Lentera Hukum, Volume 5 Issue 1 (2018), pp. 31-46
ISSN 2355-4673
https://doi.org/10.19184/ ejlh.v5i1.6553
Published by the University of Jember, Indonesia
Available online 07 May 2018
Dinamika Sikap Tiongkok atas Putusan Mahkamah Arbitrase
Tetap Internasional Nomor 2013-19 dan Pengaruhnya terhadap
Indonesia
Ayu Megawati
University of Jember, Indonesia
aw.mhey@gmail.com
Gautama Budi Arundhati
University of Jember, Indonesia
arundhati_rev_gb@yahoo.co.id
ABSTRACT
The Conflict in South China Sea involves several countries in Southeast Asia, such as the Philippines,
Vietnam, Malaysia, Brunei Darussalam, and Indonesia. It is dealt with the rights of ownership, as a result
of the People Republic of China (PRC) to unveil nine-dashed line which partially claims over South
China Sea. But, it is followed by other countries to release new evidences on the territorial status of
South China Sea. Though the Permanent Court of Arbitration had decided the petition of the Philippines
in 2013, PRC could not admit the Arbitration. Essentially, Indonesia is not directly involved in the case.
But as the evidence provided by PRC, Natuna Islands is part of nine-dashed line in which it asserts that
such islands are regarded part of PRC. As a result, Indonesia needs to anticipate on the further potential
contention of territorial claims as it has islands around the South China Sea.
KEYWORDS: South China Sea Dispute, Permanent Court of Arbitration.
Copyright © 2018 by Author(s)
This work is licensed under a Creative Commons Attribution-ShareAlike 4.0
International License. All writings published in this journal are personal views of the authors and do
not represent the views of this journal and the author's affiliated institutions.
Submitted: January 16, 2018 Revised: February 22, 2018 Accepted: March 12, 2018
HOW TO CITE:
Megawati, Ayu & Gautama Budi Arundhati. “Dinamika Sikap Tiongkok atas Putusan Mahkamah
Arbitrase Tetap Internasional Nomor 2013-19 dan Pengaruhnya terhadap Indonesia” (2018) 5:1 Lentera
Hukum 31–46.
32 | Dinamika Sikap Tiongkok Atas Putusan Mahkamah Arbitrase Tetap Internasional
I. PENDAHULUAN
Tulisan ini membahas sikap Republik Rakyat Tiongkok (RRT) pasca putusan tribunal
mengenai sengketa yang diajukan Filipina pada 2013 lalu mengenai klaim RRT di Laut
China Selatan. Putusan yang dikeluarkan tribunal pada Juli 2016 lalu telah memberikan
gambaran yang cukup signifikan atas aktifitas RRT di Laut China Selatan. Namun
sikap RRT tidak menunjukkan kepatuhan selama proses peradilan hingga tribunal
mengeluarkan putusan tersebut. Sehingga perlu dikaji bagaimana akibat hukum adanya
putusan tribunal itu terhadap stabilitas kawasan. Di samping itu, secara tidak langsung
kawasan yang di klaim RRT melalui sembilan garis putus-putus (nine dash line) itu
menimbulkan tumpang tindih dengan wilayah negara sekitar termasuk Indonesia di
Laut Natuna.
Menyikapi hal tersebut, Indonesia bersama dengan negara anggota ASEAN
lainnya berusaha meningkatkan komunikasi melalui jalur diplomasi untuk menetralisir
situasi dan selanjutnya dapat membangun kembali hubungan ke arah yang lebih
harmonis. dimana solidaritas ASEAN sebagai organisasi regional tengah diuji untuk
menerapkan norma-norma regional dan kebiasaan-kebiasaan regional, seperti
keterlibatan secara multilateral. Melihat posisi Indonesia dan RRT yang berdekatan
secara geografis, menjadi sangat penting secara geopolitik bagi kedua negara ini untuk
menjalin hubungan yang baik meski dalam beberapa kesempatan RRT tidak
menyinggung persoalan tumpang tindih klaim kawasan dengan Indonesia namun
Indonesia tetap harus bersikap tegas terhadap posisinya. Karena sikap RRT tersebut
akan memberikan dampak terhadap Indonesia dan stabilitas keamanan di ASEAN.
II. IMPLIKASI PUTUSAN MAHKAMAH ARBITRASE TETAP
INTERNASIONAL TENTANG SENGKETA LAUT CHINA SELATAN
Kedaulatan atas Laut China Selatan telah banyak menarik perhatian negara-negara
sekitar, hal ini dimulai sejak berakhirnya perang dunia ke II. Pada saat itu Perjanjian
Damai San Fransisco 1951 tidak menentukan secara spesifik wilayah Kepulauan Spratly
dan siapa yang berhak menerima kedaulatan pasca dilepas oleh Jepang.
1
Hal tersebut
kemudian menimbulkan kekosongan kekuasaan geopolitik. Di samping itu, juga
menyebabkan terjadinya klaim tumpang tindih antara negara-negara sekitar seperti
Filipina, Malaysia, Brunei Darussalam, Vietnam dan RRT termasuk Taiwan,
2
yang
mendasarkan klaim menurut kebenaran yang dianut masing-masing negara.
1
Masahiro Matsumura, “San Francisco Treaty and the South China Sea”, Jpn Times (13 October 2013),
online: .
2
Stefan Talmon & Bing Bing Jia, The South China Sea Arbitration: A Chinese Perspective (Bloomsbury
Publishing, 2014) at 1.
33 | LENTERA HUKUM
Ada kesamaan dan perbedaan antara situasi di LCS dan Asia Timur Laut.
3
Seperti
halnya LCS, bahwa di kawasan laut tersebut terdapat wilayah territorial dan
kedaulatan antar negara-negara sekitar. Namun, sengketa teritorial dan kedaulatan
LCS lebih multilateral daripada perselisihan teritorial di Asia Timur Laut, yang
sebagian besar bersifat bilateral, yang pada intinya sengketa teritorial dan kedaulatan
di LCS menyangkut Kepulauan Paracels dan Spratlys. Di Asia Timur Laut, yakni
termasuk Kepulauan Diaoyutai (Senkaku) antara RRT/Taiwan dan Jepang, pulau
Tokdo (Takeshima) antara Korea dan Jepang dan empat Wilayah Utara (Kurade
Selatan) antara Jepang dan Federasi Rusia.
4
Sebagai hasil dari sengketa kepemilikan
pulau-pulau ini, adanya kesulitan yang kemudian muncul sehubungan dengan
penentuan batas laut antar negara-negara yang bersangkutan.
Pada sengketa di LCS dan Asia Timur Laut terdapat isu yang terbagi antara RRT
dan Korea, meskipun pada kenyataannya terjadi persaingan antara RRT dan Taiwan
untuk saling menonjolkan diri dalam upaya untuk mengelola potensi konflik di wilayah
tersebut.
