69 e-JOURNAL LENTERA HUKUM, April 2014 1 (2) : 69-79 Muhammad Bahrul Ulum et al.,Evaluasi Kewenangan Mahkamah Konstitusi Memutus Perselisihan Hasil Pemilihan Umum....... EVALUASI KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI MEMUTUS PERSELISIHAN HASIL PEMILIHAN UMUM KEPALA DAERAH EVALUATION OF THE AUTHORITY OF THE CONSTITUTIONAL COURT DECIDE DISPUTES OF THE GENERAL ELECTION OF REGIONAL HEADS Muhammad Bahrul Ulum, Hukum Tata Negara, Fakultas Hukum, Universitas Jember (UNEJ) Jln. Kalimantan 37, Jember 68121 E-mail: ulum.muhammad@gmail.com Abstrak Makalah ini bertujuan untuk mengkaji kewenangan peyelesaian perselisihan hasil pemilu di tingkat lokal yang diberikan kepada Mahkamah Konstitusi. Analisis ini membahas masalah yang cukup besar dan implikasi lebih lanjut terhadap manajemen pengadilan dan desain kelembagaan untuk mendorong lintasan demokratisasi di negara ini dalam rezim pasca-otoritarianisme. Dengan menggarisbawahi bahwa Mahkamah Konstitusi diberikan kewenangan yang besar, dan banyaknya kasus yang ditangani MK menjadikan lembaga ini kelebihan beban dalam usaha menjaga konstitusi, analisis ini mengkritik sejauh lembaga ini dapat menangani kekuasaan dan mengadili kasus-kasus yang diajukan ke pengadilan dengan perselisihan pemilu yang efisien berikut ini terhadap jumlah terbatas hakim konstitusi dan skandal korupsi di antara mereka. Pada akhirnya, makalah ini menyoroti penerapan pembentukan pengadilan adhoc dalam menangani sengketa pemilu yang diajukan ke lembaga ini yang dapat memastikan manajemen pengadilan yang efektif dan efisien untuk mempromosikan rezim konstitusional Indonesia. Kata kunci: Mahkamah Konstitusi, Pemilihan Umum Kepala Daerah, Desain Kelembagaan. Abstract This paper aims to examine the task on the dispute of the results of elections at the local levels attached to the Indonesian Constitutional Court. The analysis discusses its considerable problems and further implications to the court management and institutional design to drive the trajectory of democratization in the country in the post-authoritarian regime. By highlighting to which the Constitutional Court granted exhausted powers and received overloaded cases aimed to guard the constitution, this analysis criticizes to the extent this institution can handle the powers and adjudicate cases filed before the court with the following efficient electoral disputes against the limited number of the constitutional judges and corruption scandals amongst them. In the end, this paper highlights the applicability on the establishment of an adhoc court in dealing with the electoral disputes filed to this institution which is arguably to ensure the effective and efficient court management to promote the constitutional regime of Indonesia. Keywords: Constitutional Court, Local Elections, Institutional Design. 70 e-JOURNAL LENTERA HUKUM, April 2014 1 (2) : 69-79 Pendahuluan Pemilihan umum (pemilu) merupakan sebuah instrumen demokrasi dalam setiap negara modern. Artinya pelaksanaan pemilu harus senantiasa bertumpu pada prinsip negara hukum yang demokratis (democratische rechtstaat) yang berdasarkan atas asas langsung, jujur, dan adil. Keberadaan pemilu sebagai instrumen utama dalam pembangunan konstitusionalisme demokrasi merupakan manifestasi dari ketentuan Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Menurut Pasal 22E UUD 1945, pemilu terdiri atas pemilihan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) serta Presiden dan Wakil Presiden. Namun dalam perkembangan ketatanegaraan Indonesia, ruang lingkup pemilu semakin luas yang mana pemilihan kepala daerah merupakan bagian dari pemilu yang kemudian lazim disebut dengan pemilihan umum kepala daerah (pemilukada). Eksistensi pemilukada sebagai bagian dari rezim pemilu membawa beberapa implikasi konstitusional dalam upaya penguatan konstitusionalisme demokrasi Indonesia, yaitu penanganan perselisihan hasil pemilihan umum kepala daerah (PHPUD) menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi (MK). Sebagaimana ketentuan Pasal 236C Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang secara expresis verbis memberikan kewenangan tambahan kepada MK yaitu memutus perselisihan hasil pemilihan umum kepala daerah yang sebelumnya ditangani Mahkamah Agung (MA). Namun, dalam perkembangannya, terdapat wacana untuk mengalihkan kewenangan PHPUD dari MK ke PT1 sehingga menimbulkan kontroversi yang membutuhkan titik temu secara konstitusional. 