipikor harus dibuat dengan dasar undang-undang tersendiri sebelum tanggal 19 Desember 2009. Sehingga hal ini mengancam upaya pemberantasan korupsi karena apabila Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada tanggal 19 Desember 2009 belum juga dibentuk, maka seluruh penanganan perkara tindak pidana korupsi yang ditangani oleh KPK akan dialihkan ke pengadilan umum. Kalaupun UU Pengadilan Tipikor terealisasi sebelum waktu yang ditentukan tersebut diatas, hasilnya pun jauh dari harapan masyarakat karena berdasar RUU Pengadilan Tipikor sampai dengan saat ini ada pasal-pasal yang berusaha melemahkan upaya pemberantasan korupsi. Hal ini dapat dilihat pada Pasal 2 RUU Pengadilan Tipikor yang berbunyi: “Pengadilan Tindak Pidana Korupsi merupakan pengadilan khusus yang berada di lingkungan Peradilan Umum”. 2. Adanya wacana mereduksi kewenangan KPK baik yang disampaikan oleh Ketua Panitia Kerja (Panja) RUU Pengadilan Tipikor dari pihak DPR maupun oleh Kepala Kejaksaan Agung dari pihak pemerintah. Kewenangan KPK dalam hal melakukan penuntutan kemungkinan akan dihapuskan. Begitu pula dengan kewenangan penyadapan yang harus mendapatkan izin dari ketua pengadilan negeri. 3. Terjadinya konflik kewenangan antara KPK dengan Kepolisian Republik Indonesia (Polri). KPK dan Polri yang seharusnya bersinergi untuk memberantas korupsi dengan menangkap para koruptor dan menjadikannya sebagai common enemy (musuh bersama) justru terlibat konflik kepentingan dan kewenangan antar para petinggi kedua lembaga penegak hukum tersebut. 237 | Komisi Pemberantasan Korupsi Sebagai Lembaga Negara UUD 1945: Sebuah Analisis 4. Dilontarkannya istilah Cicak vs Buaya (yang menggambarkan kekuatan atau kewenangan KPK dengan Polri) oleh salah seorang petinggi Polri dalam hal menanggapi kewenangan KPK semakin menunjukkan adanya pihak-pihak yang tidak menginginkan eksistensi KPK sebagai lembaga pemberantasan korupsi. Saat ini KPK tidak hanya vis a vis dengan satu lembaga negara yang berniat untuk mereduksi atau mendekonstruksi eksistensi KPK tetapi tiga lembaga negara sekaligus (DPR, Kejaksaan dan Polri). 5. Ditetapkannya 2 (dua) pimpinan KPK sebagai tersangka kasus penyalahgunaan wewenang atas pencekalan dan pencabutan pencekalan kepada Joko Tjandra dan tersangka kasus Masaro, Anggoro Widjaja yang menurut sebagaian pihak terkesan diada-adakan. 6. Kepentingan politik praktis para pihak dalam lembaga negara yang diatur langsung dengan UUD. Dalam arti adanya kekhawatiran bahwa jika reposisi KPK secara konstitusional di bawah naungan langsung UUD 1945 maka pada gilirannya justru akan menjadi ancaman bagi siapapun yang berada pada lembaga negara dimaksud. KPK dengan sendirinya dipandang sebagai lembaga yang ‘kontraproduktif’ dalam persepsi pihak lain. Karena itu tidak menutup kemungkinan dilakukan berbagai cara politis agar upaya untuk memposisikan KPK setara dengan lembaga negara yang lain menjadi sebatas cita-cita. 7. Klausul perubahan UUD 1945 yang menyebutkan bahwa untuk merubah UUD sekurang-kurangnya dihadiri oleh dua pertiga jumlah anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dengan persetujuan sekurang-kurangnya lima puluh persen ditambah satu anggota MPR yang hadir, merupakan ketentuan yang tidak mudah direalisasikan. Lebih-lebih jika rencana perubahan tersebut berkaitan langsung dengan posisi dan kepentingan politik yang mengubahnya. 8. Keberadaan lembaga KPK sebagai institusi tunggal yang berpusat di Jakarta maka opini dukungan untuk penguatan lembaga KPK relatif tidak mengakar pada masyarakat pada umumnya. Akibatkanya, kampanye penguatan KPK tersebut tidak menjadi isu strategis yang potensial menjadi isu kerakyatan pada umumnya yang mempengaruhi proses pengambilan keputusan di tingkat elit politik. 