Lentera Hukum, Volume 4, Issue 3 (2017), pp . 199-212 ISSN 2355-4673 https://doi.org/10.19184/ ejlh.v4i3.5550 Published by the University of Jember, Indonesia Available online 17 December 2017 Quo Vadis Pembaharuan Hukum Pertanahan Nasional: Urgensi Pembentukan Peradilan Khusus Pertanahan dalam Penyelesaian Konflik Agraria yang Berkeadilan Muhammad Busyrol Fuad YLBHI-Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Surabaya, Indonesia voead4999@gmail.com ABSTRACT The rise of national agraria conflicts that occurred seem to have been in the point is quite worrisome. Because he has a slice of various forms of human rights dimensionless violations. Various discourses in the effort to resolve the conflict continue. The discourse on the creation of a special court of land seems to have begun to gain a lot of attention. The reason, he is present in the situation of national agraria conflict that never ends, besides the passage of this discourse is full of momentum, which coincides with the draft Land Law Bill which is now entered the political space of legislation in parliament. A special court of land will certainly be a topic of discussion is quite fierce considering the issue will reach the settlement areas of national agraria cases that include land tenure by the plantation company (onderneming), PT. Perkebunan Nasional (PTPN), to the control of land by the military. This paper would like to discuss that the establishment of a special land court in the draft national land law is a necessity in solving a just national agrarian conflict. KEYWORD: Agraria Conflict, Violations of Human Rights, Special Court of Land. Copyright © 2017 by Author(s) This work is licensed under a Creative Commons Attribution-ShareAlike 4.0 International License. All writings published in this journal are personal views of the authors and do not represent the views of this journal and the author's affiliated institutions. Submitted: October 16, 2017 Revised: October 20, 2017 Accepted: November 30, 2017 HOW TO CITE: Fuad, Muhammad Busyrol. “Quo Vadis Pembaruan Hukum Pertanahan Nasional: Urgensi Pembentukan Peradilan Khusus Pertanahan dalam Penyelesaian Konflik Agraria yang Berkeadilan” (2017) 4:3 Lentera Hukum 199-212. mailto:voead4999@gmail.com 200 | Quo Vadis Pembaharuan Hukum Pertanahan Nasional: Urgensi Pembentukan Peradilan Khusus Pertanahan … I. KONFLIK AGRARIA DAN PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA Semakin hari, konflik agraria di tanah air terus mengalami eskalasi yang signifikan. 1 Tak ayal konflik ini sudah masuk dalam pusaran pemberitaan media massa. Konflik ini tidak dapat dianggap remeh temeh, pasalnya konflik agraria yang terjadi memiliki irisan terhadap berbagai bentuk pelanggaran yang berdimensi hak asasi manusia, diantaranya penggusuran dan pengusiran dari kampung, pembakaran tanaman dan tempat tinggal, penculikan, intimidasi, terror, penangakapan, pemenjaraan hingga penghilangan nyawa. Hal tersebut seringkali terjadi ketika komunitas masyarakat dalam ikhtiyar memperjuangkan hak atas tanahnya dihadapkan dengan berbagai kepentingan besar, diantaranya penguasaan tanah oleh perusahaan perkebunan (onderneming), PT Perkebunan Nasional (PTPN) dan penguasaan tanah oleh militer yang nampaknya ketiganya telah menjadi trend dalam mewarnai konflik agraria di tanah air. Alhasil, karena keberpihakan rezim cenderung terhadap kepentingan pemodal dalam mengejar akumulasi kapital, santer membuat perjuangan masyarakat petani berujung “kriminalisasi”. Berbagai instrumen hukum peninggalan kolonial masih diberlakukan dan seringkali dijadikan “alat” bagi pihak yang berkepentingan untuk membungkam ruang berekspresi masyarakat dalam memperjuangkan hak-haknya. Adalah sangat dilematis, mengingat keberadaan negara sebagai suatu bentuk kesepakatan politik guna membebaskan warga negaranya dari kemiskinan, keterpurukan dan kesengsaraan cenderung lebih memfasilitasi kepentingan perusahaan yang berorientasi profit an sich dari pada kepentingan masyarakat kelas bawah, yakni petani. Dalam narasi ini, tentu posisi masyarakat seringkali berada dalam posisi yang timpang, sehingga daya tawar (bargaining position) yang dimiliki juga cenderung lemah. Belum lagi, kondisi ini diperparah dengan adanya stigmatisasi sebagai “PKI (Partai Komunis Indonesia)” terhadap gerakan-gerakan yang masyarakat lakukan dalam mempejuangkan apa yang senyatanya sudah menjadi hak mereka. 2 Berbagai proses penyelesaian konflik sudah masyarakat tempuh, mulai dengan jalur politik atau non litigasi dengan cara melakukan audiensi, negosiasi dan mediasi 1 Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat bahwa konflik agraria pada tahun 2016 mengalami peningkatan hampir dua kali lipat dibandingkan tahun 2015. Sedikitnya terjadi 450 konflik agraria sepanjang tahun 2016 dengan luasan wilayah 1.265.027 hektar dan melibatkan 86.745 KK yang tersebar di seluruh provinsi di Indonesia. Tahun sebelumnya tercatat hanya 252 konflik. Dari ratusan konflik yang terjadi, konflik di lahan perekebunan tertinggi dengan angka mencapai 163 konflik. Lihat catatan akhir tahun Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) 2016. 