1 Departemen Dalam Negeri. Mendagri Usul Sengketa Pilkada ditangani Pengadilan Tinggi. http://www.depdagri.go.id/news/2010/07/08/mendagri-usul- Oleh karena itu perlu dilakukan beberapa evaluasi atas kewenangan MK dalam memutus PHPUD yang dilanjutkan dengan klarifikasi terhadap wacana tersebut di atas. Tulisan ini bertujuan untuk mengevaluasi kewenangan MK serta implikasnya dalam memutus perselisihan hasil pemilihan umum kepala daerah. Selain itu, tulisan ini juga untuk menganalisis konstitusionalitas penanganan perselisihan hasil pemilihan umum kepala daerah dan menemukan formulasi baru penanganan perselisihan hasil pemilihan umum. Berdasarkan uraian latar belakang yang telah dikemukakan di atas, tulisan ini memuat dua pokok diskusi. Bagian pertama membahas kedudukan kewenangan MK dalam memutus perselisihan hasil pemilihan umum kepala daerah. Bagian kedua membahas sejauh mana implkasi kewenangan MK dalam memutus perselisihan hasil pemilihan umum kepala daerah. Kajian Literatur A. Konstitusionalisme Hukum dan Demokrasi Indonesia Pemikiran konstitusionalisme telah lama berkembang yang mempunyai visi utama dengan menghendaki adanya pembatasan kekuasaan dalam pemerintahan yang dilakukan melalui hukum dasar (konstitusi).2 Dalam hubungannya dengan konstitusi atau UUD 1945, Hans Kelsen menyatakan bahwa UUD menduduki tempat tertinggi dlam sistem hukum nasional sehingga UUD merupakan fundamental law.3 Menurut Abdul Mukthie Fadjar, konstitusionalsime sebagai sebuah paham meliputi prinsip kedaulatan rakyat, negara hukum, pembatasan kekuasaan, perlindungan HAM dan pluralisme.4 Proses transisi di Indonesia dengan sengketa-pilkada-ditangani-pengadilan-tinggi&ei, diakses pada tanggal 02 Agustus 2010 pukul 09.55 WIB. 2 Jazim Hamidi dan Malik. Hukum Perbandingan Konstitusi, (Jakarta, Prestasi Pustaka Publisher: 2009), hlm. 12. 3 Ni’matul Huda. UUD 1945 dan Gagasan Amandemen Ulang, (Jakarta, Rajawali Pers: 2008), hlm. 29. 4 Jazim Hamidi dan Malik. Hukum..., op.cit, hlm. 14. http://www.depdagri.go.id/news/2010/07/08/mendagri-usul-sengketa-pilkada-ditangani-pengadilan-tinggi&ei http://www.depdagri.go.id/news/2010/07/08/mendagri-usul-sengketa-pilkada-ditangani-pengadilan-tinggi&ei 71 e-JOURNAL LENTERA HUKUM, April 2014 1 (2) : 69-79 dilakukannya perubahan UUD 1945 telah merubah secara mendasar penyelenggaraan sistem ketatanegaraan di Indonesia yang diarahkan dalam penguatan negara hukum5 dan demokrasi konstitusional sebagaimana ketentuan Pasal 1 ayat (2)6 dan (3) UUD 1945.7 Gagasan negara hukum berkembang pada abad ke-19 dengan lahirnya konsep Rechtstaat di kawasan Eropa Kontinental. Rechtstaat ini lahir setelah tumbuhnya paham tentang negara yang berdaulat dan berkembangnya teori perjanjian mengenai terbentuknya negara serta kesepakatan penggunaan kekuasaannya. Model negara ini diterapkan di Belanda, Jerman, dan Perancis.. Selanjutnya, berkembang pula gagasan rule of law sebagai konsep negara hukum yang tumbuh dan berkembang di negara Anglo Saxon, antara lain Amerika Serikat dan Inggris. Menurut Albert Venn Dicey, mengandung unsur-unsur sebagai berikut:8 1) Supremasi Hukum (supremacy of law) dan tidak adanya kesewenang-wenangan tanpa aturan yang jelas; 2) Persamaan di muka hukum (equality before the law); dan 3) Hak asasi manusia yang dijamin melalui undang-undang. Dalam perkembangan dimensi ketatanegaraan, menurut Jimly Asshiddiqie terdapat beberapa prinsip dalam negara hukum modern, yaitu:9 1) Supremasi Hukum (Supremacy of law); 5 I Dewa Gede Palguna. Mahkamah Konstitusi, Judicial Review dan Welfare State, (Jakarta, Setjen dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi: 2008), hlm. 77-78. 6 Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang Undang Dasar”. 7 Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, “Negara Indonesia adalah negara hukum”. 8 Muhammad Bahrul Ulum dan Dizar Al Farizi. Implementasi dan Implikasi Putusan MK Terhadap Hak Konstitusional Warga Negara Indonesia, Jurnal Konstitusi, (Jakarta, Setjen dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi: 2009), Volume 6 Nomor 3, hlm. 91. 9 Jimly Asshiddiqie. Menuju Negara Hukum Yang Demokratis, (Jakarta, Setjen dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi: 2008), hlm. 49-52. 2) Persamaan dalam Hukum (Equality before the Law); 3) Asas Legalitas (Due Process of Law); 4) Pembatasan Kekuasaan; 5) Organ-Organ Pendukung yang Independen; 6) Peradilan Bebas dan Tidak Memihak; 7) Peradilan Tata Usaha Negara; 8) Peradilan Tata Negara (Constitutional Court); 9) Perlindungan Hak Asasi Manusia; 10) Demokratis (Democratische Rechtstaat); 11) Negara berfungsi sebagai sarana mewujudkan tujuan negara (Welfare Rechtstaat); dan 12) Tansparansi dan Kontrol Sosial. Konstitusionalisme merupakan sebuah parameter dalam pembangunan hukum di Indonesia dengan dasar argumentasi bahwa konstitusi merupakan the supreme law of the land.10 Artinya, setelah perubahan UUD 1945 telah dirumuskan dalam batang tubuh mengenai prinsip konstitusionalisme demokrasi dan hukum. Salah satu upaya (prosedur dan mekanisme) untuk melindungi rakyat terhadap penyalah gunaan kekuasaan negara dapat dilakukan melalui UUD 1945 sebagai konstitusi Negara Indonesia. Menurut Carl Schmit, konstitusi dianggap sebagai keputusan politik yang tertinggi. Oleh karena itu, konstitusi mempunyai kedudukan tertinggi dalam tertib hukum suatu negara.11 Dalam negara hukum modern, menurut hasil kerja Komisi Konstitusi MPR RI, secara konseptual ada tiga karakter utama dari suatu konstitusi, yaitu:12 10 Moh. Mahfud MD. Konstitusi dan Hukum dalam Kontroversi Isu, (Jakarta, Rajawali Pers: 2009), hlm. 258. 