Lentera Hukum, Volume 2 Issue 2 (2015), pp. 117-135 ISSN 2355-4673 (Print) 2621-3710 (Online) https://doi.org/10.19184/ ejlh.v2i2.20300 Published by the University of Jember, Indonesia Available online 21 July 2015 Penguasaan Tanah di Kawasan Sempadan Pantai dan Wilayah Pesisir Shofie Rudhy Aghazsi University of Jember, Indonesia shofieaghzs@gmail.com ABSTRACT Indonesia has large coastal areas that relatively rich in its resources. That’s why the coastal areas including the seashore boundaries are used to define the public interest, industry, tourism, settlements, even the privatization of beaches that brings damage either. Even more, according to the rules about seashore boundaries, it should be free from building settlements. It can make obscurity occupation causes there is no legal certainty for the people who live there. Therefore, it necessary the specific regulation about the occupation of the seashore boundaries include regulation about ownership, occupation, and maintenance. So, it will be arranged systematically. This article examines the regulation and how to do the protection as well as the management of the seashore boundaries and the coastal areas. Based on the study of literature, in practice, the rules of the seashore boundaries and coastal areas are regulated by Law No. 1 the Year 2014 about Changes to the Act No. 27 of the year 2007 about the management of Coastal Areas and The Sma ll Islands. And also arranged by the Presidential Regulation Number 51 the Year 2014 about The Seashore Boundaries. Coastal areas management includes planning activities, utilization, supervision, and control of coastal resources. Whereas, the protection of the seashore boundaries includes prohibition, monitoring, control, also a determination of the boundary limits of the beach to retain its function as a local protection area. This article concludes with suggestions that are maintaining the existence of the seashore boundaries to protect the coastal areas. KEYWORDS: Land Occupation, Seashore Boundaries, Coastal Areas. Copyright © 2015 by Author(s) This work is licensed under a Creative Commons Attribution-ShareAlike 4.0 International License. All writings published in this journal are personal views of the authors and do not represent the views of this journal and the author's affiliated institutions. Submitted: May 05, 2015 Revised: Juny 08, 2015 Accepted: Juny 28, 2015 HOW TO CITE: Aghazsi, Shofie Rudhy. “Penguasaan Tanah di Kawasan Sempadan Pantai dan Wilayah Pesisir” (2015) 2:2 Lentera Hukum 117-135 118 | Penguasaan Tanah di Kawasan Sempadan Pantai dan Wilayah Pesisir I. PENDAHULUAN Indonesia merupakan negara kepulauan dengan garis pantai sepanjang 81.000 km2. Dengan panjang garis pantai tersebut, Indonesia dikenal juga sebagai negara yang memiliki wilayah pesisir yang sangat luas. Wilayah pesisir yang relatif kaya akan sumber dayanya, mengakibatkan wilayah pesisir umumnya digunakan sebagai industri, pariwisata, dan kepentingan umum lainnya, juga dimanfaatkan sebagai tempat bermukim oleh masyarakat sekitar pesisir. Padahal, produk hukum mengenai lingkungan hidup, hingga penataan ruang maupun otonomi daerah sudah ada, sehingga seharusnya penataan penggunaan wilayah pesisir tidak selayaknya menjadi kumuh dan mengalami kerusakan. Terlebih lagi, banyak masyarakat yang menguasai tanah sempadan pantai untuk digunakan sebagai tempat bermukim oleh masyarakat adat jauh sebelum ketentuan mengenai sempadan pantai diterbitkan. Namun, penguasaan oleh masyarakat di wilayah pesisir dan sempadan pantai tersebut seringkali menyebabkan konflik. Hal ini dikarenakan tanah di wilayah pesisir yang umumnya adalah tanah dengan status hak milik negara atau dikuasai oleh negara, hanya dikuasai secara fisik oleh masyarakat sekitar pesisir tanpa adanya suatu alas hak sehingga menyebabkan ketidakjelasan status penguasaannya dan tidak ada suatu kepastian hukum bagi mereka yang menguasai tanah di wilayah pesisir tersebut. Begitu pula dengan penguasaan tanah sempadan yang dilakukan oleh masyarakat setempat menjadi tidak jelas karena andanya aturan mengenai sempadan pantai yang harus terbebas dari bangunan penunjang kegiatan rekreasi pantai, pelabuhan, bandar udara, dan pembangkitan tenaga listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 100 Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2017 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional. Dampak dari permasalahan tersebut tentunya akan mempengaruhi aktivitas sosial ekonomi masyarakat dalam memanfaatkan pantai sebagai sumber kehidupan dan penghidupan mereka termasuk kepastian hukum diatasnya yang menimbulkan potensi konflik penguasaan pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah. Dengan demikian sangat diperlukan akan adanya peranan hukum dalam bentuk pengaturan oleh negara. Pengaturan yang dimaksud dalam hal ini meliputi pemilikan, penguasaan, serta pemeliharaannya sehingga tertata secara sistimatis. II. PENGATURAN TENTANG KAWASAN SEMPADAN PANTAI DAN WILAYAH PESISIR Pengelolaan wilayah pesisir diatur dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, yang kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Dengan adanya udang-undang tersebut, diharapkan mampu membangun sinergi dan saling memperkuat antar lembaga pemerintah baik di pusat maupun di daerah yang terkait dengan pengelolaan wilayah pesisir sehingga tercipta kerja sama antarlembaga yang harmonis dan mencegah serta memperkecil konflik pemanfaatan dan konflik 119 | LENTERA HUKUM kewenangan antarkegiatan di wilayah pesisir. Selain itu, yang terpenting adalah memberikan kepastian dan perlindungan hukum serta memperbaiki tingkat kemakmuran masyarakat pesisir. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil ini diberlakukan terhadap daerah pertemuan antara pengaruh perairan dan daratan, ke arah daratan mencakup wilayah administrasi kecamatan dan ke arah perairan laut sejauh 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah ke arah perairan kepulauan, sebagaimana termaktub dalam Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Dimana, lingkup pengaturannya meliputi perencanaan, pengelolaan, serta pengawasan, dan pengendalian terhadap interaksi manusia dalam memanfaatkan sumber daya pesisir serta proses alamiah secara berkelanjutan guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Pemberian hak atas tanah pada perairan pesisir sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang- Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, dapat diberikan untuk bangunan yang harus ada di wilayah perairan pesisir, antara lain: a. program strategis negara; b. kepentingan umum; c. permukiman diatas air bagi masyarakat hukum adat; dan/atau d. pariwisata. Persyaratan dalam pemberian hak atas tanah di wilayah pesisir adalah sebagai berikut: 1 1) berlaku ketentuan dalam peraturan perundang-undangan mengenai pemberian hak atas tanah; 2) peruntukannya sesuai dengan rencana tata ruang wilayah provinsi/ kabupaten/kota atau rencana zonasi wilayah pesisir; 3) mendapat rekomendasi dari pemerintah provinsi/kabupaten/kota dalam hal ini belum diatur mengenai peruntukan tanah dalam RTRW; 4) memenuhi ketentuan perizinan dari instansi terkait. Untuk masyarakat hukum adat yang telah tinggal secara turun temurun, dapat diberikan hak atas tanah tanpa melalui persyaratan tersebut diatas. Meskipun demikian, mekanisme pemberian hak atas tanah mengikuti peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ketentuan mengenai subjek hak, jenis hak yang dapat diberikan, jangka waktu, peralihan, pembebanan, kewajiban, dan larangan serta hapusnya hak atas tanah di wilayah pesisir mengikuti peraturan perundang-undangan yang berlaku. Penggunaan dan pemanfaatan tanah di wilayah pesisir harus dicatat dalam buku tanah dan sertifikat.2 1 Waskito dan Hadi Arnowo. 2017. Pertanahan, Agraria, dan Tata Ruang. Jakarta. Kencana. Hlm. 236. 2 Ibid. 120 | Penguasaan Tanah di Kawasan Sempadan Pantai dan Wilayah Pesisir Untuk hal-hal tertentu, pemberian hak atas tanah tidak dilakukan di wilayah pesisir, yaitu terhadap:3 a) bangunan yang terletak di luar batas wilayah laut provinsi; b) instalasi eksplorasi dan/atau eksploitasi minyak bumi, gasi, pertambangan, panas bumi; c) instalasi kabel bawah laut, jaringan pipa, dan jaringan transmisi lainnya; d) bangunan yang terapung. Penataan penggunaan dan pemanfaatan tanah di wilayah pesisir harus memperhatikan ketentuan-ketentuan sebagai berikut:4 (1) wilayah tertentu di pesisir harus dijadikan sebagai sempadan pantai berupa daratan sepanjang tepian yang lebarnya prosporsional dengan bentuk dan kondisi fisik pantai minimal 100 meter dari titik pasang tertinggi ke arah darat. Daerah bervegetasi bakau dipertahankan sebagai wilayah konservasi terhadap ancaman abrasi; (2) permukiman nelayan yang sudah lama berdiri beserta usaha ekonominya harus didukung melalui akses reform dan berbagai kegiatan sektoral lainnya; (3) pemanfaatan wilayah pesisir harus memperhatikan prioritas kepada kepentingan masyarakat asli pesisir, konservasi wilayah pesisir, pertahanan keamanan, pembangunan ekonomi terpadu serta perlindungan wilayah tertentu yang mempunyai keunikan ekosistem; (4) pengembangan wilayah pesisir untuk tujuan komersial harus mengikuti penataan ruang yang ditentukan oleh pemerintah daerah dan ketentuan lain yang dipersyaratkan oleh instansi teknis terkait. Mengenai pemanfaatan ruang di wilayah pesisir, dalam Pasal 16 dan Pasal 17 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil ditegaskan bahwa setiap orang yang melakukan pemanfaatan ruang dari sebagian perairan pesisir secara menetap wajib memiliki izin lokasi yang nantinya digunakan sebagai dasar pemberian izin pengelolaan. Izin lokasi itu sendiri harus diberikan berdasarkan rencana zonasi wilayah pesisir dengan wajib mempertimbangkan kelestarian ekosistem pesisir, masyarakat, nelayan tradisional, kepentingan nasional, dan hak lintas damai bagi kapal asing. Terdapat beberapa permasalahan terkait dengan fasilitasi perizinan, yakni: a. belum adanya standar prosedur dalam permohonan maupun pengeluaran izin lokasi dan izin pengelolaan pesisir yang menimbulkan ketidakjelasan prosedur perizinan, ketidakjelasan pembagian kewenangan antara pusat dan daerah, serta menghambat investasi; b. sebagaimana termaktub dalam Pasal 20 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2017 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, bahwa pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberikan fasilitasi kepada masyarakat untuk melakukan pengurusan izin. Namun, bentuk fasilitasi tersebut tidak diamanatkan lebih lanjut dalam undang-undang ini serta tidak ada sanksi apabila kewajiban tersebut tidak dilaksanakan. Bentuk fasilitasi/pemberdayaan masyarakat yang tidak memperhatikan masyarakat dapat merugikan kepentingan masyarakat lokal. 3 Ibid. 4 Ibid. 121 | LENTERA HUKUM Dilihat dari kacamata ekologi, konsep perizinan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil jelas sangat pro-lingkungan. Namun jika dikaji lebih mendalam konsep perizinan dalam undang-undang ini berpotensi mengkriminalisasi dan memasung kebebasan akses sumber daya masyarakat pesisir. Hal ini merujuk dari bunyi Pasal 71 Ayat (1) yang menyebutkan bahwa pemanfaatan sumber daya perairan pesisir yang tidak sesuai dengan izin lokasi sebagaimana Pasal 16 Ayat (1) dikenai sanksi administratif. Memang dalam Pasal 18, izin pemanfaatan dapat diberikan kepada orang perseorangan warga Negara Indonesia dan atau badan hukum yang didirikan berdasarkan hukum Indonesia. Namun, kebanyakan masyarakat pesisir nyatanya memang tidak mampu, baik secara ekonomi, sosial dan politik. Mereka tidak memiliki kekuatan yang sepadan jika dibandingkan dengan para pemilik modal. Mereka diyakini akan tersingkir dalam persaingan mendapatkan izin baik karena tidak tahan dengan birokrasi perizinannya maupun karena “dianggap” tidak lebih memberi keuntungan dibanding jika kapling wilayah pesisir diberikan kepada para investor kaya. Pasal 21 dan Pasal 22 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2017 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, memberikan perlindungan bagi masyarakat hukum adat untuk dikecualikan dari kewajiban untuk memiliki perizinan baik izin lokasi maupun izin pengelolaan. Namun Pasal 21 tersebut mengesankan adanya persyaratan bertingkat. Di satu sisi memberikan keleluasaan kepada masyarakat hukum adat untuk mengelola ruang penghidupannya, namun disisi lain membenturkannya dengan frase “mempertimbangkan kepentingan nasional dan peraturan perundang-undangan”, juga tidak ditegaskan definisi kepentingan nasional di dalam udang-undang ini. Sedangkan mengenai sempadan pantai diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 51 Tahun 2016 tentang Batas Sempadan Pantai guna melaksanakan ketentuan Pasal 31 ayat (3) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2017 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2017 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Berdasarkan Pasal 1 angka 2 Peraturan Presiden Nomor 51 Tahun 2016 tentang Batas Sempadan Pantai, sempadan pantai adalah daratan sepanjang tepian pantai, yang lebarnya proporsional dengan bentuk dan kondisi fisik pantai, minimal 100 (seratus) meter dari titik pasang tertinggi ke arah darat. Batas sempadan pantai adalah ruang sempadan pantai yang ditetapkan berdasarkan metode tertentu. Setiap Pemerintah Daerah Provinsi yang mempunyai sempadan pantai wajib menetapkan arahan batas sempadan pantainya dalam Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi. Sedangkan untuk Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota yang mempunyai sempadan pantai wajib menetapkan batas sempadan pantainya dalam Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota sebagaimana diatur dalam Pasal 2 Peraturan Presiden Nomor 51 Tahun 122 | Penguasaan Tanah di Kawasan Sempadan Pantai dan Wilayah Pesisir 2016 tentang Batas Sempadan Pantai. Sebagaimana ditegasakan dalam Pasal 25 Perpres No. 51 Tahun 2016 mengatur bahwa Pemerintah Daerah Daerah wajib menetapkan batas sempadan pantai paling lama 5 (lima) tahun terhitung sejak Perpres tersebut diundangkan. Adapun tujuan penetapan batas sempadan sebagaimana Pasal 4 Peraturan Presiden Nomor 51 Tahun 2016 tentang Batas Sempadan Pantai adalah untuk melindungi dan menjaga: 1) kelestarian fungsi ekosistem dan segenap sumber daya di wilayah pesisir dan pulau- pulau kecil; 2) kehidupan masyarakat di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dari ancaman bencana alam; 3) alokasi ruang untuk akses publik melewati pantai; dan 4) alokasi ruang untuk saluran air dan limbah. Penetapan batas sempadan pantai oleh Pemerintah Daerah dilakukan berdasarkan penghitungan batas sempadan pantai. Penghitungan batas sempadan pantai tersebut harus disesuaikan dengan karakteristik topografi, biofisik, hidro- oseanografi pesisir, kebutuhan ekonomi dan budaya, serta ketentuan lain terkait. Penghitungan batas sempadan pantai sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat (2) Peraturan Presiden Nomor 51 Tahun 2016 tentang Batas Sempadan Pantai, harus mengikuti ketentuan: (a) perlindungan terhadap gempa dan/atau tsunami; (b) perlindungan pantai dari erosi atau abrasi; (c) perlindungan sumber daya buatan di pesisir dari badai, banjir, dan bencana alam lainnya; (d) perlindungan terhadap ekosistem pesisir, seperti lahan basah, mangrove, terumbu karang, padang lamun, gumuk pasir, estuaria, dan delta; (e) pengaturan akses publik; dan (f) pengaturan untuk saluran air dan limbah. Sedangkan, penetapan batas sempadan pantai untuk daerah rawan bencana di wilayah pesisir dapat dilakukan kurang dari hasil penghitungan dengan ketentuan wajib menerapkan pedoman bangunan (building code) bencana, sebagaimana diatur dalam Pasal 21 Peraturan Presiden Nomor 51 Tahun 2016 tentang Batas Sempadan Pantai. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penghitungan batas sempadan pantai diatur dalam peraturan menteri. Dengan berlakunya Peraturan Presiden Nomor 51 Tahun 2016 tentang Batas Sempadan Pantai, maka ketentuan dalam peraturan daerah tentang rencana tata ruang wilayah provinsi, peraturan daerah tentang rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota, dan peraturan daerah tentang rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang telah ada dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Presiden Nomor 51 Tahun 2016 tentang Batas Sempadan Pantai ini. Setiap peraturan yang bertentangan dengan Peraturan Presiden Nomor 51 Tahun 2016 tentang Batas Sempadan Pantai harus disesuaikan paling lambat dalam 5 (lima) tahun terhitung sejak diundangkannya Peraturan Presiden Nomor 51 Tahun 2016 tentang Batas Sempadan Pantai atau paling lambat tanggal 19 Juni 2021. 123 | LENTERA HUKUM Dengan terbitnya Peraturan Presiden Nomor 51 Tahun 2016 tentang Batas Sempadan Pantai ini diharapkan akan memberikan jaminan terhadap pemanfaatan kawasan sempadan pantai sebagai kawasan lindung yang lestari dan berkelanjutan dengan memperhatikan pemanfaatan ruang untuk ruang terbuka hijau, pengembangan struktur alami dan struktur buatan untuk mencegah abrasi, pendirian bangunan yang dibatasi hanya untuk menunjang kegiatan rekreasi pantai serta ketentuan pelarangan pendirian hanya untuk kepentingan rekreasi, dan semua jenis kegiatan yang dapat menurunkan luas, nilai ekologis dan estetika kawasan sebagimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2017 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN). Sempadan pantai juga ditetapkan sebagai kawasan perlindungan setempat, sebagaimana diatur dalam Pasal 52 ayat (2) huruf a Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2017 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional. Adapun kriteria sempadan pantai menurut Pasal 56 Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional adalah ditetapkan dengan kriteria: a. daratan sepanjang tepian laut dengan jarak paling sedikit 100 (seratus) meter dari titik pasang air laut tertinggi ke arah darat; atau b. daratan sepanjang tepian laut yang bentuk dan kondisi fisik pantainya curam atau terjal dengan jarak proporsional terhadap bentuk dan kondisi fisik pantai. Sedangkan pengaturan zonasi untuk sempadan pantai sebagaimana diatur dalam Pasal 100 Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2017 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, disusun dengan memperhatikan: 1) pemanfaatan ruang untuk ruang terbuka hijau; 2) pengembangan struktur alami dan struktur buatan untuk mencegah abrasi; 3) pemanfaatan untuk pelabuhan yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; 4) pendirian bangunan yang dibatasi hanya untuk menunjang kegiatan rekreasi pantai, pelabuhan, bandar udara, dan pembangkitan tenaga listrik; 5) ketentuan pelarangan bangunan selain yang dimaksud dalam huruf d; dan 6) ketentuan pelarangan semua jenis kegiatan yang dapat menurunkan luas, nilai ekologis, dan estetika kawasan. Sedangkan dalam Pasal 4 Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penataan Pertanahan