Lentera Hukum, Volume 2 Issue 2 (2015), pp. 103-116 ISSN 2355-4673 (Print) 2621-3710 (Online) https://doi.org/10.19184/ ejlh.v2i2.20285 Published by the University of Jember, Indonesia Available online 21 July 2015 Penerapan Prinsip Kehati-Hatian Notaris Ketika Membuat Akta Perjanjian Perkawinan Pisah Harta Risa Rachmawati University of Brawijaya, Indonesia kamalarisa@yahoo.com.sg Rachmad Safaat University of Brawijaya, Indonesia rachmatsafaat@gmail.com Isma’il Navianto University of Brawijaya, Indonesia ismailnavianto@yahoo.com ABSTRACT The decision of the Constitutional Court Number 69/PUU-XIII/2015, meaning that the marriage agreement is no longer as a treaty made before marriage but may also be made during the marriage association, which was previously restricted by article 29 paragraph (1) of the marriage law that the marriage agreement was made after the marriage. However, the issuance of the decision of the Court MK Number 69/PUU-XIII/2015 without being followed by the implementing regulation resulted in practice there are many misunderstandings of understanding and the difference of legal application among the notary especially the notary of Malang city about the making of the deed. This shows the gap between the rules regarding the making of marriage agreement with the practice in society so that there are obstacles in the implementation of the law. This method used is the type of empirical legal research using the approach of legal sociology. As the results of this study indicate: first, that the notary must prioritize the principle of caution because there are still some legal issues related to the making of the marriage certificate of separation of property during the marriage bond in the mixed marriage after the decision of the Court MK Number 69/PUU-XIII/2015. Second, legal liability if the notary ignores the precautionary principle, may be liable for the deeds he or he has made, as well as the actions of the notary. Third, the application of prudential principles to the process of making marriage certificate deeds during the marriage must comply with the elements of article 1320 KUHPerdata (BW) and UUJN. KEYWORDS: Prudential Principle, Notary, Postnuptial Agreement, During Marital Bond, Intermarriage. Copyright © 2015 by Author(s) This work is licensed under a Creative Commons Attribution-ShareAlike 4.0 International License. All writings published in this journal are personal views of the authors and do not represent the views of this journal and the author's affiliated institutions. Submitted: May 05, 2015 Revised: Juny 08, 2015 Accepted: Juny 28, 2015 HOW TO CITE: Rachmawati, Risa. Rachmat Safa’at, Isma’il Navianto. “Penerepan Prinsip Kehati-hatian Notaris Ketika Membuat Perjanjian Perkawinan Pisah Harta” (2015) 2:2 Lentera Hukum 103-116 mailto:kamalarisa@yahoo.com.sg 104 | Penerepan Prinsip Kehati-hatian Notaris Ketika Membuat Perjanjian Perkawinan Pisah Harta I. PENDAHULUAN Profesi Notaris merupakan sebagian kekuasaan Negara yang bergerak dibidang hukum publik. Profesi Notaris merupakan suatu jabatan yang berdasarkan kepercayaan dalam menjalankan profesi berkaitan dengan pelayanan hukum kepada masyarakat. Pasal 1Undang-undang Jabatan Notaris Nomor 2 Tahun 2014 memberikan pengertian mengenai jabatan notaris.1 Untuk menjamin kepastian, ketertiban dan perlindungan hukum diperlukan adanya alat bukti tertulis otentik terkait keadaan, peristiwa, ataupun perbuatan hukum yang dilaksanakan melalui jabatan tertentu, dan bahwa Notaris merupakan jabatan tertentu yang menjalankan profesinya dalam hal pelayanan hukum kepada masyarakat. Pasal 16 ayat (1) Undang-undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris menyatakan bahwa seorang Notaris dalam menjalankan jabatannya, wajib bertindak secara amanah, jujur, seksama, mandiri, dan tidak berpihak (independen), serta menjaga kepentingan terkait dalam perbuatan hukum. Seorang Notaris wajib memberikan pelayanan hukum kepada masyarakat sesuai ketentuan dalam Undang-undang Jabatan Notaris kecuali ada alasan tertentu untuk menolaknya.2 Jabatan Notaris sangat dibutuhkan terutama dalam hal membuat akta otentik sebagai alat bukti tertulis yang mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna. Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya harus bersikap profesional serta memiliki integritas yang tinggi, dalam hal ini segala kegiatan dan perbuatan hukum yang diperbuat oleh seorang Notaris dilakukan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan menjunjung tinggi kode etik profesi Notaris sebagai rambu-rambu yang harus ditaati. Notaris sebagai pejabat umum juga harus memiliki kepekaan, mempunyai ketajaman berfikir serta mampu memberikan analisa yang tepat terhadap setiap kejadian social yang muncul sehingga dengan begitu akan menumbuhkan sikap keberanian dalam mengambil tindakan yang tepat. Keberanian yang dimaksud disini merupakan keberanian untuk melakukan perbuatan hukum yang benar sesuai peraturan. perundang-undangan yang berlaku melalui akta yang dibuatnya dan atau menolak dengan tegas pembuatan akta yang bertentangan dengan hukum, moral, dan etika.3 Akta merupakan produk yang dibuat seorang Notaris yang memiliki kekuatan pembuktian sempurna yang sama dengan asas Presumtio Justea Causa dalam hal mana demi terciptanya kepastian hukum dan akta yang dibuat oleh dan/atau dihadapan seorang pejabat haruslah dianggap benar dan berkekuatan hukum mengikat sampai ada pembuktian sebaliknya. Pada prakteknya tidak sedikit beberapa akta yang dibuat oleh Notaris itu kemudian bermasalah, berdasarkan alasan inilah seorang Notaris dilarang untuk mengenyampingkan prinsip kehati-hatian terhadap penetuan perbuatan hukum terkait suatu akta yang dibuatnya, dimana prinsip-prinsip kehati-hatian ini dijadikan 1 Pasal 1 : “Notaris merupakan pejabat umum yang memiliki kewenangan untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Jabatan Notaris”. 