Lentera Hukum, Volume 5 Issue 3 (2018), pp. 403-414 ISSN 2355-4673 (Print) 2621-3710 (Online) https://doi.org/10.19184/ ejlh.v5i3.5841 Published by the University of Jember, Indonesia Available online 31 December 2018 Peran Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu dalam Menjaga Kemandirian dan Integritas Penyelenggara Pemilihan Umum di Indonesia Dyan Puspitasari University of Jember, Indonesia dyandyan869@gmail.com ABSTRACT Nowadays, Indonesia remains challenged to the barrier in means of transportation, especially in small areas in which it makes arduous the Election Organizers Honorary Council (DKPP) to carry out its duties. Based on Article 25 of DKPP Regulation Number 2 of 2012, one of the facilities provided to DKPP is the implementation of a long-distance trial by video conference. There are a number of challenges faced by DKPP, including the relatively new age so that people do not really know this institution. In addition, the DKPP institution is quite limited to being located only in the capital, while the task of the institution encompasses national jurisdiction. The geographical condition of Indonesia is broad and consists of many areas also make the response to ethics code violations less efficient along with issues of compliance with DKPP decisions. Thus, the role of the DKPP is needed in maintaining the independence and integrity of the organizers of the General Elections (Elections) and ways to strengthen the role of the DKPP in maintaining the independence and integrity of election administration in Indonesia. KEYWORDS: Election Law, Electoral Institution, Independence. Copyright © 2018 by Author(s) This work is licensed under a Creative Commons Attribution-ShareAlike 4.0 International License. All writings published in this journal are personal views of the authors and do not represent the views of this journal and the author's affiliated institutions. Submitted: November 20, 2017 Revised: November 27, 2017 Accepted: June 29, 2018 HOW TO CITE: Puspitasari, Dyan. “Peran Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu dalam Menjaga Kemandirian dan Integritas Penyelenggara Pemilihan Umum di Indonesia” (2018) 5:3 Lentera Hukum 403-414. 404 | Peran Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu dalam Menjaga Kemandirian dan Integritas ... I. PENDAHULUAN Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) merupakan institusi baru yang menjalankan fungsi campuran (mix-function) 1 yakni fungsi administratif, regulatif, dan penghukuman. Hal ini sesuai jenis lembaga baru yang menjalankan fungsi campuran sebagaimana dinyatakan oleh Jimly Asshiddiqie. 2 DKPP dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu (UU Pemilu), kewenangannya diatur dalam Bab V tentang DKPP Pasal 109 sampai 115. DKPP merupakan lembaga yang bertugas menangani pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu. Penyelenggara pemilu terdiri dari Komisi Penyelenggara Pemilu (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) sebagai satu kesatuan fungsi penyelenggaraan pemilu untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), Presiden dan Wakil Presiden, Gubernur, Walikota, dan Bupati secara demokratis. 3 DKPP menjalankan fungsi administratif, bersifat regulatif yakni membuat peraturan kode etik yang mengikat keseluruhan penyelenggara pemilu beserta jajarannya. DKPP juga mempunya fungsi penghukuman karena DKPP bisa menjatuhkan hukuman terhadap penyelenggara pemilu yang dianggap melanggar Kode Etik Penyelenggara Pemilu. Berdasar Pasal 111 ayat (3) UU Pemilu, salah satu tugas DKPP adalah menetapkan putusan. Pasal 112 ayat (12)putusan tersebut bersifat final dan mengikat. Adapun sanksi dalam putusan tersebut dapat berupa teguran secara tertulis, pemberhentian sementara, atau pemberhentian tetap. 4 Rekapitulasi data persidangan/putusan DKPP sepanjang tahun 2015-2016 menurut anggota DKPP yaitu Nur Hidayat Sardini dalam acara DKPP Outluk 2017 Refleksi dan Proyeksi. Sepanjang tahun 2016 DKPP telah menerima 302 pengaduan. Pengaduan tersebut tergolong menurun dibandingkan dengan banyaknya pengaduan di tahun sebelumnya. Peristiwa penurunan tersebut dapat dikatakan sebagai dampak dari fungsi pengawasan DKPP berjalan cukup aktif hingga ke daerah-daerah. Pada tahun 2015, jumlah pengaduan pelanggaran yang masuk ke sekretariat DKPP sebanyak 478. 