Lentera Hukum, Volume 2 Issue 1 (2015), pp. 24-42 ISSN 2355-4673 (Print) 2621-3710 (Online) https://doi.org/10.19184/ ejlh.v2i1.13206 Published by the University of Jember, Indonesia Available online 06 April 2015 Pungutan Pemerintah Desa Terhadap Masyarakat Sebagai Penyelenggaraan Pemerintahan Desa Klaudio Halsi University of Jember, Indonesia klaudio.halsi@gmail.com Rizal Nugroho University of Jember, Indonesia rizalgarda@gmail.com Rosita Indrayati University of Jember, Indonesia rosita.indrayati@yahoo.com ABSTRACT The original income of the village is income derived from the business of the village, the result of the village's assets, self-help and community participation, mutual assistance, and other village income. All revenues originating from original village revenues, regional revenue, and regional retribution, ADD, financial assistance from provincial and district / municipal governments, both general and specific, and non-binding third-party donations or contributions other legitimate village revenues must be recorded in an orderly manner. Other Original Revenues The villages are among others derived from village levies. The levies in the village are levies on the use of village halls, levies on prospective villagers, and so on. In Article 25 paragraph (1) of Regulation of the Minister of Home Affairs of the Republic of Indonesia Number 113 of 2014 concerning Village, Finance Management explains that the Village Government is prohibited from levies as acceptance of villages other than those stipulated in village regulations. KEYWORDS: Village levies, Authority of the village, Village government. Copyright © 2015 by Author(s) This work is licensed under a Creative Commons Attribution-ShareAlike 4.0 International License. All writings published in this journal are personal views of the authors and do not represent the views of this journal and the author's affiliated institutions. \\ Submitted: December 05, 2014 Revised: January 20, 2015 Accepted: February 07, 2015 HOW TO CITE: Halsi, Klaudi., Rizal Nugroho, Rosita Indrayanti. “Pungutan Pemerintah Desa Terhadap Masyarakat Sebagai Penyelenggaraan Pemerintahan Desa” (2015) 2:1 Lentera Hukum 24-42 mailto:%20klaudio.halsi@gmail.com 25 | LENTERA HUKUM I. PENDAHULUAN Kewenangan merupakan hak legal secara penuh untuk bertindak mengatur dan mengelola rumah tangganya sendiri. Kewenangan adalah kekuatan formal perangkat Negara untuk mengambil keputusan yang bersifat mengikat dan memaksa terhadap warga. Kewenangan juga bisa dipahami sebagai instrument administratif untuk mengelola urusan.1 Dalam perspektif hukum publik, makna kewenangan dalam tiga dimensi pokok, yakni2 : Kewenangan adalah kemampuan yuridis dari orang atau badan hukum publik. Kewenangan dari badan hukum publik tidak hanya hak berdasarkan hukum publik, tetapi juga kewajiban berdasarkan hukum publik. Kewenangan berdasarkan hukum publik sebagai dasar tindakan badan yang terletak dalam hukum publik. Kewenangan desa secara substantif mengandung hal. Pertama, keleluasaan desa mengatur rumah tangga dan penduduk untuk menciptakan keteraturan dan kepastian. Kedua, fungsi desa mengurus atau mengelola barang-barang publik termasuk pelayan publik untuk kesejahteraan masyarakat desa. Ketiga, hak desa mengelola atau mengambil sumber daya ekonomi. Keempat, tanggung jawab atau akuntabilitas atas keputusan dalam mengatur dan mengurus desa.3 Kewenangan merupakan elemen penting sebagai hak yang dimiliki oleh sebuah desa untuk dapat mengatur rumah tangganya sendiri. Kewenangan tidak hanya semata-mata memperhatikan kekuasaan yang dimiliki oleh penguasa namun harus juga memperhatikan subjek yang menjalankan dan yang menerima kekuasaan. Kewenangan harus memperhatikan apakah kewenangan itu bisa diterima oleh subjek yang menjalankan atau tidak. Dalam pengelompokannya, kewenangan yang dimiliki desa meliputi: kewenangan dibidang penyelenggaraan pemerintahan desa, kewenangan dibidang pelaksanaan pembangunan desa, kewenangan dibidang pembinaan kemasyarakatan desa, dan kewenangan dibidang pemberdayaan masyarakat desa yang berdasarkan prakarsa masyarakat, atau yang berdasarkan hak asal usul dan yang berdasarkan adat istiadat desa.4 Ketentuan Pasal 19 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa disebutkan, desa mempunyai empat kewenangan, meliputi : kewenangan berdasarkan hak asal usul, kewenangan lokal berskala Desa, kewenangan yang ditugaskan oleh pemerintah, pemerintah daerah provinsi, atau pemerintah daerah kabupaten/kota, kewenangan lain yang ditugaskan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, atau Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. Pelaksanaan kewenangan berdasarkan hak asal-usul dan kewenangan lokal berskala desa diatur dan diurus oleh desa. Pelaksanaan kewenangan yang ditugaskan dan pelaksanaan tugas lain dari Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, atau Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota diurus oleh desa.5 Penugasan dari Pemerintah dan/atau daerah 1 Rahmah Yabbar dan Ardi Hamzah. 2016. Op. Cit. Hlm. 45. 2 Stroink. Ibid. Hlm. 45. 3 Ibid. Hlm. 45-46. 4 M Sillahudin. 2015. Kewenangan Desa dan Regulasi Desa. Jakarta: Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, Dan Transmigrasi Republik Indonesia. Hlm. 12. 5 Pasal 20 dan 21 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa 26 | Pungutan Pemerintah Desa Terhadap Masyarakat Sebagai Penyelenggaraan Pemerintahan Desa kepada desa meliputi penyelenggaraan pemerintahan desa, pelaksanaan pembangunan desa, pembinaan kemasyarakatan desa, dan pemberdayaan masyarakat desa. Penugasan tersebut disertai dengan biaya.6 Ketentuan PP No. 43 Tahun 2014 Pasal 90 menetapkan penyelenggaraan kewenangan desa berdasarkan asal usul dan kewenangan lokal berskala desa didanai oleh APBDesa. Penyelenggaraan kewenangan lokal berskala desa selain didanai oleh APBDesa, juga dapat didanai oleh APBN dan APBD. Penyelenggaraan kewenangan desa yang ditugaskan oleh pemerintah didanai oleh APBN yang dialokasikan pada bagian anggaran kementrian/lembaga dan disalurkan melalui satuan kerja perangkat daerah kabupaten/kota. Penyelenggaraan kewenangan desa yang ditugaskan oleh pemerintah daerah didanai oleh APBD. Pasal 2 Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pedoman Kewenangan Berdasarkan Hak Asal Usul dan Kewenangan Lokal Berskala Desa bahwa ruang lingkup kewenangan berdasarkan hak asal-usul desa meliputi : Sistem organisasi perangkat desa, Sistem organisasi masyarakat adat, Pembinaan kelembagaan masyarakat, Pembinaan lembaga dan hukum adat, Pengelolaan tanah kas desa, Pengelolaan tanah desa atau tanah hak milik desa menggunakan sebutan setempat, Pengelolaan tanah bengkok, Pengelolaan tanah pecatu, Pengelolaan tanah titisara, dan Pengembangan peran masyarakat desa. Kewenangan berdasarkan hak asal-usul desa tersebut tidak lagi sekadar menjadi bayangan akan tetapi menjadi nyata dengan adanya legitimasi desa dalam tata kelola pemerintahan, tata kelola masyarakat, dan tata kelola aset desa. Mengacu pada ruang lingkup