11 Widodo Ekatjahjana. Pengujian Peraturan Perundang- undangan dan Sistem Peradilannya di Indonesia, (Jakarta, Pustaka Sutra: 2008), hal, 13-14. 12 Jazim Hamidi dan Mustafa Lutfi. Ketentuan Konstitusional Pemberlakuan Keadaan Darurat dalam Suatu Negara, Jurnal Konstitusi, (Jakarta, Setjen dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi: 2009), Volume 6 Nomor 1, hlm. 44. 72 e-JOURNAL LENTERA HUKUM, April 2014 1 (2) : 69-79 1) Konstitusi sebagai suatu hukum tertinggi suatu negara (a constitution is a supreme law of the land); 2) Konstitusi sebagai suatu kerangka kerja sistem pemerintahan (a constitution is a frame work for government); dan 3) Konstitusi merupakan suatu instrumen yang legitimate untuk membatasi kekuasaan pejabat pemerintah (a constitution a legitimate way to grant an limit powers of government officials). Menurut Frans Magnis Suseno, negara hukum yang demokratis meliputi sebagai berikut:13 1) Fungsi-fungsi kenegaraan dijalankan oleh lembaga-lembaga sesuai dengan ketetapan- ketetapan sebuah Undang-Undang Dasar; 2) Undang-Undang Dasar menjamin hak asasi manusia sebagai unsur yang paling penting; 3) Badan-badan negara yang menjalankan kekuasaan masing-masing selalu dan hanya atas dasar hukum yang berlaku; 4) Terhadap tindakan badan negara, masyarakat dapat mengadu ke pengadilan dan putusan pengadilan dilaksanakan oleh badan negara; dan 5) Badan kehakiman bebas dan tidak memihak. Konsep Negara Indonesia diidealkan untuk mewujudkan negara hukum yang demokratis. Ketentuan tersebut dapat dilihat pada Pasal 1 UUD 1945, yaitu kedaulatan rakyat berada di tangan rakyat yang dilakukan oleh UUD, serta Negara Indonesia adalah negara hukum. Konsekuensinya, segala tindakan kekuasaan negara harus senantiasa berpegang pada hukum, dalam mewujudkan demokrasi yang berdasarkan atas hukum (constitutional democracy) atau negara hukum yang demokratis (democratische rechtstaat).14 13 Lukman Hakim. Eksistensi Komisi-Komisi Negara dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia, Ringkasan Disertasi, (Malang, PDIH FH Universitas Brawijaya: 2009), hlm. 30. 14 Jimly Asshiddiqie. Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi, (Jakarta, Konstitusi Press: 2005), hlm. 74. B. Peran Mahkamah Konstitusi dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia Mahkamah Konstitusi merupakan lembaga yang lahir setelah perubahan UUD 1945. MK sebagai peradilan ketatanegaraan merupakan lembaga pengawal konstitusi (the guardian of the constitution),15 lembaga penafsir tunggal konstitusi (the sole interpreter of the constitution) sekaligus lembaga pelindung hak konstitusioal warga negara (the protector of constitutional rights of citizens). Jimly Asshiddiqie mengemukakan bahwa peradilan ketatanegaraan dibedakan dalam tiga pengertian. Namun pengertian peradilan ketatanegaraan dalam arti paling sempit yaitu peradilan yang dilakukan oleh MK menurut ketentuan Pasal 24C UUD 1945.16 Dalam sistem konstitusi Indonesia, kedudukan MK diatur dalam Pasal 24 UUD 1945. Selanjutnya, sebagaimana Pasal 24C UUD 1945 juncto Pasal 10 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, MK memiliki empat kewenangan dan satu kewajiban. MK berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang- undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik dan memutus perselisihan hasil pemilihan umum. Sedangkan kewajiban MK adalah memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar. Keberadaan MK adalah konsekuensi dari prinsip konstitusi yang menurut Hans Kelsen untuk menjaganya diperlukan pengadilan khusus guna menjamin kesesuaian aturan hukum yang lebih 15 Lihat penjelasan umum Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, “...lembaga negara yang berfungsi menangani perkara-perkara di bidang ketatanegaraan dalam rangka menjaga konstitusi agar dilaksanakan secara bertanggungjawab sesuai dengan kehendak rakyat dan cita-cita demokrasi”. 16 Jimly Asshiddiqie. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, (Jakarta, Setjen dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi: 2006), hlm. 333. 