Lentera Hukum, Volume 2 Issue 2 (2015), pp. 136-147 ISSN 2355-4673 (Print) 2621-3710 (Online) https://doi.org/10.19184/ ejlh.v2i2.20301 Published by the University of Jember, Indonesia Available online 21 July 2015 Hak Waris Anak Perempuan Menurut Hukum Adat Samin, Desa Klopoduwur, Kabupaten Blora Iin Nur Kholilah University of Jember, Indonesia iinnurkholilah@gmail.com Dominikus Rato University of Jember, Indonesia dominikusrato@gmail.com I Wayan Yasa University of Jember, Indonesia iwayanyasash@gmail.com ABSTRACT The samanic society that adheres to Adam's religion that has the principle of honesty, all religions to them equally well. The samin are convinced of a belief in the laws of nature and the law of karma. The people of samin use the title of inheritance instead of inheritance, and in sharing the inheritance of the samin community using the parental system only they do not always know the relationship of blood or the upper generation after the grandparents because they assume that all children are descendants of adam who have rights and obligations same. While the process of dividing the inheritance of the samin community does not distinguish the religion held by its descendants as long as it does not contradict the main points of the teachings of samin, in the division of inheritance as long as the parents are alive to avoid disputes. The author is interested to examine more about the division of inheritance, especially the part of girls in the community of samin, precisely in the village Klopoduwur, Kabupaten Blora. KEYWORDS: Rights of Inheritance, Girls, Samin Customs. Copyright © 2015 by Author(s) This work is licensed under a Creative Commons Attribution-ShareAlike 4.0 International License. All writings published in this journal are personal views of the authors and do not represent the views of this journal and the author's affiliated institutions. Submitted: May 05, 2015 Revised: Juny 08, 2015 Accepted: Juny 28, 2015 HOW TO CITE: Kholilah, Iin Nur. Dominikus Rato, I Wayan Yasa. “Hak Waris Anak Perempuan Menurut Hukum Adat Samin Desa Klopoduwur Kabupaten Blora” (2015) 2:2 Lentera Hukum 136-147 137 | LENTERA HUKUM I. PENDAHULUAN Pandangan masyarakat Samin terhadap lingkungan juga sangat positif, karena bagi mereka bekerja adalah bagian dari harga diri berkeluarga. Biasanya mereka memanfaatkan alam (misalnya mengambil kayu) secukupnya saja dan tidak pernah mengeksploitasi bahkan sering melakukan ritual-ritual khusus untuk kelestarian alam. Hal ini selaras dengan pola pikiran mereka yang cukup sederhana, tidak berlebihan dan apa adanya. Tanah bagi mereka ibarat ibu sendiri, artinya tanah memberi penghidupan kepada mereka Karena sesungguhnya Sedulur Sikep memiliki khasanah budaya yang luhur, dengan kehidupan mereka yang sederhana, dan apa adanya. Satu komunitas itu terasa damai, rukun, segala sesuatu diselesaikan untuk mencari bagaimana baiknya, tanpa adanya suatu peselisihan. Prinsip mereka yang senang membantu serta tidak ingin merepotkan orang lain merupakan sikap yang pantas diacungi jempol dan harus senantiasa dilestarikan. Perjuangan Samin Demi Sebuah Eksistensi Ditengah peradaban yang semakin modern, masih ada beberapa suku atau daerah yang masih mempertahankan tradisi ajarannya. Adanya himpitan kebudayaan tradisional yang makin ditinggalkan, mengakibatkan orang lupa dengan kebudayaan aslinya. Namun demikian masih banyak orang yang tetap berpegang teguh pada ajarannya. Salah satu suku yang masih mempertahankan eksistensinya adalah Samin. Terlepas dari sikap samin yang masih terkesan primitif dan jarang untuk bersosialisasi dengan masyarakat luar. Patut kita tiru perilaku mereka dalam melakukan suatu kegiatan yang masih tetap mengedepankan sikap toleransi, gotong royong, dan menghargai orang lain, sebab hanya dengan bergitulah maka mereka semua akan merasa saling memiliki antara satu dengan yang lainnya, sehingga akan tercipta suatu kehidupan yang harmonis dan sejahtera. Masyarakat Samin sendiri juga mengisolasi diri hingga baru pada tahun '70-an, mereka baru tahu Indonesia telah merdeka. Kelompok Samin ini tersebar sampai ke wilayah Jawa Tengah, namun konsentrasi terbesarnya berada di kawasan Blora, Jawa Tengah yang bermukim di perbatasan wilayah. Jumlah mereka tidak banyak dan tinggal di kawasan pegunungan Kendeng di perbatasan dua provinsi. Kelompok Samin lebih suka disebut wong sikep, karena kata samin bagi mereka mengandung makna negatif. Orang luar Samin sering menganggap mereka sebagai kelompok yang lugu, suka mencuri, menolak membayar pajak, dan acap menjadi bahan lelucon terutama di kalangan masyarakat Blora. Pokok ajaran Samin Surosentiko, yang nama aslinya Raden Kohar, kelahiran Desa Ploso Kedhiren, Randublatung, tahun 1859, dan meninggal saat diasingkan ke Padang. Seringkali suku samin Blora disebut sebagai sedulur sikep samin yang artinya semuanya saudara, merasa jelek tapi dari dalam batin tidak jelek, selain itu samin juga mempunyai ajaran-ajaran tersendiri sebagai berikut. Sebagaimana disebutkan oleh Bapak Pardi (wawancara tanggal 13 Juli 2017) salah satu tokoh adat Samin bahwa Pokok-pokok ajaran Saminisme : 1. Agama adalah senjata atau pegangan hidup. Paham Samin tidak membeda- bedakan agama, oleh karena itu orang Samin tidak pernah mengingkari atau membenci agama. Yang penting adalah tabiat dalam hidupnya. 