di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, penataan pertanahan di wilayah pesisir dilakukan dengan pemberian hak atas tanah pada: a) pantai; b) perairan pesisir yang diukur dari garis pantai ke arah laut sampai sejauh batas laut wilayah provinsi. Pemberian hak atas tanah pada pantai dapat diberikan untuk bangunan yang harus ada di wilayah pesisir pantai, antara lain: (1) bangunan yang digunakan untuk pertahanan dan keamanan; (2) pelabuhan atau dermaga; (3) tower penjaga keselamatan pengunjung pantai; 124 | Penguasaan Tanah di Kawasan Sempadan Pantai dan Wilayah Pesisir (4) tempat tinggal masyarakat hukum adat atau anggota masyarakat yang secara turun- temurun sudah bertempat tinggal di tempat tersebut; dan/atau (5) pembangkit tenaga listrik. Kawasan sempadan pantai merupakan kawasan yang dikuasai oleh negara dilindungi keberadaannya karena berfungsi sebagai pelindung kelestarian lingkungan pantai. Dengan demikian, kawasan sempadan pantai menjadi ruang publik dengan akses terbuka bagi siapapun. Status tanah negara pada kawasan tersebut mengisyaratkan bahwa negara dalam hal pemerintah yang berhak menguasai dan memanfaatkannya sesuai dengan fungsinya. Pemanfaatan dan pengelolaan kawasan sempadan pantai semata-mata difokuskan untuk kegiatan yang berkaitan dengan fungsi konservasinya serta harus steril atau terbebas dari kegiatan pembangunan. Pemerintah sebagai pemegang hak pengelolaan, memegang peranan dalam mengendalikan pemanfaatan tersebut. Disisi lain, pemerintah atau pemerintah daerah mempunyai kewajiban untuk mengadakan pengawasan terhadap pengelolaan kawasan serta perlu dilakukan pengetatan pemberian izin lokasi untuk pemanfaatan tanah pantai. Menurut hemat penulis, sesuai dengan sifat laut yang dinamis, maka terdapat kemungkinan besar posisi dan letak garis sempadan pantai mengalami perubahan dalam kurun waktu tertentu. Adanya abrasi pada kawasan pantai yang terjadi secara terus menerus patut dipertimbangkan dalam penetapan garis sempadan pantai. Kikisan gelombang ombak yang semakin mendekati pesisir pantai karena terjadinya abrasi, akan menyebabkan garis pantai semakin mundur. Apabila garis pantai berubah, maka secara otomatis garis sempadan pantai juga akan berubah. Sehingga monitoring garis sempadan pantai mutlak diperlukan. Disisi lain, meskipun pengaturan mengenai sempadan pantai sudah jelas, namun dalam kenyataan di lapangan masih banyak sekali pelanggaran-pelangaran, baik yang dilakukan oleh masyarakat maupun investor. Seperti di daerah tempat tinggal Penulis, yakni di Pantai Mayangan Kota Probolinggo. Dimana, aturan mengenai batas sempadan pantai sudah sangat jelas disebutkan dalam Pasal 43 ayat (1) Peraturan Daerah Kota Probolinggo Nomor 2 Tahun 2010 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Probolinggo Tahun 2009-2028. Yakni, sempadan pantai ditetapkan dengan kriteria daratan sepanjang tepian laut dengan jarak paling sedikit 100 (seratus) meter dari titik pasang air laut tertinggi ke arah darat, meliputi Kawasan Pantai Kelurahan Ketapang, Pantai Kelurahan Pilang, Pantai Kelurahan Sukabumi, Pantai Kelurahan Mangunharjo, dan Pantai Kelurahan Mayangan. Namun, realitanya banyak masyarakat yang mendirikan bangunan untuk digunakan sebagai tempat bermukim pada kawasan sempadan pantai baik setelah atau sebelum diberlakukannya Peraturan Daerah Kota Probolinggo Nomor 2 Tahun 2010 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Probolinggo Tahun 2009-2028, maupun Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dan Peraturan Presiden Nomor 51 Tahun 2016 tentang Batas Sempadan Pantai. Hal ini tentunya melanggar ketentuan Pasal 43 Peraturan Daerah Kota Probolinggo Nomor 2 Tahun 2010 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Probolinggo Tahun 2009-2028. Sehingga 125 | LENTERA HUKUM perlu dilakukan penegakan hukum. Penegakan hukum yang dimaksud disini adalah pemberian sanksi secara tegas kepada masyarakat yang mendirikan bangunan di kawasan sempadan pantai, yakni dengan melakukan pembongkaran terhadap bangunan yang berdiri di kawasan sempadan pantai. Penetapan garis pantai tersebut hendaknya ditindaklanjuti dengan penegakan hukum (law enforcement) sehingga dapat tegas terhadap pelanggaran yang terjadi, untuk semua pihak tanpa terkecuali. Daerah sempadan pantai harus dijadikan sebagai daerah konservasi. Dimana, untuk daerah yang sudah terlanjur dipenuhi dengan bangunan disekitar pantainya, perlu dilakukan pembongkaran terhadap bangunan yang melanggar di kawasan sempadan pantai. Atau paling tidak diminimalkan dampaknya. Sedangkan daerah yang belum dibangun, harus diupayakan agar supaya terjaga kelestariannya, yakni dengan cara memperketat pemberian izin lokasi dan Izin Mendirikan Bangunan (IMB). Pemberian izin tersebut harus ditindaklanjuti dengan melakukan pengawasan secara berkesinambungan. Kemudian yang terpenting dari semua itu adalah bagaimana peraturan-peraturan yang ada tersebut, dapat diimplementasikan dengan penuh tanggung jawab oleh semua pihak yang berkepentingan, sehingga pelanggaran di kawasan sempadan pantai tidak terjadi lagi. Dengan kata lain peraturan yang telah dibuat harus ditindaklanjuti dengan penegakan hukumnya. Dan untuk setiap pelanggaran yang ada, diberikan sanksi yang tegas, tanpa pandang bulu. Sanksi bisa saja diberikan dengan melakukan pembongkaran terhadap bangunan yang berdiri di kawasan sempadan pantai. III. PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN KAWASAN SEMPADAN PANTAI DAN WILAYAH PESISIR A. Cara Pengelolaan Terhadap Kawasan Sempadan Pantai dan Wilayah Pesisir Beberapa tahun belakangan ini, terdapat kecenderungangan bahwa kawasan sempadan pantai dan wilayah pesisir rentan mengalami kerusakan akibat aktivitas orang dalam memanfaatkan sumber dayanya atau akibat bencana alam. Selain itu, akumulasi dari berbagai kegiatan eksploitasi yang bersifat parsial/sektoral di kawasan sempadan pantai dan wilayah pesisir atau dampak kegiatan lain di hulu wilayah pesisir yang didukung peraturan perundang-undangan yang ada sering menimbulkan kerusakan ekosistem pesisir juga sempadan pantai. Peraturan perundang-undangan yang ada lebih berorientasi pada eksploitasi sumber daya. Sementara itu, kesadaran nilai strategis dari pengelolaan kawasan sempadan pantai dan wilayah pesisir secara berkelanjutan, terpadu, dan berbasis masyarakat relatif kurang. Oleh sebab itu, keunikan wilayah pesisir yang rentan terhadap adanya konflik perlu dikelola secara baik agar dampak aktivitas manusia dapat dikendalikan dan sebagian wilayah pesisir dapat dipertahankan untuk wilayah konservasi. Masyarakat perlu didorong untuk mengelola wilayah pesisirnya dengan baik dan yang telah berhasil perlu diberikan insentif, dan yang merusak perlu diberi sanksi sebagaimana dalam peraturan perundang-undangan mengenai wilayah pesisir juga sempadan pantai. 