Lentera Hukum, Volume 4, Issue 3 (2017), pp. 171-182 ISSN 2355-4673 https://doi.org/10.19184/ejlh.v4i3.5499 Published by the University of Jember, Indonesia Available online 10 December 2017 Pembentukan Peraturan Kebijakan Berdasarkan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik Sadhu Bagas Suratno Bagian Hukum Sekretariat Daerah Kabupaten Banyuwangi suratnobagas@gmail.com ABSTRACT The creation of policy is one of the prerogatives of a free and uninhibited (freies ermessen, or free discretion) government administrations. Although freies ermessen grants free authority to the government, within the framework of national the law said government should still observe legislation and the Principles of Good Governance. However, at the implementation level, there are still many policies that which are difficult to put into effect due to ambiguous interpretation and conflicts of interest, thus resulting in legal uncertainty. Based on this, there needs to be an affirmation of the position taken by the Indonesian government regarding the contradictory relationship between written law and implementation, so as to ensure the appropriate application of the principles of freies ermessen. KEYWORDS: Policy Rules, Freies Ermessen, Legislatin, Good Governance Principles. Copyright © 2017 by Author(s) This work is licensed under a Creative Commons Attribution-ShareAlike 4.0 International License. All writings published in this journal are personal views of the authors and do not represent the views of this journal and the author's affiliated institutions. Submitted: October 10, 2017 Revised: October 25, 2017 Accepted: November 04, 2017 HOW TO CITE: Suratno, Sadhu Bagas. “Pembentukan Peraturan Kebijakan Berdasarkan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik” (2017) 4:3 Lentera Hukum 171-182. mailto:suratnobagas@gmail.com 172 | Pembentukan Peraturan Kebijakan Berdasarkan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik I. PENDAHULUAN Secara konstitusional berdasarkan alenia keempat pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) negara wajib mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. 1 Dimensi ini secara spesifik melahirkan paham negara kesejahteraan (welfare state). 2 Salah satu karakteristik konsep negara kesejahteraan adalah kewajiban pemerintah untuk terlibat aktif dalam kehidupan warga negara (staatsbemoeienis) guna mengupayakan terciptanya kesejahteraan umum (bestuurszorg). 3 Namun, disatu sisi keaktifan pemerintah dalam mengupayakan kesejahteraan umum haruslah senantiasa berdasarkan pada asas-asas umum pemerintahan yang baik (selanjutnya disebut AAUPB), 4 khususnya asas kepastian hukum, 5 yakni asas dalam negara hukum yang mengutamakan landasan ketentuan peraturan perundang-undangan, kepatutan, keajegan, dan keadilan dalam setiap kebijakan penyelenggaraan pemerintahan. 6 Penyelenggaraan pemerintahan yang berdasarkan landasan ketentuan peraturan perundang-undangan menjadi dasar legalitas dan legitimasi tindakan pemerintahan, serta memberikan jaminan terhadap hak-hak dasar dan kedudukan hukum warga 1 Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia bermakna bahwa pendistribusian sumber daya ditujukan untuk menciptakan kesejahteraan sosial terutama bagi kelompok masyarakat terbawah atau masyarakat yang lemah sosial ekonominya. Selain itu, keadilan sosial juga menghendaki upaya pemerataan sumber daya agar kelompok masyarakat yang lemah dapat dientaskan dari kemiskinan dan agar kesenjangan sosial ekonomi ditengah-tengah masyarakat dapat dikurangi. Dengan demikian, distribusi sumber daya yang ada dapat dikatakan adil secara sosial jika dapat meningkatkan kehidupan sosial ekonomi kelompok yang miskin sehingga tingkat kesenjangan sosial ekonomi antar kelompok masyarakat dapat dikurangi. Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi (Rajawali Pers 2010) 10-11 2 Bagir Manan sebagaimana dikutip dalam Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara Edisi Revisi (RajaGrafindo Persada 2011) 19. 3 Secara historis, konsep negara kesejahteraan muncul sebagai reaksi atas kegagalan konsep legal state atau negara penjaga malam. Dalam konsepsi legal state terdapat prinsip staatsonthouding atau pembatasan peranan negara dan pemerintah dalam bidang politik dan ekonomi. Akibat pembatasan ini, pemerintah menjadi pasif. Adanya pembatasan tersebut dalam praktiknya berakibat menyengsarakan kehidupan warga negara, yang kemudian memunculkan reaksi dan kerusuhan sosial. Lihat selengkapnya di Ibid 14. 