2. Bersikap sabar dan jangan sombong http://id.wikipedia.org/wiki/Jawa_Tengah http://id.wikipedia.org/wiki/Jawa_Tengah http://id.wikipedia.org/wiki/Blora http://id.wikipedia.org/wiki/Padang http://id.wikipedia.org/wiki/Agama http://id.wikipedia.org/wiki/Senjata http://id.wikipedia.org/wiki/Paham_Samin http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Tabiat&action=edit&redlink=1 138 | Hak Waris Anak Perempuan Menurut Hukum Adat Samin Desa Klopoduwur Kabupaten Blora 3. Jangan mengganggu orang, jangan bertengkar, jangan suka iri hati, dan jangan suka mengambil milik orang. 4. Manusia hidup harus memahami kehidupannya sebab hidup adalah sama dengan roh dan hanya satu, dibawa abadi selamanya. Menurut orang Samin, roh orang yang meninggal tidaklah meninggal, namun hanya menanggalkan pakaiannya. 5. Bila berbicara harus bisa menjaga mulut, jujur, dan saling menghormati. Berdagang bagi orang Samin dilarang karena dalam perdagangan terdapat unsur “ketidakjujuran”, juga tidak boleh menerima sumbangan dalam bentuk uang. Berdasarkan tradisi Pernikahan suku samin sendiri terbilang unik karena tidak mengenal poligami dan cerai dengan istilah “siji kanggo selawase” (satu untuk selamanya) yang artinya 1 pernikahan buat selamanya tidak ada cerai dan poligami. Jika salah satu dari mereka yang tidak cocok dalam arti sulit diatur maka biasanya istri/perempuan akan dikembalikan kepada orang tuanya dan keduanya pun tidak akan menikah lagi itu berarti akan menjadi janda atau duda seumur hidup. Pernikahannya-pun tidak mengenal akad nikah hanya dengan “jambi suruh gedang setangkep” dan tidak ada penghulunya hanya mendatangkan pihak keluarga dan dihadiri sesepuh suku samin. Perkawinan masih tetap berpegang teguh terhadap ajaran dari leluhurnya yaitu Ki Samin Surosentiko. Selain itu, dalam setiap tahapan perkawinan terdapat sebuah ungkapan-ungkapan tradisional. Ungkapan tersebut mempunyai makna terhadap tahapan-tahapan perkawinan yang dilaksanakan oleh masyarakat Samin. Kedudukan budaya dalam sistem perkawinan masyarakat Samin yaitu perkawinan masyarakat Samin mempunyai hubungan dan keterkaitan dengan unsur-unsur dari sebuah kebudayaan yaitu bahasa, religi, dan sistem organisasi kemasyarakatan (sosial). Berdasarkan temuan penelitian ini, saran yang dapat diberikan yaitu perkawinan masyarakat Samin merupakan warisan kebudayaan dari ki Samin Surosentiko yang tetap dipertahankan oleh masyarakat Samin. Oleh karena itu, hendaknya pemerintah setempat lebih memperhatikan kebudayaan masyarakat Samin yang masih dijalankan sampai sekarang dan penelitian ini dapat dijadikan sebagai pengetahuan untuk masyarakat Blora dan masyarakat umum tentang perkawinan pada masyarakat adat suku Samin. Dalam suatu hal bahwa kekerabatan masyarakat Samin memiliki persamaan dengan kekerabatanJawa pada umumnya. Sebutan-sebutan dan cara penyebutannya sama. Hanya saja mereka tidak terlalu mengenal hubungan darah atau generasi lebih ke atas setelah Kakek atau Nenek. Hubungan ketetanggaan baik sesama Samin maupun masyarakat di luar Samin terjalin dengan baik. Dalam menjaga dan melestarikan hubungan kekerabatan masyarakat Samin memiliki tradisi untuk saling berkunjung terutama pada saat satu keluarga mempunyai hajat sekalipun tempat tinggalnya jauh. Menurut budaya dan adat suku Samin, perkawinan itu sangat penting. Dalam ajarannya perkawinan itu merupakan alat untuk meraih keluhuran budi yang seterusnya untuk menciptakan. Dalam ajaran Samin, dalam perkawinan seorang pengantin laki-laki diharuskan mengucapkan syahadat, yang berbunyi kurang lebih demikian : “Sejak Nabi pekerjaan saya memang kawin. (Kali ini) mengawini seorang perempuan bernama…… Saya berjanji setia kepadanya. http://id.wikipedia.org/wiki/Mulut http://id.wikipedia.org/wiki/Unsur http://id.wikipedia.org/wiki/Unsur http://id.wikipedia.org/wiki/Uang http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Kekerabatan&action=edit&redlink=1 http://id.wikipedia.org/wiki/Jawa http://id.wikipedia.org/wiki/Kakek http://id.wikipedia.org/wiki/Nenek http://id.wikipedia.org/wiki/Tetangga http://id.wikipedia.org/wiki/Tradisi http://id.wikipedia.org/wiki/Perkawinan http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Pengantin&action=edit&redlink=1 