5
Oleh karena itu peran RRT sangat penting di kedua wilayah. Upaya untuk
merumuskan pembangunan bersama telah menghasilkan kesepakatan antara Jepang
dan Korea Selatan, namun tidak ditemukan hidrokarbon di wilayah tersebut dan
kemudian kesepakatan tersebut juga ditentang dan diprotes oleh RRT.
6
Di LCS, upaya
untuk mencari solusi melalui pengembangan bersama cukup berhasil. Hal tersebut
dapat dilihat terutama antara Malaysia dan Thailand, Malaysia dan Vietnam, keduanya
tanpa melibatkan RRT.
7
Thailand, Malaysia dan Vietnam memiliki itikad hubungan
politik yang kuat untuk mencari solusi yang terbaik karena keterlibatan negara-negara
tersebut sebagai anggota ASEAN.. Sementara RRT selalu mengaku bersedia untuk
mengesampingkan sengketa kedaulatan teritorial dan mendukung pengembangan yang
mengikat di LCS, kenyataannya tidak mudah untuk memahami apa yang sebenarnya
dimaksudkan oleh RRT yakni pengembangan bersama dan mengelola sengketa
kedaulatan teritorial.
Pengelolaan sengketa kedaulatan territorial tidak dapat serta-merta mengikuti
kehendak salah satu pihak tanpa persetujuan pihak lainnya. Dalam pengelolaan
sengketa kedaulatan territorial banyak cara yang dapat dilakukan dan sesuai dengan
hukum Internasional, salah satu penyelesaian sengketa internasional yakni melalui
Arbitrase.
8
Arbitrase telah lama menjadi pilihan penyelesaian sengketa. Arbitrase yang
3
Negara Asia Timur Laut yakni meliputi Jepang, China, Korea Selatan, dan Korea Utara, lebih
lengkapnya lihat secara umum pada Scott Snyder & See-Won Byun, “Cheonan And Yeonpyeong: The
Northeast Asian Response to North Korea‟s Provocations” (2011) 156:2 RUSI J 74.
4
Mengenai sengketa territorial di kawasan Asia Timur Laut lihat pada Paul O‟Shea, “Territorial
disputes in Northeast Asia: A primer” (2013) 182 Ital Inst Int Polit Stud Anal ISPI No 182.
5
Lihat secara umum pada Maritime Zone of Northeast Asia, CIA-RPD08C01297R000200130003-5 (Bureau
of Intelligence and Research of Central Intelligence Agency US, 2012).
6
Ibid.
7
Perlu kita ingat bahwa negara-negara anggota ASEAN memiliki prinsip solidaritas yang tinggi dalam
upaya menyelesaikan sengketa di kawasan. Lihat pada Gautama Budi Arundhati, “Dinamika Relasi
Antara Prinsip Non Interference dan Prinsip Solidaritas ASEAN” (2017), online:
at 100.
8
Sri Setianingsih Suwardi, Penyelesaian Sengketa Internasional (Jakarta: UI-Press, 2006) at 39.
34 | Dinamika Sikap Tiongkok Atas Putusan Mahkamah Arbitrase Tetap Internasional
diajukan Filipina kepada Tribunal adalah tentang penafsiran dari pasal-pasal yang
terdapat dalam UNCLOS 1982 serta posisi RRT dalam melakukan aktivitasnya di LCS.
9
Akan tetapi ketika putusan tersebut keluar pada 2016 lalu, RRT menganggap bahwa
putusan tersebut adalah batal demi hukum.
10
Perlu kita ketahui bahwa terdapat empat kategori yang disimpulkan oleh
Tribunal atas pengajuan Filipina. Pertama, Filipina telah meminta Tribunal untuk
menyelesaikan perselisihan antara Para Pihak mengenai sumber hak dan hak maritim di
LCS.
11
Secara khusus, Filipina mencari sebuah deklarasi dari Tribunal mengenai hak
RRT di LCS berdasar pada Konvensi dan tidak memiliki hak untuk mengklaim hak
historis apapun. Dalam hal ini, Filipina mencari sebuah kebenaran terhadap klaim RRT
terhadap hak-hak di dalam nine dash line yang ditandai pada peta RRT tidak memiliki
kekuatan hukum yang sah sejauh mereka melampaui hak yang diizinkan RRT oleh
Konvensi. Kedua, Filipina telah meminta Tribunal untuk menyelesaikan perselisihan
antara Para Pihak mengenai hak-hak tersebut ke zona maritim yang akan dihasilkan
berdasarkan Konvensi pada Scarborough Shoal dan beberapa fitur maritim tertentu di
Kepulauan Spratly yang diklaim oleh Filipina dan RRT.
12
Konvensi tersebut
menetapkan bahwa bagian-bagian yang terendam dan ketinggian air surut tidak
mampu menghasilkan hak apapun ke wilayah maritim. Kemudian bahwa hutan yang
tidak dapat menopang hunian atau kehidupan ekonomi mereka sendiri tidak
menghasilkan hak zona ekonomi eksklusif sejauh 200 Nm (nautical miles/mil laut)
ataupun landas kontinen.
13
Filipina mencari sebuah deklarasi dimana semua fitur yang diklaim oleh RRT di
Kepulauan Spratly dan Scarborough Shoal, termasuk dalam satu atau kategori lainnya
menyatakan tidak satu pun dari fitur ini menghasilkan sebuah Hak atas zona ekonomi
eksklusif atau landas kontinen. Ketiga, Filipina telah meminta Tribunal untuk
menyelesaikan serangkaian perselisihan antara Para Pihak mengenai keabsahan
tindakan RRT di LCS.
14
Filipina mencari deklarasi bahwa RRT telah melanggar
Konvensi. Deklarasi tersebut adalah mengenai aktivitas RRT yang mencampuri
pelaksanaan hak Filipina berdasarkan Konvensi, termasuk berkenaan dengan
penangkapan ikan, eksplorasi minyak, navigasi, dan pembangunan pulau dan instalasi
9
Lihat secara umum PCA Case No 2013-19 In Matter of The South China Sea Arbitration before an Arbitral
Tribunal Constituted Under Annex VII to The 1982 United Nations Convention on The Law of The Sea Between The
Republic of Philippines and The People’s Republic of China [PCA Case No 2013-19]; R Ridderhof, “The South
China Sea Arbitration (12 July 2016) PCA Case No. 2013-19 | Peace Palace Library”, (22 July 2017),
online: /www.peacepalacelibrary.nl/2016/07/pca-award-south-china-sea-12-july-2016/>.
10
Lihat pernyataan RRT pada position paper yang dikeluarkan di tengah-tengah persidangan berlangsung
dalam Position Paper of the Government of the People’s Republic of China on the Matter of Jurisdiction in the South
China Sea Arbitration Initiated by the Republic of the Philippines [Position Paper of the People’s Republic of China].
11
Lihat secara umum pada PCA Case No 2013-19, supra note 9.
12
Ibid.
13
Lihat mengenai zona ekonomi eksklusif dan landas kontinen yang telah termaktub dalam hukum
internasional pada United Nation Convention on the Law of the Sea 1982 [United Nation Convention on the Law of
the Sea 1982] at 45.