2 Beberapa konflik agraria yang ada, bersumber dari penguasaan aset-aset bekas kolonial yang kemudian dinasionalisasi oleh pemerintah, termasuk di dalamnya upaya nasionalisasi industri dan tanah-tanah perkebunan dan tragedi 1965 yang terkait dengan penguasaan tanah-tanah rakyat pada saat gencaranya program land reform pemerintah. Kedua hal ini memiliki relasi politik yang sangat erat kaitanya terhadap problem ketimpangan penguasaan tanah-tanah yang menjadi warisan konflik di era ini. R. Herlambang P. Wiratraman, Politik Militer Dalam Perampasan Tanah Rakyat : Studi Konflik Penguasaan Tanah oleh Militer & Kekerasan Terhadap Petani di Jawa Timur. Dipresentasikan pada konferensi internasional “Penguasaan Tanah dan Kekayaan Alam di Indonesia yang Sedang Berubah: Mempertanyakan Kembali Berbagai Jawaban”, panel “resource tenure, pendekatan oleh negara”, (Santika Hotel Jakarta, 11- 13 Oktober 2004). 201 | LENTERA HUKUM dengan perusahaan yang difasilitasi oleh pemerintah namun tak kunjung menuai hasil. Pengadilan umum sebagai pintu gerbang terakhir sebagai harapan guna memberikan rasa keadilan bagi masyarakat, selama ini tidak sesuai dengan inspirasi masyarakat karena lamanya proses peradilan, biaya yang tidak murah, penyelesaiannya seringkali hanya bersibaku terhadap pihak yang memiliki alas hak sehingga rakyat kurang memiliki legal standing yang cukup kuat karena tidak didukung oleh bukti formal pemilikan tanah. Guna melacak hal diatas, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Surabaya merilis di Catatan Akhir Tahun (CATAHU) tahun 2015, bahwa penyelesaian kasus-kasus agraria di Pengadilan Umum cenderung hanya bersibaku terhadap aspek administratif dan legalitas kepemilikan tanah semata, bukan sebagai kasus struktural. Hal tersebut juga tergambar dari kasus Tarik alias Joyo, 65 tahun, seorang petani dari Dusun Sidorejo, Desa Pandansari Kecamatan Sumber, Kabupaten Probolinggo yang dijadikan tersangka oleh Kepolisian Resort Lumajang. Joyo dijadikan tersangka karena dituduh telah melakukan tindak pidana kegiatan perkebunan tanpa izin menteri di dalam kawasan hutan sebagaimana di maksud dalam Pasal 92 ayat (1) huruf a juncto Pasal 17 ayat (2) huruf b subsider Pasal 94 ayat (1) huruf a jo. Pasal 19 huruf a Undang-undang Nomor 18 tahun 2013 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan. Kasus ini dikenal sebagai bentuk “kriminalisasi” terhadap kaum petani, sampai pada akhirnya terdakwa Joyo di vonis selama 1 (satu) tahun dan denda 500 juta. 3 Dengan demikian berbagai potret diatas, cukup menjadi preseden buruk bahwa proses litigasi di pengadilan umum sudah tidak memadai untuk menangani konflik agraria yang bersifat struktural, yakni konflik yang melibatkan komunitas dengan badan usaha atau badan pemerintah yang diakibatkan karena ketimpangan penguasaan, pemilikan dan penggunaan tanah sudah sangat parah. Belum lagi peran Badan Pertanahan Nasional (BPN) sebagai lembaga birokrasi yang mengurus administrasi pertanahan dan diharapkan mampu menjembatani konflik tanah seakan turut serta menjadi “momok” dalam memperparah persoalan agraria di tanah air. Dalam kasus tanah yang melibatkan militer misalnya, pihak BPN seakan “enggan” untuk turut menjembatani konflik jenis ini, karena menurutnya sengketa tanah tersebut disebabkan oleh birokrasi tanah yang dimiliki militer itu sendiri, sehingga penyelesaian sengketa tanahnya hanya bisa dilakukan dengan menghadirkan dan diputuskan oleh militer itu sendiri. 4 Pengaduan kepada parlemen, sebagaimana dilakukan para petani Buduran Sidoarjo dan Harjokuncaran Malang Selatan di DPRD Jawa Timur, ternyata anggota dewan hanya bisa memberikan fasilitasi untuk mempertemukan antara petani kroban sengketa tanah dengan pihak Kodam V/Brawijaya, tanpa memberikan rekomendasi 3 Catatan Akhir Tahun Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Surabaya tahun 2015. 4 Notulensi, Workshop Nasional Penyelesaian Sengketa Tanah yang Melibatkan Militer, YLBHI-LBH Surabaya, Sahid Hotel Surabaya, 29 April – 1 Mei 2002, Workshop ini diikuti oleh puluhan wakil petani yang menjadi korban perampasan tanah oleh militer, terutama kasus-kasus yang terjadi di Sumatera dan Jawa. R. Herlambang P. Wiratraman, supra note 2, hlm 2. 202 | Quo Vadis Pembaharuan Hukum Pertanahan Nasional: Urgensi Pembentukan Peradilan Khusus Pertanahan … yang kongkrit, tegas dan dapat diimplementasikan dalam penyelesaian sengketa tanahnya. 5 Akibat kegelisahan terhadap peradilan umum tersebut, cenderung membuat masyarakat lebih memilih penyelesaian dengan jalur politik, salah satunya dengan cara reklaiming. Cara ini dilakukan oleh masyarakat guna memberikan pesan kepada publik khususnya pemerintah, bahwa pemerintah harus turun tangan dalam menyelesaikan konflik agraria yang dialami oleh masyarakat dengan memetakan berbagai permasalahan yang ada. Sayangnya, tak malah mendapatkan respon positif, masyarakat yang melakukan reclaiming malah ditangkapi oleh pihak kepolisian, karena dianggap melanggar sejumlah peraturan perundang-undangan yang berlaku. 