Lentera Hukum, Volume 2 Issue 3 (2015), pp.179-192 ISSN 2355-4673 (Print) 2621-3710 (Online) https://doi.org/10.19184/ ejlh.v2i3.6169 Published by the University of Jember, Indonesia Available online 21 December 2015 Perlindungan Hukum Pekerja Penyandang Cacat Menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan Muhammad Fadli Ramadhan University of Jember, Indonesia ramadhanfadly@gmail.com ABSTRACT The understanding of the community for people with whom diffability has always been considered an inability someone physically so that diffability regarded as sick people who always need help and comfort to the aid for both in terms of their education as well as a job. Now the condition is changed in the priesthood there any intervention from the government that very glows amber metal out of the field of labor affairs so that this superior wisdom whose is issued by a government but how much broad, not only legal aspects that deals with a working relationship and calm but before and after a working relationship. This concept in an obscure manner accommodated in act number 13 the year 2003 on manpower regarding. Diffability must be viewed as a social inability that anyone can participate to protect the minorities, of course, the social approach is the main road that could be pursued. Here is required legal protection for diffability people so that diffability people can find a legal certainty that rights for a people with the diffability KEYWORDS: Legal Protection, Workers, People with Dasabilities. Copyright © 2015 by Author(s) This work is licensed under a Creative Commons Attribution-ShareAlike 4.0 International License. All writings published in this journal are personal views of the authors and do not represent the views of this journal and the author's affiliated institutions. Submitted: October 05, 2015 Revised: December 08, 2015 Accepted: December 20, 2015 HOW TO CITE: Ramadhan, Muhammad Fadli. “Perlindungan Hukum Penyandang Cacat Menuru Undang- Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan” (2015) 2:3 Lentera Hukum 179-192 180 | Perlindungan Hukum Penyandang Cacat Menuru Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan I. PENDAHULUAN Pengertian perlindungan hukum menurut ketentuan Pasal 1 butir 6 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban menentukan bahwa perlindungan adalah segala upaya pemenuhan hak dan pemberian bantuan untuk memberikan rasa aman kepada Saksi dan/atau Korban yang wajib dilaksanakan oleh LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban) atau lembaga lainnya sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini. Menurut Philipus M. Hadjon: “Perlindungan hukum bagi rakyat dikenal dengan dua bentuk, yaitu perlindungan yang bersifat preventif dan perlindungan yang bersifat represif. Perlindungan hukum yang bersifat represif kepada warga negara diberikan kesempatan untuk mengajukan keberatan atau pendapatnya sebelum suatu keputusan pemerintah mendapat bentuk yang definitif. Dengan demikian, perlindungan hukum yang bersifat preventif bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa, sedangkan sebaliknya perlindungan hukum yang bersifat represif bertujuan untuk menyelesaikan sengketa”.1 Pengertian perlindungan hukum menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia adalah perlindungan yang diberikan terhadap hukum agar tidak ditafsirkan berbeda dan tidak diciderai oleh aparat penegat hukum dan juga bisa berarti perlindungan yang diberikan oleh hukum terhadap suatu hal tertentu.2 Berdasarkan beberapa pengertian diatas, dapat dipahami bahwa suatu perlindungan hukum merupakan suatu upaya atau tindakan melindungi terhadap subjek hukum. Perlindungan hukum juga merupakan suatu upaya pemerintah dalam membentuk aturan sebagai upaya melindungi dan melakukan penegakan hukum. Philipus M. Hadjon dengan menitik beratkan pada “tindakan pemerintah” (bestuureshandeling atau administrative action) membedakan perlindungan hukum bagi rakyat Indonesia menjadi dua macam :3 Perlindungan hukum preventif bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa yang memberi rakyat untuk mengajukan keberatan (inspraak) atau pendapatnya sebelum keputusan pemerintah mendapat bentuk yang definitif, yang sangat besar artinya bagi tindakan pemerintahan yang didasarkan kepada kebebasan bertindak karena pemerintah terdorong untuk bersikap hati-hati dalam pengambilan keputusan berdasarkan diskresi. Perlindungan hukum represif bertujuan untuk menyelesaikan terjadinya sengketa dalam arti luas termasuk penanganan perlindungan hukum bagi rakyat oleh peradilan umum dan peradilan administrasi di Indonesia. Philipus M. Hadjon menjelaskan bahwa perlindungan hukum preventif meliputi setiap individu sebagai anggota masyarakat berhak menuntut pemenuhan hak mereka sebagai upaya mewujudkan keadilan (the right to be heard) dan perlindungan hukum yang diupayakan oleh pemerintah dengan cara membuka akses yang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk memperoleh informasi tentang proses penemuan hak mereka (acces to information), sebagai wujud dari pelaksanaan pemerintahan yang baik. Arti penting the right to be heard 1 Philipus M. Hadjon, 2007, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, Surabaya: Peradaban, hlm. 2. 