4 Menurut Jazim Hamidi, AAUPB merupakan nilai-nilai etik yang hidup dan berkembang dalam lingkungan Hukum Administrasi Negara dan berfungsi sebagai pegangan bagi pejabat administrasi negara dalam menjalankan fungsinya, serta merupakan alat uji bagi hakim administrasi dalam menilai tindakan administrasi negara (yang berwujud penetapan/beschikking), dan sebagai dasar pengajuan gugatan bagi pihak penggugat. Lihat selengkapnya di Jazim Hamidi, Penerapan Asas-Asas Umum Penyelenggaraan Pemerintahan yang Layak (AAUPB) di Lingkungan Peradilan Administrasi Indonesia (Citra Aditya Bakti 1999) 24. Sedangkan secara normatif, AAUPB adalah prinsip yang digunakan sebagai acuan penggunaan wewenang bagi Pejabat Pemerintahan dalam mengeluarkan Keputusan dan/atau Tindakan dalam penyelenggaraan pemerintahan. Lihat Pasal 1 angka 17 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (selanjutnya disebut UU Administrasi Pemerintahan). 5 Secara normatif AAUPB meliputi: asas kepastian hukum, asas kemanfaatan, asas ketidakberpihakan, asas kecermatan, asas tidak menyalahgunakan kewenangan, asas keterbukaan, asas kepentingan umum dan asas pelayanan yang baik. Asas-asas umum lainnya diluar AAUPB tersebut dapat diterapkan sepanjang dijadikan dasar penilaian hakim yang tertuang dalam putusan Pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Lihat Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) UU Administrasi Pemerintahan. 6 Lihat penjelasan Pasal 10 ayat (1) huruf a UU Administrasi Pemerintahan 173 | LENTERA HUKUM negara terhadap pemerintah (het legaliteits beginsel beoogt de rechtspositie van de burger jegens de overheid te waarborgen). 7 Terkait hal tersebut, Jimly berpendapat bahwa dalam paham negara hukum segala tindakan pemerintahan harus didasarkan atas peraturan perundang-undangan yang sah dan tertulis. Peraturan perundang-undangan tertulis tersebut harus ada dan berlaku lebih dulu atau mendahului tindakan atau perbuatan administrasi yang dilakukan. Dengan demikian, setiap perbuatan atau tindakan administrasi harus didasarkan atas aturan atau „rules and procedures‟ (regels). 8 Dalam perkembangannya, penyelenggaraan pemerintahan yang berdasarkan pada asas kepastian hukum yang didasarkan pada peraturan perundang-undangan, menemui beberapa hambatan dalam tataran implementasi khususnya dalam hal kesenjangan / jurang hukum (legal gap) antara peraturan perundang-undangan yang ada dengan realitas yang dihadapi oleh pemerintah. 9 Hal ini dikarenakan pada hakikatnya tidak ada undang-undang yang sempurna, pasti di dalamnya ada kekurangan dan keterbatasannya. Tidak ada undang-undang yang lengkap, selengkap-lengkapnya atau sejelas-jelasnya dalam mengatur seluruh kegiatan manusia. Menurut Shidarta hal ini disebabkan karena hukum positif sebagai suatu produk hukum, selalu dipersepsikan memotret masyarakat dalam konteks penggalan waktu tertentu (sinkronis). Hasil potret ini memperlihatkan sistem hukum sebagai karya momentaris (momentary legal system). Disisi lain, disadari atau tidak disadari masyarakat senantiasa berproses sedangkan produk hukum cenderung mengkristal. 10 Guna mengatasi kondisi tersebut, pemerintah mempunyai kewenangan bebas (vrije bevoegdheid) atau yang lazim disebut dengan freies ermessen/discretionary power (diskresi). 11 Diskresi merupakan salah satu sarana yang memberikan ruang bergerak bagi pejabat atau badan-badan administrasi negara untuk melakukan tindakan tanpa harus terikat sepenuhnya pada undang-undang. 12 Adapun perwujudan dari diskresi yang sering digunakan dalam praktik penyelenggaraan pemerintahan ialah berupa 7 H.D Stout sebagaimana dikutip dalam Ridwan HR. 8 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme (Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia 2005) hlm. 124-125. 9 Potensi-potensi penyimpangan dalam berhukum melahirkan apa yang disebut jurang hukum (legal gap). Jurang atau lacuna yang terjadi sesungguhnya berproses melalui pola-pola sederhana. Proses tersebut diawali dari ketersediaan hukum positif yang berada dalam penantian untuk diaktivasi melalui persentuhan dengan peristiwa konkret. Ketika persentuhan ini terjadi, ada kemungkinan hukum positif tidak secara tepat mampu menjawab kebutuhan dalam peristiwa konkret. Lihat selengkapnya di Shidarta, Pendekatan Hukum Progresif Dalam Mencairkan Kebekuan Produk Legislasi, dalam Dekonstruksi dan Gerakan Pemikiran Hukum Progresif (Thafa Media 2013) 27. 