Lentera Hukum, Volume 3 Issue 1 (2016), pp.57-73 ISSN 2355-4673 (Print) 2621-3710 (Online) https://doi.org/10.19184/ ejlh.v3i1.18911 Published by the University of Jember, Indonesia Available online 21 April 2016 Hakikat Putusan Pencabutan Hak Dipilih Terpidana Korupsi Politik Dalam Perspektif Hak Asasi Manusia Handoko Alfiantoro Public Attorney District Office of Situbondo handokoalfiantoro@yahoo.com ABSTRACT Corruption is one type of dangerous unconventional crime that need special ways in their handling patterns. One important instrument in the context of law enforcement against criminal acts of corruption is the existence of additional crimes in the form of revocation of certain rights in terms of the right to vote and be elected in elections held based on general rules. Revocation of political rights for convicted political corruption is a form of state intervention against restrictions on human rights in the right to be elected in elections. However, this becomes a problem in the perspective of human rights when the revocation of political rights is done permanently not within a certain period. This article has been prepared using a normative juridical research method through a statute approach, a comparative approach, and a conceptual approach, which aims to critically examine the nature of the Decision on the Revocation of the Selected Rights of Convicted Political Corruption in the Perspective of Human Rights. KEYWORDS: Revocation of Selected Rights, Human Rights, Political Corruption. Copyright © 2016 by Author(s) This work is licensed under a Creative Commons Attribution-ShareAlike 4.0 International License. All writings published in this journal are personal views of the authors and do not represent the views of this journal and the author's affiliated institutions. Submitted: February 05, 2016 Revised: April 08, 2016 Accepted: April 21, 2016 HOW TO CITE: Alfiantoro, Handoko. “Hakikat Putusan Pencabutan Hak Dipilih Terpidana Korupsi Politik Dalam Perspektif Hak Asasi Manusia “(2016) 3:1 Lentera Hukum 57-73 58 | Hakikat Putusan Pencabutan Hak Dipilih Terpidana Korupsi Politik Dalam Perspektif Hak Asasi Manusia I. PENDAHULUAN Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai mahkluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia1. Hak Asasi Manusia yang selanjutnya disebut HAM merupakan hak kodrati yang melekat dan bersifat universal yang dimiliki oleh masing-masing manusia sejak lahir. HAM harus ditegakkan sesuai aturan. Berawal dari pemikiran bahwa manusia merupakan serigala bagi manusia lain (homo homini lupus) yang selalu mementingkan diri sendiri dan tidak mementingkan keperluan orang lain, maka diperlukan suatu aturan atau norma untuk mengaturnya. Keamanan dan ketertiban di dalam masyarakat akan tercipta dan terpelihara apabila tiap anggota masyarakat menaati peraturan (norma) yang ada dalam masyarakat itu sendiri, dan untuk ditaati diperlukan suatu sanksi bagi pelanggarnya. Norma-norma tersebut antara lain norma kesopanan, norma kesusilaan, norma agama dan norma hukum 2. Negara Indonesia sebagai negara hukum telah secara konstitusional tegas disebutkan dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945. Adapun ciri-ciri negara hukum antara lain adanya Perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia, adanya supremasi hukum. pemisahan dan pembagian kekuasaan negara, dan peradilan yang bebas3. Pada dasarnya ciri-ciri negara hukum tersebut berupa supremasi hukum, pemisahan dan pembagian kekuasaan negara, dan peradilan yang bebas akan bermuara kembali kepada HAM itu sendiri, yaitu untuk memberikan jaminan yang cukup luas dalam arti penghormatan (to respect), perlindungan (to protect), dan pemenuhan (to fulfill) Hak Asasi Manusia. Baharudin Lopa berpendapat bahwa pada hakikatnya HAM terdiri dari dua hak dasar yang paling fundamental, yaitu hak persamaan dan hak kebebasan. Berdasarkan kedua hak dasar ini lahirlah hak asasi yang lainnya4 Pemisahan dan pembagian kekuasaan negara sebagai salah satu ciri negara hukum tersebut juga merupakan aktualisasi dari teori kedaulatan rakyat seperti yang dicetuskan oleh para penganut ajaran hukum alam seperti John Locke, JJ Rousseau, Montesque, dan Imanuel Kant yang secara umum menyatakan bahwa kekuasaan perlu dibatasi dengan cara membagi atau memisahkan kekuasaan negara menjadi legislative, exekutive, dan jucial atau yang populer dikenal dengan teori trias politica5. 1 Pasal 1 angka 1 UU RI Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia 2 Surojo Wignojodipuro, Pengantar Hukum Indonesia, Jakarta: Gunung Agung, 1982, hlm.13. 3 Dede Rosyada, Pendidikan Kewarganegaraan Demokrasi, HAM, dan Masyarakat Madani, Jakarta: Puslit IAIN Syarif Hidayatullah, 2000, hlm.184. 4 Baharuddin Lopa, Al Qur’an dan Hak-Hak Asasi Manusia, Yogyakarta: Dana Bakti Prima Yasa, Yogyakarta, 1996, hlm.1. 5 Hufron dan Hadi, S., Ilmu Negara Kontemporer Telaah Teoritis Asal Mula, Tujuan, dan Fungsi Negara, Negara Hukum dan Negara Demokrasi. Yogyakarta: Laksbang Grafika dan Kantor Advokatn”Hufron&Rubaie, 2015, hlm.108. 59 | LENTERA HUKUM Pembatasan kekuasaan dan kewenangan lembaga trias politica harus dilakukan secara seimbang dan saling monitoring (checks and balances), serta memberikan jaminan yang cukup luas dalam arti penghormatan (to respect), perlindungan (to protect), dan pemenuhan (to fulfill) Hak Asasi Manusia dan Hak Warga Negara, yang dalam perkembangannya pembatasan kekuasaan tersebut mengalami varian konsepsi salah satunya adalah dengan adanya pemilihan umum6. Pemilihan umum di Indonesia yang dilaksanakan secara langsung oleh rakyat terhadap wakil-wakilnya baik dalam lembaga eksekutif maupun dalam lembaga legislatif merupakan manifestasi konkrit dari sebuah demokrasi sebagaimana bunyi Pasal 1 ayat (2) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menentukan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan7. Semboyan demokrasi “dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat” harus dibayar dengan biaya mahal oleh