2 WJS. Purwodarminto, 1999, cetakan XI, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, hlm. 60. 3 Philips M Hadjon, Op.Cit. 181 | LENTERA HUKUM adalah pertama, individu yang terkena tindakan pemerintah dapat mengemukakan hak- haknya dan kepentingannya, sehingga menjamin keadilan. Kedua, menjunjung pelaksanaan pemerintahan yang baik.4 Perlindungan hukum tenaga kerja menurut Iman Soepomo membagi perlindungan pekerja menjadi 3 (tiga) macam, yaitu sebagai berikut:5 1. Perlindungan ekonomis, yaitu suatu jenis perlindungan yang berkaitan dengan usaha-usaha untuk memberikan kepada pekerja suatu penghasilan yang cukup memenuhi keperluan sehari-hari baginya beserta keluarganya, termasuk dalam hal pekerja tersebut tidak mampu bekerja karena sesuatu di luar kehendaknya. 2. Perlindungan ini disebut dengan jaminan sosial. Perlindungan sosial, yaitu suatu perlindungan yang berkaitan dengan usaha kemasyarakatan, yang tujuannya memungkinkan pekerja itu mengenyam dan mengembangkan prikehidupannya sebagai manusia pada umumnya dan sebagai anggota masyarakat dan anggota keluarga, atau yang biasa disebut kesehatan kerja. 3. Perlindungan teknis, yaitu suatu jenis perlindungan berkaitan dengan usaha-usaha untuk menjaga pekerja dari bahaya kecelakaan yang dapat ditimbulkan oleh pesawat-pesawat atau alat kerja lainnya atau oleh bahan yang diperoleh atau dikerjakan perusahaan. Perlindungan jenis ini disebut dengan kecelakaan kerja. Perlindungan seperti yang diutarakan oleh Soepomo dalam buku milik Eko Wahyudi merupakan kebutuhan perlindungan yang harus dipenuhi oleh pengusaha dalam hal melindungi tenaga kerjanya. Perlindungan ini menjadi suatu bentuk jaminan bagi setiap tenaga kerja sehingga tidak perlu mengkhawatirkan resiko kerja. Resiko kerja baik berupa fisik, teknis ataupun ekonomi. Perburuhan atau hukum ketenagakerjaan terdapat beberapa istilah yang beragam, seperti buruh, pekerja, karyawan, pegawai, majikan, atau pengusaha. Istilah buruh sejak dulu sudah popular dan kini masih sering dipakai sebagai sebutan untuk kelompok tenaga kerja yang sedang memperjuangkan program organisasinya. Istilah pekerja dalam praktik sering dipakai untuk menunjukkan status hubungan kerja, seperti pekerja kontrak, pekerja borongan, pekerja harian, pekerja honorer, pekerja tetap, dan sebagainya. Adapun istilah karyawan atau pegawai lebih sering dipakai untuk data administrasi.6 Kata pekerja memiliki pengertian luas, yakni setiap orang yang melakukan pekerjaan, baik di dalam hubungan kerja maupun swapekerja. Istilah yang sepadan dengan pekerja ialah karyawan, yakni orang yang berkarya atau bekerja yang lebih diidentikkan pada pekerja nonfisik serta sifat pekerjaannya halus atau tidak kotor. Adapun istilah pegawai adalah setiap orang yang bekerja pada emerintah, yakni 4 Ibid, hlm. 3. 5 Eko Wahyudi, Wiwin Yulianingsih, Moh. Firdaus Sholihin, 1992, Hukum Ketenaga- kerjaan, Jakarta: Sinar Grafika, hlm. 33. 6 Ibid, hlm. 1. 182 | Perlindungan Hukum Penyandang Cacat Menuru Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan pegawai negeri, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang pokok-pokok Kepegawaian.7 Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia penyandang diartikan dengan orang yang menyandang (menderita) sesuatu. Sedangkan cacat merupakan kata bahasa Indonesia yang berasal dari kata serapan bahasa Inggris difability (jamak: disabilities) yang berarti cacat atau ketidakmampuan.8 Menurut John C. Maxwell, penyandang disabilitas merupakan seseorang yang mempunyai kelainan dan/atau yang dapat mengganggu aktivitas.9 Sementara itu, Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas (Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016) menyebutkan bahwa penyandang disabilitas adalah setiap orang yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan/atau sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga negara lainnya berdasarkan kesamaan hak. Prinsip Negara hukum yang dianut Indonesia adalah Negara hukum modern, Negara hukum pancasila maka fungsi peraturan perundang-undangan bukanlah hanya memberi bentuk endapan nilai-nilai atau norma-norma yang hidup dalam masyarakat dan juga bukan sekedar fungsi Negara di bidang peraturan, namun peraturan perundang-undangan adalah salah satu metode dan instrument ampuh yang tersedia untuk mengatur dan mengarahkan kehidupan masyarakat dan menuju cita-cita yang di harapkan. Dalam Negara hukum modern, peraturan perundang-undangan diharapkan mampu untuk “berjalan didepan” memimpin dan membimbing perkembangan serta perubahan masyarakat.10 Pada konteks tersebut maka pembentukan undang-undang merupakan salah satu unsur penting disamping unsur-unsur lainnya dalam rangka pembangunan hukum nasional, sementara itu untuk menghasilkan undang-undang yang sesuai dengan dinamika masyarakat, lebih-lebih lagi pada era globalisasi dewasa ini yang dipicu oleh kemajuan teknologi informasi, dan tidak tumpang tindih dengan peraturan perundang-undangan yang ada (secara horizontal), serta tidak bertentangan dengan Undang Undang Dasar 1945 (secara vertikal).11 Untuk mengetahui apakah Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 berkarakter hukum responsif atau berkarakter hukum ortodoks, maka dalam studi ini digunakan indikator dalam proses pembuatan hukum, sifat fungsi hukum, dan kemungkinan penafsiranna. Pada produk hukum yang berkarakter responsif, proses pembuatannya 7 Ibid, hlm. 2. 