http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Pengantin&action=edit&redlink=1 http://id.wikipedia.org/wiki/Syahadat 139 | LENTERA HUKUM Hidup bersama telah kami jalani berdua.” Demikian beberapa ajaran kepercayaan yang diajarkan Samin Surosentiko pada pengikutnya yang sampai sekarang masih dipatuhi warga samin. Menurut penuturan dari orang Samin perkawinan sudah dianggap sah walaupun yang menikahkan hanya orang tua pengantin. Ajaran perihal Perkawinan dalam tembang Pangkur orang Samin adalah sebagai berikut (dalam Bahasa Jawa) : “Saha malih dadya garan, anggegulang gelunganing pembudi, palakrama nguwoh mangun, memangun traping widya, kasampar kasandhung dugi prayogântuk, ambudya atmaja ‘tama, mugi-mugi dadi kanthi.” Terjemahan (dalam bahasa Indonesia) : “Maka yang dijadikan pedoman, untuk melatih budi yang ditata, pernikahan yang berhasilkan bentuk, membangun penerapan ilmu, terserempet, tersandung sampai kebajikan yang dicapai, bercita-cita menjadi anak yang mulia, mudah-mudahan menjadi tuntunan” Menarik untuk dikaji tentang hukum waris adat Samin, karena masalah warisan merupakan masalah yang sensitif. Hal tersebut terkait dengan sifat harta waris yang bersifat duniawi, dimana jika pembagiannya dirasa tidak adil akan mengakibatkan sengketa antara para pihak yang merasa lebih berhak atau lebih banyak menerima harta warisan. Pembagian harta warisan pada dasarnya dapat dilakukan dengan suasana musyawarah dan sepakat antar anggota keluarga, namun adakalanya dapat menimbulkan perpecahan antar anggota keluarga. Apabila dalam suasana musyawarah tidak tercapai kesepakatan, pihak tertentu dalam keluarga tersebut biasanya akan menuntut pihak yang lain dalam suatu lembaga peradilan. Harta waris adat pada prinsipnya dibagi dalam 4 (empat) bagian, yaitu : harta asal, harta pemberian, harta pencaharian, hak dan kewajiban yang diwariskan : Harta asal adalah harta yang diperoleh atau dimiliki oleh pewaris sebelum perkawinan yang dibawa kedalam perkawinan, baik harta itu berupa harta peninggalan maupun harta bawaan. Harta Pemberian adalah harta yang dimiliki oleh pewaris karena pemberian, baik pemberian dari suami bagi istri, pemberian dari orang tua, pemberian kerabat, pemberian orang lain, hadiah-hadiah perkawinan atau karena hibah wasiat. Harta pemberian ini berbeda dengan harta asal, jika harta asal ada sebelum terjadinya perkawinan, sedangkan harta pemberian ini ada setelah dilakukannya perkawinan. Harta pencaharian adalah harta yang diperoleh suami-istri, suami saja atau istri saja dalam perkawinan karena usaha dari suami-istri atau salah satu pihak. Adat Waris masyarakat Samin sendiri masih bersifat tradisional dan tradisi warisnyapun dibawah tangan dengan contoh jika orangtua meninggal dan meninggalkan warisan berupa rumah dan sawah (tegalan) maka anak laki-lakinya akan mendapat Sawah dan tanah yang diatasnya ada rumahnya tersebut, sedangkan rumah itu akan menjadi milik anak perempuanya tidak termasuk tanahnya, hal ini dikarenakan masyarakat samin mempunyai pandangan bahwasanya laki-laki bisa mencari pekerjaan makanya di beri tanah, sedangkan perempuan tidak bisa bekerja sehingga ditinggali rumah. Hal ini berbeda jika yang meninggal hanya ayahnya sedangkan ibunya masih hidup maka harta hasil mereka bekerja seperti sawah dan lai lain disebut harta gono-gini jadi harta ini dipisahkan harta ini dibagi rata dengan anaknya sedangkan rumah tetap menjadi milik anak perempuan dan tanah yang diatasnya ada rumah menjadi milik anak http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Ajaran_kepercayaan&action=edit&redlink=1 http://id.wikipedia.org/wiki/Sah http://id.wikipedia.org/wiki/Sah http://id.wikipedia.org/wiki/Orang_tua http://id.wikipedia.org/wiki/Orang_tua http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Pangkur&action=edit&redlink=1 http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Pangkur&action=edit&redlink=1 http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Pangkur&action=edit&redlink=1 http://id.wikipedia.org/wiki/Bahasa_Jawa 140 | Hak Waris Anak Perempuan Menurut Hukum Adat Samin Desa Klopoduwur Kabupaten Blora laki-laki. Tanah yang dimaksud belum ada sertifikat tanahnya jadi pembagian secara lisan atau dibawah tangan. Masyarakat Samin juga mengenal istilah anak angkat dan anak angkat yang dimaksud bisa mendapatkan warisan melalui wasiat ataupun langsung secara lisan. Dalam hal warisan yang lebih dikenal dalam masyarakat mereka dengan sebutan tinggalan, mereka tidak mengenal istilah warisan, ada sebagian yang tahu tapi kata itu tidak terlalu populer atau tidak pernah digunakan dalam hal pengurusan harta orang tua atau penyebutan bagi mereka harta peninggalan orang tua.1 Menurut mereka kata warisan adalah bukan berasal dari tanah Jawa jadi mereka enggan untuk mengunakannya, masyarakat Sikep lebih senang memilih