Lentera Hukum, Volume 3 Issue 1 (2016), pp.27-56 ISSN 2355-4673 (Print) 2621-3710 (Online) https://doi.org/10.19184/ ejlh.v3i1.16877 Published by the University of Jember, Indonesia Available online 21 April 2016 Konsep Penahanan dalam Sistem Hukum Indonesia Dizal Al Farizi University of Airlanga, Indonesia dizar.al.farizi@gmail.com ABSTRACT Detention is one of the forced efforts to enforce the law known in the criminal justice system, also, to arrest, search, confiscation, and wiretapping. The absolute authority possessed by law enforcement officials to detain a person suspected of committing a criminal act with the threat of a certain penalty makes detention very easy. Even though detention can be carried out, it must be carried out solely to examine the criminal case itself. Detention itself is an addition to an examination of a criminal case. The detention "can" be carried out against any suspect so that it is not an obligation to be carried out even if the criminal act suspected meets the requirements for detention. The protection of a person's civil liberties, especially concerning the legal process, will greatly depend on the clarity and detail of pretrial detention policies. Guarantee and protection of human rights in criminal procedural law rules have a very important meaning because most of the processes in this criminal procedural law lead to human rights restrictions such as arrest, detention, confiscation, search, and punishment which in essence are restrictions. HAM. KEYWORDS: The Concept of Detention, Indonesian Legal System. Copyright © 2016 by Author(s) This work is licensed under a Creative Commons Attribution-ShareAlike 4.0 International License. All writings published in this journal are personal views of the authors and do not represent the views of this journal and the author's affiliated institutions. Submitted: February 05, 2016 Revised: April 08, 2016 Accepted: April 21, 2016 HOW TO CITE: Alfarizi, Dizar Al. “Konsep Penahanan dalam Sistem Hukum Indonesia “(2016) 3:1 Lentera Hukum 27-56 28 | Konsep Penahanan dalam Sistem Hukum Indonesia I. PENDAHULUAN Penahanan merupakan salah satu upaya paksa dalam menegakkan hukum yang dikenal dalam sistem peradilan pidana, disamping penangkapan, penggeledahan, penyitaan dan penyadapan. Kewenangan absolut yang dimiliki oleh aparat penegak hukum untuk menahan seseorang yang disangka melakukan tindak pidana dengan ancaman hukuman tertentu, menjadikan penahanan begitu mudah dilakukan. Meskipun penahanan dapat dilakukan, tetapi penahanan itu haruslah semata – mata dilakukan untuk kepentingan pemeriksaan perkara pidana itu sendiri. Penahanan itu sendiri sejatinya merupakan tambahan terhadap suatu pemeriksaan perkara pidana. Penahanan itu “dapat” dilakukan terhadap setiap tersangka, sehingga bukan menjadi suatu keharusan untuk dilakukan sekalipun tindak pidana yang disangkakan memenuhi syarat untuk ditahan. Perlindungan kebebasan sipil seseorang, khususnya berhubungan dengan proses hukum, akan sangat tergantung dari kejelasan dan detil kebijakan penahanan prapersidangan. Hal tersebut terkait erat dengan beberapa alasan berikut ini: Pertama, penegak hukum (khususnya penyidik) memiliki otoritas yang sangat luas dalam menafsirkan aspek pentingnya penggunaan kebijakan penahanan. Kedua, diskresi penyidik dalam kondisi tertentu cukup rawan bagi terjadinya penyalahgunaan wewenang, yang dapat berujung pada perilaku koruptif atau ketidakadilan lainnya. Ketiga, aspek kerugian orang yang diduga sebagai pelaku tindak pidana baik secara sosial maupun ekonomi tidak dipertimbangkan dalam penerapan kebijakan penahanan prapersidangan. Implikasi yang menonjol dari penggunaan penahanan prapersidangan yang berlebihan dan semena – mena telah melemahkan asas praduga tidak bersalah, sebagai manifesitasi konsepsi peradilan yang adil. Hal ini juga berkontribusi besar terhadap penuh sesaknya sarana penahanan. Penggunaan penahanan prapersidangan yang lebih rasional memungkinkan pemerintah untuk mengurangi kepadatan penghuni rumah tahanan.1 Penahanan merupakan salah satu bentuk perampasan kemerdekaan bergerak seseorang. Jadi, disini terdapat pertentangan antara dua asas, yaitu hak bergerak seseorang yang merupakan hak asasi manusia yang harus dihormati di satu pihak dan kepentingan ketertiban umum di lain pihak yang harus dipertahankan untuk orang banyak atau masyarakat dari perbuatan jahat tersangka. Terkenallah ucapan Larnaude dalam rede-nya tahun 1901: C’est l’eternel conflit entre la liberte et l’autorite.2 Terjemahan bebasnya dalam bahasa Indonesia dapat berarti, terjadi pertentangan yang tajam antara kepentingan hukum dan kepentingan masyarakat. Jaminan dan perlindungan terhadap HAM dalam peraturan hukum acara pidana mempunyai arti yang sangat penting, karena sebagian besar dalam rangkaian proses dari hukum acara pidana ini menjurus kepada pembatasan – pembatasan HAM seperti penangkapan, penahanan, penyitaan, 1 Supriyadi Widodo Eddyono, dkk, Praperadilan Di Indonesia: Teori, Sejarah dan Praktiknya, Institute for Criminal Justice Reform, Jakarta, 2014 h. 277 2 Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, edisi kedua, 2008, (Selanjutnya disingkat Andi Hamzah I), h. 129 29 | LENTERA HUKUM penggeledahan dan penghukuman yang pada hakikatnya adalah pembatasan – pembatasan HAM.3 II. PEMBAHASAN Pasal 1 angka 21 KUHAP mendefinisikan penahanan sebagai penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik atau penuntut umum atau hakim dengan penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang – undang ini. Salah satu pembaruan hukum yang dianggap monumental dalam KUHAP, adalah “pembatasan” yang “limitative” masa dan perpanjangan penahanan. Sedemikian rupa ketatnya pembatasan masa penahanan dan perpanjangan, telah merupakan asas hukum yang tidak dapat ditawar – tawar dalam KUHAP. Dengan demikian dalam masalah jangka waktu penahanan, terdapat beberapa prinsip yang harus dijadikan patokan:4 a. Prinsip “pembatasan jangka waktu penahanan” yang diberikan kepada setiap instansi penegak hukum, telah “ditentukan secara limitatif”. Tidak bisa diulur dan dilenturkan dengan dalih apapun. b. Prinsip “perpanjangan tahanan terbatas waktunya” serta “terbatas permintaan perpanjangannya”. Pada setiap tingkat dan instansi, hanya diperkenankan “sekali saja meminta perpanjangan masa tahanan, jika yang dimintakan maksimum perpanjangan. c. Prinsip pelepasan atau pengeluaran “demi hukum” apabila masa tahanan telah lewat dari batas jangka waktu yang telah ditentukan. Siap atau tidak pemeriksaan apabila telah terlampaui jangka waktu penahanan yang telah ditentukan, tersangka/terdakwa yang dikenakan penahanan harus dikeluarkan “demi hukum”. Berdasarkan KUHAP, dapat disajikan tabel tenggang waktu penahanan yaitu:5 Tabel 1. Tenggang Waktu Penahanan Yang Menahan Lama (Hari) Perpanjangan (Hari) Pasal Pemberi Ijin Penyidik 20 40 24 Penuntut Umum Penuntut Umum (JPU) 20 30 25 Ketua Pengadilan Negeri Hakim Pengadilan Negeri (PN) 30 60 26 Ketua Pengadilan Negeri Hakim Pengadilan Tinggi (PT) 30 60 27 Ketua Pengadilan Tinggi 3 Erni Widhayanti dalam Soeharto, Perlindungan Hak Tersangka, Terdakwa dan Korban Tindak Pidana Terorisme dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Refika Aditama, Bandung, 2007 h. 73 4 M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Penyidikan dan Penuntutan, Sinar Grafika, Jakarta, edisi kedua, cetakan pertama, Oktober 2000, (Selanjutnya disingkat M. Yahya Harahap I), h. 181 5 Didik Endro Purwoleksono, Hukum Acara Pidana, Airlangga University Press, Surabaya, 2015, (Selanjutnya disingkat Didik Endro Purwoleksono II), h. 77 30 | Konsep Penahanan dalam Sistem Hukum Indonesia Hakim Mahkamah Agung (MA) 50 60 28 Ketua Mahkamah Agung Kemudian dalam pasal 29 KUHAP disebutkan, selain dikenakan pasal 24 – 28 KUHAP, maka lama penahanan terhadap tersangka atau terdakwa dapat ditambah 30 hari + 30 hari, yaitu dalam hal:6 1. Tersangka atau terdakwa menderita gangguan fisik atau mental yang berat; 2. Diancam dengan pidana 9 (Sembilan) tahun atau lebih. KUHAP telah menyeragamkan istilah penahanan dan membedakan secara tegas dengan istilah penangkapan. Tidak dikenal lagi istilah penahanan sementara (de verdachte aan te houden). Jangka waktu penahanan dibatasi secara limitatif sehingga tidak dibenarkan adanya penahanan yang tanpa batas. Pejabat yang berwenang melakukan penahanan telah disebutkan secara tegas, sehingga tidak semua elemen penegak hukum boleh melakukan penahanan tersangka atau terdakwa yang dikenakan penahanan secara tidak sah dapat menuntut ganti kerugian dan rehabilitasi.7 Kehadiran KUHAP sesungguhnya untuk menghapus segala tindakan yang bertentangan dengan hak asasi manusia yang dilakukan oleh aparat negara, yang sebetulnya berkewajiban menjamin dan melindungi hak asasi manusia. Karena itu semangat pembentukan KUHAP adalah menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia agar ditempatkan sebagai manusia utuh dengan segala kehormatan dan hak asasi yang melekat dalam diri setiap manusia.8 Dalam pada itu, menurut standar internasional, “peradilan yang cepat” (constant justice, speedy justice) itu mencakup sejak tersangka ditangkap kemudian ditahan di tahap prapersidangan (pre-trial justice), selama persidangan hingga putusan pengadilan diucapkan (judgement), dan sampai putusan kasasi keluar atau hingga putusan menjadi in kracht van gewisjde atau res judicata di tahapan pasca-persidangan (post-trial phase).9 Dengan kata lain, tindakan aparat hukum harus cepat sejak tahap prapersidangan. Konkritnya, orang yang ditangkap/ditahan harus10: - Secepatnya diberitahukan alasan penangkapan atau penahanannya; - Secepatnya diberitahukan dakwaannya, sehingga dapat meminta