8 Pusat Bahasa, 2008, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ke empat, Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta: Gramedia. 9 Sugiono, Ilhamuddin, dan Arief Rahmawan, 2014, Klasterisasi Mahasiswa Difabel Indonesia Berdasarkan Background Histories dan Studying Performance 1Indonesia Journal of Disability Studies, hlm. 20& 21. 10 Tim Pengajar Teori Perundang-undangan Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009, Teori perundang-undangan, dalam laporan akhir Penyusunan Naskah akademik RUU Perubahan Atas UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undanga, Badan Pembinaan Hukum Nasional, hlm 12. 11 Andin Irman Putra, 2008, Penulisan Kerangka Ilmiah Tentang Peran Prolegnas Dalam Perencanaan Pembentukan Hukum Nasional Berdasarkan Uud 1945 (Pasca Amandemen), hlm. 1. 183 | LENTERA HUKUM bersifat partisipatif, yakni mengundang sebanyak-banyaknya partisipasi masyarakat melalui kelompok-kelompok sosial dan individu didalam masyarakat, sedangkan proses pembuatan produk hukum yang berkarakter ortodoks bersifat sentralistik dalam arti lebih didominasi oleh lembaga negara terutama pemegang kekuasaan eksekutif.12 Mengkaji pengertian yang di berikan oleh pakar hukum Indonesia Imam Soepomo tampak jelas bahwa hukum perburuhan setidak-tidaknya mengandung unsur yaitu: Himpunan peraturan (baik tertulis dan tidak tertulis), Berkenaan dengan suatu kejadian atau peristiwa, Seseorang bekerja pada orang lain, Upah.13 Peran tenaga kerja dalam pembangunan nasional semakin meningkat dengan disertai berbagai tantangan dan risiko yang dihadapinya. Oleh karena itu, kepada tenaga kerja perlu diberikan perlindungan, pemeliharaan dan peningkatan kesejahteraan, sehingga pada gilirannya akan dapat meningkatkan produktivitas nasional. Peran serta tenaga kerja tersebut menuntut peningkatan kualitas sumber daya manusia dalam pelaksanaan pembangunan nasional, baik sebagai pelaku pembangunan maupun sebagai tujuan pembangunan. Pembangunan tenaga kerja berperan meningkatkan produktivitas nasional dan kesejahteraan masyarakat. Oleh karenanya, tenaga kerja harus diberdayakan supaya mereka memiliki nilai lebih dalam arti lebih mampu, lebih terampil dan lebih berkualitas, agar dapat berdaya guna secara optimal dalam pembangunan nasional dan mampu bersaing dalam era global. Kemampuan, keterampilan dan keahlian tenaga kerja perlu terus ditingkatkan melalui perencanan dan program ketenagakerjaan termasuk pelatihan, pemagangan dan pelayanan penempatan tenaga kerja. Berdasarkan uraian di atas, maka titik pandang terhadap pekerja merupakan penentu paradigma politik hukum ketenagakerjaan, yaitu mencakup pandangan tentang manusia dan kerja, relasi antara manifestasi kerja (tenaga) dengan upah, dan hak dasar pekerja. Agenda politik hukum ketenagakerjaan ini akan dioperasionalkan apabila terdapat suatu kondisi yang mendukungnya, baik secara sistemik maupun kulturnya yang di dalamnya diperlukan suatu tindakan yang aktual, yaitu membangun kekuatan pekerja, hubungan sosial pekerja dengan produksinya, perlindungan pekerja dengan produksinya, dan kesejahteraan spiritual pekerja. Implementasi dari agenda tersebut titik tekannya bukan hanya sekedar instrumen tetapi akses, mendorong kuantitatif mendidik kualitatif, dan membangun sistem. Di samping itu dalam penegakkan hukum ketenagakerjaan meliputi instrumen keberpihakkan kepada kepentingan pekerja dan merintis peradilan pekerja (peradilan hubungan industrial) yang bermuara pada keadilan dengan proses penyelesaian sederhana, cepat dan biaya ringan (justice delayed, justice denied) dengan tetap mengindahkan prinsipprinsip ketertiban, keadilan, kebenaran dan kepastian hukum dalam menegakkan hukum ketenagakerjaan di Indonesia. Penyandang Cacat merupakan salah satu bagian dari masyarakat yang juga mempunyai hak asasi manusia yang harus di perhatikan dan dipenuhi agar mereka pun 12 Moh. Mahfud. M. D., Politik Hukum di Indonesia, LP3ES, Jakarta, 2001, hlm. 26. 13 Lalu Husni, 2000, Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, hlm. 23. 