126 | Penguasaan Tanah di Kawasan Sempadan Pantai dan Wilayah Pesisir Wilayah pesisir yang rentan terhadap perubahan juga perlu dilindungi melalui pengelolaan agar dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan hidup dan penghidupan masyarakat. Oleh sebab itu, diperlukan kebijakan dalam pengelolaannya sehingga dapat menyeimbangkan tingkat pemanfaatan sumber daya pesisir untuk kepentingan ekonomi tanpa mengorbankan kebutuhan generasi yang akan datang melalui pengembangan kawasan konservasi dan sempadan pantai. Pengesahan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah yang mencabut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, berdampak terhadap otonomi daerah dalam pengelolaan pesisir dan pulau-pulau kecil. Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah menyebutkan bahwa Daerah Provinsi diberikan kewenangan untuk mengelola sumber daya laut yang ada di wilayahnya. Pasal ini menggugurkan Pasal 18 ayat 1 Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang menyebutkan bahwa Daerah yang memiliki wilayah laut diberikan kewenangan untuk mengelola sumber daya di wilayah laut. Pada bagian penjelasan, Daerah dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah adalah Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota. Dengan demikian, secara langsung Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah mencabut kewenangan Kabupaten/Kota dalam pengelolaan sumber daya laut. Adapun kewenangan Daerah Provinsi untuk mengelola sumber daya di wilayah laut sebagaimana tertuang dalam Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, yakni: Pasal 27 (1) Daerah provinsi diberi kewenangan untuk mengelola sumber daya alam di laut yang ada di wilayahnya. (2) Kewenangan Daerah provinsi untuk mengelola sumber daya alam di laut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan kekayaan laut di luar minyak dan gas bumi; b. pengaturan administratif; c. pengaturan tata ruang; d. ikut serta dalam memelihara keamanan di laut; dan e. ikut serta dalam mempertahankan kedaulatan negara. (3) Kewenangan Daerah provinsi untuk mengelola sumber daya alam di laut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling jauh 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan. (4) Apabila wilayah laut antardua Daerah provinsi kurang dari 24 (dua puluh empat) mil, kewenangan untuk mengelola sumber daya alam di laut dibagi sama jarak atau diukur sesuai dengan prinsip garis tengah dari wilayah antardua Daerah provinsi tersebut. Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah tidak berubah signifikan, kecuali hanya ada penekanan bahwa kegiatan eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan kekayaan laut hanya untuk sumber daya di luar minyak dan gas bumi. Dengan kata lain, minyak dan gas bumi menjadi kewenangan 127 | LENTERA HUKUM pemerintah pusat. Kewenangan Daerah Provinsi untuk mengelola sumber daya di wilayah laut paling jauh 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis pangkal ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan (Pasal 27 ayat 3 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah). Pasal ini memperkuat pemberian kewenangan kepada Pemerintah Provinsi, dimana sebelumnya ada kewenangan Pemerintah Kabupaten/Kota sejauh 4 (empat) mil laut sebagaimana ditetapkan pada Pasal 18 ayat (4) UU No. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang menyebutkan bahwa kewenangan untuk mengelola sumber daya di wilayah laut sebagaimana dimaksud pada ayat (3) paling jauh 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan untuk provinsi dan 1/3 (sepertiga) dari wilayah kewenangan provinsi untuk kabupaten/kota. Dengan demikian, berdasarkan Pasal 27 ayat (3) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, maka mulai dari garis pantai hingga 12 mil laut menjadi kewenangan Pemerintah Provinsi. Berdasarkan uraian di atas, maka pengesahan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah masih menyisakan permasalahan, yaitu: a. ketidakjelasan kewenangan Kabupaten/Kota dalam pengelolaan sumber daya di wilayah laut; b. ketidakjelasan pembagian fungsi dan peran antara Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota dalam pengelolaan sumber daya pesisir dan pulau- pulau kecil. Ketidakjelasan ini akan menimbulkan ketidakpastian hukum sehingga diperlukan kebijakan. Pertama perlu segera diterbitkan Peraturan Pemerintah yang mengatur pemberian kewenangan kepada provinsi terkait pengelolaan wilayah pesisir. Yang kedua, kedua perlu penyesuaian norma di dalam UU No 1 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah terkait dengan kewenangan pengelolaan wilayah pesisir. Pada dasarnya, penggunaan dan pemanfaatan tanah di wilayah pesisir diperbolehkan oleh undang-undang sepanjang tetap memperhatikan keterbatasan daya dukung, pembangunan yang berkelanjutan keterkaitan ekosistem, keanekaragam hayati, serta kelestarian fungsi lingkungan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah, yakni: penggunaan dan pemanfaatan pada pulau-pulau kecil dan bidang-bidang tanah yang berada di sempadan pantai, sempadan danau, sempadan waduk, dan sempadan sungai, harus memperhatikan: 1. kepentingan umum; 2. keterbatasan daya dukung, pembangunan yang berkelajutan, keterkaitan ekosistem, keanekaragaman hayati serta kelestarian fungsi lingkungan. Berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, masyarakat dapat menggunakan wilayah pesisir untuk kepentingan permukiman sepanjang tidak melewati garis sempadan pantai. Tanah-tanah yang berada diluar kawasan sempadan pantai, dikuasai oleh negara yang pemanfaatannya harus mendapat persetujuan dari 128 | Penguasaan Tanah di Kawasan Sempadan Pantai dan Wilayah Pesisir pemerintah daerah setempat dan hak yang dapat diperoleh adalah hak pakai atau hak pengelolaan. Sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 1 angka 3 Peraturan