73 e-JOURNAL LENTERA HUKUM, April 2014 1 (2) : 69-79 rendah. Pandangan tersebut merupakan konsekuensi dari dalil hierarki norma hukum yang berpuncak pada konstitusi. Dalam supremasi konstitusi tidak hanya terbatas bahwa semua aturan hukum tidak boleh bertentangan dengan konstitusi. supremasi konstitusi juga mengikat terhadap tindakan negara sehingga tidak ada satu pun tindakan negara yang boleh bertentangan dengan konstitusi.17 Pembahasan Mahkamah Konstitusi Dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah A. Kewenangan MK dalam Memutus Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah Dalam kurun waktu hampir tujuh tahun setelah kelahiran MK, pembangunan demokrasi mengalami kemajuan yang cukup signifikan. Kemajuan ini tidak terlepas dari peran MK dalam konsolidasi hukum dan demokrasi Indonesia. Artinya, MK sebagai lembaga ketatanegaraan bertanggungjawab atas proses demokrasi dan transformasi hukum yag demokratis sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi, “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang Undang Dasar”. Atas ketentuan Pasal tersebut di atas, konstitusionalisme merupakan sebuah keniscayaan yang harus senantiasa ditegakkan dalam pembangunan hukum di Indonesia. Tidak terkecuali pula dalam penanganan perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) yang merupakan salah satu kewenangan MK. Secara konstitusional, kewenangan MK tersebut diatur dalam Pasal 24C UUD 1945. Di samping itu, MK berwenang pula menangani perselisihan hasil pemilihan umum kepala daerah (PHPUD). Penambahan kewenangan tersebut dilakukan melalui putusan MK Nomor 72-73/PUU- II/2004 pengujian atas UU Pemerintahan Daerah yang mana secara tersirat telah mengalihkan 17 M. Ali Safa’at dkk. Konstitusionalisme Demokrasi: Sebuah Diskursus tentang Pemilu, Otonomi Daerah dan Mahkamah Konstitusi, (Malang, In Trans Publishing: 2010), hlm. 27-28. kewenangan MA ke MK dalam memutus PHPUD.18 Kewenangan ini sebagai konsekuensi logis atas pergeseran paradigma pemilihan kepala daerah yang masuk dalam rezim pemilihan umum sebagaimana ketentuan Pasal 22E UUD 1945. Selanjutnya putusan tersebut berimplikasi terhadap kewenangan MK dalam memutus PHPUD.19 Penanganan PHPUD oleh MK merupakan sebuah paradigma besar dalam penguatan konstitusionalisme Indonesia sehingga segala penyelenggaraan negara didasarkan konstitusi. Selanjutnya, berkaitan dengan kedudukan hukum atas kewenangan MK dalam memutus PHPUD, kewenangan ini adalah konstitusional dan tidak bertentangan dengan UUD 1945 meskipun mekanisme penambahan kewenangan MK tersebut tanpa didahului dengan perubahan konstitusi ataupun revisi UU Mahkamah Konstitusi oleh legislatif. Pengalihan kewenangan dalam memutus PHPUD dari MA ke MK tersebut dinilai tepat karena sebagai wujud langkah maju dalam menjaga konstitusionalitas penyelenggaraan negara. Secara teoretis, pengalihan kewenangan tersebut merupakan aturan baru sebagai kelaziman- kelaziman yang timbul dalam praktik ketatanegaraan atau konvensi ketatanegaraan (constitutional convention). Lebih lanjut berkaitan dengan konvensi, K.C. Wheare mengemukakan, “Many important changes in the working of a constitution occur without any alteration in the rules of custom and convention”.20 Namun, dalam perkembangannya justru terdapat sebuah wacana bahwa sengekat PHPUD akan dialihkan dari MK ke Pengadilan Tinggi (PT). Di samping itu, pelaksanaan kewenangan MK dalam memutus PHPUD ini mendapat berbagai kritik dari 18 Wahyudi Djafar dalam Konsorsium dan Reformasi Hukum Nasional. Menimbang Kembali Kewenangan MK. http://www.reformasihukum.org/konten.php?nama=Konstitu si&op= detail konstitusi&id=49, diakses pada tanggal 27 Juli 2010, Pukul 13.04 WIB. 19 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 072- 073/PUU- II/2004 Pengujian Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437). 20 Ni’matul Huda. UUD..., op.cit, hlm. 158. http://www.reformasihukum.org/konten.php?nama=Konstitusi&op=%20detail%20konstitusi&id=49 http://www.reformasihukum.org/konten.php?nama=Konstitusi&op=%20detail%20konstitusi&id=49 74 e-JOURNAL LENTERA HUKUM, April 2014 1 (2) : 69-79 berbagai pakar hukum, misalnya Rosjidi Ranggawidjaja dalam tulisannya menyatakan bahwa sengketa PHPUD yang ditangani oleh MK sebagaimana diatur oleh Pasal 236C Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tidak memiliki landasan yuridis konstitusional.21 Sekiranya mereka menginginkan penanganan PHPUD tidak menjadi kewengan MK, namun dialihkan kepada MA atau Pengadilan Tinggi (PT). Selanjutnya, terdapat pula beberapa argumentasi yang menyatakan bahwa MK terlalu arogan dalam memutus sengketa PHPUD sehingga dalam putusannya telah melampaui kewenangannya (ultra petita).22 Kemudian ditambah pendapat yang menyatakan bahwa sengketa perkara PHPUD di MK terlalu banyak membuat MK sibuk mengurusi permasalahan pemilu sehingga MK sedikit mengabaikan perkara lain yang menjadi kewenangannya seperti perkara pengujian undang- undang. Menurut penulis, wacana tersebut di atas justru tidak mempunyai dasar konstitusional yang kuat dan lemah dalam argumentasi. Fakta empiris yang terjadi yaitu masih banyak penumpukan perkara yang ditangani PT. Apabila kewenangan PHPUD tersebut dialihkan ke PT yang semata-mata bertujuan untuk menyelesaikan permasalahan, maka justru ini akan menimbulkan permasalahan baru. Di samping itu, pengalihan PHPUD dari MK ke PT merupakan langkah mundur dalam penegakan konstitusi. Kiranya perlu dikemukakan beberapa argumentasi. Pertama, secara historis bahwa salah satu agenda perubahan UUD 1945 adalah membangun konstitusionalitas hukum di Indonesia. 