14
Lihat secara umum pada PCA Case No 2013-19, supra note 9.
35 | LENTERA HUKUM
buatan.
15
Hal tersebut kemudian menjadi penyebab RRT gagal untuk melindungi dan
melestarikan lingkungan laut. Karena dengan aktifitasnya di LCS yang memberikan
toleransi dan secara aktif mendukung nelayan Tiongkok dalam memanen spesies yang
terancam punah dan penggunaan metode penangkapan ikan yang membahayakan maka
akan merusak ekosistem terumbu karang yang rapuh di LCS.
16
Lalu apa yang dilakukan RRT di kawasan tersebut menimbulkan kerusakan pada
lingkungan laut dengan membangun pulau-pulau buatan dan terlibat dalam reklamasi
lahan yang ekstensif di tujuh terumbu karang di Kepulauan Spratly. Keempat, Filipina
telah meminta Tribunal untuk menemukan analisis hukum bahwa RRT telah
memperburuk dan memperpanjang perselisihan antara Para Pihak selama Arbitrasi ini
dengan membatasi akses terhadap detasemen marinir Filipina yang ditempatkan di
Thomas Shoal Kedua yang melibatkannya dalam konstruksi pulau buatan dan
reklamasi skala besar di tujuh terumbu karang di Kepulauan Spratly.
Dari alasan Filipina yang telah dijelaskan diatas dapat kita ketahui bahwa
kewenangan PCA secara umum adalah untuk menyelesaikan sengketa secara damai
berdasar Konvensi tahun 1899 dan tahun 1907 tentang International Pacific Settlement
Dispute.
17
Secara khusus kewenangan PCA dalam sengketa ini adalah untuk
menafsirkan hal-hal yang diatur dalam UNCLOS 1982 yakni mengenai karang, pulau,
serta keabsahan aktifitas RRT di LCS berdasar UNCLOS 1982.
18
Tribunal
menggunakan dasar Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut 1982
dalam menjalankan peradilan ini. Termasuk pula dalam penerapan prinsip “jika salah
satu pihak tidak datang dalam persidangan maka dapat tetap dilanjutkan”.
19
Hal inilah
yang mendasari tetap dilaksanakannya peradilan meskipun pihak RRT tidak
menghadiri persidangan dari awal. Padahal kedua pihak telah menjadi bagian dari
Konvensi tersebut. Filipina meratifikasinya pada tanggal 8 Mei 1984 dan RRT
meratifikasi pada tanggal 7 Juni 1996.
20
Kemudian konvensi tersebut diadopsi oleh
negara-negara anggota sebagai undang-undang yang mengatur tentang lautan dan
memiliki tujuan untuk menyelesaikan semua masalah yang berkaitan dengan hukum
laut. Konvensi ini membahas berbagai isu dan mencakup sebagai bagian integral sebuah
15
Ibid.
16
Ibid.
17
Lihat Chapter VI Charter of the United Nations, U N Charter, 1945 [UN Charter] at 8; James Brown Scott,
The Hague Court Reports [1st]-2nd Series: Comprising the Awards, accompanied by Syllabi, the Agreements for
Arbitration, and Other Documents in Each Case Submitted to the Permanent Court of Arbitration and to Commissions
of Inquiry Under the Provisions of the Conventions of 1899 and 1907 for the Pacific Settlement of International Disputes
(Oxford University Press, American branch, 1916); Mark Weston Janis, “The Hague Peace
Conferences of 1899 and 1907 and International Arbitration: Reports and Documents” (2002) 49:2
Neth Int Law Rev 290.
18
PCA Case No 2013-19, supra note 9.
19
Meski RRT tidak pernah berpartisipasi secara formal selama proses persidangan berlangsung, namun
persidangan tetap berjalan hingga akhir. Lihat Annex VII UNCLOS 1982 United Nation Convention on the
Law of the Sea 1982, supra note 13.
20
Sejauh ini terdapat 168 negara yang telah meratifikasi UNCLOS 1982 termasuk Filipina, RRT, dan
Indonesia. “Chronological lists of ratifications of”, online:
.
36 | Dinamika Sikap Tiongkok Atas Putusan Mahkamah Arbitrase Tetap Internasional
sistem untuk penyelesaian sengketa damai. Sistem ini tercantum dalam Bagian XV
Konvensi yang menyediakan berbagai prosedur penyelesaian sengketa, termasuk
arbitrase wajib sesuai dengan prosedur yang tercantum dalam Lampiran VII pada
Konvensi.
21
Konvensi tersebut, bagaimanapun, tidak membahas kedaulatan negara atas
wilayah darat. Oleh karenanya Tribunal tidak diminta untuk, dan tidak bermaksud,
membuat keputusan mengenai negara mana yang berhak atas kedaulatan wilayah darat
di LCS, khususnya sehubungan dengan sengketa mengenai kedaulatan atas Kepulauan
Spratly atau Kepulauan Scarborough. Tidak satu pun dari keputusan Tribunal tersebut
yang menetapkan kedaulatan suatu negara, atau apa pun dalam putusan ini dipahami
untuk menyiratkan pandangan sehubungan dengan pertanyaan tentang kedaulatan
daratan.
22
Demikian pula, walaupun Konvensi tersebut memuat ketentuan mengenai
pembatasan batas laut, RRT membuat sebuah deklarasi pada tahun 2006 untuk
mengecualikan pembatasan batas laut dari penerimaan penyelesaian sengketa wajib,
sesuatu yang secara tegas diizinkan oleh Konvensi mengenai batas-batas maritim dan
beberapa hal lainnya.
23
Oleh karenanya Pengadilan tersebut belum diminta untuk, dan
tidak bermaksud untuk membatasi batas maritim antara Para Pihak atau melibatkan
negara lain yang berbatasan dengan LCS. Sejauh ini wilayah yang diklaim Filipina
berkaitan dengan klaim tumpang tindih di bagian LCS. Berdasar hal tersebut
Pengadilan hanya menyelesaikan sengketa sejauh hak dan kewajiban masing-masing
pihak dimana hal itu tidak berhubungan pada batas laut atau tidak berkaitan dengan
sebuah penetapan batas wilayah agar sesuai dengan penerapan Konvensi yang tidak
menghasilkan tumpang tindih atas hak-hak pada masing-masing pihak.
Selama persidangan berlangsung RRT mengadopsi posisi non-penerimaan dan
non-partisipasi, yakni menolak untuk berpartisipasi sejak awal. Namun keputusan
tersebut harus dihormati oleh negara lain karena hal ini sah menurut hukum
internasional, terutama UNCLOS. Alasan sikap RRT tersebut bahwa arbitrase tidak
memiliki yurisdiksi untuk menyelesaikan perkara.
24
Akan tetapi keputusan yang
diambil tidak mencegah berlangsungnya arbitrase. Hal itu berada dalam kerangka
hukum internasional bahwa arbitrase dapat membuat keputusannya setelah memenuhi
persyaratan bahwa ia memiliki yurisdiksi dan bahwa klaim tersebut telah ditetapkan
dengan baik.