2 Wawan Setawan, Sikap Profesionalisme Notaris Dalam Pembuatan akta Otentik, Media Notariat, Edisi Mei- Juni 2004, hlm.25 3 Ibid, hal.25 105 | LENTERA HUKUM sebagai prinsip yang mendasar dalam menjalankan tugasnya sebagai pejabat umum. Salah satu contoh akta yang diharuskan untuk ditegakkannya prinsip kehati-hatian adalah pembuatan akta perjanjian perkawinan pisah harta selama dalam ikatan perkawinan pada perkawinan campuran pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU/XIII/2015. Pada status perkawinan campuran, dilihat dari sudut pandang atas kepemilikan tanah, perkawinan campuran warga Negara Indonesia (WNI) dengan warga Negara asing (WNA) dapat mengakibatkan adanya percampuran harta bersama dalam perkawinan jika pihak WNI memperoleh tanah atau property setelah perkawinan tersebut. Tanah hak milik yang diperoleh warga Negara Indonesia (WNI) akan bercampur dengan harta kekayaan warga Negara Asing (WNA) sebagai harta bersama. Pada harta bersama dimaksud, harta yang dimiliki oleh WNI akan menjadi suatu bagian dari harta bersama yang juga dimiliki oleh WNA. Dengan adanya percampuran mengenai harta bersama tersebut seorang warga Negara Indonesia (WNI) tidak dapat memiliki hak milik atas tanah atau property, sehingga untuk menghindari hal tersebut, maka dibuatlah perjanjian perkawinan antara para pihak yakni suami dan istri. Pasal 29 ayat (1) Undang-undang Perkawinan sebelumnya telah membatasi dibuatnya suatu perjanjian perkawinan setelah berlangsungnya perkawinan karena dipahami bahwa suatu perjanjian perkawinan haruslah dibuat sebelum perkawinan dilangsungkan. Akan tetapi, dengan adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015 Tahun 2015, perjanjian perkawinan tidak lagi dimaknai sebagai perjanjian yang dibuat sebelum berlangsungnya perkawinan tetapi juga bisa dibuat setelah perkawinan tersebut berlangsung atau selama dalam masa ikatan perkawinan. Ketentuan Pasal 29 ayat (1), (3), (4) Undang-undang Perkawinan telah diubah berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU/XIII/2015, sebagai berikut:4 1) Pasal 29 ayat (1) Undang-undang Perkawinan jo Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015: “pada waktu, sebelum dilangsungkan atau selama dalam ikatan perkawinan kedua pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan atau Notaris, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak. ketiga tersangkut”. 2) Pasal 29 ayat (3) Undang-undang Perkawinan jo Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015: “perjanjian perkawinan itu mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan, kecuali ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan”. 3) Pasal 29 ayat (4) Undang-undang Perkawinan jo Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015: “selama perkawinan berlangsung, perjanjian perkawinan dapat mengenai harta perkawinan atau perjanjian lainnya, tidak. dapat diubah atau dicabut, kecuali dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk mengubah atau mencabut, dan perubahan atau pencabutan itu tidak merugikan pihak ketiga”. 4 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015, Tahun 2015, Hlm. 156. 106 | Penerepan Prinsip Kehati-hatian Notaris Ketika Membuat Perjanjian Perkawinan Pisah Harta Menjelaskan mengenai alasan atau gambaran mengapa seorang Notaris harus mengedepankan prinsip kehati-hatian dalam proses pembuatan akta perjanjian perkawinan dalam ikatan perkawinan berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015, penulis meminjam sampel contoh pembuatan akta perjanjian perkawinan oleh Notaris XY, S.H., MKn. Para penghadap merupakan pelaku perkawinan campuran dan bertempat tinggal di Indonesia. Akta perjanjian perkawinan pisah harta para pihak tersebut dibuat selama dalam ikatan perkawinan pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015. Permasalahannya dalam hal mana Notaris XY, S.H., MKn memasukkan obyek Sertipikat Hak Milik atas sebidang tanah, dimana status hak atas tanah tersebut seharusnya sudah hapus karena hukum dan berubah menjadi tanah Negara, dikarenakan telah lewat jangka waktu kepemilikannya. Sebagaimana diatur pada Pasal 21 ayat (3)5 Undang-undang tentang Pokok-pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960. Pasal 35 ayat (1) Undang-undang Perkawinan mengatur bahwa harta yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama, sehingga dianggap apabila warga Negara Indonesia yang melaksanakan perkawinan dengan warga yang berkewarganegaraan Asing membeli Hak Milik atas tanah ataupun Hak Guna Bangunan, maka warga Negara asing tersebut dengan serta merta dan seketika ikut memiliki setengah bagian dari Hak Milik atau Hak Guna Bangunan yang dibeli oleh warga Negara Indonesia tersebut. Terdapat percampuran harta dalam perkawinan antar warga Negara Indonesia dengan warga bernegaraan asing, oleh sebab itu terdapat unsur asing di dalam harta bersama tersebut. Ketentuan ini dapat dikecualikan dengan adanya perjanjian perkawinan pisah harta yang pembuatannya dilakukan sebelum perkawinan. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015 telah memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh, sehingga bersifat final dan mengikat yang berlaku untuk seluruh masyarakat Indonesia. Akan tetapi di sisi lain aturan mengenai pembuatan perjanjian perkawinan selama dalam Ikatan perkawinan pada jenis perkawinan campuran tidak sesimpel itu untuk dibuat dan dilaksanakan, karena pada kenyataannya masih terdapat adanya gesekan-gesekan dengan aturan-aturan yang sebelumnya, baik itu berkenaan dengan status harta bersama yang didapatkan sebelum pembuatan perjanjian perkawinan, berkenaan dengan pencatatan ataupun pengesahannya. Berdasarkan alasan inilah banyak Notaris yang menolak untuk membuat akta perjanjian perkawinan pisah harta selama dalam ikatan perkawinan pada perkawinan campuran. Berdasarkan latar belakang kasus yang telah penulis uraikan diatas terjadi suatu permasalahan hukum sehingga penulis perlu kaji lebih mendalam mengenai apa yang 5 Pasal 21 ayat (3) : “orang asing yang setelah berlakunya Undang-undang ini memperoleh hak milik karena pewarisan tanpa wasiat atau percampuran harta karena perkawinan demikian pula warga Negara Indonesia yang memiliki hak milik dan setelah berlakunya Undang-undang ini kehilangan kewarganegaraannya itu wajib hukumnya untuk melepaskan hak tersebut dalam jangka waktu satu tahun sejak mulai diperolehnya hak tersebut atau hilangnya kewarganegaraan itu. Jika sesudah jangka waktu tersebut lampau hak milik tersebut tidak dilepaskan, maka hak tersebut dinyatakan hapus karena hukum dan tanahnya jatuh kepada Negara, dengan ketentuan bahwa hak-hak pihak lain yang membebaninya tetap berlangsung.” 107 | LENTERA HUKUM mendasari diperlukannya prinsip kehati-hatian Notaris pada saat pembuatan akta perjanjian perkawinan pisah harta selama dalam ikatan perkawinan pada perkawinan campuran berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015 Selain hal itu pula penulis juga ingin mengetahui serta memahami tentang apa implikasi hukum apabila Notaris sebagai pejabat umum dalam melaksanakan tugasnya tidak mengindahkan prinsip kehati-hatian, serta bagaimana langkah-langkah guna penerapan prinsip kehati-hatian Notaris yang seharusnya pada saat pembuatan akta perjanjian perkawinan pisah harta selama dalam ikatan perkawinan pada perkawinan campuran pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015, sehingga untuk menjawab permasalahan hukum tersebut diperlukan suatu pemecahan yang dilakukan secara ilmiah melalui penelitian hukum. Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini, menggunakan penelitian hukum empiris. Penelitian hukum empiris merupakan salah satu jenis penelitian hukum yang menganalisis dan mengkaji bekerjanya hukum dalam masyarakat.6 Penelitian ini menganalisis dan mengkaji penerapan prinsip kehati-hatian Notaris pada saat pembuatan akta perjanjian perkawinan pisah harta selama dalam ikatan perkawinan pada perkawinan campuran pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU- XIII/2015, sesuai apa yang tertuang dalam UUJN, bahwa seorang Notaris dalam menjalankan jabatannya, wajib bertindak secara amanah, jujur, seksama, mandiri, dan tidak berpihak (independen), serta menjaga kepentingan terkait dalam perbuatan hukum. Namun dalam prakteknya masih terdapat Notaris yang kurang hati-hati dalam menjalankan tugas jabatannya. Penelitian ini menggunakan hukum empiris, maka pendekatan penelitian yang digunakan yaitu pendekatan sosiologi hukum (sosio legal). Pendekatan sosiologi hukum dilakukan dengan menelaah bagaimana konsekuensi hukum apabila Notaris dalam melaksanakan tugasnya sebagai pejabat umum tidak mengindahkan prinsip kehati- hatian serta mengkaji perumusan langkah-langkah penerapan prinsip kehati-hatian Notaris pada pembuatan akta perjanjian perkawinan pisah harta selama dalam ikatan perkawinan pada perkawinan campuran pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015. Lokasi penelitian dilakukan di Provinsi Jawa Timur dan memilih tempat di Kota Malang. Wilayah Kota Malang dipilih sebagai lokasi penelitian dengan alasan karena dengan adanya kebijakan baru mengenai pembuatan perjanjian perkawinan yakni Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015, masih banyak terdapat kesimpangsiuran dikalangan Notaris khususnya Notaris Kota Malang mengenai langkah-langkah yang harus diambil dalam pembuatan akta perjanjian perkawinan selama dalam ikatan perkawinan pada perkawinan campuran. Kota Malang juga merupakan salah satu kota di Jawa Timur yang mempunyai jumlah keluarga perkawinan campuran dengan jumlah cukup tinggi. 6 Salim HS dan Erlies Septiana Nurbani, Penerapan Teori Hukum Pada Penelitian Tesis Dan Disertasi, (Jakarta: Raja Grafiko Persada, Buku Kedua 2014), hlm. 20. 