Lentera Hukum, Volume 2 Issue 2 (2015), pp. 69-85 ISSN 2355-4673 (Print) 2621-3710 (Online) https://doi.org/10.19184/ ejlh.v2i2.20197 Published by the University of Jember, Indonesia Available online 21 July 2015 Kerja Sama Pemanfaatan Barang Milik Daerah Berupa Tanah Dalam Bentuk Perjanjian Bangun Guna Serah Elia Cahya Putri University of Jember, Indonesia eliacahyap95@gmail.com Iwan Rachmad Soetijono, University of Jember, Indonesia iwan.soetijono@unej.ac.id Nuzulia Kumala Sari Universitas Jember, Indonesia nuzuliakumala@yahoo.com ABSTRACT Build Operate and Transfer agreement is the utilization of state property in the form of land by another party by establishing a building and facilities, then utilized within a certain period which has been agreed, for after be handed back the land along with the building or facilities after the expiration of the term. This agreement comes as one of the new development patterns in terms of inviting the private sector to participate in national development and becoming a solution to problems in Indonesia in terms of land and funding. The method used in the writing of this essay is the method of writing normative juridical applying the rules of positive law, in the writing of this essay used several approaches are the approach of legislation, conceptual approach, and case approach. There are three principal in land law that have a role in the implementation of the Build Operate and transfer agreement, there are two ways of acquiring land management rights by investors in Build, Operate and Transfer Agreement, there are through a new concession or bankruptcy auction. KEYWORDS: Build Operate and Transfer Agreement. Copyright © 2015 by Author(s) This work is licensed under a Creative Commons Attribution-ShareAlike 4.0 International License. All writings published in this journal are personal views of the authors and do not represent the views of this journal and the author's affiliated institutions. Submitted: May 05, 2015 Revised: Juny 08, 2015 Accepted: Juny 28, 2015 HOW TO CITE: Cahya Putra, Elia, Iwan Rachmad Soetijono, Nuzulia Kumala Sari. “Kerja Sama Pemanfaatan Barang Milik Daerah Berupa Tanah Dalam Bentuk Perjanjian Bangun Guna Serah” (2015) 2:2 Lentera Hukum 69-85 mailto:iwan.soetijono@unej.ac.id 70 | Kerja Sama Pemanfaatan Barang Milik Daerah Berupa Tanah Dalam Bentuk Perjanjian Bangun Guna Serah I. PENDAHULUAN Menelaah unsur-unsur dari perjanjian BOT .baik dilihat dari kehendak para pihak untuk melakukan perjanjian, isi perjanjian, dan pelaksanaan BOT, menunjukan pelaksanaan perjanjian BOT dilandasi asas-asas yang telah ditentukan dalam UUPA dan asas keseimbangan perjanjian. Contohnya seperti penerapan salah satu asas dalam UUPA yaitu hak menguasai dari negara, atas tanah sebagai objek bangun guna serah. Pengertian “dikuasai” negara sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 33 Ayat (3) . UUPA tidak dijelaskan secara rinci dalam penjelasan, baik penjelasan umum maupun penjelasan pasal demi pasal. Hal ini memungkinkan hak menguasai negara itu ditafsirkan atas berbagai pemahaman, tergantung dari sudut pandan dan kepenting yang menafsirkan. Dan selanjutnya mengingat konsep BOT ini merupakan konsep yang sudah lama ditemukan namun baru saja diterapkan maka dirasa perlu ada pembahasan secara detail terkait status hukum yang melandasi tanah yang menjadi objek perjanjian bangun guna serah itu sendiri. Perjanjian bangun guna serah dalam konteks pengadaan proyek infrastruktur tidak lain adalah kontrak atau perjanjian antara pemilik proyek (pemerintah) dengan pihak lain sebagai operator atau pelaksana proyek. Namun disisi lain, mengingat objek perjanjian bangun guna serah adalah tanah, maka kajian lain yang tidak dapat diabaikan adalah mengenai bagaimana aturan-aturan dalam hukum pertanahan diimplementasikan dalam konsep perjanjian bangun guna serah. Meskipun objek perjanjian bangun guna serah adalah tanah, Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria pun sama seperti Buku III KUH Perdata tentang Perikatan, yaitu tidak secara tegas memberikan pengaturan tentang perjanjian bangun guna serah sendiri. Berbeda ketika seseorang mendapatkan pemanfaatan hak pengelolaan atas tanah yang dikuasai negara di antaranya dilandasi atas hak milik, hak guna bangunan, atau hak pakai. Kemudian, jika seseorang menguasai tanah negara atau tanah milik pihak ketiga untuk mendirikan bangunan, yang dikenal dengan Hak Guna Bangunan (HGB) sebagaimana diatur dalam Pasal 35 UUPA, atau hak untuk menggunakan dan/atau memungut hasil dari tanah yang langsung dikuasai langsung oleh negara atau tanah milik orang lain, yang dikenal dengan Hak Pakai sebagaimana diatur dalam Pasal 41 UUPA, serta hak untuk menjaminkan tanah pada pihak lain yang dikenal dengan Hak Tanggungan Atas Tanah sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah dan Benda-benda yang Berkaitan dengan Tanah. Dengan demikian, bukan berarti konsep pemanfaatan melalui peralihan hak dalam konsep bangun guna serah disini tidak sejalan dengan kaidah-kaidah atau asas- asas dalam hukum agraria. Asas sendiri adalah bukan merupakan peraturan hukum konkrit, melainkan merupakan pikiran dasar yang umum sifatnya atau merupakan latar belakang dan peraturan konkrit yang terdapat dalam dan di belakang setiap sistem hukum yang terjelma dalam peraturan yang konkrit yang terdapat dalam dan di belakang setiap sistem hukum yang terjelma dalam peraturan perundang-undangan dan putusan 71 | LENTERA HUKUM hakim yang merupakan hukum positif dan dapat diketemukan dengan mencari sifat- sifat umum dalam peraturan konkrit tersebut. Berangkat dari permasalahan tersebut dirasa perlu untuk adanya kajian secara mendalam terkait Asas-asas yang diimplementasikan dan memiliki peran dalam Perjanjian Bangun Guna Serah. Serta bagaimana perkembangan peraturan yang mengatur proses