kewenangan yang dimiliki tersebut, maka tantangan yang harus dilewati oleh desa adalah memastikan agar dengan seluruh kewenangan yang dimiliki tersebut desa bisa secara progresif membangun dan mensejahterakan masyarakat.7 Decentralization of power atau kekuasaan desentralisasi adalah memberikan wewenang kepada pemerintah Negara kepada pemerintah lokal untuk mengatur dan mengurus urusan tertentu sebagai urusan rumah tangganya sendiri. Delegation of authority atau kewenangan delegasi adalah pelimpahan kewenangan dari badan/lembaga/pejabat tata usaha negara yang diikuti konskuensi berupa pengalihan tanggung jawab dari yang melimpahkan beralih ke yang menerima kewenangan. Decentralization of power dan Delegation of authority dalam Undang- Undang Nomor 6 Tahun 2014 diperkuat dengan prinsip rekognisi. Artinya siapa pun dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia ini, termasuk pemerintah pusat, memberikan pengakuan terhadap seluruh kewenangan yang dimiliki desa. Konsekuensinya adalah jaminan politik anggaran desa menjadi bagian dari penganggaran nasional (APBN). Hal ini juga yang dimandatkan dalam Pasal 4 Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pedoman Kewenangan Berdasarkan Hak Asal Usul dan Kewenangan Lokal Berskala Desa, bahwa pemerintah, pemerintah provinsi, dan 6 Pasal 22 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa 7 Borni Kurniawan. 2016. Lebih Dekat Dengan Kewenangan Desa. Yogyakarta: Infest. Hlm. 9-10. 27 | LENTERA HUKUM pemerintah kabupaten/kota harus mengakui, menghormati, dan melindungi kewenangan berdasarkan hak asal usul.8 Selain memberikan jaminan adanya kewenangan berdasarkan hak asal-usul, negara juga memberikan jaminan adanya kewenangan lokal yang berskala desa. Hal ini diatur dalam Pasal 5 Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pedoman Kewenangan Berdasarkan Hak Asal Usul dan Kewenangan Lokal Berskala Desa, menyebutkan kriteria kewenangan lokal berskala desa sebagai berikut : Kewenangan yang mengutamakan kegiatan pelayanan dan pemberdayaan masyarakat, Kewenangan yang mempunyai lingkup pengaturan dan kegiatan hanya di dalam wilayah dan masyarakat Desa yang mempunyai dampak internal Desa, Kewenangan yang berkaitan dengan kebutuhan dan kepentingan sehari-hari masyarakat Desa, Kegiatan yang telah dijalankan oleh desa atas dasar prakarsa desa, Program kegiatan pemerintah, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota dan pihak ketiga yang telah diserahkan dan dikelola oleh desa, dan Kewenangan lokal berskala desa yang telah diatur dalam peraturan perundang- undangan tentang pembagian kewenangan pemerintah, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota. Kewenangan lokal berskala desa tersebut merupakan bentuk koreksi kritis terhadap perangai kebijakan pemerintah daerah yang selama ini menjadikan desa sebagai obyek pembangunan dan bukan sebagai subyek. Pengakuan kewenangan lokal berskala desa juga menjadi solusi alternatif dalam meretas persoalan terjadinya tumpang tindih program dan kebijakan antara pemerintah kabupaten, provinsi, dan pemerintah pusat tentang desa. Melalui kewenangan lokal berskala desa tersebut, pemerintah pusat memberikan peringatan kepada pemerintah daerah agar tidak lagi “menjadikan desa sebagai lokasi proyek” pembangunan. Perencanaan pembangunan yang dirancang oleh Satuan Kerja Pemerintah Daerah (SKPD) tidak boleh mengambil alih kewenangan desa, demikian pula sebaliknya, dalam merencanakan pembangunan, desa tidak boleh mengambil kewenangan yang seharusnya menjadi porsi pemerintah kabupaten atau provinsi.9 Ketentuan Pasal 8 Peraturan Menteri dalam Negeri Nomor 44 Tahun 2016 tentang Kewenangan Desa, Perincian kewenangan lokal berskala Desa paling sedikit terdiri atas: pengelolaan tambatan perahu, pengelolaan pasar Desa, pengelolaan tempat pemandian umum, pengelolaan jaringan irigasi, pengelolaan lingkungan permukiman masyarakat Desa, pembinaan kesehatan masyarakat dan pengelolaan pos pelayanan terpadu, pengembangan dan pembinaan sanggar seni dan belajar, pengelolaan perpustakaan Desa dan taman bacaan, pengelolaan embung Desa, pengelolaan air minum berskala Desa, dan pembuatan jalan Desa antarpermukiman ke wilayah pertanian. Selain kewenangan lokal berskala desa, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dapat melakukan identifikasi dan inventarisasi kewenangan lokal berskala Desa lainnya dengan mengikutsertakan Pemerintah Desa. Berdasarkan hasil identifikasi dan 8 Ibid. Hlm. 10. 9 Ibid. Hlm. 11-12. 28 | Pungutan Pemerintah Desa Terhadap Masyarakat Sebagai Penyelenggaraan Pemerintahan Desa inventarisasi kewenangan lokal berskala Desa Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota menetapkan kewenangan lokal berskala Desa lainnya dengan memperhatikan situasi, kondisi, dan kebutuhan. Kewenangan Desa berskala lokal diatur dan diurus oleh Desa. Ada sejumlah prinsip dasar dalam mengatur dan mengurus kewenangan lokal. Pertama, mengeluarkan dan menjalankan aturan main (peraturan), tentang apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan, sehingga mengikat kepada pihak-pihak yang berkepentingan. Misalnya desa menetapkan besaran jasa pelayanan air minum yang dikelola BUMDes atau desa menetapkan larangan truck besar masuk ke jalan kampung. Kedua, desa bertanggungjawab merencanakan, menganggarkan, dan menjalankan kegiatan pembangunan atau pelayanan, serta menyelesaikan masalah yang muncul. Sebagai contoh, karena Posyandu merupakan kewenangan lokal, maka desa bertanggungjawab melembagakan Posyandu ke dalam perencanaan desa, sekaligus menganggarkan untuk kebutuhan Posyandu, termasuk menyelesaikan masalah yang muncul. Ketiga, memutuskan dan menjalankan alokasi sumber daya (baik dana, peralatan maupun personil) dalam kegiatan pembangunan atau pelayanan, termasuk membagi sumberdaya kepada penerima manfaat. Sebagai contoh, desa memutuskan alokasi dana sekian rupiah dan menetapkan personil pengelola Posyandu. Contoh lain: desa memberikan beasiswa sekolah bagi anak-anak desa yang pintar (berprestasi) tetapi tidak mampu (miskin). Keempat, kewenangan desa lebih banyak berorientasi pada pelayanan dan pemberdayaan daripada kontrol, penguasaan dan izin. Kelima, cakupan pengaturan bersifat lokal di lingkup desa dan hanya untuk masyarakat setempat. Desa tidak berwenang mengeluarkan izin untuk warga maupun kepada pihak investor. Kewenangan mengeluarkan izin berada pada pemerintah supradesa. Keenam, desa tidak berwenang melakukan pungutan terhadap obyek yang telah dipungut atau obyek yang menjadi kewenangan kabupaten/kota. Desa berwenang melakukan pungutan atas obyek-obyek kewenangan desa seperti retribusi pasar desa, restribusi tambatan perahu, retribusi karamba ikan, retribusi pemandian umum, retribusi pelayanan air bersih, retribusi obyek wisata desa, dan lain-lain.10 Ketentuan Pasal 9 Peraturan Menteri dalam Negeri Nomor 44 Tahun 2016 tentang Kewenangan Desa, Kewenangan yang ditugaskan dari Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, atau Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota kepada Desa meliputi: penyelenggaraan Pemerintahan Desa, pelaksanaan Pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan Desa, dan pemberdayaan masyarakat Desa. Kewenangan penugasan sebagaimana dimaksud diurus oleh Desa sesuai ketentuan Peraturan Perundang- undangan. Ketentuan Pasal 12 Peraturan Menteri dalam Negeri Nomor 44 Tahun 2016 tentang Kewenangan Desa, Kewenangan yang ditugaskan dari Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, atau Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota kepada Desa, Kriteria kewenangan yang ditugaskan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, atau 10 Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Republik Indonesia. 