108 | Penerepan Prinsip Kehati-hatian Notaris Ketika Membuat Perjanjian Perkawinan Pisah Harta II. PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian Penelitian ini mengambil lokasi yang berada di pulau Jawa yang terletak di Jawa Timur Indonesia yaitu Kota Malang, gambaran umum lokasi penelitian berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 1950, Malang menjadi Kota Administratif yang meliputi 5 (lima) wilayah kecamatan yakni Kecamatan Klojen, Blimbing, Kedungkandang, Lowokwaru, dan Sukun dengan 57 (lima puluh tujuh) Kelurahan dan luas wilayah ± 145,28 km².7 1. Letak Geografis Kota Malang terletak di tengah-tengah Kabupaten Malang dan sisi selatan Pulau Jawa. Secara geografis Kota Malang berada diantara koordinat 7º16’ Lintang Utara 112º43’ Bujur Timur, 7,267º Lintang Selatan 112,717º Bujur Timur. Kota Malang dibatasi oleh: “a) Kecamatan Singosari dan Kecamatan Karangploso di sisi utara, b) Kecamatan Pakis dan Kecamatan Tumpang di sisi timur, c) Kecamatan Tajinan dan d) Kecamatan Pakisaji di sisi selatan, e) Kecamatan Wagir dan Kecamatan Dau di sisi barat yang semuanya merupakan kecamatan di Kabupaten Malang.” 8 2. Pemerintahan Tanggal 1 Januari 2001 pasca proklamasi Malang menjadi bagian dari Republik Indonesia, pemerintahannya diubah menjadi pemerintahan Kota Malang, dengan dasar hukum Undang-undang Nomor 12 Tahun 1950 tentang pemerintahan daerah kabupaten/kota di Jawa Timur. Malang berstatus sebagai kota yang menjadi bagian dari provinsi Jawa Timur. Wilayah Kota Malang pun dibagi lagi menjadi 5 (lima) kecamatan dengan jumlah 57 (lima puluh tujuh) kelurahan. Kota Malang dikepalai oleh seorang Walikota dan wakil Walikota yang dipilih langsung oleh rakyat Malang dalam pemilihan umum Walikota Malang yang diadakan setiap 5 (lima) tahun sekali. Walikota Malang membawahi koordinasi atas wilayah administrasi kecamatan yang dikepalai oleh seorang camat. Kecamatan dibagi lagi menjadi kelurahan-kelurahan yang dikepalai oleh seorang lurah. Walikota Malang mendudukkan masing-masing seorang Camat dan seorang Lurah dalam upaya untuk membantu kelancaran pelaksanaan pembangunan dan kemasyarakatan sampai ke bawah.9 B. Gambaran Umum Notaris di Lokasi Penelitian Pada saat ini Ketua Ikatan Notaris Indonesia Pengurus Daerah Kota Malang di pimpin oleh R. Imam Rahmat Sjafi’I, S.H. Sebagaimana dalam Undang-undang jabatan Notaris bahwa Notaris mempunyai suatu organisasi profesi jabatan Notaris yang berbentuk perkumpulan. Perkumpulan yang dibuat oleh Notaris Indonesia adalah Ikatan Notaris Indonesia (I.N.I). Organisasi inilah yang mendapat pengakuan dari Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia walaupun pada organisasi lain yang menamakan dirinya sebagai 7 Kota Malang, Wikipedia, http://id.wikipedia.org/wiki/Kota_Malang/tgl28/11/2017 8 Ibid 9 Ibid 109 | LENTERA HUKUM organisasi perkumpulan Notaris Indonesia. Begitu juga di Kota Malang Ikatan Notaris Indonesia (I.N.I) yang diakui. Tujuan suatu organisasi profesi yaitu untuk menjalankan kagiatan organisasi sebagai sarana untuk menjalin komunikasi yang baik sesama rekan-rekan seprofesi, sebagai tempat bertukar informasi terkait berbagai pengalaman dan menjalin silahturahim. Organisasi Notaris mempunyai dewan kehormatan, sebagaimana ketentuan Pasal 1 ayat 8 huruf (a) Kode Etik Notaris Indonesia. Berdasarkan data yang diperoleh, Notaris yang berkedudukan di Kota Malang sebanyak 118 (seratus delapan belas) orang yang tersebar dibeberapa kecamatan. C. Prinsip Kehati-Hatian Notaris Pada Saat Pembuatan Akta Perjanjian Perkawinan Pisah Harta Selama Dalam Ikatan Perkawinan Pada Perkawinan Campuran Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015, mengabulkan sebagian dari permohonan salah seorang subyek pelaku perkawinan campuran, berbagai permasalahan-permasalahan yang dialami oleh pelaku perkawinan campuran sedikit mendapatkan titik terang. Semua subyek perkawinan campuran yang sebelumnya tidak membuat perjanjian perkawinan pisah harta sebelum perkawinan dilangsungkan, kini dapat membuat perjanjian perkawinan pisah harta selama masa perkawinan dan disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan atau Notaris. Perjanjian tersebut dapat berlaku surut yakni sejak perkawinan dilangsungkan atau ditentukan lain oleh para pihak. Namun demikian dengan adanya Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, Notaris tidak serta merta dapat melayani permintaan pasangan suami istri untuk membuat perjanjian perkawinan pisah harta selama perkawinan pada perkawinan campuran, dengan mengedepankan penerapan prinsip kehati-hatian yang dipegang teguh oleh Notaris agar jangan sampai akta perjanjian perkawinan yang dibuatnya menimbulkan permasalahan atau sengketa dikemudian hari. Hal ini dikarenakan masih terdapat beberapa permasalahan yang memerlukan kejelasan dan kepastian sehubungan dengan pembuatan perjanjian perkawinan pisah harta selama dalam ikatan perkawinan pada perkawinan campuran tersebut. 1. Pembuatan Perjanjian Perkawinan Pisah Harta Sepanjang Perkawinan Pada Perkawinan Campuran Tidak Boleh Merugikan Pihak Ketiga Ketentuan mengenai isi perjanjian perkawinan berlaku secara intern antara suami dan istri. Dalam pembuatan perjanjian perkawinan adakalanya keterlibatan pihak ketiga dapat juga ikut serta. Ketentuan terhadap pihak ketiga, berlaku ketentuan Pasal 152 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer) yang menyatakan bahwa, “ketentuan yang tercantum dalam perjanjian perkawinan, yang menyimpang dari harta bersama menurut Undang-undang, seluruhnya atau sebagian, tidak akan berlaku bagi pihak ketiga sebelum hari pendaftaran ketentuan tersebut diatur dalam daftar umum,….”