21 Rosjidi Ranggawidjaja. Wewenang Mahkamah Konstitusi dalam Memutus Perselisihan Hasil Penghitungan Suara pemilihan Kepada Daerah dan Wakil kepala Daerah, Jurnal Konstitusi PSKN-FH Universitas Padjajaran, (Jakarta, Setjen dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi: 2010), Volume II Nomor 1, hlm. 18-19. 22 Tribun News. MK Menyalahgunakan Wewenang Gugatan Pilkada Kotawaringin Barat. http://www.tribunnews.com/2010/07/09/mk- menyalahkangunakan-wewenang-kabulkan-gugatan- pilkada-kotawaringin-barat, diakses tanggal 02 Agustus 2010 pukul 11.45 WIB. Kewenangan MK dalam memutus PHPUD semata- mata sebagai upaya penguatan supremasi konstitusi sebagaimana awal pembentukan MK, yaitu dalam rangka penguatan dan perwujudan negara hukum yang demokratis dan demokrasi berdasarkan atas hukum.23 Artinya, pembangunan hukum termasuk implementasi hukum harus senantiasa beradasarkan atas konstitusi sebagai amanat Pasal 1 ayant (2) UUD 1945. Hal ini mengingat bahwa mekanisme yang dilakukan dengan demokrasi belum tentu sepenuhnya mampu terwujud negara demokratis konstitusional yang berdasarkan atas hukum sehingga demokrasi dan hukum harus dikawal oleh MK dalam penyelenggaraan negara. Kedua, pembentukan MK sebagai lembaga pengawal konstitusi dan demokrasi, lembaga penafsir tunggal konstitusi dan lembaga pelindung hak konstitusional. Implikasinya, pengawalan demokrasi merupakan tanggungjawab MK dalam mewujudkan konstitusionalitas penyelenggaraan negara. Ketiga, sifat putusan MK adalah erga omnes, bukan inter partes seperti MA dan peradilan di bawahnya. Artinya, putusan sengketa PHPUD berlaku bagi masyarakat luas, bukan bagi pihak- pihak yang berperkara dalam persidangan. Apabila sebuah kewenangan dengan mudah dialihkan dari lembaga satu ke lembaga yang lain, jutru ini menimbulkan ketidakpastian hukum (rechtsonzekerheid) sehingga justru bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Menyitir pernyataan Lon Fuller bahwa hukum tidak dapat disebut sebagai hukum jika hukum sering dirubah sehingga hukum kehilangan orientasi dan menjadi tidak konsisten.24 Selanjutnya, argumentasi penulis dipertegas pula oleh Refly Harun S.H., M.H., LL.M. yang menyatakan bahwa pengalihan sengketa PHPUD ke 23 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Lima Tahun Menegakkan Konstitusi: Gambaran Singkat Pelaksanaan Tugas Mahkamah Konstitusi 2003-2008, (Jakarta, Setjen dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi: 2008), hlm. 4-5. 24 Sirajuddin dkk. Legislative Drafting: Pelembagaan Metode Partisipatif Dalam Pembentukan Peraturan Perundang- undangan, (Malang, In-Trans Publishing: 2006), hlm 22-23. http://www.tribunnews.com/2010/07/09/mk-menyalahkangunakan-wewenang-kabulkan-gugatan-pilkada-kotawaringin-barat http://www.tribunnews.com/2010/07/09/mk-menyalahkangunakan-wewenang-kabulkan-gugatan-pilkada-kotawaringin-barat http://www.tribunnews.com/2010/07/09/mk-menyalahkangunakan-wewenang-kabulkan-gugatan-pilkada-kotawaringin-barat 75 e-JOURNAL LENTERA HUKUM, April 2014 1 (2) : 69-79 PT melanggar UUD 1945.25 Secara konstitusional, badan peradilan selain MK tidak memiliki kewenangan untuk menyelesaikan PHPUD. MA dan badan peradilan yang berada dibawahnya (PT) tidak memiliki kewenangan tersebut. Menurut Pasal 24A ayat (1) UUD 1945, “Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang.” Sedangkan MA memiliki kewenangan tersebut sebagaimana Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, “...memutus perselisihan hasil pemilihan umum”. Berdasarkan uraian tersebut, kedudukan MK dalam memutus PHPUD mempunyai dasar konstitusional yang kuat karena PHPUD merupakan bagian dari pemilihan umum sebagaimana ketentuan Pasal 22E UUD 1945. Di samping itu, MK dalam memutus setiap perkara senantiasa berdasarkan konstitusi sehingga keadilan yang substantif akan dengan mudah tercapai. Implikasinya putusan MK juga mempunyai visi perlindungan terhadap hak konstitusional. Hal ini tentu berbeda ketika Peradilan Umum seperti PT memutus PHPUD. Dasar yang digunakan oleh PT untuk memutus sebuah perkara adalah undang- undang. Namun, sering kali undang-undang bertentangan dengan UUD 1945. Selanjutnya, PT mengalami kesulitan dalam memutus perkara PHPUD dengan batu uji UUD karena PT bukan sebagai lembaga penafsir konstitusi sebagaimana MK. Hakim PT tidak pula mempunyai hak untuk mengajukan permohonan melalui pertanyaan konstitusional (constitutional question) kepada MK untuk menafsirkan undang-undang ataupun konstitusi, mengingat mekanisme 25 Okezone News. Pengalihan Sengketa Pilkada ke PT Langgar UUD 1945 http://news.okezone. com/read/2010/07/18/339/354061/339/pengalihan-sengketa- pilkada-ke-pt-langgar-uud-1945, diakses pada tanggal 02 Agustus 2010 pukul 10.19 WIB. constitutional question masih belum diadopsi dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. B. Implikasi