Lentera Hukum, Volume 3 Issue 2 (2016), pp.99-111 ISSN 2355-4673 (Print) 2621-3710 (Online) https://doi.org/10.19184/ ejlh.v3i2.5588 Published by the University of Jember, Indonesia Available online 21 July 2016 Analisis Yuridis Surat Dakwaan Penuntut Umum Dalam Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga Siti Umayaroh University of Jember, Indonesia sitiumayaroh@yahoo.com ABSTRACT The indictment is an authentic deed required for the commencement of criminal procedure proceedings. Therefore, the preparation and application of indictments by the prosecutor against the defendant must be following the provisions of the Criminal Procedure Code, as Article 143 explains that the indictment must contain formal conditions and material requirements. If it does not meet material requirements, the indictment shall be null and void. When the indictment no longer complies with the prevailing laws and regulations. Thus, it will affect the weakness of law enforcement in Indonesia and an error in Juris. This article contains 2 (two) issues, namely: (1) Whether the application of Article 351 paragraph (1) of the Criminal Code or Article 365 paragraph (2) number 1 and 3 of the Criminal Code in cases of domestic violence is following the principle lex specialis derogat legi generalist? (2) Is the alternative indictment formulated by the public prosecutor following the defendant's conduct? This research uses normative juridical research, by using a statute approach and conceptual approach. Obtained results and conclusions in writing this article that the application of the prosecutor's indictment in cases of domestic violence is not following the principle of lex specialis derogat legi general and the preparation of indictment letter in the form of an alternative not following the actions of the defendant. KEYWORDS: The Defendant, Error In Juris , The Principle Of Lex Specialis Derogat Legi Generalis. Copyright © 2016 by Author(s) This work is licensed under a Creative Commons Attribution-ShareAlike 4.0 International License. All writings published in this journal are personal views of the authors and do not represent the views of this journal and the author's affiliated institutions. Submitted: May 05, 2016 Revised: June 08, 2016 Accepted: July 10, 2016 HOW TO CITE: Umayaroh, Siti. “Analisis Yuridis Surat Dakwaan Penuntut Umum Dalam Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga “ (2016) 3:2 Lentera Hukum 99-111 100 | Analisis Yuridis Surat Dakwaan Penuntut Umum Dalam Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga I. PENDAHULUAN Hukum acara pidana memberikan penjelasan bahwa terdakwa belum tentu bersalah dan dapat dipidana. Berbeda dengan terpidana, bahwa terpidana sudah pasti bersalah dan melakukan tindak pidana. Maka dari itu, untuk menunjang adanya keadilan serta benar tidaknya suatu perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa, proses hukum dijalankan sesuai dengan hukum acara pidana yang berlaku. Adapun proses hukum tersebut diawali dengan proses penyidikan yang dilakukan oleh penyidik. Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang sudah ditentukan dalam undang-undang, untuk mencari, mengumpulkan bukti yang terjadi dan menemukan tersangkanya.1 Pada tahap penyidikan tersebut, penyidik mempunyai wewenang sebagaimana yang diatur dalam Pasal 7 ayat 1 Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana yaitu menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana, melakukan penangkapan, penggeledahan, memanggil saksi, hingga sampai pada hal mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab. Selain Pasal 7 yang memberikan penjelasan terkait wewenang penyidik, Pasal 8 juga memberikan penjelasan terkait wewenang penyidik, yaitu membuat berita acara penyidikan dan menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum. Setelah penyerahan berkas perkara oleh penyidik kepada penuntut umum, penuntut umum memeriksa berkas perkara tersebut. Hal itu bertujuan untuk mengklarifikasi apabila terdapat kekurangan didalam berkas perkara. Karena apabila terdapat kekurangan atau kesalahan, penuntut umum dapat mengembalikan berkas perkara tersebut kepada penyidik supaya disempurnakan. Setelah hal tersebut dilakukan, kewenangan penuntut umum selanjutnya (sebagaimana ketentuan Pasal 14 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana) adalah melakukan penuntutan yang diawali dengan membuat surat dakwaan. Pembuatan surat dakwaan yang dilakukan oleh penuntut umum berdasarkan atas hasil