 Veronica Agnes Sianipar et al., Tinjauan Yuridis Perlindungan Hukum Hak Asasi Manusia Dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013..... TINJAUAN YURIDIS PERLINDUNGAN HUKUM HAK ASASI MANUSIA DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2013 TENTANG ORGANISASI KEMASYARAKATAN THE JURIDICAL REVIEW OF HUMAN RIGHTS LAW PROTECTION IN LAW NUMBER 17 YEAR 2013 ABOUT COMMUNITY ORGANIZATION Veronica Agnes Sianipar, Eddy Mulyono, Rosita Indrayati Hukum Tata Negara, Fakultas Hukum, Universitas Jember (UNEJ) Jln. Kalimantan 37, Jember 68121 E-mail: rosita.indrayati@yahoo.com Abstrak Pengaturan atas hak asasi manusia telah dijamin dan dilindungi dalam UUD NRI 1945 serta UU HAM itu, maka dari itu seharusnya tidak perlu lagi dibuat pengaturan oleh undang-undang untuk memastikan adanya kemerdekaan atau kebebasan bagi setiap orang itu untuk berorganisasi dalam wilayah negara Republik Indonesia. Hanya saja, bagaimana cara kebebasan itu digunakan, apa saja syarat-syarat dan prosedur pembentukan, pembinaan, penyelenggaraan kegiatan, pengawasan, dan pembubaran organisasi itu tentu masih harus diatur lebih rinci, yaitu dengan undang-undang beserta peraturan pelaksanaannya. Karena alasan itulah, pemerintah memandang perlu untuk menyusun satu undang-undang berdasarkan ketentuan UUD 1945 sebelum reformasi, yaitu UU No. 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan. Akan tetapi, UU Ormas yang lama tersebut sudah tidak relevan lagi dengan dinamika masyakarat kini yang kemudian mendorong lahirnya UU Nomor 17 Tahun 2013 sebagai UU Ormas yang baru. UU Ormas yang baru diharapkan mampu memberikan kontribusi yang signifikan untuk mengatur ruang lingkup dan definisi ormas secara jelas terkait dengan aspek legal administratif. Walaupun demikian, nyatanya UU Ormas yang baru masih meninggalkan beberapa masalah sehingga perlu ditinjau apakah UU Ormas yang baru tersebut telah sesuai dengan konstitusi serta dapat melindungi hak asasi manusia dari tindakan anarkis melalui sanksi yang tercantum dalam batang tubuh UU tersebut. Kata Kunci: Hak Asasi Manusia, Perlindungan Hukum, Tindakan Anarkis Abstract The setting of human rights have been secured and protected in the Constitution and the Human Rights Act, and therefore should no longer be made by setting legislation to ensure the independence or the freedom for each person to organize the territory of the Republic of Indonesia . But , how freedom was used , what are the requirements and procedures for the establishment , development , implementation of activities , supervision , and dissolution of the organization would still have to be regulated in more detail , namely the law and its implementing regulations . For that reason , the government sees the need to formulate a law under the provisions of the 1945 Constitution before the reform , namely the Law. 8 of 1985 on Social Organization. However , such long Organizations Act is irrelevant to the dynamics of today's society then encourage the enactment of Law No. 17 of 2013 as the new Citizens Organizations Act . Organizations that new law is expected to make a significant contribution to set the scope and definition of mass is clearly related to the legal aspects of the administrative . Nevertheless, the fact that the new law new Citizens Organizations still leave some issues that need to be reviewed if the new law Citizen Organizations are in compliance with the constitution and protect the human rights of anarchist actions through sanctions listed in the body of the Act. Keywords: Human Rights, Protection Law, Anarchist Action Pendahuluan Empat tahap Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 telah meletakkan landasan bagi kehidupan bangsa yang menerapkan nilai-nilai dan prinsip demokrasi dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasar ideologi Negara yaitu Pancasila. Reformasi tersebut pada dasarnya menuntut sistem politik checks and balances, supremasi hukum, penghormatan HAM, menegaskan kebebasan berpendapat, serta kebebasan berkumpul dan berserikat.1 Sejalan dengan prinsip demokrasi demikian, perubahan Undang-Undang Dasar 1945 masih berlanjut dengan pemuatan hak-hak asasi manusia sebagai bagian dari Undang-Undang Dasar tersebut. Salah satu hak asasi manusia yang dijamin oleh Undang-Undang Dasar Negara 1 Maruarar Siahaan. Kebebasan Berserikat dan Berkumpul secara Damai Serta Implikasinya dalam Civis Vol. 3 No. 1 Jul 2011 e-JOURNAL LENTERA HUKUM, April 2014, I (1): 66-77 66 Veronica Agnes Sianipar et al., Tinjauan Yuridis Perlindungan Hukum Hak Asasi Manusia Dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013..... Republik Indonesia Tahun 1945, yang selanjutnya disingkat UUD NRI 1945 ialah kebebasan berserikat dan berkumpul, yang diatur dalam Pasal 28E ayat (3) yang menyatakan : “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat”. Undang-Undang Dasar 1945 sebelum perubahan sesungguhnya juga mengatur tentang kebebasan berserikat tersebut dalam Pasal 28, tetapi di bawah Bab X tentang warganegara. Pasal 28 UUD 1945 menyatakan: “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang.” Perubahan UUD 1945 tidak menyentuh Pasal 28, tetapi mengadopsi norma baru dalam Pasal 28E ayat (3), karena Pasal 28 UUD 1945 dianggap tidak mengandung jaminan hak asasi manusia yang seharusnya menjadi muatan konstitusi Negara demokrasi.2 Oleh karena itu, pemuatan kembali hak berserikat dalam Pasal 28E ayat (3) UUD NRI 1945, adalah untuk menegaskannya sebagai salah satu hak asasi manusia yang menjadi hak konstitusi, dan yang menjadi kewajiban Negara terutama Pemerintah untuk melindungi, menghormati, memajukan dan memenuhinya (Pasal 28I ayat (4) UUD NRI 1945). 3 Dalam tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara selanjutnya dicirikan adanya kebebasan setiap individu dengan kesadarannya sendiri untuk berhimpun pada kelompok masyarakat dalam sebuah organisasi yang pelaksanaannya diatur dalam undang-undang. Sejalan dengan itu kemudian dalam Undang- undang No.39 Tahun l999 tentang Hak Asasi Manusia, yang selanjutnya disebut UU HAM menyatakan: “Setiap warganegara atau kelompok masyarakat berhak mendirikan Partai Politik, Lembaga Swadaya Masyarakat, atau organisasi lainnya untuk berperan serta dalam jalanya pemerintahan dan penyelenggaraan negara sejalan dengan tuntunan perlindungan, penegakan dan pemajuan hak asasi manusia sesuai dengan ketentuan perundang- undangan.”4 Ketentuan ini mengandung makna bahwa masyarakat diberi peran secara aktif dalam penyelenggaraan negara melalui organisasi kemasyarakatan di luar organisasi pemerintahan demi tercapainya pembangunan bangsa ini. Sebagai organisasi kemasyarakatan dalam kegiatannya dapat melakukan pengawasan atau koreksi bila kebijakan pemerintah kurang sejalan dengan kondisi masyarakat. Hal ini sebagai bentuk peran serta masyarakat dan merupakan representasi kedaulatan rakyat. Setelah melihat pengaturan atas hak asasi manusia yang telah dijamin dalam UUD NRI 1945 serta UU HAM itu, seharusnya tidak perlu lagi dibuat pengaturan oleh undang-undang untuk memastikan adanya kemerdekaan atau 2 Jimly Asshidiqie, Kemerdekaan Berserikat, Pembubaran Partai Politik dan Mahkamah Konstitusi, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah konstitusi, 2005, hal 29 3 Satya Arinanto, Hak Asasi Manusia dalam Transisi Politik di Indonesia, Cetakan Ketiga, Jakarta, 2008, hal 75 4 Pasal 24 ayat (2) Undang-undang No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia kebebasan bagi setiap orang itu untuk berorganisasi dalam wilayah negara Republik Indonesia. Hanya saja, bagaimana cara kebebasan itu digunakan, apa saja syarat-syarat dan prosedur pembentukan, pembinaan, penyelenggaraan kegiatan, pengawasan, dan pembubaran organisasi itu tentu masih harus diatur lebih rinci, yaitu dengan undang-undang beserta peraturan pelaksanaannya. Karena alasan itulah, pemerintah memandang perlu untuk menyusun satu undang- undang berdasarkan ketentuan UUD 1945 sebelum reformasi, yaitu UU No. 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan.5 Melalui Undang-Undang No. 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Masyarakat (UU Ormas yang lama), keberadaan ormas mendapatkan sejumlah restriksi, terutama restriksi ideologi yang secara ketat mengharuskan penempatan Pancasila sebagai asas tunggal. Tidak hanya itu, menurut regulasi tersebut, pemerintah dapat membekukan dan/atau membubarkan pengurus ormas tanpa melalui proses hukum apabila ormas melakukan kegiatan yang mengganggu keamanan dan ketertiban umum, menerima bantuan dari pihak asing tanpa persetujuan pemerintah, dan memberi bantuan kepada pihak asing yang merugikan kepentingan negara. Transparansi dan pertanggungjawaban publik juga menjadi nilai buruk bagi sebagian besar ormas di Indonesia. Tak hanya itu, beberapa ormas sangat bergantung pada pemerintah ataupun pihak lain (dalam maupun luar negeri) untuk mendukung seluruh kegiatannya. Kekhawatiran terhadap peran dan posisi ormas sebagaimana dipaparkan di atas mendorong lahirnya Undang-Undang Ormas yang baru sebagai regulasi yang kuat bagi keberadaan ormas di Indonesia. Dalam UU Ormas yang baru, yakni Undang-undang Nomor 17 Tahun 2013 yang disahkan pada 22 Juli 2013, diharapkan mampu memberikan kontribusi yang signifikan untuk mengatur ruang lingkup dan definisi ormas secara jelas terkait dengan aspek legal administratif. Walaupun dilengkapi dengan pengaturan peran pemerintah dan pemerintah daerah dalam pembinaan ormas, keberadaan Ormas asing yang melakukan kegiatan di Indonesia, sampai pada pemberian sanksi bagi ormas yang melakukan tindakan pelanggaran tertentu, nyatanya Undang-undang Nomor 17 Tahun 2013 masih meninggalkan beberapa masalah, khususnya terkait mengenai perlindungan dan penegakan hak asasi manusia yang telah diatur dalam Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.6 Salah satu permasalahan hak asasi manusia nampak dari berlakunya syarat administratif pendirian ormas yang mengharuskan adanya Surat Keterangan Terdaftar (SKT) yang berdampak dapat membatasi menjalankan kemerdekaan berserikat dan berkumpul. 5 Jimly Asshiddiqie, Mengatur Kebebasan Berserikat dalam Undang-Undang dalam http://jimlyschool.com/read/analisis/274/mengatur-kebebasan- berserikat-dalam-undangundang/ sebagaimana diakses pada tanggal 09 September 2013 pukul 19.07 WIB 6 Satriya Nugraha; UU Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan Perlu Dipahami dalam satriya1998@gmail.com sebagaimana diakses pada tanggal 10 September 2013 pukul 11.56 WIB e-JOURNAL LENTERA HUKUM, April 2014, I (1): 66-77 67 http://jimlyschool.com/read/analisis/274/mengatur-kebebasan-berserikat-dalam-undangundang/ http://jimlyschool.com/read/analisis/274/mengatur-kebebasan-berserikat-dalam-undangundang/ mailto:satriya1998@gmail.com Veronica Agnes Sianipar et al., Tinjauan Yuridis Perlindungan Hukum Hak Asasi Manusia Dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013..... Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, penulis tertarik untuk membahas tentang pengaturan hak asasi manusia dalam UU Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan dalam suatu karya ilmiah berbentuk skripsi dengan judul “TINJAUAN YURIDIS PERLINDUNGAN HAK ASASI MANUSIA DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2013 TENTANG ORGANISASI KEMASYARAKATAN” Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka permasalahan yang akan ditulis dalam penulisan skripsi ini antara lain: 1. Bagaimanakah perlindungan hukum Undang-undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan terhadap hak dan kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat yang telah dijamin oleh Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945? 2. Apakah Negara atau pemerintah dapat melindungi hak asasi manusia dari tindakan anarkis? Tujuan Penelitian Agar memperoleh tujuan yang diharapkan dalam penulisan skripsi ini, maka perlu untuk menetapkan tujuan penelitian. Tujuan penelitian skripsi ini adalah meliputi 2 (dua) macam yaitu tujuan umum dan tujuan khusus: Tujuan Umum Tujuan secara umum dari penulisan skripsi ini adalah: 1. Untuk memenuhi dan melengkapi salah satu pokok persyaratan akademis guna mencapai gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Jember; 2. Untuk menerapkan serta mengembangkan ilmu pengetahuan hukum yang telah diperoleh selama perkuliahan yang bersifat teoritis dengan realita yang ada di masyarakat; Tujuan Khusus Tujuan secara khusus dari penulisan skripsi ini adalah: 1. Untuk mengetahui dan memahami pengaturan hak asasi manusia khususnya mengenai hak dan kebebasan berserikat dan berkumpul yang telah dijamin dalam Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam undang-undang Organisasi Masyarakat yang baru, yakni Undang-undang Nomor 17 Tahun 2013; 2. Untuk mengetahui dan memahami peran Undang-undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan sebagai salah satu sarana bagi pemerintah dalam melindungi hak asasi masyarakat Indonesia dari tindakan anarkis yang telah dilakukan beberapa organisasi masyarakat yang ada. Metode Penelitian Penulisan suatu skripsi tidak akan lepas dari suatu metode penelitian, karena hal ini merupakan faktor penting agar analisa terhadap objek yang dikaji dapat dilakukan secara tepat dan benar. Metode penulisan yang digunakan dalam skripsi ini adalah suatu metode yang terarah dan sistematis sebagai cara untuk menemukan dan menguji kebenaran. Jika sudah demikian, maka diharapkan kesimpulan akhir dari penulisan skripsi ini dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Metode penelitian yang dimaksud meliputi empat aspek, yaitu tipe penelitian, pendekatan masalah, sumber bahan hukum, dan analisis bahan hukum. Tipe Penelitian Penelitian hukum adalah suatu proses untuk menemukan suatu aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang terjadi.7 Tipe penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah yuridis normatif (legal research), yakni penelitian yang difokuskan untuk mengkaji penerapan kaidah-kaidah atau norma-norma dalam hukum positif yang berlaku.8 Tipe penelitian yuridis normatif yang dilakukan dengan cara mengkaji berbagai aturan hukum yang bersifat formil seperti undang-undang, peraturan- peraturan serta literatur yang berisi konsep-konsep teoritis yang kemudian dihubungkan dengan permasalahan yang akan dibahas dalam skripsi ini. 9 Pendekatan Masalah Pendekatan masalah yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah menggunakan pendekatan undang-undang (statute approach) dan pendekatan konseptual (conceptual approach). Pendekatan undang-undang (statute approach) ini dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut-paut dengan isu hukum yang sedang ditangani. Pendekatan konseptual (conceptual approach) adalah pendekatan yang beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang dalam ilmu hukum. Dengan mempelajari pandangan- pandangan dan doktrin-doktrin di dalam ilmu hukum, penulis akan menemukan ide-ide yang melahirkan pengertian hukum, konsep-konsep hukum dan asas-asas hukum yang relevan dengan isu yang dihadapi.10 Sumber Bahan Hukum Sumber penelitian hukum dapat dibedakan menjadi sumber penelitian berupa bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan non hukum. Bahan hukum tersebut merupakan sarana bagi suatu penulisan yang digunakan untuk memecahkan masalah sekaligus memberikan preskripsi mengenai apa yang seharusnya. 7 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, 2010, hal. 35. 8 Johny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Banyumedia, malang, 2008, hal.295. 9 Peter Mahmud Marzuki, Op.Cit., hal. 29. 10 Bdk. Ibid. Hal. 93-95. e-JOURNAL LENTERA HUKUM, April 2014, I (1): 66-77 68 Veronica Agnes Sianipar et al., Tinjauan Yuridis Perlindungan Hukum Hak Asasi Manusia Dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013..... Sumber bahan hukum yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah: a. Bahan Hukum Primer Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat auturitatif artinya mempunyai otoritas. Bahan hukum primer terdiri dari perundang-undangan, catatan- catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang- undangan dan putusan-putusan hakim.11 Adapun yang termasuk dalam bahan hukum primer yang akan dipergunakan dalam mengkaji setiap permasalahan dalam penulisan skripsi ini adalah: 1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3886); 3. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 116, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5430). b. Bahan Hukum Sekunder Bahan hukum sekunder berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen re- smi. Publikasi tentang hukum meliputi buku-buku teks, kamus-kamus hukum dan jurnal-jurnal hukum, dan ko- mentar-komentar atas putusan pengadilan.12 Bahan Hukum sekunder yang di gunakan dalam penulisan skripisi ini diantaranya menggunakan buku-buku teks hukum dan tulisan-tulisan tentang hukum yang relevan dengan isi hukum yang dihadapi. c. Bahan Non Hukum Bahan non hukum atau bahan hukum tersier merupakan penunjang dari bahan hukum primer dan bahan hukum sekundar. Bahan non hukum dapat berupa buku-buku di luar ilmu hukum, akan tetapi masih ada kaitannya isi hukum yang dibahas. Selain itu sumber bahan non hukum juga dapat di peroleh melaui internet, kamus, atau pun buku pedoman penulisan karya ilmiah. Bahan non hukum dimaksudkan untuk memperkaya wawasan penulis, namun bahan hukum internet jangan sampai dominan sehingga peneliti kehilangan artinya sebagai penelitian hukum. Analisa Bahan Hukum Analisa bahan hukum merupakan suatu metode yang digunakan oleh penulis dalam menentukan jawaban atas permasalahan yang dibahas. Untuk dapat menganalisis bahan yang telah diperoleh, maka penulis harus menggunakan beberapa langkah dalam penelitian hukum agar menentukan hasil yang tepat untuk menjawab masalah yang ada. Peter Mahmud Marzuki menyatakan bahwa langkah-langkah yang harus dilakukan penulis dalam penelitian hukum, yaitu:13 11 Ibid, hlm. 141. 12 Ibid. hlm. 141. 13 Ibid, hlm. 171. a. mengindentifikasi fakta hukum dan mengeliminir hal-hal yang tidak relevan untuk menetapkan isu hukum yang hendak dipecahkan; b. pengumpulan bahan-bahan hukum yang sekiranya dipan- dang mempunyai relevansi juga bahan-bahan non hukum; c. melakukan telaah atas permasalahan yang akan dibahas yang diajukan berdasarkan bahan-bahan yang telah dikumpulkan; d. menarik kesimpulan dalam bentuk argumentasi dalam menjawab permasalahan yang ada; e. memberikan preskripsi berdasarkan argumentasi yang te- lah dibangun di dalam kesimpulan.14 Berdasarkan langkah-langkah tersebut penulis akan melakukan telaah atas isu hukum yang telah dirumuskan dalam rumusan masalah untuk menarik kesimpulan berdasarkan bahan-bahan hukum yang sudah terkumpul menggunakan metode analisa bahan hukum deduktif yaitu berpangkal dari suatu permasalahan yang secara umum sampai dengan hal-hal yang bersifat khusus.15 Dengan demikian, maka dapat dicapai tujuan yang diinginkan dalam penulisan skripsi, yaitu untuk menjawab isu hukum yang ada. Sehingga pada akhirnya penulis dapat memberikan preskripsi mengenai apa yang seharusnya dilakukan dan dapat diterapkan. Pembahasan Perlindungan Hukum terhadap Hak dan Kebebasan Berserikat, Berkumpul, dan Mengeluarkan Pendapat yang telah Dijamin oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Hak atas kebebasan berserikat (right to freedom of association) merupakan hak fundamental. Hak atas kebebasan berserikat tersebut dengan lugas telah dijamin dalam Konstitusi, yakni Pasal 28 UUD NRI 1945 dan Pasal 28E UUD NRI 1945. Selain konstitusi, hakikat mengenai hak atas kebebasan berserikat juga diatur dalam Pasal 24 UU No. 39/1999 tentang HAM menyatakan bahwa:16 (1) Setiap orang berhak untuk berkumpul, berapat, dan berserikat, untuk maksud-maksud damai. (2) Setiap warga negara atau kelompok masyarakat berhak mendirikan partai politik, lembaga swadaya masyarakat atau organisasi lainnya untuk berperan serta dalam jalannya pemerintahan dan penyelenggaraan negara sejalan dengan tuntutan perlindungan, penegakan dan pemajuan hak asasi manusia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Sedangkan dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) hak atas kebebasan berserikat dijamin dalam pasal 20 dengan menyatakan:17 (1) Setiap orang mempunyai hak atas kebebasan berkumpul dan berserikat tanpa kekerasan. 14 Ibid, hlm. 206. 15 Ibid. 16 Pasal 24 UU HAM 17 Pasal 20 DUHAM e-JOURNAL LENTERA HUKUM, April 2014, I (1): 66-77 69 Veronica Agnes Sianipar et al., Tinjauan Yuridis Perlindungan Hukum Hak Asasi Manusia Dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013..... (2) Tidak seorang pun boleh dipaksa untuk memasuki suatu perkumpulan. Dalam hukum internasional hak asasi manusia, hak atas kebebasan berserikat masuk dalam zona irisan antara hak sipil dan politik. Hak ini tidak boleh diintervensi baik oleh negara maupun pihak lain oleh karena pentingnya hak bebas berserikat bagi adanya dan berfungsinya demokrasi. Bahwa kepentingan politik individu akan lebih bisa diperjuangkan melalui sebuah perkumpulan dengan orang lain baik melalui partai politik, kelompok profesional, organisasi maupun perserikatan lainnya dalam rangka memperjuangkan kepentingan mereka.18 Hak atas kebebasan berserikat juga dinyatakan dalam Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik 1966 (Kovenan Sipol) yang sudah disahkan oleh Indonesia melalui UU No. 12 Tahun 2005. Pasal 22 Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik dimana ayat 1 pasal tersebut menyatakan:19 Setiap orang berhak atas kebebasan untuk berserikat dengan orang lain, termasuk hak untuk membentuk dan bergabung dengan serikat buruh untuk melindungi kepentingannya. Kebebasan berserikat pada masa Orde Baru diatur melalui UU No. 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan. Akan tetapi setelah muncul banyak wacana terhadap UU Ormas yang lama, dapat disimpulkan bahwa dari 87 pasal, hanya 48 pasal yang relevan dengan pengaturan ormas. Sisanya tersebar di berbagai peraturan perundang-undangan, mulai dari konstitusi (8 pasal), KUHP, KUHAP, KUHPerdata (7 pasal), UU Yayasan (41 pasal), UU KIP (7 pasal), UU Anti Pencucian Uang (6 pasal), dan UU terkait anti terorisme (6 pasal). Bahkan UU Ormas yang lama mencaplok materi pengaturan yang seharusnya menjadi wilayah RUU Perkumpulan (33 pasal).20 Dengan demikian muncullah Undang-undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan yang berfungsi untuk mengatur mewujudkan tata kelola ormas, terutama yang terkait dengan transparansi dan akuntabilitas. Alasan utama digantinya UU No. 8 Tahun 1995 tentang Ormas, seperti tertera dalam konsiderans Undang- undang Ormas Nomor 17 Tahun 2013 yang baru, bahwa terdapat ketidaksesuaian lagi antara materi muatan UU Ormas lama dengan kebutuhan dan dinamika kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Melihat hal demikian, kelahiran UU Nomor 17 Tahun 2013 sebagai undang-undang organisasi kemasyarakatan yang baru dirasa memang diperlukan. Dari sisi hak asasi manusia, seperti yang telah dijelaskan pada bagian sebelumnya, Negara memiliki kewajiban untuk menjamin pelaksanaan hak atas kebebasan berserikat. Hak ini merupakan hak yang masuk dalam 18 Nowak, M. (2005), U.N. Covenant on Civil and Political Rights, CCPR Commentary, 2 nd revised edition, N.P. Engel, Publishers, hal. 496-497 19 Pasal 22 ayat (1) Kovenan Sipol, 1966 20 Ady, UU Ormas Berpotensi Kacaukan Sistem Hukum dalam http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt504f62a3b199a/ruu-ormas- berpotensi-kacaukan-sistem-hukum sebagaimana diakses pada tanggal 28 November 2013 pukul 20.56 WIB wilayah irisan hak sipil dan politik. Berfungsinya hak ini sangat penting untuk kehidupan yang lebih demokratis. Sehingga agar Indonesia dapat mengoptimalisasi perannya sebagai Negara yang demokratis diperlukan undang-undang Ormas sebagai perangkat untuk mengatur perlindungan hak atas kebebasan berserikat khususnya yang terkait dengan organisasi kemasyarakatan. Selain diperlukannya suatu pengaturan untuk menjamin pelaksanaan hak atas kebebasan berserikat oleh Negara, nyatanya ada pembatasan lain oleh UU HAM agar peraturan yang dibuat tersebut tidak menjadi kesempatan bagi pihak penguasa untuk mengurangi maupun menyalahi kebebasan HAM. Hal ini tampak dalam UU HAM yang mengatur pembatasan mengenai kebebasan dan HAM. Pasal 74 UU No. 39 Tahun 1999 kemudian menegaskan “tidak satu ketentuan dalam Undang-undang ini boleh diartikan bahwa Pemerintah, partai, golongan atau pihak manapun dibenarkan mengurangi, merusak, atau menghapuskan hak asasi manusia atau kebebasan dasar yang diatur dalam undang-undang ini”. Dengan demikian, pembatasan yang dilakukan pemerintah harus tetap menjamin, bahkan memperkuat, perlindungan HAM. Selanjutnya, pembatasan terhadap HAM yang tercantum dalam UU No. 39/1999 harus dilakukan melalui undang-undang. Pasal 70 UU HAM menyatakan “Dalam menjalankan hak dan kewajibannya setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan undang-undang dengan maksud untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis” Sementara itu Pasal 73 menyatakan : “Hak dan kebebasan yang diatur dalam Undang- undang ini hanya dapat dibatasi oleh dan berdasarkan Undang-undang, semata-mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia serta kebebasan dasar orang lain, kesusilaan, ketertiban umum, dan kepentingan bangsa”. Ketentuan umum tidak boleh adanya pengurangan hak, kecuali atas kondisi tertentu, tercantum dalam Pasal 5 Bersama Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik. Pasal tersebut menyatakan:21 a. Tidak ada satu ketentuan pun dalam Kovenan ini yang dapat ditafsirkan sebagai memberikan secara langsung kepada suatu Negara, kelompok atau perseorangan hak untuk melakukan kegiatan atau tindak apa pun yang bertujuan untuk menghancurkan hak atau kebebasan yang diakui dalam Kovenan ini, atau untuk membatasi hak dan kebebasan itu lebih besar daripada yang ditentukan dalam Kovenan ini. b. Tidak satupun pembatasan atau pengurangan atas hak- hak asasi manusia yang mendasar yang diakui atau berada di negara manapun berdasarkan kekuatan hukum, konvensi, peraturan atau kebiasaan, akan dapat diterima, dengan alasan bahwa Kovenan ini tidak mengakui hak- hak tersebut, atau mengakuinya namun tidak sepenuhnya. 21 Pasal 5 Kovenan Sipol e-JOURNAL LENTERA HUKUM, April 2014, I (1): 66-77 70 http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt504f62a3b199a/ruu-ormas-berpotensi-kacaukan-sistem-hukum http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt504f62a3b199a/ruu-ormas-berpotensi-kacaukan-sistem-hukum Veronica Agnes Sianipar et al., Tinjauan Yuridis Perlindungan Hukum Hak Asasi Manusia Dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013..... Ketentuan ini dimaksudkan untuk mencegah adanya penyalahgunaan baik oleh negara atau penduduknya atas hak-hak apa pun yang ada dalam Kovenan. Pasal 5 (1) ini juga untuk menguatkan bahwa Kovenan tersebut haruslah didudukkan pada maksudnya serta untuk melindungi terhadap penafsiran yang salah terhadap ketentuan mana pun dari Kovenan yang digunakan untuk membenarkan adanya pengurangan hak mana pun yang diakui dalam Kovenan atau pembatasan hak mana pun pada tingkat yang lebih jauh dari pada yang ditentukan oleh Kovenan. Pasal 29 Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia (DUHAM) menyebutkan bahwa dalam pelaksanaan hak dan kebebasannya, setiap orang hanya tunduk pada batasan-batasan yang ditentukan oleh hukum, semata-mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan terhadap hak dan kebebasan orang lain, dan memenuhi persyaratan-persyaratan moral, ketertiban umum dan kesejahteraan umum yang adil dalam masyarakat yang demokratis. Pembatasan dan pengurangan hak-hak asasi manusia yang diatur di dalam Kovenan Sipol diterjemahkan secara lebih detil di dalam Prinsip-Prinsip Siracusa (Siracusa Principles). Di dalam Prinsip ini disebutkan bahwa pembatasan hak tidak boleh membahayakan esensi hak. Semua klausul pembatasan harus ditafsirkan secara tegas dan ditujukan untuk mendukung hak-hak. Semua pembatasan harus ditafsirkan secara jelas dan dalam konteks hak-hak tertentu yang terkait. Prinsip ini menegaskan bahwa pembatasan hak tidak boleh diberlakukan secara sewenang-wenang.22 Secara umum, pembatasan dan pengurangan hak asasi manusia hanya bisa dilakukan jika memenuhi kondisi-kondisi berikut: 1. Diatur berdasarkan hukum (prescribed by law/conformity with the law). Tidak ada pembatasan yg bisa diberlakukan kecuali didasarkan oleh hukum nasional. Namun hukum yang membatasi hak tersebut tidak boleh sewenang-wenang dan tanpa alasan. Aturan hukum yang membatasi pelaksanaan HAM harus jelas dan bisa diakses siapa pun.23 Hukum tersebut harus dapat diakses, tidak bersifat ambigu, dan dibuat secara hati-hati dan teliti, yang memungkinkan setiap individual untuk melihat apakah suatu tindakan bertentangan dengan hukum atau tidak.24 2. Diperlukan dalam masyarakat yang demokratis (in a democratic society). Beban untuk menetapkan persyaratan pembatasan ini ada pada negara yang 22 The Siracusa Principles on The Limitation and Derogation Provisions In The International Covenant on Civil and Political Rights, E/CN.4/1985/4. Siracusa Principles adalah prinsip -prinsip mengenai ketentuan pembatasan dan pengurangan hak yang diatur di dalam Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik. Prinsip-prinsip ini dihasilkan oleh sekelompok ahli hukum internasional yang bertemu di Siracusa, Italia pada April dan Mei 1984. 23 Ibid, paragraph 15-18 24 Maruarar Siahaan, Kebebasan Berserikat dan Berkumpul secara Damai serta Implikasinya dalam http://www.leimena.org/en/page/v/532/kebebasan-berserikat-dan- berkumpul-secara-damai-serta-implikasinya sebagaimana diakses pada tanggal 28 November 2013 pukul 21.09 WIB menetapkan aturan pembatasan dengan menunjukkan bahwa pembatasan tersebut tidak mengganggu berfungsinya demokrasi di dalam masyarakat.25 3. Untuk melindungi ketertiban umum (public order/ordre public). Frasa “ketertiban umum” di sini diterjemahkan sebagai sejumlah aturan yang menjamin berfungsinya masyarakat atau seperangkat prinsip mendasar yang hidup di masyarakat. Ketertiban umum juga melingkupi penghormatan terhadap hak asasi manusia. Selain itu, ketertiban umum di sini harus dilihat dalam konteks hak yang dibatasinya. Negara atau badan negara yang bertanggungjawab untuk menjaga ketertiban umum harus dapat dikontrol dalam pengggunaan kekuasaan mereka melalui parlemen, pengadilan atau badan mandiri lain yang kompeten.26 4. Untuk melindungi moral publik (public moral). Negara harus menunjukkan bahwa pembatasan itu memang sangat penting bagi terpeliharanya nilai-nilai mendasar komunitas. Dalam hal ini negara memiliki diskresi untuk menggunakan alasan moral masyarakat. Namun klausul ini tidak boleh menyimpang dari maksud dan tujuan Kovenan Sipol. 5. Untuk melindungi keamanan nasional (national security). Klausul ini digunakan hanya untuk melindungi eksistensi bangsa, integritas wilayah atau kemerdekaan politik terhadap adanya kekerasan atau ancaman kekerasan. Negara tidak boleh menggunakan klausul ini sebagai dalih untuk melakukan pembatasan yang sewenang- wenang dan tidak jelas.27 Pembatasan dengan klausul ini juga tidak sah, jika tujuan yang sesungguhnya atau dampak yang dihasilkannya adalah untuk melindungi kepentingan-kepentingan yang tidak berhubungan dengan keamanan nasional.28 6. Untuk melindungi hak dan kebebasan orang lain (rights and freedom of others). Ketika terjadi konflik antar-hak, maka harus diutamakan hak dan kebebasan yang paling mendasar. Klausul ini tidak bisa digunakan untuk melindungi negara dan aparatnya dari kritik dan opini publik. Selain itu, Kovenan Sipol juga memasukkan istilah “perlu” (necessary) dalam ketentuan-ketentuan yang mengandung pembatasan, yaitu pada Pasal 12 (3), 14 (1), 18 (3), 19 (3), 21, 22 (2) Kovenan Sipol. Hal ini memperlihatkan adanya maksud dari perancang Kovenan untuk membatasi penerapan pembatasan hak-hak hanya pada situasi dimana ada kebutuhan riil untuk pembatasan tersebut. Untuk menyatakan bahwa kebutuhan itu memang ada, beberapa persyaratan yang harus dipenuhi adalah: a) Pembatasan sejalan dengan semangat dan apa yang tertulis dalam Kovenan; b) Syarat-syarat yang ditetapkan dalam beberapa putusan Pengadilan HAM Eropa yaitu persyaratan lawfulness, legitimate aim dan necessity.29 25 Siracusa Principles, op.cit. (catatan kaki 20), paragraf 20 —21. 26 Ibid, paragraph 22-24 27 Ibid, paragraph 25-26 28 Maruarar Siahaan, Op.Cit 29 Siracusa Priciples, Op.Cit, paragraph 33-34 e-JOURNAL LENTERA HUKUM, April 2014, I (1): 66-77 71 http://www.leimena.org/en/page/v/532/kebebasan-berserikat-dan-berkumpul-secara-damai-serta-implikasinya http://www.leimena.org/en/page/v/532/kebebasan-berserikat-dan-berkumpul-secara-damai-serta-implikasinya Veronica Agnes Sianipar et al., Tinjauan Yuridis Perlindungan Hukum Hak Asasi Manusia Dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013..... Hal ini juga dijelaskan oleh Prinsip Siracusa yang menyatakan istilah ‘nesecessary’ mengimplikasikan bahwa pembatasan: 30 a. Didasarkan pada salah satu alasan yang membenarkan pembatasan yang diakui oleh pasal yang relevan dalam Kovenan. b. Menjawab kebutuhan sosial. c. Untuk mencapai sebuah tujuan yang sah. d. Proporsional pada tujuan tersebut di atas. Sebagaimana dapat dilihat di atas, terhadap hak untuk kebebasan berserikat, pembatasan dapat dilakukan jika berdasarkan hukum, dan diperlukan dalam masyarakat yang demokratis untuk kepentingan keamanan nasional dan keselamatan publik, ketertiban umum, perlindungan terhadap kesehatan atau moral publik, atau perlindungan terhadap hak dan kebebasan orang lain.31 Hal yang sangat penting untuk diingat adalah bahwa tidak ada pembatasan atau dasar untuk menerapkan pembatasan tersebut terhadap hak yang dijamin oleh Kovenan yang diperbolehkan, kecuali seperti apa yang terdapat dalam kovenan itu sendiri. Dalam membahas kewajiban negatif negara terhadap hak untuk berserikat menjadi penting untuk memahami berbagai istilah yang dipakai dalam Pasal 22 Kovenan Sipol, sebagai alasan untuk membatasi kedua hak tersebut. Hal ini penting agar kita tahu kapan negara boleh melakukan pembatasan dan kapan negara tidak boleh melakukan pembatasan. Dengan demikian kita tahu kapan negara telah memenuhi kewajiban negatifnya atau justru negara telah melanggar hak asasi manusia. Oleh karena itu menjadi sangat penting untuk mengetahui arti dari setiap istilah yang dipakai berkaitan dengan pembatasan dalam pasal tersebut. Pasal 22 dapat ditemukan pada ayat (2): Tidak ada satu pun pembatasan dapat dikenakan pada pelaksanaan hak ini, kecuali jika hal tersebut dilakukan berdasarkan hukum (prescribed by law), dan diperlukan dalam masyarakat yang demokratis untuk kepentingan keamanan nasional dan keselamatan public, ketertiban umum, perlindungan terhadap kesehatan atau moral masyarakat, atau perlindungan terhadap hak dan kebebasan orang lain. Pasal ini tidak boleh mencegah pelaksanaan pembatasan yang sah anggota angakatna bersenjata dan polisi dalam melakasanakan hak ini 32 Melihat beberapa pembatasan terhadap pengaturan undang-undang yang mengatur kebebasan HAM tersebut, maka penulis mencoba mencermati perlindungan hukum hak atas kebebasan berserikat dalam Undang-undang Nomor 17 Tahun 2013 dengan melihat sejauh mana Undang-Undang Ormas Nomor 17 Tahun 2013 dapat menggantikan UU Ormas Nomor 8 Tahun 1985 secara lebih relevan dalam memberikan perlindungan terhadap hak atas kebebasan berserikat. 30 Bonat, C., ‘European Court of Human Rights’, the Federalist Society for Law and Public Studies, hal. 26. 31 Pasal 22 paragraf 2 Kovenan Sipol., 1966. 32 Ibid Setelah membandingkan UU Ormas lama dan Ormas yang baru, dapat ditarik beberapa hal sebagai berikut: 1. Dalam Undang-undang organisasi kemasyarakatan yang baru terdapat beberapa hal baru yang sebelumnya tidak diatur dalam Undang-undang ormas lama, yakni: a) Pendirian Ormas b) Pendaftaran c) Keputusan Ormas d) AD/ART e) Bidang Usaha Ormas f) Pemberdayaan Ormas g) Ormas yang didirikan warna Negara asing h) Penyelesaian sengketa ormas i) Larangan 2. Secara substansial, UU Ormas baru memiliki detail yang lebih rinci jika dibandingkan dengan UU lama, terkait dengan: a) Definisi b) Tujuan, Fungsi, Hak dan Kewajiban Terkait sejauh mana UU Ormas b a r u merupakan instrumen pelaksanaan kewajiban Negara dalam melindungi hak atas kebebasan berekspresi. Pembatasan kebebasan berserikat dalam UU Ormas yang secara eksplisit, dinyatakan dalam butir b perihal “menimbang yaitu:33 “bahwa dalam menjalankan hak dan kebebasan berserikat berkumpul dan mengeluarkan pendapat, setiap orang wajib menghormati hak asasi dan kebebasan orang lain dalam rangka tertib hukum, serta menciptakan keadilan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara”. Dengan demikian UU Ormas b a r u menggunakan klausul “menghormati hak asasi manusia dan kebebasan orang lain” sebagai dasar pembatasan kebebasan berserikat. Pembatasan tersebut telah selaras dengan amanat dari UU HAM dan juga Kovenan Hak-hak Sipil dan Politik seperti yang dibahas dalam bagian sebelumnya. Sementara dalam batang tubuh Undang-undang Nomor 17 Tahun 2013 yang mengatur larangan dan kewajiban Ormas terdapat beberapa hal yang menjadi masalah, karena dalam ketentuan tersebut ditemukan sejumlah ketentuan yang justru bersifat membatasi hak atas kebebasan berserikat. Hal ini tampak dalam pasal 21 sebagai berikut:34 Ormas berkewajiban: a. melaksanakan kegiatan sesuai tujuan organisasi; b. menjaga persatuan dan kesatuan bangsa serta keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia; c. memelihara nilai-nilai agama, budaya, moral, etika, dan norma kesusilaan serta memberikan manfaat untuk masyarakat; d. menjaga ketertiban umum dan terciptanya kedamaian dalam masyarakat; e. melakukan pengelolaan keuangan secara transparan dan akuntabel; dan f. berpartisipasi dalam pencapaian tujuan negara. 33 Konsiderans huruf “b” UU No 17 Tahun 2013 34 Pasal 21 UU No 17 tahun 2013 e-JOURNAL LENTERA HUKUM, April 2014, I (1): 66-77 72 Veronica Agnes Sianipar et al., Tinjauan Yuridis Perlindungan Hukum Hak Asasi Manusia Dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013..... Dari klausul di atas, dapat ditarik bahwa kewajiban ormas didasarkan pada hal persatuan dan kesatuan, nilai agama, budaya, moral, etika, norma kesusilaan, ketertiban umum, dan kedamaian. Seperti yang telah dibahas pada bagian sebelumnya, yakni dalam Pasal 73 UU HAM, pembatasan hak atas kebebasan berserikat yang dibenarkan ialah sebagai berikut:35 “Hak dan kebebasan yang diatur dalam Undang- undang ini hanya dapat dibatasi oleh dan berdasarkan Undang-undang, semata-mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia serta kebebasan dasar orang lain, kesusilaan, ketertiban umum, dan kepentingan bangsa”. Sehingga, apabila disandingkan antara Pasal 21 UU Ormas yang baru, dan Pasal 73 UU HAM, pembatasan hak yang dibenarkan ialah: a) Norma Kesusilaan b) Ketertiban Umum c) Kepentingan bangsa, yang dalam hal ini dapat diartikan sebagai persatuan dan kesatuan. Selanjutnya, apabila kita melihat ke dalam Pasal 29 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM), yang berbunyi:36 “Dalam pelaksanaan hak dan kebebasannya, setiap orang hanya tunduk pada batasan-batasan yang ditentukan oleh hukum, semata-mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan terhadap hak dan kebebasan orang lain, dan memenuhi persyaratan-persyaratan moral, ketertiban umum dan kesejahteraan umum yang adil dalam masyarakat yang demokratis.” Dari bunyi pasal di atas, pembatasan hak atas kebebasan berserikat yang sesuai dalam Pasal 21 UU Ormas baru ialah: a) Moral c) Ketertiban Umum d) Kesejahteraan Umum yang dapat berarti sebagai kedamaian. Melalui analisa tersebut, ada beberapa pembatasan dalam Undang-undang Organisasi Kemasyarakatan yang baru yang tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku, baik itu peraturan nasional (UU HAM) maupun peraturan Internasional (DUHAM). Pembatasan yang tidak dibenarkan menurut ketentuan peraturan yang berlaku tersebut ialah perihal agama, budaya dan etika. Selain itu, pembatasan hak kebebasan berserikat yang dibatasi dengan kebebasan orang lain kurang diatur secara tegas dalam batang tubuh UU Ormas itu sendiri sehingga masih dapat menimbulkan ketidakpastian hukum. Selain dalam pasal yang mengatur kewajiban Ormas, dalam pasal yang mengatur tentang larangan Ormas juga terdapat masalah. Hal itu tampak dari bunyi Pasal 59 UU Ormas baru sebagai berikut:37 (1) Ormas dilarang: a. menggunakan bendera atau lambang yang sama dengan bendera atau lambang negara Republik Indonesia menjadi bendera atau lambang Ormas; 35 Pasal 73 UU HAM 36 Pasal 29 DUHAM 37 Pasal 59 UU No 17 tahun 2013 b. menggunakan nama, lambang, bendera, atau atribut yang sama dengan nama, lambang, bendera, atau atribut lembaga pemerintahan; c. menggunakan dengan tanpa izin nama, lambang, bendera negara lain atau lembaga/badan internasional menjadi nama, lambang, atau bendera Ormas; d. menggunakan nama, lambang, bendera, atau simbol organisasi yang mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan nama, lambang, bendera, atau simbol organisasi gerakan separatis atau organisasi terlarang; atau e. menggunakan nama, lambang, bendera, atau tanda gambar yang mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan nama, lambang, bendera, atau tanda gambar Ormas lain atau partai politik. (2) Ormas dilarang: a. melakukan tindakan permusuhan terhadap suku, agama, ras, atau golongan; b. melakukan penyalahgunaan, penistaan, atau penodaan terhadap agama yang dianut di Indonesia; c. melakukan kegiatan separatis yang mengancam kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia; d. melakukan tindakan kekerasan, mengganggu ketenteraman dan ketertiban umum, atau merusak fasilitas umum dan fasilitas sosial; atau e. melakukan kegiatan yang menjadi tugas dan wewenang penegak hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (3) Ormas dilarang: a. menerima dari atau memberikan kepada pihak mana pun sumbangan dalam bentuk apa pun yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang- undangan; atau b. mengumpulkan dana untuk partai politik. (4) Ormas dilarang menganut, mengembangkan, serta menyebarkan ajaran atau paham yang bertentangan dengan Pancasila. Berdasarkan bunyi pasal di atas, terdapat banyak pembatasan hak atas kebebasan berserikat yang tidak sesuai dengan amanat UU HAM maupun peraturan HAM internasional. Diantaranya ada pembatasan yang didasarkan pada perihal agama, budaya, ideologi dan bahkan suku/golongan. Hal ini tentu tidak dibenarkan karena justru akan menjadi pelanggaran terhadap pembatasan hak asasi manusia. Dengan demikian, pembatasan-pembatasan di atas juga memberi petunjuk tidak dilakukannya pembatasan secara proporsional dan tidak didasarkan adanya kebutuhan yang nyata untuk dilakukannya pembatasan sesuai instrument HAM baik nasional maupun internasional. Hal ini memberi petunjuk pula bahwa tidak semua pembatasan didasarkan pada adanya kebutuhan yang mendesak (necessity) dan lebih jauh hal ini memberi petunjuk bahwa pembatasan yang dilakukan memenuhi tujuan yang sah (legitimate aim). 1. Terkait dengan upaya dari pemerintah untuk menertibkan administrasi Ormas maka dalam UU Ormas yang baru, terdapat beberapa klasifikasi ormas yang tertuang dalam e-JOURNAL LENTERA HUKUM, April 2014, I (1): 66-77 73 Veronica Agnes Sianipar et al., Tinjauan Yuridis Perlindungan Hukum Hak Asasi Manusia Dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013..... Pasal 10, bahwa:38 (1) Ormas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dapat berbentuk: a. badan hukum; atau b. tidak berbadan hukum. (2) Ormas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat: a. berbasis anggota; atau b. tidak berbasis anggota. Pengaturan Ormas dalam Pasal 10 UU Nomor 17 Tahun 2013 dapat menimbulkan kerancuan kerangka hukum. Hal ini dikarenakan badan hukum perkumpulan dimasukkan dalam kategori Ormas walaupun sebenarnya badan hukum perkumpulan tersebut telah diatur dalam UU tersendiri, yakni: UU No. 28 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU No. 16 Tahun 2001 tentang Yayasan dan Staadsblad 1870-64 tentang Perkumpulan- Perkumpulan Berbadan Hukum (Rechtpersoonlijkheid van Verenegingen). Berdampak yang sama dengan badan hukum perkumpulan, dengan memasukkan badan hukum yayasan ke dalam kategori Ormas, Pemerintah dan DPR dapat dikatakan mengacaukan sistem hukum yang telah ada. Yayasan dengan jelas telah diatur dalam UU Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan. Sehingga apabila UU Ormas memasukkan yayasan ke dalam kategori ormas, maka ribuan Yayasan (yang bersifat keagamaan, sosial, dan lain sebagainya) akan terseret ke ranah politik di bawah kendali pengawasan Pemerintah. Untuk itu, apabila pemerintah bertujuan untuk menertibkan administrasi dari perkumpulan dan yayasan, maka jalan terbaik adalah penyempurnaan UU Yayasan dan UU Perkumpulan. Kebutuhan terhadap UU Perkumpulan ini juga menjadi salah satu isu strategis yang dibahas dalam lokakarya rencana strategis Konsil LSM Indonesia tiga tahun lalu, sehingga adanya UU Perkumpulan merupakan salah satu hasil yang ingin dicapai dalam perencanaan strategis Konsil 2011-2014.39 2. Terkait dengan pemberian Surat Keterangan Terdaftar (SKT) sebagai salah satu syarat dari sahnya ormas tidak berbadan hukum yang tertuang dalam Pasal 16 UU Nomor 17 Tahun 2013. Persyaratan administrasi tersebut dipandang oleh penulis menjadi instrumen penghambat kemerdekaan berserikat dan berkumpul. Ormas tidak berbadan hukum harus mendapatkan Surat Keterangan Terdaftar (SKT) dari Pemerintah (Menteri, Gubernur, atau Bupati/Walikota) agar bisa menjalankan aktivitasnya. Ormas akan dilarang melakukan kegiatan apabila tidak memiliki SKT. Sementara untuk mendapatkan selembar SKT, Ormas harus memenuhi persyaratan administrasi seperti memiliki AD/ART atau akta pendirian yang dikeluarkan oleh notaris yang memuat AD/ART, program kerja, kepengurusan, surat keterangan domisili, Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) atas nama Ormas, surat pernyataan tidak dalam sengketa 38 Pasal 10 UU No 17 Tahun 2013 39 Hadi Rahman, Tiga Masalah yang Terjadi bila RUU Ormas disahkan dalam http://www.radarbanjarmasin.co.id/berita/detail/45620/ruu- ormas-akan-melahirkan-permasalahan-baru.html sebagaimana diakses pada tanggal 30 November 2013 pukul 23.01 WIB kepengurusan/perkara pengadilan, dan surat pernyataan kesanggupan melaporkan kegiatan.40 SKT inilah yang dipandang oleh sebagian besar masyarakat merupakan alat pemerintah untuk membelenggu suara kritis rakyat yang berseberangan dengan pendapat pemerintah. 3.2 Negara atau Pemerintah dalam Melindungi Hak Asasi Manusia dari Tindakan Anarkis Dalam hukum HAM, negara dan pemerintah mempunyai kedudukan sebagai pemangku kewajiban (duty bearer). Kewajiban yang diemban negara terdiri atas tiga bentuk, yaitu menghormati (to respect), melindungi (to protect) dan memenuhi (to fulfil). Kewajiban untuk menghormati (obligation to respect) adalah kewajiban negara untuk menahan diri untuk tidak melakukan intervensi, kecuali atas hukum yang sah (legitimate). Kewajiban untuk memenuhi (the obligation to fulfill) adalah kewajiban negara untuk mengambil langkah-langkah legislatif, administratif, yudisial, dan praktis, yang perlu untuk menjamin pelaksanaan HAM. Kewajiban negara untuk melindungi (the obligation to protect) adalah kewajiban untuk melindungi hak bukan hanya terhadap pelanggaran yang dilakukan negara, namun juga terhadap pelanggaran atau tindakan yang dilakukan oleh entitas atau pihak lain (non-negara) yang akan mengganggu perlindungan hak yang disebut.41 Kewajiban negara sebagai penanggung jawab utama dalam pemenuhan HAM itu secara jelas diatur dalam Hukum internasional dan hukum nasional. Dalam tataran hukum internasional tonggak sejarah keberhasilan perjungan pengakuan dan penghormatan nilai-nilai HAM ditandai dengan lahirnya Dekalarasi Umum Hak Asasi Manusia (DUHAM). Dalam ketentuan DUHAM juga mengarah pada negara sebagai pemangku utama. Negara mempunyai kewajiban untuk melakukan pemenuhan dan perlindungan HAM warga negaranya. Sementara, kewajiban-kewajiban negara terhadap HAM warga negaranya adalah bagaimana negara dapat memberikan jaminan bagi Penghormatan, perlindungan dan Pemenuhan HAM warga negaranya. Setelah lahirnya DUHAM pada 1948, prinsip-prinsip dalam DUHAM menjadi tongak sejarah kelahiran berbagai konvensi-konvensi internasional yang mengatur mengenai kewajiban penghormatan terhadap nilai-nilai HAM secara universal, salah satunya ialah Konvenan Internasional Hak- hak Sipil dan Politik. Dapat dinyatakan bahwa kewajiban negara menurut Kovenan internasional Hak Sipil dan Politik terdiri atas kewajiban positif dan kewajiban negatif.42 Kewajiban positif adalah kewajiban negara untuk mengambil langkah-langkah guna melindungi hak yang disebut dalam Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik. Perlu kita ingat bahwa dalam hal ini negara mempunyai kewajiban untuk melindungi hak yang ada dalam Kovenan bukan hanya terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh 40 Pasal 16 ayat 2 41 Maruarar Siahaan, Op.cit 42 Lihat Kajian Komnas HAM mengenai Peraturan Daerah No. 8 /2007 tentang Ketertiban Umum DKI Jakarta paragraf 11, Komnas HAM, 2008 e-JOURNAL LENTERA HUKUM, April 2014, I (1): 66-77 74 http://www.radarbanjarmasin.co.id/berita/detail/45620/ruu-ormas-akan-melahirkan-permasalahan-baru.html http://www.radarbanjarmasin.co.id/berita/detail/45620/ruu-ormas-akan-melahirkan-permasalahan-baru.html Veronica Agnes Sianipar et al., Tinjauan Yuridis Perlindungan Hukum Hak Asasi Manusia Dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013..... negara namun juga terhadap pelangagran atau tindakan yang dilakukan oleh entitas atau pihak lain (non-negara) yang akan menganggu perlindungan hak yang disebut dalam Kovenan. Sementara itu, kewajiban negatif adalah bahwa negara harus menahan diri untuk tidak melanggar hak asasi manusia yang dilindungi oleh Kovenan Hak Sipil dan Politik. 43 Seperti telah disebutkan di bagian sebelumnya, hak untuk berserikat menjadi salah satu hak yang masuk dalam zona irisan antara hak sipil dan politik. Dengan demikian, fungsi demokratis hak ini tidak dapat dilupakan yang memberikan kewajiban yang lebih besar pada negara untuk menjamin terlaksananya hak itu dengan tindakan-tindakan untuk melakukan sesuatu guna menjamin pelaksanaannya.44 Bahwa pembatasan apapun yang dilakukan atas hak terkait memang diperbolehkan oleh ketentuan yang ada dalam kovenan, namun dalam hal ini negara harus dapat menunjukkan bahwa pembatasan itu memang diperlukan dan dilakukan secara proporsional. Pembatasan yang dilakukan juga harus tetap menjamin perlindungan hak asasi manusia tetap efektif dan terus-menerus, serta tidak boleh dilakukan dengan cara yang dapat mengancam terlindunginya hak tersebut. Harus diperhatikan bahwa negara juga mempunyai kewajiban untuk melindungi hak yang tercantum dalam kovenan dari intervensi pihak ketiga. Dalam tataran hukum nasional, konsep mengenai tanggung jawab negara terhadap pemenuhan, penghormatan dan perlindungan HAM diwujudkan dalam bentuk pengaturan didalam konstitusi negara/dasar hukum negara, yaitu dalam UUD 1945 amandemen ke II, tepatnya pada Pasal 28 A sampai dengan 28 J dan beberapa pasal lain yang terkait dengan perlindungan dan Pemenuhan HAM yaitu pada Pasal 29, Pasal 31, Pasal 33 dan Pasal 34. Pengaturan beberapa hak dalam konstitusi/UUD 1945 amandemen ke II telah menyiratkan bahwa negara memiliki kewajiban moral/state obilgation untuk memberikan jaminan bagi pengakuan dan penegakaan HAM setiap warga Negara Indonesia. Sementara itu di dalam sistim perundang-undangan Indonesia pada hakiktanya telah dikenal konsep tanggung jawab negara dan pengakuan negara terhadap HAM. Ketentuan tersebut telah diatur di dalam UU No 39 Tahun 1999 tentang HAM tepatnya dalam Pasal 2. Terkait dengan kewajiban negara sebagai pemangku utama dalam pemenuhan HAM menurut DUHAM, Konvenan Sipol dan UU HAM, maka dengan ini negara berhak menjatuhkan sanksi terhadap segala bentuk pelanggaran HAM sebagai wujud dari perlindungan HAM itu sendiri. Perlindungan hukum hak atas kebebasan berserikat dalam UU ormas itu sendiri dilakukan dengan memberikan kebebasan berserikat sepanjang tidak melanggar tuntutan yang adil atas dasar pertimbangan moral, nilai agama, keamanan dan ketertiban umum yang diakui dalam masyarakat yang demokratis. Meletakkan batas dan memberi dasar bagi penindakan terhadap ormas, jikalau kebebasan 43 Lihat Kajian Komnas HAM mengenai Pokok-pokok Pikiran terhadap RUU Ormas, 2013, hal 5 44 ibid berkumpul dan berserikat yang dimiliki ternyata mengakibatkan pelanggaran terhadap hak orang lain dan ketertiban umum, menyebabkan ada kemungkinan organisasi masyarakat yang demikian dikenakan sansi hukum, bukan hanya menyangkut anggota-anggota, melainkan juga terhadap organisasi (corporate)nya yang kemudian dibebankan kepada pengurus. Sanksi tersebut merupakan bagian penting dalam pengaturan ormas untuk menanggapi perkembangan yang terjadi di masyarakat. Sanksi tersebut bahkan dapat secara optimal sampai kepada pembubaran ormas dan perampasan asset yang digunakan untuk melakukan pelanggaran hukum sedemikian rupa ekstrim dalam akibat-akibatnya. Penjatuhan sanksi dapat dilakukan secara bertahap, (dapat dilihat dalam BAB XVII mengenai sanksi) dengan mana diharapkan bahwa dengan menerapkan sanksi awal yang lebih ringan yang lebih merupakan aba-aba, dapat dicegah pengenaan sanksi yang langsung mengakhiri organisasi masyarakat yang tidak melaksanakan hak dan kebebasannya secara damai dan bertanggung jawab. Tahapan penjatuhan sanksi dapat dilihat dalam Pasal 61 sebagai berikut: Sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (1) terdiri atas: a. peringatan tertulis; b. penghentian bantuan dan/atau hibah; c. penghentian sementara kegiatan; dan/atau d. pencabutan surat keterangan terdaftar atau pencabutan status badan hukum. Pada tingkat awal ditemukannya pelanggaran, Pemerintah dapat memberikan peringatan tertulis sebanyak tiga kali.45 Dalam hal Ormas tidak mematuhi peringatan tertulis ketiga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (5) dan Pasal 63 ayat (2), Pemerintah atau Pemerintah Daerah dapat menjatuhkan sanksi berupa: penghentian bantuan dan/atau hibah; dan/atau penghentian sementara kegiatan. 46 Pembekukan Ormas tertentu untuk sementara, setelah mendapat peringatan yang cukup ditujukan kepada ormas yang dalam kegiatannya melakukan perbuatan yang mengganggu ketertiban umum, menimbulkan huru-hara di tengah masyarakat dan juga yang melakukan perusakan terhadap aset dan fasilitas umum. Pembekuan tentu dilakukan oleh pejabat yang berwenang sesuai dengan ruang lingkup dan wilayah kedudukan Ormas, setelah mendengar pertimbangan dari Mahkamah Agung atau Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, kepala kejaksaan, dan kepala kepolisian sesuai dengan tingkatannya. 47. Kewenangan Pemerintah atau Pemerintah Daerah untuk membekukan ormas yang dipandang melakukan perbuatan yang dituduhkan, tentu saja dilakukan berdasarkan bukti-bukti yang telah diperoleh dan dianggap sah. Keputusan pembekuan yang berlaku untuk sementara, dan kemudian setelah lewat jangka waktu tertentu telah di pulihkan haknya setelah Ormas yang bersangkutan dibekukan, masih melakukan perbuatan sebagaimana 45 Pasal 62 UU No 17 Tahun 2013 46 Pasal 64 UU No 17 Tahun 2013 47 Pasal 65 UU No 17 tahun 2013 e-JOURNAL LENTERA HUKUM, April 2014, I (1): 66-77 75 Veronica Agnes Sianipar et al., Tinjauan Yuridis Perlindungan Hukum Hak Asasi Manusia Dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013..... dijadikan alasan pembekuan sementara di atas, maka Pemerintah dapat mengajukan Ormas tersebut untuk dibubarkan, sesuai dengan cara mengajukan kepada Pengadilan bukti-bukti disertai permohonan agar ormas demikian dibubarkan dan dicabut hak hidupnya. Ormas Asing yang melakukan kegiatan sebagaimana yang dilarang baginya, setelah pembekuan sementara dan masih melakukan perbuatan yang sama yang dilarang baginya, justru dapat dikenakan sanksi pembekuan secara tetap, yang akibat hukumnya sesungguhnya serupa dengan pembubaran. Hal ini harus diatur demikian karena ormas asing dibentuk menurut hukum asing dan berkedudukan di luar wilayah Indonesia, sehingga putusan pengadilan Indonesia tidak mempunyai daya laku di luar wilayah Indonesia. Titik tolak dalam Negara hukum merupakan satu elemen yang harus dipenuhi bahwa tiap orang yang melakukan kegiatan atas nama Ormas harus tunduk kepada hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku, baik yang bersifat perdata, tata usaha negara, maupun pidana. Sanksi yang timbul akibat pelanggaran di masing- masing bidang hukum atau sesuai dengan bidang hukum yang dilanggar sudah barang tentu dapat diterapkan terhadap ormas yang melakukan pelanggaran demikian. Pemberatan sanksi juga dianggap merupakan bagian dari pencegahan penyalah gunaan hak asasi yang merugikan masyarakat secara umum dimana orang yang melakukan kegiatan atas nama Ormas dan melanggar ketentuan hukum pidana, hukumannya ditambah satu per tiga dari ancaman maksimum. Khususnya perbuatan yang berusaha untuk menggantikan Pancasila sebagai dasar dan idologi Negara yang menjadi konsensus pendiri bangsa pada tahun 1945, harus dianggap sebagai makar untuk menggulingkan Pemerintahan yang sah, karena sikap pembaharu UUD 1945, untuk tidak mengganti Pembukaan UUD 1945, dan Pasal 37 ayat (5) untuk tidak merubah bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diproklamirkan tersebut, harus direspon dengan memberi sanksi pidana yang tidak harus menunggu terjadinya akibat yang menimbulkan korban jiwa. Rumusan delik yang bersifat formal harus menjadi pendirian pembuat undang-undang. Melihat berbagai tahapan penjatuhan sanksi yang telah diatur dalam UU Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan, maka dapat dinyatakan bahwa pemerintah telah berupaya semaksimal mungkin untuk melindungi hak atas kebebasan berserikat karena sanksi yang diberikan bertingkat dengan tidak langsung membubarkan ormas yang melanggar ketentuan perundang-undangan melainkan memberi kesempatan pada ormas untuk terus memperbaiki diri sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Tingkatan penjatuhan sanksi tersebut mulai dari sanksi yang bersifat ringan hingga sanksi yang terberat. Bentuk-bentuk sanksi tersebut dapat berupa sanksi administratif dan sanksi pidana. Sanksi administratif terdiri atas teguran tertulis, pembekuan, dan pembubaran ormas, sedangkan sanksi pidana merujuk pada ketentuan kitab undang-undang hukum pidana. Hal ini ditujukan untuk mencegah terjadinya tindakan sewenang-wenang dari pemerintah dan agar sesuai dengan asas praduga tak bersalah (presumption of innocence) sehingga terdapat prosedur administratif dan hukum yang harus diikuti dalam pemberian sanksi tersebut. Kesimpulan Dari pembahasan yang telah dijabarkan oleh penulis di bab sebelumnya, penulis dapat menarik beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Undang-undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan masih belum sepenuhnya dapat memberikan perlindngan hukum terhadap hak asasi manusia khususnya terkait dengan hak atas kebebasan berserikat karena ada pembatasan yang justru mengurangi hak atas kebebasan berserikat. 2. Negara atau pemerintah dapat melindungi hak asasi manusia dari tindakan anarkis dengan diberlakukannya penjatuhan sanksi administratif secara bertahap kepada organisasi kemasyarakatan yang melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan. Selain itu, untuk setiap anggota yang terlibat dalam kepengerusan organisasi masyarakat yang melakukan tindak pidana, dapat dipidana sesuai ketentuan peraturan perundang- undangan yang berlaku. Saran Adapun saran yang dapat penulis kemukakan ialah sebagai berikut: 1. Diperlukan adanya perubahan terhadap Undang-undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan sehingga dapat benar-benar menjadi instrumen pelaksanaan kewajiban Negara dalam menjamin hak atas kebebasan bereskpresi sebagaimana dinyatakan dalam Konstitusi. 2. Badan legislatif harus tegas membentuk sebuah peraturan baru yang lugas dalam mengklasifikasi bentuk yayasan, perkumpulan maupun organisasi masyarakat sehingga tidak terjadi multitafsir atau kekacauan sistem hukum. 3. Pembekuan atau pun pembubaran organisasi kemasyarakatan haruslah dilepaskan dari kewenangan pemerintah dan diberikan sepenuhnya kepada lembaga peradilan sehingga sanksi yang dijatuhkan dapat bersifat lebih obyektif karena melalui prosedur hukum yang sah. Ucapan Terima Kasih Penulis mengucapkan terima kasih kepada Tuhan Yesus, kedua orang tua, kakak, keluarga kecil, sahabat, dan semua keluarga besar penulis yang telah mendukung, mendoakan, dan memberikan motivasi selama ini, terima kasih penulis sampaikan kepada dosen-dosen Fakultas Hukum Universitas Jember terutama kepada dosen pembimbing dan pembantu pembimbing yang telah memberikan inspirasi, motivasi, dan bimbingan kepada penulis hingga terselesaikannya artikel ilmiah ini. Tidak lupa kepada ketua penguji dan sekretaris penguji yang telah menguji dan memberikan pengarahan demi perbaikan skripsi ini. e-JOURNAL LENTERA HUKUM, April 2014, I (1): 66-77 76 Veronica Agnes Sianipar et al., Tinjauan Yuridis Perlindungan Hukum Hak Asasi Manusia Dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013..... Daftar Bacaan Buku Bonat, C., ‘European Court of Human Rights’, the Federalist Society for Law and Public Studies. Jimly Asshidique. 2005. Kemerdekaan Berserikat, Pembubaran Partai Politik dan Mahkamah Konstitusi, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah konstitusi. Gramedia: Jakarta. Kajian Komnas HAM mengenai Peraturan Daerah No. 8/2007 tentang Ketertiban Umum DKI Jakarta, Komnas HAM, 2008. Kajian Komnas HAM mengenai mengenai Pokok-pokok Pikiran terhadap RUU Ormas, 2013. Manfred Nowak. 1997. UN Convenant on Civil and Political Rights CPPR Comentary, N.P. Engel Publisher: Strasbourg. Maruarar Siahaan. Kebebasan Berserikat dan Berkumpul secara Damai Serta Implikasinya dalam Civis Vol. 3 No. 1 Jul 2011. Nowak, M. 2005, U.N. Covenant on Civil and Political Rights, CCPR Commentary,2nd revised edition, N.P. Engel, Publishers. Peter Mahmud Marzuki. 2010. Penelitian Hukum, Kencana: Jakarta.Ridaya Laodengkowe. 2010. Mengatur Masyarakat Sipil, Piramedia: Depok. Satya Arinanto. 2008. Hak Asasi Manusia dalam Transisi Politik di Indonesia, Cetakan Ketiga: Jakarta. The Siracusa Principles on The Limitation and Derogation Provisions dalam International Covenant on Civil and Political Rights, E/CN.4/1985/4. Peraturan Perundang-Undangan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan. Internet Ady, UU Ormas Berpotensi Kacaukan Sistem Hukum dalam http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt504f62a3 b199a/ruu-ormas-berpotensi-kacaukan-sistem- hukum sebagaimana diakses pada tanggal 28 November 2013 pukul 20.56 WIB. Hadi Rahman, Tiga Masalah yang Terjadi bila RUU Ormas disahkan dalam http://www.radarbanjarmasin.co.id/berita/detail/4562 0/ruu-ormas-akan-melahirkan-permasalahan- baru.html sebagaimana diakses pada tanggal 30 November 2013 pukul 23.01 WIB. Jimly Asshiddiqie. Mengatur Kebebasan Berserikat dalam Undang-Undang dalam http://jimlyschool.com/read/analisis/274/mengatur- kebebasan-berserikat-dalam-undangundang/ sebagaimana diakses pada tanggal 09 September 2013 pukul 19.07 WIB. Maruarar Siahaan, Kebebasan Berserikat dan Berkumpul secara Damai serta Implikasinya dalam http://www.leimena.org/en/page/v/532/kebebasan- berserikat-dan-berkumpul-secara-damai-serta- implikasinya sebagaimana diakses pada tanggal 28 November 2013 pukul 21.09 WIB. Satriya Nugraha. UU Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan Perlu Dipahami dalam satriya1998@gmail.com sebagaimana diakses pada tanggal 10 September 2013 pukul 11.56 WIB e-JOURNAL LENTERA HUKUM, April 2014, I (1): 66-77 77 mailto:satriya1998@gmail.com http://www.leimena.org/en/page/v/532/kebebasan-berserikat-dan-berkumpul-secara-damai-serta-implikasinya http://www.leimena.org/en/page/v/532/kebebasan-berserikat-dan-berkumpul-secara-damai-serta-implikasinya http://www.leimena.org/en/page/v/532/kebebasan-berserikat-dan-berkumpul-secara-damai-serta-implikasinya http://jimlyschool.com/read/analisis/274/mengatur-kebebasan-berserikat-dalam-undangundang/ http://jimlyschool.com/read/analisis/274/mengatur-kebebasan-berserikat-dalam-undangundang/ http://www.radarbanjarmasin.co.id/berita/detail/45620/ruu-ormas-akan-melahirkan-permasalahan-baru.html http://www.radarbanjarmasin.co.id/berita/detail/45620/ruu-ormas-akan-melahirkan-permasalahan-baru.html http://www.radarbanjarmasin.co.id/berita/detail/45620/ruu-ormas-akan-melahirkan-permasalahan-baru.html http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt504f62a3b199a/ruu-ormas-berpotensi-kacaukan-sistem-hukum http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt504f62a3b199a/ruu-ormas-berpotensi-kacaukan-sistem-hukum http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt504f62a3b199a/ruu-ormas-berpotensi-kacaukan-sistem-hukum