negara demi sebuah kontestasi politik melalui pemilihan umum yang bersih dan benar untuk menghasilkan para pemimpin yang diharapkan. Besarnya biaya dari sisi penyelenggaraaan pemilihan umum juga diikuti dengan tingginya biaya yang mungkin dikeluarkan oleh para calon wakil rakyat sebagai kontestan. Diawali dari proses pencalonan melalui kendaraan politik pengusung untuk mendapatkan rekomendasi dan fasilitas kepartaian, sampai pada usaha merebut para calon pemilih melalui berbagai pendekatan yang bersifat persuasif membuat potensi besar terjadinya praktik politik uang. Mulai dari pemberian uang bertajuk bantuan kemanusiaan, sampai pada gencaran serangan fajar merupakan beberapa varian terselubung modifikasi praktik politik uang. Siklus kausalitas praktik politik uang tersebut nantinya berpeluang besar terefleksi ke dalam tindak pidana korupsi politik. Konsep varian jenis tindak pidana korupsi baru yang sebenarnya belum diatur secara khusus dalam peraturan perundang- undangan namun saat ini menjadi familiar disebutkan. Korupsi dan politik selalu menarik untuk dijadikan bahan pembicaraan, namun konsep tindak pidana korupsi politik masih menjadi perdebatan. Korupsi politik yang secara terminologi bahasa cukup dikenal namun secara terminologi hukum tidak diatur, membuat proses penegakan hukumnya hanya menggunakan jeratan pasal korupsi secara konvensional. Hal ini tentunya relatif kurang memuaskan mengingat semakin masifnya tindak pidana korupsi berkaitan dengan politik yang dilakukan oleh wakil rakyat baik dalam lembaga eksekutif khususnya kepala daerah atau pun dalam lembaga legislatif. 6 Abdul Mukhtie Fajar, Hukum Konstitusi dan Mahkamah Konstitusi. Jakarta: Konstitusi Press, 2006, hlm.34- 35 7 Pasal 43 ayat (1) UU RI Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. 60 | Hakikat Putusan Pencabutan Hak Dipilih Terpidana Korupsi Politik Dalam Perspektif Hak Asasi Manusia Apabila seseorang terbukti melakukan tindak pidana dan telah mempunyai kekuatan hukum tetap, maka yang bersangkutan akan dijatuhi pidana. Adapun jenis pidana di dalam KUHP terdiri atas8 pidana pokok yang terdiri atas pidana mati, penjara, kurungan, denda, tutupan, sedangkan pidana tambahan terdiri atas pencabutan hak-hak tertentu, perampasan barang-barang tertentu, dan pengumuman putusan hakim. Adapun pencabutan hak-hak tertentu dalam pidana tambahan salah satunya adalah hak terpidana yang dengan putusan hakim dapat dicabut dalam hal hak memilih dan dipilih dalam pemilihan yang diadakan berdasarkan aturan-aturan umum9. Pidana tambahan dari KUHP inilah yang menjadi titik awal ditambah penegasan dalam uu tipikor sendiri sebagai dasar digunakan kepada para terpidana korupsi di Indonesia dengan cara mencabut hak memilih dan dipiihnya dalam periode tertentu. Pencabutan hak asasi politik (political rights) bagi terpidana korupsi politik merupakan bentuk intervensi negara terhadap pembatasan hak asasi dalam hak dipilih dalam pemilu. Hal ini memang dibenarkan secara peraturan perundang-undangan, namun demikian secara faktual tidak semua terdakwa/terpidana korupsi politik dituntut dan dijatuhkan hukuman tambahan berupa pencabutan hak memilih dan dipilih. Ketidakjelasan kriteria semacam ini membuat obektifitas para penegak hukum dipertanyakan terutama kaitannya dengan HAM. Terlebih lagi adanya putusan pidana tambahan melalui putusan hakim di pengadilan berupa pencabutan hak dipilih secara permanen yang cenderung bertentangan dengan nilai-nilai HAM dan terhadap klausul peraturan perundangan seperti KUHP atau pun Putusan MK Nomor 4/PUUVII/2009 tanggal 24 Maret 2009. Upaya penindakan (represif) yang tepat merupakan bentuk terbaik dari usaha pencegahan (preventif), namun jangan lupa bahwa upaya represif juga harus sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan nilai-nilai HAM. II. KAJIAN PUSTAKA A. Penegakan Hukum Hukum merupakan peraturan yang dinyatakan secara umum dan hendaknya dimengerti oleh semua orang, hukum mengatur perbuatan mana yang boleh dan tidak boleh, bahkan hukum pun memberikan prediksi bagi pelaku-pelaku yang bermain dengan konsekuensi-konsekuensi dari setiap tindakan yang dilakukan, hukum memberikan kepastian dan memberikan ketertiban sosial dalam mengatur masyarakat. Hukum berlaku universal dan sangat rasional, semua orang memiliki kedudukan yang sama dihadapan hukum10. Penegakan hukum merupakan suatu usaha untuk mewujudkan ide- ide tentang kepastian hukum, kemanfaatan sosial dan keadilan menjadi kenyataan. Proses perwujudan ide-ide itulah yang merupakan hakikat dari penegakan hukum11. Penegakan hukum adalah sebuah tugas. Tugas yang diemban oleh aparat penegak 8 Pasal 10 KUHP 9 Pasal 35 ayat (1) ke-3 KUHP 10 Esmi Warasih, Pranata Hukum: Sebuah Telaah Sosiologis, Semarang: PT Suryandaru Utama, 2005. 11 Satjipto Raharjo, Masalah Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis, Bandung: Sinar Baru, 2005. 61 | LENTERA HUKUM hukum, dan karena tugas, seperti dikatakan Kant, merupakan kewajiban kategoris, kewajiban mutlak. Disini tidak mengenal istilah dengan syarat. Tugas adalah tugas, wajib dilaksanakan12. B. Sifat Melawan Hukum Suatu Perbuatan Wirjono Prodjodikoro menulis, sifat melanggar hukum dari suatu perbuatan menjadi unsur penting dalam menentukan apakah perbuatan tersebut merupakan tindak pidana atau tidak”13. Wirjono Projodjodikoro menyebut kata melawan hukum dengan kata-kata melanggar hukum. Masih terdapat beda pendapat diantara para ahli terkait dengan perbedaan antara kata melawan hukum dengan melanggar hukum. Ada yang menyebutkan bahwa tidak ada perbedaan antara keduanya, akan tetapi ada yang menjelaskan bahwa antara kata melawan hukum dengan kata melanggar hukum jelas berbeda. Melawan hukum identik dengan ranah hukum pidana (wederrechtelijkheid), sedangkan kata melanggar hukum identik dengan ranah hukum perdata (onrechtmatigeheid). Selanjutnya Idriyanto Seno Adji menyatakan bahwa adanya sifat perbuatan melawan hukum merupakan istilah dari “onrechmatigheid” yang mempunyai kesamaan arti dengan istilah “wederrechtelijkheid”, bahkan sebenarnya lebih tepat apabila dikatakan bahwa pengertian luas dari “onrechtmatige daad” dalam bidang hukum perdata mempunyai penerapan pengertian yang sama dengan pengertian “materiele wederrechtelijkheid”. Istilah wederrechtelijkheid dalam beberapa kepustakaan kadang kala diartikan dengan istilah lain, seperti “tanpa hak sendiri”, “bertentangan dengan hukum pada umumnya”, bertentangan dengan hak pribadi seseorang”, “bertentangan dengan hukum positif” (termasuk Hukum Perdata, Hukum Administrasi) atau pun “menyalah-gunakan wewenang” dan lain sebagainya14. Moeljatno mengemukakan bahwa di dalam hukum pidana yang menjadi perhatian adalah perbuatan-perbuatan yang bersifat melawan hukum saja, perbuatan- perbuatan inilah yang dilarang dan diancam dengan pidana”15. Lebih lanjut Moeljatno menjelaskan bahwa, mengenai hal ini ada dua pendapat, yang pertama ialah apabila perbuatan telah mencocoki larangan undang-undang, maka disitu ada kekeliruan. Letak melawan hukumnya perbuatan sudah nyata dari sifat melanggarnya ketentuan undang- undang, kecuali jika termasuk perkecualian yang telah ditentukan oleh undang-undang pula. Bagi mereka ini melawan hukum berarti melawan hukum undang-undang, sebab hukum adalah undang-undang. Pendirian demikian dinamakan pendirian yang formal. Sebaliknya ada yang berpendapat bahwa belum tentu kalau semua perbuatan yang mencocoki larangan undang-undang bersifat melawan hukum. Bagi mereka ini yang dinamakan hukum bukanlah undang-undang saja, disamping undang-undang (hukum 12 Bernard L. Tanya, Penegakan Hukum dalam Terang Etika, Yogyakarta: Genta Publising, 2001,hlm. 35. 13 Wirjono Prodjodikoro, Tindak-Tindak Pidana Tetentu Di Indonesia, Refika Aditama, Bandung, 2003, hlm. 1. 14 Indriyanto Seno Adji, Overheidsbeleid & Asas “Materiele Wederrechtelijkheid” dalam Perspektif Tindak Pidana Korupsi di Indonesia, Surabaya: Universitas Surabaya, 2005, hlm. 2. 15 Moeljatno, Asas Asas Hukum Pidana, Jakarta: Rineka Cipta, 2002, hlm. 130. 62 | Hakikat Putusan Pencabutan Hak Dipilih Terpidana Korupsi Politik Dalam Perspektif Hak Asasi Manusia yang tertulis) ada pula hukum yang tidak tertulis, yaitu norma-norma atau kenyataan- kenyataan yang berlaku dalam masyarakat. Pendirian demikian dinamakan pendirian yang materiel16. Selanjutnya Indriyanto Seno Adji menyatakan bahwa perbuatan melawan hukum secara formil lebih dititikberatkan pada pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan yang tertulis, sedangkan suatu perbuatan dikatakan telah memenuhi unsur melawan hukum secara materiil, apabila perbuatan itu merupakan pelanggaran terhadap norma kesopanan yang lazim hidup dalam masyarakat17. Berdasarkan penjelasan di atas terlihat bahwa sifat melawan hukum dibedakan menjadi sifat melawan hukum formil dan materiil. Sifat melawan hukum formil adalah perbuatan melawan hukum yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, sedangkan sifat melawan hukum materiil adalah perbuatan melawan hukum yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, tetapi bertentangan dengan nilai- nilai kepatutan dalam masyarakat. Lebih lanjut Indriyanto Seno Adji menulis, “ajaran sifat melawan hukum formil dipelopori oleh Simons dengan pandangan pada segi formil suatu rumusan delik yang terdapat dalam suatu wet saja, tanpa memberikan suatu pengecualian apapun”18. Moeljatno lebih lanjut menguraikan berkenaan dengan ajaran sifat melawan hukum materiil bahwa pandangan tentang hukum dan sifat melawan hukum materiil di atas, hanya mempunyai arti dalam memperkecualikan perbuatan yang meskipun masuk dalam perumusan undang-undang, itu tidak merupakan perbuatan pidana, biasanya ini dinamakan fungsi yang negatif dari sifat melawan hukum yang matriil. Adapun fungsi yang positif, yaitu perbuatan tidak dilarang oleh undang-undang, tetapi oleh masyarakat perbuatan itu dianggap keliru19. Vos dan Hulsman berkaitan dengan pengakuan fungsi negatif dari perbuatan melawan hukum secara materiil menyatakan bahwa “belum tentu kalau semua perbuatan yang mencocoki larangan undang-undang bersifat melawan hukum. Bagi mereka (masyarakat), yang dinamakan hukum bukanlah undang-undang saja, karena disamping undang-undang (tertulis), ada pula hukum yang tidak tertulis”20. Bertitik tolak pada keterangan di atas dapat dijelaskan bahwa sifat melawan hukum materiil dibedakan lagi menjadi sifat melawan hukum materiil yang bersifat negatif dan sifat melawan hukum materiil yang bersifat positif. Sifat melawan hukum yang bersifat negatif berarti perbuatan tersebut telah melanggar ketentuan undang- undang, tetapi menurut masyarakat perbuatan tersebut bukan merupakan tindak pidana sehingga tidak dihukum. Sedangkan sifat melawan hukum yang bersifat positif berarti perbuatan tersebut tidak melanggar ketentuan undang-undang, tetapi oleh masyarakat dianggap sebagai suatu tindak pidana sehingga dapat dihukum. 16 Ibid., hlm.130-131. 17 Indriyanto Seno Adji. Loc. Cit. 18 Ibid., hlm.3. 19 Moeljatno. Op. Cit., hlm.133. 20 Indriyanto Seno Adji. Op. Cit., hlm. 3. 63 | LENTERA HUKUM C. Tindak Pidana Sebelum kita membahas mengenai pengertian tindak pidana, maka perlu diketahui bahwa tindak pidana berasal dari suatu istilah dalam hukum belanda yaitu strafbaarfeit. Ada pula yang mengistilahkan menjadi delict yang berasal dari bahasa latin delictum. Hukum pidana negara anglo saxon memakai istilah offense atau criminal act. Oleh karena itu Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia bersumber pada Wvs belanda, maka memakai istilah aslinya pun sama yaitu Strafbaarfeit”21. Menurut Van Hamel, “strafbaarfeit adalah kelakuan orang yang dirumuskan dalam wet atau undang-undang yang bersifat melawan hukum yang patut dipidana (strafwaardig) dan dilakukan dengan kesalahan”22. Selanjutnya Simons menerangkan bahwa “strafbaarfeit adalah adalah perbuatan atau tindakan yang diancam dengan pidana oleh Undang-undang, bertentangan dengan hukum dan dilakukan oleh orang yang mampu bertanggung jawab”23. Simons memandang semua syarat untuk menjatuhkan