penyidikan. Sehingga dapat digaris bawahi apabila penuntut umum berpendapat bahwa sudah cukup bukti yang diperoleh dari hasil penyidikan, penuntut umum dapat memutuskan melakukan penuntutan. Pada tahap pembuatan surat dakwaan ini, penuntut umum harus memperhatikan ketentuan dalam Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana. Misalnya syarat-syarat surat dakwaan, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 143 ayat (2) KUHP, bahwa penuntut umum membuat surat dakwaan yang diberi tanggal dan ditandatangani serta berisi identitas terdakwa secara lengkap. Selain itu, surat dakwaan harus diuraikan secara cermat, jelas dan lengkap. Surat dakwaan harus memenuhi syarat formil dan syarat materiil tersebut. Apabila surat dakwaan yang dibuat oleh penuntut umum tidak memenuhi syarat materiil sebagaimana Pasal 143 ayat (2) huruf b KUHP, maka akibat hukumnya surat dakwaan dapat dikatakan batal demi hukum. 1 Kuhap & Kuhp (Genesis Learning, 2016) At Pasal 1 Angka 2. 101 | LENTERA HUKUM Selain itu, penerapan undang-undang khusus atau umum dalam surat dakwaan juga perlu diperhatikan. Hal ini untuk mengantisipasi tumpang tindihnya suatu aturan yang berlaku. Misalnya tindak pidana penganiayaan yang diatur dalam ketentuan umum (KUHP) diatur dalam Pasal 351, namun terdapat undang-undang khusus yang mengatur tentang penganiayaan pula yaitu Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Pasal 44 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Ketentuan umum yang terdapat dalam KUHP tersebut berlaku untuk umum siapa saja pelaku dan korbannya, berbeda dengan ketentuan khusus yang mengatur tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga tersebut, yang mana ketentuan tersebut hanya berlaku dalam ruang lingkup rumah tangga. Dalam praktiknya, ketika terjadi penganiayaan yang masih dalam ruang lingkup rumah tangga, ketentuan manakah yang akan diterapkan oleh penuntut umum dalam mendakwa terdakwa. Bersinggungan dengan efisiensi penerapan undang-undang, kekerasan dalam rumah tangga merupakan kejahatan yang layak untuk mendapatkan pengamatan khusus. Hal ini dibuktikan dalam undang-undang PKDRT, bahwa asal mula diterbitkan undang-undang tersebut salah satunya untuk melindungi hak asasi manusia, khususnya perempuan. Berdasarkan perspektif politik hukum pidana, suatu undang- undang lahir tidak secara tiba-tiba, melainkan terdapat berbagai pertimbangan serta tujuan yang jelas. Sebelum undang-undang PKDRT lahir, angka KDRT semakin meningkat. Berdasarkan data yang diperoleh dari LBH APIK Jakarta KDRT meningkat dari tahun 1998-2002.2 kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga diindonesia, patut untuk dibuat terobosan baru yang dapat mencegah kejahatan tersebut. Sebab, kejahatan ini dapat menimpa siapapun, selain perempuan dan anak. Maka dari itu, dibuatlah undang-undang PKDRT yang bertujuan untuk melindungi korban, khususnya perempuan. Dengan demikian, maraknya kasus KDRT yang terjadi, seyogjanya dapat diterapkan menggunakan ketentuan tersebut. Berkaitan dengan hal itu, penyusun mengkaji dan meneliti sebuah kasus yang terdapat di putusan nomor 590/Pid.Sus/2014/PN. undang-undang PKDRT Bwi, yang kronologinya adalah terdakwa Anwaruddin Bin ali Yasin, pada hari kamis tanggal 01 Mei 2014, sekitar pukul 24.00 WIB, bertempat di dusun Krajan 2 Rt 2 RW 1 Desa Tegalsari Kecamatan Tegalsari Kabupaten Banyuwangi telah melakukan kekerasan fisik terhadap istrinya yaitu Nur Istingatun Naimah dengan cara terdakwa Anwaruddin Bin Ali Yasin, mendatangi rumah istrinya/saksi korban secara diam-diam, tanpa seijin istrinya/saksi korban. Terdakwa memasuki rumah dengan cara membuka jendela sebelah barat dekat meteran listrik yang saat itu tidak dikunci, kemudian terdakwa melompat/memanjat jendela tersebut. Setelah berada didalam, terdakwa mengendap-endap masuk kekamar istrinya, dan bersembunyi di bawah tempat tidur yang saat itu kamar dalam keadaan gelap. Kemudian terdakwa mengetahui istrinya berada diatas kasur sedang asik menerima telepon, dan terdakwa setengah berdiri berusaha melihat/mengintip HandPhone karena ingin mengetahui istrinya berhubungan dengan siapa, akan tetapi telah diketahui oleh saksi korban, dan kemudian istrinya/saksi korban menyembunyikan 2 Rochmat Wahab, “Kekerasan Dalam Rumah Tangga Perspektif Psikologis Dan Edukatif” (2006) Xxix:61 Unisia. 