6 Berbagai potret diatas membuat orientasi politik dan kebijakan agraria nasional perlu diarahkan kepada paradigma dan praktik pembangunan ekonomi populis dan demokratis yang mengutamakan semangat gotong royong berdasarkan Pancasila dan konstitusi. Politik agraria nasional harus dijauhkan dari kapitalisme dan neoliberalisme yang telah menelan banyak korban, terutama masyarakat petani. Politik agraria nasional harus menempatkan rakyat sebagai tuan di atas tanahnya sendiri. Rancangan Undang-undang (RUU) Pertanahan yang kini masuk dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) memupuk harapan rakyat atas terciptanya suatu sistem penyelesaian konflik agraria nasional yang berkeadilan, bukan hanya kepada para pemilik modal ataupun kaum feodal, tetapi juga menyentuh keadilan untuk masyarakat bawah. Banyak hal yang harus diproyeksikan dalam RUU Pertanahan ini, salah satunya terkait dengan pembentukan peradilan khusus pertanahan sebagai jawaban atas turunnya kepercayaan masyarakat terhadap peradilan umum yang selama dianggap tidak mampu menyelesaikan konflik pertanahan yang berkeadilan. II. REFLEKSI DAN EVALUASI PENANGANAN KONFLIK AGRARIA Ditinjau dari pengertiannya, konflik agraria adalah perbedaan nilai, kepentingan, pendapat dan atau persepsi antara warga atau kelompok masyarakat dan atau warga atau kelompok masyarakat dengan badan hukum (privat atau publik), masyarakat dengan masyarakat mengenai status penguasaan dan atau status kepemilikan dan atau status penggunaan atau pemanfaatan atas bidang tanah tertentu, serta mengandung aspek politik, ekonomi dan sosial budaya. Pengertian ini, agaknya lebih luas jika dibandingkan dengan pengertian sengketa yang lebih spesifik terhadap status 5 R. Herlambang P. Wiratraman, Ibid. 6 Hal ini sebagaimana yang dialami oleh kakek Slamet Daroini (Tokoh Masyarakat Petani) yang menuntut hak atas tanah masyarakat yang kini dikuasai oleh PT. Perkebunan dan Perdagangan Dewi Sri, sebagai pemegang hak guna usaha (HGU). Atas dasar itulah, kakek bernama Slamet Daroini, dijerat Pasal 160 Pasal 6 ayat (1) huruf a Undang-undang Nomor 51 PRP Tahun 1960 Tentang Larangan menggunakan tanah tanpa izin yang berhak atau kuasannya karena diduga melakukan penghasutan dan divonis oleh Pengadilan Negeri Blitar hukuman 1 tahun 8 bulan pidana penjara. 203 | LENTERA HUKUM keputusan tata usaha negara menyangkut penguasaan, pemilikan dan penggunaan atau pemanfaatan atas bidang tanah tertentu. 7 Menurut sosiolog-aktivis George J. Aditjondro menyebutkan bahwa konflik agraria di Indonesia bersifat multidimensional yang tidak bisa dipahami hanya sebagai persengketaan agraria an sich, tetapi seperti puncak gunung es dari beragam jenis konflik lainnya yang mendasar, seperti konflik antar sistem ekonomi, konflik minoritas-mayoritas, konflik masyarakat modern-masyarakat adat, konflik Negara- warga negara, konflik antar sistem pengetahuan positivistik-pengetahuan asli serta konflik antar relasi gender. 8 Hal yang patut dipersoalkan secara lebih besar adalah cara-cara perampasan tanah-tanah rakyat dilakukan dengan menggunakan pendekatan kekerasan seperti pembunuhan, penembakan, penculikan, pengerusakan, pengusiran/penggusuran, dan pemaksaan lainnya, termasuk manipulasi keterangan atau informasi dan peruntukan tanahnya. Persoalan inilah yang menjadi tanda tanya besar dalam sejarah tentara di Indonesia, mengapa militer yang merupakan alat negara dalam urusan keamanan atau pertahanan negara masuk dalam wilayah konflik sipil yang mengorbankan publik secara luas, khususnya petani di basis pedesaan. 9 Pola penyelesaian konflik seperti inilah yang marak dipraktikkan sepanjang pemerintahan Orde Baru membuat wajah konflik agraria semakin berada dalam titik nadir yang kian mengkhawatirkan. Maraknya konflik agraria erat kaitannya dengan perilaku dan sikap birokrat pemerintah dalam menerjemahkan kebijakan agraria yang ada. Pemerintah bertindak seolah sebagai pemilik tanah, sehingga dengan sekendak hati dapat memberikan penguasaan dan pengusahaan kepada sektor swasta dengan mengabaikan kepentingan rakyat. Praktik ini sesungguhnya bersumber kepada penafsiran yang keliru terhadap Hak Menguasai Negara (HMN) yang tercantum di dalam UUPA 1960. Sejatinya konsepsi HMN dalam politik hukum agraria sebagai terjemahan dari Pasal 33 UUD 1945 menegaskan bahwa penguasaan Negara atas kekayaan alam diperuntukkan bagi kesejahteraan rakyat, namun hal ini banyak diselewengkan sehingga lebih mendatangkan petaka bagi rakyat. Bentuk pemahaman sebagaimana diatas, semakin memperparah timbulnya konflik agraria. Pada dasarnya memang tidak ada penjelasan terkait pasal 33 ayat (3) UUD 1945 tentang apa yang dimaksud dengan istilah dikuasai oleh negara dan sejauh mana cakupannya. Namun Pasal 2 ayat (2) UUPA telah mengembangkan pengertian hak menguasai negara, sehingga dirasakan sebagai suatu perubahan keseluruhan dari pernyataan domain yang pernah dikenal di indonesia sejak tahun 1870 yang bagi belanda adalah untuk membenarkan penjajahannya dan menguasai tanah-tanah di indonesia. Di dalam Pasal 2 ayat (2) berbunyi : hak menguasai oleh negara termaksud 7 Perbedaan sengketa, konflik dan perkara, http://d5er.wordpress.com/2010/12/21/perbedaan-sengketa- konflik-dan-perkara/, diakses pada tanggal 8 januari 2017. 