Lentera Hukum, Volume 3 Issue 2 (2016), pp.129-145 ISSN 2355-4673 (Print) 2621-3710 (Online) https://doi.org/10.19184/ ejlh.v3i2.16878 Published by the University of Jember, Indonesia Available online 21 July 2016 Hak Terpidana Setelah Masa Penahanan atas Putusan Pidana Bersyarat Dizar Al Farizi University of Airlangga, Indonesia dizaralfarizi@gmail.com ABSTRACT This research is a normative juridical legal research using a statutory approach and a conceptual approach. The collection of material through the literature study method, with primary and secondary legal materials. Furthermore, the legal material is studied and analyzed by the approaches used in this study to answer legal issues in this study. The results of this study indicate: the reduction of the period of detention is one of the conditions that must be met in a decision when the accused is detained. Failure to fulfill these conditions makes the verdict null and void. The problem that occurs is that in conditional criminal decisions, there is often no mention of a reduction in prison terms. Likewise, decisions are null and void which are not strictly regulated in the existing laws and regulations. Detention is the discretion of law enforcement officers that should not be applied to every suspect or defendant. So that the perpetrators of minor crimes or the losses incurred are small, detention is not always necessary. Even if the detention has been carried out, the judge can issue a verdict according to the period of detention. This is to ensure that the apparatus not only enforces the law but also upholds justice. KEYWORDS: Convict, Detention, Conditional Criminal. Copyright © 2016 by Author(s) This work is licensed under a Creative Commons Attribution-ShareAlike 4.0 International License. All writings published in this journal are personal views of the authors and do not represent the views of this journal and the author's affiliated institutions. Submitted: May 05, 2016 Revised: June 08, 2016 Accepted: July 10, 2016 HOW TO CITE: Alfarizi, Dizar. “Hak Terpidana Setelah Masa Penahanan atas Putusan Pidana Bersyarat“ (2016) 3:2 Lentera Hukum 129-145 mailto:dizaralfarizi@gmail.com 130 | Hak Terpidana Setelah Masa Penahanan atas Putusan Pidana Bersyarat I. PENDAHULUAN Jerome Hall membuat deskripsi yang terperinci mengenai pemidanaan berikut ini. Pertama, pemidanaan adalah kehilangan hal – hal yang diperlukan dalam hidup. Kedua, ia memaksa dengan kekerasan. Ketiga, ia diberikan atas nama negara, ia “diotorisasikan”. Keempat, pemidanaan mensyaratkan adanya peraturan – peraturan, pelanggarannya, dan penentuannya yang diekspresikan dalam putusan. Kelima, ia diberikan kepada pelanggar yang telah melakukan kejahatan dan ini mensyaratkan adanya sekumpulan nilai – nilai yang dengan beracuan kepadanya, kejahatan dan pemidanaan itu signifikan dalam etika. Keenam, tingkat atau jenis pemidanaan berhubungan dengan perbuatan kejahatan, dan diperberat atau diringankan dengan melihat personalitas (kepribadian) si pelanggar, motif dan dorongannya.1 Atas dasar hal tersebut, menurut Bambang Poernomo, sinyal orientasi dari Social Behavior Science dan berbagai kongres nasional maupun internasional menunjukkan perlunya dinamika di bidang hukum dan peradilan yang mengandung tiga unsur humanisasi, demokrasi dan civilisasi yang menjauhkan cara – cara manipulasi hukum dan peradilan untuk konfrontasi antara manusia satu terhadap manusia yang lain seperti kelakuan hewan buas di hutan belantara atau burung memakan burung yang lain (kanibalisasi).2 Hukum adalah untuk manusia, maka pelaksanaan hukum atau penegakan hukum harus memberikan manfaat atau kegunaan bagi masyarakat. Masyarakat sangat berkepentingan bahwa dalam pelaksanaan atau penegakan hukum, keadilan diperhatikan. Kualitas pembangunan dan penegakan hukum yang dituntut masyarakat saat ini bukan sekadar kualitas formal, melainkan adalah kualitas materiil/substansial. Strategi sasaran pembangunan dan penegakan hukum, harus ditujukan pada kualitas substantif seperti terungkap dalam beberapa isu sentral yang dituntut masyarakat saat ini, yaitu antara lain: (a) adanya perlindungan HAM; (b) tegaknya nilai kebenaran, kejujuran, keadilan dan kepercayaan antarsesama; (c) tidak ada penyalahgunaan kekuasaan/kewenangan; (d) bersih dari praktik pavoritisme (pilih kasih), korupsi, kolusi, nepotisme dan mafia peradilan; (e) terwujudnya kekuasaan kehakiman/penegakan hukum yang merdeka dan tegaknya kode etik profesi; (f) adanya penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dan berwibawa. Penegakan hukum juga dilakukan tidak bertentangan dengan kebutuhan, kesadaran dan ketertiban masyarakat.3 Argumentasi yang dikemukakan oleh Matthews bahwa: “the right to punish shifted from the vengeance of soverign to the defence of society”. 