diuji keabsahan penahanannya oleh hakim (habeas corpus); - Secepatnya diajukan ke otoritas yudisial atau hakim untuk penahanan lanjutan; 6 Ibid h. 78 7 Ruslan Renggong, Hukum Acara Pidana: Memahami Perlindungan HAM Dalam Proses Penahanan di Indonesia, Prenada Media, Jakarta, 2014, h. 63 8 Mohammad Fajrul Falaakh, Akar – Akar Mafia Peradilan di Indonesia (Masalah Akuntabilitas Penegak Hukum), Komisi Hukum Nasional, Jakarta, 2009 h. 40 9 Andi Hamzah, RM Surachman, Pre Trial Justice and Discretionary Justice Dalam KUHAP Berbagai Negara, Sinar Grafika, Jakarta, 2015 h. 56 10 Ibid. 31 | LENTERA HUKUM - Secepatnya dimerdekakan kalau penangkapan atau penahanan sudah tidak diperlukan lagi; - Secepatnya jaksa menyerahkan perkaranya ke pengadilan disertai dakwaan. Dalam konteks sekarang, Indonesia meneruskan tradisi di era HIR yaitu menganut asas “peradilan cepat” yang “sederhana dan biaya ringan”. Pengamat asing, pernah mengkerutkan keningnya sewaktu mendengar tambahan “sederhana dan biaya ringan”. Dengan Hukum Acara Pidana yang sederhana, pemidanaan yang keliru (wrong conviction), akan lebih mudah terjadi, sehingga akan lebih mungkin orang yang tidak bersalah (innocent) justru mendapat hukuman. Sedangkan Hukum Acara Pidana dengan biaya ringan, tidak akan memperoleh keadilan yang sangat optimal. Guna menemukan keadilan, harus berani menghabiskan biaya setinggi apapun, asal sah berdasarkan aturan (legitimate), bukan mahal karena ada “biaya siluman”.11 Sandaran utama dalam melakukan penahanan terhadap seseorang, merujuk pada instrumen hukum internasional tentang hak asasi manusia, adalah pembatasan terhadap kemerdekaan seseorang harus diterapkan secara hati – hati. Selain itu, tindakan penahanan merupakan pilihan terakhir yang harus dapat diuji keabsahannya secara hukum. Merespon kondisi tersebut, Mahkamah Konstitusi (MK) dalam putusannya nomor 018/PUU-IV/2006, pada pengujian pasal 21 ayat (1) KUHAP menyatakan:12 “Adanya pranata praperadilan (rechtinstituut) yang diatur dalam pasal 77 KUHAP yang tujuannya untuk memeriksa sah tidaknya penahanan, seharusnya tidak hanya semata – mata menilai aspek formal atau administratif penahanan, tetapi juga aspek yang lebih dalam lagi yaitu rasionalitas perlu tidaknya dilakukan penahanan.” Berdasar pada putusan MK, rasionalitas perlu tidaknya dilakukan penahanan wajib dielaborasi secara tajam, terang dan terukur dengan menggunakan indikator – indikator yang relevan untuk dipertimbangkan oleh pejabat yang berwenang menahan. Dengan demikian, penggunaan instrumen penahanan dengan menempatkan tersangka di Rumah Tahanan Negara atau ruang tahanan Kepolisian dan Kejaksaan dapat diminimalisasi. Misalnya, dengan memanfaatkan upaya alternatif non – penahanan.13 Untuk melaksanakan penahanan terhadap tersangka/terdakwa, maka petugas harus melengkapi dengan14: a. Surat perintah penahanan dari penyidik; atau b. Surat perintah penahanan dari penuntut umum; atau c. Surat penetepan dari hakim yang memerintahkan penahanan itu Pada saat penahanan itu akan dilaksanakan, maka surat perintah penahanan dan penahanan lanjutan tersebut diatas harus diserahkan kepada tersangka/terdakwa dan kepada keluarganya setelah penahanan dilaksanakan (sebagai tembusan).15 Mengingat 11 Ibid. 12 Supriyadi Widodo Eddyono, op.cit.., h. 280 13 Ibid. 14 Andi Sofyan, dan Abd. Azis, Hukum Acara Pidana Suatu Pengantar, Kencana, Jakarta 2014 h. 135 15 Ibid. 32 | Konsep Penahanan dalam Sistem Hukum Indonesia kebebasan dan kemerdekaan tersangka/terdakwa mungkin akan dibatasi demi memudahkan penyidikan, pemberitahuan segera dalam bahasa yang dimengerti oleh tersangka/terdakwa akan memberikan kepastian tentang aniaya yang telah dia lakukan demi membenarkan pembatasan serupa dan sanksi lanjutan yang mungkin ditimpakan atasnya bila dia terbukti berbuat aniaya.16 Adapun surat perintah/penetapan penahanan berisikan antara lain: a. Identitas dari tersangka/terdakwa (nama lengkap, umur, pekerjaan, agama dan alamat/tinggal) b. Alasan penahanan c. Uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan atau didakwakan, dan d. Tempat dimana tersangka/terdakwa ditahan17 Aparat penegak hukum dalam melakukan penahanan harus berpedoman pada prinsip – prinsip untuk menjamin tidak dilanggarnya kemerdekaan seseorang. Adapun prinsip – prinsip penahanan prapersidangan ialah:18 1. Non – diskriminasi Melakukan penahanan yang dikenakan terhadap seseorang tidak boleh melanggar prinsip non-diskriminasi. Namun pejabat yang berwenang berhak untuk tidak menahan perempuan, khususnya perempuan yang sedang dalam masa kehamilan, perempuan yang sedang menyusui, anak – anak, orang tua yang sudah renta, orang sakit dan penyandang disabilitas. Keputusan yang demikian tidak dapat dinyatakan sebagai keputusan yang bersifat diskriminatif. 2. Praduga tidak bersalah Ada perbedaan mendasar antara orang yang dalam penahanan dan orang yang telah dinyatakan bersalah oleh pengadilan. Oleh karena itu, prinsip praduga tidak bersalah harus mendapatkan pertimbangan yang tertinggi sebelum pejabat yang berwenang menahan membuat keputusan untuk melakukan penahanan. Jika penahanan terpaksa dilakukan, maka tersangka yang ditahan harus mendapatkan perlakuan yang terpisah sesuai dengan status mereka sebagai orang yang belum diputus bersalah oleh pengadilan. 3. Upaya terakhir Tindakan untuk melakukan penahanan prapersidangan harus diminimalisir. Pada dasarnya, penahanan prapersidangan melibatkan orang yang belum dinyatakan bersalah oleh pengadilan. Keputusan untuk melakukan penahanan prapersidangan dapat membawa dampak negatif/buruk terhadap prinsip praduga tidak bersalah. Maka, penahanan prapersidangan harus digunakan sebagai upaya terakhir dalam proses persidangan pidana. 4. Beralasan dan diperlukan 16 Mashood. A. Baderin, Hukum Internasional Hak Asasi Manusia dan Hukum Islam, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Jakarta, 2010 h. 107 17 pasal 20 ayat 3 KUHAP 18 Supriyadi Widodo Eddyono, op.cit.., hlm 283 33 | LENTERA HUKUM Penahanan prapersidangan hanya dilakukan jika ada kebutuhan yang nyata tentang hal itu. Hukum hak asasi manusia menegaskan bahwa harus ada kondisi yang sangat ketat ketika tindakan penahanan prapersidangan akan diterapkan terhadap seseorang. 5. Pengujian segera oleh pengadilan Meski KUHAP tidak mempunyai mekanisme agar orang yang akan ditahan dihadapkan terlebih dahulu ke pengadilan untuk diuji syarat – syarat dan kondisi penahanannya, beban yang dimandatkan pasal 21 KUHAP harus benar – benar dipenuhi. 6. Hak untuk menguji keabsahan penahanan prapersidangan Setiap tersangka yang menjalani penahanan prapersidangan harus memiliki hak untuk mengajukan pengujian tentang keabsahan penahanan prapersidangan yang dikenakan terhadapnya tanpa penundaan. Seorang tersangka tidak boleh ditahan tanpa memiliki kesempatan untuk dapat menguji keabsahan penahanan dan perpanjangan penahanannya di depan pengadilan pada setiap waktu. 7. Pengujian penahanan secara berkala tanpa permohonan Saat keputusan penahanan prapersidangan diterapkan dan juga telah diuji melalui praperadilan, tersangka tetap berhak atas pengujian penahanan prapersidangan secara berkala tanpa harus ada kewajiban bagi tersangka untuk melakukan tindakan apapun. Tersangka harus segera dikeluarkan dari penahanan jika tidak ada lagi alasan yang telah ditentukan oleh hukum. Adapun secara utuh, pemeriksaan praperadilan terkait penahanan adalah meliputi seluruh unsur – unsur yang disyaratkan dalam melakukan penahanan, rinciannya dijelaskan dalam tabel sebagai berikut19: Tabel 2. Syarat Penahanan dan indikatornya No. Syarat Penahanan Indikator 1. Unsur yuridis (1) Tindak pidana dengan ancaman 5 (lima) tahun penjara atau lebih sesuai pasal 21 ayat (4) huruf a; (2) Tindak pidana yang diancam kurang dari 5 (lima) tahun, tetapi disebut secara limitatif oleh pasal 21 ayat (4) huruf b 2. Unsur keadaan (1) Tersangka atau terdakwa akan melarikan diri: a. Karakter tersangka (termasuk kondisi fisik dan mental); b. Keadaan moral tersangka; c. Pekerjaan saat ini; d. Harta benda; e. Ikatan keluarga yang stabil; f. Lamanya masa tinggal di lingkungannya; g. Ikatan dengan lingkungan ditempat tinggalnya; h. Keadaan dimasa lalu termasuk ketiadaan rekam jejak kesehatan, atau 19 Ibid, h. 380 34 | Konsep Penahanan dalam Sistem Hukum Indonesia i. Rekam jejak situasi yang terkait dengan tindak pidana yang dilakukan di masa lalu, atau j. Rekam jejak tersangka terkait kehadiran di persidangan k. Ketiadaan tempat tinggal tetap tidak dapat dijadikan alasan untuk membenarkan dilakukannya penahanan peradilan l. Adanya keadaan tersangka melakukan bunuh diri tidak dapat dijadikan alasan bahwa tersangka berada dalam kondisi dapat melarikan diri m. Ketiadaan orang yang bersedia menjamin bahwa tersangka akan menghadiri persidangan dan informasi lainnya berkaitan dengan kemungkinan ketidakberhasilan pengawasan terhadap tersangka di dalam masyarakat (2) Merusak atau menghilangkan barang bukti: a. Bukti yang nyata yang dihilangkan atau bukti potensi b. Adanya bahaya yang dapat menyebabkan seseorang atau lebih saksi tindak pidana tidak mau memberikan keterangan secara jujur pada tahap awal pemeriksaan (3) Dikhawatirkan akan mengulangi tindak pidana: a. Mengulangi tindak pidana harus dinyatakan alasannya secara jelas dan dapat dipahami dengan mempertimbangkan faktor – faktor yang relevan b. Melihat pada keadaan perkaranya dan secara khusus rekam jejak dan kepribadian dari tersangka c. Rekam jejak dan karakter dari tersangka d. Termasuk ketiadaan rekam jejak kejahatan atau sejarah tersangka dalam memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan pada proses peradilan sebelumnya e. Kejahatan yang dilakukan tersangka pada saat ini dilakukan