102 | Analisis Yuridis Surat Dakwaan Penuntut Umum Dalam Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga HP dengan mendekap HP sambil berteriak-teriak. Kemudian terdakwa berdiri menyalakan lampu, meminta hp istrinya akan tetapi tidak diberikan. Selanjutnya terdakwa berusaha merebut HP ditangan korban dengan posisi korban masih terbaring diatas tempat tidur. Terdakwa terus berusaha merebut HP, dengan cara mendekap istrinya dari belakang dan posisi saksi korban membelakangi terdakwa diatas tempat tidur. Kemudian tangan terdakwa mencengkeram tangan saksi korban untuk membuka kedua tangan yang mendekap HandPhone tersebut, sampai akhirnya HandPhone bisa diraih dan digenggam terdakwa, dan terdakwa turun dari tempat tidur. Setelah itu saksi rohmah yang mendengar teriakan anaknya, segera masuk kekamar anaknya dan mengetahui terdakwa merebut HandPhone milik saksi korban/istrinya. Kemudian terdakwa menggunakan kedua tangannya mendorong saksi korban/istrinya, sehingga korban menghantam almari yang ada dikamar tersebut, dan terdakwa bergegas lari keluar lewat pintu samping rumah saksi korban. Akibat dari perbuatan terdakwa, setelah dilakukan pemeriksaan pada saksi korban Nur Istingatun Naimah, ditemukan luka-luka, yaitu lengan kiri dibawah siku terdapat luka lecet kurang lebih tiga sentimeter koma satu sentimeter, lengan kanan diatas siku terdapat luka lecet lebih setengah sentimeter. Bagian betis kiri terdapat luka memar diameter kurang lebih dua sentimeter. Dengan kesimpulan layaknya diakibatkan oleh sentuhan benda tumpul sebagaimana diuraikan dalam Visum Et Repertum Nomor :06/VRK/429.114.32/V/2013 tanggal 2 Mei 2014 yang dibuat oleh dr. SITI ASIAH ANGGRAENI M, MRS, sebagai dokter pada Dinas Kesehatan Kabupaten Banyuwangi UPTD Puskesmas Tegalsari Kecamatan Tegalsari Jalan KH. Syafaat.3 Terdakwa dan korban masih mempunyai hubungan suami istri, namun pisah ranjang. Pada tahun 2013 antara korban dan terdakwa pernah mengurus perceraian di Pengadilan Agama Banyuwangi, dan diputus oleh pengadilan tersebut. Namun, terdakwa Anwaruddin mengajukan banding.4 Berdasarkan kronologi serta berita acara penyidikan, penuntut umum menyusun surat dakwaan alternatif yaitu, Pasal 44 ayat (1) Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Pasal 351 ayat (1), dan Pasal 365 ayat 2 angka 1, angka 3 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Setelah itu terdakwa diperiksa di Pengadilan Negeri Banyuwangi dan hakim memutus terdakwa melanggar Pasal 44 ayat (1) Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang PKDRT. Dengan pertimbangan bahwa terdakwa terbukti bersalah dan melakukan kekerasan fisik terhadap istrinya. Melihat bahwa terdakwa melanggar ketentuan Pasal 44 ayat (1) Undang- Undang Nomor 23 tahun 2004 tentang PKDRT, sebagaimana yang diketahui bahwa undang-undang tersebut merupakan undang-undang khusus. Akan tetapi terdakwa masih didakwa menggunakan KUHP Pasal 351 tentang penganiayaan dan Pasal 365 tentang pencurian. Hal ini apakah sudah sesuai dengan ketentuan Asas Lex Specialis Derogat Legi Generalis, yang artinya bahwa undang-undang yang khusus mengesampingkan undang-undang yang umum. Sebagaimana yang tercantum pada 3 Putusan Nomor 590/Pid.Sus/2014/Pn. Bwi, 22 December 2014 [Putusan Nomor 590/Pid.Sus/2014/Pn. Bwi]. 4 Ibid At Hlm 6. 103 | LENTERA HUKUM Pasal 63 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang berbunyi, jika suatu perbuatan masuk dalam suatu aturan pidana yang umum, diatur pula dalam aturan pidana yang khusus, maka hanya yang khusus itulah yang diterapkan.5 Maka dari itu, penyusun tertarik mengkaji putusan nomor 590/Pid.Sus/2014/PN.Bwi, karena terdapat berbagai kerancuan, yang pertama mengenai Pasal-Pasal yang didakwakan oleh penuntut umum. Pasal yang didakwakan yaitu Pasal 44 ayat (1) Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Pasal 351 ayat (1) dan Pasal 365 ayat 2 angka 1, 3 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Disisi lain, perbuatan terdakwa melanggar ketentuan Pasal 44 ayat (1) Undang-Undang Khusus Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Sebagaimana diketahui bahwa undang-undang tersebut merupakan undang-undang khusus. Ketika terdakwa terbukti melanggar ketentuan undang-undang khusus, mengapa penuntut umum masih menerapkan ketentuan umum (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) dalam surat dakwaan tersebut. Terlebih lagi, melihat antara korban dan terdakwa masih dalam ikatan suami istri, karena putusan pengadilan agama belum dikatakan inkrah, sebab terdakwa mengajukan banding. Apakah hal itu sesuai dengan asas lex specialis derogat legi generalis, begitu juga dengan ketentuan Pasal 63 