2015. Tanya Jawab Seputar Undang-Undang Desa. Jakarta: Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Republik Indonesia. Hlm. 39-40. 29 | LENTERA HUKUM Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota santara lain: sesuai kebutuhan dan kemampuan sumber daya manusia di Desa, memperhatikan prinsip efisiensi dan peningkatan akuntabilitas, pelayanan publik bagi masyarakat, meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan Pemerintahan Desa, mendorong prakarsa dan partisipasi masyarakat, dan meningkatkan ketahanan sosial budaya masyarakat. Pengaturan dalam Pasal 13 Peraturan Menteri dalam Negeri Nomor 44 Tahun 2016 tentang Kewenangan Desa, Kriteria kewenangan lain yang ditugaskan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, atau Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota telah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan antara lain: urusan pemerintahan umum dan tugas pembantuan, sesuai dengan prinsip efisiensi, mempercepat penyelenggaraan pemerintahan, dan kepentingan nasional yang bersifat khusus dan strategis. Ketentuan Pasal 3 ayat (2) Permendagri Nomor 113 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Desa bahwa kepala desa adalah pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan desa dan mewakili pemerintah desa dalam kepemilikan kekayaan milik desa yang dipisahkan. Kepala desa sebagai pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan desa mempunyai kewenangan: menetapkan kebijakan tentang pelaksanaan APB Desa, menetapkan Pelaksana Teknis Pengelola Keuangan Desa (PTPKD), menetapkan petugas yang melakukan pemungutan penerimaan desa, menyetujui pengeluaran atas kegiatan yang ditetapkan dalam APBDesa, dan melakukan tindakan yang mengakibatkan pengeluaran atas beban APBDesa. Kepala Desa dalam melaksanakan pengelolaan keuangan desa, dibantu oleh Pelaksana Teknis Pengelola Keuangan Desa yang berasal dari unsur perangkat desa, terdiri dari: Sekretaris Desa, Kepala Seksi, dan Bendahara Desa. Pelaksana Teknis Pengelola Keuangan Desa ditetapkan dengan keputusan Kepala Desa. Pasal 5 ayat 2 Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 113 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Desa, Sekretaris desa bertindak selaku koordinator Pelaksana Teknis Pengelola Keuangan Desa yang memiliki tugas sebagai berikut: Menyusun dan melaksanakan kebijakan pengelolaan APBDesa, Menyusun rancangan peraturan desa tentang APBDesa, perubahan APBDesa dan pertanggungjawaban pelaksanaan APBDesa, Melakukan pengendalian terhadap pelaksanaan kegiatan yang telah ditetapkan dalam APBDesa, Menyusun pelaporan dan pertanggungjawaban pelaksanaan APBDesa, Melakukan verifikasi terhadap bukti-bukti penerimaan dan pengeluaran APBDesa. Pasal 6 ayat 2 Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 113 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Desa, Kepala seksi bertindak sebagai pelaksana kegiatan sesuai dengan bidangnya masing-masing. Kepala seksi mempunyai tugas: Menyusun rencana pelaksanaan kegiatan yang menjadi tanggung jawabnya, Melaksanakan kegiatan dan/atau bersama Lembaga Kemasyarakatan Desa yang telah ditetapkan dalam APB Desa, Melakukan tindakan pengeluaran yang menyebabkan atas beban anggaran belanja kegiatan, Mengendalikan pelaksanaan kegiatan, Melaporkan perkembangan pelaksanaan kegiatan kepada kepala desa, Menyiapkan dokumen anggaran atas beban pengeluaran pelaksanaan kegiatan. Bendahara dijabat oleh staf pada urusan keuangan. Bendahara mempunyai tugas: menerima, menyimpan, 30 | Pungutan Pemerintah Desa Terhadap Masyarakat Sebagai Penyelenggaraan Pemerintahan Desa menyetorkan/membayar, menatausahakan, dan mempertanggungjawabkan penerimaan pendapatan desa dan pengeluaran pendapatan desa dalam rangka pelaksanaan APBDesa. Pendapatan Desa meliputi semua penerimaan uang melalui rekening desa yang merupakan hak desa dalam 1 (satu) tahun anggaran yang tidak perlu dibayar kembali oleh desa. Berdasarkan pasal 72 ayat (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, pendapatan desa bersumber dari Pendapatan asli Desa terdiri atas hasil usaha (Badan Usaha Milik Desa dan tanah bengkok), hasil aset (tambatan perahu, pasar desa, tempat pemandian umum dan jaringan irigasi), swadaya dan partisipasi, gotong royong, dan lain-lain pendapatan asli Desa, Alokasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Anggaran bersumber dari APBN tersebut adalah anggaran yang diperuntukkan bagi desa dan desa adat yang ditransfer APBD Kabupaten/Kota yang digunakan untuk membiayai penyelenggaran pemerintahan, pembangunan, serta pemberdayaan masyarakat dan kemasyarakatan. Alokasi anggaran bersumber dari Belanja Pusat dengan mengefektifkan program yang berbasis desa secara merata dan berkeadilan. Besarnya alokasi anggaran yang peruntukkanya langsung ke desa ditentukan 10% (sepuluh perseratus) dari dan diluar dana transfer daerah (on top) secara bertahap, Bagian dari hasil pajak daerah dan retribusi daerah Kabupaten/Kota. Bagian hasil pajak daerah dan retribusi daerah Kabupaten/Kota paling sedikit 10% (sepuluh perseratus) dari pajak dan retribusi daerah, Alokasi Dana Desa yang merupakan bagian dari dana berimbangan yang diterima Kabupaten/Kota. Alokasi Dana Desa paling sedikit 10% (sepuluh perseratus) dari dana perimbangan yang diterima Kabupaten/Kota dalam APBD setelah dikurangi Dana Alokasi Khusus (DAK). Dana perimbangan adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialoksikan kepada daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi yang terdiri dari Dana Bagi Hasil (DBH), Dana Alokasi Umum (DAU), dan Dana Alokasi Khusus (DAK). Dana Bagi Hasil adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah berdasarkan angka prosentase untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Dana Alokasi Umum adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Dana Alokasi Khusus adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah tertentu dengan tujuan untuk membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan prioritas nasional, Bantuan keuangan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Provinsi dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten/Kota, Hibah dan sumbangan yang tidak mengikat dari pihak ketiga, dan Lain-lain pendapatan Desa yang sah. Lain-lain pendapatan Desa yang sah antara lain pendapatan sebagai hasil kerja sama dengan pihak