4 Dengan demikian hak untuk memidana 1 Rudolf J. Gerber dan Patrick D. Mc Anany dalam Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, Politik Hukum Pidana, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2005, h. 74 2 M. Ali Zaidan, Menuju Pembaruan Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta 2015, h. 349 3 Maidin Gultom, Perlindungan Hukum Terhadap Anak dan Perempuan, Refika Aditama, Bandung, 2012 h. 11 4 Chairul Huda, Dari “Tiada Pidana Tanpa Kesalahan” menuju kepada “Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan” Tinjauan Kritis terhadap Teori Pemisahan Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, Prenada Media, Jakarta, 2006 h. 135 131 | LENTERA HUKUM seperti menjatuhkan sanksi perampasan kemerdekaan bergeser kepada jenis sanksi lain guna perlindungan masyarakat. Dalam hal sanksi pidana perampasan kemerdekaan mendapat reaksi yang luas atau diduga akan menimbulkan keresahan masyarakat, hakim dapat memodifikasi jenis sanksi ke arah yang lebih manusiawi dan dapat diterima oleh warga masyarakat. Hakim tidak boleh sewenang – wenang menjatuhkan sanksi perampasan kemerdekaan, disebabkan karena jenis sanksi itu masih menimbulkan perdebatan dalam penggunaannya sebagai alat untuk menanggulangi kejahatan.5 Dalam konteks penahanan, maka aparat penegak hukum dapat lebih teliti dan hati – hati dalam melakukan penahanan terhadap tersangka. Apabila ada prosedur yang dilanggar dalam melakukan penahanan, maka tersangka dapat melakukan upaya praperadilan. Terlebih, kini penetapan status tersangka yang tidak memenuhi prosedur juga dapat dilakukan upaya praperadilan setelah adanya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014. Kemerdekaan seseorang merupakan hak asasi manusia yang tidak hanya dijamin oleh undang – undang dan konstitusi tetapi juga merupakan kesepakatan dunia yang termaktub dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. Apabila pelanggaran prosedur penahanan prapersidangan dapat dilakukan upaya praperadilan, maka yang hingga kini masih terjadi kekosongan hukum ialah hak yang dapat digunakan oleh terpidana manakala dia telah ditahan sekian lama namun mendapat vonis pidana bersyarat. Dalam banyak kasus, vonis pidana bersyarat tidak mengurangi masa tahanan. Tentu perlu ada solusi atas permasalahan ini dan tidak boleh terjadi adanya pembiaran. Normativitas negara hukum cenderung mewujud menjadi sekadar prosedur, mekanisme atau tata cara yang hanya bisa dinikmati oleh mereka yang memiliki peluang atau kedudukan sosial, ekonomi dan politik tertentu. Sementara itu, bagi mereka yang miskin dan buta hukum, negara hukum dengan seluruh elemen dasarnya itu adalah kemewahan yang tidak terjangkau.6 Meski belum berkekuatan hukum tetap, contoh kasus yang menarik yaitu perkara nomor 39/Pid.B/2015/PN.Sit dengan terdakwa Asyani alias bu Muaris binti Nukdin. Kasus ini menjadi perhatian publik dikarenakan seorang nenek bernama Asyani yang dituduh mencuri batang pohon kayu jati milik Perhutani diharuskan menjalani penahanan. Nenek Asyani sempat menjalani masa penahanan lebih kurang selama 3 (tiga) bulan dan mendapatkan vonis pidana bersyarat 1 (satu) tahun dengan masa percobaan 1 (satu) tahun 3 (tiga) bulan. Kasus menarik lainnya yang sudah berkekuatan hukum tetap ialah perkara nomor 32/Pid.B/2015/PN.Kds. Kasus dengan terpidana Mariyati binti Kasno ini menarik perhatian publik karena Mariyati ditahan selama lebih kurang 2 (dua) bulan dan harus berpisah dengan kedua anaknya (anak kedua berusia 3 bulan) sejak dilakukan penahanan. Terlebih kasus yang dituduhkan tergolong sederhana yaitu berupa penganiayaan ringan terhadap korban (tetangga Mariyati) yang pada saat kejadian diketahui sedang bermesraan dengan suaminya. Mariyati divonis dengan pidana selama 2 (dua) bulan dengan masa percobaan 4 (empat) bulan. 5 M. Ali Zaidan, loc.cit. 6 Suparman Marzuki, Politik Hukum Hak Asasi Manusia, Penerbit Erlangga, Jakarta, 2015 h. 48 132 | Hak Terpidana Setelah Masa Penahanan atas Putusan Pidana Bersyarat Dua contoh kasus diatas hanyalah sebagian dari perkara yang terdakwanya telah menjalani masa penahanan dengan mendapatkan vonis pidana bersyarat tanpa pengurangan masa penahanan yang dilakukan. Oleh karena itu, mengingat pentingnya pengaturan hak terpidana yang telah menjalani masa penahanan bila dihubungkan dengan penjatuhan vonis pidana bersyarat, terlebih belum ada rumusan yang mengatur dan menjelaskan mengenai hal tersebut, maka penulis tertarik membahas masalah ini ke dalam suatu penelitian dengan judul “Hak Terpidana yang Telah Menjalani Masa Penahanan Atas Putusan Pidana Bersyarat”. II.PEMBAHASAN Pengadilan memiliki karakteristik yang berbeda dengan lembaga negara lain di mana keterbukaan dan pemberian jaminan akses masyarakat terhadap informasi yang dikelola pengadilan menjadi sangat penting. Sejak lama, prinsip “pengadilan yang terbuka” atau “open court principle” menjadi salah satu prinsip utama dalam sistem peradilan di dunia. Hal ini dijamin dalam pasal 10 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia yang menyatakan bahwa “setiap orang, dalam persamaan yang penuh, berhak atas peradilan yang adil dan terbuka oleh pengadilan yang bebas dan tidak memihak, dalam menetapkan hak dan kewajiban – kewajibannya serta dalam setiap tuntutan pidana yang dijatuhkan kepadanya.7 Oleh karenanya, setiap putusan yang tidak dibacakan oleh hakim dalam ruang sidang yang dibuka dan terbuka untuk umum akan berakibat batal demi hukum. Putusan hakim tidak bersifat statis, karena akan terkait dengan realitas yaitu berbagai kepentingan, kekuatan serta kekuasaan. Putusan hakim senantiasa kontekstual dan tidak bebas nilai (tidak netral). Bagi mereka yang setiap harinya bergumul dengan teks dan penafsiran, putusan hakim yang beragam dan ambigu menjadi tidak penting, karena hal itu memperlihatkan bentuk – bentuk dinamis dari putusan. Untuk memahami dan menggeluti putusan hakim diperlukan kecerdasan nalar, rasa, hasrat dan intuisi serta keberanian, sehingga dapat diungkap hakekat sesungguhnya dari apa yang menjadi tujuannya, mengapa putusannya berbunyi demikian dan pertimbangan – pertimbangan hukumnya. Pendek kata akan terungkap bagaimana mekanisme kerjanya dan juga bagaimana putusan berkembang dalam memproduksi makna terkait dengan realitasnya.8 Dalam perkara pidana putusan pengadilan atau putusan hakim yang bersifat positif terhadap peristiwa pidana yang dilakukan dan di dakwakan dapat berupa : 1. Pemidanaan (sentencing). Kepada diri terdakwa dijatuhi hukuman berdasarkan dakwaan tentang peristiwa pidana yang dilakukannya, dan apa yang telah di dakwakan oleh jaksa penuntut umum terhadap diri terdakwa terbukti sesuai dengan peristiwa pidana yang dilakukannya; 7 Liza Farihah, “Advokasi Mendorong Keterbukaan Informasi di Pengadilan” dalam Dadang Trisasongko (Ed), Melawan Korupsi Dari Advokasi Hingga Pemantauan Masyarakat, Transparency International Indonesia, Jakarta, 2014 h. 82 8 Shidarta (Eds), Disparitas Putusan Hakim: Identifikasi dan Implikasi, Komisi Yudisial, Jakarta, 2014, h. 9 133 | LENTERA HUKUM 2. Putusan pembebasan (vrijspraak). Dalam putusan yang seperti ini, peristiwa pidana yang didakwakan kepada diri terdakwa tidak terbukti dalam pemeriksaan sidang pengadilan; 3. Putusan pelepasan dari segala tuntutan hukum (ontslag van rechts vervolging). Dalam hal ini hakim memutuskan, bahwa peristiwa yang dituduhkan kepada terdakwa itu terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana. Pasal 1 angka 11 KUHAP memuat definisi putusan pengadilan yaitu: pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas daripada segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang – undang ini. Mengenai isi putusan, ditentukan secara rinci dan limitatif dalam pasal 197 ayat (1) KUHAP yang rumusannya sebagai berikut: Surat putusan pemidanaan memuat: a. Kepala putusan yang ditulis berbunyi: DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA; b. Nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan terdakwa; c. Dakwaan; sebagaimana terdapat dalam surat dakwaan; d. Pertimbangan yang disusun secara ringkas mengenai fakta dan keadaan beserta alat pembuktian yang diperoleh dari pemeriksaan di sidang yang menjadi dasar penentuan kesalahan terdakwa; e. Tuntutan pidana, sebagaimana terdapat dalam surat tuntutan; f. Pasal peraturan perundang – undangan yang menjadi dasar pemidanaan atau tindakan dan pasal peraturan perundang – undangan yang menjadi dasar hukum dari putusan, disertai keadaan yang memberatkan dan yang meringankan terdakwa; g. Hari dan tanggal diadakannya musyawarah majelis hakim kecuali perkara diperiksa oleh hakim tunggal; h. Pernyataan kesalahan terdakwa, pernyataan telah terpenuhi semua unsur dalam rumusan tindak pidana disertai dengan kualifikasinya dan pemidanaan atau tindakan yang dijatuhkan; i. Ketentuan kepada siapa biaya perkara dibebankan dengan menyebutkan jumlahnya yang pasti dan ketentuan mengenai barang bukti; j. Keterangan bahwa seluruh surat ternyata palsu atau keterangan di mana letaknya kepalsuan itu, jika terdapat surat autentik dianggap palsu; k. Perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan; l. Hari dan tanggal putusan, nama penuntut umum, nama hakim yang memutus dan nama panitera Kelalaian atau kekeliruan tidak mengikuti ketentuan pasal 197 ayat (1) KUHAP huruf a, b, c, d, e, f, h, k dan l diatas mengakibatkan putusan tersebut batal demi hukum sebagaimana diatur dalam ayat (2). 134 | Hak Terpidana Setelah Masa Penahanan atas Putusan Pidana Bersyarat Sedangkan pasal 195 KUHAP menjelaskan bahwa semua putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan di sidang terbuka untuk umum. Dengan demikian suatu putusan pengadilan dianggap sah haruslah memenuhi syarat – syarat: - Memuat hal – hal yang diwajibkan (Pasal 197 ayat 1 dan ayat 2) - Diucapkan di sidang terbuka untuk umum Dalam konteks putusan pidana bersyarat yang tidak disertai dengan pengurangan masa tahanan, maka penulis berpendapat bahwa putusan tersebut haruslah dinyatakan batal demi hukum. Terhadap hal ini, terdapat dalam amar putusan yang berisikan kualifikasi terhadap tindak pidana yang terbukti, lamanya pidana dijatuhkan oleh majelis hakim. Apabila selama proses persidangan terdakwa dalam tahanan maka lamanya pidana yang akan dijalani terdakwa harus dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan berdasarkan ketentuan pasal 22 ayat (4) KUHAP dan putusan Mahkamah Agung RI Nomor 100 K/Pid/1984 tanggal 13 Agustus 19859 A. Jenis Putusan Jenis putusan dalam hukum pidana dapat dibagi menjadi dua yaitu10: A. Jenis Putusan yang bersifat formal a. Tidak berwenangnya pengadilan untuk memeriksa suatu perkara atau onbevoegde verklaring (pasal 148 ayat 1 KUHAP) b. Dakwaan penuntut umum batal demi hukum atau nieteg verklaring van de acte van verwijzing (pasal 156 ayat 1 KUHAP) c. Dakwaan penuntut umum tidak dapat diterima atau niet ontvankelijke verklaard (pasal 156 ayat 1 KUHAP) d. Putusan yang berisi penundaan perkara oleh karena ada perselisihan prejudisiel (perselisihan kewenangan) B. Jenis putusan yang bersifat materiil, merupakan putusan akhir (menyangkut pokok perkara) berupa: a. Pemidanaan (veroordeling)  Pasal 193 jo 183 KUHAP dengan perkecualian UU No. 11 tahun 2012. Pasal 193 KUHAP mengatur: 1) Jika pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, maka pengadilan menjatuhkan pidana 2) Pengadilan dalam menjatuhkan, jika terdakwa tidak ditahan, dapat memerintahkan supaya terdakwa tersebut ditahan, apabila dipenuhi ketentuan pasal 21 dan terdapat alasan cukup untuk itu 9 Lilik Mulyadi, Hukum Acara Pidana: Suatu Tinjauan Khusus Terhadap Surat Dakwaan, Eksepsi dan Putusan Peradilan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002 h. 136 10 Didik Endro Purwoleksono II, op.cit, h.109 – 110 135 | LENTERA HUKUM 3) Dalam hal terdakwa ditahan, pengadilan dalam menjatuhkan putusannya, dapat menetapkan terdakwa tetap ada dalam tahanan atau membebaskannya, apabila terdapat alasan cukup untuk itu. Sedangkan pasal 183 KUHAP mengatur bahwa hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang – kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar – benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.  