pada saat tersangka sedang dalam masa menjalani hukuman percobaan, pembebasan bersyarat, penangguhan atau pengalihan penahanan, banding atau kasasi. (4) Keadaan bahaya atau risiko khusus: a. Keadaan bahaya atau risiko jika tersangka akan menganggu proses peradilan harus dinyatakan dengan jelas berdasarkan faktor – faktor yang relevan b. Bahaya ini harus didukung berdasarkan bukti yang nyata c. Menghambat atau menghalangi proses peradilan d. Mengancam dan/atau membahayakan keselamatan saksi e. Mengambil tindakan mengancam keselamatan hakim (5) Ancaman terhadap ketertiban umum: 35 | LENTERA HUKUM a. Alasan beratnya tingkat kejahatan b. Reaksi masyarakat terhadap tersangka dapat menjadi alasan yang dapat dibenarkan untuk menerapkan penahanan prapersidangan c. Menunjukkan bukti yang mengindikasikan pelepasan tersangka dari penahanan prapersidangan dapat membahayakan keselamatan tersangka itu sendiri d. Tersangka tindak pidana narkotika sebagai penyalah guna tidak dapat digunakan sebagai alasan yang sah untuk menunjukkan adanya ancaman terhadap ketertiban umum e. Adanya keadaan dimana tersangka diduga melanggar tindak pidana kejahatan seksual ataupun kejahatan terhadap anak – anak 3. Unsur tata cara penahanan (1) Surat perintah penahanan a. Identitas tersangka/terdakwa, nama, umur, pekerjaan, jenis kelamin dan tempat tinggal b. Menyebutkan alasan penahanan. Misalnya untuk kepentingan penyidikan atau pemeriksaan sidang pengadilan c. Syarat kepentingan dan keadaan d. Syarat tanpa penahanan maka penyidikan akan terkendala e. Uraian singkat kejahatan yang disangkakan atau yang didakwakan f. Menyebutkan dengan jelas ditempat mana ia ditahan (2) Surat perintah penahanan yang ditandatangani oleh pejabat, tembusannya wajib disampaikan kepada keluarga dan/atau penasihat hukum tersangka (3) Mengikuti tata cara penahanan yang mendapat perlakuan khusus 4. Unsur jangka waktu penahanan (1) Tidak melewati jangka waktu penahanan di tingkat penyidik 20 hari dan perpanjangan 40 hari (2) Jangka waktu penahanan di tingkat penuntut umum untuk jangka waktu paling lama 20 hari. Perpanjangan waktu penahanan paling lama 40 hari (3) Tidak melewati jangka waktu penahanan anak paling lama 7 (tujuh) hari dan perpanjangan oleh penuntut umum paling lama 8 (delapan) hari (4) Tidak melewati jangka waktu penahanan pengadilan HAM, penyidikan paling lama 90 hari 36 | Konsep Penahanan dalam Sistem Hukum Indonesia (5) Tidak melewati jangka waktu penahanan perkara terorisme untuk kepentingan penyidikan dan penuntutan, penyidik diberi wewenang untuk melakukan penahanan paling lama 6 (enam) bulan 1.5.1.1 Kewenangan Penahanan Berdasarkan pada pejabat yang berwenang, KUHAP membedakan tiga jenis tindakan penahanan. Hal ini juga sekaligus menunjukkan tingkat proses peradilan pidana yang tengah dilangsungkan. Ketiga jenis tindakan penahanan tersebut meliputi20: A. Penahanan yang dilakukan oleh penyidik, bertujuan untuk kepentingan penyidikan; KUHAP menjadi rujukan utama kewenangan penyidik dalam melakukan penahanan terhadap tersangka. Selain itu, kewenangan penahanan di tingkat penyidikan juga mengemuka di dalam beberapa undang – undang khusus. Ketentuan – ketentuan tersebut dapat dijumpai pada: a. UU No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Ketentuan pasal 12 ayat (1) undang – undang ini mengatakan, Jaksa Agung sebagai penyidik dan penuntut umum berwenang melakukan penahanan atau penahanan lanjutan untuk kepentingan penyidikan dan penuntutan. b. UU No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika. Ketentuan pasal 75 undang – undang ini menyebutkan, dalam rangka melakukan penyidikan, penyidik Badan Narkotika Nasional (BNN) berwenang menangkap dan menahan orang yang diduga melakukan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan precursor narkotika. Berdasarkan pada ketentuan – ketentuan diatas, penyidik atau penyidik pembantu atas perintah dari penyidik, memiliki wewenang untuk melakukan penahanan. Ukuran dari kepentingan penyidikan didasari oleh keperluan pemeriksaan penyidikan itu sendiri, yang tentunya disandarkan pada pertimbangan – pertimbangan objektif. Tanggung jawab hukum terhadap tersangka yang ditahan berada pada penyidik yang mengeluarkan surat perintah penahanan. Sedangkan, tanggung jawab mengenai kondisi fisik tersangka yang ditahan berada pada kepala rumah tahanan (institusi yang melakukan perawatan tahanan). B. Penahanan yang dilakukan oleh penuntut umum, bertujuan untuk kepentingan penuntutan Ketentuan pasal 20 ayat (2) KUHAP menyatakan, penahanan yang dilakukan oleh penuntut umum bertujuan untuk kepentingan penuntutan. Dalam menggunakan kewenangan tersebut, jaksa harus senantiasa memerhatikan UU No. 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia sebagai pedoman. Ketentuan pasal 8 ayat (4) UU Kejaksaan menyebutkan, dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, jaksa senantiasa bertindak berdasarkan hukum dengan mengindahkan norma – norma keagamaan, kesopanan, kesusilaan, serta wajib menggali dan menjunjung tinggi nilai – 20 Ibid, h. 285 37 | LENTERA HUKUM nilai kemanusiaan yang hidup dalam masyarakat, serta senantiasa menjaga kehormatan dan martabat profesinya. C. Penahanan yang dilakukan oleh pengadilan, yang dimaksudkan untuk kepentingan pemeriksaan di sidang pengadilan. Hakim berwenang melakukan penahanan dengan penetapan yang didasarkan kepada perlu tidaknya penahanan dilakukan sesuai dengan kepentingan pemeriksaan di sidang pengadilan. 1.5.1.2 Jenis Tahanan A. Penahanan dalam rumah tahanan (Rutan) Acuan utama dalam melakukan perawatan tahanan prapersidangan adalah Peraturan Standar Minimum Perlakuan terhadap Narapidana (Standard Minimum Rules for the Treatment for Prisoners). Peraturan ini diadopsi oleh First United Nations Congress on the Prevention of Crime and the Treatment of Off Enders, yang diadakan di Jenewa pada 1955, dan disetujui oleh Economic and Social Council melalui Resolusi 663 C (XXIV) pada 31 Juli 1957 dan 2076 (LXII) pada 13 Mei 1977. Peraturan standar minimum ini memuat perlindungan – perlindungan yang terperinci atas kondisi semua orang dalam penahanan prapersidangan atau pemenjaraan. Beberapa dari peraturan tersebut secara khusus diterapkan bagi penahanan prapersidangan yang bertitik tolak dari asas praduga tidak bersalah.21 Selanjutnya pada tahun 1988, Majelis Umum PBB mengumumkan kumpulan prinsip – prinsip tentang Perlindungan Semua Orang dalam Segala Bentuk Penahanan atau Pemenjaraan (Body of Principles for the Protection of All Persons Under Any Form of Detention and Imprisonment). Body Principles atau prinsip – prinsip pokok ini merupakan sumber penting bagi pedoman penerapan prinsip – prinsip umum UDHR dan ICCPR politik dalam penahanan prapersidangan. Prinsip – prinsip pokok tersebut memerinci upaya yang diperlukan untuk melindungi HAM para tahanan.22 Dalam momentum yang tidak terlalu lama, Resolusi Majelis Umum No. 45/111, tertanggal 14 Desember 1990, juga telah mengadopsi dan mengumumkan Prinsip – Prinsip Dasar bagi Perlakuan Tahanan (Basic Principles for the Treatment of Prisoners), sebagai seruan kepada semua Negara agar mencantumkan prinsip – prinsip elementer dalam memperlakukan tahanan. Di Indonesia, penjelasan pasal 22 ayat (1) KUHAP telah menggariskan kebijakan bahwa selama Rutan belum ada pada suatu tempat, penahanan dapat dilakukan di Kantor Kepolisian Negara, Kantor Kejaksaan Negeri, di Lembaga Pemasyarakatan, di Rumah Sakit, atau dalam keadaan mendesak di tempat lain.23 Merespon hal ini, pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 27 tahun 1983 tentang Pelaksanaan KUHAP, yang menyatakan bahwa pada setiap ibukota kabupaten/kota akan dibentuk Rutan. Jika dianggap perlu dapat didirikan cabang rutan di luar ibukota kabupaten seperti pada suatu kecamatan tertentu. 21 Ibid, h. 300 22 Ibid 23 Ibid 38 | Konsep Penahanan dalam Sistem Hukum Indonesia Selanjutnya, untuk meneruskan perintah PP diatas, Menteri Kehakiman mengeluarkan Surat Keputusan Menteri Kehakiman No. M.04 UM.01.06 tahun 1983 tentang Penetapan Lembaga Pemasyarakatan Tertentu sebagai Rutan. Keputusan Menteri ini mempunyai dua lampiran24: 1.5.1.2.1.1 Lampiran I, berisi daftar Lembaga Pemasyarakatan yang ditetapkan sebagai Rutan; 1.5.1.2.1.2 Lampiran II, berupa daftar Lapas yang disamping tetap dipergunakan sebagai Lembaga Pemasyarakatan, beberapa ruangannya ditetapkan sebagai Rutan. Mengenai siapa saja yang ditempatkan dalam Rutan, dijelaskan lebih lanjut dalam pasal 19 PP No. 27 tahun 1983 jo. Pasal 1 Keputusan Menteri Kehakiman No. M.04.UM.01.06 tahun 1983. Di dalam Rutan ditempatkan tahanan yang masih dalam proses penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, dan Mahkamah Agung. Semua tahanan berada dan ditempatkan dalam Rutan tanpa kecuali, tetapi tempat tahanan dipisahkan berdasarkan jenis kelamin, umur dan tingkat pemeriksaan. Demikian penegasan pasal 19 ayat (1) dan (2) PP No. 27 tahun 1983 serta pasal 1 ayat (1) dan (2) Keputusan Menteri Kehakiman. Rutan sendiri dimaknai sebagai tempat tahanan tersangka atau terdakwa yang masih sedang dalam proses penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan pengadilan.25 B. Penahanan Rumah Penahanan dilakukan di rumah “tempat tinggal” atau “rumah kediaman tersangka atau terdakwa. Selama tersangka/terdakwa berada dalam tahanan rumah, dia harus “diawasi”. Jadi terhadap tersangka/terdakwa yang sedang menjalani penahanan rumah berada dalam “pengawasan” pejabat yang melakukan tindakan penahanan rumah. Bagaimana cara pengawasan undang – undang sendiri tidak menentukan. Dengan demikian pengaturan pengawasan penahanan rumah sepenuhnya bergantung pada kebijaksanaan pejabat yang bersangkutan. Apakah harus dikawal atau diamati