9. Prestasi dan produktifitas KPK yang telah berhasil membongkar berbagai sindikasi korupsi berikut menangkap dan menjerat pelakunya yang kebanyakan para elit politik dan elit birokrasi maka kenyataan seperti ini dimaknai sebagai preseden bagi lingkaran politik dan birokrasi untuk lebih protektif dengan mereduksi ruang gerak KPK. Berdasarkan kendala-kendala di atas maka penulis memberikan alternatif solusi sebagai berikut : 1. Komitmen untuk memposisikan KPK sebagai organ yang diatur langsung dalam UUD 1945, tetap harus diwujudkan. Upaya ini akan meningkatkan kewibawaan KPK dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Berdasarkan konsepsi demikian maka dibutuhkan kesadaran politik bagi para pihak terutama yang 238 | LENTERA HUKUM berada di dalam lembaga negara yang langsung diatur UUD 1945 untuk membuka pintu perubahan dan dukungan sehingga proses ketatanegaraan dalam bentuk amandemen UUD 1945 dapat dilakukan sesuai dengan rencana yang menjadi tujuan. 2. Intensitas kampanye anti korupsi harus menjadi agenda KPK agar penguatan lembaga KPK menjadi opini yang pada gilirannya melahirkan dukungan rakyat sebagai isu strategis dan tekanan yang harus ditindaklanjuti dalam sidang MPR. 3. KPK harus menjalin kerjasama kemitraan dengan lembaga pendidikan tinggi tidak saja menyangkut realisasi penegakan hukum untuk menindak para koruptor tetapi juga dharapkan dihasilkan berbagai konsep baru hasil penelitian yang kontributif bagi penguatan lembaga KPK. Bahkan wacana untuk menjadikan komitmen anti korupsi sebagai bagian dari kurikulum di berbagai jenjang dan lingkungan pendidikan merupakan kepentingan mendesak untuk segera direalisasikan. Diharapkan dengan solusi tersebut pada gilirannya membuka ruang memposisikan KPK secara kontitusional sebagai lembaga yang diatur langsung oleh UUD 1945. Dengan posisi yang setara maka konsekuensi penguatan dimaksud akan bisa menciptakan keseimbangan secara normatif antara KPK dengan lembaga negara lainnya sehingga usaha KPK untuk melakukan akses terhadap lembaga lainnya tidak mengalami hambatan konsitusional. Spirit reformasi harus mampu mempertahankan komitmen dan konsistensi KPK. Oleh karena itu, eksistensi KPK perlu dipertahankan.29 Menempatkan KPK menjadi materi muatan UUD 1945 memberikan konsekuensi posisi KPK menjadi organ UUD, bukan UU lagi seperti saat ini. KPK bukan suatu lembaga inferior yang sub ordinat terhadap, DPR, Presiden, DPD, MK, KY, BPK, Bank Sentral dan KPU. KPK menjadi leluasa dan bebas dari hambatan konstitusional untuk menjalankan aksi fungsionalnya terhadap beberapa lembaga dimaksud. KPK bukan lagi sebagai organ penunjang seperti halnya KY sebagaimana putusan MK Nomor 05/PUU- IV/2005. Jika KPK dianggap organ penunjang maka KPK tidak akan leluasa dalam rangka pemberantasan korupsi di Indonesia dan justru mengasumsikan sifat hierarkis yang memandang dan menempatkan suatu komisi adalah inferior walaupun dasar pembentuknya adalah UUD. Sehingga adalah mimpi untuk mewujudkan Negara Indonesia bebas dari korupsi.Sisi lain penyetaran KPK terhadap lembaga negara lainnya memiliki akibat hukum dalam bentuk kedudukan hukum (legal standing) dalam ranah sengketa kewenangan antar lembaga negara di hadapan Mahkamah Konstitusi. Kendati demikian tidak berarti gagasan cerdas ini tidak melahirkan persoalan baru. Isu strategis yang muncul adalah jika kebutuhan penyetaraan ini tidak diimbangi dengan political will pengambil keputusan. Jika kehendak untuk melakukan amandemen sulit atau bahkan karena pertimbangan politik tidak mudah dilakukan, lantas bagaimana jalan keluar untuk penyetaraan itu ? Di sinilah pentingnya kesadaran dan kemauan para pihak untuk mengajukan uji materi terhadap ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002. Uji tersebut dilakukan atas dasar gugatan dengan pendekatan asas manfaat, asas keadilan dan asas 29 Kompas, Rubrik Politik dan Hukum, 15 September 2009. hlm. 5 239 | Komisi Pemberantasan Korupsi