perolehan Hak Pengelolaan melalui Perjanjian Bangun Guna Serah serta implikasi dari perkembangan peraturan-peraturan tersebut. II. PENERAPAN ASAS-ASAS HUKUM AGRARIA DALAM KONSEP PERJANJIAN BANGUN GUNA SERAH Telaah unsur-unsur dari perjanjian Bangun Guna Serah, baik dilihat dari kehendak para pihak untuk melakukan perjanjian, isi perjanjian, dan pelaksanaan Bangun Guna Serah, menunjukan pelaksanaan Perjanjian ini dilandasi asas-asas yang telah ditentukan dalam UUPA. Adapun 3 asas utamanyang diterapkan dalam perjanjian Bangun Guna Serah adalah Asas tingkatan tertinggi bumi, air, ruang angkasa, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara, Asas pemisahan horisontal, Asas tata guna tanah. masih ada, maka hubungan itu tidak akanterputus oleh kekuasaan apapun. Untuk mencegah adanya berbagai penafsiran berkaitan dengan ketentuan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945, maka Pasal 2 ayat (2) undang- undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria telah memberikan tafsiran resmi kata "menguasai" bukanlah berarti dimiliki, akan tetapi adalah pengertian yang memberikan wewenang kepada Negara sebagai organisasi kekuasaan dari bangsa Indonesia itu, untuk pada tingkatan tertinggi: a. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air, dan ruang angkasa tersebut; b. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang- orang dengan bumi, air, dan ruang angkasa; c. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air, dan ruang angkasa. Frasa "Dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat” merupakan konsekuensi logis dari adanya istilah "dikuasai negara”.wewenangan untuk menguasai sumber daya agraria yang dimiliki oleh negara hanyalah dalam rangka mewujudkan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat demi tercapainya kesejahteraan sosial masyarakat indonesia yang menjadi tujuan negara. Jika tidak dalam rangka untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat, negara tidaklah mempunyai wewenangan menguasai sumber daya agraria yang menjadi milik bangsa idonesia berdasarkan hak bangsa yang terdapat dalam Pasal 1 UUPA. Berkaitan dengan hal tersebut, Bagir Manan pun berpendapat bahwa tidaklah cukup, jika terlalu menekankan ketentuan Pasal 33 ayat : Undang-Undang Dasar 1945 sebagai dasar bagi negara menguasai bumi, air, ruang angkasa, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. pemahaman ini dapat menyesatkan, karenanya pemahaman hak menguasai negara dapat bergeser daribeheersdaad menjadi eigensdaad, 72 | Kerja Sama Pemanfaatan Barang Milik Daerah Berupa Tanah Dalam Bentuk Perjanjian Bangun Guna Serah yang apabila dikuasai oleh negara lebih diartikan sebagai eigensdaad. Jika hal demikian terjadi, maka tidak akan ada jaminan bagi terwujudnya tujuan :‘dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.1 Keterkaitan antara kaidah "hak menguasai negara" dengan “sebesarnya-besarnya kemakmuran rakyat” akan menimbulkan kewajiban negara sebagai berikut: 1. Segala bentuk pemanfaatan bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya harus secara nyata dapat meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat. 2. Melindungi dan menjamin segala hak-hak yang terdapat di dalam dan di atas bumi, air, ruang angkasa, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, dapat dihasilkan secara langsung atau dinikmati langsung oleh rakyat. 3. Mencegah segala tindakan dari pihak manapun yang akan menyebabkan rakyat tidak mempunyai kesempatan atau akan kehilangan akses terhadap bumi, air, ruang angkasa, dan kekayaan iiam yang terkandung di dalamnya. Menurut Bagir Manan, ketiga aspek di atas, harus selalu menjadi arahan atau acuan dalam menentukan dan mengatur segala sesuatu yang berkaitan dengan bumi, air, ruang angkasa, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Hal ini menyangkut segala kegiatan dari hulu sampai ke hilir sebagai satu kesatuan, bukan sesuatu yang dapat dipilah- pilah. Tidak ada satu bagian yang terpisah dari pengertian "dikuasai negara" dan "dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”, bahkan semakin ke hilir kegiatan tersebut akan semakin menyentuh kepentingan rakyat banyak secara lebih nyata yang memerlukan jaminan dan perlindungan yang nyata pula. Merujuk pada pendapat Bagir Manan di atas, khusus berkaitan dengan masalah pemanfaatan tanah melalui konsep Bangun Guna Serah (Build Operate and Transfer/BOT), maka sifat hakikat hak menguasai negara atas tanah adalah bahwa dengan keterbatasan APBN/APBD, pemerintah dapat mengoptimalkan tanah dengan mengandeng pihak investor untuk menanamkan modalnya, sehingga secara nyata dapat mewujudkan peningkatan pertumbuhan perekonomian nasional yang mampu menyediakan kesempatan kerja dan penghidupan yang layak serta memberikan fondasi yang kokoh bagi pembangunan berkelanjutan, sehingga tujuan yang hendak dituju oleh penguasaan negara atas tanah untuk sebesar-besarnya kemakmuran masyarakat dapat diwujudkan. Selain asas-asas hak menguasai negara, berkaitan dengan hubungan antara tanah dengan segala sesuatu yang ada di atasnya dalam hukum tanah dikenal dua asas yang satu sama lain bertentangan yang disebut dengan asas pelekatan vertikal, dan asas pemisahan horisontal.2 Asas pelekatan vertikal yaitu asas yang mendasarkan pemilikan tanah dan segala benda yang melekat padanya sebagai suatu kesatuan yang tertancap menjadi satu sedangkan asas pemisahan horisontal justru memisahkan tanah dari segala benda uang melekat pada tanah tersebut. Asas pelekatan vertikal ini dianut oleh KUH 1 Bagir Manan, 1999. Beberapa catatan atas RUU tentang Migas.makalah Diskusi Panel RUU Migas.Bandung. hlm 1 2 Mahadi. 