Undang – undang Nomor 11 tahun 2012 1) Anak yang belum berusia 14 (empat belas) tahun hanya dapat dikenai tindakan: 1. Pengembalian kepada orang tua atau wali; 2. Penyerahan kepada seseorang; 3. Perawatan di rumah sakit jiwa; 4. Perawatan di LPKS; 5. Kewajiban mengikuti pendidikan formal dan/atau pelatihan yang diadakan oleh pemerintah atau badan swasta; 6. Pencabutan surat izin mengemudi; dan/atau 7. Perbaikan akibat tindak pidana 2) Tindakan sebagaimana dimaksud angka 4, angka 5, dan angka 6 dikenakan paling lama 1 (satu) tahun 3) Tindakan diatas dapat diajukan oleh penuntut umum dalam tuntutannya, kecuali tindak pidana diancam dengan pidana penjara paling singkat 7 (tujuh) tahun 4) Pidana pokok bagi anak terdiri atas: 1. Pidana peringatan; 2. Pidana dengan syarat: a. Pembinaan diluar lembaga; b. Pelayanan masyarakat; atau c. Pengawasan 3. Pelatihan kerja; 4. Pembinaan dalam lembaga; dan 5. Penjara 5) Pidana tambahan terdiri atas: 1. Perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana; atau 2. Pemenuhan kewajiban adat; 3. Apabila dalam hukum materiil diancam pidana kumulatif berupa penjara dan denda, pidana denda diganti dengan pelatihan kerja Sebagai catatan, ciri khas pidana tambahan yaitu: 136 | Hak Terpidana Setelah Masa Penahanan atas Putusan Pidana Bersyarat 1. Tidak dapat dijatuhkan secara mandiri, artinya harus menyertai pidana pokok; 2. Baru dapat dijatuhkan, manakala diatur dalam undang – undang tersebut; 3. Hakim bebas menjatuhkan pidana tambahan atau tidak menjatuhkan pidana tambahan b. Pembebasan (vrijspraak) Beberapa catatan terkait dengan pembebasan disini yaitu: 1) Pasal 191 ayat 1 KUHAP mengatur bahwa: Jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, maka terdakwa diputus bebas 2) Unus testis nullus testis (pasal 185 ayat 2 KUHAP) 3) KUHAP berdasarkan pasal 183 KUHAP, menganut pembuktian menurut UU yang negatif atau negatief wettelijk. Disebut wettelijk, oleh karena untuk membuktikan harus ada alat – alat bukti yang sah menurut UU (KUHAP mengatur alat bukti dalam pasal 184). Disebut negatief, oleh karena adanya alat – alat bukti tertentu itu saja yang telah ditunjuk oleh UU belum mewajibkan hakim untuk menyatakan telah terbukti, untuk itu masih disyaratkan adanya keyakinan hakim. Jadi putusan bebas, bersifat negatif, sebab putusan itu tidak menyatakan terdakwa tidak melakukan perbuatan yang didakwakan, melainkan kesalahan terdakwa tidak terbukti. c. Pelepasan dari segala tuntutan hukum (ontslag van alle rechts vervolging) Disini perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi: 1. Perbuatan itu bukan merupakan perbuatan pidana (bukan merupakan perbuatan yang dapat dipidana): a. Perbuatan tersebut tidak ada aturannya dalam UU; b. Ada alasan pembenar (lihat pasal 48, 49 ayat (1), 50, 51 ayat (1) KUHP) 2. Perbuatan tersebut merupakan perbuatan pidana, terdakwa tidak dapat dipidana: a. Pasal 44 KUHP; b. Alasan pemaaf (pasal 49 ayat (2); 51 ayat (2) KUHP) Putusan pemidanaan berupa pidana penjara masih mendominasi di Indonesia. Data populasi lembaga pemasyarakatan per 25 April 2016 dari Dirjen Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM menyebutkan bahwa total tahanan dan narapidana di seluruh Indonesia berjumlah 187.701 orang. Padahal, kapasitas total lembaga pemasyarakatan (lapas) dan rumah tahanan (rutan) di seluruh Indonesia idealnya hanya untuk 119.269 orang.11 11 Harian Kompas, 27 April 2016 137 | LENTERA HUKUM Kelebihan kapasitas tersebut merupakan akar permasalahan kekacauan di lapas akhir – akhir ini, di samping masalah narkoba, kurangnya jumlah petugas, konflik antar- napi dan lain – lain. Untuk itu, bentuk – bentuk sanksi pidana yang merupakan alternatif pidana penjara harus dikembangkan. Akan tetapi, tentu dengan catatan alternatif tersebut harus tetap dilandasi oleh tujuan yang sama dengan pidana penjara, yaitu mengembangkan tindakan rehabilitasi yang lebih efektif untuk mengurangi kejahatan atau residivisme.12 Jadi, yang dirancang bukan mencari alternatif tujuan pidana penjara, tetapi mengembangkan alternatif sanksi pidana penjara dengan tujuan yang sama. Bagi pelaku tindak pidana berat tetap diterapkan pidana penjara. Dua sistem ini menurut Albrecht disebut sebagai kebijakan pidana dua jalur atau a two-track penal policy. Keuntungannya adalah memberikan kesempatan kepada terpidana untuk memperbaiki diri di masyarakat, terpidana dapat melanjutkan fungsinya di masyarakat, menghilangkan stigma sebagai eks-napi, menghindari proses prisonisasi atau pengaruh budaya negatif lapas, biaya lebih murah dan penggunaan fasilitas negara dapat dikurangi. Bagi Indonesia, alternatif lain dari pidana penjara tersebut paling tidak dapat mencakup tiga hal yaitu13: 1. Alternatif penahanan (pre-trial detention) berupa keberanian penyidik untuk menerapkan diskresi tidak menahan atau menahan lanjutan tersangka atau terdakwa di rutan. Penerapan diskresi itu karena didasari keyakinan bahwa tersangka atau terdakwa tidak akan melarikan diri, tidak akan merusak atau menghilangkan barang bukti dan atau tidak akan mengulangi tindak pidana (pasal 21 ayat 1 KUHAP). Dalam kaitan ini, penahanan rumah atau penahanan kota dengan pengawasan dapat dilakukan. Kemudian penangguhan penahanan yang disertai dengan atau tanpa jaminan uang atau jaminan orang juga dapat dikabulkan berdasarkan syarat – syarat yang telah ditentukan (pasal 31 ayat 1 KUHAP). 