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Kerancuan kedua, mengenai bentuk surat dakwaan yang diterapkan oleh penuntut umum tidak sesuai dengan perbuatan terdakwa. Surat dakwaan yang dibuat oleh penuntut umum menggunakan bentuk alternatif, yaitu pasal 44 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 atau pasal 351 KUHP tentang penganiayaan atau pasal 365 KUHP tentang pencurian. Dalam hal ini, apakah bentuk surat dakwaan alternatif tersebut sudah sesuai dengan perbuatan terdakwa. Sementara perbuatan terdakwa sebagaimana yang terdapat pada kronologi kasus, melanggar pasal 44 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan kekerasan dalam rumah tangga. II.PEMBAHASAN A, Dakwaan Penuntut Umum Dalam Putusan Nomor 590/Pid.Sus/2014/Pn.Bwi Dikaitkan Dengan Asas Lex Specialis Derogat Legi Generalis KUHP dikodifikasikan dan ditetapkan sebagai dasar hukum pidana di Indonesia. Hal itu mengandung arti bahwa KUHP merupakan undang-undang hukum pidana umum atau sering disebut sebagai lex generalis. Selain itu, telah diketahui bahwa semua perbuatan pidana yang terjadi di Indonesia menggunakan KUHP sebagai petunjuk aturan yang diterapkan oleh penuntut umum maupun hakim. Penerapan tersebut dilakukan karena KUHP sebagai dasar hukum materiil di Indonesia. Kemudian, selain KUHP yang menjadi dasar atau acuan dalam hukum pidana, terdapat undang-undang lain diluar KUHP. Undang-undang diluar KUHP mengatur berbagai aturan pidana yang sebelumnya belum dirumuskan dalam KUHP, atau sudah dirumuskan akan tetapi tidak secara eksplisit. Perumusan undang-undang diluar KUHP ini dibutuhkan karena 5 Note 1 At Pasal 63 Ayat 2. 104 | Analisis Yuridis Surat Dakwaan Penuntut Umum Dalam Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga maraknya perbuatan pidana yang terjadi, namun belum terdapat undang-undang atau aturan yang mengatur secara detail. Selain itu, perumusan undang-undang diluar KUHP karena dianggap bahwa kejahatan tersebut perlu diatur secara khusus didalam undang- undang. Lahirnya undang-undang diluar KUHP sering disebut sebagai lex specialisnya KUHP. Sebab, KUHP belum mengatur secara komprehensif tentang kejahatan tersebut. Dalam praktiknya, jika terjadi kejahatan yang diatur didalam KUHP namun juga diatur didalam undang-undang luar KUHP, maka peraturan manakah yang akan diterapkan. Terdapat berbagai asas dalam perundang-undangan, salah satunya adalah asas lex specialis derogat legi generalis. Asas ini mengandung arti bahwa undang-undang khusus mengesampingkan undang-undang umum. Ketika menelaah asas tersebut, dapat diartikan pula bahwa kejahatan yang diatur dalam 2 (dua) ketentuan, maka asas tersebut dapat diberlakukan. Sementara kasus KDRT dalam putusan Nomor 590/Pid. Sus/2014/PN.Bwi yang dilakukan oleh Anwaruddin Bin Ali Yasin didakwa penuntut umum menggunakan Pasal 44 ayat (1) UU Nomor 23 tahun 2004 tentang PKDRT, atau Pasal 351 ayat (1) KUHP atau Pasal 365 ayat 2 angka 1 dan 3 KUHP. Pasal 351 ayat 1 KUHP maupun Pasal 365 ayat 2 angka 1 dan 3 KUHP mengandung ancaman-ancaman pidana yang ditujukan kepada pelaku orang (subjek hukum). Pelaku yang dimaksud dalam KUHP ini adalah pelaku yang memenuhi kualifikasi umum, yang berarti bahwa pasal tersebut berlaku bagi siapapun yang melanggar aturan tersebut, terkecuali bagi pelaku yang mempunyai kualifikasi khusus dan perbuatannya diatur dalam undang-undang khusus. Mengingat kasus yang diuraikan pada halaman sebelumnya adalah terdakwa Anwaruddin Bin Ali Yasin telah melakukan kekerasan fisik terhadap istrinya atau korban Nur Istingatun Naimah. Tersirat bahwa terdakwa dan korban masih terdapat hubungan suami istri, namun Keduanya pisah ranjang. Berdasarkan putusan nomor 590/Pid.Sus/PN.Bwi tentang perihal keterangan saksi yang disampaikan oleh saksi Muhtarom membuat terang bahwa antara terdakwa dan korban pernah mengurus perceraian dan telah diputus oleh Pengadilan Agama Banyuwangi. Namun, terdakwa Anwaruddin sedang dalam usaha banding.6 Undang-undang perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 mengatur bahwa putusnya perkawinan disebabkan karena 3 (tiga) hal, yaitu kematian, perceraian dan keputusan pengadilan.7 Putusnya perkawinan karena kematian adalah berakhirnya sebuah perkawinan karena salah satu pihak, baik suami atau istri telah meninggal dunia.8 Pasal 34 ayat (2) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975 Tentang pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan menjelaskan bahwa suatu perceraian dianggap terjadi beserta segala akibat-akibatnya terhitung sejak saat pendaftarannya pada daftar pencatatan kantor pencatatan oleh Pegawai Pencatat, 6 Putusan Nomor 590/Pid.Sus/2014/Pn. Bwi, Supra Note 3 At Hlm 5. 