1989. Falsafah Hukum, Suatu Pengantar. PT.Citra Aditya Bakti. Bandung. hlm 114 73 | LENTERA HUKUM Perdata, sebagaimana diatur dalam Pasal 500, Pasal 506, dan Pasal 507 KUH Perdata : Membaca Pasal 500 KUH Perdata tersebut, maka terlihat bahwa di dalam KUH Perdata berdasarkan asas asesi, maka benda-benda yang melekat pada benda-benda pokok, secara yuridis harus dianggap sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari benda pokoknya. Lebih tegas lagi asas asesi tersebut dapat ditemukan dalam Pasal 506 dan Pasal 507 KUH Perdata, yaitu dalam perumusan benda tidak bergerak, dimana disebutkan bahwa; “ Pelekatan dari suatu benda bergerak yang tertancap dan terpaku pada benda tidak bergerak, secara yuridis harus dianggap benda tidak bergerak pula”. Pelekatan itu harus sedemikian rupa, sehingga apabila keduanya dipisahkan satu sama lain, maka akan menimbulkan kerusakan kepada salah satu atau kedua benda itu, tetapi apabila pemisahan itu tidak menimbulkan kerusakan pada benda-benda itu maka ketentuan tadi tidak berlaku. Pasal 500 KUH Perdata enyebutkan bahwa hubungan antara kedua benda itu harus terpaut sedemikian rupa seperti dahan dengan akarnya.3 Berdasarkan asas pemisahan horisontal, UUPA hanya mengatur tentang tanah saja, dan tidak mengatur benda bukan tanah yang melekat padanya. Berkaitan dengan itu, Sri Soedewi Masjchoen Sofwan mengatakan bahwa UUPA: “UUPA khusus mengatur tanah, dan tidak mengatur benda lain yang melekat pada tanah.4” Bahkan jika ditelaah lebih lanjut dengan melihat isi ketentuan UUPA sendiri dan semua peraturan pelaksanaannya, maka terlihat bahwa ketentuan-ketentuan tersebut hanya mengatur tanah saja dan tidak ada satupun dari peraturan UUPA tersebut yang mengatur hubungan tanah dengan benda lain yang melekar pada tanah. Sehubungan dengan itu dapat disimpulkan bahwa UUPA dan semua peraturan pelaksananya memang hanya mempunyai tujuan untuk mengatur tentang benda tanah saja. Hal ini dapat dipahami karena apabila UUPA menganut asas hukum adat, maka pengaturan tentang hukum tanahnya akan berlandaskan ketentuan hukum tanah ada yang hanya mengatur tentang tanah saja. Berkaitan dengan hal tersebut, Sri Soedewi Masjchoen Sofwan memberikan penegasan bahwa karena dalam UUPA berdasarkan atas hukum adat, maka dalam UUPA tidak terdapat ketentuan mengenai status bangunnan, atau rumah yang berdiri di atas tanah itu. Berdasarkan asas pemisahan horisontal tersebut memungkinkan pemilikan dan peralihan benda-benda di atas tanah itu terlepas dari tanahnya. Selanjutnya penerapan asas pemisahan horisontal dalam ketentuan UUPA dapat terlihat secara jelas pada ketentuan Pasal 35 tentang Hak Guna Bangunan, Pasal 28 tentang Hak Guna Usaha, Pasal41 tentang Hak Pakai, dan Pasal 44 tentang Hak Sewa untuk Bangunan. Di Dalam ketentuan-ketentuan tersebut, seseorang dapat mendirikan bangunan di atas tanah milik orang lain, sehingga pemilikan atas bangunan berbeda dengan pemilikan atas tanahnya. Negara lain yang mengenal asas pemisahan horisontal adalah Jepang, meskipun tidak dinyatakan secara tegas. Di dalam hukum Jepang, pemilihan atas tanah dan atas bangunan atau tanaman dapat terpisah, karena itu di Jepang rumah dan tanaman mempunyai identitas tersendiri dengan sertifikat tanahnya. 3 Kleyn, W,M., 1978. Compendium hukum Belanda. Yayasan kerja sama ilmu hukum Indonesia. Belanda. hlm 21-22 4 sri Soedewi Masjchoen Sofwan. 1980. Hukum jaminan di Indonesia.Liberty. yogyakarta. hlm 16-17 74 | Kerja Sama Pemanfaatan Barang Milik Daerah Berupa Tanah Dalam Bentuk Perjanjian Bangun Guna Serah Hal ini terlihat dalam ketentuan peraturan tentang tata cara pendaftaran bagi benda- benda yang tergolong dalam jenis benda-benda yang tergolong dalam jenis benda tetap (iimovables Registration Law). Di dalam tata cara pendaftaran benda tetap, pendaftaran atas tanah tidak meliputi benda yang melekat padanya, oleh karena itu di Jepang tanah dan bangunan didaftar secara terpisah, bahkan tanaman dapat menjadi benda terdaftar dan dilakukan pendaftaran terlepas dari bangunan yang berdiri di atasnya, demikian pula gedung atau bangunan karena memiliki identitas sendiri sehingga dapat dihipotek tanpa tanahnya, bahkan tanaman terdaftar dapat juga menjadi objek hipotek. Dalam penggunaan permukaan bumi di Jepang, terdsapat hak untuk menggunakan tanah milik orang lain, seperti menanaminya, hak untuk mengelola dan membangun di atas tanah milik orang lain, dan juga memperkenankan untuk penggunaan tanah milik orang lain sebagai jalan. Meskipun telah dapat disimpulkan melalui berbagai penafsiran dan penelaahan secara ilmiah oleh para teoritisi bahwa UUPA menganut asas pemisahan horisontal, tetapi belum dapat sepenuhnya diterima oleh para praktisi, sehingga masih banyak pihak yang meragukan tentang penerapan asas pemisahan horisontal dalam UUPA tersebut. Untuk menjawab keraguan tersebut maka salah satu aturan yang merupakan pengimpleentasian asas pemisahan horisontal dalam UUPA yaitu diundangkannya Undang-Undanga Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah dan Benda-benda Lain Yang Berkaitan Dengan Tanah, sebagai aturan yang mencabut ketentuan hipotek yang diatur dalam hukum barat. Asas yang terakhir yang melandasi Perjanjian Bangun Guna Serah adalah, asas tata guna tanah, untuk mencapai apa yang menjadi cita-cita bangsa dan negara indonesia dalam bidang agraria, perlu adanya suatu rencana mengenai peruntukan, penggunanaan, dan persediaan bumi, air, dan ruang angkasa untuk berbagai kepentingan hidup rakyat dan negaea, Rencana umum yang meliputi seluruh wilayah indonesia, kemudian diperinci menjadi rencana-rencana khusus dari tiap-tiap daerah. Dengan adanya Planning itu, maka penggunaan tanah dapat dilakukan secara terpimpin dan teratur hingga dapat membawa manfaat yang sebesar-besarnya bagi negara dan rakyat. Asas ini merupakan konsep yang baru dengan tujuan setiap jengkal tanah dipergunakan seefisien mungkin dengan memperlihatkan asasl Lestari, Optimal, Serasi, dan Seimbang untuk penggunaan tanah di pedesaan, sedangkan asas Aman, Tertib, Lancar, dan Sehat (ATLAS) untuk