Menteri Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan, hak pengelolaan adalah hak menguasai dari negara yang kewenangan pelaksanaannya sebagian dilimpahkan kepada pemegangnya. Hak pakai dan hak pengelolaan pada hakekatnya bukanlah hak atas tanah sebagaimana diatur dalam Pasal 4 jo. Pasal 16 UUPA, melainkan merupakan pemberian pelimpahan sebagian kewenangan untuk melaksanakan hak menguasai negara kepada pemegang hak pengelolaan. Dalam penjelasan UUPA angka II butir 2 dijelaskan bahwa: “Negara-negara dapat memberikan tanah yang dikuasai oleh Negara kepada orang atau badan hukum dengan sesuatu hak menurut peruntukan dan keperluannya misalnya hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan atau hak pakai atau memberikannya dalam pengelolaan kepada suatu badan (departemen, jawatan, atau daerah swantara).” Bagian-bagian dari hak pengelolaan yang diserahkan kepada pihak ketiga dapat diberikan dengan status hak guna bangunan atau hak pakai. Kewenangan pemberian hak di atas hak pengelolaan tetap mengacu pada Peraturan Menteri Negara/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalah Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan. Namun, dalam peraturan tersebut tidak diatur secara rinci mengenai tata cara penyerahan bagian-bagian tanah hak pengelolaan. Tetapi, dalam ketentuan Pasal 4 ayat (2) dijelaskan bahwa pemohon tanah hak pengelolaan, harus memperoleh penunjukan berupa perjanjian penggunaan tanah dari pemegang hak pengelolaan. Dalam peraturan lain, yakni Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai Atas Tanah diatur mengenai pemberian hak guna bangunan dan hak pakai diatas tanah hak pengelolaan, antara lain dalam Pasal 21 dan 41, sebagai berikut: Pasal 21 Tanah yang dapat diberikan dengan hak guna bangunan adalah: a. tanah negara; b. tanah hak pengelolaan; c. tanah hak milik. Pasal 41 Tanah yang dapat diberikan hak pakai adalah: a. tanah negara; b. tanah hak pengelolaan; c. tanah hak milik. Berdasarkan uraian tersebut diatas, jelas bahwa PT. Pelabuhan Indonesia (PELINDO) mempunyai kewenangan hak pengelolaan terhadap kawasan-kawasan yang telah ditetapkan sesuai peraturan perundang-undangan. Dimana PT. PELINDO dapat menyerahkan sebagian wilayah hak pengelolaannya kepada pihak ketiga dengan status hak guna bangunan atau hak pakai. 129 | LENTERA HUKUM Sebagaimana termaktub dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, yang dimaksud dengan pengelolaan wilayah pesisir adalah suatu pengoordinasian, perencanaan, pemanfaatan, pengawasan, dan pengendalian sumber daya pesisir dilakukan oleh pemerintah dan pemerintah daerah, antarsektor, antara ekosistem darat dan laut, serta antara ilmu pengetahuan dan manajemen untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Pengelolaan wilayah pesisir berdasarkan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau- Pulau Kecil berasaskan: a) keberlanjutan; b) konsistensi; c) keterpaduan; d) kepastian hukum; e) kemitraan; f) pemerataan; g) peran serta masyarakat; h) keterbukaan; i) desentralisasi; j) akuntabilitas; dan k) keadilan Sedangkan pengelolaan wilayah pesisir sebagaimana termaktub dalam Pasal 4, dilaksanakan dengan tujuan: 1) melindungi, mengonservasi, merehabilitasi, memanfaatkan, dan memperkaya sumber daya pesisir serta sistem ekologisnya secara berkelanjutan; 2) menciptakan keharmonisan dan sinergi antara pemerintah dan pemerintah daerah dalam pengelolaan sumber daya pesisir; 3) memperkuat peran serta masyarakat dan lembaga pemerintah serta mendorong inisiatif masyarakat dalam pengelolaan sumber daya pesisir agar tercapai keadilan, keseimbangan, dan keberlanjutan; dan 4) meningkatkan nilai sosial, ekonomi, budaya masyarakat melalui peran serta masyarakat dalam pemanfaatan sumber daya pesisir. Pengelolaan wilayah pesisir meliputi kegiatan perencanaan, pemanfaatan, pengawasan, dan pengendalian terhadap interaksi manusia dalam memanfaatkan sumber daya pesisir serta proses alamiah secara berkelanjutan dalam upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.5 Pengelolaan tersebut dilakukan dengan cara mengintegrasikan kegiatan: antara pemerintah dan pemerintah daerah; antar-pemerintah daerah; antarsektor; antara pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat; antara ekosistem darat dan ekosistem laut; serta antara ilmu pengetahuan dan prinsip-prinsip manajemen 5 Suhanan Yosua. 2010. Hak Atas Tanah Timbul (Aanslibbing) dalam Sistem Hukum Pertanahan Indonesia. Jakarta. Restu Agung. Hlm. 5. 130 | Penguasaan Tanah di Kawasan Sempadan Pantai dan Wilayah Pesisir sebagaimana termaktub dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Perencanaan pengelolaan wilayah pesisir sebagaimana diatur dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, terdiri atas: (a) Rencana Strategis Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RSWP-3-K); (b) Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RSWP-3-K); (c) Rencana Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RPWP-3-K); (d) Rencana Aksi Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RSWP-3-K); Pemerintah Daerah wajib menyusun rencana pengelolaan wilayah pesisir tersebut dengan melibatkan masyarakat serta wajib menyusun Rencana Zonasi rinci di setiap zona kawasan pesisir tertentu dalam wilayahnya. Sedangkan untuk RSWP-3-K merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari rencana pembangunan jangka panjang setiap pemerintah daerah dan wajib mempertimbangkan kepentingan pemerintah dan pemerintah daerah. Kemudian, untuk Rencana Zonasi Wiyah Pesisir (RZWP-3-K) yang merupakan arahan pemanfaatan sumber daya di wilayah pesisir pemerintah provinsi dan/atau pemerintah kabupaten/kota, harus diserasikan, diselaraskan, dan diseimbangkan dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (selanjutnya disebut RTRW) pemerintah provinsi atau pemerintah kabupaten/kota. Sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 9 ayat (3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, perencanaan RZPW-3-K ini jangka waktu berlakunya 20 tahun, dilakukan dengan mempertimbangkan: (1) keserasian, keselarasan, dan keseimbangan dengan daya dukung ekosistem, fungsi pemanfaatan dan fungsi perlindungan, dimensi ruang dan waktu, dimensi teknologi dan sosial budaya, serta fungsi pertahanan dan keamanan; (2) keterpaduan pemanfaatan berbagai jenis sumber daya, fungsi, estetika lingkungan, dan kualitas lahan pesisir; dan (3) kewajiban untuk mengalokasikan ruang dan akses masyarakat dalam pemanfaatan wilayah pesisir yang mempunyai fungsi sosial dan ekonomi. Selain itu, pengelolaan terhadap wilayah pesisir juga diberikan dalam bentuk Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP3) sebagaimana disebutkan dalam Undang- Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Hak pengusahaan tersebut meliputi hak pengusahaan atas permukaan laut dan kolom air sampai dengan permukaan dasar laut. Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP3) merupakan hak atas bagian-bagian tertentu dari perairan pesisir untuk usaha kelautan dan perikanan, serta usaha lain yang terkait dengan pemanfaatan sumber daya pesisir yang diberikan dalam luasan dan waktu tertentu, yaitu 20 (dua puluh) tahun. Namun, jangka waktu tersebut dapat diperpanjang tahap kesatu paling lama 20 (dua puluh) tahun dan dapat diperpanjang lagi untuk tahap kedua sesuai dengan peraturan 131 | LENTERA HUKUM perundang-undangan, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 19. Pemberian HP-3 ini wajib mempertimbangkan kepentingan kelestarian ekosistem pesisir, masyarakat adat, dan kepentingan nasional serta hak lintas damai bagi kapal asing. B. Perlindungan Terhadap Kawasan Sempadan Pantai dan Wilayah Pesisir Selain pengelolaan, terhadap wilayah pesisir dan juga sempadan pantai juga perlu untuk dilakukan perlindungan, yakni dalam bentuk penetapan batas sempadan pantai guna melindungi dan mempertahankan fungsinya sebagai kawasan perlindungan setempat.6 Selain itu, perlindungan terhadap sempadan pantai juga dilakukan dalam bentuk larangan, juga pengawasan dan pengendalian. Bentuk perlindungan terhadap wilayah pesisir yang salah satunya berupa larangan, diatur dalam Pasal 35 Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau- Pulau Kecil. Salah satu larangannya ialah melakukan pembangunan fisik yang menimbulkan kerusakan lingkungan dan/atau merugikan masyarakat sekitarnya. Hal ini juga di sebutkan secara eksplisit dalam Pasal 100 Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2017 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional bahwa pendirian bangunan pada kawasan sempadan pantai dibatasi hanya untuk menunjang kegiatan rekreasi pantai, pelabuhan, bandar udara, dan pembangkitan tenaga listrik. Selain itu, pada huruf f juga terdapat pelarangan untuk semua jenis kegiatan yang dapat menurunkan luas, nilai ekologis, dan estetika kawasan. Sedangkan pengawasan dan pengendalian terhadap kawasan sempadan pantai dan wilayah pesisir dilakukan untuk:7 a. mengetahui adanya penyimpangan pelaksanaan rencana strategis, rencana zonasi, rencana pengelolaan, serta implikasi penyimpangan tersebut terhadap perubahan kualitas ekosistem pesisir; b. mendorong agar pemanfaatan sumber daya di wilayah pesisir juga sempadan pantai sesuai dengan rencana pengelolaan wilayah pesisirnya; c. memberikan sanksi terhadap pelanggar, baik berupa sanksi administrasi seperti pembatalan izin atau pencabutan hak, sanksi perdata seperti pengenaan denda atau ganti rugi; maupun sanksi pidana berupa penahanan ataupun kurungan. Menurut Pasal 36 ayat (2) Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau- Pulau Kecil, pengawasan dan perlindungan terhadap pengelolaan wilayah pesisir dilakukan untuk menjamin terselenggaranya pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu dan berkelanjutan, dilakukan pengawasan dan/atau pengendalian terhadap pelaksanaan ketentuan di bidang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, oleh pejabat tertentu (pegawai negeri sipil tertentu) yang berwenang di bidang pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sesuai dengan sifat pekerjaannya dan diberikan wewenang 6 La Sara. 2014. Pengelolaan Wilayah Pesisir. Bandung. Alfabeta. Hlm 4. 7 Ibid. 132 | Penguasaan Tanah di Kawasan Sempadan Pantai dan Wilayah Pesisir kepolisian khusus. Adapun kewenangan pegawai negeri sipil tersebut berdasarkan Pasal 36 ayat (2) Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sebagai berikut: 1. mengadakan patroli/ perondaan di wilayah pesisir atau wilayah hukumnya; 2. menerima laporan yang menyangkut perusakan ekosistem pesisir, kawasan konservasi, kawasan pemanfaatan umum, dan kawasan strategis nasioal tertentu. Disamping itu, pelaksanaan pengawasan dan pengendalian pengelolaan wilayah pesisir, pemerintah dan pemerintah daerah wajib melakukan pemantauan, pengamatan lapangan, dan/atau evaluasi terhadap perencanaan dan pelaksanaannya. Masyarakat juga dapat berperan serta dalam pengawasan dan pengendalian tersebut. Yakni dengan cara menyampaikan laporan dan/atau pengaduan kepada pihak yang berwenang terhadap hal-hal yang melanggar peraturan perundang-udangan, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 37 Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Namun, dalam kenyataannya masih banyak terjadi pelanggaran pemanfaatan ruang pantai terhadap norma hukum yang berlaku. Penulis mengambil contoh privatisasi pesisir di Nusa Tenggara Timur (NTT) yang menutup akses publik masyarakat terhadap pantai. Padahal dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, daerah sempadan pantai adalah kawasan milik negara yang hanya boleh untuk konservasi, rekreasi rakyat dan pembangunan yang terkait dengan infrastruktur ruang publik rakyat. Selain itu, daerah sempadan pantai adalah 100 meter dari batas air pasang tertinggi ke arah darat. Namun, aturan tersebut tidak sesuai dengan fakta di Kota Kupang.8 Selain itu, terdapat fakta lain sebagaimana dimuat oleh WALHI, diantaranya: a) Kondisi kelautan dan pesisir di NTT makin memperihatinkan dengan adanya kebijakan “memunggungi” laut; Yakni membiarkan kebijakan privatisisi kawasan pesisir yang merajalela. Contohnya, membuka ruang privatisasi di pesisir kota Kupang (Pasir Panjang, Teluk Kupang). b) Pencemaran laut dibiarkan; Penyelesaian kasus pencemaran laut Timor praktis tidak mendapat perhatian serius dari pemerintah propinsi. Upaya penyelesaian justru banyak diinisiasi masyarakat sipil di NTT. Saat ini juga pencemaran di laut Kupang tidak dikontrol oleh pemerintah daerah. Sampah banyak di laut karena aktivitas pembangunan yang tidak diurus serius dampak lingkungannya. c) Berkurangnya wilayah kelola rakyat di pesisir. 