7 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, 2 January 1974 [Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan] At Pasal 38. 8 R Supomo, Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri (Jakarta: Pradnya Paramita, 1984) At Hlm 80. 105 | LENTERA HUKUM kecuali bagi mereka yang beragama Islam terhitung sejak jatuhnya putusan Pengadilan Agama yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Putusan yang mempunyai kekuatan hukum tetap adalah suatu putusan hakim yang suatu waktu menjadi suatu putusan yang pasti dan tidak dapat ditarik kembali, apabila tidak ada kemungkinan lagi untuk memeriksa kembali putusan itu pada instansi pengadilan selanjutnya. Apabila terhadap suatu putusan hakim tidak ada lagi kemungkinan untuk melawan atau untuk memohon banding atau kasasi, maka putusan itu memperoleh kekuatan yang pasti yang mengikat.9 Putusan perceraian Pengadilan Agama Banyuwangi tentang terdakwa Anwaruddin dan korban Nur Istingatun Naimah tidak dapat dinilai berkekuatan hukum tetap (inkrah). Sebab, terdakwa Anwaruddin sedang dalam upaya banding. Maka dari itu, Sebaliknya antara terdakwa Anwaruddin dan Nur Istingatun Naimah masih dalam ikatan suami istri yang sah, meskipun keduanya telah pisah ranjang. Jika dikaitkan dengan ketentuan undang-undang PKDRT tersebut, perbuatan terdakwa Anwaruddin mendorong korban Nur Istingatun Naimah merupakan kekerasan fisik. Sebab, akibat perbuatan terdakwa Anwaruddin Bin Ali Yasin, korban Nur Isingatun Naimah mengalami luka-luka lecet dibagian tangan dan kaki akibat sentuhan benda tumpul, sebagaimana yang diuraikan dalam Visum et Repertum tanggal 2 mei 2014. KUHP tidak mengatur tentang kekerasan dalam lingkup rumah tangga. Namun, terdapat undang-undang diluar KUHP yang mengatur secara khusus tentang kekerasan yang terjadi dalam lingkup rumah tangga, yaitu UU No. 23 tahun 2004 tentang PKDRT tersebut. Keduanya merupakan ketentuan yang memiliki spesifikasi tersendiri. Sebagaimana yang penulis uraikan pada halaman sebelumnya, bahwa KUHP merupakan dasar hukum materiil, sehingga disebut sebagai lex generalis. Sedangkan UU No 23 Tahun 2004 Tentang PKDRT merupakan undang-undang yang secara khusus mengatur tentang kekerasan yang terjadi dalam lingkup rumah tangga. Dalam praktiknya, ketika terjadi kekerasan dalam rumah tangga dan kedua ketentuan tersebut bersinggungan satu sama lain, manakah ketentuan yang diterapkan. Terdapat indikator dan syarat formil maupun materill suatu undang-undang dikatakan sebagai lex specialis. Adapun indikator tersebut antara lain: 10 1. Dalam tindak pidana lex specialis harus mengandung semua unsur pokok tindak pidana lex generalis. Ditambah satu atau beberapa unsur khusus dalam lex specialis yang tidak terdapat dalam lex generalisnya. Tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga memenuhi unsur pokok dalam pasal 351 ayat (1) KUHP. Selain itu, UU PKDRT juga menambahkan unsur-unsur tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga yang tidak terdapat dalam KUHP. Seperti 4 kategori kekerasan dalam rumah tangga yang tidak diatur oleh KUHP; 9 Ibid At Hlm 95. 10 Adami Chazawi, Hukum Pidana Positif Penghinaan (Malang: Bayu Media Publishing, 2009) At Hlm 243. 106 | Analisis Yuridis Surat Dakwaan Penuntut Umum Dalam Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga 2. Ruang lingkup tindak pidana bentuk umum dan bentuk khususnya harus sama. Misalnya lex generalisnya penghinaan, maka lex specialisnya juga penghinaan. UU PKDRT ruang lingkupnya adalah kekerasan, dan KUHP (Pasal 351) sebagai lex generalis ruang lingkupnya sama halnya dengan kekerasan terhadap tubuh; 3. Harus terdapat persamaan subjek hukum tindak pidana lex specialis dengan subjek hukum lex generalis. Kalau subjek hukum lex generalisnya orang, maka subjek hukum lex specialisnya juga harus orang. Subjek dari UU PKDRT adalah orang/manusia. Sementara KUHP Pasal 351 juga mengatur subjek demikian; 4. Harus terdapat persamaan objek tindak pidana antara lex specialis dengan objek lex generalis. Objek dari tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga yang diatur dalam UU PKDRT adalah tubuh. Dan objek dari tindak pidana penganiayaan Pasal 351 KUHP juga tubuh; 5. Harus terdapat persamaan kepentingan hukum yang hendak dilindungi dalam lex specialis dengan lex generalisnya.11 Kepentingan hukum dalam Pasal 351 KUHP dan