penggunaan tanah di perkotaan. Melalui asas ini, maka penguasaan negara ata bumi, air, dan sumber daya alam yang terkanding di dalamnya itu untuk melaksanakan kebijakan mengenai rencana penataan ruang. Adapun yang dimaksud dengan ruang adalah wadahh yang meliputi ruang daratan, ruang lautan, dan ruang udara sebagai satu kesatuan wiliyaha tempat manusia, dan mahkluk lainnya hidup dan melakukan kegiatan serta memelihara kelangsungan hidupnya. Adapun yang dimaksud dengan penataan ruang, menurut Pasal 1angka 3 Undang- Undang No.24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang yaitu sebagai berikut : ‘Proses perencanaan ruang pemanfaatan ruang dan pengendaloan pemanfaatan ruang:. Bedasarkan pengertian ini, maka dalam pelaksanaan penataan ruang itu tercakup tidak 75 | LENTERA HUKUM proses. Yaitu : (1) Perencanaan ruang; (2) Pemanfaatan ruang; dan (3) Pengendalian pemanfaatan ruang. Dengan demikian, tata guna tanah atau penggunaan tanah merupakan salah satu dari penataan ruang yang dapat dikatakan sebagai suatu sistem yang komponennya terdiri dari rencana tata ruang, manfaat ruang dan pengendalian manfaat ruang. Ketiga komponen dari sistem penataan ruang tersebut saling mempengaruhi antara suatu dengan yang lain dengan ditunjukkan melalui mekanisme kerja yang berupa proses penataan. Menurut Soeprapto, Asas-Asas dalam UUPA karena menjadi dasar, dengan sendirinya harus menjiwa pelaksanaan UUPA dan segenap peraturan pelaksanaanya.5 Dengan demikian, dalam pembuatan peraturan pelaksanaan UUPA harus menjiwai asas-asas yang dalam UUPA. Perjanjian bangun guna serah hadir sebagai salah satu alternatif dalam menjawab permasalahan di Indonesia yaitu keterbatasan sumber daya tanah dan kurangnya pendanaan dalam pembangunan infrastruktur. Perjanjian bangun guna serah sebaga salah satu pengembangan model-model atau pola-pola baru dalam rangka memperkuat infrastruktur melalui hubungan kemitraan. melalui hal tersebut terlihat jelas bahwa melalui perjanjian bangun guna serah ini pemerintah baik pemerintah pusat ataupun daerah berusaha untuk mewujudkan adanya suatu bentu perencanaan (planning)mengenai peruntukuan, penggunaan, dan persediaan bumi, air , dan ruang angkasa untuk berbagai kepentingan hidup rakyat dan negara. Rencana umum yang meliputi seluruh wilayah Indonesia, kemudian diperinci menjadi rencana- rencana daerah. Dengan seperti itu dapat dikatakan bahwa perjanjian Bangun Guna Serah dapat dilakukan secara terpimpin dan teratur hingga dapat membawa manfaat yang sebesar-besarnya bagi negara dan rakyat. III. PROSES PEROLEHAN HAK PENGELOLAAN DAN PEMANFAATAN BARANG MILIK NEGARA/DAERAH OLEH INVESTOR, SERTA IMPLIKASI HUKUM DARI PERALIHAN TERSEBUT Terdapat 2 cara perolehan hak pengelolaan dan pemanfaatan Barang Milik Negara/Daerah oleh investor yang dimana masing-masingnya menggunakan dasar hukum yang berbeda. Yang pertama melalui Konsesi baru dan yang kedua adalah melalui proses lelang kepailitan. Pada proses yang pertama atau pembuatan perjanjian/konsesi baru antara pemerintah disini merupakan bentuk proses yang umum dilaksanakan, dimana adanya kesepekatan antara pemerintah daerah dengan investor berupa badan hukum, untuk melaksanakan perjanjian Bangun Guna Serah, dan pada proses ini, hukum yang mengatur tentang proses perolehan hak beserta syarat-syaratnya seiring berjalannya waktu terus mengalami perubahan dan perkembangan. Istilah Bangun Guna Serah (Build Operate Transfer/ BOT) pertama kali ditemukan secara resmi dalam peraturan perundang-undangan positif Indonesia adalah pada Keputusan Menteri 5 Soeprajpto.1986. Undang-undang pokok agraria dalam praktek.Universitas Indonesia Press. jakarta.hlm 224 76 | Kerja Sama Pemanfaatan Barang Milik Daerah Berupa Tanah Dalam Bentuk Perjanjian Bangun Guna Serah Keuangan Nomor 248/KMK.04/1995 tanggal 2 Juni 1995 tentang Perlakuan Pajak Penghasilan terhadap Pihak-pihak yang Melakukan Kerjasama dalam Bentuk Perjanjian Bangun Guna Serah (Build Operate and Transfer). Pengaturan ini pada dasarnya lebih menitikberatkan pada pengaturan pajak penghasilan dan bukan mengenai prosedur atau pelaksanaan Perjanjian Bangun Guna Serah (Build Operate Transfer/ BOT Agreement). Selanjutnya diterbitkan juga beberapa peraturan lain di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan (dahulu Departemen Keuangan) yang mengadopsi istilah resmi Bangun Guna Serah (Build Operate Transfer/ BOT) yaitu diantaranya: 1. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-38/PJ.4/1995 tanggal 14 juli 1995 tentang Perlakuan Pajak Penghasilan atas Penghasilan sehubungan dengan Perjanjian Bangun Guna Serah (Seri PPh Umum Nomor 17) 2. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-04/PJ.33/1996 tanggal 26 Agustus 1996 tentang Pembayaran PPh atas Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan; 3. Surat Direktur Jenderal Pajak Nomor S-144/PJ.33/1996 tanggal 20 Agustus 1996 tentang Penjelasan mengenai Penyusutan Bangunan di atas Tanah Sewa dan Pemotongan PPh Pasal 23. Pada tahun 2001, Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah (saat ini dikenal dengan Menteri Dalam Negeri) menerbitkan Keputusan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah Nomor 11 Tahun 2001 tentang Pedoman Pengelolaan Barang Daerah. Keputusan ini tidak menggunakan istilah Bangun Guna Serah, tetapi menggunakan isitlah “pengguna usahaan” untuk merujuk pada pengertian yang sama. Angka 29 Keputusan Menteri tersebut menyatakan “Pemanfaatan adalah Pendayagunaan barang daerah oleh instansi atau pihak ketiga dalam bentuk pinjam pakai, penyewaan dan pengguna usahaan tanpa merubah status pemilikan.” . Lebih lanjut Pasal 36 Keputusan tersebut tentang Pengguna Usahaan menyatakan : “ Barang daerah yang diguna usahakan dalam bentuk kerjasama dengan Pihak Ketiga diatur oleh Kepala Daerah.” Ketentuan Pasal 36 ini merupakan pasal pengaturan yang sangat