Terlepas dari keputusannya untuk tidak tampil secara formal dalam hal apapun
dalam proses tersebut, RRT telah mengambil langkah-langkah yang secara informal
memperjelas anggapannya bahwa Pengadilan tersebut tidak memiliki yurisdiksi untuk
21
Lihat secara umum pada bagian XV UNCLOS 1982 mengenai penyelesaian sengketa secara damai
United Nation Convention on the Law of the Sea 1982, supra note 13.
22
Lihat PCA Case No 2013-19, supra note 9.
23
Lihat Ridderhof, supra note 9; Talmon & Jia, supra note 2; PCA Case No 2013-19, supra note 9.
24
“How China can benefit from the S. China Sea arbitration - Opinion - The Jakarta Post”, online:
.
37 | LENTERA HUKUM
mempertimbangkan klaim Filipina manapun. Pada tanggal 7 Desember 2014,
Kementerian Luar Negeri RRT menerbitkan kertas posisi mengenai masalah yurisdiksi
pada proses Arbitrase LCS yang diprakarsai oleh Republik Filipina.
25
Dalam hal itu
RRT berpendapat bahwa Tribunal tidak memiliki yurisdiksi karena esensi pokok
masalah arbitrase adalah kedaulatan teritorial atas fitur maritim yang relevan di LCS.
Kemudian pada kertas posisi tersebut RRT menyatakan bahwa kedua pihak telah
sepakat untuk menyelesaikan perselisihan terkait melalui instrumen bilateral yakni
sebuah perundingan.
Kertas Posisi yang dikeluarkan oleh RRT tersebut pada prinsipnya
mempertanyakan kompetensi arbitrase karena inti penyampaian Filipina berkaitan
dengan kedaulatan dan pembatasan. Sampai batas tertentu, perselisihan itu terkait
dengan delimitasi dan kedaulatan, namun arbitrase sangat berhati-hati. Dalam
penghargaannya atas yurisdiksi tahun lalu, pengadilan tersebut tidak menegaskan
yurisdiksi untuk mendengarkan kasus tersebut ke semua pengajuan, namun
mencadangkan haknya untuk menentukan yurisdiksi setelah mendengar argumen
mengenai kelebihan mereka. Arbitrase sebenarnya telah bertindak adil dan tidak
memihak. Argumen Duta Besar Xie Feng bahwa arbitrase telah menolak untuk
kemudian memberikan pengesahan document of conduct yang mengikat secara hukum
(DOC) di LCS yang cacat secara hukum.
26
Dalam kertas posisinnya, RRT menyatakan bahwa DOC bukan dokumen hukum,
namun merupakan dokumen politik. Dengan demikian, DOC tidak memiliki kekuatan
yang mengikat secara hukum. Selanjutnya DOC bertujuan untuk mengatur perilaku
dan mengelola perselisihan, sedangkan materi arbitrase menyangkut interpretasi dan
penerapan ketentuan UNCLOS. Terakhir, DOC berlaku untuk seluruh wilayah LCS
sementara arbitrase hanya menyangkut area yang terkait dengan klaim Filipina. Ketiga,
mengenai sikap para pihak dalam mematuhi keputusan arbitrase. Kedua pihak baik
RRT maupun Filipina sebagai pihak dalam perselisihan tersebut tetap berada di bawah
kewajiban internasional untuk mematuhi keputusan arbitrase.
27
Sampai saat ini, RRT telah menyatakan tentangannya yang kuat dan tidak akan
mengikuti keputusan arbitrase. Langkah tersebut tentu menciptakan ketegangan dan
ketidakstabilan di LCS. Jadi banyak yang dipertaruhkan jikaRR memutuskan untuk
tidak mengikuti keputusan tersebut. Ini akan menjadi pukulan balasan terhadap
peraturan hukum dan menunjukkan contoh negatif bagaimana tindakan sepihak tanpa
dasar menemukan tempatnya di masyarakat internasional. Contoh seperti itu tidak
diharapkan dari anggota tetap Dewan Keamanan PBB. RRT sebagai pemrakarsa sistem
peradilan internasional dapat dilihat oleh fakta bahwa selalu ada hakim dari RRT di
Pengadilan Internasional (ICJ) dan Pengadilan Internasional untuk Hukum Laut
25
RRT mengeluarkan position paper pada 7 Desember 2014 dimana pada 22 April 2015, panel arbitrase
memutuskan bahwa position paper tersebut sebagai argument RRT mengenai yurisdiksi dari arbitrase.
Lihat Position Paper of the People’s Republic of China, supra note 104.
26
Ibid.
27
PCA Case No 2013-19, supra note 9.
38 | Dinamika Sikap Tiongkok Atas Putusan Mahkamah Arbitrase Tetap Internasional
(ITLOS).
28
Di bawah Pembukaan Piagam PBB, kami berjanji untuk menetapkan kondisi
di mana keadilan dan penghormatan terhadap kewajiban yang timbul dari perjanjian
dan hukum internasional dapat dipertahankan. Sebagai anggota tetap Dewan
Keamanan, RRT harus memimpin dengan memberi contoh dalam penegakan supremasi
hukum. RRT seharusnya tidak mendapat jaminan dan menarik diri dari UNCLOS.
Perselisihan yang diajukan oleh Filipina merupakan bagian integral dari
pembatasan maritim antara kedua negara. Sementara pada saat yang sama menjelaskan
bahwa komunikasi semacam itu seharusnya tidak ditafsirkan sebagai partisipasi RRT
dalam proses arbitrase. Namun tribunal menganggapnya sebagai argumen RRT
mengenai yurisdiksi dari arbitrase yang sedang dijalankan.
29
Selama kasus tersebut
naik ke PCA, RRT begitu gencamelancarkan proyek raksasa berupa serangkaian pulau
buatan guna menampung sejumlah pangkalan militer. Hal tersebut diindikasikan
untuk menciptakan faith-accomply
30
atas putusan PCA di Den Haag. Selain itu, pulau
tersebut berfungsi untuk memperkuat klaim kedaulatan RRT serta menjadi wadah
keberadaan RRT di ranah militer dan sipil.
Sama pentingnya dengan langkah hukum yang telah dilakukan oleh Filipina,
keefektifannya masih harus dilihat. Sebagaimana yang telah ditunjukkan oleh tribunal
pada 2016 lalu ketika memutuskan sengketa ini, keputusan hukum semacam itu tidak
mungkin menghentikan ketegasan RRT di LCS, kecuali jika mereka dipasangkan
dengan tindakan di bidang lain, termasuk di bidang militer dan bahkan wilayah
ekonomi.