184 | Perlindungan Hukum Penyandang Cacat Menuru Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan bias hidup dengan layak sebagaimana mestinya. Mereka sama seperti halnya masyarakat lainnya yang mempunyai hak-hak dasar seperti hak hidup, hak kebebasan, atau hak kemerdekaan, hak milik dan hak dasar lain pada diri pribadi manusia dan tidak bias di ganggu gugat oleh orang lain.14 Penyandang Difaabilitas memiliki kedudukan, hak dan kewajiban yang sama dengan masyarakat non disabilitas. Sebagai bagian dari warga negara Indoesia, sudah sepantasnya penyandang disabilitas mendapatkan perlakuan khusus, yang dimaksudkan sebagai upaya perlindungan dari kerentanan terhadap berbagai tindakan diskriminasi dan terutama perlindungan dari berbagai pelanggaran hak asasi manusia. Perlakuan khusus tersebut dipandang sebagai upaya maksimalisasi penghormatan, pemajuan, perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia universal.15 Peraturan yang mengatur kaum Difabel terdapat di pasal 67 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan menyatakan bahwa “Pengusaha yang mempekerjakan tenaga kerja penyandang cacat wajib memberikan perlindungan sesuai dengan jenis dan derajat kecacatannya” namu di Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 ini masih belum sepenuhnya mengatur perlindungan bagi pekerja penyandang Dfabel perlindungan yang di maksud seperti perlindungan hukum, yang meliputi hak dan kewajiban dari kaum Difabel. Peraturan yang mengatur kaum Difabel selain Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 yaitu Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. Di dalam pasal 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 menyatakan bahwa “Penyandang Disabilitas adalah setiap orang yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan/atau sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga negara lainnya berdasarkan kesamaan hak” namun pada pasal 53 angka 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 menyatakan bahwa “Pemerintah, Pemerintah Daerah, Badan Usaha Milik Negara, dan Badan Usaha Milik Daerah wajib mempekerjakan paling sedikit 2% (dua persen) Penyandang Disabilitas dari jumlah pegawai atau pekerja”. Pada dasarnya pekerja merupakan bagian dari faktor produksi yang sangat penting bagi perusahaan, karena dapat mempengaruhi kegiatan perusahaan. Hal tersebut dikarenakan pekerja merupakan faktor produksi yang dapat mengelola faktor produksi lain perusahaan.16 Diharapkan pekerja dapat mengelola faktor produksi lain perusahaan dengan baik sehingga pada akhirnya perusahaan dapat mencapai tujuan perusahaan secara efektif dan efisien, antara lain menekan biaya produksi dan meningkatkan keuntungan perusahaan.17 Oleh karena itu pengusaha dalam merekrut 14 Hasan Suryono dkk, 2014, Pendidikan Kewarganegaraan Sebagai Pengembangan Kepribadian di Perguruan Tinggi, Surakarta UNS Press, hlm. 87. 15 Majda El Muhtaj, 2008, Dimensi‐Dimensi HAM Mengurai Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, RajaGrafindo Persada, Jakarta, hlm. 273. 16 Iskandar P. Nababan, Pengaruh Kompensasi Non‐Finansial Terhadap Motivasi Kerja Karyawan (Studi Kasus Di PDAM Tirta Raharja Kabupaten Bandung), Fakultas Bisnis dan Manajemen Universitas Widyatama, Bandung, hlm. 1. 17 Ibid . 185 | LENTERA HUKUM pekerja sangat berhati-hati, sehingga dapat mempekerjakan pekerja yang memiliki kualitas dan dapat bekerja maksimal bagi perusahaan. Penyandang disabilitas bagi sebagian orang salah satunya pengusaha, masih dipandang sebagai seseorang yang tidak dapat bekerja dengan baik dan tidak memiliki keahlian. Bahkan masih banyak pihak yang menganggap penyandang disabilitas sebagai seseorang yang tidak sehat secara fisik maupun mental. Dalam masalah kesempatan untuk mereka bekerja juga sangat penting untuk di perhatikan bagi penyandang Cacat mengenai bimbingan karier bagi mereka. Bimbingan karier disini maksudnya adalah bantuan yang di berikan kepada individu kepada penyandang Cacat dalam memilih, mempersiapkan, memasuki dan mengembangkan pekerjaannya. Undang-undang ataupun ahli mengartikan penyandang cacat bermacam- macam. Pengertian mengenai cacat juga dapat diartikan bermacam-macam apabila di pandang dari segi pandang masyarakat. Masyarakat menganggap bahwa cacat bisa disebut juga dengan orang berkebutuhan khusus yaitu orang yang hidup dengan berkebutuhan khusus dan memiliki perbedaan dengan orang pada umumnya. Perbedaan ini sering terlihat pada perbedaan fisik mereka dengan orang pada umumnya, selain itu pola pikir dan tingkah laku juga mempengaruhi jenis perbedaan itu sendiri. Karena berkebutuhan khusus tersebut kaum cacat memerlukan bantuan untuk dia mendapatkan hak-haknya sebagai manusia. Hak ini mempengaruhi kelangsungan serta kebutuhan hidup bagi penyandang cacat. Orang yang berkebutuhan khusus dapat di artikan secara luas yaitu orang-orang yang memiliki cacat fisik, atau kemampuan IQ (Intelligence Quotient) rendah, dengan artian mereka memiliki pola pikir yang lemah. Pemahaman masyarakat terhadap kaum cacat selalu dianggap sebagai ketidakmampuan seseorang secara fisik sehingga cacat dianggap sebagai orang sakit yang selalu membutuhkan pertolongan dan bantuan baik dari