ketiga. Pungutan desa dan bantuan perusahaan yang berlokasi didesa. Menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 113 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Desa Pasal 9 ayat (2) pendapatan desa dibagi menjadi 3 kelompok yaitu: pendapatan asli desa, transfer dan pendapatan lain-lain. Pendapatan asli 31 | LENTERA HUKUM desa adalah pungutan atau pendapatan yang dimasukan ke rekening desa. Pendapatan desa yang bersumber dari pemerintah (baik pusat maupun kabupaten) yaitu diperoleh melalui transfer antar rekening yaitu dari rekening kabupaten atau provinsi ke rekening kas desa. Sedangkan pendapatan lain-lain adalah pendapatan yang bersumber dari hibah dan sumbangan yang tidak mengikat dari pihak ketiga dan lain-lain pendapatan desa yang sah. Keseluruhan pendapatan desa akhirnya harus tercermin dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDesa). Sebagai daerah yang otonom, desa berhak mendapatkan sumber pendapatan.11 Sumber pendapatan desa terdiri atas pendapatan asli desa, bagi hasil pajak daerah dan retribusi daerah kabupaten/kota, bagian dari dana perimbangan keuangan pusat dan daerah yang diterima oleh kabupaten/kota, alokasi anggaran dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, bantuan keuangan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Provinsi dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten/Kota, serta hibah dan sumbangan yang tidak mengikat dari pihak ketiga.12 Sumber pendapatan desa tersebut merupakan kekayaan desa. Tentunya pengelolaan kekayaan milik desa harus dilaksanakan berlandaskan asas kepentingan umum, fungsional, kepastian hukum, keterbukaan, efisiensi, efektivitas, akuntabilitas, dan kepastian nilai ekonomi.13 Hal ini ditujukan agar pengelolaan kekayaan desa menjadi sarana mewujudkan pembangunan desa. Pendapatan Asli Desa antara lain diperoleh dari hasil pungutan desa. Pungutan yang ada di desa antara lain yaitu pungutan atas penggunaan balai desa, pungutan atas pembuatan surat-surat keterangan, pungutan atas calon penduduk desa, dan lain sebagainya. Pemerintah desa dilarang melakukan pungutan sebagai penerimaan desa selain yang ditetapkan dalam peraturan desa. Pelaksanaan Pungutan Desa dilakukan oleh Bendahara Desa dibantu dengan petugas pemungut. Seluruh pendapatan ini selanjutnya disetorkan oleh Bendahara Desa ke dalam Rekening Kas Desa. Setiap pencatatan penerimaan sumbangan harus disertai dengan bukti yang lengkap dan sah antara lain kuitansi penerimaan.14 Pendapatan desa yang bersifat Pendapatan Asli Desa berasal dari masyarakat dan lingkungan desa, sedangkan pendapatan transfer berasal dari pemerintah supra desa. Pihak yang terkait dalam proses penerimaan pendapatan adalah pemberi dana (Pemerintah Pusat/Provinsi/Kabupaten/Kota, Masyarakat, Pihak ketiga), Penerima Dana (Bendahara Desa/Pelaksana Kegiatan/Kepala Dusun) dan bank. Kelompok Pendapatan Asli Desa meliputi Hasil Usaha, Hasil Aset, Swadaya, Partisipasi dan Gotong Royong, dan Lain-Lain Pendapatan Asli Desa. Seluruh pendapatan yang diterima oleh Bendahara Desa harus disetorkan ke dalam Rekening Kas Desa. Pendapatan yang masuk katagori Hasil Usaha contohnya adalah pendapatan yang berasal dari Badan Usaha Milik Desa, pengelolaan pasar desa, dan pengelolaan kawasan wisata skala desa. Pencatatan penerimaan dari BUMDesa berupa penerimaan deviden 11 Pasal 67 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. 12 Penjelasan atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, 13 Pasal 77 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. 14 BPKP (Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan). 2015.Op. Cit. Hlm 68. 32 | Pungutan Pemerintah Desa Terhadap Masyarakat Sebagai Penyelenggaraan Pemerintahan Desa harus disertai dengan bukti antara lain berupa bukti transfer deviden, hasil RUPS, dan pengumuman laba BUMDesa. Sedangkan untuk pendapatan sewa disertai dengan bukti antara lain kuitansi penerimaan sewa. Pendapatan yang berasal dari Aset Desa antara lain tambatan perahu, pasar desa, tempat pemandian umum dan jaringan irigasi. Pendapatan dari hasil pemanfaatan aset umumnya adalah berupa Retribusi Desa.15 Retribusi Desa yaitu pungutan atas jasa pelayanan yang diberikan pemerintah desa kepada pengguna/penerima manfaat aset desa dimaksud. Ketentuan mengenai Retribusi Desa harus ditetapkan dalam Peraturan Desa, dan pelaksanaan penerimaan retribusinya dilakukan oleh Bendahara Desa atau petugas pemungut penerimaan desa yang telah ditetapkan oleh Kepala Desa. Seluruh pendapatan Retribusi Desa yang diterima oleh Bendahara Desa harus disetorkan ke dalam Rekening Kas Desa. Seluruh pendapatan yang diterima oleh Petugas Pemungut harus segera disetorkan kepada Bendahara Desa.16 Swadaya dan partisipasi adalah membangun dengan kekuatan sendiri yang melibatkan peran serta masyarakat dalam bentuk uang dan atau barang yang dinilai dengan uang. Gotong royong adalah membangun dengan kekuatan sendiri yang melibatkan peran serta masyarakat dalam bentuk jasa yang dinilai dengan uang. Pendapatan yang berasal dari Swadaya, partisipasi dan gotong royong contohnya adalah pekerjaan membangun dengan kekuatan sendiri yang melibatkan peran serta masyarakat berupa tenaga dan barang. Penerimaan dalam bentuk tenaga dan barang harus dikonversikan/dinilai dengan uang (rupiah).17 Pendapatan dari swadaya dan partisipasi masyarakat adalah sumbangan yang dikumpulkan dari masyarakat desa yang diserahkan langsung kepada pelaksana kegiatan atau dikoordinir dari lingkup kewilayahan terkecil yaitu tingkat Rukun Tetangga (RT) atau dusun kemudian dikumpulkan dan disetorkan ke Pelaksana Kegiatan.18 Terhadap pendapatan dari swadaya dan partisipasi masyarakat, dibuatkan bukti penerimaannya berupa kuitansi/tanda terima barang. Untuk penerimaan yang diberikan dalam bentuk tenaga dibuatkan daftar hadir atas orang-orang yang menyumbangkan tenaganya. Atas pemberian-pemberian baik material ataupun tenaga tersebut selanjutnya dikonversikan/diberi nilai rupiahnya dengan menggunakan harga pasar setempat atau berdasarkan rencana anggaran biaya yang telah dibuat sebelumnya. Atas bukti penerimaan atas swadaya dari masyarakat tersebut, baik yang berupa natura ataupun tenaga yang telah dirupiahkan, ditembuskan kepada Bendahara Desa untuk dicatat sebagai realisasi penerimaan swadaya yang akan dilaporkan dalam APBDesa.19 Pada Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa, pungutan desa memang tidak disebutkan secara komprehensif. Untuk melakukan pungutan harus 15 Ibid. Hlm 64. 16 Ibid. Hlm.64. 17 Ibid. Hlm.66. 18 Ibid. Hlm.66. 19 Ibid. Hlm.66. 