kata-kata yang menurutnya asli dari tanah Jawa, karena budaya perlawanan terhadap kolonial Belanda menggunakan strategi bahasa dan masih dipegang kuat sampai sekarang. Warisan bagi masyarakat suku adat Samin adalah sebagai bentuk pemberian harta pusaka atau benda kepada keturunannya (baik laki-laki maupun perempuan) dan kepada sanak famili yang membutuhkan. Dalam masyarakat Samin tidak ada perbedaan pembagian dalam penerimaan warisan antara keturunan laki-laki dan perempuan seperti halnya dalam hukum waris Islam (2 : 1), Semua harta warisan dibagi menjadi bagian-bagian sesuai dengan jumlah anak mereka. Masing-masing anak mendapat satu bagian, karena orang Sikep menganggap bahwa semua anak manusia mempunyai kedudukan yang sama dan seimbang yaitu semua keturunan Adam Hawa dan semua mempunyai hak dan kewajiban yang sama. 2 Menurut adat waris masyarakat Samin (Sedulur Sikep) pada dasarnya semua anak baik laki-laki maupun perempuan mempunyai hak yang sama atas harta peninggalan orang tuanya, bahkan orang Samin (Sedulur Sikep) tidak mempersoalkan perbedaann agama dalam menerima warisan, karena semua manusia adalah sama-sama keturunan Adam. Sementara pelaksanaan pembagian harta warisan tersebut itu dilakukan ketika orang tua masih hidup sehingga otoritas penuh pembagian itu ada di tangan orang tua, karena dikhawatirkan nanti kalau pembagian setelah dia meninggal akan merepotkan anak-anak mereka. Selain itu, ada juga pelaksanaan pembagian harta warisan dilakukan ketika orang tua sudah meninggal, biasanya pelaksanaan seperti ini, jika ada harta peninggalan yang tersisa pada waktu orang tua masih hidup. II. KEDUDUKAN ANAK PEREMPUAN DALAM HUKUM ADAT SAMIN DI DESA KLOPODUWUR, KABUPATEN BLORA Sifat visual dalam hukum waris dapat dilihat dari penyerahan harta waris. Dalam hukum adat penyerahan harta waris harus terang dan disaksikan oleh para waris lain. Penyerahan itu berlangsung seketika, dan harta waris jatuh pada saat itu juga kepada waris. Bila dalam penyerahan itu, ada waris yang tidak hadir, biasanya ditangguhkan sampai waris tersebut hadir. Semasa hidup pewaris dapat menyerahkan sebagian harta 1 Titi Mumfangati,dkk. Kearifan Budaya Lokal di Lingkungan Masyarakat Samin Kabupaten Blora Jawa Tengah, (Yogyakarta: tnp, 2004). hlm. 29 2 Sukari, Kehidupan Masyarakat Samin di Desa Baturejo Kecamatan Sukolilo Pati, (Yogyakarta: Balai Kajian Sejarah dan Nilai-nilai Tradisional,1996/1997), hlm. 224 141 | LENTERA HUKUM waris kepada salah seorang pewaris yang ditunjuk. Penyerahan berlangsung ketika itu juga, tidak ditangguhkan sampai waktu tertentu. Selain dari sifat-sifat dan corak-corak di atas, hukum waris adat juga mempunyai sifat-sifat terutama dalam harta waris. Menurut hukum waris adat, peninggalan tidak merupakan satu kesatuan dengan harta waris yang bukan harta harta peninggalan dari pewaris, karena itu harus dilihat asal- usul, sifat dan kedudukan dari harta-harta yang ada dalam hubungannya dengan pewaris. Sesuai dengan aliran pikiran bangsa Indonesia atau sifat-sifat yang disebutkan di atas, dalam hukum waris adat terdapat sifat-sifat khas sesuai dengan falsafah bangsa Indonesia yaitu Pancasila. Hukum waris adat menunjukkan sifat-sifat dan corak yang khas, sehingga mempunyai tempat tersendiri dari hukum waris lainnya. Hukum adat waris menunjukkan corak-corak yang memang “typerend” bagi aliran pikiran tradisional Indonesia”. Hukum adat waris bersendi atas prinsip-prinsip yang timbul dari aliran- aliran pikiran kommunal dan konkrit dari bangsa Indonesia. Berdasarkan uraian tersebut di atas dikaitkan dengan pembahasan dalam bab ini yaitu kedudukan anak perempuan dalam hukum adat Samin di Desa Klopoduwur, Kabupaten Blora menyebutkan bahwa tidak ada perbedaan pembagian dalam penerimaan warisan antara keturunan laki-laki dan perempuan. Berdasarkan hal tersebut bahwasanya semua harta warisan dibagi menjadi bagian-bagian sesuai dengan jumlah anak mereka. Masing-masing mendapat satu bagian, karena orang Sikep menganggap bahwa semua anak manusia mempunyai kedudukan yang sama yaitu semua keturunan Adam dan semua mempunyai hak dan kewajiban yang sama. Berdasarkan hasil wawancara dengan Mbah Lasio selaku sesepuh desa (wawancara tanggal 18 Agustus 2017) menyebutkan bahwa : “Menawi tinggalan niku ingkang damel jaler sareng putri niku miturut hukum adat Samin inggih sami mawon. Artine mboten wonten bedo kerono anak jaler kalian putri niku sami mawon...”