. Apabila telah dicatatkan oleh pegawai pencatat perkawinan, maka isinya mengikat para pihak dan juga pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersebut tersangkut. “Pada umumnya yang dimaksud dengan pihak ketiga adalah mereka yang tidak untuk diri sendiri atau 110 | Penerepan Prinsip Kehati-hatian Notaris Ketika Membuat Perjanjian Perkawinan Pisah Harta berdasarkan suatu perwakilan, baik perwakilan karena Undang-undang maupun perwakilan karena perjanjian, melakukan suatu perjanjian. mereka yang digolongkan dalam kategori pihak ketiga ini sangat luas dan bergantung pada hubungannya dengan para pihak dari suatu perjanjian.”10 Adapun keterkaitan perjanjian perkawinan dengan pihak ketiga, yaitu misalnya dalam perjanjian kredit, apabila tanpa perjanjian perkawinan maka bank dalam hal ini bertindak sebagai kreditur mengganggap harta suami istri adalah harta bersama, maka hutang juga akan menjadi tanggungan bersama. Namun dengan adanya perjanjian perkawinan, pengajuan hutang hanya akan menjadi tanggung jawab salah satu pihak yang hendak mengajukan saja, sedangkan salah satu pihak yang lain tidak terikat dan tidak memiliki kewajiban untuk ikut membayar hutang pasangan. Apabila salah satu suami atau istri dinyatakan pailit maka akibat dari kepailitan tersebut hanya berlaku bagi harta kekayaan suami atau istri saja yang dinyatakan pailit, serta jika terjadi penyitaan maka harta yang disita hanya milik salah satu pihak bukan harta bersama milik keduanya. Selama perjanjian perkawinan tersebut belum didaftarkan, maka pihak ketiga boleh menganggap bahwa perkawinan suami istri tersebut berlangsung dengan kebersamaan harta perkawinan. “Pembuatan akta perjanjian perkawinan pisah harta pada perkawinan campuran pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU- XIII/2015, harus dilihat terlebih dahulu mengenai motif latar belakang dibuatnya perjanjian tersebut oleh para pihak, jika memang diketahui terdapat kaitannya dengan pihak ketiga, maka disarankan para pihak meminta penetapan pengadilan terlebih dahulu, yang mana isi dari dari penetapan pengadilan tersebut meliputi salah satunya berkenaan dengan hubungan dan akibat hukumnya tehadap pihak ketiga. Dari penetapan pengadilan tersebutlah yang digunakan Notaris sebagai dasar pembuatan perjanjian perkawinan pisah harta yang dikehendaki oleh para pihak.”11 Hal ini bertujuan untuk menghindari kondisi yang menimbulkan suatu kerugian dikemudian hari, merupakan salah satu prinsip kehati-hatian yang diterapkan oleh Notaris. 2. Masa Berlakunya Perjanjian Perkawinan Pisah Harta Pada Perkawinan Campuran Yang Dibuat Sepanjang Perkawinan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015 telah jelas menyebutkan bahwa terhadap perjanjian perkawinan yang dibuat sepanjang perkawinan juga berlaku terhitung sejak perkawinan dilangsungkan (berlaku surut), kecuali ditentukan lain di dalam perjanjian perkawinan yang bersangkutan oleh para pihak. Pasal 29 Undang- undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang berbunyi “Perjanjian Perkawinan mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan”. Menurut Mahkamah Konstitusi harus dimaknai bahwa berbunyi “Perjanjian perkawinan mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan, kecuali ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan”. Sehubungan 10 Herlien Budiono, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang Kenotariatan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007, hal.87. 11 Hasil Wawancara Ibu Diah Ayu Wisnuwardhani, S.H. MHum, Selaku Notaris Kota Malang, Pada Tanggal 20 Desember 2017. Pukul 9.00 WIB. 111 | LENTERA HUKUM dengan hal tersebut maka apabila para pihak tidak menentukan kapan perjanjian perkawinan tersebut mulai berlaku maka perjanjian perkawinan mulai berlaku terhitung sejak perkawinan dilangsungkan (berlaku surut). Permasalahan yang timbul apabila perjanjian perkawinan pisah harta yang dibuat sepanjang perkawinan pada perkawinan campuran mulai berlaku terhitung sejak perkawinan dilangsungkan adalah apakah perjanjian perkawinan tersebut demi hukum mengubah status hukum yang ada. Sebelum dibuatnya perjanjian perkawinan tersebut, apakah harta yang semula merupakan harta bersama suami istri, dengan dibuatnya perjanjian perkawinan tersebut berubah menjadi harta pribadi milik suami atau istri yang memperoleh harta tersebut. jika memang benar demikian maka akan timbul permasalahan, apakah suami istri dapat melakukan pembagian dan pemisahan harta dalam perkawinan tanpa terlebih dahulu meminta penetapan pengadilan. Permasalahan berikutnya terkait dengan hal tersebut adalah apakah adanya perubahan status harta tersebut tidak merugikan pihak ketiga. “Pembuatan perjanjian perkawinan, suami istri sebaiknya bersepakat bahwa keberlakuan perjanjian perkawinan yang mereka buat terhitung sejak saat dibuatnya perjanjian perkawinan pisah harta atau hanya berlaku terhadap harta-harta yang mereka peroleh setelah dibuatnya perjanjian perkawinan. Hal tersebut terkait dengan konsekuensi atau akibat hukum mengenai harta benda yang terjadi di dalam masa perkawinan yang pada waktu itu belum dibuat perjanjian perkawinannya.”12 Notaris dapat memberikan penyuluhan hukum kepada pasangan suami istri tersebut mengenai mulai berlakunya perjanjian perkawinan serta akibat hukumnya, sehingga mereka dapat dengan sadar mempertimbangkan jangka waktu yang berkaitan mulai berlakunya perjanjian perkawinan tersebut. 