terus – menerus, tergantung dari kebutuhan dan keadaan yang menyangkut tindak pidana yang disangkakan kepada tersangka/terdakwa serta sifat dan perilakunya. Atau barangkali pengawasannya dapat dilimpahkan pejabat yang bersangkutan kepada kepala desa maupun kepada ketua RT atau RW.26 Tujuan utama pengawasan untuk menghindari terjadinya sesuatu yang dapat menimbulkan kesulitan dalam penyidikan, penuntutan atau pemeriksaan di sidang pengadilan. Ke arah tujuan inilah pengawasan dilakukan. Karena itu, sifat intensitas pengawasan penahanan rumah, merupakan daya upaya tindakan pengawasan yang benar – benar serasi mencapai maksud, agar bisa terhindar dari sesuatu yang dapat menimbulkan kesulitan dalam penyidikan, penuntutan ataupun pemeriksaan sidang pengadilan. Apakah orang yang sedang dikenakan penahanan rumah dapat 24 Ibid, h. 301 25 Ibid, h. 302 26 M. Yahya Harahap I, op.cit, h. 177 39 | LENTERA HUKUM meninggalkan rumah tempat penahanannya? Menurut penjelasan pasal 22 ayat (2) dan (3), tersangka/terdakwa hanya keluar rumah dengan “izin” penyidik, penuntut umum atau hakim yang memberi perintah penahanan. Izin keluar rumah dimintakan dari pejabat penyidik, jika tahanan secara yuridis berada dalam tanggung jawabnya dan kalau yang memerintahkan penahanan rumah itu hakim, izin keluar rumah harus atas persetujuan hakim yang bersangkutan.27 C. Penahanan Kota Pelaksanaan penahanan kota dilakukan di kota tempat kediaman tersangka atau terdakwa. Pengertian kota dalam pasal ini, meliputi pengertian “desa” atau “kampung”. Sebab kalau pengertian kota ditafsirkan secara sempit, peraturan penahanan kota hanya berlaku untuk warga negara yang tinggal di kota saja. Sedang terhadap yang tinggal di desa atau di dusun, peraturan ini tidak berlaku. Hal yang seperti ini jelas ditentang KUHAP karena tidak sesuai dengan prinsip unifikasi yang melarang adanya diskriminasi hukum bagi warga negara di seluruh nusantara. 28 Berbeda halnya pada penahanan rumah, tersangka/terdakwa yang sedang menjalani tahanan diawasi. Lain halnya pada penahanan kota, “tidak dilakukan pengawasan langsung”. Terhadap mereka undang – undang hanya memberi “kewajiban” untuk “melapor” pada waktu – waktu yang telah ditentukan (pasal 22 ayat 3). Tentang penjadwalan “kewajiban melaporkan” diri, tidak ditentukan oleh undang – undang. Dengan demikian, diserahkan kebijakansanaan sepenuhnya kepada pejabat yang mengeluarkan perintah penahanan kota tersebut. Serupa halnya pada penahanan rumah, dalam penahanan kota pun, tersangka/terdakwa dilarang untuk keluar kota. Hal ini sesuai dengan yang ditentukan penjelasan pasal 22 ayat (2) dan (3). Mereka hanya dapat keluar kota, apabila telah mendapat “izin” dari pejabat yang mengeluarkan perintah penahanan. Jika perintah penahanan kota datangnya dari penyidik, izin keluar kota harus diminta dari penyidik, demikian seterusnya.29 1.5.1.3 Peralihan Penahanan Adanya pembatasan kewenangan penahanan yang dimiliki setiap instansi sesuai dengan tingkat pemeriksaan perkara, berdampak pada adanya peralihan tanggungjawab hukum atas penahanan yang dilakukan sejak pengalihan taraf pemeriksaan perkara. Peralihan ini bertujuan untuk30: (i) Memperhitungkan jumlah masa tahanan definitif yang dilakukan oleh suatu instansi; (ii) Menentukan kapan suatu tahanan sudah berada dalam penahanan yang tidak sah; dan 27 Ibid. 28 Ibid, h. 178 29 Ibid. 30 Supriyadi Widodo Eddyono, dkk, op. cit.., h. 355 40 | Konsep Penahanan dalam Sistem Hukum Indonesia (iii) Memudahkan pihak yang berkepentingan mengetahui, di tangan instansi mana berada tanggung jawab yuridis penahanan yang sedang berlangsung. Kekaburan saat peralihan tanggungjawab yuridis penahanan, akan melanggar prinsip kepastian hukum yang menjadi salah satu asas KUHAP. Apabila perkara orang yang ditangguhkan penahanannya dilimpahkan dari suatu instansi ke instansi lain, maka terjadi peralihan tanggungjawab sesuai dengan angka 8 huruf g dan h lampiran Keputusan Menteri Kehakiman No. M. 14-PW.07.03/1983. Penyidik dapat melakukan pengalihan jenis penahanan dari penahanan rumah tahanan Negara menjadi penahanan rumah atau kota, untuk kepentingan penyidikan dan/atau kepentingan tersangka. Pengalihan jenis penahanan, dapat diberikan dengan pertimbangan: (i) Permohonan dari tersangka/keluarga/penasihat hukum disertai alasannya; (ii) Hasil pemeriksaan medis tentang kondisi kesehatan tersangka; dan (iii) Rekomendasi hasil gelar perkara. Pengalihan jenis penahanan ini wajib dilengkapi dengan surat perintah pengalihan jenis penahanan yang dikeluarkan oleh penyidik atau atasan penyidik selaku penyidik. Penahanan pada Rutan termasuk jenis penahanan yang terberat, diikuti penahanan rumah dan yang paling ringan adalah penahanan kota. Oleh karenanya, pasal 23 KUHAP membuka kemungkinan akan adanya peralihan penahanan secara vertikal yang menjadi wewenang pejabat yang menahan. Secara lengkap ketentuan pasal 23 KUHAP menyatakan, pengalihan jenis penahanan dapat dilakukan: (i) Oleh penyidik dan penuntut umum dilakukan dengan surat perintah tersendiri yang berisi dan bertujuan untuk mengalihkan jenis penahanan; (ii) Jika yang melakukan pengalihan itu hakim, perintah pengalihan dituangkan dalam bentuk surat penetapan; (iii) Tembusan surat perintah pengalihan atau penetapan pengalihan jenis penahanan diberikan kepada tersangka atau terdakwa serta kepada instansi yang berkepentingan. Instansi yang berkepentingan ialah instansi yang terlibat atau dilibatkan dalam penahanan. Misalnya, seorang yang dikenakan penahanan rumah oleh penyidik, penyidik berwenang untuk melimpahkan pengawasan penahanan kepada kepala desa. Dengan demikian, kepala desa ikut dilibatkan sebagai pejabat yang berkepentingan dalam penahanan. Oleh karena itu, tembusan surat perintah peralihan jenis tahanan harus diberikan pula kepada kepala desa tersebut. Jika dipelajari lebih lanjut, KUHAP hanya menyebutkan kewenangan pejabat yang menahan untuk mengalihkan jenis penahanan karena justru KUHAP tidak menyebut hak orang yang ditahan untuk mengajukan permohonan pengalihan jenis penahanan. Namun hal tersebut bukanlah merupakan larangan bagi mereka untuk mengajukan permohonan pengalihan jenis penahanan. Pada praktiknya, keluarga pihak yang ditahan biasanya mengajukan permohonan pengalihan penahanan kepada pejabat yang menahan. Berdasarkan pertimbangan tertentu atas dasar permohonan, pejabat yang bersangkutan dapat mengalihkan status penahanan. Sebaliknya, pejabat bersangkutan 41 | LENTERA HUKUM tanpa diminta dapat mengalihkan penahanan berdasarkan wewenang yang diberikan undang – undang kepadanya.31 1.5.1.4 Penangguhan Penahanan Penangguhan penahanan diatur dalam pasal 31 KUHAP. Berdasarkan ketentuan ini, penangguhan penahanan diartikan sebagai kegiatan mengeluarkan tersangka atau terdakwa dari penahanan sebelum batas waktu penahanannya berakhir. Tahanan yang resmi dan sah pada dasarnya masih ada dan belum habis, namun pelaksanaan penahanannya ditangguhkan, sekalipun masa penahanan yang diperintahkan kepadanya belum habis. Melalui penangguhan penahanan ini, seorang tersangka atau terdakwa dikeluarkan dari tahanan pada saat masa tahanan yang sah dan resmi sedang berjalan.32 Pasal 31 KUHAP belum mengatur tata cara pelaksanaan penangguhan penahanan, serta bagaimana syarat dan jaminan yang dapat dikenakan kepada tahanan atau kepada orang yang menjamin. Ketentuan ini tidak memberi petunjuk mengenai jaminan, justru dalam penjelasannya hanya disebutkan mengenai syarat penangguhan yakni wajib lapor, tidak keluar rumah atau kota. Alinea kedua penjelasan pasal 31 hanya menyinggung ‘status’ tahanan yang ditangguhkan penahanannya, tidak termasuk masa status tahanan.33 Ketentuan lebih lanjut mengenai hal tersebut diatur di dalam Bab X ketentuan pasal 35 dan pasal 36 PP No. 27 tahun 1983, yang mengatur mengenai jaminan penangguhan penahanan serta Bab IV dalam pasal 25 Peraturan Menteri Kehakiman No. M.04.UM.01.06/1983, yang mengatur mengenai pelaksanaan penangguhan penahanan. Lebih jauh, berdasarkan ketentuan pasal 31 ayat (1) KUHAP, penangguhan penahanan terjadi atas dasar34: (i) Karena permintaan tersangka atau terdakwa; (ii) Permintaan itu disetujui oleh instansi yang menahan atau yang bertanggung jawab secara yuridis atas penahanan dengan syarat dan jaminan yang ditetapkan; dan (iii) Ada persetujuan dari orang tahanan untuk mematuhi syarat yang ditetapkan serta memenuhi jaminan yang ditentukan. 