segi pendidikan maupun pekerjaan. Masyarakat menganggap bahwa kaum cacat tidak memiliki kemampuan bekerja sehingga sering dianggap lemah dan tidak sama dengan manusia pada umumnya. Kaum cacat seringkali disebut sebagai orang yang tidak beruntung. Cacat haruslah dipandang sebagai ketidakmampuan sosial sehingga setiap orang dapat berpartisipasi dalam upaya melindungi kaum minoritas tersebut, tentu saja pendekatan sosial merupakan jalan utama yang dapat ditempuh. Penyandang cacat memiliki kedudukan, hak dan kewajiban yang sama dengan masyarakat non disabilitas. Sebagai bagian dari warga negara Indoesia, sudah sepantasnya penyandang disabilitas mendapatkan perlakuan khusus, yang dimaksudkan sebagai upaya perlindungan dari kerentanan terhadap berbagai tindakan diskriminasi dan terutama perlindungan dari berbagai pelanggaran hak asasi manusia. Perlakuan khusus tersebut dipandang sebagai upaya maksimalisasi penghormatan, pemajuan, perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia universal.18 Salah satu cara untuk meminimalisir diskriminasi terhadap penyandang Cacat adalah dengan cara memberikan perlindungan secara penuh dan setara. Hal ini 18 Majda El Muhtaj, 2008, Dimensi‐Dimensi HAM Mengurai Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, RajaGrafindo Persada, Jakarta, hlm. 273. 186 | Perlindungan Hukum Penyandang Cacat Menuru Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan sebagaimana diatur dalam Pasal 3 huruf a Undang-Undang No. 8 Tahun 2016 yaitu untuk mewujudkan penghormatan, pemajuan, perlindungan, dan pemenuhan hak asasi manusia serta kebebasan dasar penyandang Cacat secara penuh dan setara. Maksud dengan setara disini adalah menempatkan penyandang Cacat setara atau sejajar dengan orang non Cacat atau dengan istilah memanusiakan manusia (memanusiakan penyandang Cacat).19 II.BENTUK PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PEKERJA PENYANDANG CACAT Pelaksanaan dan pemberian perlindungan untuk pekerja penyandang Cacat dilakukan oleh pemerintah dan pengusaha yang memperkerjakan penyandang Cacat, karena pemerintah memiliki kewajiban untuk memberikan suatu perlindungan kepada penyandang Cacat begitu juga pengusaha yang harus ikut serta untuk membantu pemerintah memberikan perlindungan kepada pekerja penyandang Cacat didalam pelaksanaannya, agar pekerja penyandang cacat bisa berkontribusi ke perusahaan tersebut dan juga untuk mendapatkan haknya sebagai pekerja tanpa adanya perilaku diskriminasi dari siapa saja. Pemerintahan dalam arti luas adalah segala sesuatu yang dilakukan oleh negara dalam menyelenggarakan kesejahteraan rakyatnya dan kepentingan negara sendiri; jadi tidak diartikan sebagai pemerintahan yang hanya menjalankan tugas eksekutif saja, melainkan juga meliputi tugas-tugas lainnya termasuk legislatif dan yudikatif, sehingga sistem pemerintahan adalah pembagaian kekuasaan serta hubungan antara lembaga-lembaga negara yang menjalankan kekuasaan- kekuasaan negara itu, dalam rangka kepentingan rakyat.20 Dalam ilmu negara umum (algemeine staatslehre) yang dimaksud dengan sistem pemerintahan ialah sistem hukum ketatanegaraan, baik yang berbentuk monarki maupun republik, yaitu mengenai hubungan antar pemerintah dan badan yang mewakili rakyat. Ditambahkan Mahfud MD, sistem pemerintahan dipahami sebagai sebuah sistem hubungan tata kerja antar lembaga-lembaga negara.21 Peranan pemerintah sangat penting untuk memberikan hak kepada masyarakatnya, yang di maksud dari peran menurut Soerjono Soekanto,’’peranan lebih banyak menunjukkan suatu fungsi, penyesuaian diri dan sebagai suatu proses, jadi tepatnya adalah seseorang menduduki suatu posisi atau tempat dalam masyarakat serta menjalankan suatu peranan. Pemerintah dalam hal ini yang di maksud adalah pemerintah pusat dan pemerintah daerah, pemerintah pusat yang di maskud adalah presiden yang telah disebutkan oleh Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang penyandang Disabilitas yaitu : Pemerintah Pusat yang selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden Republik 19 Teguh Prasetyo, 2015, Teori Keadilan Bermartabat Prespektif Teori Hukum, Nusa Media, Yogyakarta, hlm. 20. 20 Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, 1983, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, cet. ke-5, Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, hlm. 171. 21 Saldi Isra, 2010, Pergeseran Fungsi Legislatif: Menguatnya model Legislasi Parlementer Dalam Sistem Presidensial Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta, hlm. 23. 