8 George J. Aditjondro (1993), Dimensi-dimensi Politis Sengketa Tanah, Makalah Latihan Analisis Sosial Tanah, Medan, 1993 dalam bukum Elza Syarif, Menuntaskan Sengketa Tanah Melalui Pengadilan Khusus Pertanahan,( KPG (Kepustakaan Populer Gramedia), 2012), hlm. 45. 9 R. Herlambang P. Wiratraman, Ibid. http://d5er.wordpress.com/2010/12/21/perbedaan-sengketa-konflik-dan-perkara/ http://d5er.wordpress.com/2010/12/21/perbedaan-sengketa-konflik-dan-perkara/ 204 | Quo Vadis Pembaharuan Hukum Pertanahan Nasional: Urgensi Pembentukan Peradilan Khusus Pertanahan … dalam ayat (1) Pasal ini memberi kekuasaan untuk: Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara manusia dengan bumi, air dan ruang angkasa.Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara manusia dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa. 10 Dengan demikian, maka Pasal 2 UUPA tersebut merupakan tafsiran resmi interpretasi autentik mengenai arti perkataan dikuasai yang digunakan di dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 diatas. Pasca reformasi, potret konflik agraria tidak banyak berubah, bahkan terjadi kecenderungan konflik-konflik tersebut tampil ke permukaan menjadi konflik terbuka (manifes) dan meluas. Keberadaan undang-undang sektoral yang menjadi akar penyebab konflik sama sekali tidak tersentuh. Meski sejumlah kementerian sektoral mengajukan usulan ranacangan perundang-undangan terkait dengan pengelolaan sumber daya alam, tetapi secara paradigmatik tidak berubah sebagai suatu instrumen yang mempercepat proses peralihan lahan-lahan ke penguasaan badan-badan usaha. 11 Berbagai inisiatif pembaharuan perundang-undangan belum secara jelas dan tegas mengatur mengenai hubungan pemerintah dan rakyat dalam penguasaan dan pengelolaan sumber daya alam sebagai interpretasi dari konsep Hak Menguasai Negara (HMN). Padahal, dalam kenyataannya, konflik hukum negara dan hukum rakyat bersumber dari perbedaan penafsiran mengenai doktrin hak menguasai negara ini. 12 Kehadiran Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor IX/MPR/2001 Tentang Pemaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam menandai babak baru penyelesaian konflik agraria. Penyelesaian konflik agraria menjadi salah satu arah kebijakan agraria (Pasal 5, huruf d). Berdasar atas TAP MPR ini, koalisi masyarakat sipil bersama Komnas HAM menggagas Komite Nasional untuk Penyelesaian Konflik Agraria (KNuPKA). Sayangnya, usulan tersebut hanya dijawab oleh Presiden Megawati dengan mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 34 Tahun 2003 Tentang Kebijakan Nasional di Bidang Pertanahan yang memberikan kewenangan penyelesaian sengketa tanah garapan kepada pemerintah provinsi, kabupaten/kota. 13 KNuPKA kembali diusulkan di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Namun, pemerintah SBY tidak menghendaki pembentukan lembaga khusus penyelesaian konflik, tetapi mengusulkan revisi UUPA dan penguatan kedeputian khusus untuk menangani sengketa dan konflik agraria dengan operasionalisasi melalui Peraturan Kepada BPN-RI Nomor 3 Tahun 2011 Tentang Pengelolaan Pengkajian dan Penanganan kasus Pertanahan. 14 10 Umar Said Sugiharto, dkk, Hukum Pengadaan Tanah: Pengadaan Hak Atas Tanah Untuk Kepentingan Umum Pra dan Pasca Reformasi, (Malang: Setara Press, 2015). hlm. 4-5. 11 Noer Fauzi, Bersaksi Untuk Pembaruan Agraria; Dari Tuntutan Lokal Hingga Kecenderungan Global, (Yogyakarta: Insist Press, 2003). 12 Myrna A. Safitri, Quo Vadis Pembaruan Hukum Sumber Daya Alam. Seri kajian hukum no. 1. (HuMa) (Jakarta: HuMa, 2002). 13 Idham Arsyad, Penyelesaian Konflik Agraria, Volume 3 (Policy Brief Epistema Institute, 2016) hlm. 3. 14 Idham Arsyad, ibid. 205 | LENTERA HUKUM Berbagai inisiatif yang disebutkan di atas tidak banyak berkorelasi dengan peningkatan kemampuan pemerintah menangani konflik agraria. Di lapangan, konflik ini terus saja terjadi bahkan berkorelasi dengan ditambah kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia. Konsorsium Pembaruan Agraria menunjukkan bahwa sepanjang pemerintahan SBY (2004-2014) terjadi 1.391 konflik yang melibatkan 926.700 kepala keluarga dan luasan areal mencapai 5.711.396 hektar. 15 Konflik agraria ini berlangsung di semua bentuk pemanfaatan dan penggunaan sumber daya alam. Konflik agraria ini juga telah menimbulkan kerugian material, non material bahkan korban jiwa bagi para pihak yang berkonflik. Misalnya, dalam kurun waktu 2004-2014, terdapat 1.354 orang petani dan aktivis yang ditahan, 553 yang mengalami luka-luka, 110 tertembak dan sebanyak 70 orang tewas. 16 Di era Pemerintahan Jokowi – JK masalah konflik agraria juga masih belum tertangani dengan baik. Sepanjang tahun 2015, KPA mencatat telah terjadi 252 kejadian konflik agraria di tanah air, dengan luasan wilayah konflik mencapai 400.430 Hektar. Konflik-konflik ini melibatkan sedikitnya 108.714 kepala keluarga (KK). Konflik agraria telah mengakibatkan 5 orang tewas, 39 orang tertembak, 124 orang yang mengalami luka-luka karena dianiaya dan 278 orang yang ditahan. 