3. Perjanjian Perkawinan Pisah Harta Pada Perkawinan Campuran Yang Dibuat Sepanjang Perkawinan Harus Dicatatkan Perjanjian perkawinan yang telah dibuat di hadapan Notaris harus dicatatkan pada pegawai pencatat perkawinan, dalam hal ini Dinas Catatan Sipil bagi non muslim, dan Kantor Urusan Agama (KUA) bagi yang beragama Islam. Hal ini bertujuan agar pihak ketiga (di luar pasangan suami istri tersebut) mengetahui dan tunduk pada aturan dalam perjanjian perkawinan yang telah dibuat oleh pasangan suami istri tersebut. Jika tidak didaftar dan dicatatkan, maka perjanjian perkawinan itu hanya mengikat bagi para pihak yang membuatnya saja, serta tetap dianggap antara suami istri tersebut dengan kebersamaan harta. “Pada tanggal 19 Mei 2017 Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia mengeluarkan panduan dalam bentuk surat perihal Pencatatan Pelaporan Perjanjian Perkawinan Nomor 472.2/5876/Dukcapil yang ditujukan kepada Kepala Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kebupaten/Kota di seluruh Indonesia.”13 “Perjanjian perkawinan yang dibuat sepanjang perkawinan hanya dapat dicatat di Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Despendukcapil) apabila telah memenuhi 2 (dua) 12 Hasil Wawancara dengan Ibu Dr. Endang Kawuryan, S.H., MKn., Selaku Notaris di Kota Malang, Pada Tanggal 17 November 2017, Pukul 10.00 WIB. 13 Hasil Wawancara Ibu Nurul Laily Agus P, Selaku Kepala Seksi Perkawinan Dispendukcapil Kota Malang, Pada Tanggal 31 Oktober 2017, Pukul 13.00 WIB. 112 | Penerepan Prinsip Kehati-hatian Notaris Ketika Membuat Perjanjian Perkawinan Pisah Harta syarat, yakni perjanjian perkawinan tersebut harus berupa akta notariil, serta telah dilakukan pendaftaran di Pengadilan Negeri setempat.”14 Pasca Kementerian Dalam Negeri mengeluarkan surat edaran kepada seluruh Kantor Catatan Sipil yang berisi teknis pencatatan perjanjian perkawinan, kemudian disusul Kementerian Agama yang mengeluarkan surat edaran Nomor B.2674/DJ.III/KW.00/9/2017 pada tanggal 28 September 2017, perihal pencatatan perjanjian perkawinan yang resmi dapat diberlakukan di seluruh Indonesia sebagai tindak lanjut dari Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015. D. Tanggung Jawab Hukum Apabila Notaris Dalam Melaksanakan Tugasnya Sebagai Pejabat Umum Tidak Mengindahkan Prinsip Kehati-hatian Penerapan prinsip kehati-hatian bagi seorang Notaris sangatlah penting, sebab jika seorang Notaris dalam menjalankan tugas dan jabatannya tidak mengindahkan prinsip kehati-hatian yang berakibat menyalahi aturan hukum yang ada, hal ini dapat menimbulkan suatu kerugian baik bagi para pihak terkait dengan akta, maupun bagi Notaris sendiri. Dalam penerapan prinsip kehati-hatian ini, sesuai dengan pasal 15 ayat (2) huruf e Undang-undang Jabatan Notaris Nomor 2 Tahun 2014, bahwa seorang Notaris berwenang untuk memberikan penyuluhan hukum kepada para pihak yang akan mengikatkan diri dalam suatu perjanjian atau perbuatan hukum tertentu, sehingga akta yang dibuatnya dapat menjamin kepastian dan perlindungan hukum bagi para pihaknya. Apabila seorang Notaris terbukti telah melakukan tindakan-tindakan yang bertentangan dengan Undang-undang dan mengakibatkan akta otentik yang dibuat oleh seorang Notaris kemudian dapat dibatalkan atau dinyatakan batal demi hukum karena dianggap telah mengakibatkan suatu kerugian terhadap salah satu pihak atau pihak ketiga, maka Notaris tersebut dapat dituntut ke muka pengadilan dengan ancaman pidana, perdata, administrasi ataupun dengan sanksi-sanksi pelanggaran kode etik Notaris selaku pejabat umum, karena dianggap telah mengakomodir perjanjian yang tidak seharusnya terjadi atau perjanjian yang tidak memenuhi syarat-syarat sah dalam perjanjian. Akibat dari tidak diindahkannya prinsip kehati-hatian oleh Notaris sebagai perwujudan dari pasal 16 ayat (1) huruf a Undang-undang Jabatan Notaris Nomor 2 Tahun 2014 mengenai kewajibannya untuk bersikap seksama, selain dari akta Notaris yang dapat dilakukan pembatalan atau batal demi hukum, Notaris dapat diancam dengan sanksi-sanksi sebagai bentuk pertanggungjawaban dari seorang Notaris atas segala tindakannya. Sanksi yang diberikan kepada Notaris yang melakukan pelanggaran dibagi kedalam tiga aspek, yaitu aspek tanggung gugat keperdataan, aspek tanggung jawab pidana, dan aspek tanggung jawab administratif. 