2. Sanksi alternatif yang dapat dijatuhkan hakim selain pidana penjara adalah pidana denda apabila tercantum sebagai alternatif. Selanjutnya pidana percobaan (pidana tidak perlu dijalani dengan syarat – syarat umum dan khusus tertentu) apabila hakim menjatuhkan pidana penjara paling lama satu tahun (pasal 14a hingga pasal 14f KUHP). Di sisi lain, diversi (pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana) dengan syarat tertentu berlaku atas dasar UU No. 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak. 3. Alternatif dengan tujuan untuk mengurangi lamanya pidana penjara, berupa lepas bersyarat, dapat diintensifkan bagi terpidana yang telah menjalani dua pertiga lamanya pidana penjara dengan masa percobaan. Hal ini, disamping pertimbangan pendayagunaan lapas terbuka untuk mengurangi intensitas penjara, juga atas dasar pasal 15 KUHP. Mekanisme sistem remisi juga dapat ditempuh; sekalipun akhir – akhir ini masih diperdebatkan dalam kaitannya 12 Muladi, Mencari Alternatif Pidana Penjara, Kolom Opini, Harian Kompas 9 Mei 2016 h. 6 13 Ibid. 138 | Hak Terpidana Setelah Masa Penahanan atas Putusan Pidana Bersyarat dengan PP No. 99/2012, yang memperketat persyaratan remisi bagi terpidana terorisme, narkotika dan precursor narkotika, psikotropika, korupsi, kejahatan terhadap keamanan negara, kejahatan HAM yang berat serta kejahatan transnasional terorganisasi lain. Dalam RUU KUHP yang saat ini sedang dibahas di DPR, pengembangan alternatif pidana penjara, antara lain, juga mencakup penyempurnaan pengaturan pidana denda dengan sistem kategori, penyempurnaan pidana percobaan dengan pidana pengawasan dan pidana kerja sosial secara sukarela sebagai alternatif pidana penjara jangka pendek.14 Usaha untuk mencari alternatif pidana penjara diatas harus disertai semangat para pemangku kepentingan sistem peradilan pidana (polisi, jaksa, hakim dan pejabat lapas) untuk tidak lagi menjadikan penerapan pidana penjara sebagai primadona, terutama yang berjangka pendek. Hal ini pasti akan mengurangi populasi lapas secara signifikan dan membantu usaha rehabilitasi napi serta akan mengurangi kekisruhan di lapas.15 Di berbagai negara Eropa ataupun Amerika Serikat, usaha untuk mengembangkan alternatif pidana penjara juga dilakukan. Yang populer antara lain diversi, mencakup tindak pidana ringan yang diterapkan juga untuk orang dewasa, penundaan penuntutan bersyarat, pidana kerja sosial, probation (menempatkan terdakwa dibawah pengawasan tanpa pemidanaan dengan syarat – syarat tertentu) dan pidana penjara yang hanya dilakukan di waktu senggang (intermittent custody), misalnya pada hari Minggu dengan memerhatikan syarat – syarat tertentu karena adanya tanggungan anak atau orangtua, sedang menyelesaikan sekolah atau agar yang bersangkutan tidak kehilangan pekerjaan dan lain – lain.16 B.Akibat Hukum Putusan yang Berkekuatan Hukum Tetap Di dalam peraturan perundang-undangan terdapat ketentuan yang mengatur pengertian dari putusan yang mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) berkaitan perkara pidana yaitu dalam penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU No. 22 Tahun 2002 tentang Grasi yang berbunyi: Yang dimaksud dengan “putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap” adalah : 1. putusan pengadilan tingkat pertama yang tidak diajukan banding atau kasasi dalam waktu yang ditentukan oleh Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana; 2. putusan pengadilan tingkat banding yang tidak diajukan kasasi dalam waktu yang ditentukan oleh Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana; atau 3. putusan kasasi. Dalam Keputusan Menteri Kehakiman No. M. 14. PW. 07 tahun 1983 tentang Tambahan Pedoman Pelaksanaan KUHAP disebutkan bahwa putusan pengadilan yang 14 Ibid. 15 Ibid. 16 Ibid. 139 | LENTERA HUKUM telah mempunyai kekuatan hukum tetap adalah apabila tenggang waktu berpikir telah dilampaui 7 hari setelah putusan pengadilan tingkat pertama dan 14 hari setelah putusan pengadilan tingkat banding.17 Setelah putusan hakim mempunyai kekuatan hukum yang tetap (in kracht van gewijsde) karena tidak dilakukan upaya hukum oleh para pihak atau upaya hukum biasa yang tersedia telah semua digunakan, maka putusan akan menjadi dokumen negara yang mengandung kekuatan eksekutorial. Title eksekutorial terletak pada irah-irah yang tercantum di bagian kepala putusan yang berbunyi “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”. Setiap putusan yang telah berkekuatan hukum tetap pelaksanaannya selalu dapat dipaksakan kepada siapa saja penghukuman itu ditujukan bila perlu dengan bantuan alat negara.18 Jadi, berdasarkan penjelasan sebelumnya, suatu putusan mempunyai kekuatan hukum tetap adalah: a. Putusan pengadilan tingkat pertama yang tidak diajukan banding setelah waktu tujuh hari sesudah putusan dijatuhkan atau setelah putusan diberitahukan kepada terdakwa yang tidak hadir, sebagaimana diatur dalam Pasal 233 ayat (2) jo. Pasal 234 ayat (1) UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”), kecuali untuk putusan bebas (vrijspraak), putusan lepas dari segala tuntutan hukum (onslag van rechts vervolging), dan putusan pemeriksaan acara cepat karena putusan- putusan tersebut tidak dapat diajukan banding (lihat Pasal 67 KUHAP). b. Putusan pengadilan tingkat banding yang tidak diajukan kasasi dalam waktu empat belas hari sesudah putusan pengadilan yang dimintakan kasasi itu diberitahukan kepada terdakwa (Pasal 245 ayat [1] jo. Pasal 246 ayat [1] KUHAP). c. Putusan kasasi Selama putusan belum mempunyai kekuatan hukum tetap, upaya peninjauan kembali tidak dapat dipergunakan. Terhadap putusan yang demikian hanya dapat ditempuh upaya hukum biasa berupa banding atau kasasi. Upaya hukum peninjauan kembali baru terbuka setelah upaya hukum biasa (berupa