1.5.1.5 Jaminan Penangguhan Penahanan Ketentuan pasal 31 ayat (1) KUHAP telah secara tegas menentukan bentuk jaminan dalam penangguhan penahanan, dapat berupa ‘jaminan uang’ atau ‘jaminan orang’. Namun KUHAP belum memerinci cara pelaksanaan penjaminan tersebut. Penetapan jaminan dalam penangguhan penahanan sifatnya ‘fakultatif’. Oleh karena itu, jaminan uang atau jaminan orang ‘dapat’ ditetapkan sekaligus atau salah satu oleh instansi yang menahan.35 31 Ibid, h. 356 32 Ibid 33 Ibid. 34 Ibid. 35 Ibid, h. 361 42 | Konsep Penahanan dalam Sistem Hukum Indonesia Tanpa jaminan, tindakan penangguhan penahanan tetap sah menurut hukum. Sebab, unsur jaminan pada dasarnya dapat dikesampingkan. Akan tetapi, agar syarat penangguhan penahanan benar – benar ditaati, maka penangguhan penahanan dilakukan bersamaan dengan jaminan. Pemberian jaminan ini merupakan upaya untuk memperkecil kemungkinan tersangka/terdakwa melarikan diri. Jaminan penangguhan penahanan terdiri dari36: A. Jaminan uang Berdasarkan ketentuan KUHAP, penangguhan penahanan dengan jaminan atau tanpa jaminan diadakan dan dilaksanakan dalam bentuk “perjanjian” antara tersangka/terdakwa atau penasihat hukumnya dengan instansi yang bertanggungjawab secara yuridis atas penahanan. Apabila jaminan penangguhan penahanan berbentuk uang, instansi atau pejabat yang bersangkutan – sesuai dengan tingkat pemeriksaan, menetapkan besarnya uang jaminan. Besaran uang jaminan secara ‘jelas’ disebutkan dalam surat perjanjian penangguhan.37 Besarnya uang jaminan ditentukan dengan memerhatikan berat ringannya tindak pidana yang di dakwakan kepada terdakwa, kedudukan terdakwa/penjamin, dan kekayaan yang dimiliki olehnya. Uang jaminan tersebut harus diserahkan kepada panitera Pengadilan Negeri. Uang jaminan yang diminta Penuntut Umum ataupun Pengadilan Tinggi tetap harus diserahkan dan disimpan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri.38 Apabila terdakwa melarikan diri dan setelah lewat waktu 3 bulan tidak diketemukan, maka uang jaminan tersebut berdasarkan penetapan Ketua Pengadilan menjadi milik negara dan disetor ke kas negara. Dalam hal terdakwa melarikan diri, maka penjamin wajib membayar uang jaminan yang telah ditetapkan dalam perjanjian, apabila penjamin tidak membayar, maka melalui penetapan pengadilan dilakukan penyitaan terhadap barang – barang milik penjamin menurut hukum acara perdata dan kemudian barang tersebut dilelang dan hasil lelang disetor ke kas negara. Apabila terdakwa melarikan diri, maka penjamin tidak dapat diajukan sebagai terdakwa di pengadilan. Persyaratan untuk diterima sebagai penjamin adalah orang tersebut harus memiliki kecakapan untuk bertindak, cukup memiliki kemampuan dan bertempat tinggal di Indonesia.39 B. Jaminan orang Jaminan penangguhan penahanan berupa orang diatur dalam pasal 36 PP No. 27 tahun 1983 dan lampiran Keputusan Menteri Kehakiman No. M.14-PW.07.03/1983, angka 8 huruf c, f dan j. Pada dasarnya tata cara pelaksanaan jaminan orang hampir sama dengan tata cara jaminan uang. Pengertian jaminan dengan orang, yakni berupa perjanjian penangguhan secara sukarela sebagai jaminan. Penjamin sendiri bisa 36 Ibid. 37 Ibid, h. 362 38 Ibid. 39 Ibid. 43 | LENTERA HUKUM penasihat hukumnya, keluarganya, atau orang lain yang tidak mempunyai hubungan hukum apapun dengan tahanan. Penjamin bersedia member pernyataan dan kepastian kepada instansi yang menahan bahwa dia akan bertanggungjawab memikul segala risiko dan akibat yang timbul apabila tahanan melarikan diri. Tata cara pelaksanaan jaminan orang adalah sebagai berikut40: 1. Menyebut secara jelas identitas orang yang menjamin. Identitas penjamin dicantumkan secara jelas dalam perjanjian penangguhan. 2. Instansi yang menahan menetapkan besarnya jumlah uang yang harus ditanggung oleh penjamin, yang disebut ‘uang tanggungan’. 3. Surat perjanjian penangguhan penahanan juga harus memuat besarnya ‘uang yang harus ditanggung’ oleh orang yang menjamin apabil tersangka atau terdakwa melarikan diri. Besarnya uang tanggungan akan ditetapkan oleh instansi yang menahan. Selanjutnya, pengeluaran surat perintah/penetapan penangguhan didasarkan atas surat jaminan dari si penjamin. Pengeluaran surat perintah/penetapan penangguhan didasarkan atas bukti ‘surat jaminan’ dari penjamin yang disampaikan kepada instansi yang menahan.41 Dalam jaminan orang, uang tanggungan tidak segera disetor. Penyetoran dilakukan apabila tersangka atau terdakwa melarikan diri dan sudah lewat 3 (tiga) bulan tidak juga ditemukan. Penyetoran uang tanggungan ke kas Negara dilakukan oleh orang yang menjamin melalui panitera Pengadilan Negeri. Menurut ketentuan pasal 36 ayat (3) PP No. 27 tahun 1983 jo lampiran Keputusan Menteri Kehakiman No. M.14- PW.07.03/1983 angka 8 huruf j, pelaksanaan penyetoran uang tanggungan tidak memerlukan penetapan pengadilan. Catatannya, apabila yang menjamin secara sukarela melaksanakan penyetoran uang tanggungan kepada kepaniteraan Pengadilan Negeri, yang untuk selanjutnya diserahkan kepada kas Negara sesuai dengan jumlah uang yang ditetapkan dalam perjanjian penangguhan penahanan.42 Apabila orang yang menjamin tidak melaksanakan kewajiban penyetoran uang tanggungan, maka untuk memaksakan pemenuhan penyetoran orang yang menjamin, diperlukan ‘penetapan’ Pengadilan Negeri. Penetapan itu berisi perintah kepada jurusita pengadilan untuk melakukan ‘sita eksekusi’ terhadap barang milik orang yang menjamin. Pelaksanaan sita eksekusi atau executorial beslag dan pelelangan dilakukan jurusita sesuai dengan hukum acara perdata. Oleh karena itu proses pelaksanaan penyetoran dan pelelangan dilakukan sesuai ketentuan pasal 197 HIR atau pasal 208 Rbg.43 1.5.2 Terpidana Dalam pasal 1 angka 31 KUHAP disebutkan bahwa yang dimaksud dengan terpidana adalah seseorang yang dipidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah 40 Ibid, h. 367 41 Ibid. 42 Ibid. 43 Ibid. 44 | Konsep Penahanan dalam Sistem Hukum Indonesia memperoleh kekuatan hukum tetap. Dengan demikian, terpidana adalah orang yang bersalah dan terbukti melanggar suatu peraturan hukum pidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Meskipun terpidana adalah orang yang secara hukum dinyatakan bersalah dan harus menjalankan hukuman yang telah diputuskan pengadilan, namun memiliki hak yang tetap harus dilindungi oleh negara sebagai eksekutor pidana. Terutama berkaitan dengan hak asasi manusia yang melekat dalam diri manusia dan tidak dapat dihapuskan, serta merupakan hak kodrati karena bermahzab pada hukum kodrati sehingga hak asasi bersifat juga hak alami.44 Dalam pemeriksaan pidana, harapan semua pihak digantungkan kepada fakta yang terungkap, aturan yang berlaku, keadaan selama proses persidangan dan putusan hakim, yang akhirnya hanya menunjuk kepada tersangka.45 Bahwa kemerdekaan dan kebebasan seseorang yang juga merupakan hak asasi manusia sekaligus hak asasi masyarakat mencakup pengertian, ruang lingkup dan aspek yang sangat luas. Salah satu aspek yang sangat mendasar ialah kemerdekaan dan kebebasan seseorang untuk bergerak, bepergian kemana saja atau untuk berhubungan dan berkomunikasi dengan siapa saja. Oleh karena itu, perampasan atau pembatasan kemerdekaan bergerak seseorang (yang dilihat dari sudut hukum pidana dapat berupa tindakan penangkapan, penahanan dan pidana perampasan kemerdekaan) hanya dibenarkan apabila berdasarkan peraturan yang berlaku. Perampasan dan pembatasan kemerdekaan berdasarkan peraturan yang berlaku mengandung arti, bahwa ada hak dari orang yang ditangkap, ditahan atau dijatuhi pidana perampasan kemerdekaan:46 a. Untuk mengetahui dasar – dasar atau alasan penangkapan, penahanan atau penjatuhan pidana atas dirinya b. Untuk memperoleh rehabilitasi atau kompensasi, apabila penangkapan, penahanan atau penjatuhan pidana itu tidak berdasarkan hukum yang berlaku c. Untuk mendapatkan perlakuan dan hak – hak sesuai dengan peraturan yang berlaku selama masa penangkapan, penahanan atau pemidanaan atas dirinya. 1.5.3 Pidana Bersyarat Masuknya lembaga pidana bersyarat ke dalam hukum pidana belanda dan kemudian hukum pidana Indonesia, merupakan dampak dari pertumbuhan lembaga - lembaga semacam ini di Amerika Serikat, Inggris, dan Eropa Barat. Lembaga seperti ini pertama kali muncul di Amerika Serikat pada tahun 1887, dengan nama probation. Melalui lembaga ini dimungkinkan untuk menunda penjatuhan pidana dengan cara menempatkan terdakwa dalam probation dengan pengawasan seorang probation officer. 44 Warih Anjari, Pencabutan Hak Politik Terpidana Korupsi Dalam Perspektif Hak Asasi Manusia, Jakarta, Jurnal Yudisial, Vol. 8 No. 1 April 2015 h. 25 45 Anthon Freddy Susanto, Wajah Peradilan Kita: Konstruksi Sosial Tentang Penyimpangan, Mekanisme Kontrol dan Akuntabilitas Peradilan Pidana, Refika Aditama Bandung, 2004 h. 144 46 Barda Nawawi Arief I, op. cit, h. 72 45 | LENTERA HUKUM Lembaga probation berkembang dengan cepat, sampai akhirnya masuk ke negara – negara lain, seperti Inggris, Perancis, dan Belgia. Hanya saja di Perancis dan Belgia, lembaga ini berubah menjadi penundaan pelaksanaan pidana dan tidak diperlukan probation officer untuk melaksanakan pengawasan terhadap terpidana.47 Sementara pada sistem Perancis dan Belgia, hakim pada waktu mengadili terdakwa sudah menetapkan lamanya pidana penjara yang harus dijalani, tetapi karena keadaan-keadaan tertentu ia memutuskan untuk menunda pelaksanaan pidana ini. Artinya pidana yang telah dijatuhkan tidak perlu dijalani, asalkan dalam suatu waktu yang ditentukan oleh hakim, terdakwa telah memenuhi syarat syarat yang telah ditetapkan. Apabila dalam masa penundaan tersebut terpidana melanggar syarat-syarat, maka pidana yang telah ditetapkan tadi harus dijalani. Selama dalam masa penundaan, terpidana tidak dibantu oleh probation officer.48 Dalam Wetboek van Strafrecht (WvS) Belanda, pidana bersyarat ini diadakan pada tahun 1915, Sistemnya merupakan campuran antara sistem AmerikaInggris dengan sistem Prancis-Belgia di atas dan berdasarkan asas concordantie sistem Belanda ini juga diterapkan dalam Hukum Pidana di Hindia Belanda. Sebagai sistem campuran, sistem Belanda ini mengoper sebagian dari masing – masing sistem.49 Menurut sistem Belanda, apabila dalam persidangan terdakwa terbukti bersalah atas kesalahannya itu hakim menjatuhkan pidana tetapi dalam putusan hakim ditetapkan bahwa ia tidak perlu menjalani pidananya apabila selama tertentu (disebut masa percobaan), ia tidak melanggar syarat-syarat yang ditentukan. Selama masa percobaan, dalam usaha memperbaiki kelakuannya, terhadap terpidana dilakukan bimbingan dan pengawasan oleh pejabat reklasering.50Di Indonesia sendiri pidana bersyarat ini baru dimasukkan ke dalam Staatsblad Tahun 1926 Nomor 251 jo 487 yang juga dikenal sebagai ordonansi Uitvoeringsordonnantie voorwaardelijke veroordeling atau sebagai peraturan pelaksanaan pemidanaan bersyarat yang mulai berlaku tanggal 1 Januari 1927 dengan dimasukkannya berupa pasal-pasal 14a sampai dengan Pasal 14f dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Jadi lembaga ini