minim dan memberikan ruang yang seluas-luasnya kepada Kepala Daerah tanpa memberikan petunjuk lebih lanjut dalam mengadakan pengguna usahaan barang milik daerah. Pada saat berlakunya Keputusan Menteri ini, seluruh Kepala Daerah di seluruh Indonesia diberikan keleluasaan dalam mengadakan perjanjian Bangun Guna Serah (Build Operate Transfer/ BOT) dengan pihak lain. Hal ini tentu saja sangat rawan menimbulkan permasalahan-permasalahan baru dalam pengelolaan barang milik daerah karena: a) Tidak ada keseragaman dalam pelaksanaan Bangu Guna Serah di antara daerah- daerah di Indonesia, baik mengenai syarat, prosedur maupun tata laksananya; b) Ketidakseragaman tersebut menimbulkan tidak optimalnya pengawasan atas pelaksanaan Bangun guna Serah di seluruh dareah Indonesia; c) Rawan tindakan Korupsi, Kolusi dan Nepotisma karena memberikan kekuasaan dan kewenangan yang sangat luas kepada Kepala Daerah. 77 | LENTERA HUKUM Menyadari permasalahan-permasalahan yang timbul di lapangan dan sebagai peraturan pelaksana dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara maka pada tahun 2006 Pemerintah menerbitkan aturan baru yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah (selanjutnya disebut PP Nomor 6 Tahun 2006). Dibandingkan dengan peraturan-peraturan sebelumnya, pengaturan mengenai Bangun Guna Serah di dalam PP Nomor 6 Tahun 2006 ini telah mengalami perbaikan yang signifikan. Untuk pertama kalinya di dalam sejarah hukum positif Indonesia, PP Nomor 6 Tahun 2006 telah memberikan defenisi baku mengenai Bangun Guna Serah yaitu pada angka 12 yang menyatakan: “Bangun guna serah adalah pemanfaatan barang milik negara/daerah berupa tanah oleh pihak lain dengan cara mendirikan bangunan dan/atau sarana berikut fasilitasnya, kemudian didayagunakan oleh pihak lain tersebut dalam jangka waktu tertentu yang telah disepakati, untuk selanjutnya diserahkan kembali tanah beserta bangunan dan/atau sarana berikut fasilitasnya setelah berakhirnya jangka waktu”. PP nomor 6 Tahun 2006 ini juga telah menetapkan asas pengelolaan barang milik Negara/ daerah yaitu asas fungsional, kepastian hukum, transparansi dan keterbukaan, efisiensi, akuntabilitas, dan kepastian nilai. Pasal 13 menyatakan bahwa status penggunaan barang milik daerah ditetapkan oleh gubernur/bupati/walikota.Pasal yang mengatur mengenai landasan Bangun Guna Serah adalah Pasal 15 dan Pasal 20 yang menyatakan : Barang milik Negara/daerah dapat ditetapkan status penggunaannya untuk penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi kementerian Negara/lembaga/satuan kerja perangkat daerah, untuk dioperasikan oleh pohak lain dalam rangka menjalankan pelayanan umum sesuai tugas pokok dan fungsi kementerian Negara/lembaga/satuan kerja perangkat daerah yang bersangkutan. Bentuk-bentuka pemanfaatan barang milik Negara/daerah berupa: a. Sewa; b. Pinjam pakai; c. Kerjasama Pemanfaatan; d. Bangun guna serah dan bangun serah guna. Ketentuan pelaksanaan Bangun Serah khusus untuk barang milik daerah selanjutnya diatur dalam Pasal 27 sampai Pasal 31 yaitu sebagai berikut: a. Bangun Guna Serah dilaksanakan dengan persyaratan: 1) Pengguna barang memerlukan bangunan dan fasilitas bagi penyelenggaraan pemerintahan negara/daerah untuk kepentingan pelayanan umum dalam rangka penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi; dan 2) Tidak tersedia dana dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah untuk penyediaan bangunan dan fasilitas dimaksud. . b. Bangun Guna Serah barang milik daerah dilaksanakan oleh pengelola barang setelah mendapat persetujuan gubernur/bupati/walikota. c. Penetapan status penggunaan barang milik negara/daerah sebagai hasil dari pelaksanaan bangun guna serah dilaksanakan oleh gubernur/bupati/walikota dalam 78 | Kerja Sama Pemanfaatan Barang Milik Daerah Berupa Tanah Dalam Bentuk Perjanjian Bangun Guna Serah rangka penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi satuan kerja perangkat daerah terkait. d. Jangka waktu bangun guna serah paling lama tiga puluh tahun sejak perjanjian ditandatangani. e. Penetapan mitra bangun guna serah dilaksanakan melalui tender dengan mengikutsertakan sekurang-kurangnya lima peserta/ peminat. f. Mitra bangun guna serah yang telah ditetapkan, selama jangka waktu pengoperasian harus memenuhi kewajiban sebagai berikut: 1) Membayar kontribusi ke rekening kas umum daerah setiap tahun, yang besarannya ditetapkan berdasrakan hasil perhitungan tim yang dibentuk oleh pejabat yang berwenang; 2) Tidak menjaminkan, menggadaikan atau memindahtangankan objek bangun guna serah; 3) Memelihara objek bangun guna serah. g. Dalam jangka waktu pengoprasian, sebagian barang milik daerah hasil bangun guna serah harus dapat digunakan langsung untuk penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi pemerintah. h. Bangun guna serah dilaksanakan berdasarkan surat perjanjian yang sekurang- kurangnya memuat: 1) Pihak-pihak yang terikat dalam perjanjian; 2) Objek bangun guna serah: 3) Jangka waktu bangun guna serah; 4) Persyaratan lain yang dianggap perlu. i. Izin mendirikan bangunan hasil bangun guna serah harus diatasnamakan Pemerintah daerah. j. Semua biaya berkenaan dengan persiapan dan pelaksanaan bangun guna serah dan bangun serah guna tidak dapat dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. k. Mitra bangun guna serah barang milik daerah harus menyerahkan objek bangun guna serah kepada gubernur/bupati/walikota pada akhir jangka waktu pengoprerasian, setelah dilakukan audit oleh aparat pengawasan fungsional pemerintah. Seiring dengan perkembangan jaman, Pemerintah merasa bahwa terdapat ketentuan-ketentuan dalam PP Nomor 6 Tahun 2006 yang sudah tidak sesuai lagi dengan keadaan masyarakat saat itu sehingga Pemerintah mengadakan perubahan atas PP Nomor 6 Tahun 2006 tersebut melalui Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2008 