banding dan kasasi) telah tertutup. Upaya hukum peninjauan kembali tidak boleh melangkahi upaya hukum banding dan kasasi.19 Berdasarkan pendapat Yahya Harahap tersebut, dapat diketahui bahwa putusan yang diajukan peninjauan kembali haruslah putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Permintaan untuk dilakukan peninjauan kembali justru karena putusan telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan sudah tidak dapat lagi dilakukan banding atau kasasi. Bahkan, permintaan peninjauan kembali atas suatu putusan yang 17 Parman Soeparman, Pengaturan Hak Mengajukan Upaya Hukum Peninjauan Kembali dalam Perkara Pidana Bagi Korban Kejahatan, Refika Aditama, Bandung, 2009, h. 44 18 Darmoko Yuti Witanto dan Arya Putra Negara Kutawaringin, Diskresi Hakim: Sebuah Instrumen Menegakkan Keadilan Substantif dalam Perkara-perkara Pidana, Alfabeta, Bandung, 2013 h. 33 19 M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali, Sinar Grafika, Jakarta, edisi kedua, cetakan ketiga belas, September 2012, (Selanjutnya disingkat M. Yahya Harahap II), h. 385 140 | Hak Terpidana Setelah Masa Penahanan atas Putusan Pidana Bersyarat mempunyai kekuatan hukum tetap, tidak menangguhkan maupun menghentikan pelaksanaan dari putusan tersebut (Pasal 268 ayat [1] KUHAP).20 Upaya peninjauan kembali sebagai upaya hukum putusan dinyatakan dapat dibatalkan dapat dilakukan manakala: 1. Ada novum, keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat, bahwa jika keadaan itu sudah diketahui pada waktu sidang masih berlangsung, hasilnya akan berupa: a. Putusan bebas; atau b. Putusan lepas dari segala tuntutan hukum; atau c. Putusan tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima; d.Putusan terhadap perkara itu diterapkan ketentuan pidana lebih ringan. 2. Apabila dalam pelbagai putusan terdapat pernyataan bahwa sesuatu telah terbukti akan tetapi hal atau keadaan sebagai dasar alasan putusan yang dinyatakan terbukti itu, ternyata telah bertentangan satu dengan yang lain; 3. Apabila putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata; 4. Atas dasar alasan yang sama sebagaimana tersebut diatas terhadap suatu putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap dapat diajukan permintaan peninjauan kembali apabila dalam putusan itu suatu perbuatan yang didakwakan telah dinyatakan terbukti akan tetapi tidak diikuti oleh suatu pemidanaan.21 Akan tetapi, dalam konteks putusan pidana bersyarat yang telah berkekuatan hukum tetap tanpa dicantumkannya pengurangan masa tahanan maka putusan tersebut dapat dinyatakan batal demi hukum. Ditinjau dari segi hukum, pengertian putusan batal demi hukum, berakibat putusan yang dijatuhkan22: - Dianggap “tidak pernah ada” atau never existed sejak semula; - Putusan yang batal demi hukum tidak mempunyai kekuatan dan akibat hukum; - Dengan demikian putusan yang batal demi hukum, sejak semula putusan itu dijatuhkan sama sekali tidak memiliki daya eksekusi atau tidak dapat dilaksanakan. Nullteit atau batal demi hukum, dengan sendirinya tidak mempunyai kekuatan hukum, tidak memiliki kekuatan hukum sehingga tidak keliru jika tidak dilaksanakan (dieksekusi). Perlu disadari bahwa hanya putusan yang batal demi hukum sedang lainnya termasuk dakwaan, rekuisitor, pleidoi dan sebagainya tidak. Putusan yang batal demi hukum tidak mempunyai alternatif lain selain harus diperbaiki, harus disempurnakan.23 20 Ilman Hadi, SH, http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt50b2e5da8aa7c/kapan-putusan-pengadilan- dinyatakan-berkekuatan-hukum-tetap diakses pada tanggal 16 Mei 2016 21 Didik Endro Purwoleksono II, op.cit, h. 139 22 Ibid. 23 Leden Marpaung, Proses Penanganan Perkara Pidana (Di Kejaksaan dan Pengadilan Negeri, Upaya Hukum dan Eksekusi), Sinar Grafika, Jakarta 2010 h. 146 141 | LENTERA HUKUM Sekiranya putusan yang dijatuhkan pengadilan lupa mencantumkan salah satu ketentuan huruf a, b, c, d, e, f, h, j, k dan l yang disebut pasal 197 ayat (1) KUHAP, dengan sendirinya putusan batal demi hukum. Berarti putusan dianggap tidak pernah ada dan tidak mempunyai kekuatan hukum terhadap terdakwa serta jaksa tidak dapat melaksanakannya. Atau putusan yang dijatuhkan ada memuat secara lengkap ketentuan huruf a, b, c, d, e, f, g, h, i, j, k dan l. Akan tetapi, terdapat kesalahan menuliskan huruf a atau huruf e maupun huruf f atau h, berarti putusan batal demi hukum. Akibatnya, putusan dianggap tidak pernah ada dan putusan tidak mempunyai daya eksekusi.24 Yang dimaksud pasal 197 ayat (2) KUHAP putusan batal demi hukum, tidak lebih dari putusan yang dijatuhkan. Yang mengandung cacat dan kekeliruan, terbatas pada putusan yang dijatuhkan. Sedang pemeriksaan atau berita acara pemeriksaan tetap sah dan mempunyai kekuatan hukum. Oleh karena berita acara pemeriksaan tetap sah dan berharga, pengadilan dapat mempergunakan sebagai landasan untuk menjatuhkan putusan yang sah sesuai dengan yang dikehendaki pasal 197 ayat (1) KUHAP. Pendapat ini didasarkan pada rumusan ketentuan pasal 197 ayat (2) itu sendiri, yang menegaskan bahwa kelalaian pengadilan memenuhi ketentuan pasal 197 ayat (1) mengakibatkan “putusan” batal demi hukum. Jadi, yang batal demi hukum adalah putusan yang dijatuhkan.25 Sedang berita acara pemeriksaan sama sekali tidak dibatalkan pasal 197 ayat (2). Berarti pemeriksaan sidang tetap sah dan mempunyai kekuatan mengikat sebagai berita acara sidang. Kalau berita acara pemeriksaan tetap sah, dengan sendirinya dakwaan yang mendasari dakwaan pun tetap sah. Demikian juga rekuisitor dan pembelaan tetap merupakan produk dan peristiwa yang sah dalam persidangan. Dan dalam keadaan putusan batal demi