17 Tidak adanya mekanisme dan kelembaaan penyelesaian konflik agraria menyebabkan penanganan konflik bersifat parsial dan tidak menyentuh akar persoalan. Selama ini terdapat sejumlah lembaga yang menangani konflik agraria secara terpisah-pisah dan tidak terkoordinasi. DPR-RI membentuk Tim Kerja (Timja) Pertanahan yang bertugas untuk menerima pengaduan kasus dan memberikan rekomendasi penyelesaian kepada lembaga yang terkait. Sementara itu, di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan terdapat Tim Penanganan Pengaduan Kasus Lingkungan Hidup dan Kehutanan serta direktorat khusus terkait konflik tenural. Komnas HAM menerima pengaduan kasus dan memberikan rekomendasi penyelesaian. Kementerian Agraria dan Tata Ruang membentuk direktorat penanganan masalah agraria. Tetapi semua proses penanganan konflik di masing-masing lembaga tersebut mempunyai keterbatasan dan belum mampu menyelesaikan konflik agraria secara berkeadilan. III. PENYELESAIAN KONFLIK AGRARIA YANG BERKEADILAN Melihat beberapa potret konflik agraria yang sudah dipaparkan diatas, sulit kiranya menemukan suatu desain penyelesaian konflik agraria yang ideal guna menjernihkan konflik tersebut secara menyeluruh dan mendalam tanpa harus berkutat terhadap hal- hal yang bersifat administratif belaka. Dengan demikian, dalam aras inilah pentingnya dibentuk suatu lembaga peradilan khusus yang mampu menyelesaikan berbagai kompleksitas konflik agraria yang ada. Lembaga peradilan tersebut, tentunya tidak hanya berjibaku terhadap alas hak saja, tetapi mampu menelaah segala faktor yang 15 Noer Fauzi dan Usep Setiawan (peny.), 2015. 16 Catatan Akhir Tahun Konsorsium Pembaruan Agraria Tahun 2014. 17 Catatan Akhir Tahun Konsorsium Pembaruan Agraria Tahun 2015. 206 | Quo Vadis Pembaharuan Hukum Pertanahan Nasional: Urgensi Pembentukan Peradilan Khusus Pertanahan … melatarbelakangi terjadinya konflik tersebut, ditinjau dari aspek historis, kepentingan yang ada dll (dan lain-lain), alhasil menghasilkan suatu penyelesaian konflik yang berkeadilan. Guna melakukan suatu konstruksi terhadap gagasan tersebut, terlebih dahulu akan dipaparkan beberapa desain penyelesaian sengketa atau konflik yang sudah lumrah dikenal secara luas, yakni penyelesaian secara non litigasi dan litigasi (pengadilan). A. Penyelesaian Sengketa Atau Konflik Dengan Cara Litigasi Lembaga peradilan atau sering disebut sebagai lembaga yudikatif merupakan sebuah lembaga yang memiliki kemampuan untuk memberikan rasa keadilan dalam masyarakat manakala lembaga tersebut digunakan sebagai upaya untuk menyelesaikan sengketa atau konflik. Lembaga ini merupakan tumpuan keadilan bagi seluruh lapisan masyarakat yang mendambakan keadilan. Pengadilan merupakan tumpuan harapan terakhir para pencari keadilan atau pihak-pihak yang bersengketa. Dalam memberikan pelayanan hukum dan keadilan kepada masyarakat, pengadilan mempunyai tugas-tugas utama secara normatif antara lain: Pertama, memberikan perlakuan yang adil dan manusiawi kepada pencari keadilan. Kedua, memberikan pelayanan yang baik dan bantuan yang diperlukan bagi pencari keadilan. Ketiga, memberikan penyelesaian perkara secara efektif, efisien, tuntas, dan final sehingga memuaskan semua pihak dan masyarakat. 18 Teori dari lima konsep tentang hukum disebutkan bahwa seluruh keputusan hakim in concreto diwujudkan dalam proses-proses pengadilan (judge made law). Ini yang kemudian berlaku sebagai asas preseden dan juga sering disebut dengan yurisprudensi. Untuk itu peradilan adalah salah satu lembaga yang dianggap mampu menyelesaikan sebuah sengketa, karena keputusan hakim adalah hukum (Judge made law). Dalam kaitannya dengan masalah lembaga peradilan, proses yang normal dalam lembaga peradilan adalah sebagai lembaga penyelesaian sengketa yang dikatakan sebagai proses litigasi. Dalam negara hukum Republik Indonesia, peradilan adalah lembaga yang menjalankan (pelaku) kekuasaan kehakiman dan mempunyai tugas pokok untuk menerima, memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan Dari aturan-aturan yang tertuang secara formal tersebut terdapat persoalan yang dilakukan lembaga peradilan dalam menyelesaikan sebuah sengketa diantaranya adalah: 19 Pertama, proses penyelesaian perkara biasanya berjalan terlalu formal dan kaku sehingga kurang fleksibel dan tidak menjangkau seluruh aspek sengketa (perkara). Kedua, Proses peradilan terkesan angker karena hanya memperhatikan aspek yuridis saja tanpa memperhatikan aspek sosiologis, psikologis dan religius yang merupakan unsur-unsur sengketa suara holistik. Ketiga, Proses peradilan berjalan lamban dan berbelit-belit, sehingga dinilai boros serta membuang-buang waktu dan 18 A. Mukti Arto, Mencari Keadilan, Kritik dan Solusi Terhadap Praktik Peradilan Perdata di Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Februari 2001). hlm. 12-13. 19 A. Mukti arto, Ibid. hlm. vi-vii. 207 | LENTERA HUKUM biaya yang sangat merugikan pencari keadilan. Keempat, Tidak ada komunikasi timbal balik antara hakim dan pihak-pihak. Hakim terlalu mendominasi proses peradilan dan kurang memberikan kesempatan kepada para pihak untuk aktif sebagai subyek-dalam proses penyelesaian sengketa. Hakim cenderung menempatkan para pihak sebagai obyek yang harus diperiksa dan diadili. Kelima, Kebenaran dan keadilan diukur dengan pendapat, keyakinan dan perasaan hakim secara sepihak sehingga para pihak tidak bisa memahami dan menerima putusan hakim yang secara subyektif berad di luar pendapat, keyakinan, dan perasaan mereka. Keenam, Hakim cenderung bersifat formal karena hanya memperhatikan aspek hukum yang berdasarkan doktrin atau teks hukum semata tanpa memperhatikan faktor kesadaran hukum para pihak. Ketujuh, Kebanyakan perkara- perkara perdata ternyata sebagian besar diantaranya dimintakan banding/kasasi. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar putusan judex factie tak diterima, oleh para pencari keadilan, meskipun perkara telah diputuskan dan putusan telah berkekuatan hukum tetap, namun ternyata sengketa yang terjadi antara pihak-pihak tidak kunjung padam, dan bahwa cenderung menimbulkan rasa dendam dan benci serta permusuhan yang berkepanjangan sehingga menimbulkan ekses-ekses negatif di masyarakat dan sebagainya. Pengadilan ternyata telah gagal dalam mengemban inti dan misi serta fungsinya untuk menyelesaikan sengketa dan memulihkan hubungan sosial antara pihak-pihak yang berperkara. Untuk itulah maka perlu dicarikan solusi baru agar Pengadilan dapat melaksanakan tugas dan fungsinya dalam menyelesaikan perkara yang diamanatkan kepadanya, baik secara yuridis, sosiologis, psikologis maupun religius dengan memberikan suatu putusan yang secara praktis (nyata) bersifat final dan tuntas. Beragama kritik terhadap penyelesaian sengketa hukum melalui mekanisme peradilan (litigation process) tersebut diberikan, karena karakter makanisme peradilan yang berwatak „win and lose‟. Fokus perhatian evaluasi kritik litigasi pada umumnya meliputi: “evidence to the attention of the court” waktu, biaya, responsibilitas, kualitas putusan dan kemampuan hakim serta rigiditas prosedur hukum berperkara. 20 Selain kritik diatas, peradilan juga dianggap “unresponsive”, tidak tanggap terhadap kepentingan umum: the courts are extremely clogged up and are generally unresponsive to the needs of the public”. Pengadilan sering memberi perlakuan “unfair”: memberi keleluasaan kepada institusi-institusi besar dan orang-orang kaya sambil “menafikan” orang-orang biasa dan miskin (“ordinary citizens”). 21 20 Lihat Nancy K. Kubasek dan Gary S. Silverman, Environmental Law, Prentice Hall, (New Jersey. Upper Saddle River, 1997). hlm. 36-37; Lihat juga dalam M. Yahya Harahap, Beberapa Tinjauan Mengenai Sistem Peradilan dan Penyelesaian Sengketa, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1997). hlm. 154-161. 21 Nancy K. Kubasek dan Gary S. Silverman, Supra note 1. 208 | Quo Vadis Pembaharuan Hukum Pertanahan Nasional: Urgensi Pembentukan Peradilan Khusus Pertanahan … Dalam konflik agraria yang lebih spesifik, seperti halnya sengketa perkebunan, problematika dan carut-marut “adversary system” sengketa perkebunan tambah diperburuk lagi oleh ketentuan hukum yang rigid: 22 “……proses pengadilan terikat atau tunduk pada ketentuan-ketentuan hukum normatif yang kaku dan ketat. Oleh sebab itu, para pihak dalam persidangan seringkali memperdebatkan soal-soal prosedur hukum hingga berlarut-larut. Keadaan ini secara tidak langsung telah mengisolasikan para pihak dari substansi persoalan yang menjadi sumber sengketa. Padahal setiap sengketa senantiasa bersangkut paut dengan soal-soal teknis non hukum, misalnya aspek ekonomi, sosial, politik dll. Pengadilan cenderung akan memfokuskan pada soal-soal teknis hukum normatif dengan mengabaikan soal-soal substantif lainnya, sehingga hasil penyelesaian akhir bersifat parsial dan akan terjadi menang-kalah (win-lose). B. Penyelesaian Sengketa Atau Konflik Dengan Cara Non Litigasi Menghadapi berbagai situasi diatas, dikembangkan suatu bentuk penyelesaian sengketa sebagai alternatif yang mengekspresikan ketentuan hukum yang dikenal luas atau popular dikenal dengan “Alternatif Dispute Resolution (ADR), yaitu penyelesaian sengketa secara komprehensif di luar pengadilan. Hal ini sebagai antitesa, atas beragai kelemahan yang terdapat dalam peradilan umum. Penyelesaian dengan menggunakan metode ini terbagi kedalam beberapa model penyelesaian sengketa, diantaranya: negosiasi, mediasi, dan arbitrase. Negosiasi merupakan penyelesaian sengketa melalui perundingan langsung antara para pihak yang besengketa guna mencari atau menemukan bentuk-bentuk penyelesaian yang dapat diterima pihak-pihak yang bersangkutan. 23 Sedangkan mediasi merupakan upaya penyelesaian sengketa melalui perundingan dengan bantuan pihak ketiga netral (mediator) guna mencari penyelesaian yang dapat disepakati para pihak. Peran mediator dalam mediasi adalah memberikan bantuan substantif dan procedural kepada para pihak yang bersengketa. Dari beberapa contoh model penyelesaian sengketa yang termasuk dalam ADR ini, merupakan suatu model penyelesaian sengketa yang tidak hanya terbatas mempertimbangkan aspek-aspek hukum semata, melainkan juga faktor-faktor non hukum. Sehingga aspek-aspek politik, ekonomi dan sosial kemasyarakatan akan dimunngkinkan untuk dijadikan suatu pertimbangan dalam model jenis ini. Dengan demikian, tak jarang dalam menghadapi kasus-kasus agraria, masyarakat lebih tertarik untuk menyelesaikan konflik dengan jenis penyelesaian ini. Hal itu diwujudkan dengan melakukan hearing atau audiensi dengan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, DPRD ataupun dinas terkait. Terdapat beberapa alasan yang melatarbelakangi muncul minat dan perhatian terhadap ADR: Pertama, perlunya menyediakan mekanisme penyelesaian sengketa yang 22 Takdir Rahmadi, Mekanisme Alternatif Penyelesaian Sengketa Lingkungan, makalah penataran hukum lingkungan, proyek kerja sama hukum Indonesia-Belanda, (Surabaya: Fakultas Hukum, 1996). hlm. 7- 8. 