III. PENGARUH SIKAP TIONGKOK TERHADAP ZONA EKONOMI
EKSKLUSIF INDONESIA DI LAUT NATUNA
Seperti yang telah diuraikan pada bahasan sebelumnya bahwa RRT tidak mengakui
adanya putusan tersebut, dan telah disampaikan pula bahwa mereka tidak akan
melaksanakannya. Padahal kita ketahui bahwa RRT merupakan Anggota Tetap Dewan
Keamanan PBB yang membawa tanggung jawab moral, politik, dan hukum untuk
menciptakan perdamaian dan stabilitas di dunia dan dapat bekerja. bersama dengan
damai. Selama ini RRT menggunakan pendekatan yang ambigu sehingga membuka
semua opsi dalam sengketa tersebut. Pada saat yang sama RRT juga terus
mengembangkan kapabilitasnya di kawasan sengketa. Inilah kemudian yang membuat
sengketa semakin memanas.
28
Jurnal Penilitian Politik (Yayasan Obor Indonesia) at 30; Sahar Okhovat, University of Sydney & Centre
for Peace and Conflict Studies, The United Nations Security Council: its veto power and its reform (Sydney:
Centre for Peace and Conflict Studies, The University of Sydney, 2012); Justin S Gruenberg, “An
Analysis of United Nations Security Council Resolutions: Are All Countries Treated Equally” (2009)
41 Case W Res J Intl L 469.
29
PCA Case No 2013-19, supra note 9.
30
Faith accomply penulis tafsikan sebagai sebuah tindakan untuk membuat orang lain mau tidak mau
menyetujui tindakan tersebut. Lebih lengkap lihat secara umum pada Dan Altman, “By Fait Accompli,
Not Coercion: How States Wrest Territory from Their Adversaries” (2015) Unpubl Manuscr Dartm
Coll.
39 | LENTERA HUKUM
Kemajuan dalam konflik LCS dapat tercapai apabila RRT dapat menyelesaikan
satu-persatu dari ketiga legal disputes yang diajukan oleh Filiphina dan menyiapkan
langkah awal yaitu membentuk tim negosiasi maritim yang juga melibatkan perwakilan
dari Taiwan. Dalam proses tersebut RRT juga perlu menjelaskan konsep nine dash line
dalam kaitannya dengan klaim RRT terhadap LCS, karena selama ini klaim telah
memunculkan berbagai penafsiran yang bertentangan dengan Hukum Internasional.
31
Namun sejauh ini konsep negosiasi masih berbentuk Joint Working Group (JWG) yang
terlaksana sebanyak 11 kali terakhir di Bali pada Maret 2017 lalu. Dalam konsep JWG
tersebut ASEAN menjadi bagian yang terpecah,
32
yakni memiliki 10 pandangan yang
berbeda dalam table discussion bersama RRT yang kemudian disebut dengan eleven parties.
Indonesia sebagai non- claimant state bukan berarti perannya dikesampingkan
dalam penyelesaian sengketa ini. Dalam forum JWG tersebut Indonesia vokal dalam
mendorong para pihak segera menyusun dokumen DoC (Document of Conduct) untuk
menstabilkan wilayah. Akibat sikap RRT yang masih keras dan cenderung tidak
membahas pembentukan CoC (Code of Conduct) sebagai tindak lanjut dari DoC pada
beberapa pertemuan. Selain perbedaan persepsi mengenai bagaimana bentuk dan
suasana forum pembahasan CoC, jika kita lihat dari sudut komitmen, dalam DoC
memang sebuah komitmen yang lemah.
33
Oleh karena itu, DoC akan akan menjadi ajang
untuk mengulur negosiasi. Karena DoC tidak mampu mengatur pihak – pihak yang
berselisih Seperti yang telah terjadi pada forum ini yakni dari JWG pertama pada 2005
yang diadakan di Manila, Filipina, hingga sekarang membutuhkan waktu yang tidak
sebentar. Oleh karena itu diperlukan adanya CoC untuk menindaklanjuti DoC. Namun,
sampai saat ini pembahasan CoC pun masih belum menemui titik terang. Para pihak
yang bersengketa masih belum mampu menyepakati CoC. Namun RRT mulai
mendekatkan diri untuk menyetujui penyusunan CoC pada pertemuan JWG lalu di
bulan Maret 2017. Meski tetap belum ada kesepakatan mengenai bagaimana isi yang
akan diatur dalam dokumen tersebut, namun setidaknya sudah ada kesepakatan untuk
menyusunnya.
Meski putusan PCA dianggap oleh RRT sebagai null and void
34
dan hasil
keputusan ini ditolak secara keseluruhan oleh RRT. Hal ini sedikit banyak memiliki
implikasi terhadap Indonesia, terutama di kawaasan Laut Natuna. Dari lima belas
tuntutan yang diajukan Filipina, setidaknya ada 2 (dua) hal yang memiliki implikasi
langsung terhadap Indonesia yaitu tentang status nine dash line dan status fitur maritim
di kawasan LCS.
31
PCA Case No 2013-19, supra note 9.
32
Lihat Arundhati, supra note 7 at 98.
33
Agus Haryanto & Arry Bainus, “Implikasi Declaration of Conduct Laut Tiongkok Selatan Tahun 2002
Terhadap Proses Penyelesaian Sengketa” (2017) 24:1 J Media Huk 88; Kenneth W Abbot et al, “The
Concept of Legalization. International Organisation” (2003) 54:3 Camb Press 401.
34
Istilah null and void bermakna putusan tersebut adalah batal demi hukum. Lihat pernyataan Tiongkok
pada Position Paper of the People‟s Republic of China note 112. Utrecht berpendapat mengenai
nietigheid van rechtswege atau batal demi hukum adalah hukum menganggap bahwa suatu perbuatan
sebagian atau keseluruhan yang ada dalam substansi putusan tersebut tidak pernah ada.
40 | Dinamika Sikap Tiongkok Atas Putusan Mahkamah Arbitrase Tetap Internasional
Dengan adanya Putusan PCA tersebut, Indonesia dapat menjadikannya sebagai
dasar untuk bahan pernyataan sikap dan mempersiapkan kebijakan strategis terkait. Di
samping itu, Indonesia memiliki hak berdaulat di kawasan Laut Natuna. Sebelum
adanya putusan PCA tersebut kapal-kapal nelayan RRT telah sering melakukan
penangkapan ikan di kawasan Laut Natuna yang mereka sebut-sebut sebagai kawasan
traditional fishing ground
35
RRT, namun setelah adanya putusan maka semakin jelas RRT
tidak memiliki hak untuk melakukan klaim serta aktifias traditional fishing ground
tersebut.
Pada kesempatan yang sama, kunjungan Amerika Serikat di kawasan Asia Pasifik
pada waktu lalu memberikan sebuah penawaran baru. Presiden Donald Trump
menawarkan diri untuk menjadi mediator konflik atas sengketa Laut China Selatan
yang masih tidak kunjung menemukan titik akhir. Kemudian kebijakan presiden
Donald Trump tersebut merupakan kebijakan populis nasionalistik untuk
memproteksi kepentingan AS dari segala bentuk ancaman. Namun negara kawasan
tidak menanggapi karena sengketa ini harus diselesaikan oleh masing-masing pihak
tanpa campur tangan pihak luar. Meskipun kebijakan dari presiden negara adidaya
tersebut mempengaruhi stabilitas keamanan kawasan, namun negara kawasan tetap
akan menyelesaikan sengketa ini tanpa tawaran tersebut. Karena upaya Tiongkok di
Laut China Selatan dianggap oleh Amerika setara dengan upaya Rusia merebut Krimea
dari Ukraina.