adalah jauh lebih baru jika dibandingkan dengan lembaga-lembaga kepidanaan lainnya.51 Roeslan Saleh mengemukakan bahwa pidana bersyarat merupakan lembaga yang baru, lahirnya lembaga pidana bersyarat ini di dorong oleh pikiranpikiran baru tentang pencegahan kejahatan. Dengan adanya lembaga ini menimbulkan suatu perubahan dalam suatu stelsel pidana. Melihat kepada hasilnya di Belanda rupanya di sana kelihatan banyak faedah dari lembaga ini. Hakimpun semakin sering menggunakan pidana bersyarat ini. Salah satu kebaikan-kebaikan pokok daripada pidana bersyarat ini adalah justru bahwa pengurungan mereka di dalam rumah penjara, dengan pengaruhnya 47 Muladi, Lembaga Pidana Bersyarat, Bandung, Alumni, 2008, (Selanjutnya disingkat Muladi I), h. 33 48 Ibid, h. 65 49 Yayad Hidayat, Implementasi Putusan Pidana Bersyarat Sebagai Alternatif Pengganti Pidana Penjara Jangka Pendek Dalam Sistem Peradilan Pidana, Program Pasca Sarjana Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2012, h. 51 50 Ibid. 51 Ibid, h. 52 46 | Konsep Penahanan dalam Sistem Hukum Indonesia yang merusak atas kehidupan kekeluargaan dan kemasyarakatan mereka itu, dapat dihindarkan.52 Sistem yang di pakai Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) kita adalah campuran dari kedua-duanya, bentuk terutama mengikuti sistem Prancis Belgia. Putusan itu tidak hanya menyatakan bahwa terdakwa bersalah, tetapi juga menetapkan pidananya, hanya pelaksanaannya yang (dengan putusan hakim) ditiadakan dengan bersyarat, dan diadakan pula syarat-syarat khusus yang harus di taatinya, maupun pengawasan-pengawasan, ini di ambil dari sistem Amerika – Inggris.53 Pidana bersyarat sendiri memiliki sinonim dengan hukuman percobaan (Voorwardelijke Veroordeling). Namun berkaitan dengan penamaan ini juga ada yang mengatakan kurang sesuai, sebab penamaan ini itu memberi kesan seolah-olah yang digantungkan pada syarat itu adalah pemidanaannya atau penjatuhan pidananya. Padahal yang digantungkan pada syarat- syarat tertentu itu, sebenarnya adalah pelaksanaan atau eksekusi dari pidana yang telah dijatuhkan oleh hakim. Pidana bersyarat sendiri merupakan salah satu jenis penerapan sanksi pidana di luar Lembaga Pemasyarakatan (LP), selain itu terdapat penerapan sanksi pidana lain yang di luar LP, yaitu:54 a. Pelepasan bersyarat b. Bimbingan lebih lanjut c. Proses asimilasi/ integrasi d. Pengentasan anak dengan cara pemasyarakatan untuk terpidana anak e. Pengentasan anak yang diserahkan negara dengan keputusan hakim atau orang tua/ wali Muladi menyatakan:55 Pidana bersyarat adalah suatu pidana, dalam hal mana si terpidana tidak usah menjalani pidana tersebut, kecuali bilamana selama masa percobaan terpidana telah melanggar syarat-syarat umum atau khusus yang telah ditentukan oleh pengadilan. Dalam hal ini pengadilan yang mengadili perkara tersebut mempunyai wewenang untuk mengadakan perubahan syarat-syarat yang telah ditentukan atau memerintahkan agar pidana dijalani apabila terpidana melanggar syarat-syarat tersebut. Pidana bersyarat ini merupakan penundaan terhadap pelaksanaan pidana. Walaupun sering disebut dengan pidana bersyarat (Voorwardelijke Veroordeling), tetapi sesungguhnya bukan salah satu dari bentuk sanksi pidana karena tidak disebut dalam pasal 10 KUHP. Karena bukan sanksi pidana melainkan suatu sistem penjatuhan pidana tertentu (pidana kurungan, denda) di mana ditetapkan dalam amar putusan bahwa pidana yang dijatuhkan itu tidak perlu dijalankan dengan pemberian syarat- syarat tertentu, maka sebaiknya digunakan istilah pidana dengan bersyarat.56 Dalam praktek hukuman semacam ini kiranya jarang sekali sampai dijalankan oleh karena si 52 Ibid. 53 Ibid. 54 Bambang Poernomo, Pelaksanaan Pidana Penjara dengan Sistem Pemasyarakatan, Liberty, Yogyakarta, 2002, h. 190 55 Muladi I, op. cit, h. 195 – 196 56 Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana I, Rajagrafindo Persada, Depok, cetakan ke-7, 2012 h. 54 47 | LENTERA HUKUM terhukum akan berusaha benar-benar dalam masa percobaan tidak melakukan sutau tindak pidana, dan syarat khusus biasanya dipenuhi. Disamping itu, apabila syarat- syarat dipenuhi, hukuman tidak otomatis dijalankan, tetapi harus ada putusan lagi dari hakim. Dan, ada kemungkinan hakim belum memerintahkan supaya hukuman dijalankan, yaitu apabila misalnya si terhukum dapat menginsyafi hakim, bahwa si terhukum dapat dimaafkan dalam hal ini tidak memenuhi syarat-syarat.57 Pada umumnya orang berpendapat bahwa suatu penjatuhan hukuman secara bersyarat itu lebih menguntungkan bagi terhukum daripada suatu penjatuhan hukuman secara tidak bersyarat. Oleh karena itu, dengan penjatuhan hukum bersyarat terhukum tidak perlu melaksanakan hukuman yang telah diputuskan oleh hakim, sedang dengan penjatuhan hukuman tidak bersyarat terhukum secara fisik harus melaksanakan hukumannya dalam lembaga pemasyarakatan. Mengenai lembaga penjatuhan hukuman bersyarat tersebut, timbul kini pertanyaan, hukuman manakah yang lebih berat, suatu hukuman tidak bersyarat dengan jangka waktu yang sangat singkat atau suatu hukuman bersyarat dengan masa percobaan, yang relatif lama.58 Dalam dua arrest-nya, masing – masing tanggal 30 Juni 1919, W.10437 dan tanggal 7 Mei 1917, W. 10121, ternyata Hoge Raad telah mengemukakan pendiriannya mengenai lembaga penjatuhan hukuman bersyarat tersebut dengan mengatakan antara lain, bahwa masalah bersyarat atau tidak bersyarat itu bukan berkenaan dengan hukumannya itu sendiri, melainkan berkenaan dengan pelaksanaan atau eksekusi hukuman.59 Sedang dalam arrest-nya tanggal 18 Desember 1933, N.J. 1934 halaman 298, W. 12705, Hoge Raad antara lain mengatakan bahwa60: “Suatu hukuman penjara tidak bersyarat itu menurut pengertian pasal 424 Sv. Bukan merupakan suatu hukuman yang lebih berat daripada suatu hukuman bersyarat dengan masa percobaan yang lamanya sama dengan lamanya hukuman tidak bersyarat. Oleh karena itu, perintah tidak perlu melaksanakan suatu hukuman itu tidak mengubah hukumannya itu sendiri”. 1.5.3.1 Pengaturan Pidana Bersyarat Pengaturan mengenai pidana bersyarat ini sendiri di dalam KUHP terdapat pada: Pasal 14a KUHP (1) Apabila hakim menjatuhkan pidana penjara paling lama satu tahun atau pidana kurungan, tidak termasuk pidana kurungan pengganti maka dalam putusannya hakim dapat memerintahkan pula bahwa pidana tidak usah dijalani, kecuali jika kemudian hari ada putusan hakim yang menentukan lain, disebabkan karena terpidana melakukan suatu tindak pidana sebelum 57 Wirjono Prodjodikoro, Asas – Asas Hukum Pidana di Indonesia, Refika Aditama, Bandung, Cetakan Keempat, 2011 h.184 58 P.A.F Lamintang dan Franciscus Theojunior Lamintang, Dasar – Dasar Hukum Pidana di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2014, h. 174 59 Ibid. 60 Ibid. 48 | Konsep Penahanan dalam Sistem Hukum Indonesia masa percobaan yang ditentukan dalam perintah tersebut di atas habis, atau karena terpidana selama masa percobaan tidak memenuhi syarat khusus yang mungkin ditentukan dalam perintah itu. (2) Kecuali dalam perkara pendapatan (penghasilan) dan gadai negara, maka hakim mempunyai kuasa itu juga, apabila dijatuhkan pidana denda, tetapi hanya jika ternyata kepadanya, bahwa bayaran denda itu atau rampasan yang diperintahkan dalam keputusan itu menimbulkan keberatan besar bagi orang yang dipidana itu. Untuk melakukan ayat ini maka kejahatan dan pelanggaran tentang candu hanyalah dipandang sebagai kejahatan dan pelanggaran tentang pendapatan negara, apabila tentang ini telah ditentukan, bahwa dalam hal menjatuhkan pidana denda tiada berlaku apa yang ditentukan dalam Pasal 30, ayat (2). (3) Apabila hakim tak menentukan lain, maka perintah tentang pidana pokok, mengenai juga hukuman tambahan yang dijatuhkan. (4) Perintah itu hanya diberikan, kalau sesudah pemeriksaan yang teliti hakim yakin, bahwa dapat dilakukan pengawasan yang cukup atas hal menetapi syarat umum, yaitu bahwa orang yang dipidana itu tak akan melakukan tindak pidana dan atas hal menetapi syarat khusus, jika sekiranya diadakan syarat itu. (5) Dalam putusan yang memberi perintah yang tersebut dalam ayat pertama itu, diterangkan pula sebab-sebabnya atau hal ihwal yang menjadi alasan putusan itu. Pidana bersyarat dapat diterapkan jika Hakim menjatuhkan pidana penjara tidak lebih dari satu tahun atau kurungan tidak termasuk kurungan pengganti. Dari kata-kata “pidana tidak usaha dijalani” yang terdapat dalam rumusan Pasal 14a ayat (1) KUHPidana tersebut dapat diketahui bahwa pidana bersyarat adalah putusan pidana yang pidananya tidak dijalani. Jadi, sekalipun dalam putusan pengadilan terdapat kata- kata misalnya “dijatuhi pidana penjara 6 (enam) bulan”, namun pidana penjara 6 (enam) bulan tersebut tidak dijalani oleh terpidana. Sebagai gantinya, terpidana harus menjalani suatu masa percobaan, yang lamanya telah ditentukan oleh hakim dalam putusannya itu.61 Pasal 14b KUHP (1) Dalam perkara kejahatan dan pelanggaran yang diterangkan dalam Pasal 492, 504, 505, 506 dan 536, maka percobaan itu selama-lamanya tiga tahun dan perkara pelanggaran yang lain selama-lamanya dua tahun. (2) Masa percobaan itu mulai, segera putusan itu sudah menjadi tetap dan diberitahukan kepada orang yang dipidana menurut cara yang diperintahkan dalam undang-undang. (3) Masa percobaan itu tidak dihitung, selama orang yang dipidana itu ditahan dengan sah. 61 Eyreine Tirza Priska Doodoh, Kajian Terhadap Penjatuhan Pidana Bersyarat dan Pengawasan Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Jurnal Lex et Societatis, Vol. I/No.2/Apr- Jun/2013 h. 100 49 | LENTERA HUKUM Masa percobaan paling lama tiga tahun terhadap tindak pidana yang disebut dalam pasal 492, 504, 505, 506 dan 536 KUHPidana, sedangkan tindak pidana lainnya