tentang Perubahan Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negera/ Daerah (untuk selanjutnya disebut dengan PP Nomor 38 Tahun 2008). Tetapi khusus mengenai ketentuan-ketentuan terkait Bangun Guna Serah (Build Operate Transfer/ BOT), tidak terdapat ketentuan pasal yang mengalami perubahan dalam PP Nomor 38 Tahun 2008.Dengan demikian, ketentuan mengenai Bangun Guna 79 | LENTERA HUKUM Serah (Build Operate Transfer/ BOT) yang berlaku saat ini adalah ketentuan sebagaimana diatur PP Nomor 6 Tahun 2006. Sebagai aturan pelaksana dari PP Nomor 6 Tahun 2006 tersebut, Pemerintah menerbitkan Permendagri Nomor 17 Tahun 2007.Permendagri ini disusun dengan salah satu konsideran yaitu PP Nomor 6 Tahun 2006.Permendagri ini mencabut Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor152 Tahun 2004 tentang Pedoman Pengelolaan Barang Daerah.Permendagri ini berlaku sebagai pedoman pelaksanaan bagi pejabat/aparat pengelola barang milik daerah secara menyeluruh sehingga dapat dipakai sebagai acuan oleh semua pihak dalam rangka melaksanakan tertibadministrasi pengelolaan barang milik daerah. Pada bagian umum lampiran Permendagri ini disebutkan asas pengelolaan barang milik daerah yaitu sebagai berikut: a. Azas Fungsional, yaitu pengambilan keputusan dan pemecahan masalah dibidang pengelolaan barang milik daerah yang dilaksanakan oleh kuasa pengguna barang, pengguna barang , pengelola barang dan Kepala Daerah sesua fungsi, wewenag dan tanggungjawab masing-masing; b. Azas kepastian hukum, yaitu pengelolaan barang milik daerah harus dilaksanakan berdasarkan hukum dan peraturan perundang-undangan; c. Azas transparansi, yaitu penyelenggaraan pengelolaan barang milik daerah harus transparan terhadap hak masyarakat dalam memperoleh informasi yang benar; d. Azaz Efisiensi, yaitu pengelolaan barang milik daerah diarahkan agar barang milik daerah digunaakan sesua batasan-batasan standar kebutuhan yang diperlukan dalam rangka menunjang penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi pemerintahan secara optimal; e. Azas akuntabilitas, yaitu setiap kegiatan pengelolaan barang milik daerah harus dapat dipertanggungjawabkan kepada rakyat; f. Azas kepastian nilai, yaitu pengelolaan barang milik daerah harus didukung oleh adanya ketetapan jumlah dan nilai barang dalam rangka optimalisasi pemanfaatan dan pemindahtanganan barang milik daerah serta penyusunan neraca Pemerintah Daerah. Azas-azas ini harus diterapkan dan dijewantahkan secara konsisten dalam pengelolaan Barang Milik Daerah sehingga tujuan penyusunan Permendagri Nomor 17 Tahun 2007 ini dapat tercapai yaitu sebagai pedoman pelaksanaan bagi pejabat/aparat pengelola barang milik daerah secara menyeluruh sehingga dapat dipakai sebagai acuan oleh seua pihak dalam rangka melaksanakan tertib administrasi pengelolaan barang milik daerah.Permendagri ini disusun dengan maksud menyeragamkan langkah dan tindakan yang diperlukan dalam pengelolaan barang daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.6 Pengaturan mengenai prinsip Bangun Guna Serah (Build Operate Transfer/ BOT) dalam Permendagri Nomor 17 Tahun 2007 ini pada dasarnya sejalan dan sama dengan pengaturan dalam PP Nomor 6 Tahun 2006. Hanya saja, Permendagri ini 6 Angka 2 bagian umum lampiran Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 17 Tahun 2007 tanggal 21 maret 2007 Tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Barang Milik Daerah. 80 | Kerja Sama Pemanfaatan Barang Milik Daerah Berupa Tanah Dalam Bentuk Perjanjian Bangun Guna Serah memberikan pengaturan yang lebih rinci dibandingkan PP Nomor 6 Tahun 2006. Salah satunya adalah mengenai defenisi Bangun Guna Serah (Build Operate Transfer/BOT) yaitu sebagai berikut: Bangun Guna Serah yang selanjutnya disingkat BGS adalah pemanfaatan tanah dan/atau bangunan milik Pemerintah Daerah oleh Pihak Ketiga membangun bangunan siap pakai dan/atau menyediakan, menambah sarana lain berikut fasilitas diatas tanah tanah dan/atau bangunan tersebut dan mendayagunakannya selama kurun waktu tertentu untuk kemudian setelah jangka waktu berakhir menyerahkan kembali tanah dan bangunan dan/atau sarana lain berikut fasilitasnya tersebut kepada Pemerintah Daerah. Beberapa penambahan ketentuan mengenai Bangun Guna Serah (Build Operate Transfer/BOT) dalam Permendagri Nomor 17 Tahun 2007 ini adalah sebagaimana dinyatakan dalam Lampiran VII bagian Pemanfaatan, yaitu sebagai berikut : a. Penetapan mitra kerjasama Bangun Guna Serah dilaksanakan melalui tender/lelang dengan mengikut sertakan sekurang-kurangnya 5 peserta/ peminat, apabila diumumkan 2 kali berturut-turut peminatnya kurang dari 5, dapat dilakukan proses pemilihan langsung atau penunjukan langsung melalui negosiasi baik teknis maupun harga. b. Dasar pertimbangan bangun guna serah atas barang milik daerah yaitu : 1) Barang milik daerah belum dimanfaatkan; 2) Mengoptimalisasikan baranng milik daerah; 3) Dalam rangka efisiensi dan efektifitas; 4) Menambah/ meningkatkan pendapatan daerah;dan 5) Menunjang program pembangunan dan kemasyarakatan Pemerintah Daerah. c. Persyaratan pelaksanaan Bangun Guna Serah : 1) Gedung yang dibangun berikut fasilitas harus sesuai dengan kebutuhan Pemerintah Daerah sesuai dengan tugas dan fungsi. 2) Pemerintah Daerah memiliki tanah yang belum dimanfaatkan. 3) Dana untuk pembangunan berikut penyelesaian fasilitasnya tidak membebani APBD. 4) Bangun hasil guna serah harus dapat dimanfaatkan secara langsung oleh Pihak Ketiga. 5) Mitra bangun guna serah harus mempunyai kemampuan dan keahlian. 6) Obyek Bangun Guna Serah berupa sertifikat tanah hak pengelolaan (HPL) milik Pemerintah Daerah tidak boleh dijaminkan, digadaikan dan pemindahtangankan. 7) Pihak Ketiga akan memperoleh Hak Guna Bangunan diatas HPL milik Pemerintah Daerah. 