33 | LENTERA HUKUM ada dasar hukum yang mengatur terlebih dahulu. Sesuai Pasal 69 ayat (4) Undang- Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa yakni berkaitan dengan perancangan/penyusunan peraturan desa. Berdasarkan pasal tersebut, Rancangan Peraturan Desa tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa, pungutan, tata ruang, dan organisasi Pemerintah Desa harus mendapatkan evaluasi dari Bupati/Walikota sebelum ditetapkan menjadi Peraturan Desa. Dengan demikian, Pemerintahan Desa dapat melakukan pungutan desa terhadap warga masyarakat desa tetapi harus ada Peraturan Desa yang mengatur terlebih dahulu. Apabila Pemerintahan Desa melakukan pungutan diluar peraturan desa maka pungutan tersebut adalah pungutan liar. Sesuai Pasal 25 ayat (1) Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 113 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Desa menjelaskan bahwa Pemerintah desa dilarang melakukan pungutan sebagai penerimaan desa selain yang ditetapkan dalam peraturan desa. Penyusunan Peraturan Desa merupakan hasil pembahasan dan kesepakatan Pemerintah Desa dan BPD dengan memperhatikan aspirasi dari masyarakat desa. desa. Perlu kehati-hatian dalam membuat Peraturan Desa tentang Pungutan Desa karena membebani masyarakat desa, selain itu perlu memperhatikan apakah ada Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten yang telah mengatur pungutan agar tidak terjadi pungutan ganda atau tidak dibenarkan adanya pungutan tambahan oleh Pemerintah Desa. Ketentuan Pasal 22 dan 23 Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pedoman Kewenangan Berdasarkan Hak Asal Usul dan Kewenangan Lokal Berskala Desa telah mengatur batas- batas pungutan desa. Desa berhak melakukan pungutan yang sesuai dengan kewenangan desa. Pungutan itu bukan dalam bentuk pajak yang memaksa, melainkan retribusi dan iuran atau sumbangan sukarela dari warga masyarakat maupun pihak ketiga. Desa dapat memungut retribusi pasar desa, retribusi tambatan perahu, retribusi kuburan, retribusi wisata desa, retribusi pemandian umum, retribusi pelayanan air bersih desa, dan lain-lain. Pungutan tidak boleh dilakukan dua kali atau lebih. Jika objek pajak maupun jasa pelayanan telah dipungut pajak atau retribusi oleh pemerintah daerah, maka desa tidak berwenang menarik pungutan ganda. Dengan demikian ada pembatas bahwa desa tidak berwenang menarik pajak dan tidak boleh melakukan pungutan terhadap jasa layanan administratif. Keduanya menjadi kewenangan pemerintah daerah. Desa mempunyai kewenangan untuk menarik retribusi terhadap jasa pelayanan yang benar-benar menjadi hak milik desa seperti retribusi pasar desa, sampah, tambatan perahu, rumah potong hewan milik desa, parkir di jalan desa, retribusi pemandian umum, retribusi wisata desa, uang sewa rumah toko. Objek yang boleh dipungut desa adalah aset barang milik yang sepenuhnya menjadi hak milik desa. Desa juga diperbolehkan melakukan penarikan iuran atau sumbangan kepada warga maupun pihak ketiga, tetapi bersifat sukarela dan tidak boleh memaksa. http://regulasidesa.blogspot.co.id/search/label/Peraturan%20Desa 34 | Pungutan Pemerintah Desa Terhadap Masyarakat Sebagai Penyelenggaraan Pemerintahan Desa II. AKIBAT HUKUM MELAKUKAN PUNGUTAN OLEH PEMERINTAH DESA YANG BERTENTANGAN DENGAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Pemerintahan Desa yang dimuat dalam Pasal 1 Angka 2 Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014 Tentang Desa, Pemerintahan Desa adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sedangkan penyelenggaraanya adalah Pemerintah Desa, yaitu Kepala Desa atau yang disebut dengan nama lain yang dibantu oleh perangkat Desa atau yang disebut dengan nama lain. Dimana, dalam penyelenggaraan pemerintahan Desa tersebut berdasarkan asas: kepastian hukum, tertib penyelenggaraan pemerintahan, tertib kepentingan umum, keterbukaan, proporsionalitas, profesionalitas, akuntabilitas, efektifitas dan efisiensi, kearifan lokal, keberagaman dan partisipatif.20 Penyelenggaraan pemerintahan desa akan lebih sesuai dengan peraturan perundang-undangan jika pelaksanaannya didasarkan kepada peraturan-peraturan, tetapi ditunjang pula dengan dasar hubungan pribadi, hubungan batin dan kepemimpinan. Tugas utama yang harus diemban pemerintahan desa adalah bagaimana menciptakan kehidupan demokratik, memberikan pelayanan publik yang baik, sehingga dapat membawa warganya pada kehidupan yang sejahtera, rasa tentram dan berkeadilan. Guna mewujudkan tugas tersebut, pemerintah desa dituntut untuk senantiasa melakukan perubahan yang konstruktif, apakah dari segi kepemimpinan maupun kinerja birokrasi yang berorientasi pada pelayanan yang berkualitas dan bermakna, sehingga kinerja pemerintahan desa benar-benar makin mengarah pada praktek penyelenggaran pemerintahan yang baik (good governance).21 Penyelenggaraan pemerintahan desa dilakukan oleh pemerintah desa. Secara normatif masyarakat desa dapat menyentuh langsung serta berpartisipasi dalam proses pemerintahan dan pembangunan di tingkat desa. Penyelenggaraan pemerintahan desa lebih mengedepankan pendekatan rekognisi, fasilitasi, dan emansipasi guna menjamin efektifitas penyelenggaraan pemerintahan desa. Pemerintah desa memberikan pengakuan (rekognisi) terhadap kelembagaan, partisipasi, dan proses-proses pemberdayaan yang sudah ada di masyarakat.22 Rekognisi dilakukan dengan cara mendayagunakan kelembagaan ataupun asosiasi kewargaan yang sudah ada untuk diakui dan didukung sebagai peningkatan pemenuhan pelayanan publik. “Emansipasi” dari bawah dan dari dalam, dengan mendorong desa untuk melibatkan masyarakat secara aktif dalam perencanaan dan penganggaran guna mewujudkan pelayanan publik yang berkualitas. Di samping itu, pemerintah desa memfasilitasi dan mengakomodasi kebutuhan masyarakat terutama dalam pelayanan dasar dan peningkatan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kewenangannya.23 Penyelenggaraan pemerintahan yang baik harus sejalan dengan asas pengaturan desa sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang 20 Moch. Solekhan. 2014. Op. Cit. Hlm. 51. 21 Moch. Solekhan. 2014. Op. Cit. Hlm. 49-50. 22 Joko Purnomo. 2016. Penyelenggaraan Pemerintahan Desa. Yogyakarta: Infest. Hlm. 7. 23 Ibid. Hlm. 7. 35 | LENTERA HUKUM Desa Pasal 24 antara lain kepastian hukum, tertib penyelenggaraan pemerintahan, tertib kepentingan umum, keterbukaan, proporsionalitas, profesionalitas, akuntabilitas, efektivitas dan efisiensi, kearifan lokal, keberagaman serta partisipasi.24 Dalam melaksanakan pembangunan desa, diutamakan nilai kebersamaan, kekeluargaan, dan kegotongroyongan guna mewujudkan perdamaian dan keadilan sosial. Secara garis besar penjelasan asas penyelenggaraan pemerintahan desa adalah sebagai berikut: Kepastian hukum adalah asas di dalam negara hukum yang mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan, dan keadilan dalam setiap kebijakan penyelenggaraan pemerintahan desa. Tertib penyelenggaraan pemerintahan adalah asas yang menjadi landasan keteraturan, keserasian, dan keseimbangan dalam pengendalian penyelenggaraan pemerintahan desa. Tertib kepentingan umum adalah asas yang mendahulukan kesejahteraan umum dengan cara yang aspiratif, akomodatif, dan selektif. Keterbukaan adalah asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang penyelenggaraan pemerintahan desa dengan tetap memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan. Proporsionalitas adalah asas yang mengutamakan keseimbangan antara hak dan kewajiban penyelenggaraan pemerintahan desa. Profesionalitas adalah