36
Trump menyatakan bahwa Amerika Serikat tidak terikat dengan
kebijakan One China Policy. Dalam hal ini Amerika Serikat di bawah Presiden Trump
akan menempuh cara unilateralisme, yaitu bertindak secara sepihak demi
kepentingannya.
37
Di sisi lain, Donald Trump memiliki slogan berupa American First, dimana slogan
ini menjadi kebijakan Amerika dalam hubungan luar negeri. American First sendiri berisi
paparan bagaimana kepentingan Amerika harus didahulukan.
38
secara tidak langsung,
langkah ini disebut sebagai politik Amerika yang menuai pro dan kontra. Sebagaimana
35
Dalam Hukum Internasional diatur mengenai traditional fishing rights yakni hak-hak tradisional dalam
melakukan aktifitas penangkapan ikan di wilayah laut yang merupakan kawasan negara lain. Untuk
penentuan batas-batas wilayah penangkapan tersebut perlu dilakukan kesepakatan bilateral dengan
negara yang bersangkutan. Hak tersebut tidak boleh dialihkan ke atau dibagi dengan Negara ketiga
atau warga negaranya. Seperti yang telah dilakukan oleh Pemerintah Indonesia dengan Australia
melalui Memorandum of Understanding tentang penangkapan ikan oleh nelayan Indonesia di kawasan
ZEE dan Zona Tambahan Australia. Lihat Pasal 51 dan pasal 62 ayat (3) pada United Nation Convention
on the Law of the Sea 1982, supra note 13; Akhmad Solihin, “Hak Ekonomi Nelayan Tradisional Indonesia
Di Wilayah Perbatasan” (2011) 3 17 Opinio Juris J Huk Dan Perjanjian Int; Ganewati Wuryandari,
“„Menerobos Batas‟ Nelayan Indonesia di Perairan Australia: Permasalahan dan Prospek” (2016) 11:1 J
Penelit Polit 20.
36
metrotvnews developer, “Menlu Pilihan Trump Larang Tiongkok Masuk ke Laut China Selatan”,
metrotvnews.com, online: .
37
Adirini Pujayanti, “Kebijakan Imigrasi Pemerintahan Presiden Donald Trump”, Maj Info Singk Hub Int
(February 2017), online: .
38
The Jakarta Post, “Isolated US lashes out at climate critics”, Jkt Post, online:
.
41 | LENTERA HUKUM
diketahui bersama, politik dalam dunia internasional, sama halnya dengan semua
politik yang bermuara pada sebuah kekuasaan. Konsep ini sendiri terbagi menjadi dua.
Kesatu, tidak setiap tindakan yang dilakukan suatu negara yang berhubungan dengan
negara lain bersifat politik. Misalnya dalam memberikan bantuan bencana alam. Kedua,
tidak semua negara senantiasa terlibat dalam taraf yang sama dalam politik
internasional. Artinya, politik dalam hubungan internasional bersifat dinamis.
Hubungan ini dapat berubah apabila terjadi pergantian kekuasaan.
39
Secara tidak
langsung, kebijakan Amerika yang tertuang dalam American First, merupakan
perlawanan terhadap kemapanan pada isu-isu globalisasi, perdagangan bebas, dan
imigrasi yang merupakan konsensus elite politik sebelumnya namun tidak memuaskan
publik AS.
Menilik fakta di atas, slogan American First dapat mempengaruhi kebijakan
Amerika dalam mengutamakan kepentingannya di kawasan Laut China Selatan.
Sehingga, secara tersirat, terdapat dua kekuatan negara besar yang memiliki
kepentingan, yaitu Tiongkok dan Amerika. Dan keadaan inilah yang menjadi salah satu
faktor mengapa negara anggota ASEAN tidak memiliki persamaan pandangan dalam
penyelesaian sengketa Laut China Selatan.
Terkait perbedaan pandangan negara anggota ASEAN dan dengan adanya
putusan PCA, Indonesia mengumumkan penamaan kawasan yang terletak di ujung
selatan LCS dengan nama Laut Natuna Utara.
40
Langkah tersebut merupakan bagian
dari peresmian peta nasional yang diperbaharui setelah memakan waktu berbulan-
bulan dalam pembuatannya. Pembaruan tersebut tak lain adalah mencerminkan tekad
negara Asia Tenggara untuk melindungi klaimnya bahkan di tengah tantangan yang
melekat dalam melakukan tekad tersebut.
Meskipun Indonesia bukan claimant state yang menuntut secara kuat atas wilayah
di kawasan, namun Indonesia tetap menjadi pihak yang berkepentingan, terutama sejak
klaim nine dash line tumpang tindih dengan zona ekonomi eksklusif Indonesia (ZEE) di
sekitar Kepulauan Natuna yang kaya sumber daya alam. Dengan adanya pembaruan
peta tersebut, maka secara langsung Pemerintah Indonesia tidak mengakui klaim garis
nine dash line di hadapan RRT.
41
39
Hans J Morgenthau and Kenneth W Thompson, Politik Antarbangsa (Yayasan Pustaka Obor Indonesia)
hlm 34.
40
Pendaftaran nama pulau serta kawasan lain yang berkaitan merupakan upaya pemerintah Indonesia
untuk melaksanakan tanggungjawabnya serta menjaga keutuhan dan keamanan sebagai negara
kepulauan. Meskipun hasil verifikassi PBB bukan merupakan ketetapan atas kepemilikan pulau,
namun verifikasi tersebut menjadi dasar hukum yang kuat untuk klaim kepemilikan yang sah, serta
sebagai upaya baru untuk melakukan penataan terhadap pemanfaatan pulau-pulau kecil yang kita
miliki karena proses penamaan yang dikerjakan lintas kementerian dan lembaga itu sesuai dengan
standar yang ditetapkan International Hidrographic Organization (IHO) dan ketentuan Electronic
Navigational Chart. Lebih lengkap lihat “PBB Verifikasi 16.056 Nama Pulau Indonesia”, online:
.
41
“Mengapa pemerintah Indonesia mendaftarkan 1.700 „pulau baru‟ ke PBB?”, BBC Indones (6 June 2017),
online: ; BBC Indonesia, “China Komentari
Penamaan Laut Natuna Utara oleh Indonesia”, online: detiknews
42 | Dinamika Sikap Tiongkok Atas Putusan Mahkamah Arbitrase Tetap Internasional
Laut Natuna Utara hanyalah yang terbaru dari serangkaian peruntukan nama
untuk wilayah-wilayah di sekitar kawasan yang telah kita ketahui di antara negara-
negara Asia Tenggara. Filipina mengacu pada putusan tribunal, menamai wilayah yang
tumpang tindih dengan klaim RRT dengan nama Laut Filipina Barat, dan Vietnam
menyebutnya sebagai Laut Timur.