pidana sebagai unsur tindak pidana dan tidak memisahkan unsur yang melekat pada perbuatannya (crime act) tindak pidana dengan unsur yang melekat pada aliran tindak pidana (criminal responsibility atau criminal liability). Kemudian dia menyebut unsur unsur tindak pidana yaitu : 1. Perbuatan manusia 2. Diancam dengan pidana 3. Melawan hukum 4. Dilakukan dengan kesalahan 5. Oleh orang yang mampu bertanggung jawab D. Tindak Pidana Korupsi Kata korupsi berasal dari bahasa latin yaitu Corruptie, yang berarti penyuapan, perusakan moral, perbuatan yang tidak beres dari jawatan, pemalsuan dan sebagainya. Korupsi juga bisa diartikan sebagai perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok, dan sebagainya24. Harmein Hadiati Koeswadji menulis bahwa bila ditinjau dari segi istilah, korupsi berasal dari kata Corrupteia, yaitu yang dalam bahasa latin berarti bribery atau seduction, maka yang diartikan dengan corrupto dalam bahasa latin ialah corrupter atau seducer. Dari kata bribery tersebut kemudian dapat diartikan sebagai memberikan atau menyerahkan 21 Andi hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: Rineka Cipta, 1994, hlm. 84. 22 Moeljatno. Op.Cit., hlm.56. 23 Ibid. 24 Djoko Prakoso, Kejahatan-Kejahatan yang Merugikan dan Membahayakan Negara, Jakarta: Bina Aksara, 1986, hlm.391. 64 | Hakikat Putusan Pencabutan Hak Dipilih Terpidana Korupsi Politik Dalam Perspektif Hak Asasi Manusia kepada seseorang untuk agar orang tadi berbuat untuk guna keuntungan (dari) pemberi25. Selanjutnya berdasarkan bunyi Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dapat ditarik suatu pengertian bahwa korupsi adalah perbuatan memperkaya diri sendiri, atau orang lain, atau suatu korporasi secara melawan hukum, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Praktik korupsi yang telah disepakati bersama sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crimes) dan kejahatan serius (seriousness crimes). Korupsi merupakan salah satu jenis kejahatan inkonvensional yang sangat berbahaya. Korupsi dapat menyentuh berbagai kepentingan yang menyangkut hak asasi, ideologi, serta keuangan dan perekonomian negara yang sistematis dan sulit diberantas. Oleh karena tindak pidana korupsi telah menjadi kejahatan yang luar biasa, maka penanganan dan pemberantasannya harus juga dengan cara yang luar biasa. Berdasarkan ketentuan dalam UU RI No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU RI No. 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Ada 7 (tujuh) kelompok tindak pidana korupsi, yaitu: 1. Merugikan keuangan/perekonomian negara 2. Suap menyuap 3. Penggelapan dalam jabatan 4. Pemerasan 5. Perbuatan Curang 6. Benturan kepentingan dalam pengadaan 7. Gratifikasi ditambah dengan 6 (enam) Tindak Pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi, yaitu: 1. Merintangi Proses pemeriksaan perkara korupsi 2. Tidak memberi keterangan/memberikan keterangan yang tidak benar 3. Bank yang tidak memberikan keterangan rekening tersangka 4. Saksi atau ahli yang tidak memberikan keterangan atau memberikan keterangan palsu 5. Orang yg memegang rahasia jabatan tdk memberikan keterangan/memberikan keterangan palsu 6. Saksi yang membuka identitas pelapor26. E. Korupsi Politik 25 Harmein Hadiati Koeswadji, Korupsi di Indonesia Dari Delik Jabatan Ke Tindak Pidana Korupsi, Bandung: PT Citra Aditya Abadi, 1994, hlm. 32. 26 Komisi Pemberantasan Korupsi, Memahami Untuk Membasmi: Buku Panduan untuk Memahami Tindak Pidana Korupsi, Jakarta: Komisi Pemberantasan Korupsi, 2006, hlm. (sampul belakang). 65 | LENTERA HUKUM Artidjo dkk., merumuskan korupsi politik yaitu korupsi yang dilakukan pejabat publik dan uang hasil kejahatannya dialirkan untuk kegiatan politik27. Sebenarnya korupsi politik itu tidak ada dalam hukum, namun sejak tahun 2015 dalam hukum kita dikenal istilah korupsi politik, itu terjadi ketika Mahkamah Agung membuat putusan terhadap Bupati Karanganyar Rina Iriani Sri Ratnaningsih yang telah melakukan korupsi politik. Memang korupsi politik dalam terminologi hukum tidak ada, namun putusan Mahkamah Agung yang sudah inkracht menyebut dua kasus yakni, kasus korupsi politik Anas Urbaningrum dan Rina yang dari Karangayar. F. Putusan Pengadilan KUHAP menjelaskan tentang definisi dari putusan pengadilan yang tertuang dalam Pasal 1 angka 11 KUHAP yang berbunyi: “Putusan pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini”. KUHAP mengatur 2 (dua) macam putusan yaitu putusan sela diatur di dalam Pasal 156 ayat (1) KUHAP dan putusan akhir diatur di dalam Pasal 182 ayat (3) dan ayat (8) KUHAP. Kedua putusan tersebut dapat dibedakan sampai sejauh mana suatu perkara diperiksa oleh hakim. Apabila pemeriksaan sebelum memasuki pokok perkaranya maka putusan yang dijatuhkan disebut putusan sela. Apabila perkara diperiksa sampai selesai pokok perkaranya maka putusan yang dijatuhkan disebut putusan akhir. Putusan akhir baru dapat dijatuhkan hakim setelah dilakukan pembuktian, tuntutan pidana, pembelaan, replik dan duplik. Putusan dapat dijatuhkan pada hari itu juga, atau jika belum siap dengan putusan tersebut maka persidangan dapat ditunda pada waktu yang akan datang. Putusan akhir diatur di dalam Pasal 182 ayat (3) dan ayat (8) KUHAP. Adapun macam-macam putusan pengadilan yang bersifat materiil telah diatur dalam KUHAP antara lain28: a. Putusan bebas (vrijspraak) adalah putusan yang dijatuhkan oleh pengadilan apabila kesalahan atau perbuatan yang didakwakan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan dalam persidangan (Pasal 191 ayat (1) KUHAP); b. Putusan lepas dari segala tuntutan hukum adalah putusan yang dijatuhkan oleh pengadilan apabila perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu bukan merupakan perbuatan (Pasal 191 ayat (2) KUHAP); c. Putusan pemidanaan adalah putusan yang dijatuhkan oleh pengadilan apabila perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan (Pasal 193 ayat (1) KUHAP). 27 Putusan Mahkamah Agung Nomor 1885/K/Pid.Sus/2015 tanggal 12 Oktober 2015 28 Ansorie Sabuan, dkk, Hukum Acara Pidana, Bandung: Angkasa Bandung, 1990, hlm.197-199. 