187 | LENTERA HUKUM Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia yang dibantu oleh Wakil Presiden dan menteri sebagaimana dimaksud dalam UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pemerintah daerah yang di maksud pemerintah yang memiliki kewenangan di daerah otonom yang telah disebutkan oleh Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang penyandang Disabilitas yaitu : Pemerintah Daerah adalah kepala daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom. Pemberi kerja dalam melakukan penempatan terhadap pekerja penyandang Cacat harus sesuai dengan peraturan mengingat pekerja penyandang Cacat adalah sesorang yang memiliki ketidak normalan terhadap melakukan sesuatu pekerjaan yang diluar kemampuannya, peraturan secara umum menurut pasal 31 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yaitu “Setiap tenaga kerja mempunyai hak dan kesempatan yang sama untuk memilih, mendapatkan, atau pindah pekerjaan dan memperoleh penghasilan yang layak di dalam atau di luar negeri” penempatan tenaga kerja dilaksanakan berdasarkan asas-asas yang telah di atur dalam pasal 32 Undang- Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang menyatakan bahwa “Penempatan tenaga kerja dilaksanakan berdasarkan asas terbuka, bebas, obyektif, serta adil, dan serta tanpa diskriminasi”, penempatan tenaga kerja dalam lingkup pekerja penyandang Cacat itu sendiri masih belum di atur di dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan namun penempatan tenaga kerja penyandang Cacat diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tepatnya di dalam pasal 48 yang menyatakan bahwa “Pemberi Kerja dalam penempatan tenaga kerja Penyandang Disabilitas dapat: a) memberikan kesempatan untuk masa orientasi atau adaptasi di awal masa kerja untuk menentukan apa yang diperlukan, b) termasuk penyelenggaraan pelatihan atau magang, c) menyediakan tempat bekerja yang fleksibel dengan menyesuaikan kepada ragam disabilitas tanpa mengurangi target tugas kerja, d) menyediakan waktu istirahat, e) menyediakan jadwal kerja yang fleksibel dengan tetap memenuhi alokasi waktu kerja, f) memberikan asistensi dalam pelaksanaan pekerjaan dengan memperhatikan kebutuhan khusus Penyandang Disabilitas dan memberikan izin atau cuti khusus untuk pengobatan”. Pemenuhan hak kesejahteraan bagi pekerja menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 bisa dijadikan pedoman untuk mensejahterakan pekerja penyandang Cacat mengingat hak kesejahterahan termasuk hak dari kaum Difabel karena hak termasuk suatu perlindungan yang diberikan kepada kaum Difabel, secara umum kesejahteraan pekrja menurut pasal 100 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yaitu “Untuk meningkatkan kesejahteraan bagi pekerja/buruh dan keluarganya, pengusaha wajib menyediakan faslitas kesejahteraan”. Peraturan lain juga 188 | Perlindungan Hukum Penyandang Cacat Menuru Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan ada yang mengatur lebih khususnya tentang kesejahteraan pekerja penyandang Cacat yaitu diatur didalam pasal 90 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas bahwa menyatakan “Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib melakukan penyelenggaraan kesejahteraan sosial untuk Penyandang Disabilitas” dan ada juga yang mengatur tentang jaminan sosial kepada penyandang Cacat dalam hal ini dinyatakan dalam pasal 91 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang penyandang Disabilitas menyatakan bahwa “Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib menjamin akses bagi Penyandang Disabilitas untuk mendapatkan rehabilitasi sosial, jaminan sosial, pemberdayaan sosial, dan perlindungan sosial. Maka dari itu pemerintah dan pemerintah daerah harus memperhatikan pelaksanaan dari peraturan yang diterapkan oleh pemberi kerja terhadap pekerja penyandang Cacat agar tidak ada perilaku diskriminatif dan pekerja penyandang Cacat mendapatkan kehidupan yang layak dan mendapatkan hak yang sama seperti orang lain (non Cacat). Tanggung jawab dari pemerintah, pemerintah daerah, dan pengusaha yang lainnya yaitu tanggung jawab atas pengupahan bagi pekerja penyandang Cacat, hal ini sangat penting bagi pekera/buruh yang bekerja disuatu perusahaan, pengertian yang mengatur tentang upah menurut pasal 1 ayat 30 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, upah adalah hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja/buruh, yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan atau peraturan perundang-undangan yang berlaku, termasuk tunjangan bagi pekerja/buruh dan keluarganya atas suatu pekerja dan/ atau jasa yang telah atau dilakukan.22 Ada juga peraturan lain tentang pengertian upah, upah menurut Peraturan Pemerintah Undang-Undang Nomor 78 Tahun 2015 Tentang pengupahan, upah adalah hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja/buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan perundang- undangan, termasuk tunjangan bagi pekerja/buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan/atau jasa yang telah atau akan dilakukan, dalam atauran lain yang mengatur tentang upah berdasarkan pada pasal 3 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan “Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain” dan pengaturan pengupahan secara umum juga telah diatur di dalam pasal 88 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan “Setiap pekerja/buruh berhak memperoleh penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan” dan pasal 91 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan “Pengaturan pengupahan yang ditetapkan atas kesepakatan anatara pengusaha dan pekerja/buruh atau serikat pekerja/buruh tidak boleh lebih rendah dari ketentuan pengupahan yang ditetapkan peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Sering kali permasalahan upah muncul karena kurang terpenuhinya hak para tenaga kerja seperti hak jaminan sosial, hak jaminan kesehatan dan hak upah yang layak oleh 22 Maimun, 2004, Hukum Ketenagakerjaan Suatu Pengantar, Pradnya Paramita, Jakarta, hlm. 42. 