1. Aspek Tanggung Jawab Keperdataan Bentuk pemberian sanksi perdata berupa penggatian biaya, ganti rugi, dan bunga yang merupakan akibat yang akan diterima oleh seorang Notaris atas tuntutan para 14 Ibid 113 | LENTERA HUKUM penghadap jika akta yang bersangkutan hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan atau akta menjadi batal demi hukum. Akta Notaris yang mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan atau menjadi batal demi hukum karena melanggar ketentuan dalam Undang-undang, harus dengan pembuktian melalui proses gugatan perdata di pengadilan umum yang diajukan oleh pihak (penghadap) yang namanya tersebut dalam akta atau pihak ketiga yang menderita kerugian sebagai akibat dari akta tersebut. akta Notaris yang mempunyai kekuatan pembuktian sempurna yang melanggar ketentuan tertentu, akan terdegradasi nilai pembuktiannya menjadi mempunyai kekuatan sebagai akta di bawah tangan. Untuk menentukan bahwa suatu akta Notaris terdegradasi menjadi kekuatan pembuktian bawah tangan berada dalam ruang lingkup penilaian suatu alat bukti. 2. Aspek Tanggung Jawab Pidana “Sanksi pidana bagi seorang Notaris tunduk terhadap ketentuan pidana umum, yaitu Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), sedangkan dalam Undang-undang Jabatan Notaris Nomor 30 Tahun 2004 jo Undang-undang Jabatan Notaris Nomor 2 tahun 2014 tidak mengatur mengenai tindak pidana khusus untuk Notaris.”15 Pemidanaan terhadap seorang Notaris dapat saja dilakukan dengan batasan jika terdapat tindakan hukum dari Notaris terhadap aspek formal akta yang sengaja, penuh kesadaran dan keinsyafan serta direncanakan, bahwa akta yang dibuat di hadapan Notaris atau oleh Notaris bersama-sama (sepakat) untuk dijadikan dasar melakukan suatu tindak pidana. Kedua, adanya suatu tindakan hukum dari Notaris dalam membuat akta di hadapan atau oleh Notaris yang jika diukur berdasarkan UUJN tidak sesuai dengan UUJN. Serta adanya tindakan Notaris yang tidak sesuai menurut instansi yang berwenang untuk menilai tindakan Notaris, dalam hal ini Majelis Pengawas Notaris. Pasal-pasal yang sering digunakan untuk menuntut Notaris dalam pelaksanaan tugas jabatannya adalah pasal-pasal yang mengatur mengenai tindak pidana pemalsuan surat, yaitu pasal 263, pasal 264, dan pasal 266 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). 3. Aspek Tanggung Jawab Administratif Seorang Notaris juga dapat dijatuhi sanksi administrasi, selain aspek tanggung jawab secara perdata dan secara pidana. Sanksi administrasi diberikan oleh Dewan Kehormatan Notaris atau Majelis Pengawas Notaris apabila seorang Notaris terbukti telah melanggar Undang-undang Jabatan Notaris (UUJN) dan kode etik Notaris. Sanksi administrasi yang ditujukan kepada Notaris sesuai dengan pasal 85 Undang-undang Jabatan Notaris (UUJN) Nomor 30 Tahun 2004, yaitu: 1) Teguran lisan; 2) Teguran tertulis; 3) Pemberhentian sementara; 4) Pemberhentian dengan hormat; 5) Pemberhentian dengan tidak hormat. Sanksi-sanksi tersebut berlakunya secara berjenjang. Sanksi terhadap Notaris menunjukkan bahwa Notaris bukanlah sebagai subjek hukum yang kebal terhadap hukum. Selain dapat dijatuhkan sanksi pidana, sanksi perdata, dan sanksi administrasi, terhadap Notaris juga dapat dijatuhi sanksi Kode Etik 15 Habib Adji, Sanksi Perdata dan Administratif Terhadap Notaris Sebagai Pejabat Publik, Bandung. Refika Aditama, 2013, Hal.119. 114 | Penerepan Prinsip Kehati-hatian Notaris Ketika Membuat Perjanjian Perkawinan Pisah Harta Notaris, ketika Notaris terbukti telah melakukan pelanggaran terhadap kode etik jabatan Notaris. Sanksi tersebut dijatuhkan oleh Dewan Kehormatan Notaris, dan sanksi tertinggi dari pelanggaran kode etik Notaris ini berupa pemberhentian secara hormat atau secara tidak hormat dari keanggotaan Organisasi Jabatan Notaris. “penerapan sanksi-sanksi kepada Notaris berkaitan dengan proses pembuatan akta perjanjian perkawinan pisah harta selama dalam ikatan perkawinan pada perkawinan campuran oleh Notaris, baik itu sanksi perdata, pidana, maupun administratif, hanya bisa dikenakan kepada seorang Notaris jika terdapat gugatan terdapat akta yang telah dibuatnya oleh para pihak atau pihak ketiga. Dalam artian bahwa jika tidak terdapat gugatan terdapat akta autentik yang dibuat oleh Notaris tersebut maka dianggap Notaris telah menerapkan prinsip kehati-hatian dalam pembuatan aktanya”.16 E. Penerapan Prinsip Kehati-Hatian Notaris Pada Saat Pembuatan Akta Perjanjian Perkawinan Pisah Harta Selama Dalam Ikatan Perkawinan Pada Perkawinan Campuran Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015 “Penerapan prinsip kehati-hatian pada proses pembuatan akta perjanjian perkawinan pisah harta selama dalam ikatan perkawinan pada perkawinan campuran yang harus diperhatikan oleh seorang Notaris adalah pertama menentukan perbuatan hukum yang diniatkan oleh para pihak yang tercantum dalam akta, apakah telah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan apakah telah memenuhi syarat sahnya suatu perjanjian sesuai dengan Pasal 1320 Kitab Undang hukum Perdata (KUHPer) mengenai kecakapan pihaknya, sepakat, hal tertentu (objek), dan causa yang halal. Kemudian apabila keinginan para pihak terdapat ketidaksesuaian dengan Undang- undang, maka Notaris berwenang untuk memberikan penyuluhan hukum terkait dengan perbuatan hukum yang akan dilakukan oleh para pihak yang dituangkan dalam akta.”17 “Langkah-langkah yang diterapkan pada proses pembuatan akta perjanjian perkawinan pisah harta yang dibuat selama dalam ikatan perkawinan pada perkawinan campuran sama halnya dengan langkah-langkah yang harus ditempuh Notaris dalam membuat perjanjian pada umumnya, hanya ada perbedaan beberapa