kepentingan hukum UU PKDRT mempunyai kesamaan, yaitu melindungi hak asasi manusia seseorang; 6. Sumber hukum lex specialis harus sama tingkatannya dengan sumber hukum lex generalisnya.12 Tindak pidana KDRT bersumber dari UU Nomor 23 Tahun 2004 (undang-undang khusus), dan tindak pidana penganiayaan juga bersumber dari KUHP (undang-undang umum) Pasal 351. Selain itu, terdapat doktrin yang mengatakan bahwa suatu undang-undang dapat dikategorikan sebagai lex specialis, apabila terdapat penyimpangan-penyimpangan yaitu:13 1. Penyimpangan Materiil, pasal 103 KUHP 2. Penyimpangan formil, pasal 284 KUHAP Jika dikaitkan dengan penggolongan/syarat tersebut, undang-undang tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga merupakan salah satu perundang- undangan pidana khusus. Sebab, didalamnya mengatur tentang ketentuan pidana sendiri dan tidak lain juga menyimpang dengan Pasal 103 KUHP. Pertama, Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang PKDRT juga mengatur pidana tambahan berupa pembatasan atau pencabutan hak dan program konseling dibawah lembaga tertentu. Pidana tambahan program konseling tersebut yang tidak dirumuskan didalam ketentuan KUHP Pasal 10. Kedua, ancaman pidana Pasal 44 ayat 1 lebih berat jika dibandingkan dengan KUHP Pasal 351. Maka dari itu, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang PKDRT secara diam-diam menentukan pidana materiil yang tidak diatur dalam KUHP. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang PKDRT juga mengatur mengenai hukum acara tersendiri. Hal ini dapat ditemukan pada rumusan BAB VI mulai 11 Ibid At Hlm 244. 12 Ibid At Hlm 245. 13 Andi Hamzah, Perkembangan Hukum Pidana Khusus (Jakarta: Rineka Cipta, 1991) At Hlm 6. 107 | LENTERA HUKUM dari Pasal 16- Pasal 38. Bahwa terdapat perlindungan yang harus dijalankan oleh beberapa pihak untuk korban sebelum proses penyidikan. Adapun kepolisian bukan hanya bertugas sebagai penyidik, melainkan juga bertugas sebagai pelindung korban dalam perlindungan yang disertai dengan surat perintah perlindungan dari ketua pengadilan. Selain itu, terdapat pengecualian penangguhan penahanan bagi pelanggar perintah perlindungan yang diatur dalam Pasal 35. Dan ketua pengadilan berkewajiban memberikan surat perintah perlindungan yang diajukan oleh salah satu pihak, diantaranya diatur dalam Pasal 29. Undang-undang tentang kekerasan dalam rumah tangga ini secara tidak langsung mengatur hukum acara tersendiri tentang kejahatan dalam ruang lingkup rumah tangga. Selain itu, Pasal 55 dalam undang-undang tersebut mengatur bahwa seorang saksi korban saja dapat menjadi suatu alat bukti yang sah. Hal ini bertentangan dengan KUHAP yang mengatur bahwa keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatannya. UU PKDRT telah memenuhi syarat materiil maupun formil serta indikator sebagai lex specialis. Maka dari itu, dakwaan penuntut umum menerapkan ketentuan undang-undang umum dan khusus sekaligus yaitu Pasal 44 ayat (1) atau 351 ayat 1 atau Pasal 365 ayat 2 angka 1 dan 3 apakah sudah sesuai jika dikaitkan dengan asas lex specialis derogat legi generalis. Sementara Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto mengatakan bahwa maksud dari asas ini adalah bahwa terhadap peristiwa khusus wajib diberlakukan undang-undang yang menyebut peristiwa itu, walaupun untuk peristiwa khusus tersebut dapat pula diberlakukan undang-undang yang menyebut peristiwa yang lebih luas atau lebih umum yang dapat mencakup peristiwa khusus tersebut.14 Eddy Os Hiarij mengemukakan bahwa dilihat dari perspektif politik hukum pidana (penal policy), eksistensi asas lex specialis derogat legi generalis sebenarnya merupakan asas hukum yang menentukan dalam tahap aplikasi. Tahap ini merupakan tahap penerapan peraturan perundang-undangan pidana yang telah dilanggar terhadap peristiwa konkrit (ius operatum) melalui proses penegakan hukum. Oleh karena itu, asas “lex specialis” ini menjadi penting bagi aparat penegak hukum ketika akan menerapkan peraturan perundang-undangan pidana terhadap perkara pidana yang ditanganinya.15 Penulis dapat mengambil kesimpulan bahwa surat dakwaan penuntut umum dalam menerapkan Pasal 351 ayat 1 KUHP atau Pasal 365 ayat 2 angka 1 dan 3 KUHP dalam kasus kekerasan dalam rumah tangga adanya ketidak sesuaian dengan asas lex specialis derogat legi generalis. Sebab, mengenai konsepsionalisasi hukum pidana khusus, asas yang berlaku adalah lex specialis derogat legi generalis. Bahwa undang-undang pidana khusus mengesampingkan atau mengalahkan undang-undang pidana umum. Dalam arti, jika suatu perbuatan melanggar peraturan pidana umum dan khusus sekaligus maka peraturan yang khususlah yang harus digunakan. Konsekuensinya, jika pelaku dituntut dengan peraturan pidana khusus dan jika masih dituntut dengan peraturan pidana 14 Shinta Agustina, “Implementasi Asas Lex Specialis Derogat Legi Generali Dalam Sistem Peradilan Pidana” 44:4 At Hlm 504. 