Kewenangan MK Memutus Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah Terdapat beberapa implikasi terhadap kewenangan MK dalam memutus PHPUD. Pertama, kewenangan MK dalam memutus PHPUD mampu menghasilkan keadilan yang substantif. Artinya, MK memutus tidak hanya berdasarkan atas brikade formal legalistik. Fakta empiris yaitu penanganan Perselisihan Hasil Pemiliha Umum Gubernur Jawa Timur oleh MK. Dalam putusannya, MK memerintahkan untuk dilakukan pemungutan suara ulang pemilihan umum kepala daerah dan Wakil Kepala Daerah Provinsi Jawa Timur Putaran II di Kabupaten Bangkalan dan Kabupaten Sampang, karena dalam persidangan terbukti bahwa dalam pemilukada Jawa Timur terdapat kecurangan dan pelanggaran secara struktural, sistematis dan masif oleh salah satu pasangan calon.26 Sebuah pencapaian prestasi yang luar biasa, walaupun tidak terdapat ketentuan yang secara tertulis yang mengatur apabila dalam pemilukada terdapat kecurangan, maka dilakukan pemilihan ulang. Namun MK sudah melangkah lebih jauh yaitu mendasarkan pula pada hukum yang tidak tertulis berupa asas-asas hukum. Di samping itu, hakim konstitusi memutus berdasarkan apa yang terjadi dalam implementasi penyelenggaraan pemilukada. Sebuah keharusan bagi hakim untuk memperhatikan realitas hukum dalam memutus sebuah perkara sebagaimana diatur dalam UU Kekuasaan kehakiman yang berbunyi, “Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.”27 26 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 41/PHPU.D-VI/2008 Permohonan Keberatan Atas Keputusan KPU Provinsi Jawa Timur Nomor 30 Tahun 2008 Tanggal 11 November 2008 tentang Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Provinsi Jawa Timur Tahun 2008. 27 Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2008 Tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara 76 e-JOURNAL LENTERA HUKUM, April 2014 1 (2) : 69-79 Menurut Benjamin Cordozo dalam bukunya “The Nature of Judicial Process” bahwa ketika hukum kehilangan pegangannya, maka para hakim dapat menciptakan hukum sebagai pilihan kreatif melalui empat metode pendekatan, yaitu filosofis, historis, kebiasaan, dan sosiologi.28 Setidaknya, hakim konstitusi telah mempersiapkan beberapa kemungkinan yang akan terjadi sehingga sebelum menjatuhkan putusan cenderung berpegang pada beberapa metode pendekatan di atas di samping ketentuan normatif. Putusan MK seperti ini merupakan wujud dari judicial activism dalam membuka tabir hukum yang lebih substansial dalam penanganan setiap perkara sehingga tercapai keadilan yang sebenarnya dan relevan dengan apa yang diinginkan oleh masyarakat. Putusan-putusan MK yang telah melegenda seperti ini merupakan paradigma baru dalam dunia peradilan Indonesia sehingga menjadikan konstitusi hidup dalam sebuah negara sesuai dengan perkembangan masyarakat (the living constitution).29 Kedua, proses peradilan yang yang sarat akan korupsi mampu dikendalikan oleh MK. Artinya masyarakat sebagai justiciabelen akan terhindar dari judicial corruption sebagai sebuah kelaziman pada peradilan umum di Indonesia. Sampai saat ini pula, peradilan selain MK masih belum mampu mencuri diri dari praktik kotor mafia peradilan. Indikasi sederhana sekaligus bukti konkret yaitu masih sangat tertutupnya peradilan selain MK. Padahal korupsi peradilan akan mudah terjadi jika suatu institusi memonopoli kewenangannya yang besar tanpa berbanding lurus dengan transparansi.30 Fakta tersebut tentu berseberangan dengan apa yang ada di MK. Transaparansi sebagai wujud misi Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076) 28 Pan Mohamad Faiz. Konstitusi dan Aktivisme Judisial, http://panmohamadfaiz.com/ 2009/08/25/konstitusi-dan- aktivisme-yudisial/, diakses pada tanggal 31 Juli 2010 pukul 23.05 WIB. 29 Jimly Asshidiqie. Menuju..., op.cit, hlm. 43 30 Denny Indrayana. Negara Antara Ada dan Tiada: Reformasi Hukum Ketatanegaraan, (Jakarta, Kompas: 2008), hlm. 37- 38. MK dalam membangun lembaga pelaksana kekuasaan kehakiman yang modern mampu diimplementasikan dengan baik. Misalnya, mulai dari monitoring perkara, jadwal sidang, risalah sidang, bahkan putusan dapat diakses oleh setiap orang melalui website MK. Bahkan yang menarik, dalam waktu kuang dari tujuh menit setelah putusan dibacakan oleh majelis hakim, putusan dapat diambil. Ketiga, membangun kepercayaan masyarakat terhadap dunia peradilan. Secara faktual, intensitas penanganan PHPUD di MK semakin tinggi. Justiciabelen menginginkan keadilan dalam pembangunan kehidupan bernegara yang lahir dari moral konstitusi (constitutional morality). Menurut John Rawls, keadilan dapat tercapai manakala terjadi kepatuhan terhadap konstitusi dan terintegralisasinya hak dan kewajiban konstitutional yang berlandaskan nilai-nilai moral.31 Perkembangan demikian merupakan sebuah pergeseran nilai dan kepercayaan masyarakat akan dunia peradilan yang sebelumnya masih memandang sebelah mata. Keempat, permohonan di MK