paling lama dua tahun, dihitung sejak putusan menjadi tetap dan telah diberitahukan kepada terpidana, sedangkan masa penahanan yang sah tidak diperhitungkan kedalam masa percobaan.62 Pasal 14c ayat (1) KUHP merumuskan sebagai berikut : (1) Dengan perintah yang dimaksud pasal 14a, kecuali jika dijatuhkan pidana denda, selain menetapkan syarat umum bahwa terpidana tidak akan melakukan tindak pidana, hakim dapat menetapkan syarat khusus bahwa terpidana dalam waktu tertentu, yang lebih pendek daripada masa percobaannya, harus mengganti segala atau sebagian kerugian yang ditimbulkan oleh tindak pidana, semuanya atau sebagiannya saja, yang akan ditentukan pada perintah itu dalam waktu yang akan ditentukan pada perintah itu juga, yang kurang daripada masa percobaan itu. (2) Dalam hal menjatuhkan pidana, baik pidana penjara yang lamanya lebih dari tiga bulan, maupun pidana kurungan karana salah satu pelanggaran yang diterangkan dalam pasal 492, 504, 505, 506 dan 536, maka pada perintahnya itu hakim boleh mengadakan syarat khusus yang lain pula tentang kelakuan orang yang dipidana itu, yang harus dicukupinya dalam masa percobaan itu atau dalam sebagian masa itu yang akan ditentukan pada perintah itu. (3) Segala janji itu tidak boleh mengurangkan kemerdekaan agama atau kemerdekaan politik. Hakim, disamping menetapkan syarat umum bahwa terpidana tidak akan mengulangi lagi tindak pidana, dapat juga menetapkan syarat khusus, seperti terpidana diperintahkan membayar ganti rugi kepada korban.63 Pasal 14d (1) Pengawasan atas hal yang mencukupi tidaknya segala janji itu diserahkan kepada pegawai negeri yang akan menyuruh menjalankan pidana itu, jika sekiranya kemudian hari diperintahkan akan menjalankannya. (2) Jika dirasanya beralasan, maka dalam perintahnya, hakim boleh memberi perintah kepada sebuah lembaga yang bersifat badan hukum dan berkedudukan di daerah Republik Indonesia atau kepada orang yang memegang sebuah lembaga yang berkedudukan di situ atau kepada seorang pegawai neeri istimewa, supaya memberi pertolongan dan bantuan kepada orang yang dipidana itu tentang mencukupi syarat khusus itu. Jaksa adalah pejabat yang mengawasi agar syarat-syarat terpenuhi, dan Hakim dapat memerintahkan lembaga yang terbentuk badan hukum, lembaga sosial, untuk 62 Ibid. 63 Ibid. 50 | Konsep Penahanan dalam Sistem Hukum Indonesia memberikan bantuan kepada terpidana agar terpenuhinya syarat-syarat yang ditetapkan.64 Pasal 14e KUHP Baik sesudah menerima usul dari pegawai negeri yang tersebut dalam ayat pertama pasal 14d, maupun atas permintaan orang yang diberi putusan mengubah syarat khusus yang ia telah tetapkan atau waktu berlaku syarat itu diadakannya dalam masa percobaan, dapat menyerahkan hal memberi bantuan itu kepada orang lain daripada yang sudah diwajibkan atau dapat memperpanjang masa percobaan itu satu kali. Tambahan itu tidak boleh lebih dari seperdua waktu yang selama-lamanya dapat ditentukan untuk masa percobaan itu. Lamanya waktu berlakunya syarat-syarat khusus dapat diubah atas usul jaksa ataupun terpidana. Hakim dapat mengubah syarat – syarat khusus, dengan ketentuan paling lama setengah dari masa percobaan yang telah ditetapkan.65 Pasal 14f KUHP (1) Dengan tidak mengurangi ketentuan pada pasal yang di atas, maka sesudah menerima usul dari pegawai negeri yang diterangkan dalam ayat pertama pasal 14d, hakim yang mula-mula memberi putusan dapat memerintahkan supaya putusan itu dijalankan., atau menentukan supaya orang yang dipidana itu ditegur atas namanya, yaitu jika dalam masa percobaan itu orang tersebut melakukan tindak pidana dan karena itu dipidana menurut putusan yang tak dapat diubah lagi, atau jika masa percobaan itu orang tersebut dipidana menurut putusan yang tak dapat diubah lagi karena tindak pidana yang dilakukannya sebelum masa percobaan itu mulai. Dalam hal memberi teguran itu hakim menentukan pula caranya menegur. (2) Perintah menjalankan pidana tidak lagi dapat diberikan, jika masa percobaan sudah habis, kecuali jika sebelum habis masa percobaan itu orang yang dipidana tersebut dituntut karena melakukan tindak pidana, dan kesudahan tuntutan itu orangnya dipidana menurut putusan yang tak dapat dirubah lagi. Dalam hal itu boleh juga perintah akan mejalankan pidananya diberikan dalam dua bulan sesudah putusan pidana orang itu menjadi tak dapat dirubah lagi. Pasal dalam KUHP tersebut oleh Muladi disimpulkan menjadi persyaratan dapat dijatuhkannya pidana bersyarat, yaitu antara lain:66 a. Dalam putusan yang menjatuhkan pidana penjara, asal lamanya tidak lebih dari 1 (satu) tahun. Jadi dalam hal ini pidana bersyarat dapat dijatuhkan dalam hubungan dengan pidana penjara dengan syarat hakim tidak ingin menjatuhkan pidana lebih 64 Ibid. 65 Ibid. 66 Muladi I, op. cit, hlm. 88. 51 | LENTERA HUKUM dari satu tahun, sehingga yang menentukan bukanlah ancaman pidana maksimal yang dapat dijatuhkan pada pelaku tindak pidana tersebut, tetap pada pidana yang dijatuhkan terhadap si terdakwa, dari penjelasan tersebut nampak bahwa pidana bersyarat dipergunakan berdasarkan maksud daripada hakim dalam memutus, pada saat ia hendak memberi pidana satu tahun, maka hakim tersebut memiliki hak untuk memberikan pidana bersyarat pada terdakwa tersebut, akan tetapi perlu diperhatikan bahwa dalam pasal 14a ayat (2) hakim dibatasi secara jelas berkaitan dengan jenis tindak pidana yang tidak dapat dijatuhkan pidana bersyarat (penyimpangan), antara lain: 1) Perkara-perkara mengenai penghasilan dan persewaan negara apabila menjatuhkan pidana denda, namun harus pula dibuktikan bahwa pidana denda dan perampasan tersebut memang memberatkan terpidana 2) Kejahatan dan pelanggaran candu, perbuatan tersebut dianggap sebagai perkara mengenai penghasilan Negara 3) Berkaitan dengan pidana denda yang dijatuhkan tidak dapat digantikan dengan pidana kurungan Selain ketiga hal di atas, sebagai pengeculian tidak dapat dijatuhkannya pidana bersyarat, terdapat juga pengecualian lain mengenai lamanya waktu satu tahun juga dapat disimpangi, yaitu dengan masa percobaan selama tiga tahun namun bagi kejahatan dan pelanggaran tertentu, yaitu: i. Perbuatan merintangi lalu lintas atau mengganggu ketertiban atau keamanan bagi orang-orang lain ataupun melakukan sesuatu ii. Perbuatan meminta-minta pemberian di depan umum, baik dilakukan oleh sendiri ataupun oleh tiga orang atau lebih secara bersama-sama dan umur mereka sudah lebih dari enam belas tahun iii. Perbuatan berkeliaran kemana-mana tanpa memiliki mata pencaharian, perbuatan tersebut dilakukan oleh sendiri atau tiga orang attau lebih dan usia mereka di attas nema belas tahun dan dalam hal ini perbuatan tersebut adalah bergelandangan iv. Perbuatan sebagai germo dengan mengambil keuntungan dari perbuatan susila oleh seorang wanita v. Perbuatan berada di jalan umum dalam keadaan mabuk b. Pidana bersyarat dapat dijatuhkan sehubungan dengan pidana kurungan, dengan ketentuan tidak termasuk pidana kurungan pengganti denda, mengenai pidana kurungan ini tidak diadakan pembatasan, sebab dalam pasal 18 ayat (1) KUHP sudah jelas menyatakan bahwa pidana kurungan dapat dijatuhkan kepada terdakwa paling lama satu tahun dan paling cepat satu hari, alasan pidana kurungan pengganti dendan tidak dapat dikenakan pidana bersyarat, karena pidana kurungan itu sendiri sudah menjadi syarat apabila terpidana tidak dapat membayar denda, sehingga tidak mungkin dibebankan pidana bersyarat terhadap sesuatu yang sudah menjadi syarat dari pidana pokok yang dijatuhkan. c. Dalam hal menyangkut pidana denda, maka pidana bersyarat dapat dijatuhkan, dengan batasan bahwa hakim harus yakin bahwa pembayaran denda betul-betul 52 | Konsep Penahanan dalam Sistem Hukum Indonesia akan dirasakan berat oleh si terdakwa. Beberapa hal yang dikemukakan di atas adala menyangkut persyaratan dapat dan tidak dapatnya dijatuhkan pidana bersyarat. Selain itu juga perlu diketahui bahwa masa percobaan yang berkaitan dengan pidana bersyarat tersebut mulai dihitung dan berlaku sejak putusan hakim itu sudah mempunyai kekuatan hukum tetap dan pasti (pasal 14b ayat (2)), selain itu keputusan hakim itu sendiri telah diberitahukan kepaa terpidaan sesuai dengan tata aturan hukum yang sah, apabila mengacu pada Staatblad tahun 1926 Nomor 251 jo 486 mengenai aturan pidana bersyarat (regeling van de voorwaardelijke veroordeling) itu sendiri bahwa dalam pasal 1 menyatakan: “ditentukan putusan pengadilan yang berisi tentang perintah pidana bersyarat setelah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, oleh pejabat yang berwenang untuk melaksanakan putusan pengadilan, secepat mungkin harus diberitahukan kepada terpidana secara pribadi dan menjelaskan mengenai isi dari putusan tersebut, dengan menyerahkan suatu pemberitahuan mengenai pidana yang telah dijatuhkan kepadanya dan mengenai semua isi keputusan yang berkenaan dengan perintah tersebut.” III.PENGATURAN PIDANA BERSYARAT DALAM RANCANGAN KUHP NASIONAL Rancangan Undang-undang Hukum Pidana menggunakan istilah pidana pengawasan untuk menggantikan istilah pidana bersyarat ini. Adapun tentang pidana Pengawasan sebagaimana diatur dalam RUU-KUHP 2012, yakni; Pasal 77 RUU KUHP“Terdakwa yang melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun, dapat dijatuhi pidana pengawasan.” Pasal 78 RUU KUHP (6) Pidana pengawasan dapat dijatuhkan kepada terdakwa mengingat keadaan pribadi dan perbuatannya. (7) Pidana pengawasan sebagaimana dimaksud pada (1) dijatuhkan untuk paling lama tiga tahun. (8) Dalam penjatuhan pidana pengawasan dapat ditetapkan syarat-syarat: a) terpidana tidak akan melakukan tindak pidana; b) terpidana dalam waktu tertentu yang lebih pendek dari masa pidana pengawasan, harus mengganti seluruh atau sebagian kerugian