42
Seperti pada kasus-kasus lain, dari perspektif Indonesia, kejelasan itu lebih dari
sekedar makna simbolis. Karena pemerintah Indonesia mulai mendaftarkan nama baru
kepada International Hydrographic Organization (IHO), langkah tersebut akan membawa
dampak yang lebih luas dan akan sangat penting untuk memastikan bahwa
tindakannya sesuai dengan hukum internasional.
43
Dalam hal tersebut, bukanlah
menjadi suatu kebetulan bahwa pemerintah Indonesia secara langsung menyebutkan
putusan tribunal sebagai alasan untuk mengganti namanya. Pemerintah mencoba
mendasarkan perubahan domestik sebagian karena kepatuhan terhadap hukum
internasional.
44
Di samping itu, dengan jelas bahwa yang dilakukan pemerintah
Indonesia tersebut berkenaan dengan tingkat batas negara-negara Asia Tenggara yang
juga memiliki alasan praktis mengenai sumber minyak dan gas yang berada di bawah
landas kontinen serta legalitas tindakan lain yang dapat dilakukan untuk mencapai
kekuatan klaimnya, termasuk patroli laut.
Masuknya daftar alasan untuk peta baru, bukan hanya Natuna saja, tidak
diragukan lagi memiliki utilitas diplomatik tersendiri. Namun pada saat yang sama,
meskipun hal ini sering tidak mendapat banyak perhatian di kalangan pengamat luar.
Pemerintah telah membuat kemajuan dalam masalah perbatasan yang menonjol dengan
negara-negara tetangga.
45
Sebagai prioritas utama sejak awal, yang terkait dengan
penekanan yang lebih luas pada pengamanan kedaulatan dan integritas territorial, dan
yang paling terlihat yakni dimanifestasikan dengan meledakkan kapal penangkap ikan
ilegal.
Perspektif yang lebih luas harus diingat karena perkembangan ini terungkap, dan
bukan fokus eksklusif pada RRT dan LCS. Dalam kasus lain yakni perundingan batas
ntara Indonesia dan Filipina yang juga menyangkut batas maritim di kawasan LCS.
Meskipun ada perbedaan bentuk antara garis persegi panjang Perjanjian Paris yang
sebelumnya digunakan Filipina dengan Indonesia dan sembilan garis pantai yang saat
ini digunakan RRT untuk mendasarkan klaim maritimnya di LCS, mereka memiliki
satu kesamaan, yakni keduanya merupakan ungkapan klaim sepihak yang tidak
didasarkan pada hukum internasional. Oleh karena itu, eskalasi dalam klaim yang
.
42
Prashanth Parameswaran Diplomat The, “Why Did Indonesia Just Rename Its Part of the South
China Sea?”, The Diplomat, online: .
43
Indonesia note 142; Diplomat note 143.
44
Damos Dumoli Agusman, “Indonesia dan Hukum Internasional: Dinamika Posisi Indonesia Terhadap
Hukum Internasional” (2014) 15 17 Opinio Juris J Huk Dan Perjanjian Int.
45
Lihat secara umum pada Poltak Partogi Nainggolan, “Kebijakan Poros Maritim Dunia Joko Widodo
dan Implikasi Internasionalnya” (2016) 6:2 J Polit Trial.
43 | LENTERA HUKUM
tumpang tindih di LCS bukanlah norma regional. Mereka adalah anomali terhadap
praktik negara yang ada di Asia Tenggara dan harus diperbaiki.
Asia dapat menjadi pemimpin dunia dalam pencegahan dan pengelolaan konflik
sengketa terlepas dari adanya batasan-batasan. Hal ini dapat dilakukan dengan
menempatkan kepentingan bersama dan kepentingan publik yang lebih besar, yaitu
stabilitas dan keamanan regional, di atas pandangan nasional yang sempit.
IV. KESIMPULAN
Akibat hukum putusan Mahkamah Arbitrase Tetap Internasional nomor 2013-19 tahun
2016 yang melibatkan RRT dan Filipina dalam sengketa Laut China Selatan yakni
memberikan klarifikasi mengenai status pulau, karang, dan hal-hal yang telah
disebutkan dalam UNCLOS; memberikan kejelasan bahwa nine dash line dan aktifitas
RRT di Laut China Selatan tidak sesuai dengan kaidah-kaidah hukum Internasional
yang berlaku; namun kekuatan dari putusan tribunal tersebut membuat RRT tetap
bersikeras akan posisinya di Laut China Selatan sehingga memutuskan untuk tidak
mengakui dan tidak mematuhi putusan tersebut.
Konsekuensi ketidakpatuhan RRT terhadap Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia
di Laut Natuna yakni menimbulkan tumpang tindih kawasan Zona Ekonomi Eksklusif
Indonesia di Laut Natuna dengan wilayah yang di klaim RRT melalui nine dash line;
namun demikian dengan adanya putusan tribunal tersebut Indonesia dapat
menjadikannya sebagai dasar pernyataan sikap dan mempersiapkan kebijakan strategis
terkait.
Putusan arbitrase akan membawa kepentingan yang signifikan, karena akan
menjadi sumber hukum internasional. Ketentuan tersebut didasarkan pada Pasal 38
Statuta ICJ, bahwa keputusan pengadilan adalah sumber hukum internasional.
Substansi tersebut mungkin juga membawa beberapa elemen dasar hukum
internasional seperti definisi istilah "tempat tinggal manusia" dan istilah "kehidupan
ekonomi mereka sendiri" yang dapat disebut oleh pengadilan internasional di masa
depan. Pada saat itu, akan sulit bagi RRT untuk menentang keputusan tersebut. Jika
RRT menerima keputusan arbitrase, hal tersebut tidak berarti bahwa RRT
membatalkan klaimnya atas fitur maritim di LCS. Mereka dapat menyesuaikan
klaimnya dengan hanya menggambar zona maritim dari semua fitur yang diklaimnya
dalam jarak 12 atau 200 mil laut sesuai dengan keputusan arbitrase. Dengan posisi ini,
RRT bisa meminta penggugat lainnya yaitu Filipina, Brunei, Vietnam dan Malaysia
untuk mengklarifikasi klaim masing-masing. Dengan menerima arbitrase dan
putusannya, RRT dapat mengatasi kesulitan yang dihadapi saat ini dan menjadikannya
sebagai kesempatan yang baik untuk membangun stabilitas di kawasan tersebut.
Hal yang perlu dipertimbangkan kembali oleh RRT yakni ketika menjadi salah
satu pihak dalam suatu perjanjian akan tetapi tidak berpartisipasi dalam proses
sengketa, maka akan merugikan posisi internasionalnya. Sebagai anggota tetap Dewan
Keamanan PBB dan juga sebagai negara yang selalu memiliki hakim yang duduk di
44 | Dinamika Sikap Tiongkok Atas Putusan Mahkamah Arbitrase Tetap Internasional
ITLOS, ICJ, maupun pengadilan internasional lainnya, RRT perlu memberikan contoh
bahwa penyelesaian melalui mekanisme sengketa internasional adalah yang terbaik.