15 Ibid. 108 | Analisis Yuridis Surat Dakwaan Penuntut Umum Dalam Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga umum maka idealnya pelaku mesti dibebaskan karena adanya kesalahan dalam penerapan aturan hukum atau error in juris.16 B. Penyusunan Surat Dakwaan Alternatif Dikaitkan Dengan Perbuatan Terdakwa Surat dakwaan sangat penting dalam pemeriksaan perkara pidana, sebab dialah yang merupakan dasarnya, dan menentukan batas-batas bagi pemeriksaan hakim. Selain itu, surat dakwaan bertujuan bahwa undang-undang yang diterapkan oleh penuntut umum mempunyai alasan yang jelas dan dijadikan sebagai dasar penuntutan dalam suatu peristiwa pidana. Maka dari itu, sifat-sifat khusus dari suatu tindak pidana yang telah dilakukan harus dicantumkan dengan sebaik-baiknya. Berkaitan dengan pentingnya surat dakwaan, kasus yang terdapat dalam Putusan Nomor 590/Pid.Sus/PN.Bwi adalah tentang terdakwa Anwaruddin bin Ali Yasin, pada hari kamis tanggal 01 Mei 2014, sekitar pukul 24.00 WIB, bertempat di dusun Krajan 2 Rt 2 RW 1 Desa Tegalsari Kecamatan Tegalsari Kabupaten Banyuwangi telah melakukan kekerasan fisik terhadap istrinya yaitu Nur Istingatun Naimah, sebagaimana kronologinya terurai pada halaman sebelumnya. Pada kasus tersebut, penuntut umum menyusun surat dakwaan dengan bentuk alternatif. Pertama adalah Pasal 44 ayat 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang PKDRT, yang kedua Pasal 351 ayat 1 KUHP, kemudian yang ketiga adalah Pasal 365 ayat 2 angka 1 dan 3 KUHP. Dalam hal ini, apakah penuntut umum dalam menyusun surat dakwaan alternatif tersebut sudah sesuai dengan perbuatan terdakwa. Kejelasan mengenai perbuatan terdakwa diperoleh dari fakta persidangan, juga dalam surat dakwaan, yaitu bahwa terdakwa Anwaruddin Bin Ali Yasin pada hari kamis tanggal 01 Mei 2014 sekitar pukul 24.00 WIB telah melakukan kekerasan fisik dalam rumah tangga terhadap orang dalam lingkup rumah tangganya yaitu isteri saksi korban Nur Istingatun Naimah.17 Melihat perbuatan terdakwa yang mengakibatkan korban jatuh sakit, atau luka lecet akibat sentuhan benda tumpul, terlihat ketika terdakwa mendorong korban yang selanjutnya korban menghantam almari. Dalam hukum pidana, perbuatan terdakwa tersebut dapat dikategorikan sebagai penganiayaan biasa. Penganiayaan biasa diatur dalam Pasal 351 ayat (1) KUHP. Sebagaimana bunyinya “penganiayaan dipidana dengan pidana penjara paling lam 2 tahun 8 bulan atau pidana denda paling banyak 4500”.18 Berkaitan dengan perbuatan terdakwa, pasal yang berhubungan adalah Pasal 44 tentang kekerasan fisik dalam rumah tangga. Terdapat 5 macam bentuk surat dakwaan, antara lain: a. Dakwaan tunggal Artinya terdakwa hanya melakukan satu delik yang oleh penuntut umum yakin jika dibuktikan. Termasuk juga dakwaan tunggal jika delik merupakan gabungan peraturan atau concursus idealis atau eendaadsesamenloop.19 16 Hariman Satria, Anatomi Hukum Pidana Khusus (Yogjakarta: Uii Press, 2014) At Hlm 6. 17 Putusan Nomor 590/Pid.Sus/2014/PN. BWI, supra note 3 at hlm 8. 18 note 1 at Pasal 351 ayat 1. 19 Andi Hamzah, Surat Dakwaan Dalam Hukum Acara Pidana (Bandung: PT Alumni, 2016) at hlm 65. 109 | LENTERA HUKUM b. Dakwaan Subsidair Sama halnya dengan dakwaan alternatif, dakwaan subsider juga terdiri dari beberapa lapisan dakwaan yang disusun secara berlapis dengan maksud lapisan yang satu berfungsi sebagai pengganti lapisan sebelumnya. Sistematik lapisan disusun secara berurut dimulai dari Tindak Pidana yang diancam dengan pidana tertinggi sampai dengan Tindak Pidana yang diancam dengan pidana terendah.20 c. Dakwaan Alternatif Dalam Surat Dakwaan terdapat beberapa dakwaan yang disusun secara berlapis, lapisan yang satu merupakan alternatif dan bersifat mengecualikan dakwaan pada lapisan lainnya. Bentuk dakwaan ini digunakan bila belum didapat kepastian tentang Tindak Pidana mana yang paling tepat dapat dibuktikan. Meskipun dakwaan terdiri dari beberapa lapisan, tetapi hanya satu dakwaan saja yang akan dibuktikan.21 d. Dakwaan Kumulatif Dalam Surat Dakwaan kumulatif, didakwakan beberapa Tindak Pidana sekaligus, ke semua dakwaan harus dibuktikan