yang timbul oleh tindak pidana yang dilakukan; dan/atau c) terpidana harus melakukan perbuatan atau tidak melakukan perbuatan tertentu, tanpa mengurangi kemerdekaan beragama dan kemerdekaan berpolitik. (9) Pengawasan dilakukan oleh Balai Pemasyarakatan Direktorat Jenderal Permasyarakatan Departemen Hukum dan HAM. (10) Jika selama dalam pengawasan terpidana melanggar hukum, maka Balai Pemasyarakatan Direktorat Jenderal Permasyarakatan Departemen Hukum dan HAM dapat mengusulkan kepada hakim pengawas untuk memperpanjang masa pengawasan yang lamanya tidak melampui maksmum dua kali masa pengawasan yang belum dijalani. (11) Jika dalam pengawasan terpidana menunjukan kelakuan baik, maka Balai Pemasyarakatan Direktorat Jenderal Permasyarakatan Departemen Hukum dan 53 | LENTERA HUKUM HAM dapat mengusulkan kepada hakim pengawas untuk memperpendek masa pengawasannya. (12) Hakim pengawas dapat mengubah penetapan jangka waktu pengawasan setelah mendengar para pihak. Pasal 79 RUU KUHP. (1) Jika terpidana selama menjalani pidana pengawasan melakukan tindak pidana dan dijatuhi pidana yang bukan pidana mati atau bukan pidana penjara, maka pidana pengawasan tetap dilaksanakan. (2) Jika terpidana dijatuhi pidana penjara, maka pidana pengawasan ditunda dan dilaksanakn kembali setelah terpidana selesai menjalani pidana penjara.” Pasal 121 RUU KUHP Ketentuan mengenai pidana pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77, Pasal 78, dan Pasal 79 berlaku juga terhadap pidana pengawasaan. Bilamana peraturan pidana pengawasan di dalam konsep Rancangan Kitab Undang – Undang Hukum Pidana baru buku kesatu tersebut dibandingkan dengan pengaturan pidana bersyarat di dalam Kitab Undang – Undang Hukum Pidana yang berlaku sekarang yakni pasal 14a s/d 14f KUHP, maka terdapat perbedaan – perbedaan sebagaimana terlihat pada table di bawah ini67: Tabel 3. Perbandingan antara Pidana Pengawasan dan Pidana Bersyarat No. Pidana Pengawasan Pidana Bersyarat 1. Pidana pengawasan dijatuhkan hakim dalam mengadili terdakwa yang melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana pemasyarakatan paling lama 7 (tujuh) tahun atau kurang Pada KUHP, syarat penjatuhan pidana bersyarat adalah dalam putusan yang menjatuhkan pidana penjara, asal tidak lebih dari 1 (satu) tahun atau sehubungan dengan pidana kurungan, dengan ketentuan tidak termasuk pidana kurungan, dengan ketentuan tidak termasuk pidana kurungan pengganti denda atau dalam hal menyangkut pidana denda dengan batasan bahwa hakim harus yakin bahwa pembayaran denda betul – betul akan dirasakan berat oleh terdakwa 2. Pidana pengawasan dijatuhkan paling lama untuk 3 (tiga) tahun Masa percobaan dalam pidana bersyarat ditentukan selama 3 (tiga) tahun bagi kejahatan dan pelanggaran yang tersebut dalam pasal – pasal 492, 67 I Ketut Hasta Dana, Kajian Pidana Bersyarat Dalam Tindak Pidana Korupsi, Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2012, h. 81 54 | Konsep Penahanan dalam Sistem Hukum Indonesia 504, 506 dan 536 KUHP dan bagi pelanggaran lainnya hanya 2 (dua) tahun 3. Di dalam pidana pengawasan, pengawasan dilakukan oleh pejabat Pembina Departemen Kehakiman yang dapat diminta bantuan dari pemerintah daerah, lembaga sosial atau orang lain Pada pidana bersyarat dibedakan antara pengawasan umum yang dilakukan oleh jaksa dan pengawasan khusus yang dilakukan oleh lembaga yang berbentuk badan hukum atau pemimpin suatu rumah penampung atau pejabat tertentu 4. Pidana pengawasan merupakan pidana pokok yang berdiri sendiri Pidana bersyarat hanya merupakan cara penerapan pidana Menurut Mardjono Reksodiputro, pidana bersyarat hanya mensyaratkan “pengawasan” oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) dalam Ditjen Pemasyarakatan, namun dalam prakteknya tidak dilakukan karena kesibukan JPU. Sedangkan dalam pidana pengawasan konsepnya adalah “probation”, yaitu suatu lembaga khusus yang berkewajiban mengawasi dalam pengertian “membina” / “mendidik”.68 Sementara menurut Indriyanto Seno Adji, tidak ada ide perubahan pidana bersyarat menjadi pidana pengawasan. Pidana bersyarat merupakan bagian dari pidana penjara dan pidana penjara masih dipertahankan hingga kini. Yang terjadi adalah perluasan adanya pidana pengawasan dan penghapusan pidana mati sebagai pidana pokok. Pada RKUHP, pidana pengawasan dan pidana penjara sebagai bentuk pidana yang berdiri sendiri.69 Gagasan dasar diadakannya pidana pengawasan dalam RKUHP berkaitan dengan pandangan tentang semakin dihargainya hak – hak manusia. Salah satu tujuannya ialah memajukan dan mendorong penghormatan terhadap hak – hak asasi manusia dan kebebasan dasar bagi semua umat manusia tanpa pembedaan ras, jenis kelamin, bahasa atau agama. Selain itu, pengaturan terhadap pidana pengawasan ini berkaitan pula dengan upaya mencari bentuk baru sebagai alternatif pengganti jenis pidana perampasan kemerdekaan yang selama ini seringkali digunakan dalam upaya pencegahan dan penanggulangan kejahatan oleh penegak hukum, terutama sebagai alternatif pengganti pidana penjara yang berjangka waktu pendek.70 IV.PENUTUP Penerapan pidana pengawasan dilakukan dengan adanya penundaan penjatuhan pidana. Jadi, dalam penerapan pidana pengawasan tidak terjadi final sentence. Dengan ketentuan demikian dapat diasumsikan bahwa terhadap pelaku tindak pidana dapat secara dini tercegah dari dampak stigmatisasi sebagai orang jahat yang sedikit banyak dapat 68 Ibid, h. 82 69 Ibid. 70 Ibid. 55 | LENTERA HUKUM mempengaruhinya dalam melangsungkan kehidupannya di masyarakat. Berbeda dengan ketentuan dalam pidana bersyarat, dalam penerapannya dikaitkan dengan penjatuhan pidana secara pasti terlebih dahulu, yang pelaksanaannya ditunda dengan syarat. Dengan penjatuhan pidana secara pasti ini menunjukkan bahwa pelaku telah dicap sebagai pelaku tindak pidana/penjahat.71 Selain itu pidana pengawasan (probation) dilihat dari segi pelaku tindak pidana mempunyai keuntungan – keuntungan, antara lain akan memberikan kesempatan kepada terpidana untuk memperbaiki dirinya yang lebih utama daripada resiko yang mungkin di derita oleh masyarakat, memungkinkan terpidana untuk melanjutkan kebiasaan – kebiasaan hidupnya sehari – hari sebagai manusia dan mencegah terjadinya stigma yang diakibatkan oleh pidana perampasan kemerdekaan.72 Dengan demikian, diadakannya alternatif pidana perampasan kemerdekaan berupa jenis pidana pengawasan (probation) tidak hanya demi kepentingan si pelaku tindak pidana, namun juga demi kepentingan masyarakat. Hal ini disebabkan dalam pidana pengawasan memang tercakup aspek perlindungan pelaku pidana (individualisasi pidana), maka dapat disimpulkan bahwa ide dasar diadakannya pidana pengawasan adalah untuk menggantikan pidana penjara dan untuk melindungi kepentingan individu terpidana dan kepentingan masyarakat yang menjadi arah tujuan pemidanaan modern.73 DAFTAR PUSTAKA Supriyadi Widodo Eddyono, dkk, Praperadilan Di Indonesia: Teori, Sejarah dan Praktiknya, Institute for Criminal Justice Reform, Jakarta.2014 Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, edisi kedua, 2008, (Selanjutnya disingkat Andi Hamzah I), 2007. Erni Widhayanti dalam Soeharto, Perlindungan Hak Tersangka, Terdakwa dan Korban Tindak Pidana Terorisme dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Refika Aditama, Bandung, 2007 M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Penyidikan dan Penuntutan, Sinar Grafika, Jakarta, edisi kedua, cetakan pertama, (Selanjutnya disingkat M. Yahya Harahap I),2000. Didik Endro Purwoleksono, Hukum Acara Pidana, Airlangga University Press, Surabaya, (Selanjutnya disingkat Didik Endro Purwoleksono II, 2015), Ruslan Renggong , Hukum Acara Pidana: Memahami Perlindungan HAM Dalam Proses Penahanan di Indonesia, Prenada Media, Jakarta,2014. Mohammad Fajrul Falaakh, Akar – Akar Mafia Peradilan di Indonesia (Masalah Akuntabilitas Penegak Hukum), Komisi Hukum Nasional, Jakarta, 2009. 71 Ibid, h. 83 72 Ibid. 73 Ibid. 56 | Konsep Penahanan dalam Sistem Hukum Indonesia Andi Hamzah, RM Surachman, Pre Trial Justice and Discretionary Justice Dalam KUHAP Berbagai Negara, Sinar Grafika, Jakarta, 2015. Andi Sofyan, dan Abd. Azis, 2014, Hukum Acara Pidana Suatu Pengantar, Kencana, Jakarta. Mashood. A. Baderin, Hukum Internasional Hak Asasi Manusia dan Hukum Islam, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Jakarta, 2010. Warih Anjari, , Pencabutan Hak Politik Terpidana Korupsi Dalam Perspektif Hak Asasi Manusia, Jakarta, Jurnal Yudisial, Vol. 8 No. 1.2015. Anthon Freddy Susanto, 2004, Wajah Peradilan Kita: Konstruksi Sosial Tentang Penyimpangan, Mekanisme Kontrol dan Akuntabilitas Peradilan Pidana, Refika Aditama Bandung, Muladi, Lembaga Pidana Bersyarat, Bandung, Alumni.2008. Yayad Hidayat, Implementasi Putusan Pidana Bersyarat Sebagai Alternatif Pengganti Pidana Penjara Jangka Pendek Dalam Sistem Peradilan Pidana, Program Pasca Sarjana Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta,2012. Bambang Poernomo, Pelaksanaan Pidana Penjara dengan Sistem Pemasyarakatan, Liberty, Yogyakarta.2002. Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana I, Rajagrafindo Persada, Depok, cetakan ke-7, 2012 . Wirjono Prodjodikoro , Asas – Asas Hukum Pidana di Indonesia, Refika Aditama, Bandung, Cetakan Keempat, 2011. P.A.F Lamintang dan Franciscus Theojunior Lamintang, Dasar – Dasar Hukum Pidana di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2014. Eyreine Tirza Priska Doodoh, Kajian Terhadap Penjatuhan Pidana Bersyarat dan Pengawasan Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Jurnal Lex et Societatis, Vol. I/No.2 2013. I Ketut Hasta Dana, Kajian Pidana Bersyarat Dalam Tindak Pidana Korupsi, Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta,2012.