“Untuk harta warisan dan pembagian warisan antara anak lali-laki dan anak perempuan menurut hukum adat Samin kitu sama saja, artinya tidak ada perbedaan antara anak laki-laki dan perempuan, sama saja ...” Kekerabatan bagi masyarakat adat Samin adalah hal utama dalam menentukan warisan. Mereka menggunakan pertalian ini untuk menyatukan tali kekeluargaan juga termasuk ahli waris. Bagi keluarga yang tidak mempunyai keturunan, mereka bisa mengadopsi anak dari kerabat terdekat dan anak tersebut pun mendapat semua harta warisan. Semua pertalian ahli waris yang ada hubungan darah, baik laki-laki maupun perempuan, saudara dan anak-anak diberi hak untuk menerima bagian menurut jauh/dekatnya. Masyarakat sedulur sikep juga menetapkan suami Istri sebagai ahli waris. Namun demikian, mayoritas suami istri pada masyarakat Sikep memberikan harta mereka kapada ahli waris sebelum mereka meninggal dan jika salah satu dari suami istri meninggal, maka harta tersebut langsung menjadi milik ahli waris yang telah ditunjuk oleh suami atau saudara-saudara melalui musyawarah. Sedangkan untuk mencukupi kehidupan mereka ditanggung oleh ahli waris tersebut. Jadi kalau dilihat dari pemaparan di atas, pertimbangan harta waris masyarakat Sedulur Sikep dalam hukum waris adat Samin yang didasarkan pada proses perdamaian dan musyawarah, karena pada prinsipnya mereka mengutamakan sikap kekeluargaan dan rasa saling menerima. Baik 142 | Hak Waris Anak Perempuan Menurut Hukum Adat Samin Desa Klopoduwur Kabupaten Blora karena pesan orang tua sebagai pewaris maupun ajaran-ajaran Samin yang telah dijadikan falsafah hidup bagi mereka. Dalam pelaksanaan pembagian harta warisan, masyarakat Sedulur Sikep cenderung membagikannya ketika pewaris masih hidup (dengan sistem hibah). Namun juga ada yang membagikan ketika salah satu pewaris atau kedua pewaris meninggal dunia. Soal pembagian harta warisan Anak laki-laki dan anak perempuan dalam komunitas Sedulur Sikep merupakan ahli waris yang utama. Karena anak adalah yang mempunyai hak sepenuhnya terhadap harta peninggalan orang tua tersebut. Bagi mereka tidak membedakan antara jenis laki-laki dan perempuan atau siapa saja yang lahir lebih dahulu mempunyai hak yang sama. Sanak famili atau Sedulur Sikep yang lain juga bisa menerima harta peninggalan, tentunnya yang diutamakanadalah mereka yang masih ada hubungan darah, dan sangat membutuhkan. Mereka bisa meminta kepada pewaris untuk memberikan sedikit harta kepada ahli waris itu. Berdasarkan uraian tersebut di atas dikaitkan dengan pembahasan dalam bab ini, dapat dikemukakan bahwa kedudukan anak perempuan adalah setara dengan anak laki-laki dalam pembagian waris berdasarkan ketentuan hukum adat Samin. III. BAGIAN WARIS YANG DITERIMA ANAK PEREMPUAN DALAM HUKUM ADAT SAMIN, DESA KLOPODUWUR, KABUPATEN BLORA Hukum adat yang berlaku di daerah tertentu dipengaruhi oleh sikap hidup dalam masyarakat sendiri, baik sebagai hukum adat maupun sebagai adat-istiadat hanya dapat dipahami dengan menyelami kehidupan. Hukum adat waris adalah hukum yang memuat garis-garis ketentuan tentang sistem dan asas-asas hukum waris, tentang harta warisan, pewaris dan ahli waris, serta cara harta warisan itu dialihkan penguasaan dan pemilikannya dari pewaris kepada waris. Adapun yang dimaksud dengan harta warisan adalah harta kekayaan dari pewaris yang telah wafat, baik harta itu telah dibagi atau masih dalam keadaan tidak terbagi-bagi. Termasuk di dalam harta warisan adalah harta pusaka, harta perkawinan, harta bawaan dan harta depetan. Pewaris adalah orang yang meneruskan harta peninggalan atau orang yang mempunyai harta warisan. Waris adalah istilah untuk menunjukkan orang yang mendapatkan harta warisan atau orang yang berhak atas harta warisan. Cara pengalihan adalah proses penerusan harta warisan dari pewaris kepada waris, baik sebelum maupun sesudah wafat. Sebagai suatu proses maka peralihan dalam pewarisan itu sudah dapat dimulai ketika pemilik kekayaan itu masih hidup. Proses tersebut berjalan terus sehingga masing-masing keturunannya menjadi keluarga-keluarga yang berdiri sendiri yang disebut mencar dan mentas (Jawa), yang pada saatnya nanti ia juga akan memperoleh giliran untuk meneruskan proses tersebut kepada generasi berikutnya. Proses itu tidak menjadi terhambat karena meninggalnya orang tua, meninggalnya bapak atau ibu tidak akan mempengaruhi proses penurunan dan pengoperan harta benda dan harta bukan harta benda tersebut. Harta benda yang menjadi objek warisan dapat dikategorikan menjadi dua, yaitu harta yang dapat dibagi- bagi dan harta benda yang tidak dapat dibagi. Harta benda yang tidak terbagi disebabkan oleh karena sifat atau bentuknya atau memang karena belum saatnya untuk dibagi. Harta 143 | LENTERA HUKUM benda yang dapat dibagi karena memang dikehendaki untuk dibagi serta sifat, bentuk dan waktunya memang sudah saatnya untuk dibagi. Terkait hal tersebut di atas dan dikaitkan dengan hasil pembahasan pertama dan pembahsan kedua, bahwasanya bagian waris yang diterima anak perempuan dalam hukum adat Samin, Desa Klopoduwur, Kabupaten Blora adalah : Bagian-bagian ahli waris antara laki-laki dan perempuan adalah satu banding satu (1:1), mereka menyamaratakan bagian antara laki-laki dan perempuan karena yang membedakan antara laki-laki dan perempuan adalah tingkah lakunya. Lebih jauh mengenai siapa-siapa yang mendapat warisan tidak diatur secara jelas, yang penting dan utama adalah anak-anak mereka baik laki-laki maupun perempuan. Dalam tradisi masyarakat Samin penerima harta warisan diharuskan untuk membalas budi terhadap orang tua yang telah memberikan harta bendanya. Yaitu berupa memberikan sebagian hasil panennya ketika pewaris masih hidup dan ketika meninggal dunia, maka biaya pengurusan jenazah dibebankan kepada ahli waris yang tinggal serumah. Dengan demikian, pembagian waris didasarkan atas dasar perdamaian dan kekeluargaan. Demikian halnya dengan adanya sengketa warisan atau tinggalan di masyarakat hukum adat Samin, Desa Klopoduwur, Kabupaten Blora diutamakan adanya musyawarah untuk mufakat. Hal tersebut karena masalah warisan merupakan masalah yang sensitif. Hal tersebut terkait dengan sifat harta waris yang bersifat duniawi, dimana jika pembagiannya dirasa tidak adil akan mengakibatkan sengketa antara para pihak yang merasa lebih berhak atau lebih banyak menerima harta warisan. Menurut pendapat yang dikemukakan oleh Ali Achmad3 bahwa : Sengketa adalah pertentangan antara dua pihak atau lebih yang berawal dari persepsi yang berbeda tentang suatu kepentingan atau hak milik yang dapat menimbulkan akibat hukum bagi keduanya. Pembagian harta warisan pada dasarnya dapat dilakukan dengan suasana musyawarah dan sepakat antar anggota keluarga, namun adakalanya dapat menimbulkan perpecahan antar anggota keluarga. Apabila dalam suasana musyawarah tidak tercapai kesepakatan, pihak tertentu dalam keluarga tersebut biasanya akan menuntut pihak yang lain dalam suatu lembaga peradilan.Pada dasarnya setiap sengketa waris adat tidak selamanya harus berakhir di pengadilan. Dalam hal-hal tertentu setiap sengketa yang muncul yang dapat diselesaikan sesegera mungkin di tingkat masyarakat adat saja. Apalagi kalau sengketa tersebut masih merupakan sengketa yang bersifat kekeluargaan, maka penyelesaiannya pun seharusnya diselesaikan secara kekeluargaan melalui perantaranya seorang kepala adat maupun dengan perantara kepala desa. Penyelesaian secara damai juga dimaksudkan untuk menghilangkan rasa dendam akibat persengketaan yang timbul. Penyelesaian secara damai dalam kehidupan di desa dipandang sebagai hal yang perlu dan merupakan keharusan untuk menghilangkan rasa dendam antara pihak yang satu dengan pihak yang lain. Semangat kekeluargaan dan kerukunan inilah yang harus tetap dipegang dalam penyelesaian sengketa. 3 Ali. Achmad Chomzah, Seri Hukum Pertanahan III Penyelesaian Sengketa Hak Atas Tanah dan Seri Hukum Pertanahan IV Pengadaan Tanah Instansi Pemerintah, Jakarta : Prestasi Pustaka, 2003, hlm.14 144 | Hak Waris Anak Perempuan Menurut Hukum Adat Samin Desa Klopoduwur Kabupaten Blora Hukum adat waris merupakan bagian dari hukum adat di Indonesia. Adat adalah merupakan pencerminan daripada kepribadian suatu bangsa, merupakan salah satu penjelmaan daripada jiwa bangsa tersebut dari abad ke abad. Oleh karena itu, maka tiap bangsa di dunia ini memiliki adat kebiasaan sendiri-sendiri yang satu dengan yang lainnya tidak sama. Justru oleh karena perbedaan tersebut, dapat dikatakan bahwa adat itu merupakan unsur identitas kepada bangsa yang bersangkutan. Hukum waris adat mempunyai corak dan sifat-sifat tersendiri yang khas Indonesia, yang berbeda dari hukum Islam maupun hukum Barat. Bangsa Indonesia yang murni dalam berfikir berasas kekeluargaan, yaitu kepentingan hidup yang rukun damai lebih diutamakan dari pada sifat-sifat kebendaan dan mementingkan diri sendiri.4 Dalam penyelesaian sengketa waris Hukum Adat yang paling penting adalah dengan jalan perdamaian yakni musyawarah mufakat di bawah pimpinan bapak dan ibu. Dalam masyarakat hukum adat Samin, Desa Klopoduwur, Kabupaten Blora sangat menjunjung tinggi perintah atau pesan dari orang tua karena memang perintah atau pesan orang tua tersebut merupakan Hukum bagi mereka yang harus dilaksanakan dengan sepenuhnya dan mereka sangat takut untuk melanggar perintah atau pesan yang diberikan orang tua. Sebagaimana disebutkan oleh Eman Suparman5, bahwa : Pada saat pembagian harta warisan dengan melakukan tindakan secara bersama musyawarah dan dengan kekeluargaan atas adanya azas kebersamaan. Pembagian tersebut berjalan secara rukun dalam suasana ramah tamah/tenteram dan damai. Pada masyarakat Hukum Adat terdapat salah satu ciri khas yaitu mereka sangat menjunjung tinggi Hukum Adatnya, termasuk yang mengatur Hukum perkawinan, Hukum harta perkawinan dan Hukum waris. Sedangkan bila nantinya ahli waris ada yang ingin merubah Hukum waris Adat, dalam hal ini akan mendapatkan tentangan dari anggota masyarakat. Sebenarnya bukan berarti tidak