satu demi satu. Dakwaan ini dipergunakan dalam hal terdakwa melakukan beberapa Tindak Pidana yang masing- masing merupakan Tindak Pidana yang berdiri sendiri.22 e. Dakwaan Kombinasi Disebut dakwaan kombinasi, karena di dalam bentuk ini dikombinasikan/digabungkan antara dakwaan kumulatif dengan dakwaan alternatif atau Subsidair.23 Jika dikaitkan dengan beberapa bentuk surat dakwaan yang ada, bentuk surat dakwaan manakah yang lebih sesuai dengan perbuatan Anwaruddin. Menganalisis kembali, bahwa perbuatan terdakwa merupakan perbuatan kekerasan fisik terhadap korban Nur Istingatun Naimah, korban tersebut merupakan istrinya. Telah diketahui bahwa kekerasan fisik diatur dalam pasal 44 UU PKDRT. Adapun pasal tersebut terdiri dari 4 ayat, dan ayat yang bersinggungan dengan perbuatan terdakwa adalah ayat (4) dan ayat (1) Pasal 44. Berdasarkan bentuk surat dakwaan dan hasil analisis perbuatan terdakwa tersebut, maka bentuk surat dakwaan yang sesuai adalah bentuk surat dakwaan subsidair dengan penyusunan Pasal 44 ayat (1) sebagai primair dan Pasal 44 ayat (4) sebagai subsidair: Pasal 44 ayat (1) UU No. 23 Tahun 2004 Tentang PKDRT berbunyi: “Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 huruf a dipidana dengan pidana 20 Surat edaran jaksa agung republik Indonesia NOMOR: SE-004/J.A/11/1993 tentang pembuatan surat dakwaan, 16 November 1993 [Surat edaran jaksa agung republik Indonesia NOMOR: SE- 004/J.A/11/1993 tentang pembuatan surat dakwaan]. 21 Ibid. 22 Ibid. 23 Surat edaran jaksa agung republik Indonesia NOMOR: SE-004/J.A/11/1993 tentang pembuatan surat dakwaan, supra note 20. 110 | Analisis Yuridis Surat Dakwaan Penuntut Umum Dalam Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga penjara paling lama 5 tahun atau denda paling banyak Rp. 15.000.000,00 (lima belas juta rupiah)”. Pasal 44 ayat (4) UU No. 23 Tahun 2004 Tentang PKDRT berbunyi: “Dalam hal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh suami terhadap isteri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari- hari, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) bulan atau denda paling banyak Rp. 5.000.000,00 (ima juta rupiah)”. Maka dari itu, penulis berasumsi bahwa surat dakwaan berbentuk alternatif yang diterapkan oleh penuntut umum dalam putusan Nomor 590/Pid.Sus/2014/PN.Bwi tidak sesuai dengan perbuatan terdakwa. III.PENUTUP Berdasarkan pembahasan yang sudah diuraikan pada bab sebelumnya, diperoleh kesimpulan, bahwa dakwaan penuntut umum dalam putusan Nomor 590/Pid.Sus/2014/PN.Bwi yaitu Pasal 44 ayat (1) atau Pasal 351 ayat (1) tentang penganiayaan atau Pasal 365 ayat 2 angka 1 dan 3 KUHP, terdapat ketidaksesuaian dengan asas lex specialis derogat legi generalis. Karena, penerapan dua ketentuan dalam satu surat dakwaan sekaligus, tidak diperbolehkan sebab itu merupakan kecacatan hukum (error in juris). Penerapan surat dakwaan alternatif oleh penuntut umum dalam Putusan Nomor 590/Pid.Sus/PN.Bwi tidak sesuai dengan perbuatan terdakwa. Karena, berdasarkan surat dakwaan dan fakta persidangan, perbuatan terdakwa merupakan perbuatan kekerasan fisik ringan yang tidak mengakibatkan korban luka berat. Terdakwa hanya melakukan satu perbuatan pidana saja, maka dari itu perbuatan terdakwa melanggar Pasal 44 UU PKDRT. Dengan demikian, bentuk surat dakwaan yang sesuai dengan perbuatan terdakwa adalah surat dakwaan subsidair. DAFTAR PUSTAKA Chazawi, Adami. Hukum pidana positif penghinaan (Malang: Bayu Media Publishing, 2009). Hamzah, Andi. Perkembangan hukum pidana khusus (Jakarta: Rineka Cipta, 1991). ———. Surat Dakwaan Dalam Hukum Acara Pidana (Bandung: PT Alumni, 2016). satria, hariman. Anatomi Hukum Pidana Khusus (Yogjakarta: UII Press, 2014). Supomo, R. Hukum acara perdata pengadilan negeri (Jakarta: Pradnya Paramita, 1984). KUHAP & KUHP (Genesis Learning, 2016). Agustina, shinta. “Implementasi asas lex specialis derogat legi generali dalam sistem peradilan pidana” 44:4. Wahab, Rochmat. “Kekerasan dalam rumah tangga perspektif psikologis dan edukatif” (2006) XXIX:61 unisia. 111 | LENTERA HUKUM Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, 2 January 1974 [Undang- Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan]. Surat edaran jaksa agung republik Indonesia NOMOR: SE-004/J.A/11/1993 tentang pembuatan surat dakwaan, 16 November 1993 [Surat edaran jaksa agung republik Indonesia NOMOR: SE-004/J.A/11/1993 tentang pembuatan surat dakwaan]. Putusan Nomor 590/Pid.Sus/2014/PN. BWI, 22 December 2014 [Putusan Nomor 590/Pid.Sus/2014/PN. BWI].