66 | Hakikat Putusan Pencabutan Hak Dipilih Terpidana Korupsi Politik Dalam Perspektif Hak Asasi Manusia Putusan pemidanaan inilah yang kemudian menjadi titik awal adanya sanksi nestapa berupa pidana pokok atau pun pidana tambahan berupa pencabutan pencabutan hak dipilih terhadap terpidana korupsi politik. III. PEMBAHASAN 3.1 Hakikat Pencabutan Hak Dipilih Terhadap Terpidana Korupsi Politik Dalam Perspektif HAM Di dalam proses penegakan hukum, ada tiga hal tujuan yang harus diperhatikan, yaitu kepastian hukum, kemanfaatan dan keadilan29. Tujuan hukum berupa keadilan memang menjadi isu sensitif yang sangat sering dibicarakan dalam penegakan hukum. M Yahya Harahap mengemukakan jika menegakkan hukum dan keadilan adalah mustahil. Terutama menyangkut dengan keadilan itu sendiri, karena keadilan adalah sesuatu nilai dan rasa yang bersifat nisbi atau relatif, apa yang dianggap adil bagi seseorang atau suatu kelompok, belum tentu dirasakan adil bagi orang lain atau kelompok tertentu, seolah- olah nilai dan rasa keadilan terbatas untuk suatu kelompok dalam suatu batas ruang dan waktu tertentu (for a particular people and particular time and place) 30. Saat ini penegakan hukum di Indonesia seolah-olah tersandera dengan dipaksa untuk memperhatikan dan bertitik tolak dari pandangan masing-masing orang yang berkepentingan. Dengan demikian pada setiap langkah penegakan hukum, aparat penegak hukum harus memperhatikan dan berdiri di atas kepentingan anggota masyarakat satu persatu. Penegakan hukum semacam ini sebenarnya sudah tidak dapat dibenarkan karena lebih mengutamakan kepentingan subjektifitas. Upaya penegakan hukum secara obyektif kadang kalah dengan isu publik yang dikemas dalam pemberitaan informasi yang negatif, sehingga kadang hukum harus dikorbankan demi untuk keadilan dan perikemanusiaan masing-masing orang yang berkepentingan. Begitupula dalam penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi politik, aparat penegak hukum dituntut untuk senantiasa menyandingkan antara kepastian hukum dengan keadilan. Praktik korupsi telah disepakati bersama sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crimes) dan kejahatan serius (seriousness crimes). Korupsi merupakan salah satu jenis kejahatan inkonvensional yang sangat berbahaya, yang dapat menyentuh berbagai kepentingan yang menyangkut hak asasi, ideologi, serta keuangan dan perekonomian negara yang sistematis dan sulit diberantas. Oleh karena tindak pidana korupsi telah menjadi kejahatan yang luar biasa, maka penanganan dan pemberantasannya harus juga dengan cara yang luar biasa. Selanjutnya seiring dengan perkambangan zaman maka modus dan perilaku korupsi pun semakin berkembang, tidak terkecuali korupsi yang melibatkan para pelaku politik, sehingga dari sinilah kemudian mulai dikenal ada istilah korupsi politik. Sebuah istilah yang secara terminologi bahasa saat ini cukup dikenal namun secara terminologi hukum belum diatur. 29 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, Yogyakarta: Liberty, 1986, hlm.130 30 M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Penyidikan dan Penuntutan (Edisi Kedua), Jakarta: Sinar Grafika, 2009, hlm.65 67 | LENTERA HUKUM TB. Massa Djafar menyatakan, pada masa demokratisasi, korupsi dan money politics adalah dua hal yang bertalian. Pada umumnya sumber untuk mendapatkan dukungan politik yang dibangun oleh para politisi diperoleh melalui hasil korupsi. Artinya jika kelak seorang politisi berhasil memperoleh posisi politik, ia akan melakukan korupsi untuk menggantikan biaya yang telah digunakan untuk mencapai tujuan politiknya31. Muhammad Yusuf menjelaskan jika korupsi di Indonesia terjadi secara sistematik dan meluas sehingga tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga telah melanggar hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas32. Keterkaitan antara politik, uang, dan korupsi, akan menjadi siklus kausalitas yang berkelanjutan. Praktik politik uang yang digunakan nantinya berpeluang besar terefleksi ke dalam tindak pidana korupsi politik. Tahapan motif korupsi yaitu corruption by need, corruption by greed, dan corruption by design berpeluang sekali terbentuk. Kepala daerah atau pun anggota legislatif terpilih yang mengeluarkan modal besar bukan tidak mungkin terbentuk mindset bagaimana mengembalikan modal tersebut, keadaan semacam ini memberikan peluang awal terciptanya motif korupsi tahap awal yaitu korupsi karena kebutuhan. Selanjutnya apabila korupsi telah menjadi kebiasaan yang nyaman dan mengenakkan maka mulailah muncul motif korupsi tahap lanjutan yaitu korupsi karena kerakusan atau keserakahan (corruption by greed). Titik puncaknya kebiasaan korupsi tersebut akhirnya memunculkan pola korupsi yang telah dirancang sedemikian rupa sehingga korupsi tersebut bukan lagi terlihat sebagai korupsi (corruption by design). Pada fase ini akan turut dilibatkan orang- orang yang ahli dibidangnya masing-masing untuk ikut serta mengatur korupsi tersebut, agar disamarkan atau bahkan dihilangkan jangan sampai terlihat seperti korupsi, disinilah kemudian terbentuk komunitas korupsi berjamaah. Keadaan semacam ini tentunya menjadi salah satu problem aparat penegak hukum dalam melaksanakan tugasnya. Saat ini memang korupsi politik masih bisa masuk dalam delik konvensional dalam undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi, akan tetapi hal tersebut sudah dirasa tidak relevan lagi mengingat adanya keadaan-keadaan khusus di dalam korupsi politik. Rakyat telah memberikan mandat kepercayaan kepada para pelaku politik untuk menjalankan tugasnya dalam ranah eksekutif seperti kepala daerah, atau pun dalam ranah legilslatif sebagai anggota dewan perwakilan rakyat di pusat atau di daerah, akan tetapi amanat tersebut telah dicederai dengan sebuah kejahatan yang dikenal dengan sebutan korupsi politik. Sudah selayaknya terminologi korupsi politik secara hukum diresmikan dengan menjadikannya sebagai delik khusus dalam