10 Ibid 27-28. 11 Dari segi bahasa, diskresi (discretion) adalah kebijaksanaan, keleluasaan, penilaian, kebebasan untuk menentukan. Discretionary berarti kebebasan untuk menentukan atau memilih, terserah kepada kebijaksanaan seseorang. John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia (Gramedia Pustaka Utama 2006) 185-186. 12 Marcus Lukman, Eksistensi Peraturan Kebijaksanaan dalam Bidang Perencanan dan Pelaksanaan Rencana Pembangunan di Daerah serta Dampaknya terhadap Pembangunan Materi Hukum Tertulis Nasional, Disertasi (Universitas Padjajaran 1996) 205. 174 | Pembentukan Peraturan Kebijakan Berdasarkan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik peraturan kebijakan (beleidsregels) (peraturan kebijakan dapat dibuat dalam berbagai bentuk, namun karena keterbatasan halaman, tulisan ini hanya fokus membahas mengenai peraturan kebijakan dalam bentuknya yang berupa surat edaran). 13 Meskipun freies ermessen memberikan kewenangan bebas kepada pejabat pemerintahan dalam penyelenggaraan pemerintahan, akan tetapi dalam bingkai negara hukum. penggunaannya harus tetap memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan dan AAUPB (karena keterbatasan halaman, tulisan ini hanya fokus membahas mengenai asas kepastian hukum). 14 Dalam tataran implementasi, masih banyak dijumpai surat edaran yang materinya bertentangan dengan asas kepastian hukum sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum dalam pelaksanaannya. Disatu sisi, surat edaran yang merupakan salah satu bentuk dari peraturan kebijakan bukanlah merupakan peraturan perundang-undangan sehingga menimbulkan kerancuan mengenai lembaga mana yang berwenang menguji surat edaran tersebut. Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, tulisan ini hendak menyajikan mengenai kedudukan surat edaran berdasarkan hukum positif di Indonesia dan lembaga negara yang berwenang menguji surat edaran. II. KEDUDUKAN SURAT EDARAN BERDASARKAN HUKUM POSITIF Keberadaan peraturan kebijakan merupakan konsekuensi dari kewenangan bebas yang dimiliki oleh pemerintah (diskresi). Peraturan kebijakan tidak lain dari penggunaan diskresi dalam wujud tertulis. 15 Secara normatif, di Belanda negara yang merupakan peletak dasar konsep administratif di Indonesia, peraturan kebijakan diartikan sebagai “een bij besluit vastgestelde algemene regel, niet zijnde een algemeen verbindend voorschrift, omtrent de afweging van belangen, de vaststelling van feiten of de uitleg van wettelijke voorschriften bij het gebruik van een bevoegheid van een bestuursorgaan” (suatu keputusan yang ditetapkan sebagai peraturan umum, bukan merupakan suatu peraturan tertulis yang mengikat umum, berkenaan dengan pertimbangan berbagai kepentingan, penetapan fakta-fakta atau penjelasan peraturan tertulis mengenai penggunaan wewenang organ pemerintah). 16 Mengacu pada hukum positif di Indonesia, peraturan perundang-undangan yang dapat digunakan sebagai dasar hukum pembentukan dan pelaksanaan peraturan kebijakan ialah UU Administrasi Pemerintahan. Dalam undang-undang tersebut 13 1) surat edaran, 2) surat perintah atau instruksi; 3) pedoman kerja atau manual, 4) petunjuk pelaksanaan (juklak), 5) petunjuk operasional/petunjuk teknis (juknis), 6) instruksi, 7) pengumuman, 8) buku panduan atau “guide” (guidance), 9) kerangka acuan atau Term of Reference (TOR), dan 10) desain kerja atau desain proyek (project design).Lihat selengkapnya di Jimly Asshiddiqie, Perihal Undang- Undang (Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia 2006) 393, lihat juga 14 Lihat Pasal 24 UU Administrasi Pemerintahan. Lihat selengkapnya dalam Philipus M. Hadjon, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia (Gadjah Mada University Press 1993) 152. 16 Lihat Pasal 1:3 (4) Algemene wet Bestuursrecht (AWB) (teks AWB Per April 2010). 175 | LENTERA HUKUM memang tidak disebutkan secara eksplisit mengenai definisi dari peraturan kebijakan. Namun, jika mengacu pada pendapat Bagir Manan yang menyatakan bahwa peraturan kebijakan (beleidsregel, pseudowetgeving, policy rules) yaitu peraturan yang dibuat –baik kewenangan maupun materi muatannya– tidak berdasar pada peraturan perundang- undangan, delegasi atau mandat, melainkan berdasarkan wewenang yang timbul dari freies ermessen (diskresi),17 maka pembentukan dan pelaksanaan peraturan kebijakan harus memperhatikan definisi, lingkup, persyaratan, prosedur dan akibat hukum dari diskresi sebagaimana diatur dalam UU Administrasi Pemerintahan. 