8 Wahana Lingkungan Indonesia. Hentikan Privatisasi Pesisir di NTT, Perluas Wilayah Kelola Rakyat. https://walhi.or.id/hentikan-privatisasi-pesisir-di-ntt-perluas-wilayah-kelola-rakyat/. Diakses pada tanggal 1 Juli 2018. 133 | LENTERA HUKUM Terdapat banyak nelayan yang sulit untuk mendapatkan akses ke laut atau bahkan sekadar menambatkan perahu karena adanya privatisasi pesisir. Bahkan akses publik untuk melakukan rekreasi di pantai kian berkurang. Contoh kasus, Kota Kupang. Disini kita dapat melihat betapa ruang publik kawasan Pasir Panjang semakin tidak memadai. Yang terjadi hanyalah deretan hotel-hotel dan bisnis lain yang mengakibatkan sulitnya akses warga dan nelayan ke pesisir. Beberapa fakta kegagalan tersebut yakni: 1) Dalam perspektif keadilan; Saat ini telah terjadi ketidakadilan antargenerasi di Kota Kupang khususnya ekspresi publik di wilayah pesisir yang dulunya masih bebas akses ke pantai untuk rekreasi, kepentingan ekonomi, atau ruang kelola nelayan masih sangat luas. Namun kini, orang tua, muda, dan anak-anak sulit bahkan tertutup aksesnya ke pantai. Bahkan pengakuan dari warga, untuk sekadar parkir motor di sekitar hotel yang ada di pasir panjang saja dilarang oleh pihak keamanan hotel. Di sinilah letak ketidakadilan antar generasi itu. Kebijakan pemkot di pesisir Kupang yang mengakibatkan ketidakadilan ini terjadi;Ruang kelola dan rekreasi rakyat tidak nyaman dan kian terbatas di pesisir. 2) Tercemarnya laut Kupang oleh sampah pembangunan dan adanya kebijakan “menemboki” pesisir membuat nelayan dan rakyat tidak mempunyai akses terhadap pesisir; Padahal dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, daerah sempadan pantai adalah kawasan milik negara yang hanya boleh untuk konservasi, rekreasi rakyat dan pembangunan yang terkait dengan infrastruktur ruang publik rakyat. Selain itu, daerah sempadan pantai adalah 100 meter dari batas air pasang tertinggi ke arah darat. Namun, aturan tersebut tidak sesuai dengan fakta di Kota Kupang. 3) Area konservasi dan ketahanan menghadapi bencana; Dengan kebijakan Pemkot, area konservasi berkurang drastis. Hal ini dapat mengakibatkan rusaknya ekosistem pesisir dan laut di Kota Kupang; 4) Hilangnya mental maritim. Mental maritim kita akan hilang apabila potret kebijakan Pemkot bila terus dipertahankan seperti saat ini. Hal inilah yang nantinya membuat masyarakat semakin abai dengan pesisir dan laut. Selin itu juga tidak mungkin menciptakan mental cinta laut kepada semua generasi, kalau akses terhadap laut pesisir saja kian dipersulit dari waktu ke waktu. Berdasarkan persoalan diatas, maka seharusnya pemerintah Provinsi NTT membuat kebijakan yang melindungi kepentingan nelayan dan rakyat kebanyakan dari upaya pencemaran laut dan privatisasi kawasan pesisir di NTT serta menghentikan atau meminimalisir kebijakan pariwisata pesisir berbasis investor, dan memperluas ruang pariwisata pesisir yang dikelola oleh rakyat. Sedangkan masukan bagi Pemerintah Kota 134 | Penguasaan Tanah di Kawasan Sempadan Pantai dan Wilayah Pesisir Kupang adalah mengevaluasi Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 2011 tentang Rencana Detail Tata Ruang Kota Kupang; menghentikan atau paling tidak mempersulit pemberian ijin pembangunan yang tidak terkait dengan kepentingan publik di pesisir Kota Kupang. Selain hal tersebut diatas, juga perlu dilakukan evaluasi terhadap semua perijinan di kawasan pesisir Kota Kupang, patuh terhadap Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dan Peraturan Presiden Nomor 51 Tahun 2016 tentang Batas Sempadan Pantai yakni minimal 100 meter dari air pasang tertinggi ke arah darat. Disamping itu, pantai perlu dijadikan ruang terbuka hijau dan ruang ekspresi publik. IV. PENUTUP Sempadan pantai termasuk dalam kawasan perlindungan setempat yang perlu ditentukan keberadaannya terkait dengan fungsinya sebagai pengaman dan pelindung kelestarian pantai. Dalam hal ini Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota diberikan kewenangan untuk menentukkan lebar kawasan sempadan pantai. Disamping itu, kawasan sempadan pantai harus terbebas dari pendirian bangunan, selain bangunan penunjang kegiatan rekreasi pantai, pelabuhan, bandar udara, dan pembangkitan tenaga listrik. Sedangkan pengelolaan terhadap wilayah pesisir dan juga sempadan pantai dilakukan dengan cara pemanfaatan wilayah pesisir, yakni berupa pengusahaan perairan pesisir yang diberikan dalam bentuk Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP3). Sedangkan bentuk perlindungan terhadap wilayah pesisir dan sempadan pantai adalah dengan penentuan batas sempadan pantai guna melindungi dan mempertahankan fungsinya sebagai kawasan perlindungan setempat. Selain itu, juga dilakukan perlindungan dalam bentuk larangan, pengawasan dan pengendalian. Maka dari itu, pemerintah harus membuat kebijakan yang melindungi kepentingan masyarakarat dan juga meminimalisir kebijakan pariwisata pesisir berbasis investor serta memperluas ruang pariwisata pesisir yang dikelola oleh rakyat. Disamping itu, pemerintah harus mempersulit pemberian ijin pembangunan yang tidak terkait dengan kepentingan publik. Juga melakukan evaluasi terhadap semua perijinan di kawasan pesisir. Masyarakat juga harus patuh terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku, yakni tidak menguasai tanah sempadan pantai yang berjarak minimal 100 meter dari air pasang tertinggi ke arah darat. Intinya adalah peraturan yang telah dibuat harus ditindaklanjuti dengan penegakan hukumnya. Dan untuk setiap pelanggaran yang ada, diberikan sanksi yang tegas, tanpa pandang bulu. Sanksi bisa saja diberikan dengan melakukan pembongkaran terhadap bangunan yang berdiri di kawasan sempadan pantai. 135 | LENTERA HUKUM DAFTAR PUSTAKA Sara, La. Pengelolaan Wilayah Pesisir. Ed. 1. Cet. 2. (Bandung: Alfabeta, 2014). Waskito dan Hadi Arnowo. Pertanahan, Agraria, dan Tata Ruang. Ed. 1. (Jakarta: Kencana, 2017). Yosua, Suhanan. Hak Atas Tanah Timbul (Aanslibbing) dalam Sistem Hukum Pertanahan Indonesia. (Jakarta: Restu Agung, 2010). Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau- Pulau Kecil. Undang-Undang No. 1 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2017 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional. Peraturan Presiden Nomor 51 Tahun 2016 tentang Batas Sempadan Pantai. Wahana Lingkungan Indonesia. "Hentikan Privatisasi Pesisir di NTT, Perluas Wilayah Kelola Rakyat", online .