undang-undang tindak pidana korupsi, baik sebagai delik yang memang benar-benar baru atau pun berupa klausul lanjutan sebagai delik yang dikualifisir atau diperberat karena keadaan tertentu yang menyertai perbuatan korupsi tersebut, sehingga nantinya kualifikasi korupsi politik benar-benar 31 TB. Massa Djafar, Krisis Politik dan Proposisi Demokratisasi: Perubahan Politik Orde Baru ke Reormasi, Jakarta: Bumi Aksara, 2015, hlm.191 32 Muhammad Yusuf, Perampasan Aset Tanpa Tuntutan Pidana: Solusi Pemberantasan Korupsi di Indonesia, Jakarta: Pustaka Juanda Tigalima, 2012, hlm.14 68 | Hakikat Putusan Pencabutan Hak Dipilih Terpidana Korupsi Politik Dalam Perspektif Hak Asasi Manusia telah teradopsi menjadi tindakan yang menurut sesuatu rumusan undang-undang telah dinyatakan sebagai tindakan khusus yang dapat dihukum. Menjadi relevan apabila hal tersebut juga untuk memenuhi asas “nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali, yang artinya tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa peraturan terlebih dahulu”33. Berdasarkan asas tersebut dapat dikatakan bahwa tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana jika tidak ditentukan terlebih dahulu dalam peraturan perundang-undangan. Apabila seseorang terbukti melakukan tindak pidana, kemudian pidana yang dijatuhkan telah mempunyai kekuatan hukum tetap, maka yang bersangkutan akan menjalani pidana. Adapun jenis pidana di dalam KUHP terdiri atas pidana pokok yang terdiri atas pidana mati, penjara, kurungan, denda, tutupan, sedangkan pidana tambahan terdiri atas pencabutan hak-hak tertentu, perampasan barang-barang tertentu, dan pengumuman putusan hakim. Adapun pencabutan hak-hak tertentu dalam pidana tambahan salah satunya adalah hak terpidana yang dengan putusan hakim dapat dicabut dalam hal hak memilih dan dipilih dalam pemilihan yang diadakan berdasarkan aturan-aturan umum34. Pidana tambahan dari KUHP tersebut dipertegas dalam UU Tipikor tentang pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu35 kepada para terpidana korupsi di Indonesia dengan cara mencabut hak memilih atau dipiihnya. Hak untuk dipilih merupakan bagian dari Hak Asasi Manusia, bukan hanya hak warga negara. Hal ini secara tegas diatur dalam Pasal 43 ayat (1) UURI No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yaitu “Setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”. Di dalam International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) yang telah diratifikasi melalui UU RI Nomor 12 Tahun 2005 telah disebutkan bahwa hak sipil dan politik antara lain Hak hidup, Hak bebas dari penyiksaan dan perlakuan tidak manusiawi, Hak bebas dari perbudakan dan kerja paksa, Hak atas kebebasan dan keamanan pribadi, Hak atas kebebasan bergerak dan berpindah, Hak atas pengakuan dan perlakuan yang sama dihadapan hukum, Hak untuk bebas berfikir, berkeyakinan dan beragama, Hak untuk bebas berpendapat dan berekspresi, Hak untuk berkumpul dan berserikat, dan Hak untuk turut serta dalam pemerintahan. Secara normatif kaku memang sekilas pencabutan hak dipilih terpidana korupsi politik melanggar HAM yaitu bertentangan dengan Hak Sipol terkhusus Hak untuk turut serta dalam pemerintahan, dan bertentangan juga dengan Pasal 43 ayat (1) UURI No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Namun demikian perlu dikaji lebih lanjut apakah hal tersebut merupakan sebuah bentuk intervensi negara yang diperbolehkan oleh undang-undang. 33 Moeljatno, Loc.Cit., hlm.23. 34 Pasal 35 ayat (1) ke-3 KUHP 35 Pasal 18 ayat (1) huruf d UU RI No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang RI No. 20 tahun 2001 Tentang Perubahan atas UU. No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi 69 | LENTERA HUKUM HAM dibedakan menjadi Non-Derogable rights dan Derogable rights. Pengertian Non- Derogable rights yaitu HAM yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun36. Di dalam konstitusi negara kita sudah diatur terkait kategori Non-Derogable rights yaitu Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun37. Sedangkan Derogable rights adalah hak-hak yang masih dapat dikurangi atau dibatasi pemenuhannya oleh negara dalam keadaan tertentu38, yaitu selain hak yang disebut dalam kategori non-derogable rights. Pencabutan hak dipilih terhadap terpidana korupsi politik merupakan pencabutan terhadap hak asasi politik (political rights) yang masuk kategori derogable rights yang telah diatur secara tegas dalam KUHP atau pun UU Tipikor, Putusan MK, sampai pada Putusan Hakim dalam sebuah pengadilan. Apabila dikaitkan dengan Teori HAM yaitu Positivisme Analitis dari John Austin terkait Teori Hukum Kehendak yang menyatakan bahwa Hukum adalah kehendak penguasa, dan Negara memberikan kekebalan (immunity) kepada individu sekaligus ketidakberdayaan yang sebanding, sehingga atas dasar itulah pada hakikatnya pencabutan hak dipilih terhadap terpidana korupsi politik tidak melanggar HAM. Namun demikian penulis berpendapat bahwa pencabutan hak dipilih terhadap terpidana korupsi politik haruslah dalam periode tertentu dengan disebutkan secara tegas durasi waktu sampai kapan pidana tambahan tersebut diberlakukan, sedangkan pencabutan hak dipilih terhadap terpidana korupsi politik secara permanen seperti yang dijatuhkan terhadap beberapa terpidana korupsi seperti Anas Urbaningrum Nomor putusan MA Nomor 1261.k/pidsus/2015, Joko Susilo tertanggal 14 Juni 2014 tidak sesuai dengan nilai-nilai HAM. Penulis bukannya tidak sejalan dengan semangat pemberantasan korupsi yang dipakai dalam sebuah putusan hakim dengan mencabut hak dipilih secara permanen, namun dalam hierarki peraturan perundang-undangan pun telah disebutkan bahwa putusan pidana tambahan berupa pencabutan hak dipilih menggunakan durasi waktu. Pasal 38 KUHP tegas mengatur bahwa pidana tambahan pencabutan hak tertentu berupa pencabutan hak dipilih dilakukan dalam periode tertentu yaitu dalam hal pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, lamanya pencabutan seumur hidup; dalam hal pidana penjara untuk waktu tertentu atau pidana kurungan, lamanya pencabutan paling sedikit dua tahun dan paling banyak lima tahun lebih lama dari pidana pokoknya; dan dalam hal pidana denda, lamanya pencabutan paling sedikit dua tahun dan paling banyak lima tahun, yang mana pencabutan hak tersebut mulai berlaku pada hari putusan hakim dapat dijalankan. 