8) Hak Guna Bangunan diatas HPL milik Pemerintah Daerah dapat dijadikan jaminan, digunakan dengan dibebani hak tanggungan dan hak tanggungan dimaksud akan hapus dengan habisnya hak guna bangunan. 9) Izin mendirikan bangunan atas nama Pemerintah Daerah. 81 | LENTERA HUKUM 10) Obyek pemeliharaan meliputi tanah beserta bangunan dan/atau sarana beriktu fasilitasnya. 11) Mitra kerja bangun guna serah membayar kontribusi ke kas daerah setiap tahun selama jangka waktu pengoprasian. 12) Besaran kontribusi ditetapkan berdasarkan hasil perhitungan Tim yang dibentuk dengan keputusan kepada Daerah dengan memperhatikan antara lain a. Nilai aset berupa tanah milik pemerintah daerah sebagai obyek bangun guna serah ditetapkan sesuai NJOP dan harga pasaran umum setempat dibagi dua, dan apabila dalam satu lokasi terdapat nilai NJOP dan harga pasaran umum setempat yang berbeda, dilakukan penjumlahan dan dibagi sesuai jumlah yang ada. b. Apabila pemanfaatan tanah tidak merubah status penggunaan/ pemanfaatan (fungsi), dimana pola bangun guna serah dilakukan pembangunannya dibawah permukaan tanah, maka nilai tanahnya diperhitungkan separuh (50 %) dari nilai sebagaimana dimaksud huruf (a). c. Peruntukan bangun guna serah untuk kepentingan umum dan atau kepentingan perekonomian/ perdagangan. d. Besaran nilai investasi yang diperukan/disediakan pihak ketiga e. Dampak terhadap penyerapan tenaga kerja dan peningkatan PAD. 13) Selama masa pengoperasian, tanah dan/atau bangunan tetap mili pemerintah daerah. 14) Penggunaan tanah yang dibangun harus sesuai dengan rencana umum tata ruang wilayah/kota. 15) Jangka waktu pengguna-usahaan paling lama 30 (tiga puluh) tahun sejak dimulai masa pengoperasian 16) Biaya penelitian, pengkajian, penaksir dan pengumuman lelang, dibebankan pada anggaran pendapatan dan belanja daerah. 17) Pelaksanaan penelitian, pengkajian dilaksanakan oleh tim yang ditetapkan dengan sk kepala daerah dan dapat bekerjasama dengan pihak ketiga. 18) Biaya yang berkenaan dengan persiapan dan pelaksanaan penyusunan surat perjanjian, konsultan pelaksana/pengawas, dibebankan pada Pihak Ketiga. d. Prosedur cara pelaksanaan Bangun Guna Serah, permohonan penggunausahaan ditujukan kepada Panitia tender/lelang dengan dilengkapi data-data sebagai berikut: a. Akta pendirian; b. Memiliki siup sesuai bidangnya; c. Telah melakukan kegiatan usaha sesuai bidangnya; d. Mengajukan proposal; e. Memiliki keahlian dibidangnya; f. Memiliki modal kerja yang cukup g. Data teknis berupa : i. Tanah : Lokasi/alamat, luas, status, penggunaan saat ini. ii. Bangunan : Lokasi/alamat, luas, status kepemilikan. 82 | Kerja Sama Pemanfaatan Barang Milik Daerah Berupa Tanah Dalam Bentuk Perjanjian Bangun Guna Serah iii. Rencana Pembangunan gedung dengan memperhatikan KDB, KLB, Rencana Pembangunan. e. Pelaksanaan bangun guna serah atas barang milik daerah ditetapkan dalam surat perjanjian yang memuat antara lain : a) Pihak-pihak-pihak yang terikat dalam perjanjian; b) Obyek bangun guna serah c) Jangka waktu bangun guna serah d) Pokok-pokok mengenai bangun guna serah e) Data barang milik daerah yang menjadi objek bangun guna serah f) Hak dan kewajibwan para pihak yang terikat dalam perjanjian g) Jumlah kontribusi yang harus dibayar oleh pihak ketiga h) Sanksi i) Surat perjanjian ditandatangani oleh pengelola atas nama kepala daerah dan mira kerjasama j) Persyaratan lain yang dianggap perlu f. Penyerahan kembali bangunan beserta fasilitas kepada Pemerintah Daerah yang bersangkutan dilaksanakan setelah masa pengoprasian yang dijanjikan berakhir yang dituangkan dalam bentuk Berita Acara. Berdasarkan uraian tersebut di atas, menjadi jelas bahwa pengaturan mengenai pelaksanaan Bangun Guna Serah di Indonesia telah mengalami perubahan sesuai perkembangan jaman.Kemungkinan untuk mengadakan perubahan berikutnya masih tetap terbukti jika Pemerintah merasa peraturan yang ada saat ini sudah tidak sesuai lagi dengan keadaan masyarakat pada umumnya. Proses perolehan hak pengelolaan dan pemanfaatan Barang Milik Negara/Daerah sebagaimana diuraikan adalah proses beserta syarat-syarat yang umum dilakukan sesuai dengan perkembangan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, namun perolehan hak pengelolaan dan pemanfaatan Barang Milik Negara/Daerah tersebut dapat juga diperoleh oleh investor/perusahaan karena hasil pembelian lelang harta pailit dari perusahaan pemegang awal hak pengelolaan dan pemanfaatan Barang Milik Negara/Daerah yang mengalami kepailitan atau dinyatakan pailit. Proses perolehan hak engelolaan/ pemanfaatan barang milik daerah dalam suatu perjanjian bangun guna serah yang diperoleh dari hasil lelang kepailitan oleh investor pemenang lelang kepailitan adalah suatu proses yang sah dan mempunyai dasar hukum yang dibenarkan sesuai peraturan perundang-undangan. Dimana asset harta pailit berupa hak pengelolaan/ pemanfaatan barang milik daerah milik debitor pailit menjadi berakhir dengan keluarnya putusan pailit sebagaimana yang di tentukan Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Selanjutnya terhadap perjanjian bangun guna serahya sesuai Pasal 36 Undang-Undang Nomor 37 tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, yang memberikan beberapa alternative pilihan penyelesaian yaitu bisa berupa hanya melanjutkan sisa perjanjian yang ada, atau bisa dalam bentuk perjanjian baru. 83 | LENTERA HUKUM Khusus perolehan hak perjanjian baru ini, selain didasarkan pada ketentuan- ketentuan UUK-PKPU diatas, juga dikuatka dengan ketentuan-ketentuan dalam KUH Perdata seperti ketentuan Pasal 1338 KUH Perdata tentang asas kebebasan berkontrak khususnya ayat (1) nya yang menyebutkan bahwa kesepakatan yang dibuat oleh para pihak mengikat sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya, dan ketentuan pasal 1340 KUH Perdata yang dengal dengan asas kepribadian bahwa satuperjanjian hanya berlaku bagi/diantara pihak-pihak yang membuatnya. Sehingga ketentuan UUK-PKPU