asas yang mengutamakan keahlian berlandaskan kode etik dan ketentuan perundang-undangan. Akuntabilitas adalah asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir kegiatan penyelenggaraan pemerintahan desa harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat desa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Efektivitas adalah asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan yang dilaksanakan harus berhasil mencapai tujuan yang diinginkan masyarakat desa. Efisiensi adalah asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan yang dilaksanakan harus tepat sesuai dengan rencana dan tujuan. Kearifan lokal adalah asas yang menegaskan bahwa di dalam penetapan kebijakan harus memperhatikan kebutuhan dan kepentingan masyarakat desa. Keberagaman adalah penyelenggaraan pemerintahan desa yang tidak boleh mendiskriminasi kelompok dan masyarakat tertentu. Partisipatif adalah penyelenggaraan pemerintahan desa yang mengikutsertakan kelembagaan desa dan unsur masyarakat desa. Pemerintah desa terdiri atas kepala desa dan perangkat desa. Kepala desa dan perangkatnya bertugas menyelenggarakan pemerintahan desa, melaksanakan pembangunan desa, pembinaan kemasyarakatan desa dan pemberdayaan masyarakat desa guna peningkatan pemerataan dan keadilan dengan mengembangkan seluruh potensi yang dimiliki desa. Ketentuan Pasal 26 ayat (2) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, dalam melaksanakan tugas menyelenggarakan pemerintahan desa, melaksanakan pembangunan desa, pembinaan kemasyarakatan desa dan pemberdayaan masyarakat desa, Kepala Desa berwenang: memimpin penyelenggaraan Pemerintahan Desa, mengangkat dan memberhentikan perangkat Desa, memegang kekuasaan pengelolaan Keuangan dan Aset Desa, menetapkan Peraturan Desa, menetapkan 24 Ibid. Hlm. 11-12. 36 | Pungutan Pemerintah Desa Terhadap Masyarakat Sebagai Penyelenggaraan Pemerintahan Desa Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa, membina kehidupan masyarakat Desa, membina ketenteraman dan ketertiban masyarakat Desa, membina dan meningkatkan perekonomian Desa serta mengintegrasikannya agar mencapai perekonomian skala produktif untuk sebesar-besarnya kemakmuran masyarakat Desa, mengembangkan sumber pendapatan Desa, mengusulkan dan menerima pelimpahan sebagian kekayaan negara guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat Desa, mengembangkan kehidupan sosial budaya masyarakat Desa, memanfaatkan teknologi tepat guna, mengoordinasikan Pembangunan Desa secara partisipatif, mewakili Desa di dalam dan di luar pengadilan atau menunjuk kuasa hukum untuk mewakilinya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, dan melaksanakan wewenang lain yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Selain wewenang kepala desa, kepala desa sebagai pemimpin tertinggi dalam penyelenggaraan Pemerintahan Desa dalam menjalankan tugas-tugasnya memiliki hak yang sebagaimana telah diatur dalam Pasal 26 ayat (3) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, yaitu: mengusulkan struktur organisasi dan tata kerja Pemerintah Desa, mengajukan rancangan dan menetapkan Peraturan Desa, menerima penghasilan tetap setiap bulan, tunjangan, dan penerimaan lainnya yang sah, serta mendapat jaminan kesehatan, mendapatkan pelindungan hukum atas kebijakan yang dilaksanakan, dan memberikan mandat pelaksanaan tugas dan kewajiban lainnya kepada Perangkat Desa. Kepala Desa juga memiliki kewajiban di dalam penyelenggaraan Pemerintahan Desa sebagaimana diatur dalam Pasal 26 ayat (4) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, yaitu: memegang teguh dan mengamalkan Pancasila, melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta mempertahankan dan memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhinneka Tunggal Ika, meningkatkan kesejahteraan masyarakat Desa, memelihara ketenteraman dan ketertiban masyarakat Desa, menaati dan menegakkan peraturan perundang-undangan, melaksanakan kehidupan demokrasi dan berkeadilan gender, melaksanakan prinsip tata Pemerintahan Desa yang akuntabel, transparan, profesional, efektif dan efisien, bersih, serta bebas dari kolusi, korupsi, dan nepotisme, menjalin kerja sama dan koordinasi dengan seluruh pemangku kepentingan di Desa, menyelenggarakan administrasi Pemerintahan Desa yang baik, mengelola Keuangan dan Aset Desa, melaksanakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Desa, menyelesaikan perselisihan masyarakat di Desa, mengembangkan perekonomian masyarakat Desa, membina dan melestarikan nilai sosial budaya masyarakat Desa, memberdayakan masyarakat dan lembaga kemasyarakatan di Desa, mengembangkan potensi sumber daya alam dan melestarikan lingkungan hidup, dan memberikan informasi kepada masyarakat Desa. Dalam menjalankan hak, wewenang, dan kewajiban pimpinan Pemerintah desa, Kepala Desa : a) bertanggung jawab kepada pejabat yang berwenang mengangkat melalui Camat; dan b) memberikan keterangan pertanggungjawaban tersebut kepada lembaga musyawarah Desa.25 25 Ni’matul Huda. 2015. Op. Cit. Hlm. 166. 37 | LENTERA HUKUM Pengelolaan penyelenggaraan pemerintahan desa mencakup perencanaan pemerintahan, pengorganisasian atau kelembagaan pemerintahan, penggunaan sumber- sumber daya, pelaksanaan urusan rumah tangga pemerintahan dan urusan pemerintahan umum, serta pengawasan penyelenggaraan pemerintahan berdasarkan kewenangan dalam bidang pemerintahan desa. Pasal 8, Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pedoman Kewenangan Berdasarkan Hak Asal Usul dan Kewenangan Lokal Berskala Desa menyebutkan ada 21 kewenangan dalam bidang pemerintahan yang dimiliki oleh desa. Kewenangan lokal berskala desa di bidang pemerintahan desa meliputi: Penetapan dan penegasan batas desa, Pengembangan sistem administrasi dan informasi desa, Pengembangan tata ruang dan peta sosial desa, Pendataan dan pengklasifikasian tenaga kerja desa, Pendataan penduduk yang bekerja pada sektor pertanian dan sektor non pertanian, Pendataan penduduk menurut jumlah penduduk usia kerja, angkatan kerja, pencari kerja, dan tingkat partisipasi angkatan kerja, Pendataan penduduk berumur 15 tahun ke atas yang bekerja menurut lapangan pekerjaan jenis pekerjaan dan status pekerjaan, Pendataan penduduk yang bekerja di luar negeri, Penetapan organisasi pemerintah desa, Pembentukan Badan Permusyawaratan Desa, Penetapan perangkat desa, Penetapan BUM Desa, Penetapan APB Desa, Penetapan peraturan desa, Penetapan kerja sama antardesa, Pemberian izin penggunaan gedung pertemuan atau balai desa, Pendataan potensi desa, Pemberian izin hak pengelolaan atas tanah desa, Penetapan desa dalam keadaan darurat seperti kejadian bencana, konflik, rawan pangan, wabah penyakit, gangguan keamanan, dan kejadian luar biasa lainnya dalam skala desa, Pengelolaan arsip desa, Penetapan pos keamanan dan pos kesiapsiagaan lainnya sesuai dengan kebutuhan dan kondisi sosial masyarakat desa. Selain menjalankan kewenangan tersebut, pemerintah desa juga menjalankan tugas-tugas rutin pemerintahan di tingkat desa, yaitu pelayanan administrasi masyarakat desa (surat