36 https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt4d5605606b42e/hak-privasi/ diakses terakhir pada tanggal 15-02-2015 pukul 10.40. WIB. 37 Pasal 28 I ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 38 Ibid. https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt4d5605606b42e/hak-privasi/ 70 | Hakikat Putusan Pencabutan Hak Dipilih Terpidana Korupsi Politik Dalam Perspektif Hak Asasi Manusia Putusan Mahkamah Konstitusi pun telah memberikan batasan yang sama terkait pidana tambahan berupa pencabutan hak dipilih dilakukan dalam periode tertentu yaitu dalam Putusan MK Nomor 4/PUUVII/2009 Tgl. 24 Maret 2009 yang intinya hukuman pencabutan hak politik itu dianggap konstitusional dengan batasan pencabutan hak hanya berlaku sampai lima tahun sejak terpidana selesai menjalankan hukumannya. Atas dasar demikian maka pencabutan hak dipilih secara permanen melalui putusan hakim dalam pengadilan dapat dikatakan sebagai Afirmatif action dalam fungsi negatif yang mana hakikat pencabutan hak dipilih merupakan pidana tambahan, yang sifatnya menambah pidana pokok yang dijatuhkan yang sifat dasarnya fakultatif, yaitu dapat dijatuhkan tetapi tidak harus, sehingga hal ini bertentangan dengan KUHP dan Putusan MK serta bertentangan dengan HAM terkhusus Hak Politik untuk turut serta dalam pemerintahan, dan bertentangan juga dengan Pasal 43 ayat (1) UURI No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. 3.2 Reformulasi Hukum Pencabutan Hak Dipilih Terhadap Terpidana Korupsi Politik Dalam Perspektif HAM Sebagai Ius Constituendum Upaya penegakan hukum terhadap korupsi politik memang harus dilakukan secara komprehensif dimulai dari hulu sampai hilir, tidak terkecuali dengan kepastian hukum terhadap pidana tambahan berupa pencabutan hak dipilih terhadap terpidana korupsi politik dalam perspektif HAM sebagai ius constituendum Filosofi perlunya reformulasi klausul pidana tambahan berupa pencabutan hak dipilih terhadap terpidana korupsi politik dalam perspektif HAM dapat diurai dengan berpijak pada sebuah teori sistem hukum sebagaimana dikemukakan oleh Lawrence M. Friedmen39 yang membagi sistem hukum menjadi tiga bagian yaitu: substansi hukum (legal substance), struktur hukum (legal structure), dan budaya hukum (legal culture). Subtansi hukum (legal substance) bisa dikatakan sebagai norma, aturan, dan perilaku nyata manusia yang berada pada sistem itu. Pemberantasan korupsi politik dan penegakan hukumnya harus sudah dibangun sejak peraturan perundang-undangan tersebut diformulasikan. Para pembuat peraturan perundang-undangan sejatinya jangan hanya terpaku pada norma hukum apa yang hendak dilarang atau dianjurkan, tetapi harus berpikir lebih jauh lagi sampai ke batas akibat apa yang dapat ditimbulkan dari substansi larangan atau pun anjuran norma hukum tersebut. Menyikapi hal tersebut sebuah ajaran Teori Relevansi yang dianut oleh Langemeyer dapat diaplikasikan dalam tahapan ini. Menurut Meljatno, pokok dalam teori relevansi yaitu pada waktu undang-undang menentukan rumusan delik, kelakuan- kelakuan yang manakah yang dibayangkan olehnya dapat menimbulkan akibat yang dilarang. Teori relevansi bukanlah lagi suatu teori mengenai hubungan kausal, tetapi 39 Lawrence M. Friedman, Sistem Hukum: Perspektif Ilmu Sosial (The Legal System: A Social Science Perspective), Bandung: Nusa Media, 2009, hlm. 33 71 | LENTERA HUKUM lebih mengenai penafsiran undang-undang, suatu teori mengenai interpretasi. Kelakuan yang relevan tadi harus menjadi conditio sine qua non dalam proses timbulnya akibat40. Berdasarkan uraian di atas, maka sebuah norma hukum yang dihasilkan akan jauh berkualitas karena dapat menjangkau sampai pada akibat selanjutnya dari pengaturan norma hukum tersebut. Norma hukum yang demikian tentunya dapat menjadi pijakan yang jelas dan tegas bagi komponen sistem hukum berikutnya yaitu struktur hukum (legal structure) dalam melaksanakan tugas penegakan hukumnya. Struktur hukum (legal structure), bisa dikatakan sebagai kerangka bentuk yang permanen dari sistem hukum yang menjaga proses tetap berada di dalam batas-batasnya, yang menentukan bisa atau tidaknya hukum itu dilaksanakan dengan baik. Wujud konkrit dari struktur hukum (legal structure) yang dengan mudah dapat kita lihat adalah 4 (empat) komponen dalam sistem peradilan pidana terpadu (integrated criminal justice system) terdiri atas Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, dan Pemasyarakatan, yang lebih spesifik secara personal terdiri dari Polisi, Jaksa, Hakim, dan Petugas Pemasyarakatan. Di dalam wadah sistem peradilan pidana terpadu inilah terlihat wujud interkoneksi antar personal dan lembaga penegak hukum pidana, sehingga diharapkan terangkai criminal justice process41 yang memenuhi rasa keadilan dalam masyarakat. Secara umum tata laksana para legal structure sudah termuat dalam ranah Hukum Acara. Meskipun dalam Hukum Acara dalam pelaksanaannya telah dilengkapi dengan berbagai peraturan yang berfungsi sebagai petunjuk lebih lanjut untuk penerapannya dalam praktik hukum, namun kenyataannya masih juga terjadi adanya sikap dan tingkah laku serta tindakan para pejabat atau petugas penegak hukum yang tidak sesuai bahkan bertentangan dengan jiwa dan semaangat yang terkandung dalam Hukum Acara tersebut42. Reformulasi klausul tegas tentang larangan pidana tambahan berupa pencabutan hak dipilih terhadap terpidana korupsi politik secara permanen diperlukan, agar dapat dijadikan pijakan sebagai dasar hukum yang kuat bagi para aparat penegak hukum untuk bertindak secara preventif atau pun represif. Hasil kerja dari struktur hukum yang berdasarkan atas substansi hukum inilah yang nantinya diharapkan membentuk pola pikir (mindset) para