diperbolehkan akan adanya perubahan, namun harus dilakukan dengan cara-cara yang benar yaitu dengan cara musyawarah mufakat. Dengan musyawarah mufakat maka campur tangan orang luar misalnya saja hukum nasional/negara terhadap permasalahan keluarga pada masyarakat hukum adat sangat diharapkan agar dijauhi, karena menurut masyarakat hukum adat Samin, Desa Klopoduwur, Kabupaten Blora bila masalah keluarga sampai ke luar maka itu merupakan hal yang tabu dan dianggap mencemarkan nama baik keluarga. Dalam masyarakat masyarakat hukum adat Samin, Desa Klopoduwur, Kabupaten Blora sendiri sangat patuh dengan wejangan atau ucapan yang dilontarkan oleh orang tua. Didalam hal-hal mengenai permasalahan waris dalam Hukum Adat didalamnya haruslah turut memasukkan unsur orang tua dalam hal ini orang tua yang dimaksudkan adalah baik orang tua bapak dan ibu kandung maupun orang yang di tuakan dilingkungan keluarga juga dalam masyarakat misalnya saja kepala desa, dan orang yang berwibawa atau dianggap bijaksana seperti ulama atau kyai serta sesepuh/orang yang dituakan (tiang sepuh, bahasa Indonesia = orang tua). Bapak Paijo adalah sebagai perangkat desa, bahwa masyarakat serta paham akan adat masyarakat Kelurahan Triwung Kidul, beliau 4 Eman Suparman, 2005, Op.Cit, hlm.1 5 Alfi Fahmi Adicahya, Meninjau Hukum Adat di Indonesia, (Bandung : Media Raya, 2014), hlm.9 145 | LENTERA HUKUM menyatakan bahwa : “Masyarakat mriki selalu njogo kerukunan lan kompak. Teng mriki niku jane lak nggeh wonten jawi lan medunten. Nanging sedoyo nggeh sampun rukun, mboten wonten incim- inciman. Terus mboten wonten engkang mbedak-mbedakaken agomo, terus mboten purun ngempal. Roso kekeluargaani-pun teng mriki inggil. Lha wong misale wonten tiyang engkang tilar dunyo, terus dalune kan tahlilan ; ngonten niku nggeh dugi niku ........” (Terjemahan bebasa dalam bahasa Indonesia : Masyarakat disini selalu menjaga kerukunan dan kompak. Disini sebenarnya terdapat suku jawa dan Madura. Namun semuanya sudah rukun, tidak ada yang saling mengintai. Tidak ada yang membeda-bedakan agama, kemudian tidak mau berinteraksi baik dengan orang yang berbeda agama tersebut. Rasa kekeluargaan disini sangat tinggi. Misalnya ada orang/warga meninggal dunia, kemudian malamnya kan tahlilan, namun mereka tetap datang). Berdasarkan pernyataan Bapak Paijo tersebut, dapat dipahami bahwa masyarakat hukum adat Samin, Desa Klopoduwur, Kabupaten Blora menjaga interaksi dan keberlangsungan hubungan sosial dalam bermasyarakat dengan menjunjung tinggi kerukunan dan kerelaan untuk berkorban demi menjaga kerukunan tersebut. Kerukunan tersebut nampak dari hasil wawancara tersebut, bahwa tanpa adanya perasaan dan sikap untuk membedakan suku dan agama, masyarakat Samin, Desa Klopoduwur, Kabupaten Blora menyadari kebutuhan untuk menjaga kerukunan sebagai modal sustainabilitas sosial mereka dan hal tersebut telah terinternalisasi dalam kehidupan masyarakat. Sehingga, aktivitas-aktivitas yang dilakukan oleh warga masyarakat untuk menjaga kerukunan tersebut lahir secara “tergugah” atau alamiah (tanpa adanya paksaan dan spontan) yang teraktualisasi dalam tingkah lakunya. Kepala Desa Klopoduwur, Kabupaten Blora juga mengatakan :“Masyarakat teng mriki niku rukun-rukun…. sedoyo agama nggeh sareng-sareng njogo. Antar warga masyarakat ngeeh sami-sami ngadah kesadaran damel njogo kerukunan niki. Masyarakat nggeh tansah pinulung menawi wonten engkang warga sing kesusahan.” (Terjemahan bebas bahasa Indonesia : Masyarakat disini rukun-rukun…. semua agama secara bersama-sama menjaga kerukunan tersebut. Antar warga masyarakat juga sama-sama memiliki kesadaran untuk menjaga kerukunan ini. Masyarakat juga memiliki sikap saling menolong disaat ada warga mansyarakat yang mengalami kesusahan/ musibah ). Berdasarkan uraian tersebut di atas, dapat dikemukakan bahwa bagian waris yang diterima anak perempuan dalam hukum adat Samin, Desa Klopoduwur, Kabupaten Blora adalah sama dengan anak laki-laki (1 : 1), yang prinsipnya sama dengan Hukum waris Perdata atau Hukum Barat yang memberikan ketentuan bahwa pembagian warisan dalam keluarga harus dibagi rata, tidak memandang antara anak laki-laki atau anak perempuan, semuanya mendapatkan bagian yang sama. Berbeda dengan yang diatur dalam Hukum Islam yang memberikan bagian waris anak laki-laki lebih banyak dari anak perempuan. Dalam Hukum Adat pembagian warisan berbeda-beda tiap daerah karena kepercayaan tiap-tiap daerah juga berbeda. Pada masyarakat hukum adat Samin, Desa Klopoduwur, Kabupaten Blora kedudukan anak laki-laki dan perempuan mempunyai kedudukan yang sama dalam pembagian warisan dengan perbandingan 1 : 1. 146 | Hak Waris Anak Perempuan Menurut Hukum Adat Samin Desa Klopoduwur Kabupaten Blora IV. PENUTUP Berdasarkan hasil penelitian diperoleh kesimpulan bahwa, Pertama Sistem pewarisan hukum adat Samin, Desa Klopoduwur, Kabupaten Blora adalah sebagai bentuk pemberian harta pusaka atau benda kepada keturunannya (baik laki-laki maupun perempuan) dan kepada sanak famili yang membutuhkan. Dalam masyarakat Samin menganut asas unilateral karena tidak ada perbedaan pembagian dalam penerimaan warisan antara keturunan laki-laki dan perempuan seperti halnya dalam hukum waris Islam. Semua harta warisan dibagi menjadi bagian-bagian sesuai dengan jumlah anak mereka. Masing-masing anak mendapat satu bagian, karena orang Sikep menganggap bahwa semua anak manusia mempunyai kedudukan yang sama dan seimbang yaitu semua keturunan Adam Hawa dan semua mempunyai hak dan kewajiban yang sama. Kedua, Kedudukan anak perempuan dalam hukum adat Samin di Desa Klopoduwur, Kabupaten Blora adalah sama dengan anak laki-laki, karena pada prinsipnya anak adalah yang mempunyai hak sepenuhnya terhadap harta peninggalan orang tua tersebut. Bagi mereka tidak membedakan antara jenis laki-laki dan perempuan atau siapa saja yang lahir lebih dahulu mempunyai hak yang sama. Sanak famili atau Sedulur Sikep yang lain juga bisa menerima harta peninggalan, tentunnya yang diutamakanadalah mereka yang masih ada hubungan darah, dan sangat membutuhkan. Mereka bisa meminta kepada pewaris untuk memberikan sedikit harta kepada ahli waris itu. Dengan demikian, dapat dikemukakan bahwa kedudukan anak perempuan adalah setara dengan anak laki-laki dalam pembagian waris berdasarkan ketentuan hukum adat Samin. Ketiga, Bagian waris yang diterima anak perempuan dalam hukum adat Samin, Desa Klopoduwur, Kabupaten Blora adalah sama dengan anak laki-laki (1 : 1), yang prinsipnya sama dengan hukum waris perdata atau hukum barat yang memberikan ketentuan bahwa pembagian warisan dalam keluarga harus dibagi rata, tidak memandang antara anak laki-laki atau anak perempuan, semuanya mendapatkan bagian yang sama. Dalam Hukum Adat pembagian warisan berbeda-beda tiap daerah karena kepercayaan tiap-tiap daerah juga berbeda. Pada masyarakat hukum adat Samin, Desa Klopoduwur, Kabupaten Blora kedudukan anak laki-laki dan perempuan mempunyai kedudukan yang sama dalam pembagian warisan (1 : 1). Saran yang dapat diberikan bahwa, Pertama Hendaknya nilai-nilai hukum waris adat di masyarakat adat Jawa khususnya di Samin, Desa Klopoduwur, Kabupaten Blora, tetap dijaga dan dilestarikan dengan baik. Dalam kehidupan hukum adat Jawa lebih mengutamakan kebersamaan, kekeluargaan dan persatuan guna terciptanya kerukunan hidup bersama sehingga dalam hubungan yang demikian itu, orang akan lebih mengutamakan kewajibannya dari pada haknya karena landasan dari pada hukum adat adalah landasan hidup bersama dan bukan untuk kepentingan individu. Setiap orang tentu mempunyai hak dan kewajiban karena antara hak dan kewajiban tidak dapat dipisahkan. Kedua Hendaknya jika terjadi perselisihan atau sengketa waris dalam keluarga dalam. Bilamana terjadi perbedaan pendapat karena ketidak-rukunan dalam keluarga maka musyawarah itu dapat diajukan kepada sesepuh, ulama atau pihak lain yang terkait. Apabila usaha tersebut tidak mendatangkan hasil maka perselisihan 147 | LENTERA HUKUM pembagian harta warisan dapat dimusyawarahkan dengan lurah untuk dapat dimintakan petuah-petuah sesuai dengan aturan-aturan atau hukum. Jika masih juga terdapat perdebatan maka langkah terakhir adalah mengajukan ke pengadilan. DAFTAR PUSTAKA Alfi Fahmi Adicahya, Meninjau Hukum Adat di Indonesia, Media Raya, Bandung, 2014 Bambang Daru Nugroho, Azas Azas dan Tatanan Hukum Adat, Bandung, Mandar Maju, 2013 Bernand Arief Sidharta, 1996, Refleksi tentang Hukum, Citra Aditya Bakti : Bandung Dominikus Rato, Hukum Perkawinan dan Waris Adat (Sistem Kekerabatan Bentuk Perkawinan, dan Pola Pewarisan Adat di Indonesia, Surabaya, Laksbang Yustita, 2011 Eman Suparman, Hukum Waris Indonesia, Bandung, Refika Aditama, 2005 Gede Pudja, Hukum Kewarisan Hindu Yang Diresipir Ke Dalam Hukum Adat Bali Dan Lombok, Jakarta: CV. Yunasco.1997 J. Satrio. Hukum Waris, Bandung: Citra Aditya Bakti, Cetakan ke-1, 1990 Hilman Hadikusuma I, Hukum Waris Adat, Bandung: Citra Aditya Bakti,2003 I Gede A.B.W, Hukum Adat Indonesia, Jakarta: Citra Aditya Bakti, 2005 Raden Soepomo, Bab-Bab Tentang Hukum Adat, Jakarta. PT. Pradnya Paramita, 1986 Sudarsono, Hukum Waris Dan Sistem Bilateral, Jakarta: PT RENIKA CIPTA. 1994 Suriyaman Mustari Pide.2014. Hukum Adat Dahulu,Kini,Dan Akan Datang. Jakarta. Kencana. Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, Jakarta: Rajawali, 1981 Sukari, 1996/1997, Kehidupan Masyarakat Samin di Desa Baturejo Kecamatan Sukolilo Pati, Yogyakarta: Balai Kajian Sejarah dan Nilai-nilai Tradisional Titi Mumfangati,dkk. 2004, Kearifan Budaya Lokal di Lingkungan Masyarakat Samin Kabupaten Blora Jawa Tengah, Yogyakarta: tnp, 2004