tidak di kenakan biaya sehingga setiap orang dapat beracara untuk membela hak konstitusionalnya. Fenomena ini tentu berbeda apa yang terjadi di peradilan umum. Pihak berperkara terutama penggugat dibebani biaya perkara beserta embel-embel biaya lain yang membebani pihak yang bersangkutan. Kelima, membangun budaya berkonstitusi. Dengan MK mempunyai kewenangan PHPUD, masyarakat semakin sadar terhadap hak kostitusionalnya. Mekanisme ini merupakan sebuah mekanisme constitutional complaint walaupun dalam pengertian sempit terbatas pada PHPUD. Namun mekanisme ini memberikan dampak positif dalam penegakan hukum sehingga sejalan dengan asas demokrasi dan asas negara hukum. Implikasinya, negara hukum yang demokratis mampu diwujudkan melalui lembaga peradilan. 31 Pan Mohamad Faiz. Teori Keadilan John Rawls, Jurnal Konstitusi, (Jakarta: Setjen dan Kepaniteaan Mahkamah Konstitusi: 2009), Volume 6 Nomor 1, hlm. 146. http://panmohamadfaiz.com/%202009/08/25/konstitusi-dan-aktivisme-yudisial/ http://panmohamadfaiz.com/%202009/08/25/konstitusi-dan-aktivisme-yudisial/ 77 e-JOURNAL LENTERA HUKUM, April 2014 1 (2) : 69-79 C. Gagasan Pengadilan Ad Hoc Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah Terhadap permasalahan yang berkembang seperti banyaknya perkara yang masuk ke MK berkaitan dengan sengketa pemilu, maka penulis menawarkan sebuah solusi, yaitu MK perlu membentuk pengadilan ad hoc PHPUD yang menangani permasalahan pemilu di bawah MK. Pegadila ini nersifat ad hoc dalam masa sengketa hasil pemilu guna meninngkatkan efisisensi dan efektivitas penanganan PHPUD. Pembentukan pengadilan ad hoc PHPU ini dilakukan tanpa menunggu produk legislasi undang- undang yang mengatur pengadilan ad hoc PHPU. Merujuk pada ketentuan Pasal 86 UU MK yang berbunyi, “Mahkamah konstitusi dapat mengatur lebih lanjut hal-hal yang diperlukan bagi kelancaran pelaksanaan tugas dan wewenangnya menurut undang-undang ini”32 (cetak tebal oleh penulis). Pasal tersebut memberikan kewenangan kepada MK untuk mengatur tugas dan fungsi MK terhadap kewenangan konstitusional yang diberikan oleh UUD 1945. Lebih lanjut, dalam penjelasan pasal a quo semakin memperkuat dasar pembentukan pengadilan ad hoc PHPU yang mana memberikan kewenangan yang bersifat self executing tanpa inisiatif dari lembaga legislatif yaitu, “Ketentuan ini dimaksudkan untuk mengisi kemungkinan adanya kekurangan atau kekosongan dalam hukum acara berdasarkan Undang-Undang ini”.33 Sehingga jelas, pembentukan pengadilan ad hoc PHPU dapat dilakukan MK ketika tidak mampu mengatasi lonjakan perkara yang menjadi wewenangnya. Terlebih ketika sengketa PHPUD mengalami lonjakan tinggi seperti saat ini yang memungkinkan MK hanya terfokus pada masalah PHPUD dengan sedikit mengabaikan pada 32 Pasal 86 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4316). 33 Penjelasan Pasal 86 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4316). kewenangan lainnya, maka dengan kehadiran pengadilan ad hoc PHPU tersebut, pelaksanaan kewenangannya dapat dijalankan dengan baik sebagaimana mestinya. Kesimpulan Berdasarkan diuraikan dalam pembahasan di atas, kiranya dapat dikemukakan beberapa kesimpulan. Pertama, kedudukan MK dalam memutus PHPUD merupakan manifestas dari Pasal 1 ayat (2) juncto Pasal 24 C ayat (1) UUD 1945. Di samping itu, melalui putusan MK Nomor 72-73/PUU-II/2004 pengujian atas UU Pemerintahan Daerah juncto Pasal 23C Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008, MK berwenang dalam memutus sengketa PHPUD. Kewenangan ini merupakan konvensi ketatanegaraan (constitutional convention). Kedua, implikasi terhadap kewenangan MK dalam memutus sengketa PHPUD semata-mata dalam membangun konstitusionalitas hukum dan impmelentasinya sebagai wujud pennguatan supremasi konstitusi di samping itu, merupakan perkara konstitusi yang diputus berdasarkan atas konstitusi sehingga tercapai keadilan yang substantif. Artinya, MK memutus tidak hanya berdasarkan atas brikade formal legalistik. Terhadap wacana sengekat PHPUD akan dialihkan dari MK ke PT justru merupakan kemunduran dalam membangun supremasi konstitusi bahkan membuka ruang dalam proses judicial corruption di lingkungan peradilan umum. Adapun saran yang menjadi rekomendasi penelitian dalam karya tulis ilmiah ini yaitu perlu MK perlu membentuk pengadilan ad hoc PHPUD yang menangani permasalahan pemilu tanpa menunggu produk legislasi undang-undang yang mengatur pengadilan ad hoc PHPU. Dasar hukum yang digunakan yaitu Pasal 1 ayat (2) juncto Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 jucto Pasal 86 UU MK. 78 e-JOURNAL LENTERA HUKUM, April 2014 1 (2) : 69-79 DAFTAR PUSTAKA Asshiddiqie, Jimly. 2008. Menuju Negara Hukum Yang Demokratis. Jakarta: Setjen dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Asshiddiqie, Jimly. 2006. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara. Jakarta: Setjen dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Asshiddiqie, Jimly. 