hukum “tidak melekat unsure nebis in idem”, sebab yang batal hanya putusan, bukan seluruh peristiwa dan pemeriksaan. Sekiranya terhadap putusan yang batal dilakukan perbaikan, bukan berarti mengadili dan memeriksa terdakwa untuk kedua kalinya atas peristiwa pidana yang sama. Lagi pula bukankah dengan batalnya putusan demi hukum pada hakikatnya terdakwa belum pernah diadili atau belum pernah dijatuhkan putusan pengadilan kepadanya atas perkara pidana yang bersangkutan. Karena seperti yang sudah dijelaskan, dengan batalnya putusan demi hukum, sejak semula putusan itu mesti dianggap tidak pernah ada. Kalau begitu terhadap terdakwa belum pernah dijatuhi putusan pengadilan atas tindak pidana yang dilakukannya. Apalagi dakwaan dan tuntutan masih tetap sah, sedang untuk perbaikan putusan yang batal demi hukum tidak dilakukan lagi penuntutan baru. Yang dilakukan hanya mengubah dan menjatuhkan putusan yang batal tadi dalam bentuk putusan yang memenuhi ketentuan pasal 197 ayat (1) KUHAP. Putusan yang diperbaiki dan yang akan dijatuhkan itu pun tetap bertitik tolak dari surat dakwaan semula, dari hasil pemeriksaan semula serta dari tuntutan dan pembelaan semula. Dari kenyataan – 24 M. Yahya Harahap II, loc.cit. 25 Ibid, h. 386 142 | Hak Terpidana Setelah Masa Penahanan atas Putusan Pidana Bersyarat kenyataan ini tidak ada melekat unsur nebis in idem dalam perbaikan putusan pengadilan yang batal demi hukum.26 Di samping itu, harus dengan seksama diperhatikan ketentuan pasal 76 ayat (1) KUHAP. Menurut ketentuan ini, salah satu unsur nebis in idem, adanya putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Unsur ini jelas tidak terdapat dalam keadaan putusan batal demi hukum. Supaya dalam putusan melekat faktor memperoleh kekuatan hukum tetap, putusan itu merupakan putusan yang secara yuridis sah memenuhi ketentuan hukum. Bagaimana mungkin putusan yang batal demi hukum dapat melekat faktor memperoleh kekuatan hukum tetap, sebab dari sejak semula putusan dijatuhkan, putusan itu sendiri tidak pernah ada dan tidak mempunyai kekuatan hukum. Dengan demikian, secara tegas diyakini dalam kasus yang demikian tidak pernah melekat unsur nebis in idem yang diatur pasal 76 KUHAP. Hal ini sesuai dengan teori dan ajaran ilmu hukum. Nebis in idem baru melekat pada putusan pidana apabila putusan yang dijatuhkan berupa putusan “positif” yakni putusan yang menjatuhkan hukuman “pemidanaan” atau berupa “putusan bebas” atau “lepas dari segala tuntutan hukum”.27 Yang menjadi permasalahan adalah kewenangan untuk memperbaiki atau menyempurnakan. Sebagian pakar berpendapat bahwa majelis hakim yang menjatuhkan putusan tersebutlah yang harus mengubah, sebagian lagi berpendapat bahwa pengadilan yang lebih tinggi yang menyatakan batal demi hukum dan yang berwenang memperbaiki. Kedua pandangan dan pendapat tersebut tidak didukung oleh dasar hukum dan alasan atau pertimbangan yang kuat.28 Perbaikan atau penyempurnaan putusan batal demi hukum hanya sah jika dilakukan berdasarkan petunjuk Mahkamah Agung. Hal yang demikian sangat dibutuhkan dalam masyarakat yang sedang membangun agar jika terjadi kelalaian atau kekeliruan maka hal yang demikian tidak terulang lagi. Dengan demikian, penerbitan suatu putusan memang telah selayaknya dilakukan dengan cermat, teliti dan dengan koreksi yang sesempurna mungkin agar dengan demikian, kewibawaan serta rasa menjunjung dan rasa hormat selalu terpelihara atas badan – badan peradilan. Kecerobohan, kekurangcermatan yang bagaimanapun jenisnya bukanlah perbuatan terpuji karenanya dapat mempengaruhi citra peradilan.29 Rumusan sesuatu putusan sangat penting karena dari rumusannya dapat diketahui dan dipahami jalan pikiran hakim dan pertimbangan apa yang digunakan untuk menjatuhkan putusan tersebut. Mengenai ini, Wirjono Projodikoro mengemukakan antara lain30: sudah selayaknya bagian pertimbangan ini disusun oleh hakim serapih – rapihnya, oleh karena putusan hakim selain daripada mengenai pelaksanaan suatu peraturan hukum pidana, mengenai juga hak – hak asasi dari seorang 26 Ibid. 27 Ibid. 28 Leden Marpaung, loc.cit. 29 Ibid. 30 Ibid, h. 149 143 | LENTERA HUKUM terdakwa sebagai warga negara atau penduduk dalam negara, hak – hak mana pada umumnya harus diperlindungi oleh badan – badan pemerintah. III. PENUTUP Berdasarkan uraian di atas maka akibat hukum putusan yang berkekuatan hukum tetap terhadap terpidana vonis pidana bersyarat yang telah menjalani masa penahanan tanpa ada pengurangan masa penahanan ialah batal demi hukum. Hal ini dikarenakan bertentangan dengan pasal 197 ayat 1 huruf h maupun pasal 22 ayat 4 KUHAP. Upaya hukum yang dapat dilakukan oleh terpidana vonis pidana bersyarat yang telah menjalani masa penahanan dengan putusan yang sudah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) yaitu peninjauan kembali dalam hal ditemukan bukti baru (novum) yang memperkuat posisi terpidana bukan sebagai pelaku tindak pidana atau jika terpidana memang terbukti melakukan tindak pidana namun dikarenakan putusan yang dijatuhkan batal demi hukum maka dapat dilakukan pernyataan batal demi hukum. DAFTAR PUSTAKA Anshori, Abdul Ghofur, Filsafat Hukum, Aliran dan Pemaknaan, Yogyakarta, Gajah Mada University Press, 2006 Arief, Barda Nawawi, Pembaharuan Hukum Pidana Dalam Perspektif Kajian Perbandingan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005 ______________, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana (Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru), Citra Aditya Bakti, Bandung, edisi kedua, cetakan ke empat, Maret 2014 Asshidiqie, Jimly, Peradilan Etik dan Etika Konstitusi: Perspektif Baru tentang