Indonesia telah melakukan langkah terbaik untuk mengajukan verifikasi nama-
nama pulau kepada IHO serta memberikan nama di laut sekitar Natuna dengan nama
Laut Natuna Utara seperti halnya Laut Natuna Selatan dan mengesahkan peta nasional
untuk memperkuat klaim sesuai dengan Hukum Internasional. Namun kita perlu juga
untuk: meneguhkan jati diri bangsa untuk menjaga keamanan nasional; menyediakan
data baik secara tekstual maupun geospasial terkait wilayah negara; peningkatan
pengawasan dan pengamanan di pulau-pulau kecil terdepan, dan terisolasi;
meningkatkan kualitas pendidikan maritim yang baik; serta penguasaan dan
pemanfaatan IPTEK dan juga yang sangat pokok yakni menyelesaikan sengketa batas
maritim Indonesia dengan negara tetangga.
DAFTAR PUSTAKA
Abbot, Kenneth W et al. “The Concept of Legalization. International Organisation”
(2003) 54:3 Camb Press 401.
Agusman, Damos Dumoli. “Indonesia dan Hukum Internasional: Dinamika Posisi
Indonesia Terhadap Hukum Internasional” (2014) 15 17 Opinio Juris J Huk Dan
Perjanjian Int.
Altman, Dan. “By Fait Accompli, Not Coercion: How States Wrest Territory from Their
Adversaries” (2015) Unpubl Manuscr Dartm Coll.
Arundhati, Gautama Budi. “Dinamika Relasi Antara Prinsip Non Interference dan
Prinsip Solidaritas ASEAN” (2017), online: .
BBC Indonesia, “Mengapa pemerintah Indonesia mendaftarkan 1.700 „pulau baru‟ ke
PBB?”, BBC Indones (6 June 2017), online:
.
Charter of the United Nations, U N Charter, 1945 [UN Charter].
Detik.com. “China Komentari Penamaan Laut Natuna Utara oleh Indonesia”, online:
detiknews .
Gruenberg, Justin S. “An Analysis of United Nations Security Council Resolutions: Are
All Countries Treated Equally” (2009) 41 Case W Res J Intl L 469.
Haryanto, Agus & Arry Bainus. “Implikasi Declaration of Conduct Laut Tiongkok
Selatan Tahun 2002 Terhadap Proses Penyelesaian Sengketa” (2017) 24:1 J Media
Huk 88.
Janis, Mark Weston. “The Hague Peace Conferences of 1899 and 1907 and International
Arbitration: Reports and Documents” (2002) 49:2 Neth Int Law Rev 290.
Maritime Zone of Northeast Asia, CIA-RPD08C01297R000200130003-5 (Bureau of
Intelligence and Research of Central Intelligence Agency US, 2012).
45 | LENTERA HUKUM
Matsumura, Masahiro. “San Francisco Treaty and the South China Sea”, Jpn Times (13
October 2013), online: .
Metrotvnews. “Menlu Pilihan Trump Larang Tiongkok Masuk ke Laut China Selatan”,
metrotvnews.com, online:
.
Morgenthau, Hans J & Kenneth W Thompson. Politik Antarbangsa (Yayasan Pustaka
Obor Indonesia, 2006).
Nainggolan, Poltak Partogi. “Kebijakan Poros Maritim Dunia Joko Widodo dan
Implikasi Internasionalnya” (2016) 6:2 J Polit Trial.
Okhovat, Sahar, University of Sydney & Centre for Peace and Conflict Studies. The
United Nations Security Council: its veto power and its reform (Sydney: Centre for Peace
and Conflict Studies, The University of Sydney, 2012).
O‟Shea, Paul. “Territorial disputes in Northeast Asia: A primer” (2013) 182 Ital Inst Int
Polit Stud Anal ISPI No 182.
PCA Case No 2013-19 In Matter of The South China Sea Arbitration before an Arbitral Tribunal
Constituted Under Annex VII to The 1982 United Nations Convention on The Law of The Sea
Between The Republic of Philippines and The People’s Republic of China [PCA Case No 2013-
19].
Position Paper of the Government of the People’s Republic of China on the Matter of Jurisdiction in the
South China Sea Arbitration Initiated by the Republic of the Philippines [Position Paper of the
People’s Republic of China].
Pujayanti, Adirini. “Kebijakan Imigrasi Pemerintahan Presiden Donald Trump”, Maj Info
Singk Hub Int (February 2017), online: .
Ridderhof, R. “The South China Sea Arbitration (12 July 2016) PCA Case No. 2013-19 |
Peace Palace Library”, (22 July 2017), online:
/www.peacepalacelibrary.nl/2016/07/ pca-award-south-china-sea-12-july-2016/>.
Scott, James Brown. The Hague Court Reports [1st]-2nd Series: Comprising the Awards,
accompanied by Syllabi, the Agreements for Arbitration, and Other Documents in Each Case
Submitted to the Permanent Court of Arbitration and to Commissions of Inquiry Under the
Provisions of the Conventions of 1899 and 1907 for the Pacific Settlement of International
Disputes (Oxford University Press, American branch, 1916).
Sekretariat Kabinet Republik Indonesia “PBB Verifikasi 16.056 Nama Pulau Indonesia”,
online: .
Setianingsih Suwardi, Sri. Penyelesaian Sengketa Internasional (Jakarta: UI-Press, 2006).
Snyder, Scott & See-Won Byun. “Cheonan And Yeonpyeong: The Northeast Asian
Response to North Korea‟s Provocations” (2011) 156:2 RUSI J 74.
Solihin, Akhmad. “Hak Ekonomi Nelayan Tradisional Indonesia Di Wilayah
Perbatasan” (2011) 3 17 Opinio Juris J Huk Dan Perjanjian Int.
46 | Dinamika Sikap Tiongkok Atas Putusan Mahkamah Arbitrase Tetap Internasional
Talmon, Stefan & Bing Bing Jia. The South China Sea Arbitration: A Chinese Perspective
(Bloomsbury Publishing, 2014).
The Diplomat, “Why Did Indonesia Just Rename Its Part of the South China Sea?”, The
Diplomat, online: .
The Jakarta Post. “How China can benefit from the S. China Sea arbitration - Opinion -
The Jakarta Post”, online: .
The Jakarta Post. “Isolated US lashes out at climate critics”, Jkt Post, online:
.
United Nations. “Chronological lists of ratifications of”, online: .
United Nation Convention on the Law of the Sea 1982 [United Nation Convention on the Law of the
Sea 1982].
Wuryandari, Ganewati. “„Menerobos Batas‟ Nelayan Indonesia di Perairan Australia:
Permasalahan dan Prospek” (2016) 11:1 J Penelit Polit 20.