23 Takdir Rahmadi, Ibid., hlm. 2-3. 209 | LENTERA HUKUM lebih flexible dan responsive bagi kebutuhan para pihak yang bersengketa; kedua, untuk memperkuat keterlibatan masyarakat dalam proses penyelesaian sengketa; dan ketiga, memperluas akses mencapai atau mewujudkan keadilan sehingga setiap sengketa perkebunan yang memiliki ciri-ciri tersendiri yang terkadang tidak sesuai dengan bentuk penyelesaian yang satu, akan cocok dengan bentuk penyelesaian yang lain, sehingga para pihak dapat memilih mekanisme yang terbaik. 24 IV. PENGADILAN KHUSUS PERTANAHAN SEBAGAI INSTITUSI PENYELESAIAN KONFLIK AGRARIA YANG BERKEADILAN: SEBUAH TAWARAN Sebagaimana yang telah dipaparkan diatas, dalam perkembangannya, konflik agraria terus mengalami peningkatan setiap tahun tanpa ada mekanisme dan kelembagaan khusus yang dapat menanganinya secara baik dan berkeadilan. Pengadilan umum sama sekali bukan lagi tempat menyelesaikan konflik agraria dewasa ini, bahkan kecenderungannya tidak lagi menjadi pilihan bagi rakyat untuk menyelesaikan konfliknya karena jaminan keadilan sama sekali sulit didapatkan oleh rakyat kecil yang berkonflik. Dengan demikian, apakah bentuk kelembagaan atau mekanisme penanganan konflik yang perlu dirumuskan oleh RUU Pertanahan. Kehadiran Rancangan Undang-undang Pertanahan sejatinya dapat menyempurnakan mekanisme penanganan konflik yang telah diatur di berbagai peraturan perundang-undangan. secara khusus, RUU Pertanahan ini diharapkan mampu menyediakan mekanisme penyelesaian konflik agraria struktural. Konflik agraria struktural merujuk pada pengertian yang selama ini dikembangkan oleh pegiat agraria, yakni: sebuah istilah untuk menjelaskan konflik agraria yang melibatkan penduduk setempat atau kelompok-kelompok masyarakat sipil di satu pihak dengan kekuatan modal dan/atau instrumen negara. 25 Dengan pengertian tersebut di atas, maka faktor penting yang harus menjadi dasar dalam merumuskan norma-norma penyelesaian konflik agraria di dalam RUU Pertanahan, adalah sebagai berikut: 1) Bahwa umumnya penyebab konflik agraria karena kebijakan tertentu yang dikeluarkan oleh pemerintah untuk berbagai tujuan dengan mengabaikan kenyataan adanya bentuk-bentuk penguasaan atas tanah oleh masyarakat setempat. Sehingga diperlukan suatu kebijakan yang bersifat mengoreksi kebijakan masa lalu yang mengakibatkan konflik; 2) Penyelesaian konflik harus dibarengi dengan pemulihan atas pelanggaran hak asasi manusia yang menyertai selama kejadian konflik; 3) Perlunya penataan ulang mengenai pemilikan dan penggunaan atas tanah dengan mempertimbangkan aspek keadilan, keberlanjutan daya dukung ekologi dan tingkat populasi penduduk; 4) Mencegah timbulnya konflik agraria baru. 26 24 Disarikan dari pemikiran Riskin dan Wesrbrook serta Goldberg, Green den Sander, sebagaimana dikutip oleh Takdir Rahmadi, supra note 2. 25 Mulyani, dkk, 2013. 26 Idham Arsyad, supra note 3. 210 | Quo Vadis Pembaharuan Hukum Pertanahan Nasional: Urgensi Pembentukan Peradilan Khusus Pertanahan … Beberapa faktor ini menjadi pondasi penting dalam perumusan peradilan khusus pertanahan yang kini sedang masuk dalam ruang politik legislasi nasional (RUU Pertanahan) guna membangun sistem penyelesain konflik agraria nasional ke arah yang lebih baik. Jika ditelusuri, sebenarnya pengadilan “serupa” pernah dibentuk ketika pemerintah sedang gencar melakukan redistribusi tanah melalui program land reform. Dibentuknya pengadilan land reform sebagai ikhtiyar kesungguhan pemerintah dalam mewujudkan efektifnya program tersebut. Kehadiran pengadilan land reform ini cukup demokratis dengan menempatkan wakil petani dalam pengambilan keputusan dan proses redistribusi tanah dapat berjalan lebih efektif dan adil, akan tetapi melalui Undang-undang No. 7 Tahun 1970 peradilan ini telah dihapus dengan berbagai alasan yang jauh tidak berpihak terhadap kepentingan petani. Penghapus ini seakan menjadi preseden buruk yang turut menghiasi sengketa pertanahan yang terjadi, hal ini membuat struktur pemilikan penguasaan tanah tidak menjadi lebih baik. Dalam format yang lebih teknis, peradilan khusus pertanahan ini, secara eksistensial nantinya tetap berada dibawah naungan Peradilan Umum, 27 sehingga sifatnya adalah ad hoc dan juga di dukung dengan hakim-hakim yang memiliki kompetensi dan tersertifikasi oleh Mahkamah Agung sebagai hakim yang bersertifikat agraria layaknya hakim lingkungan hidup. Ruang mediasi dan mekanisme resolusi konflik alternatif perlu dibuka selebar-lebarnya, salah satunya sebagai ruang dialog, termasuk juga mempertimbangkan aspek-aspek politik, ekonomi dan sosial kemasyarakatan sebagai suatu pertimbangan dalam model jenis ini. Keadilan substantif adalah muara yang harus dicapai dalam penyelesaian dengan model ini, sembari tetap mengikuti prosedur