dan KUH Perdata tersebut memberikan landasan bagi kesepakatan atau perjanjian baru antara pemerintah dengan pihak pemenang lelang kepailitan. Bila Pemenang lelang kepailitan hanya melanjutkan sisa jangka waktu Perjanjian Bangun Guna Serah sebelumnya, maka implikasinya, bentuk kerjasama hak pengelolaan/ pemanfaata barang milik daerah tetap perjanjian Bangun Guna Serah dengan penggantian nama pihak, dan untuk materi perjanjian tidak terika pada perjanjian Bangun Guna Serah sebelumnya, dan terkait kontribusi tahunan, bisa hanya melanjutkan pembayaran sisa kontribusi dari perjanjian Bangun Guna Serah sebelumnya, atau bisa dibayar sekaligus/sudah diperhitungkan dengan nilai lelangnya. Namun, Bila pemenang lelang kepailitan memperoleh kesepakatan perjanjian baru, maka implikasinya bentuk kerjasama hak pengelolaan/ pemanfaatan Barang Milik Daerah, bisa tetap bentuk perjanjian Bangu guna Serah jika kondisi obyek lelang kepailitan harus dilakukan pembangunan ulang/renovasi total, atau dalam bentuk kerjasama pemanfaatan barang milik daerah lainnya seperti perjanjian sewa, dan kontribusi perjanjian, prinsipnya jika disepakati perjanjian baru tentunya akan dilakukan penghitungan besaran kontribusi sesuai dengan jangka waktu baru yang ditetapkan sebagaimana ketentuan perundang-undangann pemanfaatan barang milik daerah. Pilihan ini juga tidak menghilangkan kewajiban pemberesan pembayaran lelang kepailitan atas harta pailitin yang dibeli oleh pemenang lelang kepailitan tersebut. Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa terdapat dua proses berbeda dalam hal perolehan hak pengelolaan dan pemanfaatan barang milik Negara/daerah oleh investor, yang dimana masing-masing memiliki pengaturan yang berbeda pula. Ya pertama ialah peralihan hak secara umum atau melalui perjanjian baru, dan yang kedua adalah proses peralihan hak melalui lelang kepailitan. 84 | Kerja Sama Pemanfaatan Barang Milik Daerah Berupa Tanah Dalam Bentuk Perjanjian Bangun Guna Serah IV. PENUTUP Berdasarkan pembahasan tersebut diatas, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: (1) Pelaksanaan perjanjian BOT dilandasi asas-asas yang telah ditentukan dalam UUPA. Adapun 3 asas utama dalam Hukum agraria yang diterapkan dalam konsep perjanjian bangun guna serah adalah Pertama, Asas tingkatan tertinggi bumi, air, ruang angkasa, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara, atau biasa dikenal sebagai hak menguasai negara. Yang dimana berdasarkan penjelasan lebih rinci dalam UUPA dapat disimpulkan sifat hakikat hak menguasai negara atas tanah adalah bahwa dengan keterbatasan APBN/APBD, pemerintah dapat mengoptimalkan tanah dengan menggandeng pihak investor untuk menanamkan modalnya, sehingga secara nyata dapat mewujudkan peningkatan pertumbuhan perekonomian nasional. Kedua, Asas pemisahan horisontal, berkaitan dengan hubungan antara tanah dengan segala sesuatu yang ada di atasnya, adanya perbedaan pemahaman antara asas pelekatan vertikal dan pemisahan horisontal. Terlihat bahwa UUPA mengatur tentang tanah berdasarkan asa pemisahan horisontal dan melalui hal tersebut telah di implementasikan dalam Perjanjian bangun guna serah itu sendiri, karena asas pemisahan horisontal akan lebih bermanfaat bagi pengembangan pembangungan. Ketiga, Asas tata guna tanah, melalui asas tata guna tanah terlihat jelas bahwa melalui asas ini pemerintah baik pemerintah pusat ataupun daerah berusaha untuk mewujudkan adanya suatu bentu perencanaan (planning)mengenai peruntukuan, penggunaan, dan persediaan bumi, air , dan ruang angkasa untuk berbagai kepentingan hidup rakyat dan Negara ; (2) Proses perolehan hak pengelolaan dan pemanfaatan Barang Milik Negara/Daerah sebagaimana diuraikan dalam pembahasan adalah proses perolehan yang umum dilakukan sesuai dengan ketetentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, namun perolehan hak pengelolaan dan pemanfaatan Barang Milik Negara/Daerah tersebut dapat juga diperoleh oleh investor/perusahaan karena hasil pembelian lelang harta (boedel)pailit dari perusahaan pemegang awal hak pengelolaan dan pemanfaatan Barang Milik Negara/Daerah yang mengalami kepailitan atau dinyatakan pailit. Dan dapat disimpulkan bahwa implikasi perolehan hak pengelolaan/pemanfaatan Barang Milik Daerah hasil lelang kepailitan dalam proses Bangun Guna Serah sangat bergantung pada kesepakatan pemerintah daerah sebagai pemilik tanah/pihak dari perjanjian bangun guna serah sebelumnya dengan kurator, atau ada penetapan Hakim Pengawas, atau pada kesepakatan pemerintah dengan pemenang lelang. DAFTAR PUSTAKA Ahmadi Miru. 2007. Hukum Kontrak. Raja grafindon Persada. Jakarta. Anita kamilah, 2012.Bangun Guna Serah membangun tanpa memiliki tanah.Keni.Jakarta. Budi Santoso. 2008. Aspek Hukum Pembiayaan Proyek Infrasturktur BOT. Genta Press. Jakarta. Chidir Ali. 1987. Badan Hukum. Alumni. Jakarta. 85 | LENTERA HUKUM C.F.G. Sunaryati Hartono. 1991. Permasalahan Hukum Dalam Masyarakat. Bina Aksara. Jakarta. Clifford W. Garstang. What the zhang Boys Know. Virginia. 2012. Mochtar Kusumaatmadja. 2006. Hukum Laut Internasional. Bina Cipta. Jakarta. Muchsin. 2007. Hukum Agraria Indonesia Perspektif Sejarah. Refika Aditama. Bandung. Munir Fuady, Sejarah Hukum, Ghalia Indonesia, Bogor, 1982. Peter Mahmud Marzuki. 2014. Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group. Jakarta. R.Setiawan.1987. Pokok-pokok Hukum Perikatan. Bina Cipta. Bandung. Sjachran Basah.1986. Peradilam Tata Usaha Negara. Rajawali. Bandung. Soerjono Soekanto. 2006. Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta. Subekti. 2001. Hukum Perjanjian, cetakan 19, Intermasa, Jakarta. Sudikno Mertokusumo. 1986. Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Liberti. Yogyakarta. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960, tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukumss Adat