Sebagai Lembaga Negara UUD 1945: Sebuah Analisis kepastian30 agar ketentuan yang mendasari KPK dalam undang-undang tersebut dinyatakan tidak memiliki daya ikat. Dengan demikian maka atas putusan tersebut dengn mengacu pada Pasal 59 UU No.24 Tahun 2003 tentang MK maka dapat ditafsirkan bahwa MK memiiki ruang otoritas untuk merekomendasikan putusan sebagai amanat guna melakukan amandemen terhadap UUD 1945. V. KESIMPULAN Keberadaan KPK di Indonesia adalah berdasarkan amanat dari Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dengan munculnya beberapa kasus dugaan korupsi hingga penangkapan sejumlah pejabat negara telah menimbulkan implikasi terhadap keberadaan KPK, sehingga mengancam keberadaan KPK sendiri dalam upaya pemberantasan korupsi. Keberadaan KPK sebagai lembaga negara yang tidak diatur di dalam UUD berpengaruh dalam menjalankan fungsi yang dimiliki. Oleh karena itu, diperlukan perluasan ruang gerak KPK yang diatur dalam peraturan perundang-undangan lebih tinggi. Maksudnya tidak hanya pada aturan setingkat undang-undang saja, tetapi undang-undang dasar. Sehingga dalam jangka panjang diharapkan KPK menjadi sebuah lembaga negara yang mampu melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi pada segala aspeknya. Posisi KPK sebagai lembaga yang diatur di dalam undang-undang ternyata berpengaruh terhadap kinerja dan produktifitas KPK. Secara hierarkis, KPK sulit untuk menjangkau dan melakukan mekanisme checks and balances terhadap organ UUD 1945 sehingga berakibat adanya diskriminatif atau aksi tebang pilih terhadap para koruptor yang mempunyai otoritas politik. Terdapat solusi guna mengatasi kendala-kendala KPK dalam rangka merealisasikan upaya membangun kesetaraan sebagai lembaga negara utama (state main organ) yang diatur di dalam UUD. Namun diperlukan adanya political will dari pemerintah atau lembaga negara lain seperti MK untuk mengatasi serta merealisasikannya. Adapun saran yang ingin dikemukakan yaitu; pertama, dalam konteks pemberantasan korupsi hendaknya para politisi menggunakan konsep kesadaran sebagai negarawan, bukan sebagai politisi. Kedua, kemitraan dengan pendidikan tinggi perlu sebagai sarana edukasi sekaligus memantau jalannya upaya pemberantasan korupsi. Ketiga, intensitas kampanye anti korupsi di berbagai daerah di Indonesia serta dalam berbagai jenjang pendidikan demi mewujudkan masyarakat Indonesia sadar korupsi. 30 Achmad Ali, Op.Cit hal. 3 240 | LENTERA HUKUM DAFTAR PUSTAKA Ali, Achmad. 2008. Menguak Realitas Hukum Rampai Kolom dan Artikel Pilihan Dalam Bidang Hukum. Jakarta: Kencana. Asshiddiqie,Jimly. 2006. Sengketa Kewenangan Antar Lembaga -Negara. Jakarta: Konstitusi Press. ----------------------. 2008. Menuju Negara Hukum Yang Demokratis. Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1997. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Jakarta: Balai Pustaka. Indrayana, Denny. 2008. Negara Antara Ada dan Tiada Reformasi Hukum Ketatanegaraan. Jakarta: Kompas. Kusnardi, Moh. dan Ibrahim Harmaily. 1983. Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia. Jakarta: UI Press. Marzuki, Peter Mahmud. 2005. Penelitian Hukum. Jakarta: Prenada Media SF, Marbun dan Moh. Mahfud MD. 2000. Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara. Yogyakarta: Liberty. Soehino, 1998. Ilmu Negara. Yogyakarta: Liberty. Peraturan Perundang-undangan dan Putusan: Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 -----------, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3886) -----------, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4316) -----------, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4316) ------------, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 05/PUU-IV/2005 Kompas, Rubrik Politik dan Hukum. 15 September 2009 241 | Komisi Pemberantasan Korupsi Sebagai Lembaga Negara UUD 1945: Sebuah Analisis