hukum di peradilan pertanahan yang nantinya akan digagas. Beberapa model pada pengadilan land reform perlu untuk dipertahankan kembali, terlebih menempatkan petani dan wakilnya dalam pengambilan keputusan. Dalam konteks ini juga, keberpihakan negara juga dipertaruhkan, sebagai satu institusi yang secara konstitusional memiliki tanggung jawab penuh dalam melindungi masyarakat dari segala kepentingan, termasuk kepentingan swasta atau pemodal besar. Negara harus membebaskan petani dari pusaran neoliberalisme yang menjadikan nasib petani sebagai taruhannya. Mengingat kompleksitas permasalahan pertanahan dan keterbatasan kapasitas dan respons kelembagaan yang ada, di sinilah relevansi menghadirkan peradilan khusus pertanahan. Arahnya, tentu saja diperuntukkan sebesar-besarnya demi kemakmuran rakyat dan mencari jalan keluar atas kebuntuan persoalan penyelesaian konflik yang tak kunjunga mereda hingga memakan telah memakan banyak korban. 27 Pasal 8 ayat (1) Undang-undang Nomor 49 tahun 2009 Tentang Peradilan Umum, menyebutkan bahwasannya, “di lingkungan peradilan umum dapat dibentuk pengadilan khusus yang diatur dengan undang-undang”. 211 | LENTERA HUKUM V. KESIMPULAN Pembaharuan hukum pertanahan nasional yang termuat dalam Rancangan Undang- undang Pertanahan diharapkan mampu mengurai berbagai konflik agraria nasional yang berkembang dewasa ini. Peradilan khusus pertanahan menjadi salah satu isu utama yang menjadi pembahasan sengit dalam politik legislasi tersebut, dikarenakan isunya akan menjangkau berbagai akar terjadinya konflik. Sebagai ruang penyelesaian sengketa yang mampu menyelesaikan konflik agraria secara berkeadilan, peradilan khusus pertanahan ini harus memenuhi unsur-unsur sebagai berikut: Pertama, terselenggaranya waktu penyelesaian konflik yang efisien dan tidak terlalu lama, hal ini mengingat kebutuhan masyarakat yang bersengketa dalam konflik ini membutuhkan segera tanah tersebut untuk bertani dan bercocok tanam. Kedua, seringkali konflik agraria melibatkan masyarakat kecil atau tidak mampu, selain persoalan perluanya jumlah biaya yang murah dan terjangkau bagi masyarakat guna mencari keadilan, menempatkan petani dan wakilnya dalam pengambilan keputusan menjadi hal yang penting. Ketiga, Ruang mediasi dan mekanisme resolusi konflik alternatif perlu dibuka selebar-lebarnya, salah satunya sebagai ruang dialog, termasuk juga mempertimbangkan aspek-aspek politik, ekonomi dan sosial kemasyarakatan sebagai suatu pertimbangan dalam model jenis ini. Keempat, kualitas putusan hakim yang dapat menggambarkan kemampuan hakim dalam melihat suatu konflik agraria tersebut secara menyeluruh, tanpa hanya disandarkan kepada alat bukti formal. Kehadiran peradilan khusus pertanahan ini, sebagai jawaban akan ketidakmampuan peradilan umum menjawab berbagai konflik agraria yang muncul, sehingga terkesan penyelesaian yang dilakukan hanya berbasis administratif belaka, yakni bersibaku terhadap alas hak (ex: sertifikat, dll). DAFTAR PUSTAKA Aditjondro, George J, Dimensi-dimensi Politis Sengketa Tanah, Makalah Latihan Analisis Sosial Tanah, Medan, 1993. Arsyad, Idham, Penyelesaian Konflik Agraria, Policy Brief Epistema Institute, Volume 3 Tahun 2016. Arto, A. Mukti, Mencari Keadilan, Kritik dan Solusi Terhadap Praktik Peradilan Perdata di Indonesia, Pustaka Pelajar Yogyakarta. Februari 2001. Catatan Akhir Tahun Konsorsium Pembaruan Agraria Tahun 2014. Catatan Akhir Tahun Konsorsium Pembaruan Agraria Tahun 2015. Catatan Akhir Tahun (Catahu) Lembaga Bantuan Hukum Surabaya Tahun 2015. Catatan Akhir Tahun Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) 2016. Fauzi, Noer, Bersaksi untuk Pembaruan Agraria; Dari Tuntutan Lokal Hingga Kecenderungan Global, (Yogyakarta: Insist Press, 2003). Harahap, M. Yahya, Beberapa Tinjauan Mengenai Sistem Peradilan dan Penyelesaian Sengketa, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1997). 212 | Quo Vadis Pembaharuan Hukum Pertanahan Nasional: Urgensi Pembentukan Peradilan Khusus Pertanahan … Kubasek, Nancy K. dan Silverman, Gary S, Environmental Law, Prentice Hall, Upper saddle River, New Jersey, 1997. R. Herlambang P. Wiratraman, Politik Militer dalam Perampasan Tanah Rakyat : Studi Konflik Penguasaan Tanah oleh Militer & Kekerasan terhadap Petani di Jawa Timur. Dipresentasikan pada Konferensi Internasional “Penguasaan Tanah dan Kekayaan Alam di Indonesia yang Sedang Berubah: Mempertanyakan Kembali Berbagai Jawaban”, panel “Resource Tenure, Pendekatan Oleh Negara”, Santika Hotel Jakarta, 11-13 Oktober 2004. Rahmadi, Takdir, Mekanisme Alternatif Penyelesaian Sengketa Lingkungan, Makalah Penataran Hukum Lingkungan, Proyek kerja sama Hukum Indonesia-Belanda, FH Unair Surabaya, 1996. Safitri, Myrna A, Quo Vadis Pembaruan Hukum Sumber Daya Alam. Seri Kajian Hukum No. 1. (Jakarta: HuMA, 2002). Sugiharto, Umar Said , dkk, Hukum Pengadaan Tanah: Pengadaan Hak Atas Tanah untuk Kepentingan Umum Pra dan Pasca Reformasi, (Malang: Setara Press, 2015). Syarif, Elza, Menuntaskan Sengketa Tanah Melalui Pengadilan Khusus Pertanahan, KPG (Kepustakaan Populer Gramedia, 2012). Wignyosoebroto , Soetandyo, Tulisan dan kumpulan seri perkuliahan, Tanpa penerbit, tahun 1999.