2005. Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi. Jakarta: Konstitusi Press Ekatjahjana, Widodo. 2008. Pengujian Peraturan Perundang-undangan dan Sistem Peradilannya di Indonesia. Jakarta: Pustaka Sutra Hakim, Lukman. 2009. Eksistensi Komisi-Komisi Negara dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia, Ringkasan Disertasi. Malang, PDIH FH Universitas Brawijaya Hamidi, Jazim dan Malik. 2009. Hukum Perbandingan Konstitusi. Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher Huda, Ni’matul. 2008. UUD 1945 dan Gagasan Amandemen Ulang. Jakarta. Rajawali Pers Indrayana, Denny. 2008. Negara Antara Ada dan Tiada: Reformasi Hukum Ketatanegaraan. Jakarta: Kompas Istanto, F. Sugeng. 2007. Penelitian Hukum. Yogyakarta, CV Ganda: 2007 Istanto, F. Sugeng. 2007. Penelitian Hukum. Yogyakarta: CV Ganda Palguna, I Dewa Gede. 2008. Mahkamah Konstitusi, Judicial Review dan Welfare State. Jakarta: Setjen dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Mahkamah Konstitusi. 2008. Lima Tahun Menegakkan Konstitusi: Gambaran Singkat Pelaksanaan Tugas Mahkamah Konstitusi 2003-2008. Jakarta: Setjen dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Marzuki, Peter Mahmud. 2005. Penelitian Hukum. Jakarta: Prenada Media Group MD, Moh. Mahfud. 2009. Konstitusi dan Hukum dalam Kontroversi Isu. Jakarta: Rajawali Pers Safaat, M. Ali dkk. 2010. Konstitusionalisme Demokrasi: Sebuah Diskursus tentang Pemilu, Otonomi Daerah dan Mahkamah Konstitusi. Malang: In Trans Publishing Sirajuddin dkk. 2006. Legislative Drafting: Pelembagaan Metode Partisipatif Dalam Pembentukan Peraturan Perundang- undangan. Malang: In-Trans Publishing Faiz, Pan Mohamad. 2009. Teori Keadilan John Rawls, Jurnal Konstitusi Volume 6 Nomor 1. Jakarta: Setjen dan Kepaniteaan Mahkamah Konstitusi Hamidi, Jazim dan Mustafa Lutfi. 2009. Ketentuan Konstitusional Pemberlakuan Keadaan Darurat dalam Suatu Negara, Jurnal Konstitusi Volume 6 Nomor 1. Jakarta. Setjen dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Ranggawidjaja, Rosjidi. 2010. Wewenang Mahkamah Konstitusi dalam Memutus Perselisihan Hasil Penghitungan Suara pemilihan Kepada Daerah dan Wakil kepala Daerah, Jurnal Konstitusi PSKN-FH Universitas Padjajaran Volume II Nomor 1. Jakarta, Setjen dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Ulum, Muhammad Bahrul dan Dizar Al Farizi. 2009. Implementasi dan Implikasi Putusan MK Terhadap Hak Konstitusional Warga Negara Indonesia, Jurnal Konstitusi Volume 6 Nomor 3. Jakarta: Setjen dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Departemen Dalam Negeri. Mendagri Usul Sengketa Pilkada ditangani Pengadilan Tinggi. http://www.depdagri.go.id/news/2010/07/08/ mendagri-usul-sengketa-pilkada-ditangani- pengadilan-tinggi&ei, diakses pada tanggal 02 Agustus 2010 pukul 09.55 WIB. Konsorsium dan Reformasi Hukum Nasional. Menimbang Kembali Kewenangan MK. http://www.reformasihukum.org/konten.php?na http://www.depdagri.go.id/news/2010/07/08/%20mendagri-usul-sengketa-pilkada-ditangani-pengadilan-tinggi&ei http://www.depdagri.go.id/news/2010/07/08/%20mendagri-usul-sengketa-pilkada-ditangani-pengadilan-tinggi&ei http://www.depdagri.go.id/news/2010/07/08/%20mendagri-usul-sengketa-pilkada-ditangani-pengadilan-tinggi&ei http://www.reformasihukum.org/konten.php?nama=Konstitusi%20&op=%20detail%20konstitusi&id=49 79 e-JOURNAL LENTERA HUKUM, April 2014 1 (2) : 69-79 ma=Konstitusi &op= detail konstitusi&id=49, diakses pada tanggal 27 Juli 2010, Pukul 13.04 WIB. Okezone News. Pengalihan Sengketa Pilkada ke PT Langgar UUD 1945 http://news.okezone.com/read/2010/07/18/339/ 354061/339/pengalihan-sengketa-pilkada-ke- pt-langgar-uud-1945, diakses pada tanggal 02 Agustus 2010 pukul 10.19 WIB. Pan Mohamad Faiz. Konstitusi dan Aktivisme Judisial, http://panmohamadfaiz. com/ 2009/08/25/konstitusi-dan-aktivisme-yudisial/, diakses pada tanggal 31 Juli 2010 pukul 23.05 WIB. Tribun News. MK Menyalahgunakan Wewenang Gugatan Pilkada Kotawaringin Barat http://www.tribunnews.com/2010/07/09/mk- menyalahkan gunakan-wewenang-kabulkan- gugatan-pilkada-kotawaringin-barat, diakses tanggal 02 Agustus 2010 pukul 11.45 WIB. http://www.reformasihukum.org/konten.php?nama=Konstitusi%20&op=%20detail%20konstitusi&id=49 http://news.okezone.com/read/2010/07/18/339/354061/339/pengalihan-sengketa-pilkada-ke-pt-langgar-uud-1945 http://news.okezone.com/read/2010/07/18/339/354061/339/pengalihan-sengketa-pilkada-ke-pt-langgar-uud-1945 http://news.okezone.com/read/2010/07/18/339/354061/339/pengalihan-sengketa-pilkada-ke-pt-langgar-uud-1945 http://www.tribunnews.com/2010/07/09/mk-menyalahkan%20gunakan-wewenang-kabulkan-gugatan-pilkada-kotawaringin-barat http://www.tribunnews.com/2010/07/09/mk-menyalahkan%20gunakan-wewenang-kabulkan-gugatan-pilkada-kotawaringin-barat http://www.tribunnews.com/2010/07/09/mk-menyalahkan%20gunakan-wewenang-kabulkan-gugatan-pilkada-kotawaringin-barat