18 Jika melihat definisi dari diskresi yang terdapat dalam Pasal 1 angka 9 UU Administrasi Pemerintahan, maka bentuk diskresi terbatas hanya pada keputusan dan/atau tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan oleh Pejabat Pemerintahan untuk mengatasi persoalan konkret yang dihadapi dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam hal peraturan perundang-undangan yang memberikan pilihan, tidak mengatur, tidak lengkap atau tidak jelas, dan/atau adanya stagnasi pemerintahan. Berdasarkan Pasal 1 angka 7 UU Administrasi Pemerintahan, yang dimaksud dengan keputusan adalah ketetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dalam penyelenggaraan pemerintahan. Sedangkan mengacu pada Pasal 1 angka 8 UU Administrasi Pemerintahan, yang dimaksud dengan tindakan adalah perbuatan Pejabat Pemerintahan atau penyelenggara negara lainnya untuk melakukan dan/atau tidak melakukan perbuatan konkret dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan. Dibatasinya lingkup diskresi pada UU Administrasi Pemerintahan hanya pada keputusan dan/atau tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan oleh Pejabat Pemerintahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 9 UU Administrasi Pemerintahan berdampak pada ketiadaan regulasi (kekosongan hukum), 19 yang mengatur mengenai pembentukan peraturan kebijakan. Padahal, dalam tataran konseptual maupun implementatif, diskresi dalam bentuknya sebagai peraturan kebijakan tidak hanya berupa keputusan/ketetapan tetapi juga dapat berbentuk: 1) surat edaran, 2) surat perintah atau instruksi; 3) pedoman kerja atau manual, 4) petunjuk pelaksanaan (juklak), 5) petunjuk operasional/petunjuk teknis (juknis), 6) instruksi, 7) pengumuman, 8) buku panduan atau “guide” (guidance), 9) kerangka acuan atau Term of Reference (TOR), dan 10) desain kerja atau desain proyek (project design) yang materinya bersifat mengatur dan mengikat secara umum. 20 17 Bagir Manan, Hukum Positif Indonesia (Satu Kajian Teoritik) (FH UII Press 2004) 15. 18 Lihat Pasal 1 angka 9, Pasal 22 hingga Pasal 32. 19 Kekosongan hukum merupakan suatu kondisi dimana peraturan perundang-undangan tidak mampu /tidak lengkap dalam mengakomodir peristiwa hukum atau tuntutan hukum yang ada pada masyarakat. Lihat selengkapnya di Bagir Manan dan Kuntana Magnar, Beberapa Masalah Hukum Tata Negara Indonesia (Alumni 1993) 8. 20 Dalam praktiknya, peraturan kebijakan semacam ini sangat dibutuhkan, dan bahkan oleh aparat pelaksana di lapangan seringkali lebih ditakuti atau ditaati daripada peraturan perundang-undangan. Misalnya, Direktur Jenderal dapat saja mengeluarkan surat edaran ke seluruh jajarannya di seluruh Indonesia. Sekalipun surat edaran itu, misalnya bertentangan dengan undang-undang, biasanya, para pejabat di daerah lebih taat dan takut kepada surat edaran surat edaran tersebut daripada kepada 176 | Pembentukan Peraturan Kebijakan Berdasarkan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik Kekosongan hukum tersebut pada akhirnya berdampak pada pembentukan surat edaran yang tidak ideal, inidikatornya ialah masih banyak ditemukannya surat edaran yang materinya bertentangan dengan asas kepastian hukum dan peraturan perundang- undangan, diantaranya ialah: 1. Surat Edaran Direktur Jenderal Mineral, Batubara dan Panas Bumi, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral RI Nomor 03.E/31/DJB/2009 tanggal 30 Januari 2009 tentang Perizinan Pertambangan Mineral dan Batubara Sebelum Terbitnya Peraturan Pemerintah Sebagai Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009; dan 2. Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 07 Tahun 2014 tentang Pengajuan Permohonan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana. 3. Surat Edaran Direktur Jenderal Mineral, Batubara dan Panas Bumi, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral RI Nomor 03.E/31/DJB/2009, bertentangan dengan asas kepastian hukum karena materinya bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (selanjutnya disebut UU PMB). Materi yang bertentangan dengan UU PMB terletak pada Bagian A angka 2 yang memerintahkan untuk menghentikan sementara penerbitan Izin Usaha Pertambangan baru sampai dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah sebagai pelaksana UU PMB, padahal dalam Pasal 8 ayat (1) huruf b UU PMB disebutkan bahwa pemberian Izin Usaha Pertambangan dan Izin Pertambangan Rakyat, pembinaari, penyelesaian konflik masyarakat, dan pengawasan usaha pertambangan di wilayah kabupaten/kota dan/atau wilayah laut sampai dengan 4 (empat) mil menjadi kewenangan pemerintah kabupaten/kota. Sementara dalam Pasal 173 ayat (2) UU PMB disebutkan bahwa Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua Peraturan Perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1967 Nomor 22, Tarnbahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2831) dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini. Sehingga berdasarkan hal tersebut, Mahkamah Agung dalam Putusan Nomor 23 P/HUM/2009 membatalkan Surat Edaran Direktur Jenderal Mineral, Batubara dan Panas Bumi, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral RI Nomor 03.E/31/DJB/2009. Pada sisi lain, sebagaimana Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 07 Tahun 2014 tentang Pengajuan Permohonan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, materi yang bertentangan dengan asas kepastian hukum terdapat pada angka 3 yang menyatakan bahwa Peninjauan Kembali dalam perkara pidana hanya satu kali. Padahal, dalam Putusan MK Nomor 34/PUU-XI/2013 telah jelas disebutkan bahwa Peninjauan Kembali yang hanya dapat dilakukan satu kali sebagaimana tertuang dalam Pasal 268 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. undang-undang. Biasanya, undang-undang terlalu tebal untuk dibaca, sehingga surat edaran itulah yang berperan lebih efektif sebagai aturan dan pedoman kerja yang dianggap mengikat. Lihat selengkapnya di Jimly Asshiddiqie, Konstitusi Ekonomi (Kompas 2010) hlm. 34-35. 177 | LENTERA HUKUM Sekalipun pada Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 07 Tahun 2014 yang dijadikan dasar hukum Peninjauan Kembali hanya dapat dilakukan satu kali ialah Pasal 66 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah dua kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 dan Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (selanjutnya disebut UU KH), yang dalam hal ini tidak turut serta diajukan untuk di judicial review, namun mengingat materi muatannya sama dengan yang terdapat dalam 268 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981, yang telah dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, maka keberadaan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 07 Tahun 2014 justru menimbulkan ketidakpastian hukum dalam pelaksanaan Peninjauan Kembali. 21 Berdasarkan hal tersebut, perlu adanya reformulasi terhadap definisi dari diskresi sebagaimana dimaksud pada Pasal 1 angka 9 UU Administrasi Pemerintahan guna mengakomodir keberadaan surat edaran yang merupakan salah satu bentuk dari peraturan kebijakan yang lahir dari kewenangan bebas (diskresi) yang dimiliki oleh pemerintah. Sehingga diperoleh formulasi baru pada Pasal 1 angka 9 UU Administrasi Pemerintahan, yakni diskresi adalah peraturan kebijakan, keputusan dan/atau tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan oleh Pejabat Pemerintahan untuk mengatasi persoalan konkret yang dihadapi dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam hal peraturan perundang-undangan yang memberikan pilihan, tidak mengatur, tidak lengkap atau tidak jelas, dan/atau adanya stagnasi pemerintahan. III. LEMBAGA NEGARA YANG BERWENANG MENGUJI SURAT EDARAN Surat edaran sebagai salah satu bentuk dari peraturan kebijakan lahir dari kewenangan bebas (diskresi) yang dimiliki oleh pemerintah. Pembuatan peraturan kebijakan tidak memiliki dasar yang tegas dalam UUD 1945 dan undang-undang formal baik langsung maupun tidak langsung. Artinya peraturan kebijakan tidak didasarkan pada kewenangan pembuatan undang-undang oleh karena itu tidak termasuk peraturan perundang-undangan. 22 Peraturan kebijakan adalah semacam hukum bayangan dari undang-undang atau hukum. Oleh karena itu, peraturan ini disebut pula dengan istilah pseudo-wetgeving (perundang-undangan semu) atau spigelrecht (hukum bayangan/cermin). 23 Menurut Jimly, disebut kebijakan karena secara formal tidak dapat disebut atau memang bukan berbentuk peraturan yang resmi. Umpamanya, surat edaran (circular) dari seorang menteri atau seorang Direktur Jenderal yang ditujukan kepada seluruh 21 Hukum Online, MA diminta cabut SEMA peninjauan kembali, http://www.hukumonline.com/ berita /baca/ lt5530 de 7f 9 271/ma-diminta-cabut-sema-peninjauan-kembali. 22 P.J.P Tak sebagaimana dikutip dalam Ridwan, Diskresi dan Tanggung Jawan Pemerintah (FH UII Press 2014) 129-130. 23 Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, lihat juga http : / / w w w . h ukumonline.com /berita/baca/ lt54b1f62361f81 /surat-edaran--kerikil- dalam-perundang-undangan. supra note 2. http://www.hukumonline.com/ http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt54b1f62361f81/surat-edaran--kerikil-%20%20dalam-perundang-undangan http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt54b1f62361f81/surat-edaran--kerikil-%20%20dalam-perundang-undangan 178 | Pembentukan Peraturan Kebijakan Berdasarkan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik jajaran pegawai negeri sipil yang berada dalam lingkup tanggungjawabnya (internal), dapat dituangkan dalam bentuk surat biasa, bukan berbentuk peraturan resmi, seperti peraturan menteri. Akan tetapi, isinya bersifat mengatur (regeling). 24 Secara normatif, mengingat surat edaran bukan merupakan peraturan perundang- undangan, maka idealnya pengujiannya pun tidak dapat menggunakan mekanisme pengujian peraturan perundang-undangan atau judicial review yang merupakan kewenangan dari Mahkamah Agung yakni menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang, 25 atau yang merupakan kewenangan pada Mahkamah Konstitusi dalam hal pengujian undang-undang terhadap terhadap UUD 1945. 26 Namun, yang menjadi pertanyaan selanjutnya ialah jika terjadi bahwa peraturan kebijakan ternyata bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi, apakah hal tersebut boleh dibiarkan begitu saja? Apakah tidak mungkin peraturan kebijakan semacam itu diperkarakan di pengadilan? Dalam praktik di beberapa negara yang sudah maju, misalnya di Inggris, kasus- kasus tersebut pernah terjadi dan dapat diselesaikan dengan sebaik-baiknya oleh pengadilan. Suatu peraturan kebijakan dipandang dapat diuji dengan syarat bahwa aturan kebijakan itu bertentangan dengan Hak Asasi Manusia. Meskipun bentuknya hanya peraturan kebijakan, apabila ternyata melanggar hak asasi manusia, maka hakim dapat menguji konstitusionalitas norma yang terdapat dalam peraturan kebijakan tersebut untuk alasan kemanusiaan dan keadilan. 27 Peraturan kebijakan juga dapat diuji di pengadilan berdasarkan materi muatannya, misalnya jika seharusnya materi muatan peraturan tersebut harusnya dituangkan dalam peraturan secara resmi, 28 namun pejabat pemerintahan terkait justru menuangkannya dalam peraturan kebijakan, maka hal tersebut dapat pula diujikan secara formal ke MA. 29 Selain alasan Hak Asasi Manusia dan materi muatan peraturan kebijakan, pengujian peraturan kebijakan melalui mekanisme pengadilan dapat dilakukan apabila terdapat unsur sewenang-wenang (willekeur) dan penyalahgunaan wewenang (detournement de pouvoir) dalam peraturan kebijakan tersebut. 30 Hal ini dikarenakan, terdapat larangan melakukan penyalahgunaan wewenang oleh badan dan/atau pejabat pemerintahan yang meliputi: 1) larangan melampaui 24 Lihat selengkapnya di Jimly Asshiddiqie, Perihal. supra note 3. 25 Lihat Pasal 24A ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 20 ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman 26 Lihat Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman 27 Lihat selengkapnya di Jimly Asshiddiqie, supra note 4. 28 Menurut penulis, yang dimaksud dengan peraturan resmi ialah peraturan perundang-undangan yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam Peraturan Perundang- undangan. Secara normatif, jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia diatur dalam Pasal 7 dan 8 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. 29 Ibid 37. 30 Lihat Surat Edaran MA tanggal 25 Februari 1977 No. MA/Pemb/0159/77, lihat juga Ridwan, Diskresi, 23. 179 | LENTERA HUKUM wewenang, 2) larangan mencampuradukkan wewenang: dan/atau 3) larangan bertindak sewenang-wenang. 31 Adapun yang berwenang menguji adanya pelanggaran kewenangan yang dilakukan oleh badan dan/atau pejabat pemerintahan adalah Pengadilan Tata Usaha Negara/Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (selanjutnya disebut PTUN/PTTUN). 32 Hanya saja jika melihat definisi dari larangan penyalahgunaan wewenang yang terbatas hanya pada keputusan dan/atau tindakan yang dikeluarkan/dilakukan oleh badan dan/atau pejabat pemerintahan, 33 padahal tidak menutup kemungkinan penyalahgunaan wewenang oleh Pejabat Pemerintahan terjadi dengan dibentuknya surat edaran oleh Pejabat tersebut, maka perlu dilakukan reformulasi terhadap kewenangan PTUN/PTTUN dalam menguji adanya pelanggaran kewenangan. Tidak hanya pada keputusan dan/atau tindakan yang dikeluarkan/dilakukan oleh badan dan/atau pejabat pemerintahan, tetapi juga mencakup peraturan kebijakan yang dibentuk oleh pejabat itu. Jika berpijak pada konsep surat edaran merupakan salah satu bentuk dari peraturan kebijakan yang lahir dari kewenangan bebas (diskresi), 34 maka ditambahkannya wewenang PTUN/PTTUN dalam menguji unsur penyalahgunaan wewenang pada peraturan kebijakan, pada hakikatnya sesuai dengan larangan penggunaan diskresi secara melampaui wewenang, mencampuradukkan wewenang dan sewenang-wenang. 35 Dari ketiga mekanisme pengujian yudisial tersebut, dasar pengujiannya tidak hanya berupa hukum tertulis tetapi juga hukum tidak tertulis, dalam hal ini ialah AAUPB. 36 Hal ini dikarenakan, pengujian terhadap diskresi dengan menggunakan peraturan tertulis dianggap tidak memadai karena penggunaan diskresi itu lebh banyak berkenaan dengan wewenang yang tidak disebutkan secara tegas dalam peraturan perundang-undangan. 37 Selain melalui mekanisme yudisial, pengujian terhadap surat edaran juga dapat dilakukan oleh penerbit surat edaran maupun oleh atasan penerbit surat edaran tersebut. Konsep tersebut dapat kita temukan dalam Pasal 33 ayat (2) UU Administrasi Pemerintahan yakni keputusan dan/atau tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang berwenang tetap berlaku hingga berakhir atau dicabutnya Keputusan atau dihentikannya Tindakan oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang berwenang. 38 31 Lihat Pasal 17 ayat (2) UU Administrasi Pemerintahan. 32 Lihat Pasal 21 ayat (1) dan ayat (4) UU Administrasi Pemerintahan. 33 Lihat Pasal 18 dan Pasal 19 UU Administrasi Pemerintahan. 34 Philipus M. Hadjon, 152. 35 Lihat Pasal 30, 31 dan 32 UU Administrasi Pemerintahan. 36 Secara normatif, di dalam Pasal 10 ayat (1) UU Administrasi Pemerintahan disebutkan bahwa AAUPB terdiri dari : a) asas kepastian hukum, b) asas kemanfaatan, c) asas ketidakberpihakan, d) asas kecermatan, e) asas tidak menyalahgunakan kewenangan, f) asas keterbukaan, g) asas kepentingan umum, dan h) asas pelayanan publik, namun dalam Pasal 10 ayat (2) hakim dapat menerapkan AAUPB selain yang telah ditentukan pada ayat (1) sepanjang dijadikan dasar penilaian hakim yang tertuang dalam putusan Pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. 37 P. De Haan sebagaimana dikutip dalam Ridwan, Diskresi. supra note 164. 38 Lihat pula Pasal 66 ayat (3) UU Administrasi Pemerintahan. 180 | Pembentukan Peraturan Kebijakan Berdasarkan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 33 ayat (2) dipertegas dalam Pasal 75 ayat (1) UU Administrasi Pemerintahan, dimana warga masyarakat yang dirugikan terhadap keputusan dan/atau tindakan dapat mengajukan upaya administratif kepada Pejabat Pemerintahan atau Atasan Pejabat yang menetapkan dan/atau melakukan keputusan dan/atau tindakan. Upaya administratif tersebut terdiri atas keberatan dan banding. 39 Upaya administratif berupa keberatan, dapat diajukan oleh warga masyarakat kepada Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang telah menetapkan dan/atau melakukan keputusan dan/atau tindakan yang dianggap telah merugikan dirinya. 40 Dalam hal warga masyarakat tidak menerima atas penyelesaian keberatan oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan, barulah warga masyarakat tersebut dapat mengajukan banding kepada atasan Pejabat. 41 Namun mengingat karakteristiknya surat edaran berbeda dengan keputusan dan materinya bersifat mengatur, maka agar surat edaran tersebut juga dapat dibatalkan/diuji melalui upaya administratif, maka perlu dilakukan reformulasi terhadap pasal-pasal yang membatasi upaya administratif hanya dapat dilakukan terhadap keputusan dan/atau tindakan Pejabat Pemerintahan, dengan menambahan frase peraturan kebijakan di dalamnya. IV. KESIMPULAN Keberadaan peraturan kebijakan merupakan konsekuensi dari kewenangan bebas yang dimiliki oleh pemerintah (diskresi). Salah satu bentuk dari peraturan kebijakan yang sering digunakan dalam penyelenggaraan pemerintahan ialah Surat Edaran. Sebagai