tahapan-tahapan tertentu yang harus dilalui oleh para pihak, hal ini dikarenakan belum adanya peraturan pelaksana yang mengatur hal tersebut, sehingga harus melihat motif latar belakang dari dibuatnya perjanjian perkawinan tersebut oleh para pihak, dan untuk memenuhi prinsip kehati-hatian Notaris. Dalam hal ini harus memenuhi unsur-unsur yang terdapat dalam Pasal 1320 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer), dan Undang-undang khusus yang mengatur mengenai perjanjian tersebut. Pembuatan akta otentik oleh Notaris termasuk dalam kebebasan berkontrak, segalanya diserahkan kepada para pihak 16 Hasil Wawancara dengan Ibu Dr. Endang Sri Kawuryan, S.H., MKn., Selaku Notaris Kota Malang, Pada Tanggal 17 November 2017, Pukul 10.00 WIB. 17 Ibid 115 | LENTERA HUKUM yang membuatnya, dan tidak melanggar peraturan perundang-undangan, norma hukum, agama, dan kesusilaan.”18 III. PENUTUP Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dikemukakan oleh penulis, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: Pertama, Prinsip kehati-hatian Notaris pada pembuatan akta perjanjian perkawinan pisah harta selama dalam ikatan perkawinan pada perkawinan campuran pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015 bertujuan agar jangan sampai akta perjanjian perkawinan yang dibuatnya menimbulkan permasalahan atau sengketa dikemudian hari. Hal ini dikarenakan masih belum adanya peraturan pelaksana yang menjadi rujukan pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015, diantaranya yaitu mengenai kaitannya dengan pihak ketiga, pencatatan perjanjian perkawinan yang dibuat sepanjang perkawinan, serta keberlakuan perjanjian perkawinan pisah harta yang dibuat sepanjang perkawinan. Kedua, Tanggung jawab hukum apabila Notaris dalam melaksanakan tugasnya sebagai pejabat umum tidak mengindahkan prinsip kehati- hatian, berupa Tanggung Jawab Keperdataan, bentuk pemberian sanksi perdata berupa penggatian biaya, ganti rugi, dan bunga. Tanggung Jawab Pidana, pemidanaan terhadap seorang Notaris dapat saja dilakukan dengan batasan jika terdapat tindakan hukum dari Notaris terhadap aspek formal akta yang sengaja, penuh kesadaran dan keinsyafan serta direncanakan untuk dijadikan dasar melakukan suatu tindak pidana. Dan Tanggung Jawab Administratif, Sanksi administrasi yang ditujukan kepada Notaris sesuai dengan pasal 85 Undang-undang Jabatan Notaris (UUJN) Nomor 30 Tahun 2004, yaitu teguran lisan, teguran tertulis, pemberhentian sementara, pemberhentian dengan hormat, pemberhentian dengan tidak hormat. Sanksi-sanksi tersebut berlaku secara berjenjang. Ketiga, Penerapan prinsip kehati-hatian pada proses pembuatan akta perjanjian perkawinan pisah harta yang dibuat selama dalam ikatan perkawinan pada perkawinan campuran pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015, sama halnya dengan langkah-langkah yang harus ditempuh Notaris dalam membuat perjanjian pada umumnya, hanya ada perbedaan beberapa tahapan-tahapan tertentu yang harus dilalui oleh para pihak dengan melihat motif dan latar belakang para pihak. DAFTAR PUSTAKA Habib Adjie. Majelis Pengawas Notaris Sebagai Pejabat Tata Usaha Negara. Surabaya: Refika Aditama, 2010. ______________ Hukum Notaris Indonesia Tafsir Tematik Terhadap UU No. 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris. Bandung: Refika Aditama, 2008. ______________ Kebatalan dan Pembatalan Akta Notaris. Bandung: Refika Aditama, 2011. 18 Hasil Wawancara dengan Ibu Diah Ayu Wisnuwardhani, S.H. MHum., Selaku Notaris Kota Malang, Pada Tanggal 20 Desember 2017, Pukul 09.00 WIB. 116 | Penerepan Prinsip Kehati-hatian Notaris Ketika Membuat Perjanjian Perkawinan Pisah Harta ______________ Sanksi Perdata dan Administratif Terhadap Notaris Sebagai Pejabat Publik, Bandung. Refika Aditama, 2013 Herlien Budiono, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang Kenotariatan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007. Salim HS. dan Erlies Septiana Nurbani. Penerapan Teori Hukum Pada Penelitian Tesis Dan Disertasi. Buku Kedua Jakarta: Raja Grafiko Persada, 2014. Sjaifurrachman & Habib Adjie. Aspek Pertanggungjawaban Notaris dalam Pembuatan Akta. Bandung: Mandar Maju, 2011. Sudarsono. Sekilas Tentang Wewenang Dan Penyalahgunaan Wewenang (Dalam Perspektif Hukum Administrasi Negara). Malang: Unidha Press, 2013. Wawan Setawan, Sikap Profesionalisme Notaris Dalam Pembuatan akta Otentik, Media Notariat, Edisi Mei-Juni 2004. Sulikah Kualaria. Perjanjian Perkawinan Sebagai Sarana Perlindungan Hukum Bagi Para Pihak Dalam Perkawinan. Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Tahun 2015. Ane Fany Novitasari. Tanggungjawab Notaris Atas Isi Perjanjian Perkawinan Setelah Perkawinan. Fakultas Hukum Universitas Brawijaya. Tahun 2015. Rina Dwi Kurnianingsih. Perlindungan Hukum Yang Berkeadilan Bagi Pihak Ketiga Pada Perjanjian Perkawinan Yang Belum Disahkan. Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Tahun 2015. Kitab Undang-undang Hukum Perdata Kitab Undang-undang Hukum Pidana Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris Undang-undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris Peraturan Pemerintah Pelaksana Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015. Perjanjian Perkawinan. 2015.