Rule of Law and Rule of Ethics & Constitutional Law and Constitutional Ethics, Sinar Grafika, Jakarta, 2014 Baderin, Mashood. A, Hukum Internasional Hak Asasi Manusia dan Hukum Islam, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Jakarta, 2010 Bruggink, J.J. H., Refleksi Tentang Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999 Chazawi, Adami, Lembaga Peninjauan Kembali (PK) Perkara Pidana; Penegakan Hukum Dalam Penyimpangan Praktik dan Peradilan Sesat, Sinar Grafika, Jakarta, 2010 ______________, Pelajaran Hukum Pidana I, Rajagrafindo Persada, Depok, cetakan ke-7, 2012 Eddyono, Supriyadi Widodo, dkk, Praperadilan Di Indonesia: Teori, Sejarah dan Praktiknya, Institute for Criminal Justice Reform, Jakarta, 2014 Falaakh, Mohammad Fajrul, Akar – Akar Mafia Peradilan di Indonesia (Masalah Akuntabilitas Penegak Hukum), Komisi Hukum Nasional, Jakarta, 2009 Fatoni, Syamsul, Pembaharuan Sistem Pemidanaan; Perspektif Teoritis dan Pragmatis Untuk Keadilan, Setara Press, Malang, 2015 144 | Hak Terpidana Setelah Masa Penahanan atas Putusan Pidana Bersyarat Gultom, Maidin, Perlindungan Hukum Terhadap Anak dan Perempuan, Refika Aditama, Bandung, 2012 Gunawan, T.J., Konsep Pemidanaan Berbasis Nilai Kerugian Ekonomi, Genta Press, Yogyakarta, 2015 Harahap, M. Yahya, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Penyidikan dan Penuntutan, Sinar Grafika, Jakarta, edisi kedua, cetakan pertama, Oktober 2000. _______________, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali, Sinar Grafika, Jakarta, edisi kedua, cetakan ketiga belas, September 2012. Hamzah, Andi, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, edisi kedua, 2008 ____________, Perbandingan Hukum Pidana Beberapa Negara, Sinar Grafika, Jakarta, edisi ketiga, 2008 Hamzah, Andi dan RM Surachman, Pre Trial Justice and Discretionary Justice Dalam KUHAP Berbagai Negara, Sinar Grafika, Jakarta, 2015 Huda, Chairul, Dari “Tiada Pidana Tanpa Kesalahan” menuju kepada “Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan” Tinjauan Kritis terhadap Teori Pemisahan Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, Prenada Media, Jakarta, 2006 Lamintang, P.A.F dan Franciscus Theojunior Lamintang, Dasar – Dasar Hukum Pidana di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2014 Makarao, Mohammad Taufik, Hukum Acara Pidana Dalam Teori dan Praktek, Ghalia, Bogor, 2010 Manullang, E. Fernando M., Legisme, Legalitas dan Kepastian Hukum, Kencana, Jakarta, 2016 Marpaung, Leden, Proses Penanganan Perkara Pidana (Di Kejaksaan dan Pengadilan Negeri, Upaya Hukum dan Eksekusi), Sinar Grafika, Jakarta, 2010 Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum, Prenada Media, Jakarta, 2005. Marzuki, Suparman, Politik Hukum Hak Asasi Manusia, Penerbit Erlangga, Jakarta, 2014 Muladi, Demokratisasi, Hak Asasi Manusia dan Reformasi Hukum di Indonesia, The Habibie Centre, Jakarta, 2002 ______, Lembaga Pidana Bersyarat, Alumni, Jakarta, 2008 Muliana, Chatarina (Eds), Anotasi Delik Korupsi dan Delik Lainnya yang Berkaitan dengan Delik Korupsi dalam RUU KUHP, Komisi Pemberantasan Korupsi, Jakarta, 2014 Mulyadi, Lilik, Hukum Acara Pidana: Suatu Tinjauan Khusus Terhadap Surat Dakwaan, Eksepsi dan Putusan Peradilan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002 Najih, Mokhammad, Politik Hukum Pidana; Konsepsi Pembaharuan Hukum Pidana dalam Cita Negara Hukum, Setara Press, Malang, 2014 Poernomo, Bambang, Pelaksanaan Pidana Penjara dengan Sistem Pemasyarakatan, Liberty, Yogyakarta, 2002 Prasetyo, Teguh dan Abdul Halim Barkatullah, Politik Hukum Pidana, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2005 Prodjodikoro, Wirjono, Asas – Asas Hukum Pidana di Indonesia, Refika Aditama, Bandung, cetakan keempat, 2011 145 | LENTERA HUKUM Purwoleksono, Didik Endro, Hukum Pidana, Airlangga University Press, Surabaya, 2014 ________________________, Hukum Acara Pidana, Airlangga University Press, Surabaya, 2015 Reksodiputro, Mardjono, Menyelaraskan Pembaruan Hukum, Komisi Hukum Nasional, Jakarta, 2009 Renggong, Ruslan, Hukum Acara Pidana: Memahami Perlindungan HAM Dalam Proses Penahanan di Indonesia, Prenada Media, Jakarta, 2014 Shidarta (Eds), Disparitas Putusan Hakim: Identifikasi dan Implikasi, Sekretariat Jenderal Komisi Yudisial, Jakarta, 2014 Simanjuntak, Nikolas, Acara Pidana Indonesia Dalam Sirkus Hukum, Ghalia, Bogor, 2009 Soeharto, Perlindungan Hak Tersangka, Terdakwa dan Korban Tindak Pidana Terorisme dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Refika Aditama, Bandung, 2007 Soeparman, Parman, Pengaturan Hak Mengajukan Upaya Hukum Peninjauan Kembali dalam Perkara Pidana Bagi Korban Kejahatan, Refika Aditama, Bandung, 2009 Sofyan, Andi dan Abd. Azis, Hukum Acara Pidana Suatu Pengantar, Kencana, Jakarta 2014 Susanto, Anthon Freddy, Wajah Peradilan Kita: Konstruksi Sosial Tentang Penyimpangan, Mekanisme Kontrol dan Akuntabilitas Peradilan Pidana, Refika Aditama, Bandung, 2004 Syamsu, Muhammad Ainul, Penjatuhan Pidana dan Dua Prinsip Dasar Hukum Pidana, Kencana, Jakarta, 2016 Tisnanta, HS (Ed), Aturan Hukum dan Hak Asasi Manusia, Indepth Publishing, Bandar Lampung, 2014 Trisasongko, Dadang (Ed), Melawan Korupsi Dari Advokasi Hingga Pemantauan Masyarakat, Transparency International Indonesia, Jakarta, 2014 Winata, Frans Hendra, Suara Rakyat Hukum Tertinggi, Kompas Gramedia, Jakarta, 2009 Witanto, Darmoko Yuti dan Arya Putra Negara Kutawaringin, Diskresi Hakim: Sebuah Instrumen Menegakkan Keadilan Substantif dalam Perkara-perkara Pidana, Alfabeta, Bandung, 2013. Yuherawan, Deni Setyo Bagus, Dekonstruksi Asas Legalitas Hukum Pidana, Setara Press, Malang, 2014.