konsekuensi dari diskresi, maka pembentukan dan pelaksanaan peraturan kebijakan harus memperhatikan definisi, lingkup, persyaratan, prosedur dan akibat hukum dari diskresi sebagaimana diatur dalam UU Administrasi Pemerintahan. Namun, jika melihat definisi dari diskresi pada Pasal 1 angka 9 UU Administrasi Pemerintahan yang belum memasukkan unsur peraturan kebijakan, maka guna terciptanya kepastian hukum dan mempertegas kedudukan peraturan kebijakan (khususnya surat edaran) dalam hukum positif di Indonesia, maka perlu dilakukan reformulasi terhadap Pasal 1 angka 9 UU Administrasi Pemerintahan dengan menambahkan unsur peraturan kebijakan di dalamnya. Pengujian peraturan kebijakan (surat edaran), dapat dilakukan dengan menggunakan beberapa mekanisme diantaranya ialah menggunakan mekanisme yudisial, maupun upaya administratif. Surat edaran sebagai kewenangan yang lahir dari diskresi tidak dapat digolongkan sebagai peraturan perundang-undangan, sehingga secara normatif tidak dapat dilakukan pengujian peraturan perundang-undangan baik di MA maupun MK. Namun, secara konseptual terdapat pengecualian terhadap ketentuan tersebut, diantaranya ialah : 1) ketika isi dari surat edaran bertentangan dengan Hak Asasi Manusia, 2) materi muatannya seharusnya dituangkan dalam 39 Lihat Pasal 75 ayat (2) UU Administrasi Pemerintahan. 40 Lihat Pasal 76 ayat (1) UU Administrasi Pemerintahan. 41 Lihat Pasal 76 ayat (2) UU Administrasi Pemerintahan. 181 | LENTERA HUKUM peraturan perundang-undangan, 3) terdapat unsur penyalahgunaan wewenang di dalamnya. Terpenuhinya keseluruhan atau ketiga unsur tersebut dapat dilakukan pengujian secara yudisial baik ke MA maupun PTUN/PTTUN. Selain pengujian melalui mekanisme yudisial, pengujian terhadap surat edaran juga dapat dilakukan oleh penerbit surat edaran maupun oleh atasan penerbit surat edaran mekanisme ini dalam UU Administrasi Pemerintahan disebut dengan upaya administratif. DAFTAR PUSTAKA Bagir Manan dan Kuntana Magnar. 1993. Beberapa Masalah Hukum Tata Negara Indonesia. Bandung: Alumni. Bagir Manan. 2004. Hukum Positif Indonesia (Satu Kajian Teoritik). Yogyakarta: FH UII Press. BPPK, Kemenkeu, kedudukan peraturan kebijakan surat edaran, instruksi, petunjuk teknis dalam hukum positif di Indonesia, http://www.bppk. kemenkeu.go.id /publikasi / artikel/167-artikl-/19902, kedudukan- peraturan- kebijakan-surat- edaran,-instruksi,-petunjuk-teknis-dalam hukum-positif-di-indonesia. Hukum Online, MA diminta cabut sema peninjauan kembali, http://www.hukumonline.com/ berita/baca/lt5530de7f9b271/ma-diminta-cabut- sema-peninjauan-kembali. Hukum Online, Surat edaran kerikil dalam peundang-undangan, http: //www.hukumonline.com/ berita/baca/lt54b1f62361f81/surat-edaran--kerikil- dalam-perundang-undangan. Jazim Hamidi. 1999. Penerapan Asas-Asas Umum Penyelenggaraan Pemerintahan yang Layak (AAUPB) di Lingkungan Peradilan Administrasi Indonesia. Bandung: Citra Aditya Bakti. Jimly Asshiddiqie. 2005. Konstitusi dan Konstitusionalisme. Jakata: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. _______________. 2010. Konstitusi Ekonomi. Jakarta: Kompas. _______________. 2010. Perihal Undang-Undang. Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia John M. Echols dan Hassan Shadily. 2006. Kamus Inggris Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Moh. Mahfud MD. 2010. Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi. Jakarta: Rajawali Pers. Moh Mahfud MD. Sunaryati Hartono. Sidharta. Bernard L. Tanya dan Anto F. Susanto. 2013. Dekonstruksi Dan Gerakan Pemikiran Hukum Progresif. Yogyakarta: Thafa Media. Philipus M. Hadjon. 1993. Pengantar Hukum Administrasi Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Ridwan HR. 2011. Hukum Administrasi Negara Edisi Revisi. Jakarta: RajaGrafindo Persada. ___________. 2014. Diskresi dan Tanggung Jawan Pemerintah. Yogyakarta: FH UII Press. http://www.hukumonline.com/%20berita/baca/lt5530de7f9b271/ma-diminta-cabut-sema-peninjauan-kembali http://www.hukumonline.com/%20berita/baca/lt5530de7f9b271/ma-diminta-cabut-sema-peninjauan-kembali 182 | Pembentukan Peraturan Kebijakan Berdasarkan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik Marcus Lukman. 1996. Eksistensi Peraturan Kebijaksanaan dalam Bidang Perencanan dan Pelaksanaan Rencana Pembangunan di Daerah serta Dampaknya terhadap Pembangunan Materi Hukum Tertulis Nasional. Disertasi. Universitas Padjadjaran.