penegak hukum dan masyarakat dalam menjunjung tinggi nilai HAM namun tidak boleh juga menjadi tameng bagi para terpidana korupsi politik untuk tidak berlindung atas nama HAM. Budaya hukum merupakan keseluruhan sikap dari masyarakat, juga sebagai sistem nilai yang ada dalam masyarakat yang akan menentukan bagaimana seharusnya hukum itu berlaku 40 Moeljatno, Op.Cit, hlm.113 41 Criminal justice process adalah setiap tahap dari suatu putusan yang menghadapkan seorang tersangka ke dalam proses yang membawanya kepada ketentuan pidana baginya. Anwar, Y. & Adang, Sistem Peradilan Pidana: Konsep, Komponen, & Pelaksanaannya dalam Penegakan Hukum di Indonesia, Bandung: Widya Padjadjaran, 2011, hlm.36 42 H.M.A. Kuffal, Penerapan Kuhap dalam Praktik Hukum, Malang: UPT Penerbitan Universitas Muhammadiyah Malang, 2005, hlm. 7. Tanpa bermaksud mengubah makna namun hanya sebatas sebagai perluasan makna, maka penulisan kata-kata KUHAP dalam tulisan H.M.A. Kuffal tersebut oleh penulis diganti dengan kata-kata Hukum Acara.. 72 | Hakikat Putusan Pencabutan Hak Dipilih Terpidana Korupsi Politik Dalam Perspektif Hak Asasi Manusia dalam masyarakat yang bersangkutan. Budaya Hukum dapat dikatakan sebagai buah kerja dari substansi hukum dan struktur hukum. Jadi masyarakat akan menjadi sadar hukum dengan sendirinya. Budaya hukum masyarakat inilah nantinya sebagai titik masuk (entry point) untuk memerangi praktik korupsi politik dalam jangka panjang. Sesuatu hal yang dapat dipandang sebagai sesuatu yang lebih progresif dan humanis karena tidak sekedar menakut-nakuti dengan ancaman pasal per-pasal. Durasi waktu pencabutan hak dipilih harus benar-benar disebutkan dalam sebuah amar putusan hakim dalam pengadilan, baik seumur hidup, atau pun dalam masa waktu tertentu, serta tidak ada lagi pencabutan secara permanen yang justru melampaui pidana pokok dan melanggar sifat dari pidana tambahan itu sendiri, sehingga penegakan hukum yang berkeadilan sebagai sebuah impian yang dicita-citakan yang tidak melanggar HAM dapat terwujudkan. IV.PENUTUP Secara hakikat penjatuhan pidana tambahan berupa pencabutan hak dipilih dalam periode tertentu tidak melanggar HAM ditinjau dari status hak asasi politik tersebut merupakan derogable rights yang mana negara dapat melakukan intervensi berdasarkan teori positivisme, namun demikian terkait pencabutan hak dipilih secara permanen tidak sesuai dengan ketentuan sumber hukum lain dalam ini KUHP atau pun Putusan MK serta bertentangan dengan sifat dari pidana tambahan itu sendiri, sehingga bertentangan dengan HAM terkhusus Hak Sipol yaitu hak untuk turut serta dalam pemerintahan. Reformulasi terkait norma penjatuhan pidana tambahan berupa pencabutan hak dipilih yang menjunjung tinggi bilai HAM harus dilakukan secara komprehensif yang dimulai dari sisi substansi hukum (legal substance), sebagai dasar pijakan struktur hukum (legal structure) dalam menjalankan tugas penegakan hukum, yang akan melahirkan budaya hukum (legal culture) sehingga penegakan hukum yang berkeadilan sebagai sebuah impian yang dicita-citakan yang tidak melanggar HAM dapat terwujudkan. DAFTAR PUSTAKA Abdul Mukhtie Fajar, Hukum Konstitusi dan Mahkamah Konstitusi. Jakarta: Konstitusi Press, 2006. Andi hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: Rineka Cipta, 1994. Ansorie Sabuan, dkk, Hukum Acara Pidana, Bandung: Angkasa Bandung, 1990. Anwar, Y. & Adang, Sistem Peradilan Pidana: Konsep, Komponen, & Pelaksanaannya dalam Penegakan Hukum di Indonesia, Bandung: Widya Padjadjaran, 2011. Baharuddin Lopa, Al Qur’an dan Hak-Hak Asasi Manusia, Yogyakarta: Dana Bakti Prima Yasa, Yogyakarta, 1996. Bernard L. Tanya, Penegakan Hukum dalam Terang Etika, Yogyakarta: Genta Publising, 2001. 73 | LENTERA HUKUM Dede Rosyada, Pendidikan Kewarganegaraan Demokrasi, HAM, dan Masyarakat Madani, Jakarta: Puslit IAIN Syarif Hidayatullah, 2000. Djoko Prakoso, Kejahatan-Kejahatan yang Merugikan dan Membahayakan Negara, Jakarta: Bina Aksara, 1986. Esmi Warasih, Pranata Hukum: Sebuah Telaah Sosiologis, Semarang: PT Suryandaru Utama, 2005. H.M.A. Kuffal, Penerapan Kuhap dalam Praktik Hukum, Malang: UPT Penerbitan Universitas Muhammadiyah Malang, 2005. Harmein Hadiati Koeswadji, Korupsi di Indonesia Dari Delik Jabatan Ke Tindak Pidana Korupsi, Bandung: PT Citra Aditya Abadi, 1994. Hufron dan Hadi, S., Ilmu Negara Kontemporer Telaah Teoritis Asal Mula, Tujuan, dan Fungsi Negara, Negara Hukum dan Negara Demokrasi. Yogyakarta: Laksbang Grafika dan Kantor Advokatn”Hufron&Rubaie. Indriyanto Seno Adji, Overheidsbeleid & Asas “Materiele Wederrechtelijkheid” dalam Perspektif Tindak Pidana Korupsi di Indonesia, Surabaya: Universitas Surabaya, 2005. Komisi Pemberantasan Korupsi, Memahami Untuk Membasmi: Buku Panduan untuk Memahami Tindak Pidana Korupsi, Jakarta: Komisi Pemberantasan Korupsi, 2006. Lawrence M. Friedman, Sistem Hukum: Perspektif Ilmu Sosial (The Legal System: A Social Science Perspective), Bandung: Nusa Media, 2009. M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Penyidikan dan Penuntutan (Edisi Kedua), Jakarta: Sinar Grafika, 2009. Moeljatno, Asas Asas Hukum Pidana, Jakarta: Rineka Cipta, 2002. Muhammad Yusuf, Perampasan Aset Tanpa Tuntutan Pidana: Solusi Pemberantasan Korupsi di Indonesia, Jakarta: Pustaka Juanda Tigalima, 2012. Satjipto Raharjo, Masalah Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis, Bandung: Sinar Baru, 2005. Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, Yogyakarta: Liberty, 1986. Surojo Wignojodipuro, Pengantar Hukum Indonesia, Jakarta: Gunung Agung, 1982. TB. Massa Djafar, Krisis Politik dan Proposisi Demokratisasi: Perubahan Politik Orde Baru ke Reormasi, Jakarta: Bumi Aksara, 2015. Wirjono Prodjodikoro, Tindak-Tindak Pidana Tetentu Di Indonesia, Refika Aditama, Bandung, 2003. https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt4d5605606b42e/hak-privasi/ diakses terakhir pada tanggal 15-02-2015 pukul 10.40. WIB. https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt4d5605606b42e/hak-privasi/