189 | LENTERA HUKUM majikan atau si pemberi kerja. Selain hak upah yang layak, tentunya pendapatan upah harus bersifat adil dan sesuai dengan waktu dan jenis pekerjaan. Jika tenaga kerja tidak mendapatkan upah yang sesuai, hal ini akan mempengaruhi tidak hanya pendapatannya, melainkan menurunkan tingkat produktivitas dan tingkat daya belinya. Maka dari itu upah untuk pekerja/buruh sangat perlu di perhatikan oleh pemerintah, pemerintah daerah, dan pengusaha agar tidak terjadi sengketa dengan pekerja/buruh dan pekerja/buruh tersebut dapat meningkatkan produk dari perusahaan tersebut. Didorong adanya tujuan yang sama ini maka timbul hubungan yang saling bergantung antara pengusaha dengan pekerja/buruh dalam proses produksi barang dan/ atau jasa yang kita kenal dengan istilah hubungan industrial. Dalam pelaksanaan hubungan industrial pengusaha dan organisasi pengusaha mempunyai fungsi menciptakan kemitraan, mengembangkan usaha, memperluas lapangan kerja, dan memberikan kesejahteraan kepada pekerja/buruh secara terbuka, demokratis dan berkeadilan. Pekerja/buruh,serikat pekerja/ serikat buruh mempunyai fungsi menjalankan pekerjaan sesuai kewajibannya, menjadi ketertiban demi kelangsungan produksi, menyalurkan aspirasi secara demokratis, mengembangkan keterampilan dan keahliannya serta memajukan perusahaan dan memperjuangkan kesejahteraan anggota beserta keluarganya. Fungsi pemerintah dalam hubungan industrial adalah menetapkan kebijakan, memberikan pelayanan, melaksanakan pengawasan dan melakukan penindakan terhadap pelanggaran peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan. Peranan pemerintah dalam hal ini penting sekali mengingat perusahaan bagi pemerintah betapapun kecilnya merupakan bagian dari kekuatan ekonomi yang menghasilkan barang dan/ atau jasa untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dan sebagai salah satu sumber serta sarana dalam menjalankan program pembagian nasional.23 Peraturan perusahaan adalah peraturan yang dibuat secara tertulis oleh pengusaha yang memuat syarat-syarat kerja dan tata tertib perusahaan. Peraturan perusahaan disusun oleh pengusaha dan menjadi tanggung jawab. Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) orang, apabila dalam perusahaan tersebut belum memiliki Perjanjian Kerja Sama, wajib membuat peraturan perusahaan.24 Pembuatan peraturan perusahaan walaupun dilakukan secara sepihak oleh pengusaha dan pekerja/buruh tidak ikut serta dalam menentukan isinya, tetapi harus tetap dilakukan dengan memperhatikan saran dan pertimbangan dari wakil pekerja/buruh. Apabila dalam perusahaan bersangkutan telah terbentuk Serikat Pekerja/Serikat Buruh maka wakil pekerja/buruh adalah mengurus Serikat Pekerja/Serikat Buruh bersangkutan, tetapi jika belum terbentuk Serikat Pekerja/ Serikat Buruh maka wakil pekerja/buruh dipilih secara demokratis oleh pekerja/buruh agar dapat mewakili kepentingannya.25 Hubungan industrial ini salah satu peran dari pengusaha untuk pekerja/buruh yang di dalamnya berisi peraturan pengusaha yang mengatur tata tertib perusahaan, 23 Ibid. 24 Ibid. 25 Ibid. 190 | Perlindungan Hukum Penyandang Cacat Menuru Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan peraturan hubungan industrian tentang peran pengusaha dalam melakukan fungsinya secara umumnya di atur dalam pasal 102 ayat 3 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menyatakan bahwa “Dalam melaksanakan hubungan industrial, pengusaha dan organisasi pengusahanya mempunyai fungsi menciptakan kemitraan, mengembangkan usaha, memperluas lapangan kerja, dan memberikan kesejahteraan pekerja/buruh secara terbuka, demokratis, dan berkeadilan” dan ada juga sarana hubungan industrial yang diatur dalam pasal 103 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menyatakan bahwa “Hubungan Industrial dilaksanakan melalui sarana: a. serikat pekerja/serikat buruh; b. organisasi pengusaha; c. lembaga kerja sama bipartit; d. lembaga kerja sama tripartit; e. peraturan perusahaan; f. perjanjian kerja bersama; g. peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan; dan h. lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Hubungan industrial ini adalah salah satu hak dari pekerja/buruh dan pekerja penyandang Cacat, pekerja penyandang Cacat juga berhak untuk melaksanakan hubungan industrial ini karena pengusaha tidak boleh melarang bagi pekerja penyandang Cacat untuk