pengantar KTP, surat keterangan tidak mampu, surat lainnya). Kewenangan tersebut harus dikelola secara partisipatif, transparan, akuntabel, tertib dan disiplin dalam penyelenggaraan pemerintahan desa. Secara umum pengelolaan pemerintahan desa mencakup beberapa aspek sebagai berikut, antara lain 26 : Perencanaan pemerintahan desa, Pengorganisasian kelembagaan pemerintahan desa, Penggunaan sumber-sumber daya pemerintahan desa, dan Pengawasan penyelenggaraan pemerintahan desa. Dalam menyelenggarakan pemerintahan desa perlu adanya regulasi. Regulasi tersebut untuk mengatur agar pembangunan dan pengembangan desa berjalan sesuai dengan aturan yang ada serta membangun peran aktif masyarakat desa, baik sebagai peserta aktif maupun pengawas regulasi tersebut. Regulasi yang mengatur internal desa dilakukan dengan aturan yang mengatur desa, sedangkan regulasi yang mengatur hubungan antar desa baik antar Kecamatan maupun Kota/Kabupaten dilakukan dengan 26 Ibid. Hlm. 14-15. http://regulasidesa.blogspot.co.id/search/label/Peraturan%20Desa 38 | Pungutan Pemerintah Desa Terhadap Masyarakat Sebagai Penyelenggaraan Pemerintahan Desa membuat bersama antar desa. Regulasi tersebut tidak boleh bertentangan dengan peraturan diatasnya dan menggangu kepentingan umum.27 Akibat hukum memiliki makna bahwa suatu tindakan hukum yang timbul dari hubungan hukum oleh subjek hukum dimana hubungan hukum tersebut memberikan hak dan kewajiban yang telah ditentukan oleh undang-undang, sehingga apabila dilanggar akan berakibat bagi subyek hukum itu sendiri, bahwa subjek hukum yang melanggar dapat dituntut di muka persidangan. Pungutan desa yang dilakukan oleh pemerintah desa dalam penyelenggaraan pemerintahan desa apabila tidak ada dasar hukum yang mengatur pungutan tersebut maka akibat hukumnya pungutan tersebut dikategorikan sebagai pungutan liar. Apabila pungutan ada dasar hukumnya maka pungutan tersebut berakibat hukum kepada masyarakat yakni masyarakat memiliki kewajiban dalam membayar pungutan tersebut. Di Desa Kedungasri Kecamatan Tegaldlimo Kabupaten Banyuwangi misalnya, dalam melakukan pungutan desa, desa Kedungasri telah menetapkan Peraturan Desa Kedungasri Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pungutan Desa. Peraturan Desa ini dibuat untuk menjamin dan memberikan kepastian hukum serta untuk mewujudkan tertib administrasi pelaksanaan kegiatan pungutan desa. Ruang lingkup pungutan desa Kedungasri diatur dalam Pasal 2 Peraturan Desa Kedungasri Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pungutan Desa yaitu: Ruang lingkup pungutan desa meliputi pungutan swadaya dan partisipasi, dan pungutan administrasi desa. Pungutan swadaya dan partisipasi sebagaimana dimaksud meliputi segala pungutan baik berupa uang maupun barang oleh pemerintah desa terhadap masyarakat berdasarkan pertimbangan kemampuan sosial ekonomi masyarakat dalam rangka meningkatkan penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan. Pungutan administrasi desa sebagaimana dimaksud pada ayat meliputi semua jenis pelayanan administrasi surat menyurat yang diterbitkan oleh Pemerintah desa. Pelaksanaan pungutan desa Kedungasri diatur dalam Pasal 5 Peraturan Desa Kedungasri Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pungutan Desa sebagai berikut: Pelaksanaan pungutan swadaya dan partisipasi masyarakat dilakukan oleh petugas yang ditunjuk oleh Kepala Desa. Penunjukan petugas sebagaimana ditetapkan dalam Keputusan Kepala Desa. Petugas pemungut sebagaimana dimaksud melaksanakan tugasnya dengan berpedoman pada petunjuk pelaksanaan pungutan desa yang ditetapkan oleh Kepala Desa. Kepala Desa menetapkan petunjuk pelaksanaan pungutan desa sebagaimana dimaksud yang dituangkan dalam Peraturan Kepala Desa. Pengelolaan pungutan desa diataur dalam Pasal 6 Peraturan Desa Kedungasri Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pungutan Desa sebagai berikut: Pembayaran pungutan swadaya dan partisipasi, serta pungutan administrasi desa dilakukan secara tunai dan dan tidak boleh diangsur. Pembayaran pungutan swadaya dan partisipasi, serta pungutan administrasi desa sebagaimana dimaksud diberikan tanda bukti pembayaran yang dikeluarkan oleh Pemerintah Desa. Hasil pembayaran pungutan swadaya dan 27 Rahmah Yabbar dan Ardi Hamzah. 2016. Op. Cit. Hlm. 91. 39 | LENTERA HUKUM partisipasi, serta pungutan administrasi desa sebagaimana dimaksud pada seluruhnya disetor ke kas desa. Pemanfaatan pungutan desa diataur dalam Pasal 7 Peraturan Desa Kedungasri Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pungutan Desa sebagai berikut: Hasil pembayaran swadaya dan partisipasi masyarakat, serta pungutan retribusi desa sebagaimana dimaksud dimanfaatkan untuk meningkatkan penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan. Seluruh pendapatan dan pemanfaatan hasil pembayaran swadaya dan partisipasi masyarakat, serta pungutan retribusi desa sebagaimana dituangkan dalam Peraturan Desa tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa. Pungutan swadaya insidentil diataur dalam Pasal 8 Peraturan Desa Kedungasri Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pungutan Desa sebagai berikut: Pemerintah Desa, Masyarakat atau kelompok masyarakat desa dapat melakukan pungutan swadaya insidentil yang bersifat sukarela dan tidak mengikat untuk kepentingan pembangunan sarana dan prasarana umum atau untuk kegiatan tertentu yang bermanfaat bagi masyarakat. Pungutan swadaya insidentil sebagaimana dimaksud dapat dilakukan sampai dengan selesainya kegiatan atau pembangunan sarana dan prasarana umum. Pungutan swadaya insidentil yang dilakukan oleh Pemerintah Desa harus mendapat persetujuan BPD. Pungutan swadaya insidentil yang dilakukan oleh masyarakat atau kelompok masyarakat desa harus mendapat persetujuan Kepala Desa. Masyarakat atau kelompok masyarakat desa yang melakukan pungutan swadaya insidentil harus melaporkan kepada Kepala Desa terkait hasil dan pemanfaatan pungutan. Pemerintah Desa harus melaporkan kepada BPD terkait hasil dan pemanfaatan pungutan swadaya insidentil. Apabila dalam pratiknya kepala desa melanggar peraturan itu, terdapat sebuah sanksi baginya. Sanksi bagi kepala desa yang melakukan pelanggaran tersebut diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa Pasal 29 dan Pasal 30. Dalam Pasal 29 Kepala Desa dilarang Merugikan kepentingan umum. Membuat keputusan yang menguntungkan diri sendiri, anggota keluarga, pihak lain, dan/atau golongan tertentu. Menyalahgunakan wewenang, tugas, hak dan/atau kewajibannya. Melakukan tindakan diskriminatif terhadap warga dan/atau golongan masyarakat tertentu. Melakukan tindakan meresahkan sekelompok masyarakat desa. Melakukan kolusi, korupsi, dan nepotisme, menerima uang, barang, dan/atau jasa dari pihak lain yang dapat mempengaruhi keputusan atau tindakan yang dilakukannya. Menjadi pengurus partai politik. Menjadi anggota dan/atau pengurus organisasi terlarang. Merangkap jabatan sebagai ketua dan/atau anggota Badan Permusyawaratan Desa, anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi atau Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, dan jabatan lain yang ditentukan dalam peraturan perundang- undangan. Ikut serta dan/atau terlibat dalam kampanye pemilihan umum dan/atau pemilihan kepala daerah. Melanggar sumpah/janji jabatan, dan Meninggalkan tugas selama 30 (tiga puluh) hari kerja berturut-turut tanpa alasan yang jelas dan tidak dapat dipertanggungjawabkan. Sedangkan masalah sanksi yang diberikan diatur dalam Pasal 40 | Pungutan Pemerintah Desa Terhadap Masyarakat Sebagai Penyelenggaraan Pemerintahan Desa 30 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Kepala Desa yang melanggar larangan akan dikenai sanksi administratif berupa teguran lisan atau teguran tertulis. Apabila dalam hal sanksi administrasi tidak dilaksanakan, maka dilakukan tindakan pemberhentian sementara dan dapat dilanjutkan dengan pemberhentian. Ketentuan Pasal 40 ayat (2) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, Kepala Desa diberhentikan karena berakhir masa jabatannya, tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap secara berturut-turut selama 6 (enam) bulan, tidak lagi memenuhi syarat sebagai calon Kepala Desa, atau melanggar larangan sebagai Kepala Desa. Pasal 41 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, Kepala Desa diberhentikan sementara oleh Bupati/Walikota setelah dinyatakan sebagai terdakwa yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun berdasarkan register perkara di pengadilan. Pasal 42 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, Kepala Desa diberhentikan sementara oleh Bupati/Walikota setelah ditetapkan sebagai tersangka dalam tindak pidana korupsi, terorisme, makar, dan/atau tindak pidana terhadap keamanan Negara. III. PENUTUP Pemerintah Desa dapat melakukan pungutan desa. Untuk melakukan pungutan desa, harus ada dasar hukumnya berupa peraturan desa. Pemerintah desa dilarang menarik pungutan terhadap jasa layanan administrasi yang menjadi kewenangan pemerintah atau pemerintah kabupaten/kota. Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pedoman Kewenangan Berdasarkan Hak Asal Usul dan Kewenangan Lokal Berskala Desa Pasal 23 menyatakan bahwa Desa berwenang melakukan pungutan terhadap jasa usaha yang diberikan oleh desa sepanjang terkait dengan obyek-obyek tertentu yang menjadi kewenangan dan aset desa. Pemerintah desa tidak dapat begitu saja memungut dana dari masyarakat desa. Jika memang pemerintah desa menerima dana dari masyarakatnya, maka dinamakan swadaya dan partisipasi sebagai pendapatan asli desa. Pemerintah desa diperkenankan menerima pendapatan desa dari masyarakat, namun sifatnya adalah swadaya dan partisipasi. Desa dapat mengambangkan dan memperoleh bagi hasil dari usaha bersama antara pemerintah desa dengan masyarakat desa. Akibat hukum apabila Pemerintah Desa melakukan pungutan diluar peraturan perundang-undangan, maka akan dikenakan sanki administratif berupa teguran lisan atau teguran tertulis yang tercantum dalam Pasal 30 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Jika sanksi administrasi tidak dilaksanakan, maka dilakukan tindakan pemberhentian sementara dengan ancaman pidana 5 tahun penjara dan dapat dilanjutkan dengan pemberhentian. Berdasarkan pembahasan diatas, dapat diberikan saran Kewenangan Pemerintah Desa dalam melakukan pungutan desa perlu diperkuat dengan menambah substansi pada penjelasan di dalam Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa seperti larangan pungutan, jenis pungutan, pelaksanaan dan pengelolaan pungutan, akibat hukum, sebab kewenangan melakukan pungutan sangat terbatas mengingat kondisi dalam pengelolaan keuangan desa yang rawan terhadap pungutan liar. Pungutan desa http://regulasidesa.blogspot.co.id/search/label/Peraturan%20Desa 41 | LENTERA HUKUM harus menekankan pada kelompok dan wilayah yang lebih kaya. Dalam konteks pajak sering dikenal adanya pajak progresif. Kelompok dan wilayah yang miskin perlu memperoleh pelayanan khusus yang bisa memacu investasi. Pemerintah harus menghindari pungutan pada warga masyarakat yang sedang memberdayakan mereka sendiri, misalnya yang sudah mulai berbisnis atau yang akan bekerja. Dalam kondisi keuangan yang terbatas, pemerintah perlu menekankan kegiatan kerjasama daripada kegiatan yang dilakukan sendiri. Sebagai contoh, perhatian usaha kecil bisa dilakukan melalui kerjasama dengan pengusaha yang lebih besar atau lembaga perbankan. DAFTAR PUSTAKA Amirudin, dkk. 2014. Pengantar Metode Penelitian Hukum. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada. Bambang Sugono. 2013. Metodologi Penelitian Hukum. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada. Borni Kurniawan. 2016. Lebih Dekat Dengan Kewenangan Desa. Yogyakarta: Infest. BPKP (Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan). 2015. Petunjuk Pelaksanaan Bimbingan dan Konsultasi Keuangan Desa. Jakarta: Deputi Bidang Pengawasan Penyelenggaraan Keuangan Daerah. Chabib Soleh dan Heru Rochmansjah, 2014. Pengelolaan Keuangan Desa. Bandung: Fokusmedia. Drs. Bayu Surianingrat. 1992. Pemerintahan Administrasi Desa dan Kelurahan. Jakarta: Rineka Cipta. Drs. Moch. Solekhan, MAP. 2014. Penyelenggaraan Pemerintahan Desa Berbasis Partisipasi Masyarakat. Malang: Setara Press. Hanif Nurcholis. 2011. Pertumbuhan dan Penyelenggaraan Pemerintahan Desa. Jakarta: Erlangga. Joko Purnomo. 2016. Penyelenggaraan Pemerintahan Desa. Yogyakarta: Infest. Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Republik Indonesia. 2015. Tanya Jawab Seputar Undang-Undang Desa. Jakarta: Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Republik Indonesia. Ni’matul Huda. 2015. Hukum Pemerintahan Desa. Malang: Setara Press. M. Silahuddin. 2015. Kewenangan Desa dan Regulasi Desa. Jakarta: Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Republik Indonesia. Peter Mahmud Marzuki. 2016. Penelitian Hukum. Cetakanke-12. Jakarta: Prenadamedia Group. Rahmah Yabbar dan Ardi Hamzah. 2016. Tata Kelola Pemerintahan Desa. Surabaya: Penerbit Pustaka. Ridwan HR. Hukum Administrasi Negara. Jakarta: PT Raja Grafindo. 2007. Soejorno dan Abdurahman. 2003. Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Rineka Cipta. Universitas Jember. 2016. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah Universitas Jember. Jember. UPT Penerbitan Universitas Jember. 42 | Pungutan Pemerintah Desa Terhadap Masyarakat Sebagai Penyelenggaraan Pemerintahan Desa Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa. (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5495). Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 Tentang Peraturan Pelaksanaan Undang- Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa. (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 123, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5539). Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2016 tentang Kewenangan Desa. (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 1037) Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 113 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Desa. (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 2093)