5 Dalam rangka menjalankan tugas, Pasal 111 ayat (4) UU Pemilu, DKPP memiliki setidaknya tiga kewenangan yang terdiri atas pemanggilan terhadap penyelenggara pemilu yang diduga melakukan pelanggaran kode etik untuk kemudian memberikan penjelasan dan pembelaan; pemanggilan terhadap pelapor, saksi, dan/atau pihak-pihak lain yang terkait dan kemudian dimintai keterangan dan termasuk dokumen atau bukti lain; dan pemberian sanksi kepada penyelenggara pemilu yang sudah terbukti melanggar kode etik tersebut. Dengan demikian, DKPP berperan penting untuk 1 Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006), hlm. 339. 2 Ibid. 3 Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu. 4 Achmadudin Rajab, Kekuatan Putusan DKPP Sebagai Peradilan Etik Dalam Kerangka Restorative Justice Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 115/PHPU.D-XI/2013 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nmor 31/PUU- XI/2013 ( Jakarta: Jurnal Etika dan Pemilu, Vol.1 No.2, Agustus 2015), hlm. 89. 5 http://news.liputan6.com/read/2678124/dkpp-terima-302-pengaduan-pemilu-selama-2016, Diakses pada 27 September 2017. 405 | LENTERA HUKUM memastikan kemandirian, integritas dan kredibilitas penyelenggaraan pemilu. Menjamin etika penyelenggara pemilu tetap terjaga demi mewujudkan pemilu yang berkualitas. Ditemukan beberapa putusan DKPP yang mengandung nilai Restorative Justice yang salah satunya terdapat pada Putusan No.74/DKPP-PKE-II/2013 terkait Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Gubernur dan Wakil Gubernur di Jawa Timur pada tahun 2013. 6 Dalam putusan tersebut DKPP meloloskan pasangan Calon Gubernur (Cagub) Khofifah dan Herman untuk mengikuti pemilihan gubernur Jawa Timur tahun 2013. Putusan tersebut sempat kontroversial dan dipertanyakan oleh banyak pihak. Hal tersebut dikarenakan DKPP tidak mempunyai kewenangan yuridis untuk membatalkan keputusan yang sudah diputuskan oleh KPU Jawa Timur termasuk mengenai keikutsertaan pasangan tersebut di Pilkada Jawa Timur. DKPP hanya memiliki wewenang dan fungsi mengenai kode etik. Menurut hemat penulis, berkaitan dengan putusan tersebut seharusnya tidak melampaui kewenangannya dan tidak harus terlibat dalam peradilan administratif pemilu. Sedangkan berdasarkan UU Pemilu, kewenangan DKPP hanya sebatas pemeriksaan terhadap dugaan terjadinya pelanggaran kode etik. Usia DKPP yang masih terbilang baru, menjadikan instansi ini belum banyak dikenal oleh masyarakat. Secara internal, instansi ini sangat terbatas, karena hanya ada satu di Jakarta. Sementara tugasnya adalah bersifat nasional. Beranggotakan 7 orang dan dibantu oleh staf sekretariat 50 orang. 7 Wilayah Indonesia yang luas namun memiliki keterbatasan dibidang transportasi mengakibatkan adanya tantangan bagi DKPP untuk menjalankan fungsi maupun tugasnya. Dengan demikian, mekanisme persidangan sebisa mungkin didesain untuk mempermudah proses pencarian keadilan. Salah satunya dengan menggunakan video conference, dan hal tersebut sudah diatur dalam Pasal 25 Peraturan DKPP Nomor 2 Tahun 2012. Sidang video conference merupakan pilihan rasional mengingat kondisi dan tantangan yang harus dijawab DKPP sebagai instansi penegak etika penyelenggara pemilu hingga tingkat terendah. 8 Tantangan selanjutnya yang harus dihadapi oleh DKPP yaitu membangun sekaligus menjalankan sistem yang hendak dibangun, berdasarkan tiga komponen penting yang harus ada yaitu struktur, pranata dan kultur. II. PEMBAHASAN DKPP dapat dikategorikan sebagai perkembangan lanjutan dari Dewan Kehormatan Komisi Pemilihan Umum (DK-KPU) yang sebelumnya diatur berdasar Undang- Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu. Berdasarkan undang- 6 Achmadudin Rajab, Kekuatan Putusan DKPP Sebagai Peradilan Etik Dalam Kerangka Restorative Justice Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 115/Phpu.D-Xi/2013 Dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 31/PUU- XI/2013 (Jakarta: Jurnal Etika dan Pemilu, Vol. 1, Nomor 2, Agustus 2015 Jurnal Etika & Pemilu), hlm. 89. 7 Buklet Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu, hlm. 7. 8 Ibid, hlm. 8. 406 | Peran Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu dalam Menjaga Kemandirian dan Integritas ... undang tersebut, maka putusan dewan kehormatan dinyatakan bersifat final dan mengikat, oleh karena itu memiliki karakter dan mekanisme kerja layaknya lembaga peradilan. 9 UU Pemilu melembagakan DKPP sebagai instansi permanen. DKPP memiliki tugas untuk menangani pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu dan memiliki satu kesatuan fungsi penyelenggaraan pemilu, berdasar pada Pasal 1 angka 22 UU Pemilu. Pembentukan DKPP adalah permanen dikarenakan norma yuridis maupun etik dalam pemilu tidak dijalankan dengan sebenar-benarnya. Dengan demikiam, keberadaan DKPP dalam penataan sistem demokrasi di tengah krisis kepercayaan masyarakat dalam penyelenggaraan pemilu menjadi sangat penting sebagai upaya meraih kembali kepercayaan publik. Diharapkan dapat terwujud semangat ikut serta dalam setiap aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Prinsip pengadilan etika yang modern mempunyai unsur transparansi dan terbuka. Proses pengadilan etika di DKPP dilaksanakan secara terbuka. Setiap lembaga negara memiliki komisi etik, walaupun pelaksanaannya tertutup. Lembaga DKPP memiliki inovasi bahwasanya tergugat, penggugat, saksi, pihak-pihak yang terkait maupun media dapat turut serta dalam mengawal persidangan. Fungsi kewenangan DKPP berkaitan dengan setiap individu penyelenggara pemilu. Dalam hal ini, pihak dari Bawaslu maupun KPU. Dalam arti sempit, KPU terdiri atas para komisioner di tingkat pusat, provinsi, kabupaten/kota. Sedangkan Bawaslu terdiri atas pimpinan atau anggota Bawaslu tingkat pusat dan provinsi. Sedangkan dalam arti luas, penyelenggara pemilu baik dalam lingkungan Bawaslu maupun KPU, juga terdiri atas para petugas yang bekerja tetap atau tidak tetap (ad hoc). Kasus yang ditangani oleh DKPP terbatas kepada persoalan perilaku pribadi pejabat. Dalam hal ini, petugas penyelenggara pemilu. Objek pelanggaran etika yang dapat dikualifikasikan sebagai tindak pidana adalah menyangkut sikap dan perbuatan yang mengandung unsur jahat dan melanggar hukum yang dilakukan oleh perseorangan maupun kelompok dan dipertanggungjawabkan secara perseorangan. 10 DKPP yang berperan sebagai pengadilan, setiap anggotanya harus memiliki sikap pasif, tidak memihak dan juga tidak boleh menyelewengkan kasus yang ada untuk kepentingan popularitas perseorangan. Setiap anggota tidak dibenarkan menikmati pujian disebabkan dari sebuah putusan, dan tidak dibenarkan untuk tersinggung maupun marah atas kritikan masyarakat yang merasa tidak puas atas putusan tersebut. Dengan demikian, DKPP sebagai instansi peradilan etika, diharuskan memberikan contoh yang baik menyangkut perilaku dan etika dalam melaksanakan sistem peradilan etika yang berkaitan dengan berbagai macam kepentingan dan persoalan yang rawan atas konflik. antara para pemilih dengan penyelenggara pemilu. Maupun antar penyelenggara pemilu yaitu Bawaslu dan KPU. Pengadilan etika harus bersifat akuntabel agar DKPP tidak terpengaruh oleh pihak manapun. Keterbukaan tersebut memungkinkan lapisan masyarakat dapat 9 Ibid, hlm. 398. 10 M. Lutfi Chakim, supra note, hlm. 401. 407 | LENTERA HUKUM menilai proses penegakan etika yang dilaksanakan oleh DKPP. DKPP dalam mendukung terlaksananya pengadilan etika yang inovatif dan modern, telah menetapkan aturan tentang tata pelaksanaan organisasi antara lain mengenai skema tata cara pelaporan, ketentuan persyaratan administrasi, dan cara persidangan. DKPP juga telah mengupayakan sidang yang cepat dan dimungkinkan hanya sekali atau dua kali, atau maksimal empat kali jika memang kasus yang ditangani besar. Sejak DKPP didirikan, instansi ini sangat efektif dengan putusan yang berdampak jera bagi pelanggarnya. Penyelenggara pemilu yang dikenakan hukuman atau sanksi berupa pemberhentian dengan tidak hormat berdasarkan putusan. Sehingga dapat mempengaruhi terhadap nama baik pribadi dan keluarga yang terkait. Sepak terjang instansi ini sampai pada penyelenggara pemilu yang sifatnya ad hoc seperti KPPS, PPK, PPS bahkan KPPS Luar Negeri. Pada praktiknya DKPP dapat dijadikan model untuk lembaga etik lain, terutama dalam mendukung penegakan hukum di Indonesia. Sebagaimana Pasal 110 ayat (1) UU Pemilu, tujuan dibentuknya DKPP yaitu untuk menjaga kemandirian, integritas dan kredibilitas KPU dan Bawaslu agar pemilu tentu berjalan dengan baik dan benar. Penyelenggara pemilu yang dimaksud terdiri dari anggota Bawaslu, KPU, maupun segenap jajarannya. Dalam memastikan penyelenggara pemilu tetap menjaga kemandirian, integritas dan kredibilitasnya. DKPP menitikberatkan dalam pelaksanaan asas penyelenggara pemilu, sebagaimana tercantum pada Pasal 2 UU Pemilu, meliputi asas adil, jujur, mandiri, kepastian hukum, kepentingan umum, terbuka, akuntabilitas, tertib, proporsionalitas, profesionalitas, efektif dan efisien. Berdasrakan Putusan MK No. 11/PUU-VIII/2010 tentang pengujian UU Nomor 22 Tahun 2007 terhadap UUD 1945. Berdasarkan putusan MK tersebut, bahwasanya secara kelembagaan, DKPP memiliki kedudukan yang sejajar dengan KPU mapun Bawaslu. Lembaga tersebut sama-sama merupakan instansi penyelenggara pemilu, yang bersifat nasional, tetap dan mandiri, yang diatur oleh Pasal 22E ayat (5) UUD 1945. Merujuk pada UU Pemilu, DKPP diposisikan sebagai institusi yang sifatnya tetap dan berkedudukan di ibukota negara. Selain itu, DKPP juga merupakan instansi yang sebenarnya tergolong sebagai state auxiliary institutions, atau auxiliary organs yang artinya bahwa DKPP merupakan lembaga negara yang sifatnya „penunjang‟. Di antara sekian banyak lembaga-lembaga negara adapula yang disebut sebagai self regulatory agencies, independent supervisory bodies, atau lembaga-lembaga yang menjalankan fungsi mix-funcion (campuran). Fungsi yang dimaksud adalah antara fungsi administratif, regulatif dan fungsi penghukuman yang justru dilakukan secara bersamaan oleh lembaga-lembaga baru padahal seharusnya harus dipisahkan. DKPP dalam upaya melaksanakan tugas dan fungsi berdasarkan Pasal 111 ayat (4) UU Pemilu, memiliki kewenangan untuk, (1) memanggil penyelenggara pemilu yang diduga melakukan pelanggaran kode etik untuk memberikan penjelasan dan pembelaan; (2) memanggil pelapor, saksi, dan/atau pihak- pihak lain yang terkait untuk dimintai keterangan termasuk dokumen atau bukti lain; dan (3) memberikan sanksi kepada penyelenggara pemilu yang terbukti melanggar kode etik. 408 | Peran Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu dalam Menjaga Kemandirian dan Integritas ... Hal tersebut yang ingin dipelopori dan dirintis oleh lembaga DKPP, yaitu agar sistem ketatanegaraan Indonesia didukung berdasarkan sistem hukum maupun sistem etik yang sifatnya fungsional. Pembangunan sistem demokrasi yang hendak dibangun agar didukung dengan baik dan tegak serta sercara bersamaan melaksanakan sitem hukum dan etika. Pembangun sistem demokrasi yang yang kuat dan sehat harus dilaksanakan di Indonesia dengan didukung oleh pelaksanaan „the rule of ethics and the rule of law‟ dengan serentak. “The Rule of Ethics” bekerja berdasarkan kode etik sedangkan “The Rule of Law” bekerja berdasarkan “Code of Law”. Penegakan keduanya dilakukan melalui proses peradilan yang independen, terbuka dan imparsial, yaitu peradilan etika (Court of Ethics) untuk menyelesaiakan permasalaha dalam bidang etika dan peradilan hukum (Court of Law) untuk permasalahan hukum secara luas. Putusan oleh DKPP menghasilkan putusan dengan harapan dan pandangan baru yang ingin dicapai terhadap kehidupan hukum maupun ketatanegaraan Indonesia di kemudian hari. Hal tersebut juga termasuk putusan yang dipublikasikan yang menjadi wacana baru dalam court of ethics (peradilan etik) sebagai bentuk sifat transparansi dari putusan DKPP yang perlu diketahui masyarakat luas. Publikasi dari putusan tersebut dimaksudkan agar masyarakat memiliki tempat dan ruang lebih besar dan luas untuk ikut serta dalam mengoreksi, menilai dan mengawal terhadap putusan yang dihasilkan. Hal ini dikarenakan putusan tersebut bersifat final and binding, berdasarkan pada Pasal 112 ayat (12) UU Pemilu. Berdasarkan ketentuan Pasal 109 ayat (2) UU Pemilu, secara tersirat menyatakan bahwa kewenangan DKPP adalah memeriksa, memutus perkara pengaduan dan/atau laporan dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan anggota Bawaslu, anggota Bawaslu Provinsi, dan anggota Panwaslu Kabupaten/Kota, anggota Panwaslu Kecamatan, anggota Pengawas Pemilu Lapangan, dan anggota Pengawas Pemilu Luar Negeri serta anggota KPU (KPU Provinsi- Kabupaten/Kota), anggota PPK, anggota PPS, anggota PPLN, anggota KPPS, anggota KPPLSN, dan anggota Komisi Independen Pemilih (KIP) Aceh dan jajarannya di kabupaten/kota. 11 DKPP tidak hanya memberikan sanksi terhadap anggota yang terbukti melakukan pelanggaran kode etik, akan tetapi juga mengimplementasikan hukuman berdasarkan ketentuan disiplin kode etik kepegawaian untuk jajaran sekretariat penyelenggara pemilu melalui atasan masing-masing. Oleh karena itu, berdasarkan prinsip penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dan transparan DKPP, ketika laporan dan aduan diterima terlebih dahulu instansi ini melakukan penyelidikan, verifikasi, dan pemeriksaan pengaduan atau laporan dugaan pelanggaran kode etik penyelenggara Pemilu yang diduga melakukan pelanggaran kode etik. DKPP memiliki kewenangan untuk memutuskan status pengaduan atau laporan yang diajukan yang 11 Jimly Asshiddiqie, Ketentuan Teknis Tugas dan Fungsi Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu “Mengawal Kehormatan Pemilu” . Makalah disampaikan dalam kegiatan Sosialisasi Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum Republik Indonesia dengan jajaran Pemerintahan Provinsi Aceh, LSM, Ormas, OKP, Parpol, Media Massa dan Akademisi, di Aula Kantor Gubernur Aceh pada Hari Jumat tanggal, 21 Juni, dan Hari Sabtu tanggal 22 Juni 2013 di Ballrom Rektorat UNSIYAH Aceh. 409 | LENTERA HUKUM kemudian dapat di proses atau tidak. Jika ternyata diproses, maka berdasarkan mekanisme pengadu dan teradu kemudian dilakukan pemberitahuan. Kemudian jika ternyata laporan tersebut tidak di proses, berarti laporan tersebut salah satu alasannya yaitu tidak cukup bukti dan kurang memenuhi unsur dissmissal. Ratio legis berasal dari pendapat mahkamah pada Putusan MK No. 11/ PUU- VIII/2010 yang menguraikan bahwa Pasal 22E ayat (5) UUD 1945 menentukan bahwa, pemilu diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap dan mandiri. Kalimat “suatu komisi pemilihan umum” dalam UUD 1945 tidak merujuk kepada sebuah nama institusi, akan tetapi menunjuk pada fungsi penyelenggaraan pemilu yang bersifat nasional, tetap dan mandiri. 12 Menurut Mahkamah Konstitusi, fungsi penyelenggaraan pemilu tidak hanya dilaksanakan oleh KPU, akan tetapi juga dilaksanakan oleh Bawaslu. Bahkan, Dewan Kehormatan yang memliki tugas untuk mengawasi perilaku penyelenggara pemilu juga wajib diartikan sebagai instansi penyelenggaraan pemilu yang memiliki fungsi satu kesatuan. Sehingga, jaminan kemandirian penyelenggara pemilu menjadi lebih jelas dan nyata. 13 Menilai bahwasanya keberadaaan DKKPU tidaklah efektif, sebagaimana dalam Putusan MK No. 11/ PUU- VIII/2010, keberadaan Dewan Kehormatan yang bersifat permanen adalah penting. Oleh karena itu, keberadaan DKPP adalah merupakan kebutuhan yang tidak dapat ditawar kembali. Putusan tersebut menjadi cikal bakal dari pembentukan DKPP. Salah satunya adalah mengenai DKPP yang merupakan satu kesatuan fungsi penyelenggaraaan pemilu yang dinyatakan berdasarkan Pasal 1 angka 22 UU Pemilu. Adapun pascaputusan MK No. 115/PHPU.D-XI/2013 dan 31/PUU-XI/2013, Putusan DKPP yang semula secara tegas bersifat final dan mengikat sesuai amanat Pasal 112 ayat (12) UU UU Pemilu. Kemudian berkembang memiliki nilai-nilai pemulihan hak (restoratif justice) seakan-akan telah kehilangan mahkotanya. Hal tersebut berdampak pada lembaga DKPP itu sendiri, karena Putusan DKPP sebagai sebuah produk lembaga tak lagi ditakuti oleh para penyelenggara pemilu karena kepastian hukumnya dapat dibanding melalui Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Hal ini tidak sesuai dengan semangat awal pembuat undang-undang bahwa kehadiran DKPP yakni lembaga yang mewujudkan wujud check and balances di antara lembaga penyelenggara pemilu. Oleh karena itu, menjelang revisi UU Pemilu yang akan mulai dibahas pada tahun 2016 nanti, penting kiranya dilakukan reformulasi lembaga DKPP secara kelembagaan. Perlu diperjelas posisi DKPP dibandingkan dengan lembaga peradilan pada umumnya, posisi lembaga DKPP dan juga penguatan dari putusan DKPP. Penguatan Putusan DKPP adalah penting dan jangan sampai menimbulkan multitafsir karena „putusan‟ adalah vonis dan hal ini berbeda dengan „keputusan‟ yang merupakan produk dari pejabat TUN. 12 Mahkamah Konstitusi, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11/PUU-VIII/2010, Pengujian Undang Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, 18 Maret 2010, hlm. 111. 13 Ibid. 410 | Peran Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu dalam Menjaga Kemandirian dan Integritas ... Penegakan hukum yang berlaku di Indonesia dapat dikatakan sebagai ”communis opinio doctorum”, yang artinya bahwa telah terjadi kegagalan terhadap penegakan hukum yang sekarang dalam mencapai tujuan seperti yang diisyaratkan oleh undang-undang. Sebagai solusinyaa kemudian diperkenalkanlah dan dipraktikkan alternatif dalam penegakan hukum, yaitu Restorative Justice System. Pendekatan yang digunakan dalam sistem ini bukan pendekatan normatif melainkan pendekatan secara sosio-kultural. DKPP dimungkinkan memiliki putusan yang bersifat restoratif justice, dan hal ini dapat terlihat dari objek perkara yang ditangani oleh DKPP. Objek yang ditangani oleh DKPP terbatas hanya kepada persoalan perilaku pribadi pejabat atau petugas penyelenggara pemilu. Objek pelanggaran etika oleh DKPP yang dapat diperkarakan serupa dengan kualifikasi tindak pidana dalam sistem peradilan pidana, yaitu menyangkut sikap dan perbuatan yang mengandung unsur jahat dan melanggar hukum yang dilakukan oleh seseorang. Dengan kata lain, yang dapat dituduh dan dianggap telah melanggar kode etik adalah individu, baik secara sendiri-sendiri atau pun secara bersama-sama, bukan sebagai satu institusi atau lembaga, melainkan sebagai perorangan. Putusan pada MK No 115/PHPU.DXI/2013 yang menilai konstitusionalitas Putusan DKPP No 83/DKPP-PKEII/2013 dan No 84/DKPP-PKE-II/2013, pada dasarnya telah menunjukkan keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum. Tolak ukur dari putusan tersebut yaitu berdasarkan. Pertama, telaah solusi dan arahan dari persoalan tumpang tindih kewenangan antar lembaga penyelenggara pemilu. Kedua, memberikan jaminan kepastian hukum terhadap pencari keadilan ketika pemilu. Ketiga, memberikan jaminan tidak adanya polemik penyalah gunaan kewenangan penyelenggara pemilu di kemudian hari sebagai asas kemanfaatan dan Keempat,putusan MK mengandung aspek stabilitas yaitu ketertiban dan keamanan dalam penyelenggaraan pemilu. DKPP dianggap akan menurunkan kredibilitas penyelenggara pemilu dan berpotensi menimbulkan sengketa pemilu baru, apabila teguran dari MK tersebut dihiraukan dan tetap berpedoman pada keadilan restoratif dengan menguji aspek- aspek dan norma-norma di luar etika penyelenggara pemilu tersebut. Hal yang demikian merupakan konsekuensi yuridis dengan alasan bahwa putusan DKPP yang keluar dari ketentuan dasar hukumnya yaitu menegakkan kode etik penyelenggara pemilu, akan menjadi objek sengketa hasil Pemilu yang penanganannya dilaksanakan oleh MK. Segala akibat hukum yang akan terjadi sudah dapat dipastikan, yakni batal demi hukum. Pemberian tafsir terhadap keabsahan dan konstitusionalitas putusan DKPP yang melampaui kewenangannya berdasrakan putusan MK Nomor 115/PHPU.D-XI/2013, adalah putusan yang cacat hukum dan tidak wajib diikuti. Hal tersebut mengindikasikan bahwa putusan DKPP yang bersifat final and binding memberikan dampak psikologist bagi anggota Bawaslu serta KPU. Dampak yang dimaksud yakni berupa ketakutakan akan sanksi pemecatan atau pemberhentian sementara, pemberhentian dengan tidak hormat dan berpotensi menimbulkan polemik hukum yang tidak berkesudahan. Sifat putusan DKPP yang final and binding juga menegaskan 411 | LENTERA HUKUM kewenangan pembinaan, monitoring dan supervisi yang dimiliki Bawaslu dan KPU. Instansi DKPP tidak termasuk instansi yang menjalankan kekuasaan kehakiman berdasarkan ketentuan Pasal 24 UUD Tahun 1945. Oleh karena itu, putusan DKPP yang bersifat final and binding tidak dapat dipersamakan dengan putusan lembaga peradilan yang bersifat final dan mengikat yang sudah diamanatkan oleh UUD 1945. Aspek penting yang masih belum dimengerti dan dipahami dengan baik bahkan belum mendapat perhatian khusus dalam perkembangannya yaitu mengenai aspek cara pandang tentang keadilan restoratif (restorative justice). Proses peradilan konvensional pada umumnya, sering dipahami dalam konteks paradigma keadilan yang bersifat retributif (retributive justice). Sehingga sanksi utama dalam proses peradilan adalah sistem sanksi hukum yang sifatnya berdampak jera yaitu dengan menghukum dengan penderitaan yang bersifat nestapa. Dalam hukum pidana sebagaimana Pasal 10 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), tersedia sistem sanksi pidana pokok yaitu pidana mati, seumur hidup, penjara, kurungan dan denda serta pidana tambahan lainnya.. Sedangkan dalam konteks sistem peradilan etika sanksi yang dilaksanakan adalah berupa teguran hingga hukuman terberat yaitu pemberhentian sebagai pejabat publik. Semua bentuk hukuman/sanksi tersebut sifatnya merupakan pembalasan dengan cara menghukum dan melampiaskan amarah. Keadilan restoratif merupakan cara pandang sebagai bentuk dari warisan manusia dalam sejarah pramodern yang demi kepentingan masa kini kemudian cenderung mulai direvitalisasi kembali. Oleh karena itu, apabila di kemudian hari ditemukan seseorang terbukti melanggar hukum, hal yang terlebih dahulu harus mendapat perhatian adalah nasib korban yang dalam hal ini mental korban yang harus dipulihkan terlebih dahulu. Permasalahan selanjutnya yaitu apabila dikaitkan dengan peradilan pidana dan peradilan etika penyelenggara pemilu yang tidak berkaitan dengan proses pemilu ataupun dengan hasil pemilu. Melainkan hanya dengan perilaku etik dari aparat penyelenggara pemilu, muncul permasalahan yang belum saatnya dipertimbangkan mengenai hubungan maupun urgensi dari permasalahan tersebut. Sebagai contoh yaitu lima anggota KPU suatu daerah yang kemudian terbukti telah melanggar kode etik. Akibat langsung dari adanya pelanggaran kelima anggota KPU tersebut yaitu menyebabkan pasangan calon (paslon) dari partai tertentu yang digugurkan haknya. Kejadian tersebut ditemukan dalam pemilihan Bupati Pamekasan di Tahun 2012. Tindakan KPU Kabupaten Pamekasan, Madura tersebut harus dipandang telah melanggar kode etik karena KPU Kabupaten Pamekasan secara sengaja tidak meloloskan paslon Drs. H. Achmad Syafi‟i dan Halil sebagai Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Pamekasan walaupun sudah memenuhi syarat sebagaimana ditetapkan peraturan perundang-undangan. Pemecatan ketua dan anggota KPU Kabupaten Pamekasan berdasarkan UU Pemilu dinilai sudah sesuai secara prosedural. Kasus tersebut penting untuk dianalisa dan dikaji dengan tujuan mengetahui bagaimana perkembangan praktik peradilan. Oleh karena itu, dalam hal ini peradilan etika yang di masa depan akan semakin modern, maju dan berkeadilan. Terutama 412 | Peran Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu dalam Menjaga Kemandirian dan Integritas ... apabila ternyata semua aspek pendukung (supporting system) sangat dimungkinkan untuk dilaksanakannya pembaharuan melalui putusan DKPP sebagai peradilan etik. Sebagai contoh, pemberhentian kelima anggota KPU Kabupaten Pamekasan, berdasarkan UU Pemilu, KPU setingkat diatasnya mempunyai tanggung jawab untuk mengambil alih pelaksanaan tugas, fungsi dan kewenangan KPU yang bersangkutan. Akan tetapi, terdapat beberapa rintangan yang harus dihadapi di dalam paktik, sebagai contoh disebabkan kedudukan DKPP masih belum dikenal masyarakat luas karena merupakan lembaga yang baru. Dalam melaksanakan putusan DKPP tersebut, termasuk akibat hukumnya, KPU tingkat provinsi atau KPU yang bersangkutan tidak dapat diharapkan untuk bertindak dengan cepat. Hal ini dikarenakan KPU memiliki wewenang menambahkan pasangan calon yang pada awalnya dianggap tidak memenuhi syarat kemudian dianggap memenuhi persyaratan pasangan calon setelah adanya putusan dari DKPP. Oleh karena itu, dalam upaya membantu KPU Provinsi, DKPP dapat menuangkan nasihat hukum berkaitan dengan hal-hal yang dimaksud ke dalam „ratio-decidendi‟ atau pertimbangan putusan yang secara substantif dapat dipandang sebagai masukan yang sifatnya anjuran moral kepada KPU untuk bertindak. Bahkan, sebagai bentuk dari sifat tegas akan tetapi mudah dipahami, maka DKPP juga dapat melaksanakan pembahruan dengan memberikan pesan-pesan etik pada rumusan amar putusan sehingga putusan tersebut memiliki daya ikat dan daya bimbing etik yang lebih efektif dan kuat. Pembaharuan seperti yang telah dikemukakan di atas, sebenarnya rawan untuk disalahgunakan dan mudah menimbulkan konflik sebagai akibat dari kontroversi atas pro maupun kontra putusan DKPP. Hal tersebut disebabkan karena kesadaran diri mengenai betapa pentingnya perspektif (restorative justice) sangat sedikit dan tipis dikalangan masyarakat. Hukum sekedar dipahami dan dimengerti mengenai teknik prosedural dan formal saja. Hukum nyatanya hanya dianggap sebagai kalimat tekstual, belum dipahami sebagai instrumental dari keadilan yang sifatnya substantif yaitu dengan menyediakan solusi terhadap keadilan dengan konkrit dan pasti dan kepastian dan tetap adil. Pembaharuan seperti hal tersebut mudah dianulir oleh pihak pencari keadilan „justice hunter‟ yang semu. Dalam hal ini berarti DKPP mudah dimanfaatkan dengan sekedar mencari dan memprioritaskan keuntungan pribadi maupun golongan dalam menghadapi keputusan oleh KPU yang dinilai tidak memberikan keuntungan bagi partai politik maupun pihak-pihak yang terkait. Namun, hampir semua institusi penegak kode etik, bahkan sebagian besar dapat dikatakan hanya bersifat performa belaka. Bahkan apabila ditelusuri bahwa sebagian diantaranya bahkan belum pernah melaksanakan tugas dan fungsinya secara efektif dalam rangka penegakan kode etik yang dimaksud. Salah satu penyebabnya bahwa instansi penegak kode etik seperti yang disebutkan di atas tidak mempunyai kedudukan kelembagaan yang independen dan mandiri. Hal ini menyebabkan kinerja lembaga yang tidak efektif. Oleh karena itu, menurut hemat penulis, institusi-institusi penegakan atas kode etik harus 413 | LENTERA HUKUM direkonstruksikan atau dibuat sebagai suatu lembaga peradilan etik yang harus dan diwajibkan untuk menerapkan dan melaksanakan prinsip-prinsip peradilan yang sudah cukup lazim di era saat ini. III. KESIMPULAN Peran DKPP dalam menjaga kemandirian dan integritas penyelenggara pemilu di Indonesia berdasarkan atas Pasal 110 ayat (1) UU Pemilu. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga kemandirian, integritas dan kredibilitas KPU dan Bawaslu agar pemilu berjalan dengan baik dan benar. Sehingga dalam melaksanakan tugasnya DKPP menitikberatkan pada pelaksanaan asas-asas penyelenggara pemilu meliputi asas jujur, adil, mandiri, berkepastian hukum, proporsionalitas, keterbukaan, kepentingan umum, profesionalitas, efisiensi, efektivitas, akuntabilitas dan tertib. Memperkuat peran DKPP dalam menjaga kemandirian dan integritas penyelenggara pemilu di Indonesia yaitu dengan penguatan kewenangan DKPP. Penguatan yang dimaksud yakni dengan pencantuman retoratif justice dalam revisi UU Pemilu. Sehingga DKPP dengan jelas akan memiliki landasan hukum yang kuat secara atributif dari undang-undang. Dengan demikian, putusan DKPP ke depan yang bersifat retoratif justice tidak dianggap oleh Mahakmah Konstitusi sebagai putusan yang cacat hukum dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sebagaimana dalam putusan MK No. 115/PHPU.DXI/ 2013. DAFTAR PUSTAKA Asshiddiqie, Jimly. 2006. Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI). Asshiddiqie, Jimly. 2013. Ketentuan Teknis Tugas dan Fungsi Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu “Mengawal Kehormatan Pemilu” . Makalah disampaikan dalam kegiatan Sosialisasi Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum Republik Indonesia dengan jajaran Pemerintahan Provinsi Aceh, LSM, Ormas, OKP, Parpol, Media Massa dan Akademisi, di Aula Kantor Gubernur Aceh pada Hari Jumat tanggal, 21 Juni, dan Hari Sabtu tanggal 22 Juni 2013 di Ballrom Rektorat UNSIYAH Aceh. Pengaduan Pemilu selama 2016, http://news.liputan6.com/read/2678124/dkpp-terima- 302-pengaduan-pemilu-selama-2016, Diakses pada 27 September 2017. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11/PUU-VIII/2010. Rajab, Achmadudin. 2015. Kekuatan Putusan DKPP Sebagai Peradilan Etik Dalam Kerangka Restorative Justice Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 115/PHPU.D-XI/2013 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nmor 31/PUU-XI/2013 ( Jakarta: Jurnal Etika dan Pemilu, Vol.1 No.2, Agustus 2015). Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu. 414 | Peran Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu dalam Menjaga Kemandirian dan Integritas ... This page is intentionally left blank