melakukan hak hubungan industrial dan juga pengusaha harus mengingat bahwa ada peraturan yang mengatur masalah pekerja penyandang Cacat yang melarang bagi pengusaha untuk perilaku diskriminasi dan membeda-bedakan pekerja/buruh penyandang Cacat dengan pekerja/buruh tidak penyandang Cacat. III.PENUTUP Berdasarkan uraian yang telah disampaikan, dapat disimpulkan bahwa menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan telah memberikan perlindungan hukum bagi pekerja penyandang Cacat. Di dalam pasal 67 Undang- Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menjelaskan bahwa Pengusaha yang mempekerjakan tenaga kerja penyandang cacat wajib memberikan perlindungan sesuai dengan jenis dan derajat kecacatannya, dari penjelasan pasal 67 penyandang Cacat layak di berikan suatu perlindungan hukum baik itu secara preventif atau represif. Bentuk perlindungan hukum yang mengatur pekerja Cacat secara khususnya ada di Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang penyandang Disabilitas. Bentuk perlindungan meliputi hak hidup, hak bebas dari stigma, hak privasi, hak keadilan dan perlindungan hukum, hak pendidikan, hak pekerjaan, kewirausahaan dan koperasi, hak kesehatan, hak politik, hak keagamaan, hak keolahragaan, hak kebudayaan dan pariwisata, hak kesejahteraan social, hak aksebilitas, hak pelayanan publik, hak perlindungan dari bencana, hak habilitasi dan rehabilitasi, hak pendataan, hak hidup secara mandiri dan dilibatkan dalam masyarakat, hak berekspresi, berkomunikasi, dan 191 | LENTERA HUKUM memperoleh informasi, hak kewarganegaraan, hak bebas dari diskriminasi, penelantaran, penyiksaan, dan eksploitasi. Undang-Undang HAM juga menjelaskan tentang perlindungan hukum yang dapat dikaitkan dengan perlindungan hukum penyandang Cacat, dalam pasal Pasal 28 A Undang-Undang Dasar 1945 yang menjelaskan bahwa Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya. Hak untuk hidup adalah hak asasi yang paling dasar bagi seluruh manusia. Hak hidup merupakan bagian dari hak asasi yang memiliki sifat tidak dapat ditawar lagi. Hendaknya pengusaha sebagai pemilik perusahaan dan juga memiliki hak, kewajiban, dan tanggung jawab penuh terhadap pekerjanya sangat penting untuk memperhatikan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan agar tidak ada perselisihan antara pekerja dan pengusaha karena Indonesia membutuhkan perusahaan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya dan juga untuk meningkatkan perekonomian di Negara Indonesia. Pengusaha juga berkewajiban untuk melindungi pekerjanya khususnya pekerja penyandang Cacat yang sesuai dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan Undang-Undang yang mengatur tentang pekerja penyandang Cacat dan pekerja tidak mengalami penyandang Cacat. Pengusaha juga memiliki tanggung jawab terhadap pekerjanya untuk memastikan bahwa pekerja sudah mendapatkan hak-haknya khususnya pekerja penyandang Cacat agar tidak terjadi perselisihan antara pengusaha dan pekerja yang mengakibatkan perusahaan tersebut mengalami penurunan produktifitasnya. DAFTAR PUSTAKA Eko Wahyudi, Wiwin Yulianingsih, Moh. Firdaus Sholihin, 1992, Hukum Ketenagakerjaan, Jakarta: Sinar Grafika. Hasan Suryono, 2014, Pendidikan Kewarganegaraan Sebagai Pengembangan Kepribadian di Perguruan Tinggi, Surakarta UNS Press. Lalu Husni, 2000, Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Jakarta, PT RajaGrafindoPersada. Maimun, 2004, Hukum Ketenagakerjaan Suatu Pengantar, Jakarta: Pradnya Paramita. Majda El Muhtaj, 2008, Dimensi‐Dimensi HAM Mengurai Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, Jakarta: RajaGrafindo Persada. Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, 1983, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, cet. ke- 5, Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Philipus M. Hadjon, 2007, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, Surabaya: Peradaban. Pusat Bahasa, 2008, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ke-4, Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta: Gramedia. Saldi Isra, 2010, Pergeseran Fungsi Legislatif: Menguatnya model Legislasi Parlementer Dalam Sistem Presidensial Indonesia, Jakarta: Rajawali Pers. 192 | Perlindungan Hukum Penyandang Cacat Menuru Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan Sugiono, Ilhamuddin, dan Arief Rahmawan, 2014, Klasterisasi Mahasiswa Difabel Indonesia Berdasarkan Background Histories dan Studying Performance 1Indonesia Journal of Disability Studies, Jakarta: Sinar Grafika. Teguh Prasetyo, 2015, Teori Keadilan Bermartabat Prespektif Teori Hukum, Yogyakarta: Nusamedia. Tim Pengajar Teori Perundang-undangan Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009, Teori perundang-undangan dalam laporan akhir Penyusunan Naskah akademik RUU Perubahan Atas UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undanga, Badan Pembinaan Hukum Nasional. WJS. Purwodarminto, 1999, cetakan XI, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka.